Sistem Pemidanaan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Terorisme Sebagai Extra Ordinary Crime Di Indonesia

BAB II
SISTEM PENGATURAN TINDAK PIDANA TERORISME SEBAGAI EXTRA
ORDINARY CRIME DI NEGARA YANG MENGANUT SISTEM HUKUM
COMMON LAW DAN CIVIL LAW

A.

Pengaturan tindak pidana terorisme di dalam sistem perundang –
undangan
1.

Negara yang menganut sistem Common Law
Kejahatan terorisme merupakan salah satu bentuk kejahatan berdimensi

internasional yang sangat menakutkan masyarakat. Di berbagai negara di dunia
telah terjadi kejahatan terorisme baik di negara maju maupun negara-negara
sedang berkembang, aksi-aksi teror yang dilakukan telah memakan korban
tanpa pandang bulu. Terorisme sebagai kejahatan telah berkembang menjadi
lintas negara. Kejahatan yang terjadi di dalam suatu negara tidak lagi hanya
dipandang sebagai yurisdiksi satu negara tetapi bisa diklaim termasuk
yurisdiksi tindak pidana lebih dari satu negara. Hal ini menyebabkan

Perserikatan Bangsa Bangsa dalam kongresnya di Wina Austria tahun 2000
mengangkat tema The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders,
antara lain menyebutkan terorisme sebagai suatu perkembangan perbuatan
dengan kekerasan yang perlu mendapat perhatian.113 Menurut Muladi,
113

Soeharto, Implemetasi Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa dan Korban dalam
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Disertasai
Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, 2009, halaman. 47 bahwa di Indonesia
regulasi mengenai tindak pidana terorisme diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Filosofis yang ada dalam Undang-Undang

67
Universitas Sumatera Utara

68

terorisme merupakan kejahatan luar biasa (Extraordinary Crime) yang
membutuhkan pula penanganan dengan mendayagunakan cara-cara luar biasa
(Extraordinary Measure) karena berbagai hal:114

a)

Terorisme merupakan perbuatan yang menciptakan bahaya terbesar
(the greatest danger) terhadap hak asasi manusia. Dalam hal ini hak
asasi manusia untuk hidup (the right to life) dan hak asasi untuk
bebas dari rasa takut.

b)

Target terorisme bersifat random atau indiscriminate yang
cenderung mengorbankan orang-orang tidak bersalah.

c)

Kemungkinan digunakannya senjata-senjata pemusnah massal
dengan memanfaatkan teknologi modern.

d)

Kecenderungan terjadinya sinergi negatif antar organisasi terorisme

nasional dengan organisasi internasional.

e)

Kemungkinan kerjasama antara organisasi teroris dengan kejahatan
yang terorganisasi baikyang bersifat nasional maupun transnasional.

f)

Dapat membahayakan perdamaian dan keamanan internasional.

Kejahatan terorisme menggunakan salah satu bentuk kejahatan lintas
batas negara yang sangat mengancam ketentraman dan kedamaian dunia.
Terorisme adalah suatu kejahatan yang tidak dapat digolongkan sebagai
kejahatan biasa. Secara akademis, terorisme dikategorikan sebagai ”kejahatan
luar biasa” atau ”extraordinary crime” dan dikategorikan pula sebagai
”kejahatan terhadap kemanusiaan” atau ”crime against humanity”.115
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme bahwa terorisme merupakan musuh umat manusia, kejahatan
terhadap peradaban, merupakan Internasional dan Transnational Organized Crime. Tujuan dari
dibentuknya Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme adalah perlindungan masyarakat, sedangkan

paradigma pembentukan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang merupakan
paradigma tritunggal yaitu melindungi wilayah negara kesatuan Republik Indonesia, Hak Asasi
Manusia dan Perlindungan Hak Asasi Tersangka.
114
Muladi, Penanggulangan Terorisme Sebagai Tindak Pidana Khusus, bahan seminar
Pengamanan Terorisme sebagai Tindak Pidana Khusus, Jakarta, 28 Januari 2004, halaman 7
115
Ibid

Universitas Sumatera Utara

69

Mengingat kategori yang demikian maka pemberantasannya tentulah tidak
dapat menggunakan cara-cara yang biasa sebagaimana menangani tindak
pidana biasa seperti pencurian, pembunuhan atau penganiayaan. Tindak pidana
terorisme selalu menggunakan ancaman atau tindak kekerasan yang
mengancam keselamatan jiwa tanpa memilih-milih siapa yang akan menjadi
korbannya. Pengertian extra ordinary crime adalah pelanggaran berat HAM
yang meliputi crime againts humanity dan goside (sesuai dengan Statuta

Roma).116 Tindak pidana terorisme dimasukkan dalam extra ordinary crime
dengan

alasan

sulitnya

pengungkapan

karena

merupakan

kejahatan

transboundary dan melibatkan jaringan internasional.117
Terorisme sebagai kejahatan yang luar biasa (Extra Ordinary crime)
tentunya sangat membutuhkan penanganan dengan mendayagunakan cara-cara
luar biasa (Extra Ordinary Measure). Sehubungan dengan hal tersebut Muladi
mengemukakan:118 ”Setiap usaha untuk mengatasi terorisme, sekalipun


116

Sunarto, Kriminalisasi Dalam Tindak Pidana Terorisme, Jurnal Equality, Vol. 12 No. 2
Agustus 2007, halaman. 14, bahwa pelanggaran HAM berat masuk kategori sebagai extra ordinary
crime berdasarkan dua alasan, yaitu pola tindak pidana yang sangat sistematis dan biasanya dilakukan
oleh pihak pemegang kekuasaan sehingga kejahatan tersebut baru bisa diadili jika kekuasaan itu
runtuh, dan alasan bahwa kejahatan tersebut sangat bertentangan dan mencederai rasa kemanusiaan
secara mendalam (dan dilakukan dengan cara-cara yang mengurangi atau menghilangkan derajat
kemanusiaan). Tindak pidana teror dimasukan dalam extra ordinary crime dengan alasan sulitnya
pengungkapan karena merupakan kejahatan transboundary dan melibatkan jaringan internasional.
Fakta menunjukkan bahwa memang tindak pidana teror (lebih banyak) merupakan tindak pidana yang
melibatkan jaringan internasional, namun kesulitan pengungkapan bukan karena perbuatannya ataupun
sifat internasionalnya. Walaupun terorisme dianggap sebagai extraordinary crime dan crime against
humanity, terorisme bukan merupakan tindak pidana dalam yuridiksi International Criminal Court
(ICC).
117
Ibid
118
Muladi, Penanganan Terorisme Sebagai Tindak Pidana Khusus (Extra Ordinary Crime),

Materi Seminar di Hotel Ambara Jakarta, 28 Juni 2004, halaman. 1.

Universitas Sumatera Utara

70

dikatakan bersifat domestik karena karakteristiknya mengandung elemen ”Etno
Socio or Religios Identity”, dalam mengatasinya mau tidak mau harus
mempertimbangkan standar-standar keluarbiasaan tersebut dengan mengingat
majunya teknologi komunikasi, informatika dan transportasi modern. Dengan
demikian tidaklah mengejutkan apabila terjadi identitas terorisme lintas batas
negara (transborder terorism identity)”. Sejalan dengan itu Romly Atmasasmita
mengatakan bahwa dari latar belakang sosiologis, terorisme merupakan
kejahatan yang sangat merugikan masyarakat baik nasional maupun
internasional, bahkan sekaligus merupakan perkosaan terhadap hak asasi
manusia.119
Menurut T. P. Thornton dalam Terror as a Weapon of Political Agitation
(1964) terorisme didefinisikan sebagai penggunaan teror sebagai tindakan
simbolis yang dirancang untuk mempengaruhi kebijaksanaan dan tingkah laku
politik dengan cara-cara ekstra normal, khususnya dengan penggunaan

kekerasan dan ancaman kekerasan. penggunaan cara-cara kekerasan dan
menimbulkan ketakutan adalah cara yang sah untuk mencapai tujuan. Proses
teror, menurutnya memiliki tiga unsur, yaitu:120
a)

Tindakan atau ancaman kekerasan.

b)

Reaksi emosional terhadap ketakutan yang amat sangat dari pihak
korban atau calon korban.

119

Romly Atmasasmita, Kasus Terorisme Di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Materi Seminar
Penanganan Terorisme Sebagai Tindak Pidana Khusus, Jakarta 28 Juni 2004, halaman. 3
120
Bryan A. Gardner, Editor in Chief, Black Law Dictionary, Seventh Edition, 1999,
halaman. 84.


Universitas Sumatera Utara

71

c)

Dampak sosial yang mengikuti kekerasan atau ancaman kekerasan
dan rasa ketakutan yang muncul kemudian.

Terorisme dapat diartikan sebagai penggunaan atau ancaman penggunaan
kekerasan fisik yang direncanakan, dipersiapkan dan dilancarkan secara
mendadak terhadap sasaran langsung yang lazimnya adalah non combatant
untuk mencapai suatu tujuan politik. Pengertian terorisme dalam rumusan yang
panjang oleh James Adams adalah:121 penggunaan atau ancaman kekerasan
fisik oleh individu- individu atau kelompok-kelompok untuk tujuan-tujuan
politik, baik untuk kepentingan atau untuk melawan kekuasaan yang ada,
apabila tindakan- tindakan terorisme itu dimaksudkan untuk mengejutkan,
melumpuhkan atau mengintimidasi suatu kelompok sasaran yang lebih besar
daripada korban- korban langsungnya. Terorisme melibatkan kelompokkelompok yang berusaha untuk menumbangkan rezim-rezim tertentu untuk

mengoreksi keluhan kelompok/nasional, atau untuk menggerogoti tata politik
internasional yang ada. Di samping itu terdapat beberapa pandangan
menyangkut terminologi menyangkut terorisme yang tentunya berpengaruh
terhadap sistem pertanggungjawaban pelaku dan sistem pemidanaan terhadap
pelaku tindak pidana terorisme, antara lain:
a)

Menurut Konvensi PBB tahun 1937, Terorisme adalah segala
bentuk tindak kejahatan yang ditujukan langsung kepada negara
dengan maksud menciptakan bentuk teror terhadap orang-orang
tertentu atau kelompok orang atau masyarakat luas. Sedangkan

121

Muchamad Ali, Syafaat dalam Terorisme, Definisi, Aksi dan Regulasi, Imparsial, Jakarta,
2003, halaman. 59.

Universitas Sumatera Utara

72


menurut US Department of Defense tahun 1990,122 Terorisme
adalah perbuatan melawan hukum atau tindakan yang mengandung
ancaman dengan kekerasan atau paksaan terhadap individu atau hak
milik untuk memaksa atau mengintimidasi pemerintah atau
masyarakat dengan tujuan politik, agama atau idiologi.
b)

Terorisme merupakan kejahatan lintas negara, terorganisasi, dan
mempunyai jaringan luas sehingga mengancam perdamaian dan
keamanan nasional maupun internasional. Presiden Dewan
Keamanan PBB, Mihnia Loan Motoc bahwa Terorisme dalam
berbagai bentuknya merupakan ancaman serius bagi keamanan dan
kedamaian dunia.123

Berdasarkan historis dan modus operandi yang telah diidentifikasi
menggambarkan bahwa kegiatan terorisme internasional di Indonesia
berkembang dengan diketemukannya indikasi adanya kerjasama antara
kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan kelompok radikal seperti
Abu Sayaf Group (ASG) Libya dan Taliban. Pada dasarnya kejahatan terorisme
merupakan kejahatan internasional. kejahatan terorisme internasional dilakukan
melalui berbagai cara antara lain; pembajakan pesawat terbang, penyanderaan,
pejabat-pejabat asing atau diplomatik, pembajakan dan sabotase kapal,
penggunaan senjata-senjata pemusnah massal, sehingga diperlukan berbagai
pengaturan

internasional

untuk

mengantisipasi

kejahatan

terorisme

internasional.124

122

Loudewijk F Paulus, Loc. Cit.
Farid Wadjdi, Kebencian Barat terhadap Gerakan Islam Ideologis, Wahyu Press, Jakarta,
2003, halaman 28
124
Dadang Siswanto, Implementasi Konvensi Terorisme dalam UU No. 15 Tahun 2003
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. http://www.alsaindonesia.net/index.php?file_
id=29&class=news&act=read&news_id=51. Diakses tanggal 30 Juli 2014
123

Universitas Sumatera Utara

73

Kejadian tersebut di atas tentunya berimplikasi bahwa terorisme menjadi
isu utama di dunia. Selain itu, kejahatan terorisme menjadi suatu ancaman yang
serius bagi setiap negara dikarenakan kejahatan ini berdampak sedemikian luas
pada masyarakat maupun pada kelangsungan hidup suatu bangsa, menimbulkan
korban jiwa yang banyak dan korban materil yang besar. Berdasarkan
kesepakatan bersama negara-negara ASEAN dalam SOMTC (Senior official
meeting on transnational crime) tanggal 9 sampai dengan 10 Oktober 2001 di
Singapura telah ditetapkan kejahatan-kejahatan yang bersifat Transnational
Crime yaitu:
a)

Illicit Drug Trafficking (Perdagangan Illegal narkotika dan
psikotropika);

b)

Money Laundering (Pencucian uang);

c)

Terrorism (Terorisme);

d)

Arms Smuggling (Penyelundupan senjata api);

e)

Trafficking in Persons (Perdagangan manusia);

f)

Sea Piracy (Pembajakan di laut);

g)

Cyber Crime (Kejahatan komputer);

h)

International Economic Crime (Kejahatan Ekonomi Internasional).

Tindak Pidana terorisme merupakan tindak pidana murni (mala perse)
yang dibedakan dengan administrative criminal law (mala prohibita).
memahami makna terorisme dari beberapa lembaga di Amerika Serikat juga
memberikan pengertian yang berbeda-beda, seperti misalnya: United Stated
Central Intelligence (CIA). Terorisme internasional adalah terorisme yang

Universitas Sumatera Utara

74

dilakukan dengan dukungan pemerintah atau organisasi asing dan/atau
diarahkan untuk melawan negara, lembaga, atau pemerintah asing. United
Stated Federal Bureau of Investigation (FBI) terorisme adalah penggunaan
kekuasaan tidak sah atau kekerasan atas seseorang atau harta benda untuk
mengintimidasi sebuah pemerintahan, penduduk sipil dan elemen-elemennya
untuk mencapai tujuan sosial atau politik.125
Terorisme

sebagai

kejahatan

internasional

yang

pengaturannya

didasarkan pada instrumen-instrumen internasional, terorisme juga merupakan
bentuk kejahatan internasional karena memenuhi unsur-unsur kejahatan
internasional. Menurut M. Cherif Bassiouni unsur kejahatan internasional
adalah126

125
126

a)

Unsur Internasional, yaitu:
1)
direct threat to world peace and security (ancaman langsung
terhadap perdamaian dan keamanan dunia);
2)
indirect threat to world peace and security (ancaman tidak
langsung terhadap perdamaian dan keamanan dunia);
3)
shocking to the conscience of humanity (Tekanan terhadap
kemanusiaan).

b)

Unsur Transnasional, yaitu:
1)
conduct affecting more than state (berdampak lebih dari satu
negara);
2)
conduct including or affecting citizens of more than one state;
means and methods, transnational bounderies (berdampak
atau termasuk berakibat terhadap masyarakat lebih dari satu
negara; tujuan dan cara, gabungan kejahatan transnasoinal);

Muladi, Loc.cit
Dadang Siswanto, Loc. Cit

Universitas Sumatera Utara

75

3)

Necessity: cooperation of state necessary to enforcement
(Kepentingan: kerjasama dari negara yang berkepentingan
dalam penegakan).

Sesuai dengan pendapat M Cherif Bassiouni tersebut di atas, maka
kejahatan

terorisme

internasional

memenuhi

unsur-unsur

kejahatan

internasional. Adapun unsur internasionalnya adalah bahwa tindakan terorisme
secara tidak langsung dapat menimbulkan gangguan terhadap ketertiban dan
keamanan internasional, sebagai contoh penyerangan Amerika Serikat dipicu
oleh peledakan gedung WTC. Di samping itu juga akibat dari tindakan
terorisme yang menimbulkan korban di kalangan penduduk sipil merupakan
perbuatan yang menggoyahkan perasaan kemanusiaan.
Pengaturan menyangkut terorisme di Negara yang menganut sistem
hukum common law antara lain United State of Amerika dan United Kingdom
dapat diuraikan sebagai berikut:127
a)

Negara Amerika Serikat mengatur pemberantasan terorisme di
dalam PATRIOT ACT 2001 (United State of Amerika) yang
membedakan terorisme kedalam terorisme domestik dan terorisme
internasional. Amerika Serikat mendefinisikan terorisme sebagai
berikut: Terrorism is activities that involve violent... or lifethreatening acts... that are a violation of the criminal laws of the
United States or of any State and... appear to be intended (i) to
intimidate or coerce a civilian population; (ii) to influence the
policy of a government by intimidation or coercion; or (iii) to affect
the conduct of a government by mass destruction, assassination, or
kidnapping; and...
occur primarily within
the territorial
jurisdiction of the United States...or... occur primarily outside the
territorial jurisdiction of the United States.128 Terorisme domestik

127

Soeharto, Op.cit, halaman. 98-102
Chapter 113B of Part I of Title 18 of The United States Code in Section 2331, artinya:
“terorisme merupakan Kegiatan-kegiatan yang melibatkan kekerasan... atau aksi-aksi yang
128

Universitas Sumatera Utara

76

berkaitan dengan tindakan yang sangat membahayakan nyawa atau
kehidupan manusia yang melanggar undang-undang pidana federal
atau Negara bagian. Tindakan bertujuan untuk mengintimidasi atau
memaksa penduduk sipil, untuk mempengaruhi kebijakan
pemerintah dengan mengintimidasi atau pemaksaan, mempengaruhi
pemerintah dengan perusakan masal, pembunuhan atau penculikan
dan terjadi secara khusus di dalam yuridiksi Amerika Serikat.
Pemerintah Amerika Serikat setelah tragedi 11 September 2001
telah melakukan perubahan-perubahan secara menyeluruh terhadap
perundang-undangan yang berkaitan dengan pemberantasan
terorisme. Di dalam United States of Public Law 107-56 (HR 3162)
tanggal 26 Oktober 2001 Congress Amerika Serikat telah berhasil
mengundangkan: Uniting and Strenghtening America by Providing
Approriate Tools Required to Intercept and Obstruct Terorism atau
disingkat United State Amerika PATRIOT ACT 2001. Undangundang baru yang merupakan amandemen United States Code
terdiri dari 10 bab dan 1016 Pasal. Kesepuluh bab Undang-Undang
PATRIOT ACT 2001 tersebut ialah Bab I tentang Peningkatan
Keamanan Domestik dari Terorisme, Bab II tentang Peningkatan
Prosedur Penyadapan, Bab III tentang Pelacakan Pencucian Uang
Internasional dan Anti Pendanaan Terorisme, Bab IV tentang
Perlindungan Perbatasan, Bab V tentang Penghindaran Hambatan
untuk Penyelidikan Terorisme, Bab VI tentang Perlindungan bagi
Korban Terorisme, Pejabat Publik dan Keluarganya, Bab VII
tentang Peningkatan Pemerataan Informasi untuk Perlindungan
terhadap Infrastruktur Rentan, Bab VIII tentang Penguatan UndangUndang Pidana terhadap Terorisme, Bab XI tentang Pemajuan
Intelijen, Bab X Lain-lain.
b)

Negara Inggris (United Kingdom) pengaturan menyangkut
pemberantasan terorisme diantur pada Undang-Undang United
Kingdom Tahun 2000 yang merumuskan terorisme sebagai tindakan
dengan melibatkan ancaman yang bertujuan untuk mempengaruhi
pemerintah atau mengintimidasi masyarakat atau segala unsurunsur masyarakat, ancaman tersebut ditujukan karena alasan politik,
agama, atau idiologis atau idealisme tertentu dan tindakan itu
mengakibatkan kejahatan yang serius terhadap orang lain,

mengancam kehidupan, yang merupakan pelanggaran terhadap undang-undang kriminal Amerika
Serikat atau negara manapun dan... yang terjadi karena keinginan untuk (i) menakut-nakuti atau
memaksa pen-duduk sipil; (ii) mempengaruhi kebijakan pemerintah dengan intimidasi atau paksaan,
atau (iii) memberikan dampak terhadap langkah suatu pemerintah dengan cara perusakan massal,
pembunuhan atau penculikan; dan... terjadi pada mulanya di dalam jurisdiksi teritorial Amerika
Serikat... atau... terjadi pada mulanya di luar jurisdiksi teritorial Amerika Serikat.”

Universitas Sumatera Utara

77

kerusakan fasilitas umum secara serius, membahayakan kehidupan
seseorang, selain dari orang yang melakukan tindakan tersebut,
tindakan itu berdampak pada bahaya yang serius pada kesehatan
atau keselamatan umum dan direncanakan secara serius untuk
mengganggu atau mengacaukan sistem elektronik, melibatkan
bahan peledak atau pembakaran dan aksi atau tindakan yang
mencakup di luar lingkungan Negara Inggris yang menguntungkan
organisasi terlarang. Pemerintah juga dapat melarang berbagai
organisasi yang memiliki jaringan dengan terorisme. Inggris
mendefinisikan terorisme sebagai berikut: “Terrorism is the use of
threat is designed to influence the government or to intimidate the
public or a section of the public ...and the use of threat is made for
the purpose of advancing a political, religious or ideological
cause....it involves serious violence against a person, involves
serious damage to property, endangers a person's life, other than
that of the person committing the action,...creates a serious risk to
the health or safety of the public or a section of the public or is
designed seriously to interfere with or seriously to disrupt an
electronic system...”.129 Defenisi ini menjelaskan bahwa terorisme
adalah penggunaan ancaman yang dimaksud untuk mempengaruhi
pemerintah atau bentuk intimidasi publik dan penggunaan ancaman
bertujuan untuk hal-hal politis, religi atau ideologi. Di samping itu
Negara-negara Uni Eropa mendefinisikan terorisme sebagai berikut:
“terrorism is...certain criminal offences set out in a list comprised
largely of serious offences against persons and property which;
"given their nature or context, may seriously damage a country or
an international organization where committed with the aim of:
seriously intimidating a population; or unduly compelling a
Government or international organization to perform or abstain
from performing any act; or seriously establishing or destroying the
fundamental political, constitutional, economic or social structures
of a country or an international organization...”.130 Berdasarkan
129

Terrorism Act 2000, artinya: "Terorisme adalah penggunaan ancaman dirancang untuk
mempengaruhi pemerintah atau menakut-nakuti masyarakat umum atau kelompok masyarakat... dan
penggunaan ancaman dilakukan untuk kepentingan pengembangan sesuatu kepentingan yang bersifat
politik, agama atau ideologi yang melibatkan kekerasan secara nyata (serius) terhadap manusia,
melibatkan perbuatan yang nyata merusak harta benda, membahayakan kehidupan manusia selain
dirinya sendiri... menimbulkan suatu akibat nyata (serius) terhadap kesehatan atau keamanan
masyarakat umum atau kelompok masyarakat atau dirancang secara nyata (serius) untuk mengganggu
secara nyata (serius) sehingga merusak suatu sistem elektronika..."
130
Articel 1 of The Framework Decision on Combating Terrorism (2002). Arti dari definisi di
atas adalah: “terorisme adalah...tindak kriminal tertentu sebagaimana terdapat da-lam suatu daftar yang
memuat sebagian besar dari keja-hatan-kejahatan terhadap manusia dan harta benda yang;
"memberikan keadaan atau suasana kerusakan nyata (serius) terhadap suatu negara atau suatu

Universitas Sumatera Utara

78

uraian di atas mensyaratkan bahwa terorisme menurut Negaranegara Uni Eropa memaknai dan mendefenisikan terorisme sebagai
bentuk tindakan kriminal terhadap orang atau barang yang dapat
membahayakan Negara. Dalam Undang-Undang Terorisme Negara
Inggris Tahun 2000, menyatakan bahwa siapapun yang menjadi
anggota, pendukung atau mengenakan berbagai atribut atau kostum
yang identik dengan keanggotaan organisasi terlarang tersebut.
Undang-Undang Terorisme Tahun 2000 juga mempidanakan
berbagai pelatihan yang dilakukan teroris. Selanjutnya dalam
menindaklanjuti kejadian pada 11 September, Inggris telah
mengeluarkan aturan anti terorisme dengan menetapkan UndangUndang Anti Terorisme, Kejahatan dan Keamanan Tahun 2001.
Tujuan undang-undang ini adalah untuk merespon atas serangan
terorisme pada 11 September di New York dan Washington.
Undang-undang ini mencakup serangan terhadap perbedaan ras
dalam Undang-Undang Kejahatan dan Pelanggaran Tahun 1998
terkait dengan serangan oleh kelompok keagamaan dan mengontrol
senjata kimia, nuklir dan biologis, menetapkan laboratorium dan
pihak yang terkait dengan penyakit khusus yang disebabkan oleh
mikroorganisme dan racun. Dalam undang-undang ini, pihak
kepolisian dapat mengidentifikasi berbagai tanda, mengambil sidik
jari tersangka agar dapat mengidentifikasi mereka, dan memfoto
tersangka, memfasilitasi memori dengan penyediaan layanan
komunikasi terkait demi keamanan nasional agar mereka memiliki
akses yang terkait dengan keamanan, investigasi dan penegakan
hukum.
Berdasarkan pengaturan menyangkut terorisme di Negara yang menganut
sistem hukum common law di atas maka dapat diidentifikasi terorisme
merupakan penggunaan atau ancaman tindakan dengan ciri-ciri :131

organisasi inter-nasional untuk mencapai: ketakutan nyata (serius) di ka-langan penduduk; atau
menarik secara paksa perhatian dari sebuah pemerintahan atau organisasi internasional agar melakukan
sesuatu langkah atau agar tidak melaku-kan langkah apa-apa; atau menimbulkan destabilisasi yang
nyata (serius) atau merusak basis politik, konstitusi, ekonomi atau struktur-struktur sosial dari suatu
negara atau suatu organisasi internasional...”
131
F. Budi Hardiman, Terorisme, Definisi, Aksi dan Regulasi, Imparsial, Jakarta, 2003,
halaman. 4.

Universitas Sumatera Utara

79

2.

a)

Aksi yang melibatkan kekerasan serius terhadap seseorang,
kerugian berat pada harta benda, membayakan kehidupan
seseorang, bukan kehidupan orang yang melakukan tindakan,
menciptakan resiko serius bagi kesehatan atau keselamatan publik
atau bagian tertentu dari publik atau didesain secara serius untuk
campur tangan atau mengganggu sistem elektronik.

b)

Penggunaan ancaman atau didesain untuk mempengaruhi
pemerintah atau mengintimidasi publik atau bagian tertentu dari
publik.

c)

Penggunaan atau ancaman dibuat dengan tujuan mencapai tujuan
politik, agama atau ideologi.

d)

Penggunaan atau ancaman yang masuk dalam kegiatan yang
melibatkan penggunaan senjata api atau bahan peledak.

Negara yang menganut sistem Civil Law
Istilah "terorisme" umumnya berkonotasi negatif, seperti juga istilah

"genosida" atau "tirani". Istilah ini rentan dipolitisasi. Kekaburan defisi
membuka peluang penyalahgunaan.132 Teror adalah fenomena yang cukup tua
dalam sejarah. Menakut-nakuti, mengancam, memberi kejutan kekerasan atau
membunuh dengan maksud menyebarkan rasa takut adalah taktik-taktik yang
sudah melekat dalam perjuangan kekuasaan, jauh sebelum hal-hal itu dinamai
"teror" atau "terorisme". Tindakan teror bisa dilakukan oleh negara, individu
atau sekelompok individu, dan organisasi. Pelaku biasanya merupakan bagian
dari suatu organisasi dengan motivasi cita-cita politik atau cita-cita religius
tertentu yang dilakukan oleh seorang atau beberapa orang/kelompok yang
mempunyai keyakinan tertentu. Makna terorisme mengalami pergeseran dan
perluasan paradigma yaitu sebagai suatu perbuatan yang semula dikatergorikan
132

Sunarto, Loc.cit

Universitas Sumatera Utara

80

sebagai crime againt state sekarang meliputi terhadap perbuatan-perbuatan
yang disebut sebagai crime againt humanity di mana yang menjadi korban
adalah masyarakat yang tidak berdosa, semuanya dilakukan dengan delik
kekerasan (kekerasan sebagai tujuan), kekerasan (violence) dan ancaman
kekerasan (threat of violence).133 Adanya suatu feeling for fear atau
intimidating to public and governmental yang tujuan ahirnya adalah berkaitan
dengan delik politik, yaitu melakukan perubahan sistem politik yang berlaku
dalam suatu negara. Dampak yang demikian luas akibat tindakan terorisme,
maka perlu dilakukan upaya-upaya untuk melindungi warganegara dan
133

Bahtiar Marpaung, Aspek Hukum Pemberantasan Terorisme Di Indonesia, Jurnal
Equality, Vol. 12 No. 2 Agustus 2007 halaman 121 bahwa berdasarkan usulan dari konsensus
akademis tahun 1999, yang ditetapkan United Nations General Assembly, definisi tentang terorisme
adalah sebagai berikut Terorism is an anxiety-inspiring method of repeated violent action, employed by
(semi-) clandestine individual, group or state actors, for idiosyncratic, criminal or political reasons,
whereby in contrast to assassination the direct targets of attacks are not the main targets. The
immediate human victims of violence are generally chosen randomly (targets of opportunity) or
selectively (representative of symbolic targets) form a target population, and serve as message
generators. Threat and violence based communication processes between terorist (organization),
(imperiled) victims, and main targets are used to manipulate the main target (audience(s)), turning it
into a target of terror, a target of demands, or a target of attention, depending on whether
intimidation, coercion, or propaganda is primarily sought. Sedikitnya ada tiga elemen yang harus
dipenuhi untuk dapat memenuhi unsur definisi di atas, yaitu motif politik, rencana atau niat, dan
penggunaan kekerasan. Menurut Konvensi PBB tahun 1937, teorisme adalah segala bentuk tindak
kejahatan yang ditujukan langsung kepada negara dengan maksud menciptakan bentuk teror terhadap
orang-orang tertentu atau kelompok orang atau masyarakat luas. Ayatullah Sheikh Muhammad AI
Taskhiri, menyatakan: “terrorism is an act carried out to achieve on in "human and corrupt objective
and involving threat to security of mankind, and violation of rights acknowledge by religion and
mankind”. Selanjutnya menurut FBI, “terrorism is the unlawful use of force or violence "against
persons or property to intimidate or coerce a government, civilian populations, or any segment threat,
in furtherance of political or social objective”. Dari sebuah forum curah pendapat (brain-storming)
antara para akademisi, profesional, pakar, pengamat politik dan diplomat terkemuka yang diadakan di
Kantor Menko Polkam tanggal 15 September 2001, dapat dicatat beberapa pendapat atau pandangan
mereka mengenai terorisme, adalah sebagai berikut: Terorisme dapat diartikan sebagai tindakan
kekerasan yang dilakukan sekelompok orang (ekstrimis, separatis, suku bangsa) sebagai jalan terakhir
untuk memperoleh keadilan yang tidak dapat dicapai mereka melalui saluran resmi atau jalur hukum.
Dari pandangan mereka dapat dikemukakan juga bahwa tindakan kekerasan (terrorism) tersebut
diartikan sebagai cara (means) atau senjata bagi kelompok yang lemah untuk melawan kelompok yang
kuat atau suatu cara bagi kelompok tertentu untuk mencapai tujuan.

Universitas Sumatera Utara

81

kepentingan negara dengan membuat rambu-rambu hukum nasional, salah satu
cara

dengan

meratifikasi

perkembangan

hukum

international

tentang

penanggulangan tindakan terorisme.
Menurut Farouk Muhammad, ada dua penyebab terjadinya perbuatan
melakukan kejahatan terorisme yaitu Teror merupakan reaksi jahat terhadap
aksi yang dipandang “lebih jahat” oleh pelaku, sehingga bukan merupakan
kejahatan yang berdiri sendiri (interactionism) dan dapat dikelompokkan ke
dalam kejahatan balas dendam (hate crimes).134 Pertama, Pandangan “lebih
jahat” itu sendiri lebih merupakan persepsi dari pada fakta. Karena itu,
prasyarat

utama

bagi

terjadinya

teror

adalah

sikap/perbuatan

seseorang/sekelompok orang bahkan kebijakan penguasa (negara) yang
dipandang secara subyektif oleh pelaku atau kelompok pelaku sebagai
mendzolimi, semena-mena, diskrimintaif dan/atau tidak adil bagi pihak lain.
Kedua, bahwa pelaku tidak mempunyai kemampuan untuk memberi reaksi
(jahat) secara langsung dan terbuka sementara di lain pihak tidak tersedia
legitimate means untuk mengoreksi sikap/perbuatan dan/atau kebijakan
dimaksud. Kedua kondisi inilah yang merupakan akar permasalahan yang
menumbuhkan perbuatan teror. Dalam bentuk yang paling sederhana, teror
dijumpai dalam kehidupan sosial kemasyarakatan kita, misalya yang dilakukan
seseorang terhadap sebuah keluarga dalam bentuk fitnah, kabar bohong dan

134

Jeanne Darc Noviayanti Manik, Tindak Pidana Terorisme, Equality, Vol. 12 No. 2
Agustus 2007, halaman 146

Universitas Sumatera Utara

82

atau hasutan atau ancaman melalui telepon. Yang paling kompleks adalah
pembajakan pesawat dan peyerangan atau pemboman bunuh diri. Yang terakhir
ini baru dikenal dengan terorisme. Disebut „teror-isme‟ karena dipandang
sebagai suatu yang digandrungi (menjadi suatu paham atau isme) dengan
menggunakan terror sebagai serana pemaksa kehendak dalam peyelesaian suatu
permasalahan.
Tujuan teror adalah terwujudya cita-cita atau apa yang hendak
diperjuangkan oleh pelaku dalam kasus pembajakan misalya, adalah tuntutan
pembebasan rekan seperjuangan yang ditahan oleh penguasa atau lawan. Dalam
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 1 tahun 2002 yang
dimaksud dengan tidak pidana terorisme adalah segala perbuatan yang
memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam peraturan
pemerintah pengganti undang-undang ini. Adapun ancaman pidana yang
melakukan tindak pidana terorisme dipidana penjara paling singkat empat tahun
dan paling lama dua puluh tahun tindak pidana terorisme dengan pidana penjara
paling singkat tiga tahun dan paling lama lima belas tahun, setiap orang yang
dengan sengaja meyediakan atau mengumpulkan harta kekayaan dangan tujuan
akan digunakan atau patut diketahui akan digunakan sebagai atau seluruhnya
untuk melakukan tindak pidana terorisme.
Teror sudah ada dan terjadi sejak lama, namun peristiwa 11 September
2001, menghentakkan dunia, tidak hanya Amerika Serikat. Peristiwa yang
sampai disiarkan langsung oleh stasiun Metro TV, merelay siaran langsung dari

Universitas Sumatera Utara

83

CNN itu sangat mencengangkan. Gambar yang muncul di televisi begitu
dramatis, Gedung WTC (World Trade Centre) yang begitu perkasa, runtuh
perlahan, hancur lebur menjadi debu. Kepanikan dan ketakutan mewarnai
Amerika Serikat. Presiden George W. Bush segera mengumumkan kepada
dunia, bahwa Amerika diserang teroris biadab. Teroris tersebut adalah Osama
bin Laden dan jaringannnya, Al Qaeda.Teroris itu adalah Islam, Arab.135 Sejak
itu, kata “terorisme” menjadi kata yang paling populer dan tidak ada habishabisnya disebut masyarakat dalam obrolan sehari-hari. Osama bin Laden,
dengan Al Qaeda-nya dikejar-kejar, karena dianggap sebagai biang peledakan.
Tidak hanya Osama tetapi Afghanistan yang saat itu diperintah rezim Thalibanpun harus dibombardir Amerika beserta sekutunya karena dianggap melindungi
Osama bin Laden, Thalibanpun hancur.
Rakyat Indonesia yang nota bene tidak ada sangkut pautnya dengan
peledakan WTC mulai terhentak atas pernyataan Menteri Senior Singapura
yang dikutip The Straits Times yang lancang menyatakan bahwa Singapura
tidak akan pernah aman bertetangga dengan Indonesia yang menjadi sarang
teroris.136 Hal ini diperkuat dengan pernyataan Kedubes Amerika Serikat di
Indonesia, bahwa di Indonesia ada jaringan teroris. Nampaknya hal tersebut
terkait dengan pernyataan Badan Intelijen Nasional (BIN) yang menyatakan
bahwa Poso sebagai tempat latihan orang-orang yang terkait dengan jaringan
135

Adian Husaini, Jihad Osama Versus Amerika, Jakarta, Gema Insani Pers, 2001,

halaman. ix
136

Ibid

Universitas Sumatera Utara

84

Al Qaeda dan Afghanistan. Kata “Terorisme” pun semakin akrab di telinga
masyarakat Indonesia, dan seolah menjadi bahan perbincangan yang “paling
mengasyikkan”.137
Kejadian pemboman Paddy‟s Pub dan Sari Club di Legian, Kuta Bali
pada tanggal 12 Oktober 2002 persis satu tahun setelah Tragedi WTC–semakin
mengejutkan bangsa Indonesia, hal itu disebabkan jumlah korban yang begitu
besar dan bersifat massal, bahkan mereka (korban) adalah orang-orang yang
tidak tahu menahu dan tidak ambil peduli terhadap kebijakan politik negara
yang menjadi sasaran utama para teroris. Para korban hanya diposisikan sebagai
sasaran antara dari tujuan utama yang hendak dicapai para teroris.
Korban yang bersifat massal dan acak inilah yang mengancam keamanan
dan perdamaian umat manusia (human security). Keamanan seolah menjadi
barang mahal yang sangat sulit diperoleh. Akhir-akhir ini ancaman terhadap
human security semakin meningkat. Senjata-senjata yang dipergunakan para
teroris adalah senjata pemusnah dan perusak massal (weapon of massive
destruction), bahkan teroris senantiasa melakukan gerakan

terorisme

internasional dengan modus operandi baru, seperti penggunaan bom surat, dirty
bomb, gas sianida dan apa yang diidentifikasi sebagai bom beracun yang
mengandung zat radioaktif.
Modus operandi yang dilakukan oleh pelaku teror telah melampaui dari
batasan
137

kejahatan-kejahatan

yang

dikategorikan

sebagai

kejahatan

Ibid

Universitas Sumatera Utara

85

konvensional, kemudian beberapa kalangan mengkategorikan kejahatan
terorisme sebagai “extra ordinary crime”. Dan terorisme dianggap sebagai
“hostes humanis generis” musuh umat manusia138, sehingga diperlukan
tindakan / langkah yang bersifat luar biasa juga (extra ordinary measures).
Untuk menunjukkan terorisme sebagai hostes humanis generis” musuh umat
manusia dapat dicontohkan dalam kasus aksi terorisme di Bali sebagai
berikut:139
“Aksi terorisme di Bali pada tanggal 12 Oktober 2002 telah mengejutkan
pemerintah tidak hanya masyarakat Indonesia dan dikategorikan sebagai
“hostes humanis generis” musuh umat manusia, lebih-lebih kala itu
Indonesia belum mempunyai undang-undang yang mengatur pemberantasan tindak pidana terorisme. Namun sejak peristiwa tersebut, pada
tanggal 18 Oktober 2002, pemerintah serta merta mengundangkan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) Nomor 1
Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Perpu ini
sekarang telah ditingkatkan menjadi Undang-undang melalui Undangundang Nomor 15 Tahun 2003, dan untuk selanjutnya disebut Undangundang Terorisme). Perpu Nomor 1 Tahun 2002 ini dilengkapi dengan
Perppu Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Pember- lakukan Perppu Nomor 1
Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme,
Peristiwa Peledakan Bom Bali tanggal 12 Oktober 2002”.
Terorisme termasuk kategori extra ordinary crimes, membutuhkan extra
ordinary measures. Sehingga kelahiran Undang-undang terorisme ini tidak
lepas dari munculnya pro dan kontra. Pro dan kontra terjadi karena adanya
perbedaan titik tolak dalam memandang terorisme dengan dikeluarkannya UU
Terorisme. Di satu sisi kelompok kontra didasarkan pandangan pada
perlindungan Hak Asasi Manusia terhadap pelaku (offender oriented),
138
139

Muladi, Op.cit, halaman 18
Ibid

Universitas Sumatera Utara

86

sedangkan sisi lain titik tolak kelompok pro didasarkan pada pendekatan
perlindungan Hak Asasi Manusia terhadap korban (victim oriented). Setelah
lahirnya UU Terorisme di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, lebih
berorientasi pada victim oriented tanpa memperhatikan offender oriented, hal
ini terlihat dari rumusan Pasal 36 dan Pasal 37 UU Terorisme yang menyatakan
bahwa “setiap orang atau ahli warisnya akibat tindak pidana terorisme berhak
mendapatkan konpensasi, restitusi dan rehabilitasi”. Rumusan ini diartikan
sebagai victim and witness protection principle.
Alasan yang disampaikan oleh kelompok kontra dengan dikeluarkannya
Undang-undang Terorisme antara lain:140

140

a)

Undang-undang Terorisme melanggar Hak Asasi Manusia (HAM)
karena dapat berlaku surut (retro aktif), sedangkan pemberlakuan
surutnya sampai kapan tidak dirumuskan secara tegas.

b)

Undang-undang terorisme dibuat dalam suasana ketergesa-gesaan,
sehingga terkesan hanya sekedar menuruti kemauan pihak tertentu,
bukan kehendak dan kebutuhan murni masyarakat.

c)

Undang-undang Terorisme merupakan “reinkarnasi” dari Undangundang Nomor 11/Pnps/1963 Tentang Pemberantasan Kegiatan
Subversi. Kekhawatiran ini didasarkan pada adanya kewenangan
yang luar biasa kepada intelijen untuk memberikan laporan (sebagai
bukti permulaan yang cukup). Meskipun ada lembaga “hearing”
untuk dapat atau tidaknya diproses lebih lanjut yang dilakukan oleh
Ketua Pengadilan Negeri, namun hal ini masih meragukan, karena
laporan intelijen adalah sedemikian rumit mungkin saja tidak
mampu dipahami seorang Ketua Pengadilan Negeri.

Ibid

Universitas Sumatera Utara

87

d)

Aksi terorisme sebenarnya masih bisa ditanggulangi dengan
menggunakan hukum pidana umum (KUHP), misalnya masalah
pembunuhan, pembakaran, peledakan bom dan sebagainya.

Bagi kelompok yang mendukung terhadap dikeluarkannya Undangundang Terorisme, berdasar pada argumentasi bahwa peraturan perundangundangan yang telah ada (terutama KUHP) tidak dapat diterapkan kepada actor
intelectualis dari pelaku teror ini, dalam arti bahwa dipidana lebih berat dari
actor physicus nya. Hal ini karena justru actor intelectualis dalam aksi
terorisme mempunyai peran sangat penting dibanding dengan actor physicusr
nya. Di samping itu, penanganan terorisme harus segera mungkin, dan hal ini
tidak bisa terlaksana apabila diserahkan pada hukum acara biasa. Oleh karena
itu perlu pengaturan khusus, termasuk hukum acaranya.
Alasan yang menjadi kerangka dasar bagi kelompok yang mendukung
dikeluarkannya aturan menyangkut terorisme di dalam Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme adalah
didasarkan pada perlindungan korban (memandang dari sisi korban terorisme),
di mana teror merupakan ancaman bagi hak-hak individu seperti hak untuk
hidup (right to life), bebas dari rasa takut (freedom from fear), maupun hak-hak
kolektif seperti rasa takut yang bersifat luas, bahaya terhadap kebebasan
demokrasi, integritas teritorial, keamanan nasional, stabilitas pemerintahan

Universitas Sumatera Utara

88

yang sah, pembangunan sosial ekonomi, ketentraman masyarakat madani yang
pluralistic, harmoni dalam perdamaian inetrnasional dan sebagainya 141 .
Teror biasanya dilakukan secara
(indiscriminate)

acak (random) dan tidak terseleksi

sehingga sering mengorbankan orang-orang yang tidak

bersalah termasuk wanita dan anak-anak dan sering dilakukan secara
terorganisisr dan bersifat transnasional (transnational organized crime).
Alasan-alasan tersebut semakin mendasari kebutuhan akan adanya pengaturan
terorisme secara tersendiri dan khusus.
Tindak pidana terorisme berdasarkan perkembangan lingkungan startegik
merupakan kejahatan terorganisir, memiliki jaringan nasional maupun
internasional yang sangat meresahkan dan menjadi perhatian dunia.

Tindak

pidana terorisme setiap saat akan terjadi dengan sasaran yang tidak dapat
diprediksi, tindakannya menimbulkan ketakutan masyarakat secara luas,
menimbulkan korban jiwa dan kerugian harta benda yang tidak sedikit, juga
menimbulkan dampak yang sangat luas terhadap kehidupan berbangsa dan
bernegara. Kejahatan tersebut memiliki karakteristik spesifik yang tidak
dimiliki kejahatan-kejahatan konvensional yaitu dilaksanakan secara sistematis
dan meluas serta terorganisasi sehingga merupakan ancaman yang sangat serius
terhadap masyarakat, bangsa dan negara. Oleh karenanya kejahatan terorisme
masuk ke dalam “Trans National Crime” dan “Extra Ordinary Crime”.142

141
142

Muladi, Op.cit, halaman. 1-2.
Soeharto, Lo.cit.

Universitas Sumatera Utara

89

Kejahatan terorisme memiliki karakteristik spesifik yang tidak dimiliki
kejahatan-kejahatan konvensional yaitu dilaksanakan secara sistematis dan
meluas baik perekrutan pengantin, perencanaan serta terorganisasi. Pelaku
terorisme saat ini dalam melakukan perekrutan menggunakan indoktrinasi
ideologi jihad yang subjektif berdasarkan doktrin soft power yang diartikan
dengan cara memikat menggunakan berbagai cara disertai proses kooptasi
sehingga orang dengan suka rela menuruti apa saja yang dimau pihak lain,143
sehingga terorisme merupakan ancaman yang sangat serius terhadap
masyarakat, bangsa dan negara. Dampak yang cukup signifikan adalah
terganggunya stabilitas Kamdagri.
Terorisme sebagai kejahatan telah berkembang menjadi lintas negara.
Kejahatan yang terjadi di dalam suatu negara tidak lagi hanya dipandang
sebagai yurisdiksi satu negara tetapi bisa diklaim termasuk yurisdiksi tindak
pidana lebih dari satu negara. Menurut Romli Atmasasmita dalam
perkembangannya kemudian dapat menimbulkan konflik yurisdiksi yang dapat
mengganggu hubungan internasional antara negara-negara yang berkepentingan
di dalam menangani kasus-kasus tindak pidana berbahaya yang bersifat lintas
batas teritorial.144 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU)
Nomor 1 Tahun 2002 yang kemudian disetujui menjadi Undang-Undang
143

Soft Power didefenisakan sebagai the ability to get what you want through attraction
rather than coercion,threats or payments.
144
Keterangan Pemerintah tentang diterbitkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2002 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang disampaikan oleh Menteri Kehakiman dan Hak Asasi
Manusia, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Tahun 2002, halaman 8.

Universitas Sumatera Utara

90

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yaitu Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2003 secara spesifik memuat perwujudan ketentuan-ketentuan yang
dikeluarkan Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) dalam Convention Against
Terorism Bombing (1997) dan Convention on the Suppression of Financing
Terorism (1997), antara lain memuat ketentuan- ketentuan tentang lingkup
yuridiksi yang bersifat transnasional dan internasional serta ketentuanketentuan khusus terhadap tindak pidana terorisme internasional. Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 juga mempunyai
kekhususan, antara lain:145

145

a)

Merupakan ketentuan payung terhadap peraturan perundangundangan lainnya yang berkaitan dengan tindak pidana terorisme.

b)

Memuat ketentuan khusus tentang perlindungan terhadap hak asasi
tersangka atau terdakwa yang disebut ”safe guarding rules”.

c)

Di dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini juga
ditegaskan bahwa tindak pidana yang bermotif politik atau yang
bertujuan politik sehingga pemberantasannya dalam wadah
kerjasama bilateral dan multilateral dapat dilaksanakan secara lebih
efektif.

d)

Memuat ketentuan yang memungkinkan Presiden membentuk
satuan tugas anti teror dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas
publik (sunshine principle) dan atau prinsip pemberantasan waktu
efektif (sunset principle) yang dapat mencegah penyalahgunaan
wewenang satuan tugas bersangkutan. Memuat ketentuan tentang
yuridiksi yang didasarkan kepada asas teritorial, asas ekstrateritorial
dan asas nasional aktif sehingga diharapkan dapat secara efektif
memiliki daya jangkauan terhadap tindak pidana terorisme.

e)

Memuat ketentuan tentang pendanaan untuk kegiatan teroris
sebagai tindak pidana terorisme sehingga sekaligus juga membuat
Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang.

Ibid

Universitas Sumatera Utara

91

f)

Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
ini tidak berlaku bagi kemerdekaan menyampaikan pendapat di
muka umum, baik melalui unjuk rasa, protes, maupun kegiatankegiatan yang bersifat advokasi.

g)

Di dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini tetap
dipertahankan ancaman sanksi pidana yang minimum khusus untuk
memperkuat fungsi penjeraan terhadap para pelaku tindak pidana
terorisme.

h)

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini merupakan
ketentuan khusus yang diperkuat sanksi pidana dan sekaligus
merupakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang
bersifat koordinatif (coordinating act) dan berfungsi memperkuat
ketentuan-ketentuan di dalam peraturan perundangan lainnya yang
berkaitan dengan pemberantasan terorisme.

Penanggulangan tindak pidana terorisme di dalam peraturan perundangundangan hendaknya merupakan kebijakan yang mengeliminasi akar motivasi,
yaitu dengan mewujudkan keadilan, pembebasan dari kemiskinan dan
keterbukaan diskursus religius.146 Upaya menanggulangi tindak pidana
terorisme yang bersifat internasional (international terrorism), dilakukan
dengan perumusan tindak pidana yang bersifat nasional baik yang diatur dalam
KUHP maupun yang diluar KUHP. Namun upaya tersebut belum memadai
mengingat elemen kejahatan yang bersifat spesifik dan tidak tertampungnya
berbagai aspirasi yang berkembang baik secara regional maupun internasional,
dalam rangka harmonisasi hukum. Elemen yang bersifat spesifik antara lain
adalah timbulnya suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas.
Dalam delik formil, hal ini dirumuskan sebagai "dolus specialis" sebagaimana

146

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. Cit., halaman 3

Universitas Sumatera Utara

92

diatur pada Pasal 7 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Pengaturan tindak pidana terorisme seharusnya bersifat sistem global dan
komprehensif (sebagai alternatif sistem evolusioner dan sistem kompromi).
Kandungannya, selain memuat kebijakan kriminal (criminal policy) yang
bersifat luas baik preventif maupun represif, terdapat pula beberapa cara yang
bersifat khusus (seperti prosedur "hearing", peradilan in absentia, diakuinya
alat bukti elektronik dan sebagainya), tanpa menyampingkan perlindungan
HAM (pengaturan perlindungan saksi, pelapor, korban kejahatan, sistem
"hearing "dan lain-lain.
Kebijakan kriminal (criminal policy) saat ini yang menjadi sasaran dalam
penanggulangan tindak pidana terorisme di dalam Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme adalah kebijakan
yang bersifat represif, ditujukan dalam kerangka pemberantasan, pengungkapan
dan penanganan kasus tindak pidana teror dan pelaku teror (terorist).
Pengaturan ini berupa penetapan tindakan-tindakan yang termasuk dalam
tindak pidana teror, prosedur penanganan (penyelidikan, penyidikan, dan
peradilan) serta sanksi yang diterapkan. Sedangkan kebijakan preventif belum
menjadi sasaran prioritas di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Tindak yang dilakukan oleh terorisme tidak dapat dibenarkan, apapun
motivasinya, di manapun tempatnya, kapan pun waktunya, dan siapapun yang

Universitas Sumatera Utara

93

menjadi targetnya. Teror, teroris atau terorisme adalah rangkaian kata yang saat
ini menjadi momok yang sangat menakutkan, tidak terkecuali bagi pemerintah
Indonesia. Aktivitasnya tidak hanya terkait dengan perlawanan suatu kelompok
terhadap negara untuk memperjuangkan kepentingan politik dan ideologi
tertentu. Terorisme telah berkembang jauh dan tidak hanya persinggungan
dengan ranah politik, tetapi telah pula menjangkau ke dalam ranah yang lebih
luas yaitu ekonomi, sosial budaya maupun agama.
Terorisme memiliki pengaruh kuat terhadap masyarakat, terutama jika
dipublikasikan secara ekstrem oleh media cetak atau elektronik.147 Aksi
kerusuhan tertentu sangat menarik dalam penayangan televisi. Apabila dengan
siaran langsung dari tempat kejadian, jutaan pemirsa ikut mendengarkan,
bahkan melihat teroris mengajukan tuntutan atau bereaksi. Aksi terorisme
modern berbeda dengan masa lalu, banyak masyarakat tak berdosa ikut menjadi
korban. Aksi teroris selalu mengikuti perubahan zaman. Beberapa negara di
dunia menyatakan diri perang melawan terorisme, tetapi terorisme tetap hidup
dan ancamannya semakin menakutkan.
Pemberantasan terorisme di Indonesia adalah dengan didasarkan pada
Perpu Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak