Efektivitas Problem-Solving Therapy untuk Meningkatkan Psychological Well-Being Remaja yang Mengalami Perceraian Orangtua

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Memiliki keluarga yang harmonis adalah harapan setiap orang. Hal
tersebut disebabkan oleh karena keluarga merupakan tempat yang nyaman untuk
berlindung dari tekanan maupun kesulitan di luar rumah. Selain itu, keluarga juga
merupakan tempat di mana setiap anggota keluarga dapat merasakan
eksistensinya dalam keadaan damai, aman, dan tentram (Rosalina dalam
Anggraeni & Primastuti, 2008).
Membangun sebuah keluarga atau berkeluarga merupakan salah satu tugas
perkembangan yang seharusnya dilalui oleh setiap individu. Keluarga dibentuk
melalui suatu pernikahan, yaitu lembaga yang menyatukan laki-laki dan
perempuan dalam satu ikatan untuk hidup bersama. Namun, adakalanya ikatan
yang mempertalikan suami dan isteri dalam pernikahan tersebut rapuh bahkan
putus sehingga terjadi perpisahan hingga perceraian.
Menurut Savitri (2011), banyak hal yang dapat membuat pasangan suami
isteri bercerai. Sebagian besar pasangan tersebut mengatakan bahwa sudah tidak
ada lagi kecocokan di antara mereka. Secara khusus, ada pasangan yang bercerai
karena terjadi kekerasan di dalam rumah tangga, sudah tidak bisa berbicara baikbaik lagi sehingga selalu bertengkar atau saling tidak mau berbicara,
perselingkuhan, poligami, masalah ekonomi, mabuk dan minum obat-obatan

terlarang, menikah di bawah tangan, suami atau isteri menjadi Tenaga Kerja

14
Universitas Sumatera Utara

Indonesia (TKI), jarak usia suami dan isteri yang terlalu jauh, bahkan ada pula
yang bercerai karena berbeda pilihan dalam memilih calon presiden atau wakil
daerahnya (Pemilu atau Pilkada).
Belakangan ini, kata cerai bukanlah suatu hal yang asing lagi. Hal tersebut
terlihat dari meningkatnya angka perceraian di Indonesia setiap tahunnya.
Menurut data terakhir dari Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat
Kementerian Agama, angka perceraian di Indonesia mencapai sepuluh persen
setiap tahun. Artinya, satu dari sepuluh pernikahan berakhir dengan perceraian.
Sejalan dengan data yang dikemukakan di atas, Wakil Menteri Agama,
Nasaruddin Umar, mengatakan bahwa angka perceraian di Tanah Air saat ini
mencapai 212.000 kasus setiap tahunnya. Angka tersebut jauh meningkat dari
sepuluh tahun yang lalu dimana jumlah angka perceraian hanya sekitar 50.000 per
tahun. Menurutnya, hampir tujuh puluh persen perceraian yang terjadi adalah
cerai gugat. Dengan kata lain, lebih banyak wanita yang mengajukan gugatan
perceraian daripada pria yang menceraikan isterinya.

Adanya peningkatan angka perceraian dalam masyarakat berdampak pula
pada munculnya gaya hidup khas keluarga bercerai, seperti hidup sendiri
menjanda atau menduda, adanya anak yang harus hidup dengan salah satu
orangtua saja, dan bahkan mungkin hidup terpisah dengan saudara kandung lain
(Sunarto, 2000). Menurut Savitri (2011), perceraian akan menyebabkan terjadinya
banyak perubahan di dalam kehidupan keluarga. Diantaranya adalah masalah
emosi (kemarahan, kesedihan, hingga depresi), masalah keuangan, tidak adanya

15
Universitas Sumatera Utara

pembagian tugas rumah tangga seperti siapa yang menemani anak saat ibu dan
bapak harus bekerja, dan perubahan perilaku dari anak.
Perceraian sendiri merupakan peristiwa di kehidupan keluarga yang dapat
memberi dampak psikologis terhadap seluruh anggota keluarga, baik positif
maupun negatif (Wallerstein & Johnston dalam Wong, Hickenberry, Willson,
Winkelstein, & Schwartz, 2009). Bila tekanan serta kekacauan di dalam keluarga
berakibat pada ketidakbahagiaan dan pernikahan yang penuh konflik mengikis
psychological well-being anak dapat dikurangi dengan perceraian, maka


perceraian dapat memberi dampak yang positif (Santrock, 2011). Wallerstein &
Johnston menambahkan bahwa keluarga yang berhasil setelah perceraian, baik
sebagai orangtua tunggal ataupun membentuk keluarga yang baru, dapat
meningkatkan kualitas kehidupan orang dewasa dan anak-anak. Konflik yang
berhasil diselesaikan dapat membuat hubungan anak dengan salah satu atau kedua
orangtua menjadi lebih baik. Selain itu, maturitas anak akan meningkat, demikian
pula kemandirian serta komitmen mereka dalam mempertahankan suatu hubungan
(dalam Wong dkk., 2009).
Meskipun dapat berdampak positif, pada kebanyakan kasus, perceraian
pasangan yang sebelumnya terikat dalam hubungan marital memberi dampak
buruk bagi anggota keluarga yang lain, khususnya anak-anak yang lahir dari
hubungan pernikahan tersebut (Setyawan, 2007). Menurut Colbert (2011),
perceraian merupakan salah satu penyebab stress hidup utama (major life
stressors) di samping kematian anggota keluarga, penyakit yang diderita dalam

jangka waktu lama, dan kemiskinan. Bahkan, dampak dari perceraian tersebut

16
Universitas Sumatera Utara


biasanya lebih besar daripada dampak kematian anggota keluarga karena sebelum
dan sesudah perceraian akan timbul rasa sakit dan tekanan emosional yang
disertai dengan munculnya suatu celah sosial. Keadaan seperti ini dapat dialami
oleh semua anggota keluarga, baik orangtua maupun anak-anak (Hurlock dalam
Wati, 2010).
Perceraian bukanlah merupakan hal yang mudah dimengerti oleh anakanak. Pada saat memberitahu mereka, anak mungkin tidak mengerti apa yang
sedang dibicarakan oleh orangtuanya. Anak baru mampu menunjukkan sikap
setelah mengetahui bahwa salah satu dari orangtuanya tidak tinggal bersama lagi.
Anak tidak mengerti, mengapa banyak hal yang berubah. Setelah semua terjadi,
anak baru bertanya-tanya, mengapa perceraian ini bisa terjadi. Hal yang tidak
menyenangkan juga akan dialami oleh anak apabila ia berada di lingkungan yang
akan mengejeknya karena berasal dari keluarga yang bercerai (Savitri, 2011).
Bagi anak, yang merupakan anggota terlemah dalam keluarga, perceraian
selalu saja merupakan rentetan goncangan-goncangan yang menggoreskan luka
batin yang dalam. Stress, ketakutan, kecemasan sampai dengan depresi seringkali
dialami oleh anak-anak yang kedua orangtuanya bercerai. Kondisi-kondisi emosi
tersebut timbul akibat rasa sakit yang dirasakan akibat perceraian. Rasa sakit yang
ada pada diri anak lah yang kemudian menjadi pemicu ketidakstabilan emosi
mereka. Anak akan mengembangkan kebencian pada kejadian, atau pihak-pihak
yang menimbulkan rasa sakit tersebut. Perceraian tidak hanya akan menimbulkan

kebencian pada kedua orangtua mereka, tapi juga pada dirinya sendiri, sehingga
anak akan berusaha menjauhi orangtua dan dirinya sendiri (Setyawan, 2007). Hal

17
Universitas Sumatera Utara

ini dialami oleh DV yang ia ungkapkan dalam situs blog pribadi miliknya pada
tanggal 9 Oktober 2013 yang lalu:
“Saya lahir dari keluarga broken home. Akhir 2011 lalu, ayah saya
meninggalkan rumah. Orangtua saya pisah. Itu pukulan yang sangat membuat
saya sakit. Sakit batin, sakit hati, sakit pikiran, semuanya…”
“Semenjak itu, kehidupan saya jadi berubah drastis. Hampir gila saya dengan
keadaan rumah yang sudah tidak ada kenyamanan buat saya. Kalian tau
bagaimana rasanya kekurangan kasih sayang? Pahit!!!”
“Karena perceraian orangtua saya dan kejadian saya dengan seseorang itu,
saya menutup diri rapat-rapat. Saya menjadi tertutup, menjadi seseorang yang
sulit untuk didekati, sulit untuk membuka hati saya karena saya takut
tersakiti.”

Bagaimana munculnya reaksi anak terhadap perceraian sangat tergantung

pada umur anak, perkembangan pola pikir anak, sifat pribadi anak yang berbedabeda, serta cara anak ketika menghadapi sress dan lingkungan keluarga. Persepsi
anak yang muncul akibat kehilangan salah satu anggota keluarga pun dirasakan
bermacam-macam

selama

mereka

tumbuh

dan

berkembang

(dalam

Werdyaningrum, 2013). Demikian pula dalam hal perubahan perilaku yang juga
seringkali terjadi pada anak dan bentuknya bisa bermacam-macam. Pada anak
laki-laki berusia dini, mereka biasanya menjadi lebih ribut, lebih pemarah, dan
seperti tidak kehabisan energi sehingga selalu bergerak. Ada juga anak yang

menarik diri dari teman-temannya dan lebih suka duduk sendiri. Dalam kegiatan
kelompok, anak-anak ini lebih sering mengganggu daripada bekerja sama (Savitri,
2011).
Sementara itu, anak perempuan biasanya cenderung lebih diam.
Kebanyakan anak perempuan yang berusia dini menjadi sangat memperhatikan

18
Universitas Sumatera Utara

kerapian, berusaha menjadi anak baik, dan meniru orangtua atau guru saat
menggurui atau memarahi orang lain. Mereka akan menjadi „anak dewasa‟. Akan
tetapi pada dasarnya, anak laki-laki maupun perempuan pasti merasa sedih,
menangis lebih banyak, dan lebih banyak menuntut (Savitri, 2011).
Hetherington (dalam Setyawan, 2007) menyatakan bahwa hasil-hasil
penelitian tentang perceraian banyak yang mengungkapkan bahwa anak pada
keluarga yang bercerai beresiko mengalami masalah-masalah perkembangan
psikologis, tingkah laku, sosial, dan akademik. Dibandingkan dengan anak dengan
sepasang orangtua yang tidak bercerai, rata-rata anak-anak praremaja maupun
remaja dalam keluarga yang orangtuanya bercerai dan menikah kembali,
menunjukkan peningkatan tingkat agresi, gangguan etika, ketidakpatuhan, serta

mengalami penurunan pengaturan diri dan tanggung jawab sosial. Mereka juga
memiliki etika dalam ruang kelas yang rendah dengan performansi akademik yang
rendah pula (Setyawan, 2007).
Selain masalah yang berkaitan dengan masalah akademik, anak-anak
dalam keluarga yang orangtuanya bercerai biasanya juga mengalami berbagai
masalah yang berkaitan dengan penyesuaian pasca perceraian. Salah satu masalah
penyesuaian yang pada umumnya dialami oleh anak-anak dari keluarga bercerai
adalah dalam hal finansial, terutama mereka yang diasuh dan tinggal bersama
dengan ibu mereka (Schaefer & Ginsburg-Block, 2007). Seperti yang dialami oleh
JS, seorang remaja laki-laki berusia 17 tahun, berikut ini:
“Sekarang mamak harus bekerja. Dia berjualan sayur di pasar. Padahal
mamak punya penyakit darah rendah, sering pingsan.” (Komunikasi personal,
7 Maret 2014)

19
Universitas Sumatera Utara

“Dulu gaji bapak cukup untuk membiayai kebutuhan kami. Sekarang bahkan
mesin cuci, motor, dan lain-lain harus dijual karena kurangnya biaya. Tanah
yang satu-satunya mamak miliki juga terpaksa dijual.” (Komunikasi personal,

19 Maret 2014)
“Aku mencari uang tambahan setiap hari Sabtu dan Minggu di Amplas. Aku
bekerja mencuci bus-bus yang ada di terminal. Biasanya setiap kali datang,
aku bisa mendapat uang Rp.30.000,-” (Komunikasi personal, 19 Maret 2014)
“Doakan aku kak, supaya aku dapat pekerjaan yang layak buat aku. Soalnya
aku udah gak punya apa-apa lagi. Mamak udah gak ada lagi uangnya untuk
sekolahkan aku, ditambah aku terancam diusir dari rumah. Itu sangat
menyakitkan bagiku. Aku takut putus sekolahku, kak. Makanya aku cuma bisa
mengandalkan diriku sendiri.” (Komunikasi personal, 20 Mei 2014)
Ryff (1989) menyatakan bahwa pengalaman hidup seseorang dapat
mempengaruhi kondisi psychological well-being-nya. Kondisi keluarga yang
penuh konflik dan pertengkaran orangtua yang berakhir pada perceraian dapat
menimbulkan kecemasan dan rasa ketidakmampuan menjalani kehidupan pada
anak. Anak menjadi sedih karena kehilangan anggota keluarga, sakit hati, marah,
menyalahkan diri sendiri, dan pada akhirnya menyebabkan tingkat psychological
well-being mereka menjadi rendah.

Ryff merumuskan teori psychological well-being pada konsep kriteria
kesehatan mental yang positif. Menurut Ryff (dalam Papalia, Olds, & Feldman,
2009) individu yang memiliki psychological well-being yang baik adalah orang

yang mampu merealisasikan potensi dirinya secara kontinu (personal growth),
mampu membentuk hubungan yang hangat dengan orang lain (positive
relationships with others), memiliki kemandirian terhadap tekanan sosial

(autonomy), mampu menerima diri apa adanya (self-acceptance), memiliki arti

20
Universitas Sumatera Utara

dalam hidup (purpose in life), serta mampu mengontrol lingkungan eksternal
(environmental mastery).
Gambaran Ryff terkait karakteristik individu yang memiliki psychological
well-being yang baik merujuk pada beberapa pandangan tokoh psikologi yang

sesuai dengan teorinya. Pandangan tersebut, antara lain: konsep Maslow tentang
aktualisasi diri (self-actualization), konsep Allport tentang kematangan (fullfunctioning), pandangan Jung tentang individuasi (individuation), dan konsep

Erikson dalam menggambarkan individu yang mencapai integrasi (dalam Lopez
& Snyder, 2003).
Bersamaan dengan hal


di

atas, Aristoteles

menjelaskan bahwa

psychological well-being merupakan konsep kesejahteraan dimana manusia

tersebut menjalani hidupnya sesuai dengan keadaan dirinya (Ryan & Deci, 2001).
Sedangkan Santrock (2002) mendefinisikan psychological well-being sebagai
kepuasan hidup dan Bradburn (dalam Ryff, 1989) menyebutnya sebagai sebuah
kebahagiaan yang merupakan hasil kesejahteraan psikologis dan merupakan
tujuan tertinggi yang ingin dicapai manusia.
Psychological well-being penting ketika individu memasuki usia muda,

seperti pada masa usia remaja. Secara umum, remaja adalah mereka yang berusia
12-21 tahun (Mӧnks, Knoers, & Haditono, 2002). Remaja merupakan masa
transisi (peralihan) untuk menuju masa dewasa. Mereka ingin memperoleh
kesempatan untuk mengembangkan diri guna mewujudkan self-identity (jati diri)
mereka. Kondisi keluarga serta bagaimana peranan orangtua dalam pembentukan

21
Universitas Sumatera Utara

self-identity remaja akan mempengaruhi psychological well-being remaja tersebut

(Berk, 2007).
Ciri lain yang cukup menonjol dari seorang remaja adalah sifat
revolusioner, pemberontak, dan progresif atau cenderung ingin mengubah kondisi
menjadi lebih mapan. Apabila sifat ini terarah dengan baik, maka remaja dapat
menjadi pemimpin yang baik di masa depan. Sebaliknya, jika tidak terbimbing
dengan baik, maka anak akan cenderung untuk merusak tatanan dan nilai-nilai
sosial masyarakat (Dariyo, 2007).
Salah satu program intervensi yang dapat diterapkan untuk mengurangi
dampak negatif dari masalah-masalah dalam kehidupan adalah problem-solving
therapy. Problem-solving therapy merupakan suatu bentuk intervensi klinis

berupa pendekatan positif yang bertujuan untuk membentuk sikap dan
keterampilan dalam memecahkan suatu masalah (D‟Zurilla & Nezu, 2010).
Keterampilan seseorang dalam menyelesaikan berbagai masalah yang
dihadapinya dapat mengurangi ataupun meminimalisir dampak dari stress yang
ditimbulkan oleh masalah tersebut (dalam Siu & Shek, 2009). Suatu strategi
pemecahan masalah yang efektif dapat meningkatkan kesejahteraan individu
karena dapat mengurangi dampak negatif dari stress yang muncul ketika individu
berusaha menyesuaikan diri terhadap masalah. Sebaliknya, apabila strategi
pemecahan masalah tidak efektif, dampak negatif dari stress akan menjadi lebih
besar dan secara tidak langsung juga akan mempengaruhi kesejahteraan individu
(Bell & D‟Zurilla, 2009).

22
Universitas Sumatera Utara

D‟Zurilla & Nezu (2010) menyatakan bahwa problem-solving therapy
adalah suatu bentuk treatment psikologis untuk membantu individu dalam
mengatur dampak-dampak negatif suatu peristiwa yang muncul di dalam
kehidupan secara efektif. Peristiwa-peristiwa tersebut, misalnya perceraian,
kematian orang yang dicintai, kehilangan pekerjaan, ataupun masalah kesehatan
kronis, seperti kanker dan penyakit jantung. Ketika masalah-masalah yang penuh
tekanan tersebut memunculkan masalah psikologis atau masalah medis, problemsolving therapy dapat digunakan sebagai intervensi yang berdiri sendiri ataupun

digabungkan dengan pendekatan lain.
Problem-solving therapy sendiri merupakan salah satu bentuk intervensi

yang menggunakan pendekatan cognitive-behavioral therapy (CBT) yang
bertujuan untuk meningkatkan kemampuan individu dalam mengatasi berbagai
kesulitan di dalam hidupnya (Nezu & Nezu, 2009). Dari berbagai penelitian, CBT
terbukti dapat diterapkan kepada anak dan remaja, terutama yang orangtuanya
mengalami perpisahan atau perceraian. Perceraian menyebabkan munculnya
perubahan dan periode pergolakan baik pada orangtua maupun pada anakanaknya. Kondisi ini dapat meningkatkan level stress ataupun distress pada
seluruh anggota keluarga. Untuk memberi dukungan pada anggota keluarga
tersebut, CBT baik secara individual maupun kelompok dapat menjadi salah satu
intervensi yang cukup efektif baik bagi orangtua maupun anak (Schaefer &
Ginsburg-Block, 2007).

23
Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan uraian di atas, peneliti ingin menguji apakah problem-solving
therapy dapat digunakan untuk meningkatkan psychological well-being remaja

yang orangtuanya bercerai.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang dapat dirumuskan
dalam penelitian ini adalah apakah problem-solving therapy efektif dalam
meningkatkan psychological well-being remaja dari keluarga bercerai.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Penelitian ini bertujuan untuk menguji bagaimana pengaruh problemsolving therapy dalam meningkatkan psychological well-being remaja yang

berasal dari keluarga bercerai.

2. Tujuan khusus
Penelitian ini bertujuan untuk menguji bagaimana pengaruh problemsolving therapy dalam meningkatkan psychological well-being pada dimensi

penerimaan diri (self-acceptance), hubungan positif dengan orang lain (positive
relationships with others), otonomi (autonomy), penguasaan lingkungan

(environmental mastery), tujuan hidup (purpose in life), dan pertumbuhan pribadi
(personal growth) remaja dari keluarga bercerai.

24
Universitas Sumatera Utara

D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan mampu menjadi masukan dan sumber informasi
bagi disiplin ilmu psikologi terutama di bidang psikologi perkembangan,
khususnya mengenai gambaran efektivitas problem-solving therapy pada remaja
dari keluarga bercerai.

2. Manfaat praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan dasar pengetahuan dan
masukan bagi peneliti-peneliti lain yang ingin melakukan penelitian
lanjutan mengenai problem-solving therapy dan psychological well-being.
b. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan referensi atau
bahan pertimbangan bagi para terapis yang ingin menerapkan problemsolving therapy pada remaja dari keluarga bercerai.

E. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan penelitian ini adalah:
Bab I :

Pendahuluan
Bab ini menjelaskan tentang latar belakang masalah penelitian,
perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan
sistematika penulisan.

25
Universitas Sumatera Utara

Bab II : Landasan Teori
Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam
pembahasan masalah. Teori-teori yang dimuat adalah teori mengenai
psychological well-being , problem-solving theory, dan perceraian.

Bab III :

Metode Penelitian
Dalam bab ini diuraikan tentang pendekatan yang digunakan dalam
penelitian, identifikasi variabel penelitian, definisi operasional dari
variabel penelitian, metode pengumpulan data, subjek penelitian,
prosedur penelitian, tahap pelaksanaan penelitian, dan metode analisis
data.

Bab IV : Pelaksanaan dan Hasil Penelitian
Bab ini berisikan pelaksanaan intervensi, hasil penelitian serta
pembahasan hasil penelitian mengenai efektivitas penerapan problemsolving therapy terhadap psychological well-being remaja yang berasal

dari keluarga bercerai. Selanjutnya akan dibahas pula tentang
keterbatasan penelitian.
Bab V : Kesimpulan dan Saran
Bab ini menguraikan kesimpulan sebagai jawaban permasalahan yang
diungkapkan berdasarkan hasil penelitian dan saran penelitian yang
meliputi saran praktis dan saran untuk penelitian selanjutnya.

26
Universitas Sumatera Utara