Efektivitas Problem-Solving Therapy untuk Meningkatkan Psychological Well-Being Remaja yang Mengalami Perceraian Orangtua

BAB II
LANDASAN TEORI

A. Psychological Well-Being
1. Definisi psychological well-being
Teori psychological well-being pertama kali dikembangkan oleh Carol D.
Ryff pada tahun 1989. Menurut Bradburn (dalam Ryff & Keyes, 1995),
psychological well-being merujuk pada suatu konsep yang berkaitan dengan apa
yang dirasakan individu mengenai aktivitasnya dalam kehidupan sehari-hari.
Psychological well-being juga berkaitan dengan pengungkapan perasaan-perasaan
pribadi atas apa yang dirasakan oleh individu atas pengalaman hidupnya. Dengan
kata lain, segala aktivitas yang dilakukan oleh individu yang berlangsung setiap
hari dimana dalam proses tersebut kemungkinan mengalami fluktuasi pikiran dan
perasaan yang dimulai dari kondisi mental negatif sampai pada kondisi mental
positif, misalnya dari trauma sampai penerimaan hidup, dinamakan psychological
well-being.
Ryff (dalam Carr, 2004) mendefinisikan psychological well-being sebagai
suatu dorongan untuk menggali potensi diri individu secara keseluruhan.
Dorongan tersebut dapat menyebabkan seseorang menjadi pasrah terhadap
keadaan yang membuat psychological well-being individu menjadi rendah atau
berusaha untuk memperbaiki keadaan hidup yang akan membuat psychological

well-being individu tersebut menjadi tinggi (Ryff & Keyes, 1995).

27
Universitas Sumatera Utara

Selanjutnya, Ryff (dalam Ryff & Keyes, 1995) menambahkan bahwa
psychological well-being merupakan suatu keadaan ketika individu dapat
menerima kekuatan dan kelemahan diri apa adanya, memiliki tujuan hidup,
mengembangkan relasi positif dengan orang lain, menjadi pribadi yang mandiri,
mampu mengendalikan lingkungan, dan terus bertumbuh secara personal. Konsep
Ryff tersebut berawal dari adanya keyakinan bahwa kesehatan yang positif tidak
sekedar tidak adanya penyakit fisik saja, namun juga terdiri dari adanya
kebutuhan untuk merasa baik secara psikologis.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa psychological well-being
adalah suatu keadaan dimana individu dapat menggali potensi yang dimilikinya
pada setiap aktivitas dan pengalaman hidupnya, apakah individu tersebut memilih
bersikap pasrah atau berusaha untuk memperbaiki kondisi kehidupannya.

2. Dimensi psychological well-being
Menurut Ryff (dalam Ryff & Keyes, 1995), pondasi untuk diperolehnya

psychological well-being adalah kondisi psikologis individu yang dapat berfungsi
secara positif (positive psychological functioning), antara lain:
a. Penerimaan diri (self-acceptance)
Dimensi ini merupakan ciri utama kesehatan mental dan juga sebagai
karakteristik utama dalam aktualisasi diri, berfungsi optimal, dan kematangan.
Penerimaan diri yang baik ditandai dengan kemampuan untuk menerima diri
apa adanya. Kemampuan tersebut memungkinkan seseorang untuk bersikap
positif terhadap diri sendiri dan kehidupan yang dijalani. Hal tersebut menurut

28
Universitas Sumatera Utara

Ryff (1989) menandakan psychological well-being yang tinggi. Individu yang
memiliki tingkat penerimaan diri yang baik ditandai dengan bersikap positif
terhadap diri sendiri, mengakui dan menerima berbagai aspek yang ada dalam
dirinya baik positif maupun negatif, dan memiliki pandangan positif terhadap
masa lalu. Demikian pula sebaliknya, seseorang yang memiliki tingkat
penerimaan diri yang kurang baik memunculkan perasaan tidak puas terhadap
diri sendiri, merasa kecewa dengan pengalaman masa lalu, dan mempunyai
pengharapan untuk tidak menjadi dirinya saat ini.

b. Hubungan positif dengan orang lain (positive relationships with others)
Dimensi ini berulang kali ditekankan sebagai dimensi yang penting dalam
konsep psychological well-being. Ryff menekankan pentingnya menjalin
hubungan saling percaya dan hangat dengan orang lain. Dimensi ini juga
menyebutkan adanya kemampuan lain yang merupakan salah satu komponen
kesehatan mental, yaitu kemampuan untuk mencintai orang lain. Individu yang
tinggi atau baik dalam dimensi ini ditandai dengan adanya hubungan yang
hangat, memuaskan, dan saling percaya dengan orang lain. Selain itu, ia juga
mempunyai rasa afeksi dan empati yang kuat. Sebaliknya, individu yang hanya
mempunyai sedikit hubungan dengan orang lain, sulit untuk bersikap hangat
dan enggan untuk mempunyai ikatan dengan orang lain, menandakan bahwa ia
kurang baik dalam dimensi ini.
c. Otonomi (autonomy)
Dimensi otonomi menjelaskan mengenai kemandirian, kemampuan untuk
menentukan diri sendiri, dan kemampuan untuk mengatur tingkah laku.

29
Universitas Sumatera Utara

Apabila seseorang mampu untuk menolak tekanan sosial agar berpikir dan

bertingkah laku dengan cara-cara tertentu, serta dapat mengevaluasi diri sendiri
dengan standar personal, menandakan bahwa ia baik dalam dimensi ini.
Sebaliknya, individu yang kurang baik dalam dimensi otonomi akan
memperhatikan harapan dan evaluasi dari orang lain, membuat keputusan
berdasarkan penilaian orang lain, dan cenderung bersikap konformis.
d. Penguasaan lingkungan (environmental mastery)
Individu dengan psychological well-being yang baik memiliki kemampuan
untuk memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi fisik
dirinya. Dengan kata lain, ia mempunyai kemampuan dalam menghadapi
kejadian-kejadian di luar dirinya. Hal inilah yang dimaksud dalam dimensi ini
mampu untuk memanipulasi keadaan sehingga sesuai dengan kebutuhan dan
nilai-nilai pribadi yang dianutnya dan mampu untuk mengembangkan diri
secara kreatif melalui aktivitas fisik maupun mental. Sebaliknya individu yang
kurang baik dalam dimensi ini akan menampakkan ketidakmampuan untuk
mengatur kehidupan sehari-hari dan kurang memiliki kontrol terhadap
lingkungan luar.
e. Tujuan hidup (purpose in life)
Dimensi ini menjelaskan mengenai kemampuan individu untuk mencapai
tujuan dalam hidup. Seseorang yang mempunyai rasa keterarahan dalam hidup,
mempunyai perasaan bahwa kehidupan saat ini dan masa lalu mempunyai

keberartian, memegang kepercayaan yang memberikan tujuan hidup, dan
mempunyai target yang ingin dicapai dalam hidup, maka ia dapat dikatakan

30
Universitas Sumatera Utara

mempunyai dimensi tujuan hidup yang baik. Sebaliknya, seseorang yang
kurang baik dalam dimensi ini mempunyai perasaan bahwa tidak ada tujuan
yang ingin dicapai dalam hidup, tidak melihat adanya manfaat dalam masa lalu
kehidupannya, dan tidak mempunyai kepercayaan yang dapat membuat hidup
lebih berarti.
f. Pertumbuhan pribadi (personal growth)
Dimensi pertumbuhan pribadi menjelaskan kemampuan individu untuk
mengembangkan potensi dalam diri dan berkembang sebagai seorang manusia.
Dimensi ini dibutuhkan oleh individu agar dapat optimal dalam berfungsi
secara psikologis. Salah satu hal penting dalam dimensi ini adalah adanya
kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri, misalnya dengan keterbukaan
terhadap pengalaman. Seseorang yang baik dalam dimensi ini mempunyai
perasaan untuk terus berkembang, melihat diri sendiri sebagai sesuatu yang
bertumbuh, menyadari potensi yang terdapat di dalam dirinya, dan mampu

melihat peningkatan dalam diri dan tingkah laku dari waktu ke waktu.
Sebaliknya, seseorang yang kurang baik dalam dimensi ini akan menampilkan
ketidakmampuan untuk mengembangkan sikap dan tingkah laku baru,
mempunyai perasaan bahwa ia adalah seorang pribadi yang stagnan, dan tidak
tertarik dengan kehidupan yang dijalani.

31
Universitas Sumatera Utara

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being
Melalui berbagai penelitian yang dilakukannya, Ryff menemukan bahwa
faktor-faktor sosiodemografis dapat mempengaruhi psychological well-being
seseorang. Faktor-faktor tersebut, antara lain:
a. Usia
Ryff (1989) menemukan adanya perbedaan tingkat psychological well-being
pada individu dari berbagai kelompok usia. Dalam dimensi penguasaan
lingkungan, terlihat profil yang meningkat seiring dengan pertambahan usia.
Semakin bertambah usia seseorang, semakin ia dapat mengetahui kondisi yang
terbaik bagi dirinya. Dengan demikian, individu tersebut juga semakin mampu
mengatur lingkungannya menjadi yang terbaik sesuai dengan keadaan dirinya.

b. Jenis kelamin
Menurut Ryff (1989), satu-satunya dimensi yang menunjukkan perbedaan
signifikan antara laki-laki dan perempuan adalah dimensi hubungan positif
dengan orang lain. Sejak kecil, stereotip gender telah tertanam dalam diri anak
laki-laki yang digambarkan sebagai sosok yang agresif dan mandiri, sedangkan
anak perempuan digambarkan sebagai sosok yang pasif dan tergantung, serta
sensitif terhadap perasaan orang lain (Papalia, Olds, & Feldman, 2003).
Tidaklah mengherankan bahwa sifat-sifat stereotip ini akhirnya terbawa oleh
individu sampai individu tersebut dewasa. Sebagai sosok yang digambarkan
tergantung dan sensitif terhadap perasaan sesamanya, sepanjang hidupnya
perempuan terbiasa untuk membina keadaan harmoni dengan orang-orang di
sekitarnya. Inilah yang menyebabkan mengapa perempuan memiliki skor yang

32
Universitas Sumatera Utara

lebih tinggi dalam dimensi hubungan positif dan dapat mempertahankan
hubungan dengan orang lain.
c. Status sosial ekonomi
Ryff dkk. (dalam Ryan & Deci, 2001) mengemukakan bahwa status sosial

ekonomi berhubungan dengan dimensi penerimaan diri, tujuan hidup,
penguasaan lingkungan, dan pertumbuhan diri. Individu yang memiliki status
sosial ekonomi rendah cenderung membandingkan dirinya dengan orang lain
yang memiliki status sosial ekonomi yang lebih baik dari dirinya (Ryff dalam
Snyder & Lopez, 2002). Individu dengan tingkat penghasilan yang tinggi,
status menikah, dan mempunyai dukungan sosial tinggi pada umumnya akan
memiliki tingkat psychological well-being yang lebih tinggi.
d. Tingkat pendidikan
Ryff, Magee, Kling, & Wling (dalam Snyder & Lopez, 2002) menemukan
bahwa tingkat pendidikan merupakan faktor yang berpengaruh terhadap
psychological well-being seorang individu. Individu yang memiliki tingkat
pendidikan yang lebih baik biasanya akan memiliki psychological well-being
yang lebih baik pula.
e. Budaya
Ryff (dalam Ryff & Keyes, 1995) mengatakan bahwa sistem nilai
individualisme-kolektivisme

memberi

dampak


terhadap

kesejahteraan

psikologis yang dimiliki suatu masyarakat. Budaya barat memiliki skor yang
tinggi dalam dimensi penerimaan diri dan dimensi otonomi, sedangkan budaya

33
Universitas Sumatera Utara

timur yang menjunjung tinggi kolektivisme memiliki skor yang tinggi pada
dimensi hubungan positif dengan orang lain.

B. Problem-Solving Therapy
Problem-solving therapy merupakan salah satu bentuk intervensi yang
menggunakan pendekatan cognitive-behavioral therapy (CBT) yang bertujuan
untuk meningkatkan kemampuan individu dalam mengatasi berbagai kesulitan di
dalam hidupnya. Asumsi dasar dari pendekatan CBT ini adalah adanya simptomsimptom psikopatologi yang seringkali merupakan konsekuensi-konsekuensi
negatif dari coping yang maladaptif dan tidak efektif (Nezu & Nezu, 2009).


1. Definisi problem-solving therapy
Problem-solving therapy adalah suatu intervensi klinis pendekatan positif
yang berfokus pada pelatihan untuk membangun sikap dan keterampilan
pemecahan masalah. Problem-solving therapy dapat digunakan untuk mengurangi
dan/atau mencegah gejala psikopatologis dan meningkatkan kesejahteraan yang
positif dengan membantu individu untuk mengatasi masalah-masalah yang
dihadapinya di dalam kehidupan secara efektif (D‟Zurilla & Nezu, 2010).
Metode problem-solving bertujuan untuk melatih individu agar mampu
berpikir logis dalam usaha menemukan solusi-solusi yang tepat atas permasalahan
yang dihadapinya. Secara lebih terperinci, D‟Zurilla & Nezu (2010) menyatakan
bahwa problem-solving therapy dilakukan untuk mencapai beberapa tujuan,
yakni: (a) meningkatkan orientasi positif individu terhadap suatu masalah; (b)

34
Universitas Sumatera Utara

mengurangi orientasi-orientasi negatif individu; (c) membantu individu agar
mampu menggunakan pemecahan masalah secara rasional; (d) mengurangi
kecenderungan individu menghindari pemecahan masalah; dan (e) meminimalisir

kecenderungan individu untuk bertindak impulsif dan tidak peduli.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa problem-solving therapy
adalah suatu metode intervensi yang digunakan untuk mengurangi dan/atau
mencegah gejala psikopatologis dan meningkatkan kesejahteraan individu dengan
cara menemukan solusi yang tepat untuk mengatasi masalah yang dihadapinya.

2. Konsep teori problem-solving therapy
Problem-solving therapy merupakan salah satu bentuk dari cognitive
behavioral therapy. Teori yang mendasari problem-solving therapy ini terdiri atas
dua model konseptual yang saling berkaitan satu sama lain, yaitu:
a. The social problem-solving model
Social problem-solving merujuk pada pemecahan masalah yang terjadi di
dalam kehidupan sosial sehari-hari. Dengan kata lain, social problem-solving
adalah suatu proses belajar, strategi dalam mengatasi masalah, dan metode untuk
mengendalikan diri. Dikatakan proses belajar dan strategi mengatasi masalah
karena solusi yang diperoleh berdampak pada meningkatnya kemampuan
seseorang dalam menghadapi dan mengatasi suatu masalah. Oleh karena
seseorang mampu mengarahkan dirinya dalam belajar mengatasi masalah, maka
social problem-solving juga digunakan sebagai metode untuk mengendalikan diri

35
Universitas Sumatera Utara

yang dapat mempertahankan keberhasilan suatu intervensi (D‟Zurilla & Nezu,
2010).
Ada tiga konsep utama dalam teori social problem-solving, yakni: (1)
social problem-solving, (2) masalah, dan (3) solusi. ”Social problem-solving”
adalah proses untuk mengarahkan diri baik perilaku maupun kognitif yang
dilakukan oleh seorang individu, pasangan, ataupun kelompok dalam upaya
mengidentifikasi atau menemukan solusi atas suatu masalah yang dihadapi dalam
kehidupan

sehari-hari.

”Masalah”

(atau

situasi

masalah)

merupakan

ketidakseimbangan atau kesenjangan antara keinginan untuk mengatasi masalah
secara adaptif dengan ketersediaan respon yang efektif. Sementara itu, ”solusi”
adalah respon dalam menghadapi suatu situasi atau pola respon yang merupakan
hasil dari proses pemecahan masalah yang digunakan ketika suatu masalah terjadi
(D‟Zurilla & Nezu, 2010).
Berbagai penelitian membuktikan bahwa bila individu memiliki
kemampuan social problem-solving, baik berdiri sendiri maupun disertai dengan
dukungan sosial, dapat mengurangi ataupun meminimalisir dampak dari stress
yang dialami oleh individu tersebut (Dubow & Tisak, Dubow dkk., D‟Zurilla &
Sheedy, Goodman dkk. dalam Siu & Shek, 2009). Selain itu, social problemsolving

merupakan suatu aspek penting dalam proses intrapersonal dan

interpersonal

yang dapat membentuk hubungan yang berkualitas serta

meningkatkan kualitas kehidupan (Felce & Perry, Wallander dalam Siu & Shek,
2009).

36
Universitas Sumatera Utara

b. The relational/problem-solving model of stress and well-being
Dalam problem-solving therapy, simptom-simptom psikopatologi dapat
dipahami dan dicegah atau ditangani secara efektif apabila simptom-simptom
tersebut dianggap sebagai perilaku coping yang tidak efektif atau maladaptif dan
menyebabkan munculnya konsekuensi-konsekuensi negatif baik secara psikologis
maupun sosial, seperti kecemasan, depresi, harga diri yang rendah, dan
terganggunya keberfungsian interpersonal. Oleh karena itu, teori problem-solving
therapy juga didasari pada relational/problem-solving model of stress and wellbeing dimana konsep social problem-solving berperan penting sebagai strategi
coping yang utama dan serbaguna. Strategi tersebut bertujuan meningkatkan
fungsi adaptif dan well-being (kesejahteraan), atau dengan kata lain mengurangi
dan mencegah dampak negatif stress terhadap well-being dan penyesuaian
(adjustment) individu (D‟Zurilla & Nezu, 2010).
Model relational/problem-solving menggabungkan model stress yang
dikemukakan oleh Lazarus dengan model social problem-solving yang telah
dikemukakan sebelumnya (Bell & D‟Zurilla, 2009; D‟Zurilla & Nezu, 2010).
Pada model Lazarus, stress didefinisikan sebagai hubungan antara individu dan
lingkungan yang dinilai oleh individu sebagai situasi yang harus ditangani karena
mengancam kesejahteraan mereka. Pada model relational/problem-solving, stress
dianggap sebagai hasil dari hubungan timbal balik antara tiga variabel, yakni: (1)
stressful life events, (2) emotional stress/well-being, dan (3) problem-solving
coping (D‟Zurilla & Nezu, 2010).

37
Universitas Sumatera Utara

”Stressful life events” merupakan pengalaman-pengalaman hidup yang
dialami seorang individu dan membutuhkan penyesuaian baik secara pribadi,
sosial, maupun biologis. Ada dua jenis stressful life events, yakni major negative
event (kejadian besar yang bersifat negatif) dan daily problems (masalah dalam
kehidupan sehari-hari). ”Major negative event” merupakan pengalaman hidup
yang mempengaruhi keseluruhan aspek kehidupan seorang individu sehingga
memerlukan banyak penyesuaian di dalam kehidupannya (misalnya: perceraian,
kematian orang yang disayangi, kehilangan pekerjaan, penyakit yang dialami).
Sebaliknya ”daily problems” merupakan kejadian-kejadian di dalam kehidupan
yang sifatnya lebih spesifik. Meskipun terjadinya major negative event dan daily
problems tidak bersamaan, kedua hal tersebut bisa saling berkaitan. Misalkan
major negative event, seperti perceraian, biasanya menyebabkan daily problems
yang dapat menyebabkan stress (misalnya: ketidakmampuan membayar tagihan,
harus memikirkan bagaimana cara memenuhi kebutuhan anak-anak). Sebaliknya,
akumulasi dari daily problems yang tidak dapat diselesaikan (misalnya: konflik
rumah tangga, masalah pekerjaan, penggunaan alkohol yang berlebihan) juga
dapat menyebabkan major negative event seperti perceraian (Bell & D‟Zurilla,
2009; D‟Zurilla & Nezu, 2010).
”Emotional stress” merupakan respon emosi individu terhadap peristiwa
yang memicu stress yang diproses oleh kognitif dalam upaya menemukan perilaku
coping yang tepat. Proses kognitif dan perilaku coping serta emotional stress
tersebut dapat bersifat negatif (misalnya: cemas, marah, depresi) atau positif
(misalnya: penuh harapan, ikhlas, senang) tergantung bagaimana bentuk peristiwa

38
Universitas Sumatera Utara

yang dialami oleh individu. Emosi negatif biasanya mendominasi ketika individu
menilai kejadian yang dialaminya sebagai hal yang mengancam kesejahteraannya,
meragukan kemampuannya untuk melakukan coping secara efektif, dan coping
yang dilakukan tidak efektif, maladaptif, atau berlawanan dengan diri sendiri.
Sebaliknya emosi positif mendominasi ketika individu menganggap peristiwa
yang dialaminya sebagai suatu tantangan atau kesempatan untuk maju, yakin
bahwa ia mampu mengatasi masalahnya, dan melakukan respon coping yang
efektif, adaptif, dan sesuai dengan diri sendiri (D‟Zurilla & Nezu, 2010).
Konsep yang paling penting pada model relational/problem-solving adalah
”problem-solving coping”, yakni proses yang menghubungkan semua penilaian
kognitif dan aktivitas coping dengan menggunakan kerangka social problemsolving secara umum. Seseorang dikatakan mampu menerapkan strategi coping
secara efektif apabila menganggap kejadian yang dialaminya sebagai tantangan
atau ”masalah yang harus diselesaikan”, yakin bahwa ia mampu menyelesaikan
masalahnya dengan baik, memahami masalah dan menetapkan tujuan dengan
tepat, mampu menentukan berbagai alternatif solusi atau pilihan coping, memilih
solusi yang terbaik atau paling efektif, mengimplementasikan solusi secara
efektif, dan mengobservasi dan mengevaluasi hasilnya dengan hati-hati (D‟Zurilla
& Nezu, 2010).
Dapat disimpulkan bahwa menurut teori social problem-solving, hubungan
antara social problem-solving dengan suatu penyesuaian didasarkan pada
relational/problem-solving model of stress and well-being. Dalam hal ini, social
problem-solving berfungsi sebagai mediator dan moderator antara stressful life

39
Universitas Sumatera Utara

events yang dialami oleh individu dan well-being individu tersebut (D‟Zurilla;
D‟Zurilla & Nezu; Nezu & D‟Zurilla dalam Bell & D‟Zurilla, 2009).

3. Tahapan-tahapan dalam problem-solving therapy
D‟Zurilla & Goldfried (dalam Martin & Pear, 2007) menetapkan enam
tahapan utama dalam problem-solving therapy, yakni:
a. Orientasi umum (general orientation)
Klien diarahkan untuk memahami masalah yang dihadapinya dan menyadari
bahwa besar kemungkinan mereka mampu mengatasinya secara sistematis
tanpa harus bertindak impulsif. Pada saat menghadapi suatu masalah, klien
dilatih untuk memikirkan beberapa pernyataan, seperti: ”Aku tahu bahwa aku
bisa apabila aku menyelesaikannya secara bertahap” atau ”Aku yakin aku akan
mampu menyelesaikan masalah ini dengan baik.”
b. Menguraikan masalah (problem definition)
Ketika diminta untuk menjelaskan masalah yang mereka hadapi secara
spesifik, kebanyakan klien menjawabnya dengan pernyataan yang kurang jelas
(misalnya: ”Belakangan ini aku sangat sedih”). Apabila latar belakang masalah
dan berbagai penyebab yang memunculkan masalah tersebut dapat diuraikan
secara spesifik, maka suatu masalah dapat lebih mudah dipahami. Misalnya,
berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap individu yang bersedih tersebut
diketahui bahwa ia harus berbagi tempat tinggal dengan orang yang sangat
tidak rapi dan ia merasa tidak sanggup karena terpaksa harus tinggal bersama
dengan orang tersebut.

40
Universitas Sumatera Utara

c. Menentukan berbagai alternatif solusi (generation of alternatives)
Setelah memahami masalah secara tepat, klien diminta untuk memikirkan
berbagai solusi yang mungkin digunakan. Klien dibiarkan berpikir bebas dan
menemukan solusi sebanyak-banyaknya meskipun solusi tersebut cenderung
tidak mungkin untuk digunakan. Misalnya, beberapa solusi yang dipikirkan
klien tersebut: (1) pindah, (2) belajar menerima kondisi yang berantakan, (3)
berbicara secara asertif dengan teman serumah agar menjaga ruangan tetap
rapi, (4) berusaha untuk membuat teman serumah bisa menjaga kerapian, (5)
menegosiasikan perjanjian agar menjaga kerapian dengan teman serumah, (6)
melempar barang-barang teman serumah lewat jendela, (7) menendang teman
serumah keluar lewat jendela.
d. Pengambilan keputusan (decision making)
Pada tahapan ini, klien diajak untuk melihat setiap solusi yang telah dibuatnya
secara seksama dan mengeliminasi solusi-solusi yang tidak mungkin
digunakan, seperti poin (6) dan (7) di atas. Klien diminta untuk memikirkan
apa saja dampak-dampak bila solusi-solusi tersebut digunakan baik dalam
jangka pendek maupun jangka panjang. Berdasarkan pertimbangan tersebut,
klien diminta untuk memilih solusi mana yang paling tepat dari berbagai
alternatif pilihan yang ada.
e. Implementasi (implementation)
Klien kemudian (awalnya dibantu oleh terapis) diminta untuk menyusun
rencana agar dapat menerapkan solusi yang dipilihnya. Beberapa solusi
kemungkinan memerlukan suatu keterampilan baru. Misalnya, apabila klien

41
Universitas Sumatera Utara

memilih poin (5) sebagai solusi terbaik dalam mengatasi masalahnya, maka ia
sebaiknya mempelajari dan memahami apa yang dimaksud dengan kontrak
perilaku. Rencana-rencana klien seharusnya dibuat dengan langkah-langkah
yang terperinci. Agar lebih mudah, klien dapat mengikuti rumus ‟SMART
Action Plan’ berikut ini (dalam Hatcher, Sharon, Blackett, & Collins, 2014):
-

Specific (spesifik)  setiap aksi atau rencana harus dijabarkan secara
spesifik dan tidak ambigu.

-

Measurable (dapat diukur)  menetapkan jadwal pelaksanaan aksi atau
rencana yang dibuat.

-

Achievable (dapat dicapai)  rencana harus realistik dan dapat dilakukan.

-

Relevant to the problem (sesuai dengan masalah)  rencana dan solusi
yang dibuat harus benar-benar sesuai dengan masalah yang dihadapi.

-

Timebound (target waktu)  membuat batasan waktu pada setiap rencana
sehingga klien dapat mengukur sejauh mana keberhasilan rencana tersebut.

f. Verifikasi (verification)
Pada saat rencana yang dibuat sudah dipertimbangkan, maka klien diminta
untuk mencatat bagaimana setiap perubahan yang terjadi untuk memastikan
bahwa solusi yang dipilihnya benar-benar menyelesaikan masalah yang
dihadapinya. Bila tidak berhasil, maka tahapan problem-solving diulang
kembali dan dipergunakan solusi yang lainnya.

42
Universitas Sumatera Utara

C. Perceraian
1. Definisi perceraian
Berdasarkan arti harafiahnya, perceraian adalah berakhirnya suatu
pernikahan bukan karena disebabkan kematian salah satu pasangan. Menurut
Hurlock (1999), perceraian adalah kulminasi dari pernikahan yang buruk dan
terjadi bila antara suami dan isteri sudah tidak mampu lagi mencari cara
penyelesaian yang dapat memuaskan kedua belah pihak. Stinson (dalam Saragih,
2008) menyatakan bahwa perceraian adalah suatu bentuk gangguan hubungan
pernikahan yang dialami oleh orangtua dan dapat mempengaruhi hubungan
orangtua dan anak. Perceraian dapat meningkatkan stress, berkurangnya waktu
dan energi, serta dukungan emosional yang diberikan masing-masing pasangan.
Bhrem (2002) mendefinisikan perceraian sebagai berakhirnya sebuah
hubungan pernikahan yang sebenarnya belum saatnya berakhir. Perceraian sering
diartikan sebagai sesuatu hal yang dapat menyebabkan kehancuran. Akibat yang
ditimbulkan tidak hanya mempengaruhi pasangan yang bercerai, tetapi juga
berdampak pada anak. Argyle & Henderson (dalam Saragih, 2008) mengartikan
perceraian sebagai terputusnya perjanjian pernikahan yang resmi oleh kedua
pasangan.
Dari berbagai definisi di atas disimpulkan bahwa perceraian adalah
berakhirnya ikatan pernikahan formal karena pasangan sudah tidak mampu lagi
menjalani kehidupan pernikahan dengan sebagaimana mestinya.

43
Universitas Sumatera Utara

2. Faktor-faktor penyebab perceraian
Dalam sebuah hubungan pernikahan, perpisahan antara suami isteri dapat
disebut sebagai perceraian bila perpisahan tersebut telah disahkan oleh hukum/
undang-undang pernikahan yang berlaku. Menurut Undang-undang Pernikahan
No. 1 Tahun 1974 Pasal 19 (dalam Saragih, 2008), perceraian antara suami dan
isteri dapat terjadi karena sebab-sebab berikut:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan
lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain atau tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar
kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang
lebih berat setelah pernikahan.
d. Salah

satu

pihak

melakukan

kekejaman/

penganiayaan

berat

yang

membahayakan pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan/ penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami isteri.
f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Menurut Blood (dalam Saragih, 2008), ada beberapa hal yang
menyebabkan terjadinya perceraian. Beberapa diantaranya adalah karena masalah
kekerasan dalam rumah tangga, masalah ekonomi yang disebabkan pendapatan

44
Universitas Sumatera Utara

suami kurang memuaskan, permasalahan seksual yang disebabkan salah satu
pasangan tidak mampu lagi memuaskan pasangannya.
Selanjutnya, sebuah studi yang dilakukan para psikolog dari Universitas
Carolina Utara menyatakan bahwa lebih dari setengah pernikahan yang di
dalamnya terjadi ketidaksetiaan dan perselingkuhan akan berakhir dengan
perceraian. Perselingkuhan dan ketiaksetiaan merupakan penyebab utama
terjadinya perceraian. Hasil penelitian Walthall (dalam Saragih, 2008) pada kasuskasus perceraian di Jepang menunjukkan bahwa perceraian diajukan oleh wanita
dikarenakan faktor menolak hidup bersama pasangan yang sudah pensiun dan
karena pasangannya tidak memenuhi kriteria idamannya.

3. Tahap-tahap dalam proses perceraian
Bahanon, seorang ahli psikologi keluarga, mengungkapkan bahwa suatu
perceraian terjadi melalui sebuah proses. Perceraian yang dialami oleh pasangan
suami dan isteri terjadi melalui beberapa tahapan (dalam Turner & Helms, 1995;
Dariyo, 2003; Soewondo, 2001). Artinya, perceraian merupakan sebuah akhir dari
proses yang didahului oleh peristiwa-peristiwa tertentu sesuai dengan kondisi
hubungan pasangan suami isteri. Misalnya, adanya perselingkuhan, apakah
perselingkuhan dimulai oleh suami atau isteri, maka proses perceraian sedang
terjadi sehingga masing-masing pasangan siap untuk berpisah antara satu dengan
yang lain (Satiadarma, 2001). Lebih lanjut, Bahanon menyatakan bahwa ada
beberapa tahapan dalam proses perceraian, yakni:

45
Universitas Sumatera Utara

a. Perceraian finansial (financial divorce)
Perpisahan yang signifikan antara pasangan suami isteri adalah dalam hal
keuangan, yakni suami tidak lagi berkewajiban untuk memberi uang belanja
keluarga kepada isterinya. Demikian pula isteri tidak lagi memiliki hak untuk
meminta jatah uang belanja keluarga, kecuali masalah keuangan yang
dipergunakan untuk memelihara anak-anak mereka. Walaupun sudah bercerai,
sebagai ayah, ia tetap berkewajiban untuk merawat, membiayai, dan mendidik
anak-anaknya. Meski mereka sudah berstatus janda atau duda akibat
perceraian, mereka tetap merupakan orangtua biologis bagi anak-anak yang
dilahirkan dalam sebuah perkawinan yang sah sebagai anggota keluarga.
Adanya fakta tersebut membawa konsekuensi kewajiban yang melekat secara
alamiah bagi orangtua untuk tetap memberikan biaya perawatan dan
pemeliharaan terhadap anak-anak, sampai mereka sudah mandiri atau
menginjak usia tertentu (misalnya: usia 24 tahun, setelah lulus dari pendidikan
sarjana).
b. Perceraian koparental (coparental divorce)
Setelah bercerai, masing-masing mantan pasangan suami isteri tidak lagi
memiliki kebersamaan dalam mendidik anak-anak mereka karena telah hidup
terpisah dan sendiri lagi, seperti sebelum menikah. Perceraian koparental tidak
mempengaruhi fungsi mereka sebagai orangtua yang tetap berkewajiban untuk
mendidik, membina, dan memelihara anak-anak mereka. Mereka tetap
berkewajiban untuk berkomunikasi dan memberi kasih sayang kepada anakanak, walaupun tidak lagi secara utuh. Untuk melaksanakan tugas pengasuhan,

46
Universitas Sumatera Utara

pasangan yang sudah bercerai biasanya akan membuat perjanjian-perjanjian
yang disepakati bersama agar anak-anak benar-benar merasakan kasih sayang
dan perhatian dari kedua orangtuanya. Namun dalam kenyataannya, banyak
orangtua yang merasa kecewa, terluka, dan depresif. Akibatnya, mereka tidak
mampu melaksanakan tugas koparental secara utuh dan berkesinambungan.
Peristiwa perceraian selalu membayangi pikiran dan perasaannya sehingga
menyebabkan komitmen koparental terbengkalai. Pada akhirnya, anak-anak
semakin menjadi korban penelantaran dari orangtua biologis (Satiadarma
dalam Gunarsa, 2004). Anak-anak pun semakin terluka, kecewa, sedih, dan
sakit hati atas perlakuan tersebut. Mereka tumbuh dan berkembang dalam
suasana dan situasi yang tidak menguntungkan sehingga kelak dapat menjadi
manusia dewasa yang tidak utuh dan mengalami gangguan keseimbangan jiwa.
c. Perceraian hukum (law divorce)
Perceraian secara resmi ditandai dengan sebuah keputusan hukum melalui
pengadilan. Bagi mereka pasangan Muslim (beragama Islam), Pengadilan
Agama akan mengeluarkan keputusan talak I, II, dan III sebagai landasan
hukum perceraian antara pasangan suami isteri. Sedangkan pasangan yang nonMuslim (seperti Protestan, Katolik, Hindu, maupun Budha), pengadilan umum
negara atau kantor catatan sipil berperan untuk memutuskan dan mengesahkan
perceraian mereka. Dengan keluarnya keputusan resmi tersebut, maka masingmasing individu mantan pasangan suami dan isteri memiliki hak yang sama
untuk menentukan masa depan hidupnya sendiri tanpa dipengaruhi oleh pihak
lain. Mereka akan memiliki status yang baru, yaitu sebagai janda atau duda.

47
Universitas Sumatera Utara

Oleh karena itu, mereka berhak untuk menikah lagi dengan orang lain yang
dianggap cocok dengan dirinya. Mereka tidak perlu merasa takut terhadap
siapapun dalam mengambil keputusan tersebut karena telah bercerai resmi
secara hukum. Dengan kata lain, mereka tidak dianggap berselingkuh apabila
berpacaran, bertunangan, maupun menikah dengan orang lain.
d. Perceraian komunitas (community divorce)
Menikah merupakan suatu upaya untuk mengikat dua komunitas budaya, adat
kebiasaan, sistem sosial kekerabatan, maupun kepribadian yang berbeda agar
menjadi satu. Mereka bukan lagi sebagai dua orang individu yang berbeda,
tetapi telah menganggap dirinya sebagai satu kesatuan yang utuh dalam
keluarga. Apa yang mereka miliki akan menjadi milik bersama. Namun, ketika
mereka telah resmi bercerai, masing-masing individu akan kembali pada
komunitas sebelumnya. Dengan kata lain, mereka mengalami perceraian
komunitas. Mereka tidak akan berkomunikasi lagi, berhubungan, ataupun
mengadakan kerja sama dengan mantan pasangan hidupnya, mertua, maupun
komunitas masyarakat sebelumnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa perceraian
komunitas keluarga juga mempengaruhi relasi dengan komunitas tempat
bekerja. Atasan maupun rekan-rekan sekerja mempersepsikan hal-hal yang
buruk terhadap seseorang yang bercerai, yakni gagal dan tidak mampu
mengurus keluarga, tidak sanggup membina cinta dengan pasangan hidup, dan
tidak dapat dipercaya untuk mengemban misi perkawinan. Akibatnya,
komunitas tempat bekerja mengambil sikap atau menjaga jarak selama jangka
waktu tertentu sampai tercipta pemahaman yang benar terhadap permasalahan

48
Universitas Sumatera Utara

yang menimbulkan perceraian tersebut. Setelah itu, barulah pemulihan
hubungan dengan komunitas tempat bekerja dapat terjadi.
e. Perceraian secara psikoemosional (psychoemotional divorce)
Sebelum bercerai secara resmi, adakalanya masing-masing individu merasa
jauh secara emosional dengan pasangan hidupnya, meskipun mungkin mereka
masih tinggal dalam satu rumah. Pertemuan secara fisik, tatap muka,
berpapasan, atau hidup serumah, bukan tolok ukur sebagai tanda keutuhan
hubungan antara suami dan isteri. Masing-masing mungkin tidak bertegur sapa,
berkomunikasi, acuh tak acuh, cuek, tidak saling memperhatikan, dan tidak
memberikan kasih sayang. Kehidupan mereka terasa hambar, kaku, tidak
nyaman, dan tidak bahagia. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
walaupun secara fisik berdekatan, akan tetapi mereka merasa jauh dan tidak
ada ikatan emosional sebagai pasangan suami isteri. Pada saat terjadinya
perceraian, ikatan emosional yang telah terbentuk sejak jatuh cinta dan
berkembang hingga akhirnya masing-masing pasangan mengucapkan ikrar
kesetiaan dalam acara ritual perkawinan akhirnya hancur dan masing-masing
mencoba untuk menekannya ke dalam alam bawah sadar. Mereka seolah-olah
tidak pernah melakukan suatu perkawinan yang resmi atau menganggapnya
hanya sebagai sebuah mimpi, sehingga pikiran dan perasaan mereka berusaha
untuk meniadakan fakta sejarah perkawinan yang pernah mereka alami.
f. Perceraian secara fisik (physical divorce)
Perceraian secara fisik ialah suatu kondisi dimana masing-masing individu
tidak lagi tinggal dalam satu rumah dan telah menjauhkan diri dari mantan

49
Universitas Sumatera Utara

pasangan hidupnya. Masing-masing tinggal di rumah atau tempat yang
berbeda. Mereka benar-benar tidak bertemu secara fisik dan tidak lagi
berkomunikasi secara intensif. Dengan demikian, mereka tidak memperoleh
kesempatan untuk melakukan hubungan seksual lagi dengan mantan pasangan
hidupnya. Oleh karena itu, mereka harus menahan diri agar tidak menyalurkan
libido seksual dengan siapapun. Perpisahan fisik biasanya terjadi setelah
pasangan suami isteri berpisah secara hukum melalui pengadilan. Proses
perpisahan secara fisik diawali dengan suatu kondisi psikoemosional yang
tidak seimbang dalam diri masing-masing pasangan sehingga mendorong
seorang pasangan untuk tidak bertemu muka, tidak berkomunikasi, dan saling
mendiamkan pasangan.

4. Dampak perceraian terhadap anak
Secara keseluruhan, dari berbagai penelitian diperoleh gambaran mengenai
dampak perceraian pada anak, yakni meningkatnya permasalahan baik dalam hal
emosi maupun perilaku. Beberapa masalah yang kerap terjadi, antara lain masalah
dalam hal akademik, dikeluarkan dari sekolah, perilaku antisosial, depresi, dan
kecemasan. Berkaitan dengan hal tersebut, usia anak saat terjadinya perceraian
merupakan faktor penting dalam memprediksi masalah apa yang akan dihadapi
anak setelah orangtuanya bercerai. Berdasarkan penelitiannya, Wallerstein (dalam
Wenar, 2000) membagi dampak perceraian terhadap anak ke dalam tiga kelompok
usia berikut ini:

50
Universitas Sumatera Utara

a. Prasekolah
Pada awal pemeriksaan, kelompok anak prasekolah menunjukkan masalah
yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok usia di atasnya. Masalah
utama pada anak kelompok usia ini adalah separation anxiety. Anak menjadi
manja, bergantung pada orang lain, dan suka mencari perhatian. Beberapa anak
menunjukkan perilaku regresif, seperti mengompol dan bermain kotor-kotoran,
mengisap jempol, serta masturbasi.
b. Usia sekolah
Simptom-simptom yang ditunjukkan oleh kelompok anak usia sekolah pasca
perceraian orangtua mereka tidak begitu tampak jelas seperti pada anak
prasekolah. Namun dampak negatif perceraian tersebut tampak pada
menurunnya prestasi di sekolah dan perilaku menarik diri dari lingkungan.
Pada umumnya, dampak negatif tersebut lebih banyak dialami oleh anak lakilaki dimana mereka menjadi lebih mudah marah dan agresi.
c. Remaja
Pada awalnya, meskipun tidak seburuk kelompok anak usia di bawahnya,
remaja juga terganggu dengan perceraian orangtua mereka. Mereka mengalami
bagaimana sakitnya pengkhianatan, merasa marah dan kehilangan, serta
kebingungan akan memihak kepada siapa. Mereka mulai memikirkan
bagaimana pernikahan mereka di masa yang akan datang dan kecukupan
finansial mereka. Namun, pada umumnya remaja mampu menjauhkan diri
mereka dari keluarga dengan meningkatkan aktivitas dan menghindari dari
rumah. Selain itu, kebanyakan dari mereka mampu menyokong dan menaruh

51
Universitas Sumatera Utara

rasa empati terhadap orangtua mereka. Sayangnya, sepuluh tahun kemudian
gambaran kondisi tersebut berubah. Perceraian yang terjadi memberikan
dampak yang sangat besar terhadap kehidupan mereka. Memasuki usia dewasa,
mereka kembali mengingat kenangan yang buruk mengenai keretakan suatu
pernikahan. Perasaan sedih, benci, dan kehilangan yang mereka rasakan
semakin besar, terutama remaja wanita. Mereka khawatir akan mengalami
pernikahan yang tidak bahagia seperti yang dialami oleh orangtua mereka.

D. Problem-Solving Therapy Untuk Meningkatkan Psychological Well-Being
Remaja Dari Keluarga Bercerai
Kekacauan keluarga dapat diartikan sebagai pecahnya suatu unit keluarga
atau retaknya struktur peran sosial saat satu atau beberapa anggota keluarga tidak
dapat menjalankan kewajiban peran secukupnya. Salah satu bentuk kekacauan
keluarga adalah perceraian karena terputusnya hubungan keluarga akibat salah
satu atau kedua pasangan memutuskan untuk saling meninggalkan serta berhenti
melaksanakan kewajiban perannya (Goode, 2004). Perceraian dapat juga diartikan
sebagai tindakan yang diambil oleh pasangan suami isteri untuk memutuskan
ikatan pernikahannya, baik secara batin maupun lahir dan disahkan oleh pihak
pengadilan sehingga tidak ada lagi tanggung jawab diantara keduanya baik secara
lahir maupun batin.
Banyak faktor yang mengakibatkan terjadinya kasus perselisihan dalam
keluarga yang berakhir dengan perceraian. Faktor tersebut, antara lain: persoalan
ekonomi, perbedaan usia yang besar, keinginan memperoleh anak, dan persoalan

52
Universitas Sumatera Utara

prinsip hidup yang berbeda. Faktor lainnya berupa perbedaan penekanan dan cara
mendidik anak, pengaruh dukungan sosial dari pihak luar, tetangga, sanak
saudara, sahabat, dan situasi masyarakat yang terkondisi. Semua faktor ini
menimbulkan suasana yang keruh dan meruntuhkan kehidupan rumah tangga
(Dagun, 2002).
Kondisi setelah bercerai secara tidak langsung dapat mempengaruhi
psychological well-being pada anak-anak, seperti yang dikatakan Ryff (1989)
bahwa pengalaman hidup dapat mempengaruhi kondisi psychological well-being
seseorang. Kondisi keluarga yang penuh konflik dan pertengkaran orangtua yang
berakhir

pada

perceraian

dapat

menimbulkan

kecemasan

dan

rasa

ketidakmampuan menjalani kehidupan pada anak. Anak menjadi sedih karena
kehilangan anggota keluarga, sakit hati, marah, menyalahkan diri sendiri, dan
pada akhirnya dapat mengancam kondisi psychological well-being mereka. Anak
menjadi tidak dapat menerima keadaan apa adanya serta tidak memiliki tujuan
hidup yang sesuai dengan kebutuhan hidupnya (Dariyo, 2007)
Psychological well-being penting ketika individu memasuki usia muda,
seperti pada masa usia remaja. Secara umum, remaja adalah mereka yang berusia
12-21 tahun (Mӧnks, Knoers, & Haditono, 2002). Remaja merupakan masa
transisi (peralihan) untuk menuju masa dewasa. Mereka ingin memperoleh
kesempatan untuk mengembangkan diri guna mewujudkan self-identity (jati diri)
mereka. Kondisi keluarga serta bagaimana peranan orangtua dalam pembentukan
self-identity remaja akan mempengaruhi psychological well-being remaja tersebut
(Berk, 2007).

53
Universitas Sumatera Utara

Apabila remaja tumbuh di dalam keluarga yang harmonis, ia akan mampu
menemukan self-identity dengan baik. Sebaliknya, apabila remaja melihat tidak
adanya kedamaian ataupun kerukunan di antara kedua orangtuanya, remaja akan
berusaha mencari self-identity mereka dengan cara yang salah. Mereka akan
mencari kasih sayang dan perhatian dari pihak lain, seperti melakukan tindakan
kenakalan-kenakalan di luar rumah (Dariyo, 2004).
Problem-solving therapy dapat menjadi pendekatan terapi yang efektif
bagi individu dalam menghadapi berbagai stressful live events atau kesulitan
hidup yang dialaminya (D‟Zurilla & Nezu, 2010). Perceraian sebagai salah satu
bentuk major negative event yang dialami oleh individu jika tidak diselesaikan
secara tepat akan memunculkan daily problems yang dapat mempengaruhi pada
kesejahteraannya (well-being). Oleh karena itu dibutuhkan suatu upaya untuk
mengurangi konsekuensi negatif dari perceraian tersebut, yaitu meningkatkan
kemampuan untuk memecahkan suatu masalah.
Problem-solving therapy sudah terbukti efektif mengatasi berbagai
masalah psikologis maupun masalah perilaku yang muncul akibat stressful live
events yang dialami oleh individu. Problem-solving therapy dapat mengajarkan
individu agar tidak memandang setiap peristiwa negatif yang dialaminya sebagai
suatu ancaman melainkan menganggapnya sebagai sebuah tantangan. Selain itu,
problem-solving therapy dapat membantu individu untuk meningkatkan selfefficacy mereka, mengendalikan emosi negatif, mengurangi perilaku impulsif, dan
belajar menyelesaikan masalah mereka secara efektif (Bell & D‟Zurilla, 2009).

54
Universitas Sumatera Utara

Dengan kata lain, tujuan dari pemberian problem-solving therapy adalah
untuk mengurangi dan/atau mencegah gejala psikopatologis dan meningkatkan
kesejahteraan yang positif dengan membantu individu untuk mengatasi masalahmasalah yang dihadapinya di dalam kehidupan secara efektif (D‟Zurilla & Nezu,
2010). Oleh karena itu, problem-solving therapy diharapkan dapat membantu
remaja untuk mengatasi masalah mereka berkaitan dengan perceraian orangtua
mereka secara efektif sehingga well-being mereka dapat menjadi lebih positif.

E. Hipotesa Penelitian
Hipotesa dalam penelitian ini adalah ada pengaruh problem-solving
therapy dalam meningkatkan psychological well-being remaja dari keluarga
bercerai.

55
Universitas Sumatera Utara

F. Paradigma Penelitian
Remaja:
masa pembentukan self-identity

Major Negative Event:
perceraian/ perpisahan orangtua

Problem-solving therapy dilakukan
sebanyak 14 sesi yang terdiri dari 6
tahapan, yakni:
(1) General orientation
(2) Problem definition
(3) Generation of alternatives
(4) Decision making
(5) Implementation
(6) Verification

Daily Problems:
harus melakukan berbagai penyesuaian terhadap
masalah emosi, masalah finansial, konflik
orangtua, prestasi akademis, dsb

Problem-solving therapy bertujuan
untuk:
a) Meningkatkan orientasi positif
individu terhadap suatu masalah,
b) Mengurangi orientasi negatif
individu,
c) Membantu individu memecahkan
masalah secara rasional,
d) Mengurangi kecenderungan
individu menghindari pemecahan
masalah, dan
e) Meminimalisir kecenderungan
individu untuk bertindak impulsif
dan tidak peduli.

Memandang masalah secara negatif/ tidak
mampu menyelesaikan masalah secara efektif

Keterangan:

Tingkat psychological well-being remaja
cenderung rendah

= mengalami
= menyebabkan

Psychological well-being remaja mengalami
peningkatan

= efektif

56
Universitas Sumatera Utara