Penerapan Well-Being Therapy untuk Meningkatkan Psychological Well-Being pada Penderita Kanker Payudara

BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Kanker Payudara

1. Definisi Kanker Payudara

  Kanker adalah istilah umum untuk pertumbuhan sel tidak normal yaitu tumbuh sangat cepat dan tidak terkontrol yang dapat menyusup ke jaringan tubuh normal dan menekan jaringan tubuh normal sehingga mempengaruhi fungsi tubuh (dalam Diananda, 2009). Kanker adalah kelompok penyakit, dimana sel tubuh berkembang, berubah, dan menduplikasikan diri diluar kendali. Biasanya, nama kanker diberikan berdasarkan bagian tubuh dimana kanker pertama kali tumbuh. Jadi, kanker payudara adalah tumor ganas yang telah berkembang dari sel-sel yang ada di dalam payudara. Kanker payudara merujuk pada pertumbuhan serta perkembangbiakan sel abnormal yang muncul pada jaringan payudara (dalam Chyntia, 2009). Kanker payudara adalah suatu penyakit dimana terjadi pertumbuhan berlebihan atau perkembangan tidak terkontrol dari sel-sel (jaringan) payudara. Kanker bisa mulai tumbuh di dalam kelenjar susu, saluran susu, jaringan lemak maupun jaringan ikat pada payudara (dalam Rahayu, 1991).

  Payudara dianggap sebagai simbol kewanitaan dan kesuburan bagi kaum wanita. Selain berfungsi sebagai penghasil air susu. Payudara juga mempunyai fungsi sebagai simbol kewanitaan (body image) dan fungsi erotik atau seksual terhadap lawan jenis. Oleh karena itu adanya penyakit atau pembelahan pada payudara menimbulkan ketakutan bagi setiap wanita. Kanker payudara biasa menyerang wanita yang berusia antara 35-45. Sel-sel yang tidak normal (sel kanker) tumbuh dan membelah membentuk semacam tumor. Jika tidak cepat diatasi kanker ini akan menyebar bagian tubuh lainnya sehiuggga dapat menimbulkan kematian.

  

12

2. Penyebab Kanker Payudara

  Penyebab spesifik kanker payudara masih belum diketahui, tetapi menurut Moningkey dan Kodim (dalam Chyntia, 2009) terdapat banyak faktor risiko yang diperkirakan mempunyai pengaruh terhadap terjadinya kanker payudara, diantaranya: a.

  Faktor reproduksi Karakteristik reproduktif yang berhubungan dengan risiko terjadinya kanker payudara adalah nuliparitas, menarche pada umur muda, menopause pada umur lebih tua, dan kehamilan pertama pada umur tua. Risiko utama kanker payudara adalah bertambahnya umur. Diperkirakan, periode antara terjadinya haid pertama dengan umur saat kehamilan pertama merupakan window of initiation perkembangan kanker payudara. Secara anatomi dan fungsional, payudara akan mengalami atrofi dengan bertambahnya umur. Kurang dari 25% terjadi pada masa sebelum menopause sehingga diperkirakan awal terjadinya tumor terjadi jauh sebelum terjadinya perubahan klinis.

  b.

  Penggunaan hormon Hormon estrogen berhubungan dengan terjadinya kanker payudara. Laporan dari

  Harvard School of Public Health menyatakan bahwa terdapat peningkatan kanker

  payudara yang bermakna pada para pengguna terapi estrogen replacement. Suatu metaanalisis menyatakan bahwa walaupun tidak terdapat risiko kanker payudara pada pengguna kontrasepsi oral, wanita yang menggunakan obat ini untuk waktu yang lama mempunyai risiko tinggi untuk mengalami kanker ini sebelum menopause.

  c.

  Obesitas Terdapat hubungan yang positif antara berat badan dan bentuk tubuh dengan kanker payudara pada wanita pasca menopause. Penelitian di negara-negara Barat dan bukan Barat juga menunjukkan bahwa terdapat pengaruh diet terhadap terjadinya keganasan ini. d.

  Konsumsi lemak Studi prospektif selama 8 tahun tentang konsumsi lemak dan serat dalam hubungannya dengan risiko kanker payudara pada wanita umur 34 sampai 59 tahun, ditemukan bahwa konsumsi lemak diperkirakan sebagai suatu faktor risiko terjadinya kanker payudara.

  e.

  Radiasi Eksposur radiasi ionisasi selama atau sesudah pubertas meningkatkan terjadinya risiko kanker payudara. Dari beberapa penelitian yang dilakukan disimpulkan bahwa risiko kanker dan radiasi berhubungan secara linier dengan dosis dan umur saat terjadinya eksposur.

  f.

  Riwayat keluarga dan faktor genetik Riwayat keluarga merupakan komponen yang penting dalam riwayat penderita yang akan dilaksanakan screening untuk kanker payudara. Terdapat peningkatan risiko keganasan ini pada wanita yang keluarganya menderita kanker payudara. Pada studi genetik ditemukan bahwa kanker payudara berhubungan dengan gen tertentu. Apabila terdapat BRCA 1, yaitu suatu gen suseptibilitas kanker payudara, probabilitas untuk terjadi kanker payudara sebesar 60% pada umur 50 tahun dan sebesar 85% pada umur 70 tahun.

  Sementara beberapa faktor lain yang menunjukkan kemungkinan seorang wanita dapat menderita kanker payudara adalah sebagai berikut (dalam Dixon & Leonard, 2002): a.

  Menunda kehamilan Wanita yang belum hamil sampai melebihi usia 30 tahun, atau yang belum pernah melahirkan, memiliki risiko lebih besar daripada mereka yang hamil pertama kali di usia belasan tahun. b.

  Menyusui Seorang wanita yang telah menyusui satu anak atau lebih memiliki risiko lebih rendah daripada wanita yang tidak pernah menyusui.

  c.

  Sel-sel payudara yang abnormal Beberapa wanita yang pada kondisi non-kanker ditemukan menderita ketidaknormalan pada sel-sel payudara tertentu nantinya bisa menjadi kanker. Seorang wanita dengan masalah ini, dikenal sebagai hyperplasia tidak normal, membutuhkan check-up teratur.

  d.

  Minum alkohol dan merokok Beberapa studi menunjukkan wanita yang minum banyak alkohol memiliki risiko lebih tinggi daripada mereka yang tidak minum alkohol. Merokok tidak dihubungkan secara langsung dengan risiko kanker payudara, tetapi berhubungan dengan penyakit lain dan kesehatan secara menyeluruh.

  e.

  Mengkonsumsi pil KB Ada sedikit peningkatkan risiko pada wanita yang mengkonsumsi pil KB. Risiko ini bersifat sementara dan hilang setelah 10 tahun berhenti mengkonsumsi pil KB.

  Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor risiko kanker payudara adalah faktor reproduksi, penggunaan hormon, obesitas, konsumsi lemak, radiasi, riwayat keluarga dan faktor genetik, penundaan kehamilan, tidak menyusui, sel-sel payudara yang abnormal, minum alkohol dan merokok, serta mengkonsumsi pil KB.

3. Gejala dan Stadium Kanker Payudara

  Menurut Luwia (2003), gejala kanker payudara pada tahap dini biasanya tidak menimbulkan keluhan. Penderita merasa sehat, tidak nyeri dan tidak terganggu aktivitas sehari-hari. Satu-satunya gejala yang mungkin dirasakan pada stadium dini adalah adanya benjolan kecil di payudara. Keluhan baru timbul bila penyakit sudah memasuki stadium lanjut. Keluhan yang dirasakan diantaranya seperti: a.

  Ada benjolan pada payudara bila diraba dengan tangan b.

  Bentuk dan ukuran payudara berubah, berbeda dari sebelumnya c. Luka pada payudara yang sudah lama, dan tidak sembuh dengan pengobatan d.

  Eksim pada puting susu dan sekitarnya yang sudah lama, dan tidak sembuh dengan pengobatan e.

  Keluar darah, nanah, atau cairan encer dari puting susu atau keluar air susu pada wanita yang sedang tidak hamil atau tidak sedang menyusui f.

  Puting susu tertarik ke dalam g.

  Kulit payudara mengerut seperti kulit jeruk (Peaud de orange) Menurut Djindarbumi (dalam Ramli, 2003), pembagian stadium kanker payudara yang disesuaikan dengan aplikasi klinis dibagi ke dalam 4 stadium berikut:

  Stadium I : Tumor terbatas dalam payudara, bebas dari jaringan sekitarnya, tidak ada fiksasi/infiltrasi ke kulit dan jaringan yang di bawahnya (otot). Besar tumor 1-2 cm, dan kelenjar getah bening regional belum teraba. Stadium II : Sama seperti stadium I, hanya saja besar tumor 2,5-5 cm, dan sudah ada satu atau beberapa kelenjar getah bening aksila yang masih bebas dengan diameter kurang dari 2 cm. Stadium III, dibagi dalam: Stadium IIIA : Tumor sudah meluas dalam payudara (5-10 cm) tapi masih bebas di jaringan sekitarnya, dan kelenjar getah bening aksila masih bebas satu sama lain. Stadium IIIB (local advanced) : Tumor sudah meluas dalam payudara (5-10 cm), fiksasi pada kulit atau dinding dada, kulit merah dan ada oedema (lebih dari 1/3 permukaan kulit payudara), ulserasi dan atau nodul satelit, kelenjar getah bening aksila melekat satu sama lain atau terhadap jaringan sekitarnya. Diameter lebih dari 2,5 cm, belum ada metastase jauh. Stadium IV : Tumor seperti pada yang lain (stadium I, II, dan III), tetapi sudah disertai dengan kelenjar getah bening aksila supra-klavkula dan metastase jauh lainnya.

4. Penanganan dan Pengobatan Medis Kanker Payudara

  Penanganan dan pengobatan penyakit kanker payudara tergantung dari tipe dan stadium yang dialami penderita. Umumnya seseorang baru diketahui menderita penyakit kanker payudara setelah menginjak stadiun lanjut yang cukup parah. Hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan atau rasa malu sehingga terlambat untuk diperiksakan ke dokter atas kelainan yang dihadapinya. Pengobatan kanker payudara dibagi menjadi dua jenis, yaitu pengobatan lokal dan sistemik. Pembedahan dan radioterapi (terapi radiasi) merupakan pengobatan lokal yang digunakan untuk mengangkat, merusak, atau mengontrol sel kanker pada area spesifik. Sedangkan kemoterapi merupakan pengobatan sistemik yang digunakan untuk merusak atau mengontrol sel kanker melalui seluruh tubuh (Odgen, 2004). Pembedahan merupakan pengobatan primer kanker payudara. Selain pembedahan, terdapat pengobatan yang dinamakan adjuvant therapy yaitu pengobatan yang diberikan untuk melengkapi pengobatan primer agar meningkatkan kesempatan penyembuhan yang terdiri dari kemoterapi dan radiasi (Odgen, 2004). Di bawah ini merupakan penjelasan tiga tipe dasar dari pengobatan kanker, yaitu pembedahan, radiasi, dan kemoterapi, beserta dampaknya.

a. Pembedahan

  Pada kanker payudara yang diketahui sejak dini maka pembedahan adalah tindakan yang tepat. Dokter akan mengangkat benjolan serta area kecil sekitarnya yang lalu menggantikannya dengan jaringan otot lain (lumpectomy). Pembedahan dilakukan berdasarkan ukuran kanker, letak kanker dan penyebarannya (dalam Odgen, 2004). Secara garis besar, ada 3 tindakan pembedahan atau operasi kanker payudara diantaranya: 1)

  Radical Mastectomy, yaitu operasi pengangkatan sebagian dari payudara (lumpectomy). Operasi ini selalu diikuti dengan pemberian radioterapi. Biasanya

  lumpectomy direkomendasikan pada penderita yang besar tumornya kurang dari 2 cm dan letaknya di pinggir payudara.

  2) Total Mastectomy, yaitu operasi pengangkatan seluruh payudara saja, tetapi bukan kelenjar di ketiak.

  3) Modified Radical Mastectomy, yaitu operasi pengangkatan seluruh payudara, jaringan payudara di tulang dada, tulang selangka dan tulang iga, serta benjolan di sekitar ketiak.

  Sejumlah pasien kanker payudara melaporkan masalah-masalah yang timbul setelah dilakukannya pembedahan. Mulai dari rasa ketidaknyamanan segera setelah pembedahan sampai dengan masalah-masalah kronik seperti kaku, mati rasa, bengkak, dan lelah yang dapat dirasakan selama berminggu-minggu sampai bertahun-tahun (dalam Ricks, 2005). Pembedahan juga dapat mengakibatkan perubahan bentuk dan ukuran payudara (dalam Odgen, 2004). Perubahan-perubahan penampilan fisik akibat pembedahan tersebut dapat terjadi secara permanen (dalam Feuerstein, 2007). Masalah lainnya yang sering dihadapi setelah proses pembedahan adalah perubahan cara berpikir tentang tubuh mereka dan efeknya terhadap perasaan dan aktivitas seksual. Kebanyakan wanita melihat payudaranya sebagai bagian yang penting dari feminitas dan identitas seksual (dalam Odgen, 2004). Apalagi di kebanyakan budaya, terdapat stereotip seksual yang kuat dimana payudara dianggap secara simbolik berkaitan dengan kehangatan, keibuan, dan kasih sayang. Jika bagian tubuh terpenting yang tampak diamputasi atau dimutilasi, hal ini kemudian menjadi sebuah alasan bahwa body image akan ikut terpengaruh.

  Perubahan body image ini akan berdampak pada fungsi psikologis dan seksual pada seorang wanita. Wanita tersebut dapat mengalami distress karena hal tersebut sehingga biasanya mereka akan mulai memakai baju yang sangat longgar untuk menyamarkan bentuk payudara mereka atau menjadi pobia sosial dan menarik diri dari interaksi dengan orang lain (dalam Tavistock dan Routledge, 2002). Oleh karena itu, sulit bagi mereka untuk menerima bahwa pengobatan diartikan sebagai mutilasi atau kehilangan sesuatu yang sangat terkait dengan seksualitas mereka. Kehilangan dari satu atau keduanya akan menambah beban akan fakta bahwa mereka terkena kanker (dalam Odgen, 2004). Kehilangan payudara pada akhirnya dapat menciptakan disfungsi seksual yang parah sebagai bentuk hilangnya self-image, rendahnya self-esteem, hilangnya

  

perceived atrractiveness , rasa malu, dan kehilangan gairah (dalam Tavistock dan

Routledge, 2002).

  Efek samping yang juga muncul dari pembedahan lumpectomy ataupun

  

mastectomy adalah terjadinya infeksi dan munculnya sejumlah cairan pada luka bekas

  pembedahan (dalam Ricks, 2005). Dalam jangka panjang, terdapat risiko komplikasi yang besar, kondisi ini dimanakan lymphedema dimana lengan akan membengkak yang meskipun dapat diatasi namun tidak dapat disembuhkan (dalam Odgen, 2004). Beberapa wanita menginginkan agar payudaranya tetap utuh dengan banyak cara, sementara wanita lainnya merasa bahwa mereka hanya dapat menyelamatkan payudaranya jika keduanya diangkat sekaligus. Beberapa wanita, yang menganggap bahwa mastectomy membuat mereka merasa sakit secara emosional, mungkin menginginkan rekonstruksi payudara dengan segera, sementara wanita yang lainnya cenderung untuk menghindari pembedahan dan puas hanya dengan memakai prosthesis (benda berbentuk seperti payudara) di dalam bra mereka (dalam Odgen, 2004).

b. Radiasi

  Terapi radiasi merupakan pengobatan kanker yang menggunakan X-ray berenergi tinggi untuk membunuh sel kanker atau menahannya agar tidak berkembang. Keputusan tentang seberapa banyak kadar dan seberapa lama radiasi diberikan tergantung dari kadar, tipe, dan tahap kanker. Terdapat dua tipe dari terapi radiasi yaitu terapi radiasi internal dan terapi radiasi eksternal. Terapi radiasi internal menggunakan substansi radioaktif melalui suntik, kawat atau pipa yang ditempatkan langsung di dalam atau di dekat kanker.

  Sedangkan terapi radiasi eksternal menggunakan mesin di luar tubuh untuk mengirimkan radiasi ke arah kanker. Cara terapi radiasi diberikan tergantung pada tipe dan tahap kanker yang sedang diobati (dalam Bellenir, 2009).

  Terapi radiasi sering diberikan bersama pengobatan kanker yang lain. Radiasi dapat diberikan bersama dengan pembedahan. Radiasi mungkin akan diberikan sebelum, sesudah atau selama pembedahan. Dokter mungkin akan melakukan radiasi sebelum pembedahan, untuk mengurangi ukuran kanker, atau dilakukan setelah pembedahan untuk membunuh sel kanker yang masih tersisa. Terkadang, terapi radiasi diberikan selama proses pembedahan sehingga dapat langsung menuju ke kanker tanpa harus menyentuh kulit. Model terapi radiasi ini dinamakan intraoperative radiation (dalam Feuerstein, 2007). Radiasi juga dapat diberikan bersama dengan kemoterapi. Radiasi mungkin akan diberikan pada saat sebelum, selama, dan sesudah kemoterapi. Pada saat sebelum ataupun selama kemoterapi, terapi radiasi berfungsi untuk mengurangi kanker sehingga kemoterapi dapat bekerja dengan lebih baik. Sedangkan setelah kemoterapi, terapi radiasi dapat digunakan untuk membunuh sel kanker yang tersisa (dalam Feuerstein, 2007).

  Efek samping radiasi yang dapat dirasakan adalah mual dan muntah, penurunan jumlah sel darah putih, infeksi/peradangan, reaksi pada kulit seperti terbakar sinar matahari, rasa lelah, sakit pada mulut dan tenggorokan, diare dan kebotakan (dalam Chyntia, 2009). Terapi radiasi dapat menyebabkan luka kecil pada paru-paru, sehingga mengakibatkan iritasi dan batuk, atau terkadang sulit bernapas (dalam Dixon dan Leonard, 2002). Beberapa pasien kehilangan selera makannya dan mengalami kesulitan pada sistem pencernaan mereka selama pengobatan (Odgen, 2004).

  Efek samping tersebut bersifat kumulatif, beberapa pasien semakin merasa buruk pada akhir rangkaian pengobatan daripada awal pengobatan. Pada sebuah studi, hampir sepertiga dari pasien masih mengeluh akan rasa lelah yang berlebihan setelah terapi radiasi dan masih dirasakan setahun setelah pengobatan berakhir (Fallowfield, dalam Tavistock & Routledge, 2002). Lucas (dalam Tavistock & Routledge, 2002) menemukan bahwa terdapat korelasi yang kuat antara jumlah terapi radiasi yang diberikan, reaksi yang tidak menyenangkan, dan berikutnya psychiatric morbidity, akan tetapi terkadang pikiran- pikiran akan pengobatan saja pun cukup untuk menciptakan kecemasan. Tidak disangkal bahwa beberapa kecemasan dan depresi tersebut berkaitan dengan adanya diagnosa kanker payudara, sehingga penyakit ini membuat wanita khawatir bahkan meskipun mereka memulai terapi radiasi dengan pikiran positif dan optimis.

c. Kemoterapi

  Kemoterapi merupakan proses pemberian obat-obatan anti kanker dalam bentuk pil cair atau kapsul atau melalui infus yang bertujuan membunuh sel kanker (dalam Chyntia, 2009). Jadwal pengobatan kemoterapi sangat bervariasi. Seberapa sering dan seberapa lama pasien mendapatkan kemoterapi tergantung pada tipe dan stadium kanker, tujuan pengobatan (apakah kemoterapi digunakan untuk mengobati kanker, mengontrol perkembangannya, atau mengurangi gejala-gejala), tipe kemoterapi, dan bagaimana tubuh bereaksi terhadap kemoterapi (dalam Bellenir, 2009).

  Kemoterapi dibagi atas dua jenis yaitu kemoterapi sistemik dan kemoterapi regional. Kemoterapi sistemik adalah kemoterapi yang diberikan melalui mulut atau disuntik melalui pembuluh darah vena atau otot, sehingga obat-obatan masuk ke aliran arah dan dapat mencapai sel kanker melalui tubuh. Sedangkan kemoterapi regional adalah kemoterapi yang ditempatkan langsung ke dalam lajur spinal, organ, atau rongga tubuh, seperti daerah perut, sehingga obat-obatan akan mempengaruhi sel kanker di area tersebut.

  Prinsip kerja pengobatan ini adalah dengan meracuni atau membunuh sel-sel kanker, mengontrol pertumbuhan sel kanker, dan menghentikan pertumbuhannya agar tidak menyebar atau untuk mengurangi gejala-gejala yang disebabkan oleh kanker (dalam Chyntia, 2009). Sayangnya, obat-obatan anti kanker tidak dapat mengenali sel-sel kanker secara spesifik, dan akan membunuh sel-sel lain yang membelah secara aktif seperti sel-sel darah atau sumsum tulang (dan rambut) (dalam Dixon dan Leonard, 2002).

  Kemoterapi mempengaruhi orang dengan cara yang berbeda. Bagaimana efek fisik yang dirasakan tergantung dari seberapa sehat seseorang sebelum pengobatan, tipe kanker, seberapa parah kanker tersebut, jenis kemoterapi yang didapatkan, dan dosisnya. Beberapa efek samping yang umum terjadi akibat kemoterapi adalah rasa sakit, nyeri dan luka pada mulut (dalam Bellenir, 2009). Pasien yang menerima kemoterapi akan mengalami peningkatan risiko terkena infeksi, dimana hal ini menandakan bahwa mereka membutuhkan perawatan ekstra untuk menghindari situasi yang berisiko. Depresi dan rasa lelah akan membuat keadaan tersebut semakin memburuk (dalam Odgen, 2004).

  Kebanyakan pasien yang diberikan kemoterapi juga mengalami mual, muntah, dan kerontokan rambut (dalam Tavistock & Routledge, 2002). Banyak orang yang memandang bahwa rambut mereka merupakan bagian yang sangat penting dari penampilan. Pada beberapa budaya, rambut juga merupakan lambang dari kesuburan atau status, sehingga kerontokan rambut dapat menjadi pengalaman yang begitu sulit (dalam Odgen, 2004). Kebanyakan efek samping mereda setelah kemoterapi berakhir. Tetapi terkadang efek tersebut dapat berlangsung berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun.

  Kemoterapi juga dapat menyebabkan efek samping jangka panjang yang tidak kunjung reda seperti kerusakan hati, paru-paru, ginjal, saraf, atau organ reproduksi. Beberapa tipe kemoterapi bahkan dapat menyebabkan kanker tambahan beberapa tahun kemudian (dalam Bellenir, 2009).

  Pada wanita yang telah mengalami banyak penderitaan secara fisik dan emosional akibat kanker payudara yang mereka derita, kabar bahwa sekarang mereka harus menjalani beberapa rangkaian kemoterapi selama periode lebih dari 6 bulan, sering menciptakan rasa takut sekaligus curiga. Seperti ketika kebutuhan akan terapi radiasi yang membuat ketakutan karena kanker yang tidak dapat disembuhkan secara efektif dengan pembedahan, kebutuhan akan kemoterapi juga akan menciptakan kecemasan yang serupa (dalam Tavistock dan Routledge, 2002). Dengan tidak melibatkan efek fisik yang muncul, terdapat banyak efek samping psikologis berkaitan dengan kemoterapi. Maguire (dalam Tavistock dan Routledge, 2002), mempelajari psychiatric morbidity pada wanita-wanita yang sedang menjalani mastectomy disertai dengan pemberian kemoterapi dengan yang menjalani mastectomy saja. Secara signifikan, wanita-wanita yang juga menerima kemoterapi lebih mengalami kecemasan dan/atau depresi. Dan semakin mereka mengalami efek samping yang buruk, maka semakin parah kecemasan dan/atau depresi yang dialami.

5. Dampak Psikologis Individu dengan Kanker Payudara

  Bellenir (2009) mengatakan ada beberapa dampak pada penderita kanker payudara atas penyakitnya yaitu: a.

  Perilaku dan emosi penderita Setiap orang memiliki reaksi yang berbeda-beda, tergantung pada sumber penyakit reaksi orang lain terhadap penyakit yang dideritanya, dan lain-lain. Penyakit berat, apalagi jika mengancam kehidupannya, dapat menimbulkan perubahan emosi dan perilaku yang lebih luas, seperti: anxiety, shock, penolakan, marah, dan menarik diri.

  b. Peran keluarga.

  Setiap orang memiliki peran dalam kehidupannya, seperti pencari nafkah, seorang profesional, atau sebagai orang tua. Saat mengalami penyakit, peran-peran klien tersebut dapat mengalami perubahan. Perubahan tersebut mungkin tidak terlihat dan berlangsung singkat atau terlihat secara drastis dan berlangsung lama.

  c. Citra tubuh.

  Citra tubuh merupakan konsep subjektif seseorang terhadap penampilan fisiknya. Beberapa penyakit dapat menimbulkan perubahan dalam penampilan fisiknya danpenderita atau keluarga akan bereaksi dengan cara yang berbeda-beda terhadap perubahan tersebut. Reaksi penderita atau keluarga terhadap perubahan gambaran tubuh tersebut tergantung pada: jenis perubahan (misalnya organ tertentu), kapasitas adaptasi, kecepatan perubahan, dan dukungan yang tersedia (misalnya keluarga, teman, dan lainnya). Ogden (2007) juga mengemukakan bahwa wanita yang mengalami penyakit kanker payudara sering melaporkan adanya perubahan pada rasa kewanitaan, daya tarik, dan citra tubuh. d. Konsep diri.

  Konsep diri adalah citra mental seseorang terhadap dirinya sendiri, mencakup bagaimana mereka melihat kekuatan dan kelemahan pada seluruh aspek kepribadiannya.

  Konsep diri tidak hanya bergantung pada gambaran tubuh dan peran yang dimilikinya, tetapi juga bergantung pada aspek psikologis dan spiritual diri. Konsep diri berperan penting dalam hubungan seseorang dengan anggota keluarganya yang lain. Klien yang mengalami perubahan konsep diri karena sakitnya mungkin tidak mampu lagi memenuhi harapan keluarganya, yang akhirnya menimbulkan ketegangan dan konflik. Akibatnya, anggota keluarga akan merubah interaksi mereka dengan klien. Sutherland dan Orbach (Hawari, 2004) juga mengemukakan bahwa setiap organ mempunyai arti psikologis tersendiri bagi masing-masing individu, oleh karena itu suatu tindakan operatif yang radikal yang mengakibatkan hilangnya bagian tubuh, mempunyai nilai psikologis, sehingga tidak dapat dihindarkan terjadi pula perubahan-perubahan terhadap citra tubuh dan konsep diri pada individu yang bersangkutan.

  e. Dinamika keluarga.

  Dinamika keluarga merupakan proses dimana keluarga melakukan fungsi, mengambil keputusan, memberi dukungan kepada anggota keluarganya, dan melakukan

  

coping terhadap perubahan dan tantangan hidup sehari-hari. Jika penyakitnya

  berkepanjangan, seringkali keluarga harus membuat pola fungsi yang baru sehingga dapat menimbulkan stres emosional.

  Unsur psikologis terkait dengan persepsi penderita tentang ancaman dan stres yang disebabkan oleh penyakit itu sendiri, persepsi ini akan berbeda pada setiap individu.

  Menurut Baradero (2007), ada tiga kategori stresor yang disebabkan oleh kanker (dalam hal ini kanker payudara), yakni ancaman dari penyakit itu sendiri, hilangnya bagian tubuh atau ancaman akan hilangnya bagian dari tubuhnya, dan frustasi dalam memenuhi dorongan biologis karena ketidakmampuan yang diakibatkan penyakit kanker payudara, atau efek-efek dari pengobatan kanker payudara. Respon penderita terhadap ketiga hal tersebut meliputi cemas, depresi, menurunnya harga diri, permusuhan dan mudah marah. Termasuk dalam efek sosiologis, yaitu berkurangnya interaksi dengan keluarga dan teman- teman, serta dapat mengurangi partisipasi dalam kegiatan sehari-hari.

B. Psychological Well-Being

1. Definisi Psychological Well-Being

  Psychological well-being (kesejahteraan psikologis) merupakan gambaran

  kesehatan psikologis individu berdasarkan pemenuhan fungsi psikologi positif (Ryff, dalam Papalia, Old, & Feldman 2001). Psychological well-being seringkali dimaknai sebagai bagaimana seorang individu mengevaluasi dirinya. Adapun evaluasi tersebut memiliki dua bentuk, yaitu: a.

  Evaluasi yang bersifat kognitif seperti: penilaian umum (kepuasan hidupnya/life

  satisfaction ), dan kepuasan spesifik/domain specifik (kepuasan kerja, kepuasan

  perkawinan) b. Evaluasi yang bersifat afektif, berupa frekuensi dalam mengalami emosi yang menyenangkan (misalnya: menikmati) dan mengalami emosi yang tidak menyenangkan (misalnya: depresi)

  Menurut Ryff (1989) gambaran tentang karakteristik orang yang memiliki kesejahteraan psikologis merujuk pada pandangan Rogers tentang orang yang berfungsi penuh (fully functioning person), pandangan Maslow tentang aktualisasi diri (self-

  

actualization ), pandangan Jung tentang individuasi, konsep Allport tentang kematangan,

  juga sesuai dengan konsep Erickson dalam menggambarkan individu yang mencapai integrasi dibanding putus asa. Individu dengan psychological well-being yang positif tidak sekedar terbebas dari rasa cemas melainkan lebih menekankan pada keberfungsian positif serta bagaimana pandangan individu terhadap potensi-potensi positif dalam dirinya.

  Menurut Ryff (1989), yang dimaksud dengan psychological well-being adalah kondisi optimalnya fungsi individu sebagai perwujudan segala potensinya. Individu dikatakan sejahtera jika ia tidak mengalami disfungsi psikologis seperti kecemasan, depresi, dan bentuk-bentuk gejala psikologis lainnya. Individu yang berada dalam kondisi

  

psychological well-being yang optimal adalah individu yang dapat menerima kekuatan dan

  kelemahan diri apa adanya, memiliki hubungan positif dengan orang lain, mampu mengarahkan tingkah lakunya sendiri, mampu mengembangkan potensi diri secara berkelanjutan, mampu mengatur lingkungan, dan memiliki tujuan dalam hidupnya.

2. Dimensi Psychological Well-Being

  Konsep psychological well-being memiliki enam dimensi pendukung, yang masing-masingnya menjelaskan tantangan-tantangan yang berbeda yang dihadapi oleh individu untuk berfungsi secara penuh dan positif (Ryff, 1989; Ryff dan Keyes, 1995 dalam Keyes, Smothkin dan Ryff, 2002). Enam dimensi tersebut diantaranya adalah: a.

  Penerimaan diri (self acceptance) Penerimaan diri merupakan ciri utama dari konsep psychological well-being dan juga sebagai karakteristik utama dalam aktualisasi diri, berfungsi optimal, dan kematangan.

  Penerimaan diri yang baik ditandai dengan kemampuan menerima diri seperti apa adanya dari segi positif maupun negatif dan memiliki pandangan positif terhadap masa lalu.

  b.

  Hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others) Ryff menekankan pentingnya menjalin hubungan saling percaya dan hangat dengan orang lain. Kualitas yang dihubungkan dengan kemampuan membina hubungan yang positif dengan orang lain meliputi kemampuan untuk mencintai orang lain, membina hubungan interpersonal yang hangat dan saling percaya. Ia juga mempunyai rasa afeksi dan empati yang kuat terhadap orang lain.

  c.

  Otonomi (autonomy) Dalam dimensi otonomi dijelaskan mengenai penentuan diri (self determination), kemandirian, pengendalian perilaku dalam diri, dan penggunaan locus of control yang bersifat internal dalam mengevaluasi diri.

  d.

  Penguasaan lingkungan (environmental mastery) Secara umum dapat dikatakan bahwa dimensi ini melihat kemampuan individu dalam menghadapi berbagai kejadian di luar dirinya dan mengatur sesuai keadaan dirinya sendiri. Individu dapat memilih atau menciptakan lingkungan yang sesuai dengan keadaan dirinya sendiri. Individu dapat memilih atau menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisinya, berpartisipasi dengan lingkungan luar, mengendalikan dan memanipulasi lingkungan dan kemampuan untuk memanfaatkan peluang dalam lingkungan.

  e.

  Tujuan hidup (purpose in life) Menurut dimensi ini orang harus memiliki tujuan dan arah dalam hidupnya, ia juga merasa bahwa kehidupan di masa lalu dan masa sekarang dapat memberikan makna dalam hidupnya, memiliki keyakinan yang dapat memberikan tujuan dalam hidupnya, dan memiliki target yang ingin dicapai dalam menjalani hidupnya.

  f.

  Pertumbuhan pribadi (personal growth) Salah satu hal penting dalam dimensi ini adalah adanya kebutuhan untuk mengaktualisasi diri, misalnya dengan keterbukaan terhadap pengalaman. Individu juga memiliki keinginan untuk terus berkembang, merealisasi potensinya, serta dapat melihat kemajuan baik dalam diri maupun perilakunya.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Psychological Well-Being

  Menurut Ryff (1989), psychological well-being dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya: a.

  Usia Semakin bertambah usia seseorang ia semakin mengetahui kondisi yang terbaik bagi dirinya. Dalam dimensi penguasaan lingkungan terlihat profil meningkat seiring dengan pertumbuhan usia. Oleh karenanya, individu tersebut semakin dapat pula mengatur lingkungannya menjadi yang terbaik sesuai dengan keadaan dirinya.

  Individu yang berada dalam usia dewasa akhir memiliki skor psychological well-being yang lebih rendah dalam dimensi tujuan hidup dan pertumbuhan diri, individu yang berada pada usia dewasa madya memiliki skor psychological well-being yang lebih tinggi dalam dimensi penguasaan lingkungan, individu yang berada dalam usia dewasa awal memiliki skor yang lebih rendah dalam dimensi otonomi dan penguasaan lingkungan dan memiliki skor psychological well-being yang lebih tinggi dalam dimensi pertumbuhan diri. Dimensi pertumbuhan diri merupakan satu-satunya dimensi yang tidak memperlihatkan adanya perbedaan seiring dengan pertumbuhan usia.

  b.

  Jenis Kelamin Dimensi yang menunjukkan perbedaan signifikan antara laki-laki dan perempuan adalah dimensi hubungan positif dengan orang lain. Sejak kecil, stereotip gender telah ditanamkan dalam diri anak. Anak laki-laki digambarkan sebagai sosok agresif dan mandiri. Anak perempuan digambarkan sebagai sosok yang pasif dan tergantung, serta sensitif terhadap perasaan orang lain (Papalia, dkk, 2001). Sifat-sifat stereotip ini akhirnya terbawa oleh individu hingga dewasa. Sebagai sosok yang digambarkan tergantung dan sensitif terhadap perasaan sesamanya, sepanjang hidupnya perempuan terbiasa untuk membina keadaan harmonis dengan orang-orang di sekitarnya. c.

  Status sosial Status sosial ekonomi berhubungan dengan dimensi penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan dan pertumbuhan diri. Individu yang memiliki status sosial- ekonomi yang rendah cenderung membandingkan dirinya dengan orang lain yang memiliki status sosial-ekonomi yang lebih baik dari dirinya. Menurut Davis (dalam Andrews & Robinson, 1991), individu dengan tingkat penghasilan tinggi, status menikah dan mempunyai dukungan sosial tinggi akan memiliki psychological well-

  being yang lebih tinggi.

  d.

  Budaya Sistem nilai yang bersifat individualis dapat memberi dampak terhadap psychological

  well-being yang dimiliki suatu masyarakat. Budaya barat memiliki skor yang tinggi

  dalam dimensi penerimaan diri dan dimensi otonomi, sedangkan budaya timur yang menjunjung tinggi kolektivitas memiliki skor lebih tinggi pada hubungan positif dengan orang lain.

C. Well-Being Therapy

1. Pengertian Well-Being Therapy

  Well-being therapy adalah strategi psikoterapeutik baru dengan tujuan untuk

  meningkatkan psychological well-being (Fava, 2003). Terapi ini awalnya diaplikasikan pada pasien mood disorder dan anxiety disorder yang berada pada fase residual, tetapi telah dikembangkan hingga pencegahan relapse pada penderita depresi, post traumatic

  

stress disorder dan general anxiety disorder. Well-being therapy juga dapat digunakan

  untuk menggambarkan gangguan yang spesifik pada pasien affective disorder dan membantu dalam modifikasi tingkah laku dan psikologis untuk mencapai fungsi manusiawi yang optimal.

  Tujuan well-being therapy adalah untuk meningkatkan level psychological well-

  

being pada individu, sesuai dengan enam dimensi yang dikemukakan oleh Ryff (1989). Ini

  didukung oleh Linley & Joseph (2004) yang mengatakan bahwa implikasi teoritis dari

  

well-being therapy adalah bahwa kesejahteraan (wellness) dan hidup yang sehat dapat

  dicapai dengan membantu individu menyadari potensi diri yang sesungguhnya, memiliki keterlibatan secara penuh dengan orang lain, dan meraih fungsi yang optimal. Dikatakan juga bahwa distres psikologis dapat diatasi dan bahkan dicegah dengan cara meningkatkan level well-being.

2. Struktur Well-Being Therapy

  Well-being therapy memiliki sesi yang waktunya dapat berkisar antara 30-50

  menit. Teknik ini menekankan pada pemikiran dan kepercayaan yang mengarah pada interupsi prematur. Alat bantu yang digunakan adalah self observation dengan penggunaan buku harian yang berstrukstur serta interaksi antara pasien dan terapis. Well-being therapy dilandasi oleh model kognitif dari psychological well-being yang dikemukakan oleh Ryff (1989). Adapun urutan sesi-sesi pada well-being therapy adalah sebagai berikut: a.

   Initial sessions

  Sesi ini menitikberatkan pada identifikasi episode dari kondisi well-being (episodes of

  well-being ) dan meletakkannya pada konteks situasional. Individu diminta untuk

  membuat laporan situasi seputar episodes of well being yang mereka alami dalam bentuk buku harian yang terstruktur, seperti yang terdapat dalam table 1. Setiap situasi tersebut kemudian diberi nilai berdasarkan skala 0-100, dimana 0 berarti sama sekali tidak well being, dan 100 adalah well-being yang paling intensif yang dapat dialami.

  Individu sering menolak mengerjakan pekerjaan rumah ini, karena menurut mereka, tidak ada situasi sejahtera dalam hidup mereka. Terapis dapat membantu dengan meyakinkan individu bahwa saat-saat tersebut sebenarnya terjadi namun terlewatkan tanpa diperhatikan. Karena itu, individu harus memonitornya dengan baik. Fase awal ini umumnya meluas menjadi lebih dari beberapa sesi.

Table 2.1 Self observation of episodes of well being

  Situasi Peranan Well-Being Intensitas (0-100) Saya pergi mengunjungi keponakan- Mereka suka dan

  40 keponakan saya dan mereka peduli sama saya menyambut saya dengan antusias dan gembira

  b.

   Intermediate sessions

  Setelah contoh dari well-being telah diidentifikasi dengan benar, individu didorong untuk mengenali pemikiran dan kepercayaan yang mengarah pada interupsi prematur terhadap well-being

  . Misalnya, pada contoh di table 1, individu menambahkan “itu hanya karena aku membawa 2 hadiah”. Pemicu self-observation yang digunakan, dalam well-being therapy didasari oleh kondisi well-being, bukan kondisi distres. Fokus dari terapi ini dititikberatkan pada identifikasi situasi-situasi psychological well-

  being dengan menggunakan self-monitoring terhadap saat-saat dan perasaan well- being . Hindari alternatif saran yang konseptual dan teknikal kecuali tingkat self- observation yang dicapai telah cukup memuaskan. Fase intermediate ini dapat meluas hingga lebih dari 2 atau 3 sesi, tergantung kepada motivasi dan kemampuan individu.

  Dengan memonitor episodes of well-being pada individu, terapis dapat menyadari gangguan spesifik dalam dimensi well-being yang dikemukakan oleh Ryff. Sumber informasi tambahan bisa didapatkan dari self-rating inventory yang terdiri dari 55 aitem, yang dibuat Ryff.

  c.

   Final sessions

  Mendiskusikan hal-hal yang diperoleh individu selama menjalani terapi berhubungan dengan psychological well-being yang ia miliki. Dimensi psychological well-being yang dikemukakan oleh Ryff diperkenalkan pada individu secara progresif, selama material yang dicatat mengarah kepada hal tersebut. Misalnya, terapis dapat menjelaskan bahwa autonomy terdiri dari adanya locus of control internal, kemandirian dan self-determination, atau bahwa personal growth terdiri dari keterbukaan terhadap pengalaman baru dan menganggap self berkembang sepanjang waktu, jika pasien tersebut menunjukkan gangguan pada area spesifik ini. Gangguan dalam berpikir dan interpretasi alternatif kemudian didiskusikan.

3. Konsep Utama dari Well-Being Therapy

  Ryff (dalam Fava, 2003), mengemukakan konsep cognitive restructuring pada

  

well-being therapy . Tujuan dari terapi yang dilakukan adalah untuk membimbing individu

  dari level impaired menuju level yang lebih optimal dalam enam dimensi dari

  

psychological well-being untuk mencapai kesenangan dan kebahagiaan dalam menjalani

kehidupan.

  a.

  Penerimaan diri (self acceptance) Individu mungkin mempertahankan suatu standar tinggi dan harapan yang tidak realistis yang dipengaruhi oleh sikap perfeksionis (yang merefleksikan kurangnya penerimaan diri) dan atau memaksakan standar eksternal dan bukannya standar personal (yang merefleksikan kurangnya otonomi). Hasilnya, setiap keadaan well-

  being kemudian dinetralisasikan oleh ketidakpuasan kronis akan diri sendiri. Individu mungkin menetapkan suatu standar yang tidak realistis pada performance dirinya. b.

  Hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others) Hubungan interpersonal bisa dipengaruhi oleh sikap yang dipegang terlalu kuat yang tidak didasari oleh individu dan bisa bersifat disfungsional. Misalnya, seorang perempuan muda yang baru menikah mungkin menetapkan suatu standar yang tidak realistis akan hubungan pernikahannya dan kemudian seringkali mengalami kekecewaan. Pada saat yang bersamaan dia mungkin menghindari membuat perencanaan sosial yang melibatkan orang lain dan kekurangan sumber daya pembanding. Kerusakan (impairment) pada penerimaan diri (dengan hasil berupa kepercayaan akan penolakan dan ketidaklayakan untuk dicintai) juga dapat menjadi masalah hubungan dengan orang lain.

  c.

  Otonomi (autonomy) Observasi klinis seringkali menunjukkan bahwa individu dapat menunjukkan suatu pola dimana kurangnya penghargaan diri akan menghasilkan tingkah laku yang tidak asertif. Individu mungkin menyembunyikan pendapat atau pilihannya, mengikuti situasi yang bukan menjadi ketertarikan utamanya atau secara konsisten menempatkan kebutuhan orang lain di atas kebutuhannya sendiri. Pola ini terkait dengan penguasaan lingkungan dan tujuan hidup yang pada akhirnya akan berpengaruh pada otonomi, karena dimensi-dimensi ini memiliki tingkat keterkaitan yang sangat tinggi pada populasi klinis. Sikap tersebut mungkin tidak terlalu jelas pada individu yang menyembunyikan kebutuhan mereka demi untuk mendapatkan persetujuan dari lingkungan sosial. Individu yang mencoba menyenangkan setiap orang cenderung gagal dalam mencapai tujuan ini dan konflik yang muncul akan menimbulkan ketidakpuasan dan frustasi. d.

  Penguasaan lingkungan (environmental mastery) Biasanya ini terbentuk dari adanya pemikiran bahwa individu tidak pernah mendapatkan atau meraih sesuatu yang sifatnya positif dalam keseharian dan kehidupannya secara umum. Ini adalah salah satu bentuk permasalahan yang sering terjadi, dan dapat dinilai dari keluhan individu. Misalnya anggapan bahwa dirinya hanya beruntung dan tidak peduli pada seberapa besar harapan untuk meraihnya menjadikan ia menganggap dirinya adalah seorang yang gagal.

  e.

  Tujuan hidup (purpose in life) Pada kasus terapi yang menekankan pada self-help, misalnya pada cognitive

  behavioral , terapi itu sendiri memiliki nuansa arah (direction) dan karenanya memiliki

  tujuan yang bersifat jangka pendek (short-term goal). Walau demikian, ini tidak bergantung saat gejala akut menurun dan/atau fungsi sebelumnya telah mendekati optimal (suboptimal). Individu mungkin mengalami kurangnya sense akan arah dan akan meniadakan fungsi mereka dalam hidup. Ini muncul jika environmental mastery dan personal growth mengalami kerusakan atau bermasalah.

  f.

  Pertumbuhan pribadi (personal growth) Individu biasanya cenderung menekankan jauhnya jarak antara situasi mereka saat ini dengan tujuan yang mereka harapkan, bukan pada penekanan terhadap kemajuan yang telah mereka buat ke arah pencapaian tujuan tersebut. Permasalahannya terletak pada ketidakmampuan untuk mengenali persamaan antara kejadian dan situasi yang pernah ditangani dengan baik di masa lalu dengan di masa depan (transfer of experience). Gangguan pada persepsi akan personal growth dan environment mastery kemudian akan berinteraksi dengan cara yang disfungsional. Misalnya seorang mahasiswa yang tidak mampu melihat kesamaan ini dan metodologi antara ujian yang telah berhasil ia lalui dengan yang akan dihadapi berikutnya menunjukkan gangguan pada penguasaan lingkungan dan pertumbuhan pribadi.

Table 2.2 Modifikasi enam dimensi dari psychological well-being menurut Ryff

  Dimensi Impaired Level Optimal Level

  Self-acceptance Subjek merasa tidak puas

  dengan dirinya; merasa kecewa dengan apa yang terjadi di masa lalu; terganggu dengan kualitas pribadi tertentu; berharap dirinya berbeda dari apa yang ada.

  Subjek memiliki sikap yang positif terhadap diri sendiri; menerima kualitas baik dan buruk dalam dirinya; merasa positif dengan kehidupan masa lalu.

  Positive relations with others

  Subjek memiliki hanya sedikit hubungan yang dekat dan dapat dipercaya dengan orang lain; kesulitan dalam membuka diri dan terisolasi, serta mengalami frustasi dalam hubungan interpersonal, tidak mau melakukan kompromi demi mempertahankan hubungan dengan orang lain.

  Subjek memiliki hubungan yang hangat dan dapat dipercaya dengan orang lain; peduli akan kesejahteraan orang lain; mampu merasakan empati serta keintiman yang kuat; paham akan memberi dan menerima dalam hubungan sesama manusia.

  Autonomy Subjek terlalu peduli akan

  harapan dan evaluasi dari orang lain; tergantung pada penilaian orang lain dalam mengambil keputusan yang penting; menyesuaikan diri dengan tekanan social dalam berpikir dan bertingkah laku.

  Subjek dapat menentukan sesuatu sendiri dan mandiri; dapat bertahan terhadap tekanan social; mengatur tingkah laku dari dalam dirinya; mengevaluasi diri dengan standar pribadi.

  Enviromental mastery Subjek mengalami atau