Urgensi Pemberian Bantuan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Terorisme

(1)

URGENSI PEMBERIAN BANTUAN HUKUM OLEH

ADVOKAT TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA

TERORISME

Tesis

Oleh

ARIZAL

097005007

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

URGENSI PEMBERIAN BANTUAN HUKUM OLEH ADVOKAT

TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA TERORISME

Tesis

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum

Dalam Program Studi Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

ARIZAL

097005007

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Tesis : URGENSI PEMBERIAN BANTUAN HUKUM

OLEH ADVOKAT TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA TERORISME.

Nama Mahasiswa : ARIZAL.

NIM : 097005007

Program Studi : Magister Ilmu Hukum.

Menyetujui: Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH. MHum K e t u a

)

(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH) (Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum A n g g o t a A n g g o t a

)

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum K e t u a


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 15 Agustus 2011.

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH. MHum. Anggota : 1. Prof. Suhaidi, SH, MH.

2. Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum 3. Dr. Jelly Leviza, SH, M.Hum


(5)

ABSTRAK

Advokat dalam kedudukannya sebagai suatu profesi yang mulia atau lebih dikenal dengan istilah officium nobile, maka Advokat berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, memiliki kewajiban dalam memberikan bantuan hukum. Secara ideal dapat dijelaskan bahwa bantuan hukum merupakan tanggung jawab sosial dari Advokat. Bantuan hukum tersebut juga diberikan terhadap pelaku tindak pidana terorisme, karena salah satu hak yang dimiliki oleh pelaku dari suatu tindak pidana yang dalam hal ini juga adalah pelaku tindak pidana terorisme adalah hak untuk mendapat bantuan hukum dari Advokat. Pemberian bantuan hukum terhadap pelaku yang diduga yang diduga telah melakukan suatu tindak pidana adalah didasarkan pada berbagai asas yang terdapat dalam hukum pidana dan hukum acara pidana, diantaranya adalah: pertama asas presumption of innocence (asas praduga tidak bersalah) dan kedua asas equality before the law (bahwa setiap orang sama dipandang dihadapan hukum). Adanya kedua asas ini jelaslah bahwa martabat manusia sebagai anggota masyarakat dihargai sehingga orang berhak menyatakan dirinya tidak bersalah sebelum terbukti kesalahannya dihadapan sidang Pengadilan.

Jenis penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan sifat penelitian deskriptif analitis. Dalam melakukan pengumpulan data dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu: penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan adalah dengan merujuk pada bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier, sedangkan penelitian lapangan yang digunakan hanya sebagai pendukung terhadap penelitian yuridis normatif, yaitu dilakukan melalui wawancara dengan informan yang terkait dengan penelitian yaitu Advokat dari Tim Pembela Muslim. Seluruh data yang sudah diperoleh dan dikumpulkan akan ditelaah dan dianalisis secara kualitatif, maksudnya adalah bahwa seluruh data dianalisis dengan cara menginterpretasikan secara kualitas tentang pendapat atau tanggapan informan, kemudian menjelaskannya secara lengkap dan komperhensif mengenai berbagai aspek yang berkaitan dengan pokok persoalan.

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa kendati pemberian bantuan hukum terhadap pelaku tindak pidana terorisme adalah sesuatu yang urgent disebabkan oleh karena pemberian bantuan hukum terhadap pelaku tindak pidana terorisme adalah kewajiban Advokat untuk menegakkan keadilan dan hak asasi manusia, namun pada kenyataannya pemberian bantuan hukum oleh Advokat terhadap pelaku tindak pidana terorisme mengalami berbagai hambatan, diantaranya adalah hambatan dari sisi Undang-Undang, hambatan dari sisi budaya hukum dan hambatan dari sisi aparat penegak hukum yang terdiri dari hambatan dari pihak kepolisian dan hambatan dari pihak kejaksaan.

Oleh karena itu, untuk mengatasi permasalahan diatas, hendaknya Perlu diberikan hak untuk mendapat bantuan hukum dari Advokat terhadap pelaku tindak


(6)

pidana terorisme yang substansinya diatur secara tersendiri dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dalam rangka penegakan hak asasi manusia. Disamping itu juga Perlu diberikan hak immunitas terhadap Advokat dan hak untuk mendapat perlindungan keselamatan dalam menjalankan profesinya dalam hal pendampingan pelaku tindak pidana terorisme mengingat tindak pidana terorisme adalah suatu kejahatan luar biasa.


(7)

ABSTRACT

Advocate in a position as a noble profession or known as afficium nobile, according to act No. 18 of 2003 concerning to Advocate has liability to provide the legal aid. Ideally it described that legal aid is a social responsibility of Advocate. Legal aid also provided to the terorism accused because one of right of accused of a crime especially the terorism is a right for legal aid from Advocate. Legal aid for the accused do a crime is based on any principle of presumption of innocence and the second one is a principle of equality before the law. By the both of principles indicated that human dignity as society member is respected so anyone has a right to state that himself is not do a mistake before it proven before the court.

This research is a normative juridical study in analytic descriptive study. By collecting the data in two methods, i.e. library and field study. The library study is refers to the primary law material even the secondary and tertiary law resources, while the field study only as the support on the normative juridical study, i.e. through interview the informant related to the research namely the Advocate from Moslem Lawyer Team. All of the collected data would studied and analyzed qualitatively in which all on the data was analyzed by interpretation qualitatively the opinion or respond of informant, and then describe the aspect related to the topic completely and comprehensively.

Based on the result of research it indicated that although the legal aid for the accused of terrorism is an urgent issue because the legal aid to the terrorism accused is a liability of Advocate for the law enforcement and human basic right, but in fact, the legal aid by Advocate to the terrorism accused has any obstacles, such as in the view point of rule, law culture, and law enforcer i.e. police and attorney.

Therefore, in order to solve the aforementioned problem, it is important to provide the terrorism accused with legal aid from Advocate that regulated by the Act on Terrorism Crime Eradication for the enforcement of human basic right. In addition it is important to provide the Advocate with immunity and right to get the safety protection in do this profession as terrorism accused advisory because the terrorism is an extraordinary crime.


(8)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim.

Pada detik yang berbahagia ini izinkanlah penulis memanjatkan segala puji dan syukur atas kehadirat ALLAH SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini dengan judul : ”Urgensi Pemberian Bantuan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Terorisme”. Demikian juga shalawat beriring salam disampaikan kepada Rasulullah SAW yang telah membawa manusia dari alam kebodohan ke alam kebenaran berdasarkan ilmu pengetahuan.

Dalam melaksanakan penulisan Tesis ini bukanlah merupakan pekerjaan yang ringan laksana membalikkan telapak tangan, hal tersebut ditandai dengan banyaknya rintangan dan cobaan yang datang silih berganti menyertai langkah penulis dalam melakukan penulisan tesis ini. Namun semua itu penulis anggap sebagai suatu ujian dari ALLAH SWT, sehingga harus penulis hadapi dengan penuh kesabaran dan senantiasa mengharap ridho dan pertolongan dari ALLAH SWT, karena penulis yakin bahwa ALLAH SWT tidak akan membebani dan menguji hambaNya melebihi dari daya dan kemampuannya.

Penulisan Tesis ini dapat terselesaikan tidak terlepas berkat adanya bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itulah pada kesempatan yang baik ini penulis menghaturkan banyak terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang penulis muliakan, yaitu:


(9)

1. Yang terpelajar Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH. MHum selaku ketua komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan dalam memperluas wawasan penulis.

2. Yang terpelajar Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH. MHselaku pembimbing II dan juga Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan bimbingan dan kesempatan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.

3. Yang terpelajar Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, SH. MHum selaku pembimbing III yang ditengah-tengah kesibukannya masih sempat untuk meluangkan waktunya dalam memberikan arahan, bimbingan dan masukan yang sangat bermanfaat bagi penulis dalam penulisan Tesis ini.

4. Yang Terpelajar Bapak Dr. Jelly Leviza, SH. MHum dan yang terpelajar Bapak Syafruddin S Hasibuan, SH. MH. DFM yang telah berkenan sebagai penguji dari mulai kolokium hingga meja hijau dan telah banyak memberikan kritik dan sarannya demi menuju tesis ini kearah yang lebih baik.

5. Seluruh civitas akademika dan pegawai di Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu.

6. Teman-teman satu angkatan di Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(10)

Semoga segala bantuan yang telah diberikan dapat dikategorikan sebagai amal saleh dan dibalas dengan pahal yang berlipat ganda oleh ALLAH SWT, Amin.

Dalam kesempatan ini juga penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada isteri penulis tercinta, yakni: Elvita Delar Ir Fariris yang dengan ketulusannya telah mencurahkan perhatian dan kasih sayang kepada penulis, serta senantiasa menemani penulis baik dalam suka maupun duka, penulis mengucapkan terimakasih yang tiada tara, semoga Elvita senantiasa berada dalam lindungan ALLAH SWT.

Akhirnya penulis sampaikan terimakasih yang tiada tara disertai dengan doa nan tulus penulis untuk segala bantuan, doa restu, kasih sayang, pengorbanan, dan kesabaran yang telah diberikan orang tua penulis tercinta, yakni Ayahanda Bahtiar

dan Ibunda Asmah, kalian telah menjadi pemicu dan motivator bagi anakmu untuk berusaha semaksimal mungkin dalam menyelesaikan penulisan tesis ini. Serta penulis megucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh keluarga yang berada di Palembang Sumatera Selatan, khususnya orang yang telah penulis anggap sebagai orang tua kandung penulis, yakni: Ayahanda Hamzah Idrus dan Ibunda Huzailah.

Sesuai dengan kata pepatah ”Tiada Gading Yang Tak Retak, Kalau Tak Retak Bukanlah Gading” yang berarti juga penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharap kritik dan saran dari para pembaca sekalian demi menuju tulisan ini kearah yang lebih baik.


(11)

Akhirnya, penulis berharap tulisan ini dapat membawa manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya pengetahuan ilmu hukum, AMIN.

Terimakasih.

Medan, September 2011. Penulis


(12)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Arizal.

Tempat / Tanggal Lahir : Pangkalan Dodek / 18 Juli 1980.

Alamat : Jl. T. Haru Link. III Kel. Martubung, Kec. Medan Labuhan, Kota Medan.

Agama : Islam.

Pekerjaan : Advokat.

Status Pribadi : Sudah Menikah.

Pendidikan : 1. SD Neg. No. 010232 : Tahun 1994. Pangkalan Dodek.

1. Madrasah Tsanawiyah Swasta : Tahun1997. Pangkalan Dodek.

2. SMU Laksamana Martadinata : Tahun 2000 Medan.

4. Fakultas Hukum UISU : Tahun 2004. Nama Orang Tua Laki-Laki : Bahtiar.

Nama Orang Tua Perempuan : Asmah.

Anak Ke : 2 dari 6 bersaudara. Tahun Masuk Di Prog. Studi : Tahun 2009.


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... viii

DAFTAR ISI ... ix

BAB I : PENDAHULUAN ……….. 1

A. Latar Belakang ……….. 1

B. Permasalahan ... 14

C. Tujuan Penelitian ... 15

D. Manfaat Penelitian ... 15

E. Keaslian Penelitian ... 16

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 16

1. Kerangka Teori ... 16

2. Kerangka konsepsi ... 34

G. Metode Penelitian ... 36

1. Spesifikasi penelitian ... 36

2. Sumber data ... 37

3. Analisis data ... 38

BAB II : URGENSI PEMBERIAN BANTUAN HUKUM OLEH OLEH ADVOKAT TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA TERORISME ... 40


(14)

B. Landasan Filosofis dan Yuridis Pemberian Bantuan Hukum Oleh Oleh Advokat Terhadap Pelaku

Tindak Pidana Terorisme ... 46

C. Urgensi Pemberian Bantuan Hukum Oleh Advokat Terhadap Pelaku Tindak Pidana Terorisme ... 67

1. Pemberian bantuan hukum oleh Advokat terhadap pelaku tindak pidana terorisme kewajiban Advokat untuk menegakkan keadilan ... 69

2. Pemberian bantuan hukum oleh Advokat terhadap pelaku tindak pidana terorisme penegakan hak asasi manusia ... 74

3. Gambaran perlakuan aparat penegak hukum terhadap pelaku tindak pidana terorisme ... 78

BAB III : HAMBATAN-HAMBATAN YANG DIHADAPI OLEH ADVOKAT DALAM MEMBERIKAN BANTUAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA TERORISME ... 81

A. Hambatan Dari Sisi Undang-Undang ... 82

B. Hambatan Dari Sisi Aparat Penegak Hukum ... 87

1. Hambatan dari pihak kepolisian ... 88

2. Hambatan dari pihak kejaksaan ... 94

C. Hambatan Dari Sisi Budaya Hukum ... 99

BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN ... 107

A. Kesimpulan ... 107

B. Saran ... 109


(15)

ABSTRAK

Advokat dalam kedudukannya sebagai suatu profesi yang mulia atau lebih dikenal dengan istilah officium nobile, maka Advokat berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, memiliki kewajiban dalam memberikan bantuan hukum. Secara ideal dapat dijelaskan bahwa bantuan hukum merupakan tanggung jawab sosial dari Advokat. Bantuan hukum tersebut juga diberikan terhadap pelaku tindak pidana terorisme, karena salah satu hak yang dimiliki oleh pelaku dari suatu tindak pidana yang dalam hal ini juga adalah pelaku tindak pidana terorisme adalah hak untuk mendapat bantuan hukum dari Advokat. Pemberian bantuan hukum terhadap pelaku yang diduga yang diduga telah melakukan suatu tindak pidana adalah didasarkan pada berbagai asas yang terdapat dalam hukum pidana dan hukum acara pidana, diantaranya adalah: pertama asas presumption of innocence (asas praduga tidak bersalah) dan kedua asas equality before the law (bahwa setiap orang sama dipandang dihadapan hukum). Adanya kedua asas ini jelaslah bahwa martabat manusia sebagai anggota masyarakat dihargai sehingga orang berhak menyatakan dirinya tidak bersalah sebelum terbukti kesalahannya dihadapan sidang Pengadilan.

Jenis penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan sifat penelitian deskriptif analitis. Dalam melakukan pengumpulan data dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu: penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan adalah dengan merujuk pada bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier, sedangkan penelitian lapangan yang digunakan hanya sebagai pendukung terhadap penelitian yuridis normatif, yaitu dilakukan melalui wawancara dengan informan yang terkait dengan penelitian yaitu Advokat dari Tim Pembela Muslim. Seluruh data yang sudah diperoleh dan dikumpulkan akan ditelaah dan dianalisis secara kualitatif, maksudnya adalah bahwa seluruh data dianalisis dengan cara menginterpretasikan secara kualitas tentang pendapat atau tanggapan informan, kemudian menjelaskannya secara lengkap dan komperhensif mengenai berbagai aspek yang berkaitan dengan pokok persoalan.

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa kendati pemberian bantuan hukum terhadap pelaku tindak pidana terorisme adalah sesuatu yang urgent disebabkan oleh karena pemberian bantuan hukum terhadap pelaku tindak pidana terorisme adalah kewajiban Advokat untuk menegakkan keadilan dan hak asasi manusia, namun pada kenyataannya pemberian bantuan hukum oleh Advokat terhadap pelaku tindak pidana terorisme mengalami berbagai hambatan, diantaranya adalah hambatan dari sisi Undang-Undang, hambatan dari sisi budaya hukum dan hambatan dari sisi aparat penegak hukum yang terdiri dari hambatan dari pihak kepolisian dan hambatan dari pihak kejaksaan.

Oleh karena itu, untuk mengatasi permasalahan diatas, hendaknya Perlu diberikan hak untuk mendapat bantuan hukum dari Advokat terhadap pelaku tindak


(16)

pidana terorisme yang substansinya diatur secara tersendiri dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dalam rangka penegakan hak asasi manusia. Disamping itu juga Perlu diberikan hak immunitas terhadap Advokat dan hak untuk mendapat perlindungan keselamatan dalam menjalankan profesinya dalam hal pendampingan pelaku tindak pidana terorisme mengingat tindak pidana terorisme adalah suatu kejahatan luar biasa.


(17)

ABSTRACT

Advocate in a position as a noble profession or known as afficium nobile, according to act No. 18 of 2003 concerning to Advocate has liability to provide the legal aid. Ideally it described that legal aid is a social responsibility of Advocate. Legal aid also provided to the terorism accused because one of right of accused of a crime especially the terorism is a right for legal aid from Advocate. Legal aid for the accused do a crime is based on any principle of presumption of innocence and the second one is a principle of equality before the law. By the both of principles indicated that human dignity as society member is respected so anyone has a right to state that himself is not do a mistake before it proven before the court.

This research is a normative juridical study in analytic descriptive study. By collecting the data in two methods, i.e. library and field study. The library study is refers to the primary law material even the secondary and tertiary law resources, while the field study only as the support on the normative juridical study, i.e. through interview the informant related to the research namely the Advocate from Moslem Lawyer Team. All of the collected data would studied and analyzed qualitatively in which all on the data was analyzed by interpretation qualitatively the opinion or respond of informant, and then describe the aspect related to the topic completely and comprehensively.

Based on the result of research it indicated that although the legal aid for the accused of terrorism is an urgent issue because the legal aid to the terrorism accused is a liability of Advocate for the law enforcement and human basic right, but in fact, the legal aid by Advocate to the terrorism accused has any obstacles, such as in the view point of rule, law culture, and law enforcer i.e. police and attorney.

Therefore, in order to solve the aforementioned problem, it is important to provide the terrorism accused with legal aid from Advocate that regulated by the Act on Terrorism Crime Eradication for the enforcement of human basic right. In addition it is important to provide the Advocate with immunity and right to get the safety protection in do this profession as terrorism accused advisory because the terrorism is an extraordinary crime.


(18)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Advokat dalam kedudukannya sebagai sutau profesi yang mulia atau lebih dikenal dengan istilah officium nobile1

Oleh karena itu maka Advokat dituntut agar dapat mengalokasikan waktu dan juga sumber daya yang dimilikinya untuk memberikan bantuan hukum. Pemberian bantuan hukum oleh Advokat bukan hanya dipandang sebagai suatu kewajiban an sich, namun harus dipandang pula sebagai bagian dari kontribusi dan tanggung jawab sosial (social contribution and social liability) dalam kaitannya dengan peran dan fungsi sosial dari profesi Advokat. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat telah mengatur secara tegas mengenai kewajiban Advokat untuk memberikan bantuan hukum sebagai bagian dari kewajiban profesi. Dalam hal Advokat tidak melakukan kewajiban profesi maka dapat dikategorikan telah

, maka Advokat berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, memiliki kewajiban dalam memberikan bantuan hukum. Secara ideal dapat dijelaskan bahwa bantuan hukum merupakan tanggung jawab sosial dari Advokat.

1

Perhatikan Pasal 8 huruf a Kode Etik Advokat Indonesia, yang menyatakan bahwa: Profesi Advokat adalah profesi yang mulia dan terhormat (officium nobile), oleh karena itu dalam menjalankan profesi selaku penegak hukum dipengadilan sejajar dengan jaksa dan hakim, yang dalam melaksanakan profesinya berada dibawah perlindungan hukum, undang-undang dan kode etik.


(19)

melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban profesi sehingga dapat diberlakukan sanksi.2

Kendati demikian, seorang Advokat juga dapat menolak untuk memberi nasihat dan bantuan hukum kepada setiap orang yang memerlukan jasa dan atau bantuan hukum dengan pertimbangan oleh karena tidak sesuai dengan keahliannya dan bertentangan dengan hati nuraninya, akan tetapi tidak dapat menolak dengan alas an karena perbedaan agama, kepercayaan, suku, keturunan, jenis kelamin, keyakinan politik dan kedudukan sosialnya.3

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka yang dimintakan nasihat dan atau bantuan hukum dari seorang Advokat yang dimaksud disini adalah terkait dengan perbuatan jahat yang diduga telah dilakukan oleh seseorang atau lebih yang diduga telah melakukan suatu tindak pidana atau perbuatan jahat atau dengan perkataan lain seseorang atau lebih yang diduga telah melakukan perbuatan jahat yaitu tindak pidana terorisme.

Perbuatan jahat merupakan fenomena sosial yang senantiasa ada dalam kehidupan masyarakat dan akan selalu terjadi dan dihadapi oleh seluruh masyarakat di dunia ini. Perbuatan jahat atau kejahatan dirasakan sangat meresahkan dan mengganggu ketentraman hidup masyarakat. Pada hakekatnya suatu masyarakat selalu menginginkan adanya kehidupan yang tenang dan teratur, harmonis dan tentram serta jauh dari gangguan kejahatan yang mengancam kehidupan masyarakat.

2

Perhatikan Pasal 7 huruf h Kode Etik Advokat Indonesia.

3


(20)

Oleh karena itu, reaksi Negara terhadap perbuatan jahat yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang adalah bertujuan untuk melindungi kepentingan kepentingan masyarakat tersebut.4

Kejahatan terorisme merupakan salah satu bentuk kejahatan berdimensi internasional yang sangat menakutkan masyarakat. Di berbagai negara di dunia telah terjadi kejahatan terorisme baik di negara maju maupun negara-negara sedang berkembang. Aksi-aksi teror yang dilakukan telah memakan korban tanpa pandang bulu. Hal ini menyebabkan Perserikatan Bangsa Bangsa dalam kongresnya di Wina Austria tahun 2000 mengangkat tema The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders, antara lain menyebutkan terorisme sebagai suatu perkembangan perbuatan dengan kekerasan yang perlu mendapat perhatian. Menurut Muladi, terorisme merupakan kejahatan luar biasa (Extraordinary Crime) yang membutuhkan pula penanganan dengan mendayagunakan cara-cara luar biasa (Extraordinary Measure) karena berbagai hal:5

1. Terorisme merupakan perbuatan yang menciptakan bahaya terbesar (the greatest danger) terhadap hak asasi manusia. Dalam hal ini hak asasi manusia untuk hidup (the right to life) dan hak asasi untuk bebas dari rasa takut.

2. Target terorisme bersifat random atau indiscriminate yang cenderung mengorbankan orang-orang tidak bersalah.

3. Kemungkinan digunakannya senjata-senjata pemusnah massal dengan memanfaatkan teknologi modern.

4. Kecenderungan terjadinya sinergi negatif antar organisasi terorisme nasional dengan organisasi internasional.

4

Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, (Bandung: PT. Eresco, 1992), hlm. 127.

5

Muladi, Penanggulangan Terorisme Sebagai Tindak Pidana Khusus, Makalah Bahan Seminar Pengamanan Terorisme Sebagai Tindak Pidana Khusus, Jakarta, 28 Januari 2004.


(21)

5. Kemungkinan kerjasama antara organisasi teroris dengan kejahatan yang terorganisasi baikyang bersifat nasional maupun transnasional.

6. Dapat membahayakan perdamaian dan keamanan internasional.

Terorisme sebagai kejahatan telah berkembang menjadi lintas negara. Kejahatan yang terjadi di dalam suatu negara tidak lagi hanya dipandang sebagai yurisdiksi satu negara tetapi bisa diklaim termasuk yurisdiksi tindak pidana lebih dari satu negara. Menurut Romli Atmasasmita dalam perkembangannya kemudian dapat menimbulkan konflik yurisdiksi yang dapat mengganggu hubungan internasional antara negara-negara yang berkepentingan di dalam menangani kasus-kasus tindak pidana berbahaya yang bersifat lintas batas teritorial6

Kejahatan terorisme juga telah terjadi di Indonesia dan juga telah memakan korban orang yang tidak berdosa baik warga negara Indonesia sendiri maupun warga negara asing. Aksi peledakan bom bunuh diri pada tanggal 12 Oktober 2002 di Legian, Kuta Bali yang menewaskan kurang lebih 184 orang dan ratusan orang lainya luka berat dan ringan dari berbagai negara seperti Australia, Amerika Serikat, Jerman, Inggris dan lain-lain. Aksi-aksi lain dengan menggunakan bom juga banyak terjadi di Indonesia seperti di Pertokoan Atrium Senen Jakarta, peledakan bom di Gedung Bursa Efek Jakarta, peledakan bom restoran cepat saji Mc Donald Makassar, peledakan bom di Hotel J W Mariot Jakarta, peledakan bom di Kedutaan Besar Filipina dan dekat Kedutaan Besar Australia, serta beberapa kejadian peledakan bom di daerah konflik seperti Poso, Aceh dan Maluku yang kesemuanya itu menimbulkan

6

Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, (Bandung: PT. Rafika Aditama, 2000), hlm. 58.


(22)

rasa takut dan tidak tentram bagi masyarakat. Akibat aksi pengeboman tersebut disamping runtuhnya bangunan dan sarananya, juga telah menyebabkan timbulnya rasa takut bagi orang Indonesia maupun orang asing. Dikancah internasional menyebabkan turunnya rasa kepercayaan dunia internasional kepada sektor keamanan di Indonesia, menurunnya sektor pariwisata karena adanya pengakuan bahwa di Indonesia memang benar ada teroris.7

Akibat yang ditimbulkan karena perbuatan terorisme dapat dilihat dari peristiwa peledakan bom Bali pada tanggal 12 Oktober 2002 yang menyebabkan meninggalnya lebih kurang 184 orang dan yang menderita luka berat dan ringan dari berbagai bangsa yang sedang berwisata di Pulau Bali. Berbagai bangunan juga telah hancur akibat ledakan bom tersebut. Akibat secara ekonomi antara lain turis yang membatalkan kunjungannya ke Pulau Bali khususnya dan Indonesia pada umumnya karena merasa terancam dan tidak nyaman berada di Indonesia. Bahkan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan Resolusi Nomor 1438 (2002) yang mengutuk sekeras-kerasnya peledakan bom Bali dan menyampaikan duka cita dan simpati kepada pemerintah dan rakyat Indonesia serta para korban dan keluarganya, dan menyerukan kepada semua negara berdasarkan Resolusi Nomor 1373 (2002) untuk bekerjasama mendukung dan membantu Pemerintah Indonesia

7


(23)

untuk menangkap semua pelaku yang terkait dengan peristiwa bom Bali dan membawanya ke Pengadilan.8

Dengan tertangkapnya para pelaku yang diduga telah melakukan tindak pidana terorisme, khususnya di Indonesia sudah tentu para pelaku yang diduga melakukan tindak pidana terorisme tersebut mempunyai berbagai hak walaupun tindak pidana terorisme pada hakikatnya adalah kejahatan kemanusiaan. Sekurang-kurangnya ada 7 (tujuh) kelompok hak-hak tersangka/terdakwa yang secara tegas diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu:9

1. Hak untuk segera diperiksa. Pasal 50 KUHAP menentukan pemeriksaan segera itu untuk: dipenyidikan, diajukan kesidang pengadilan dan diadili serta mendapat putusan pengadilan.

2. Hak untuk melakukan pembelaan, yang diatur antara lain dalam Pasal 51 sampai dengan Pasal 57 KUHAP. Hak-hak pembelaan diri ini sekurang-kurangnya meliputi 8 (delapan) hal: (1) berhak diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangka/didakwakan, (2) hak pemberitahuan itu mulai berlaku pada waktu pemeriksaan, (3) pemberitahuan itu juga terhadap apa yang didakwakan dipersidangan pengadilan, (4) hak untuk memberikan keterangan secara bebas disemua tingkat pemeriksaan, (5) berhak mendapat juru bahasa, (6) berhak mendapat bantuan hukum pada semua tingkat

8

Susilo Bambang Yudhoyono, Selamatkan Negeri Kita Dari Terorisme, Kementrian Koordinator Polkam, 2002, hlm. 4.

9

Nikolas Simanjuntak, Acara Pidana Indonesia Dalam Sirkus Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2009), hlm. 119.


(24)

pemeriksaan dan setiap waktu yang diperlukan, (7) bebas memilih penasehat hukumnya, (8) wajib didampingi penasehat hukum dalam hal tersangka/terdakwa dipersangkakan tindak pidana dengan ancaman hukuman mati, 15 tahun keatas atau 5 tahun.

3. Hak tersangka/terdakwa selama berada dalam penahanan. Meliputi sekurang-kurangnya 6 (enam) hal, yaitu: (1) menghubungi dan menerima kunjungan dokter pribadinya untuk kepentingan kesehatan untuk proses perkara atau yang tidak berhubungan, (2) pemberitahuan status dan tempat penahanan kepada pihak keluarga atau orang yang serumah dengannya, (3) hak untuk menerima kunjungan keluarga atau Advokat, (4) hak atas kunjungan sanak keluarga untuk kepentingan pekerjaan atau urusan keluarga yang tidak ada hubungan dengan perkara tersangka/terdakwa, (5) hak untuk surat menyurat dengan Advokat atau keluarga, (6) hak untuk kunjungan rohaniawan.

4. Hak terdakwa selama masa persidangan, meliputi: (1) hak terdakwa untuk diadili pada persidangan yang terbuka untuk umum, (2) hak untuk mengajukan saksi yang meringankan, (3) hak untuk tidak dibebani pembuktian.

5. Hak terdakwa untuk melakukan upaya hukum biasa seperti banding dan kasasi, juga upaya hukum luar biasa untuk peninjauan kembali.

6. Hak tersangka atau terdakwa untuk menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi. 7. Hak terdakwa setelah putusan pengadilan diucapkan dipersidangan, meliputi: (1)

menerima atau menolak putusan, (2) mempelajari putusan selama tenggang waktu tujuh hari, (3) meminta penangguhan pelaksanaan putusan dalam tenggang waktu


(25)

yang ditentukan untuk dapat langsung mengajukan grasi, dalam hal ia menerima putusan, (4) meminta banding dalam tenggang waktu yang ditentukan, (5) mencabut pernyataan tentang menolak atau menerima putusan selama dalam tenggang waktu yang ditentukan.

Khusus yang berkaitan dengan hak untuk mendapat bantuan hukum dari seorang Advokat terhadap pelaku yang diduga telah melakukan tindak pidana terorisme, maka bantuan hukum adalah bantuan memberikan jasa untuk:10

1. Memberikan nasehat hukum.

2. Bertindak sebagai pendamping atau kuasa dalam menyelesaikan masalah yang timbul karena adanya perselisihan hukum yang menyangkut hak dan kewajiban seseorang baik diluar maupun dimuka pengadilan.

3. Bertindak sebagai pendamping dan pembela seseorang yang dituduh melakukan kejahatan dalam perkara pidana.

Pemberian bantuan hukum terhadap pelaku yang diduga melakukan tindak pidana yang dalam hal ini juga adalah pelaku tindak pidana terorisme didasarkan pada asas yang terdapat dalam hukum pidana dan hukum acara pidana, yaitu:11

1. Tiada perbuatan dapat dihukum kecuali yang telah ditentukan dalam Undang-Undang (pidana).

2. Tiada seorang dapat dinyatakan bersalah sebelum dibuktikan dimuka Hakim. Asas yang demikian dijamin dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman pada Pasal 6 dan Pasal 8 yang masing-masing berbunyi sebagai berikut:

10

Direktorat Jenderal Pembinaan Badan Peradilan Umum Departemen Kehakiman, Penyuluhan Hukum Tentang Bantuan Hukum, (Jakarta: Pengayoman, 1981), hlm. 11.

11


(26)

Pasal 6: (1) Tiada seorang juapun dapat dihadapkan didepan pengadilan selaindaripada yang ditentukan baginya oleh Undang-Undang.

(2) Tiada seorang juapun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila karena alat pembuktian yang sah menurut Undang-Undang mendapat keyakinan, bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggungjawab, telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya.

Pasal 8: Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan dan/atau dihadapkan didepan Pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan Pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

Adanya kedua asas ini jelaslah bahwa martabat manusia sebagai anggota masyarakat dihargai sehingga orang berhak menyatakan dirinya tidak bersalah sebelum terbukti kesalahannya dihadapan sidang Pengadilan.

Berdasarkan uraian tersebut lalu timbul pertanyaan, bagaimana dengan orang-orang yang diduga telah melakukan tindak pidana (terorisme) ternyata tidak mampu untuk membayar seorang Penasehat Hukum/Advokat guna membela dirinya terutama dalam hal ancaman hukuman yang berat? Dapat dikemukakan bahwa hukum pidana termasuk hukum publik yang mengatur hubungan orang dengan masyarakat/Pemerintah, maka Pemerintah dalam rangka pemberian bantuan hukum menyediakan anggaran. Pemerintah menyediakan dana bagi mereka yang kurang/tidak mampu untuk mendapatkan haknya dibantu oleh seorang Penasehat Hukum/Advokat. Surat Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.02.UM.09.08 Tahun 1980 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Bantuan Hukum, pada pokoknya ditentukan sebagai berikut:12

12


(27)

1. Pemberian bantuan hukum diselenggarakan melalui badan Peradilan Umum (dalam hal ini Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi).

2. Bantuan hukum diberikan kepada tertuduh yang kurang mampu/tidak mampu dalam perkara pidana:

a. Yang diancam dengan pidana lima tahun penjara atau lebih, seumur hidup, atau pidana mati.

b. Yang diancam dengan pidana kurang dari lima tahun, tetapi perkara tersebut menarik perhatian masyarakat luas.

3. Untuk dapat diberikan dana bantuan hukum harus ada bukti berupa surat keterangan bahwa tertuduh tidak mampu dari pejabat yang bersangkutan. 4. Dengan bukti tersebut Majelis Hakim menunjuk seorang/lebih pemberi

bantuan hukum yang ada didaerah hukum Pengadilan Negeri Setempat. Kalau didaerah hukum Pengadilan Negeri tersebut tidak ada pemberi bantuan hukum maka dapat menunjuk pemberi bantuan hukum didaerah Pengadilan Negeri lain yang terdekat.

5. Dengan dana yang tersedia, para pemberi bantuan hukum tersebut diberi honorarium oleh Pemerintah melalui Badan Peradilan Umum, dalam hal ini Pengadilan Negeri setempat.

Konsep bantuan hukum sesungguhnya merupakan konsep keadilan sosial sebagaimana tercantum pada sila ke-5 (lima) Pancasila. Keadilan sosial itu sendiri diberi batasan dengan berpegang pada rumusan keadilan dari Aristoteles: ”virtus suum unus que tribuere” yakni memberikan kepada seseorang sesuatu bagian apa yang menjadi haknya.13

Arti dan tujuan bantuan hukum harus selaras dengan dasar negara Pancasila dan oleh karena itu konsep bantuan hukum harus diarahkan untuk tujuan-tujuan sebagai berikut:

. Kemudian Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 adalah penjabaran keadilan sosial yang merupakan cita-cita bangsa yang ingin dicapai melalui gerakan pembangunan dan pelaksanaan dari cita-cita tersebut.

14

1. Merealisasikan pelaksanaan dan pengamalan sila kedua dari Pancasila. 13

Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun VI No. 64, Januari 1991, hlm. 143.

14


(28)

2. Memperlancar fungsi dan integritas peradilan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. 3. Sebagai pihak yang ikut serta dalam membangun sistem hukum nasional

juga melibatkan berbagai pihak terutama dalam memilih dan merumuskan nilai hukum yang akan dijadikan landasan sistem hukum nasional.

4. Untuk mengefektifkan peraturan-peraturan kesejahteraan sosial bagi keuntungan simiskin.

5. Untuk menumbuhkan tanggungjawab yang lebih besar bagi Pejabat Pemerintah kepada masyarakat.

6. Untuk menggiatkan partisipasi masyarakat kedalam program pemerintah. 7. Untuk kepentingan pengembangan profesi hukum itu sendiri.

Artinya adalah bahwa pelaku yang disangka melakukan tindak pidana terorisme, selain mempunyai kewajiban juga mempunyai hak-hak dihadapan hukum yang salah satunya adalah hak untuk mendapat bantuan hukum dari Advokat.

Seorang Advokat juga tidak boleh menolak apabila diminta untuk melakukan pembelaan, khususnya terhadap tindak pidana terorisme yang merupakan bagian dari tanggungjawab profesi seorang Advokat. Hal tersebut dapat diperhatikan dalam sumpah atau janji seorang Advokat, yaitu:15

Demi Allah bersumpah/saya berjanji:

a. Bahwa saya akan memegang teguh dan mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia; b. Bahwa saya untuk memperoleh profesi ini, langsung atau tidak langsung

dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada siapapun juga;

c. Bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pemberi jasa hukum akan bertindak jujur, adil, dan bertanggungjawab berdasarkan hukum dan keadilan;

d. Bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi didalam atau diluar pengadilan tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada Hakim, pejabat pengadilan atau pejabat lainnya agar memenangkan atau menguntungkan bagi perkara klien yang sedang atau akan saya tangani;

15


(29)

e. Bahwa saya akan menjaga tingkah laku saya dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kehormatan, martabat, dan tanggungjawab saya sebagai Advokat;

f. Bahwa saya tidak akan menolak untuk melakukan pembelaan atau memberi jasa hukum didalam suatu perkara yang menurut hemat saya merupakan bagian daripada tanggungjawab profesi saya sebagai seorang Advokat.

Salah satu contoh pemberian bantuan hukum oleh Advokat terhadap pelaku yang diduga telah melakukan tindak pidana terorisme adalah pada kasus Ustadz Abu Bakar Baasyir yang memperoleh bantuan hukum dari Tim Pembela Muslim yang diwakili oleh Mahendradatta. Dimana Ustadz Abu Bakar Baasyir yang juga merupakan Pengasuh Pondok Pesantren Al-Mukmin di Ngruki, Jawa Tengah, dan ketua kelompok Islam Jamaah Anshorud Tauhid tersebut dijerat Pasal berlapis, yaitu Pasal 7, Pasal 9, dan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003. Abu Bakar Baasyir diancam hukuman penjara seumur hidup dan maksimal hukuman mati. Abu Bakar Ba'asyir diduga dengan sengaja menyediakan dana untuk kejahatan terorisme. Ia dituding menyembunyikan pelaku tindak pidana terorisme juga menyembunyikan informasi si pelaku. Ia pun disangka terlibat pendirian kamp pelatihan terorisme di Bumi Serambi Mekkah.16

Disisi lain, persoalan yang kerap muncul dalam pemberian bantuan hukum terhadap pelaku tindak pidana terorisme adalah berkaitan dengan bukti permulaan yang cukup untuk dimulainya penyidikan, sehingga pada gilirannya akan membawa dampak terhadap hak asasi seseorang yang diduga telah melakukan tindak pidana

16


(30)

terorisme. Mengenai batasan dari pengertian Bukti Permulaan itu sendiri, hingga kini belum ada ketentuan yang secara jelas mendefinisikannya, sedangkan mengenai bukti permulaan dalam konteks Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 meliputi:17

1. Untuk memperoleh Bukti Permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan setiap laporan intelejen.

2. Penetapan bahwa sudah dapat atau diperoleh Bukti Permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan proses

pemeriksaan oleh Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Negeri.

3. Proses pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan secara tertutup dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari.

4. Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan adanya Bukti Permulaan yang cukup, maka Ketua Pengadilan Negeri segera memerintahkan dilaksanakan Penyidikan.

Permasalahannya adalah masih terdapat kesimpang siuran tentang pengertian Bukti Permulaan itu sendiri, sehingga sulit menentukan apakah yang dapat dikategorikan sebagai Bukti Permulaan, termasuk pula Laporan Intelijen, apakah dapat dijadikan Bukti Permulaan. Selanjutnya, menurut pasal 26 ayat 2, 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, penetapan suatu Laporan Intelijen sebagai Bukti Permulaan dilakukan oleh Ketua/Wakil Ketua Pengadilan Negeri melalui suatu proses/mekanisme pemeriksaan secara tertutup. Hal itu mengakibatkan pihak intelijen mempunyai dasar hukum yang kuat untuk melakukan penangkapan terhadap seseorang yang dianggap melakukan suatu Tindak Pidana Terorisme, tanpa adanya pengawasan masyarakat atau pihak lain mana pun. Padahal kontrol sosial sangat dibutuhkan terutama dalam hal-hal yang sangat sensitif seperti perlindungan terhadap

17

Perhatikan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.


(31)

hak-hak setiap orang sebagai manusia yang sifatnya asasi, tidak dapat diganggu gugat. Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya tindakan kesewenang-wenangan yang dilakukan terhadap pelaku yang diduga telah melakukan tindak pidana terorisme, maka disinilah diperlukan salah satu peran dan fungsi Advokat dalam memberikan bantuan hukum terhadap pelaku tindak pidana terorisme.

Berdasarkan hal-hal yang diuraikan diatas, mengingat bahwa kendati tindak pidana terorisme adalah suatu perbuatan yang sangat tidak terpuji. Namun terhadap pelaku yang disangka telah melakukan tindak pidana terorisme tersebut juga mempunyai berbagai hak, diantaranya adalah hak untuk mendapatkan bantuan hukum dari Advokat.

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang sebagaimana dikemukakan diatas, maka perlu dibuat rumusan masalah yang berkenaan dengan peran dan fungsi Advokat dalam pemberian bantuan hukum terhadap pelaku tindak pidana terorisme, sebagai berikut: 1. Bagaimanakah urgensi pemberian bantuan hukum oleh Advokat terhadap pelaku

tindak pidana terorisme?

2. Hambatan-hambatan apa yang dihadapi oleh Advokat dalam memberikan bantuan hukum terhadap pelaku tindak pidana terorisme?


(32)

C. Tujuan Penelitian

Sedangkan yang menjadi tujuan penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui urgensi pemberian bantuan hukum oleh Advokat terhadap pelaku tindak pidana terorisme.

2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi oleh Advokat dalam memberikan bantuan hukum terhadap pelaku tindak pidana terorisme.

D. Manfaat Penelitian

Kegunaan atau manfaat yang dapat diambil dari penelitian yang dilakukan ini antara lain adalah sebagai berikut :

1. Secara teoritis.

Hasil penelitian ini akan melahirkan beberapa konsep ilmiah yang pada gilirannya akan memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya yang berkaitan dengan urgensi pemberian bantuan hukum oleh Advokat terhadap pelaku tindak pidana terorisme.

2. Secara praktis.

a. Sebagai pedoman dan masukan bagi Lembaga Hukum, Institusi Pemerintah dan Penegak Hukum dikalangan masyarakat luas.

b. Sebagai bahan informasi bagi semua kalangan yang berkaitan dengan penegakan dan pengembangan ilmu hukum.


(33)

c. Sebagai bahan kajian bagi kalangan akademis untuk menambah wawasan dalam bidang ilmu hukum, khsususnya yang berkaitan dengan urgensi pemberian bantuan hukum oleh Advokat terhadap pelaku tindak pidana terorisme.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pengamatan serta penelusuran kepustakaan yang dilakukan, penelitian yang mengangkat judul tentang “ Urgensi Pemberian Bantuan Hukum Oleh Advokat Terhadap Pelaku Tindak Pidana Terorisme” ini belum pernah dilakukan baik dalam judul maupun permasalahan yang sama. Sehingga penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian yang baru dan keasliannya dapat saya pertanggungjawabkan, karena dilakukan dengan nuansa keilmuan, kejujuran, rasional, objektif dan terbuka serta dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan akademis.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka teori.

Indriyanto Seno Adji mengatakan bahwa Sistem Peradilan Pidana di Indonesia sebenarnya merupakan terjemahan sekaligus penjelmaan dari Criminal


(34)

Justice System, suatu sistem yang dikembangkan oleh praktisi hukum (Law enforcement officers) di Amerika Serikat.18

Sedangkan Norvel Morris sebagaimana dikutip Mardjono Reksodiputro, mengatakan bahwa:

Sistem Peradilan Pidana adalah suatu operasionalisasi atau suatu sistem yang bertujuan untuk menanggulangi kejahatan, salah satu usaha masyarakat untuk mengendalikan terjadinya kejahatan negara berada dalam batas-batas toleransi yang dapat diterima. Sistem ini dianggap berhasil apabila sebagian besar dari laporan masyarakat yang menjadi korban kejahatan dapat “diselesaikan” dengan diajukannya pelaku kejahatan ke sidang pengadilan dan diputus bersalah serta mendapat pidana.19

Sementara itu, Loebby Loqman mengatakan tujuan dari sistem peradilan pidana adalah :

Terciptanya keadilan dalam memperjelas suatu perkara, disamping untuk menjaga agar hak asasi manusia terlaksana meskipun terjadi upaya paksa yang tentunya akan terjadi pelanggaran hak asasi manusia tersebut. Tujuan lain dari SPP adalah menjaga agar seorang yang tidak bersalah dilakukan pemidanaan, sebagai tujuan dari Hukum Acara Pidana lainnya, yaitu mencari kebenaran materiil dimana dengan demikian akan tercipta suatu keadilan dalam masyarakat.20

Dalam perkembangannya sistem peradilan pidana itu mengalami prluasan arti dan tujuannya sebagaimana dipaparkan oleh Mardjono Reksodiputro

18

Indriyanto Seno Adji, Arah dan Sistem Peradilan (Pidana) terpadu Indonesia (suatu tinjauan pengawasan aplikatif dan praktek), (Jakarta: Komisi Hukum Nasional, 2001), hlm. 5.

19

Mardjono Reksodiptro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan karangan buku kedua, (Jakarta; Lembaga Kriminologi UI), hlm. 140

20

Loebby Loqman, Eksistensi Kejaksaan RI dalam Sistem Peradilan Pidana¸Makalah, Jakarta, 13 November 2001.


(35)

sebagai berikut:21

Diatas memang tugas utama dari sistem ini, tetapi tidak merupakan keseluruhan tugas sistem. Masih merupakan bagian tugas sistem adalah mencegah terjadinya korban kejahatan maupun mencegah bahwa mereka yang sedang ataupun telah selesai menjalani pidana tidak mengulangi lagi perbuatan mereka melanggar hukum itu. Dengan demikian cakupan tugas sistem ini memang luas : (a) mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, (b) menyelesaikan kejahatan yang terjadi, sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana, serta (c) berusaha agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi perbuatannya.

Berbicara tentang sistem peradilan pidana (criminal justice system) tidak terlepas kaitannya dengan sistem hukum (legal system), karena sistem peradilan pidana adalah merupakan sub-sistem dari sistem hukum itu sendiri. Dalam hal ini Lawrence M. Friedman mengemukakan:22

Sistem hukum (legal system) tidak saja merupakan rangkaian larangan atau perintah, akan tetapi lebih dari itu sebagai serangkaian aturan yang bisa menunjang, meningkatkan, mengatur, dan menyuguhkan cara untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu, kita akan berbicara tentang 3 (tiga) komponen penting dalam sistem hukum (legal system) yaitu: legal structure, legal substance, dan legal culture. Ketiga hal ini adalah komponen pembentuk sesbuah sistem hukum (legal system) yang dikehendaki oleh sebuah masyarakat.

Lebih lanjut lagi menurut Lawrence M. Friedman, untuk menggambarkan kinerja kutipan komponen tersebut diatas dapat kita bayangkan apabila komponen struktur hukum (legal structure) diibaratkan sebagai sebuah mesin, maka substansi hukumnya (legal substance) adalah apa yang dihasilkan atau dikerjakan

21

Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Makalah, Jakarta, 13 November 2001

22

Lawrence M. Friedman, sebagaimana dikutip dalam majalah Jurnal Keadilan, Vol. 2 No. 1 Tahun 2002, hlm. 1.


(36)

oleh mesin itu, sedangkan budaya hukum (legal culture) adalah apa atau siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan atau mematikan, menetapkan bagaimana mesin itu digunakan. Bagi Friedman yang terpenting adalah fungsi dari hukum itu sendiri, yaitu sebagai kontrol sosial (ibarat polisi), penyelesaian sengketa (dispute settlement), skema distribusi barang dan jasa (goods distributing scheme), dan pemeliharaan sosial (social maintenance).23

Di Indonesia, tahapan dalam peradilan pidana dijalankan oleh subsistem yaitu terhadap penyidikan oleh Kepolisian, penuntutan oleh Kejaksaan, pemeriksaan sidang Pengadilan oleh Pengadilan, pemasyarakatan oleh Lembaga Pemasyarakatan dan bantuan hukum oleh Advokat. Kelima komponen ini bekerjasama membentuk apa yang dikenal dengan nama suatu “Integrated Criminal Justice”.24

Lebih lanjut Mardjono Reksodiputro mengemukakan bahwa :

Sebagai suatu sistem, maka cara kerja sistem peradilan pidana ini didukung oleh kelima komponen diatas (Polisi, Jaksa, Hakim, Lembaga Pemasyarakatan dan Advokat).

Sering kita melupakan bahwa lembaga-lembaga yang melaksanakan penyelenggaraan peradilan pidana harus saling berhubungan dalam suatu sistem. Oleh karena itulah sering dipergunakan istilah “Sistem Peradilan Pidana”, yang terdiri atas sub-sub sistem : Kepolisian, Kejaksaan, Advokat, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Dalam system peradilan inilah, maka profesi pengacara (Advokat), profesi jaksa dan profesi hakim melakukan masing-masing tugas mereka.25

23

Ibid, hlm. 2.

24

Mardjono Reksodiputro, op.cit, hlm. 85 25


(37)

Setiap sistem mempunyai tujuan tertentu yang harus dihayati baik oleh sub sistem itu sendiri maupun sub sistem lainnya. Meskipun setiap sub-sistem akan mempunyai pula tujuannya sendiri, yang merupakan landasan dan pedoman kerja bagi mereka yang bekerja dalam sub-sistem yang bersangkutan, tetapi masing-masing tujuan sub-sistem tidak boleh bertentangan dengan tujuan utama, yaitu dari sistem itu sendiri (dalam hal ini: Sistem Peradilan Pidana).26

Menurut Romli Atmasasmita sebagaimana dikutip Mujahid, lima ciri pendekatan sistem peradilan pidana:

Kesalahan pada sub-sistem yang satu akan mengakibatkan kegagalan pada sub-sistem yang lainnya sehingga tujuan dari sistem itu sendiri yaitu tujuan SPP tidak akan terwujud.

27

1. Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana;

2. Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan pidana;

3. Efektivitas dari sistem penanggulangan kejahatan lebih utama dari efisiensi penyelesaian perkara;

4. Penggunaan hukum sebagai instrument untuk memantapkan the administration of justice.

Sementara Muladi berpendapat, penggunaan istilah sistem dalam system peradilan pidana, semua subsistem harus mengarah pada 6 (enam) hal, yaitu:28

1. Berorientasi pada tujuan yang sama; 2. Menjauhkan sifat fragmentaris;

26 Ibid.

27

Mujahid, Menciptakan Mekanisme Pengawasan yang Efektif Dalam SPP, Tesis (Jakarta: Program Pasca Sarjana UI, 2004), hlm. 3.

28

Muladi, Peran Administrasi Peradilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu, Newsletter Komisi Hukum Nasional, Edisi Mei 2002.


(38)

3. Berinteraksi dengan sistem yang lebih besar;

4. Adanya keterkaitan dan ketergantungan antar sub-sistem; 5. Operasionalisasi bagian-bagiannya menciptakan nilai tertentu; 6. Adanya mekanisme kontrol dalam rangka pengendalian.

Dengan melihat pendapat diatas dapat dilihat terdapat jenis pendekatan internal dan eksternal dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana. Pendekatan internal mencakup bagaimana sistem peradilan pidana bekerja untuk mencapai tujuan dimana salah satu sub-sistem dari sistem peradilan pidana adalah Advokat, sedangkan pendekatan eksternal menempatkan sistem peradilan pidana dalam sistem yang lebih besar dimana terdapat interaksi antara sistem peradilan pidana dengan sistem sosial lainnya. Dalam hal ini Advokat sebagai Sub-sistem dalam sistem peradilan pidana merupakan bagian dari interaksi tersebut. Dari pendekatan tersebut, dibutuhkan sebuah mekanisme pengawasan untuk menilai bagaimana sistem peradilan pidana bekerja untuk mencapai tujuannya.

Dari uraian diatas dapat dilihat 3 (tiga) hal mendasar yang harus diperhatikan dalam pembaharuan sistem peradilan pidana di Indonesia yaitu keterpaduan dalam sistem peradilan pidana, adanya interaksi sistem peradilan pidana dan adanya mekanisme kontrol. Pendekatan sistem dalam sistem peradilan pidana menyangkut masalah perencanaan, organisasi dan kebijakan. Dengan sendirinya seluruh komponen-komponen yang ada yaitu: Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan dan Advokat mempunyai perencanaan, pengorganisasian dan pengambilan kebijakan dimungkinkan berbeda. Akan tetapi, perbedaan antar sub-sistem harus dalam kerangka pandangan dan tujuan.


(39)

Oleh karena itu dalam sistem peradilan pidana memungkinkan adanya konsep Unity in diversity. Maksudnya, dalam peradilan pidana setiap subsistem sistem peradilan pidana menjalankan fungsi masing-masing dengan membedakan praktis yang berbeda pula tetapi tetap dalam kerangka besar sistem peradilan pidana.

Menurut Muladi, tidak hanya dalam konteks hukum acara semata. sistem peradilan pidana juga mencakup kesamaan pandang dalam hukum materiel dan hukum pelaksanaan pidana. Lebih jauh Muladi berpendapat:29

Konotasi bahwa sistem peradilan pidana tidak hanya bersentuhan dengan hukum formal semata, apa yang dinamakan sistem abstrak tercermin dari hukum materiil yang menggambarkan secara jelas aliran hukum pidana yang dianut suatu bangsa, yang selanjutnya diterjemahkan dalam hukum formil dan hukum pelaksanaan pidana.

Hubungan antara sub-sistem dalam sistem peradilan pidana bersifat interdependen, yakni pendekatan sistem terhadap peradilan pidana membuka ruang adanya konsultasi dan kooperasi antar sub-sistem.30 Lebih jauh Harkristuti Harkrisnowo menggambarkan, pendekatan sistem yang digunakan untuk mengkaji peradilan pidana mempunyai implikasi:31

1. Semua sistem akan saling tergantung, karena produk suatu sub-sistem merupakan masukan bagi sub-sub-sistem yang lain;

2. Pendekatan sistem mendorong adanya inter-agency consultation and corporation, yang pada gilirannya akan meningkatkan upaya penyusunan strategik dari keseluruhan sub-sistem;

29

Muladi, Akses Pengadilan dan Bantuan Hukum, Makalah Workshop Akses Publik ke Pengadilan,. Jakarta 10 Juli 2002

30

Harkristuti Harkrisnowo, Sistem Peradilan Pidana Terpadu dan peran Akademis, Makalah Pada Forum Dengar Pendapat Publik: Pembaharuan Kejaksaan, Kejaksaan Agung, Jakarta 24-25 Juni 2003

31 Ibid.


(40)

3. Kebijakan yang diputuskan dan dijalankan oleh satu sub-sistem akan berpengaruh pada sub-sistem lain.

Menjadi keharusan, sub-sistem dalam sebuah sistem berorientasi pada tujuan yang sama. Untuk mencapainya, dibutuhkan sebuah mekanisme yang terarah. Ketidakpaduan antar sub-sistem administrasi peradilan pidana akan menyebabkan terhambatnya proses peradilan. Fragmentasi sub-sistem akan mengurangi efektivitas sistem bahkan menyebabkan keseluruhan sistem disfungsional.32

Untuk mewujudkan sistem peradilan pidana terpadu dan menghindari adanya fragmentasi maka perlu adanya sinkronisasi dalam sistem peradilan pidana baik substansi, struktur maupun budaya hukum.33 Sinkronisasi substansial mencakup sinkronisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan sistem peradilan pidana mengenai tugas dan wewenang aparat penegak hukum.34

Sinkronisasi struktural, bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenang mencakup keselarasan dalam mekanisme penyelenggaraan peradilan pidana dalam kerangka hubungan antar sub-sistem. Selain Kepolisian, penyidikan dilakukan juga oleh Kejaksaan dan penyidik PNS lainnya, oleh karena itu perlu adanya sinkronisasi, sehingga tidak tumpang tindih pelaksanaan tugas antara aparat penegak hukum. Sinkronisasi kultural mengandung usaha untuk selalu

32Muladi,

Peran Administrasi Peradilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu, loc.cit.

33 Ibid.

34

Barda Nawawi Arief, Sistem Peradilan Pidana Terpadu dalam kaitannya dengan Pembaharuan Kejaksaan, Makalah pada Forum dengar Publik: Pembaharuan Kejaksaan, diselenggarakan olehKHN, Kejaksaan Agung dan Partnership for Governance Reform ini Indonesia, Jakarta, 24-25 Juni 2003.


(41)

serempak dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya Sistem Peradilan Pidana.35

Perlunya sinkronisasi dalam ketiga aspek tersebut karena perlunya kesamaan pandang dan gerak seluruh sub-sistem sistem peradilan pidana dalam mencapai tujuan sistem peradilan pidana. Masalah utama yang muncul dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana sekarang, menurut Harkristuti belum seluruh ketentuan berorientasi pada sistem demi menunjang kinerja semua lembaga dalam proses peradilan pidana.36

Untuk mewujudkan sebuah sistem peradilan pidana terpadu, terdapat sejumlah contributing factors yang perlu diperhatikan. Harkristuti menjelaskan contributing factors antara lain:37

1. Penerapan hukum dan kebijakan mengenai sistem peradilan pidana sangat bergantung pada kerjasama antar lembaga;

2. Persepsi tiap lembaga mengenai peran mereka dalam proses peradilan pidana akan sangat mempengaruhi keputusan-keputusan kunci dan penerapan ketentuan formal;

3. Kerjasama antar lembaga dapat ditingkatkan atau mungkin sebaliknya dihambat oleh sikap dan hubungan antar lembagalembaga yang berbeda dengan para pihak yang terlibat;

4. Setiap perubahan dan reformasi mengenai kebijakan dan perundang-undangan, oleh karenanya harus memperhitungkan pula kesiapan dan kualitas Sumber daya serta budaya hukum masyarakat;

5. Dibutuhkan kepekaan yang lebih tinggi dari lembaga terkait untuk memiliki dan mencapai tujuan bersama.

35

Muladi, Peran Administrasi Peradilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu, loc. cit.

36

Harkristuti Harkrisnowo, Sistem Peradilan Pidana Terpadu dan Peran Akademis, loc.cit 37


(42)

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa yang menjadi komponen dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system) beserta dengan tugasnya adalah sebagai berikut:

1. Kepolisian.

Kepolisian sebagai subsistem peradilan pidana sesuai dengan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik mempunyai tugas pokok untuk: memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.38

2. Kejaksaan.

Sedangkan dalam peradilan pidana, kepolisian mempunyai kewenangan yang khusus sebagai penyidik sebagaimana diatur dalam Pasal 15 dan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 dan Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Adapun yang menjadi tugas kejaksaan sebagai subsistem peradilan pidana adalah sebagai berikut:39

a. Melakukan penuntutan;

b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

38

Perhatikan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

39

Perhatikan Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia.


(43)

c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;

d. Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;

e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

3. Pengadilan.

Keberadaan pengadilan sebagai subsistem peradilan pidana diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Hal tersebut dapat dilihat dari pengertian kekuasaan kehakiman yaitu: kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.40

4. Lembaga Pemasyarakatan.

Sebagai subsistem peradilan pidana, keberadaan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) sangat dibutuhkan, karena setelah seseorang dinyatakan bersalah karena melakukan tindak pidana, maka orang tersebut harus mendapat pembinaan agar sehingga diharapkan dikemudian hari pelaku tindak pidana tersebut tidak mengulangi lagi perbuatannya. Karena masksud dan tujuan dari diadakannya pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara

40

Perhatikan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.


(44)

pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana.41

5. Advokat.

Sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat menyatakan bahwa Advokat adalah sebagai penegak hukum. Artinya, seluruh pelayanan, tindakan dan bahkan tingkah laku Advokat adalah dalam rangka atau sebagai penegak hukum. Sebagai penegak hukum tidak berarti kebal hukum karena semua warga negara bersamaan kedudukannya didepan hukum. Namun dengan pernyataan yang demikian dalam Undang-Undang menjadikan profesi Advokat menjadi jelas dan tegas statusnya khususnya jika berhubungan dengan aparat penegak hukum yang lain. Dengan perkataan lain, secara formal telah diakui bahwa Advokat adalah bahagian dari sistem peradilan pidana.42

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa tujuan dari sistem peradilan pidana adalah agar terciptanya keadilan dalam memperjelas suatu perkara, disamping untuk menjaga agar hak asasi manusia terlaksana. Demikian juga halnya dengan hak individu untuk didampingi Advokat (acces to legal counsel) merupakan sesuatu yang imperative dalam rangka mencapai proses hukum yang adil (due proces of law). Dengan kehadiran Advokat dapat dicegah

41

Perhatikan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan.

42


(45)

perlakuan yang tidak adil oleh Polisi, Jaksa, atau Hakim dalam proses interogasi, investigasi, pemeriksaan, penahanan, peradilan, dan hukuman.43

Disamping itu juga, diadakannya sistem peradilan pidana dan berhaknya seorang yang diduga telah melakukan tindak pidana didampingi oleh pembela (Advokat) adalah dalam rangka menegakkan asas equality before the law (setiap orang sama dipandang dihadapan hukum) dan juga asas presumption of innocence (praduga tidak bersalah), artinya adalah bahwa Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.44

Selanjutnya, asas equality before the law dan asas presumption of innocence tersebut ditegakkan adalah dalam rangka menjamin perlindungan terhadap hak asasi manusia.

Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara hukum, pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.45

43

Frans Hendra Winarta, Bantuan Hukum, Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2000), hlm. 104.

44

Perhatikan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

45

Perhatikan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.


(46)

Hak asasi merupakan sejumlah hak yang seakan-akan berakar dalam tabiat setiap oknum pribadi manusia justeru karena kemanusiaannya yang tidak dapat dicabut oleh siapapun juga, karena apabila dicabut maka hilang juga kemanusiaan itu. Oleh karena itu, merupakan jaminan kebebasan setiap individu manusia untuk menentukan isi jiwanya sendiri, untuk melahirkan isi jiwanya itu dengan suara atau aktivitas lain, dan untuk mengembangkan aktivitasnya itu baik secara individual maupun secara berorganisasi dengan individu-individu lain dengan kehendaknya. Akan tetapi tidak dapat disangkal bahwa negara (pemerintah) berhak juga membatasi kebebasan-kebebasan individu itu.46

Secara harafiah, yang dimaksud dengan Hak Asasi Manusia adalah:47 Hak pokok atau hak dasar. Jadi, hak asasi itu merupakan hak yang bersifat fundamental sehingga keberadaannya merupakan suatu keharusan (conditio sine qua non), tidak dapat diganggu gugat. Bahkan harus dilindungi, dihormati dan dipertahankan dari segala macam ancaman, hambatan dan gangguan dari sesamanya.

Sejalan dengan hal tersebut, Ramdlon Naning menyatakan bahwa:48

Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada martabat manusia, yang melekat padanya sebagai ciptaan Allah Yang Maha Esa atau hak-hak dasar yang prinsip sebagai anugerah Illahi. Berarti Hak Asasi Manusia merupakan hak-hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya, yang tidak dapat dipisahkan dari hakikatnya, karena itu Hak Asasi Manusia bersifat luhur dan suci.

46

Samidjo, Ilmu Negara, (Bandung: CV. Armico, 1986), hlm. 339.

47

O.C. Kaligis, Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana, (Bandung: PT. Alumni, 2006), hlm. 60.

48

Ramdlon Naning, Cita dan Citra Hak Asasi Manusia Indonesia, (Jakarta: Lembaga Kriminologi UI, 1983), hlm. 12.


(47)

Berdasarkan pengertian Hak Asasi Manusia tersebut diatas, paling sedikit terdapat 4 (empat) kelompok pandangan mengenai Hak Asasi manusia, yaitu:49

1. Mereka yang berpandangan universal-absolute yang melihat Hak Asasi Manusia sebagai nilai-nilai universal belaka seperti dirumuskan dalam the international bill of human rights. Kelompok ini tidak menghargai sama sekali profil sosial budaya yang melekat pada masing-masing bangsa. Pandangan ini dianut oleh negara-negara maju, pada negara-negara berkembang dalam urusan Hak Asasi Manusia, negara maju dipandang eksploitatif karena menggunakannya sebagai alat untuk menekan dan instrumen penilai (tool of judgment). 2. Negara-negara atau kelompok yang memandang Hak Asasi Manusia

secara universal-relative. Mereka memandang Hak Asasi Manusia sebagai masalah universal, tetapi asas-asas hukum internasional tetap diakui keberadaannya.

3. Negara atau kelompok yang berpandangan particularistic-absolute, yang berpandangan bahwa Hak Asasi Manusia merupakan persoalan masing-masing bangsa sehingga mereka menolak berlakunya dokumen-dokumen internasional. Pandangan ini bersifat chauvinis, egois dan pasif terhadap Hak Asasi Manusia.

4. Yang berpandangan particularistic-relative, yang melihat persoalan Hak Asasi Manusia disamping sebagai masalah universal juga merupakan persoalan masing-masing negara, berlakunya dokumen-dokumen internasional diselaraskan dan diserasikan dengan budaya bangsa.

Selanjutnya, di Indonesia pada saat memasuki era reformasi timbul kehendak berbagai elemen masyarakat untuk mengubah UUD 1945, yang membawa perubahan mendasar terhadap keberadaan dan diakuinya Hak Asasi Manusia serta upaya penegakannya dalam kehidupan sehari-hari. Dari beberapa Pasal UUD 1945 yang menegaskan soal Hak Asasi Manusia, ada beberapa Pasal yang sangat berkaitan erat dengan perlindungan hukum atas hak asasi tersangka, terdakwa, dan terpidana, yaitu Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 G

49


(48)

ayat (1) dan (2), Pasal 28 I ayat (1) dan (2), dan Pasal 28 J ayat (1) dan (2). Ketentuan-ketentuan Pasal-Pasal dalam UUD 1945 yang dimaksud adalah secara normatif konstitusional memberikan jaminan kepada setiap orang:50

1. Kedudukan dan perlakuan yang sama dihadapan hukum. 2. Perlindungan dan kepastian hukum yang adil.

3. Perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang berada dibawah kekuasaannya.

4. Rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat sesuatu yang merupakan hak asasinya.

5. Hak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat manusia.

6. Hak untuk hidup, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.

7. Hak untuk mendapatkan perlindungan dan bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun.

Kesemuanya ini bermuara pada prinsip persamaan kedudukan dihadapan hukum (equality before the law).

Dalam ranah teoritis, Negara yang berdasarkan atas hukum harus menjamin persamaan (equality) setiap individu termasuk kemerdekaan individu untuk menggunakan hak asasinya. Hal ini merupakan condition sine qua non, mengingat Negara hukum lahir sebagai hasil perjuangan individu untuk melepaskan diri dari keterikatan serta tindakan sewenang-wenang penguasa. Atas dasar itulah penguasa tidak boleh bertindak sewenang-wenang terhadap individu dan kekuasaannya pun harus dibatasi.

Disamping asas persamaan kedudukan dihadapan hukum (equality before the law) yang menjadi elemen pokok dari konsep Hak Asasi Manusia, juga

50


(49)

dikenal elemen lainnya, yaitu asas peradilan yang berimbang (fair trial). Pengaturan kedua asas ini dalam peraturan perundang-undangan dan implementasinya dalam penegakan hukum menjadi tolak ukur sejauh mana Hak Asasi Manusia dijamin dan ditegakkan dan kedua asas ini saling mempengaruhi. Persamaan kedudukan dihadapan hukum (equality before the law) dapat terwujud bila ada peradilan yang berimbang (fair trial). Sebaliknya, peradilan yang berimbang (fair trial) dapat terjadi apabila persamaan kedudukan dihadapan hukum (equality before the law) dikedepankan dalam proses peradilan.51 Dengan perkataan lain, bahwa untuk menjaga efektivitas pelaksanaan hak-hak terdakwa dan suatu penafsiran yang obyektif tentang hukum serta pembuktian kesalahan adalah sangat penting bahwa dalam perkara-perkara pidana itu diserahkan kepada hakim yang memiliki kemungkinan-kemungkinan hukum dan materi untuk menentukan suatu putusan tanpa pengaruh yang tidak semestinya, untuk keperluan ini dapat dibedakan 3 (tiga) elemen: pembentukan pengadilan oleh hukum, kemampuannya dalam bidang hukum serta kemerdekaan dan sifat tidak memihak dari pengadilan itu.52

Akhirnya dapat dikatakan bahwa doktrin persamaan kedudukan didepan hukum atau biasa juga disebut dengan the doctrin of equality, menurut Albert Dicey lahir sebagai reaksi akibat perlakuan tiran yang dijalankan oleh bangsawan

51

Mien Rukmini, Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tidak Bersalah dan Asas Persamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Bandung: Alumni, 2003), hlm. 21.

52

Mr. A.C. ’t Hart dan Abdul Hakim Garuda Nusantara, Hukum Acara Pidana Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1986), hlm. 57.


(50)

Anglo Saxon di Inggris. Raja Jhon menghentikan perlakuan tersebut dengan mengeluarkan Magna Carta yang memuat doktrin tersebut. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa ekspresi equality before the law lahir dari system common law Inggris.53

Dalam kaitan ini, sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa bagaimanapun tidak terpujinya tindak pidana terorisme, namun sebagai warga negara, pelaku tindak pidana terorisme tetap mempunyai hak yang dijamin oleh hukum. Dalam hukum acara pidana juga diatur tentang perlindungan terhadap hak asasi manusia, diantaranya adalah:54

1. Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.

2. Tiada seorang juapun dapat dihadapkan didepan pengadilan selain daripada yang ditentukan baginya oleh Undang-Undang.

3. Tiada seorang juapun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut Undang-Undang mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggungjawab telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya.

4. Tiada seorang juapun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan, selain atas perintah tertulis oleh kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut cara-cara yang diatur dengan Undang-Undang.

5. Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau dihadapkan didepan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

6. Hak atas peradilan yang terbuka untuk umum. 7. hak untuk diberitahukan tentang sangkaan/dakwaan.

8. Hak untuk menunjuk Penasehat Hukum dan hak atas waktu yang cukup untuk mempersiapkan pembelaan.

9. Hak untuk diadili secepatnya.

53

O.C. Kaligis, op.cit, hlm. 106.

54


(51)

10.Hak untu membela diri secara langsung atau lewat Penasehat Hukum atas biaya sendiri atau biaya negara.

11.Hak untuk diadili dengan kehadirannya.

12.Hak untuk menguji pernyataan saksi a charge dihadapan sidang. 13.Hak untuk menghadirkan saksi a de charge dihadapan sidang. 14.Hak untuk meminta penerjemah.

15.Hak untuk tidak dipaksa meminta kesaksian yang memberatkan dirinya atau mengaku bersalah.

16.Hak atas upaya hukum ke Pengadilan yang lebih tinggi.

17.Hak untuk ganti rugi apabila terjadi kesalahan penerapan peradilan. 18.Hak untuk tidak diadili atas perbuatan yang substansi materinya sama. 19.Hak atas non-retroaktif.

20.Hak atas keringanan hukuman manakala terjadi perubahan peraturan yang meringankan.

2. Kerangka konsepsi.

Atas dasar kerangka teori yang dipaparkan diatas, maka dapat diartikan terhadap istikah-istilah yang terdapat dalam penelitian ini, yaitu:

1. Urgensi dapat diartikan sebagai keperluan yang sangat penting dan mendesak.55 2. Pemberian bantuan hukum adalah: jasa hukum yang diberikan Advokat secara

Cuma-Cuma kepada klien yang tidak mampu (Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat).

3. Pelaku adalah: setiap orang yaitu baik orang perseorangan, kelompok orang, baik sipil maupun militer maupun polisi yang bertanggungjawab secara individual atau korporasi yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya

55

Burhani MS dan Hasbi Lawrens, Kamus Ilmiah Populer, Edisi Millenium, (Jombang: Lintas Media, 2006), hlm. 668.


(52)

nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional. (Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme).

4. Advokat adalah: orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik didalam maupun diluar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini (Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat).

5. Jasa hukum Adalah: jasa yang diberikan Advokat berupa memberikan konsultasi hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien (Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat).

6. Tindak pidana terorisme adalah: tindakan yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional. (Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme).


(53)

G. Metode Penelitian

Metode penelitian berisi uraian tentang metode atau cara yang digunakan untuk memperoleh data atau informasi. Metode penelitian berfungsi sebagai pedoman dan landasan tata cara dalam melakukan operasional penelitian untuk menulis suatu karya ilmiah yang dilakukan. Sesuai dengan permasalahan yang diangkat dan untuk menjawab tujuan penelitian, maka dalam metode penelitian ini langkah-langkah yang dipergunakan sebagai berikut:

1. Spesifikasi Penelitian.

Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif,56 karena penelitian ini meneliti norma-norma hukum yang berlaku yang terkait dengan bantuan hukum oleh Advokat terhadap pelaku tindak pidana terorisme. Penelitian yuridis normatif sebagaimana ditegaskan oleh Peter Mahmud Marzuki bahwa penelitian yuridis normatif adalah suatu proses untuk menemukan aturan-aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.57

56

Penelitian hukum normatif atau kepustakaan tersebut mencakup: 1. Penelitian terhadap asas hukum. 2. Sistematik hukum. 3. Taraf Sinkronisasi vertical dan horizontal. 4. Perbandingan hukum. 5. Sejarah hukum. Lihat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Nornatif, Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 14.

Didalam penelitian hukum, yang diteliti adalah kondisi hukum secara intrinsik, yaitu hukum sebagai sistem nilai dan hukum sebagai norma sosial. Hasil yang hendak dicapai oleh penelitian hukum bukan

57

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm. 35.


(54)

mencari jawaban atas efektivitas suatu ketentuan, pengaruh faktor-paktor non hukum terhadap peraturan hukum, peranan suatu institusi tertentu dalam penegakan hukum.58

Selain penelitian yuridis normatif, dalam penelitian ini juga menggunakan Penelitian yuridis empiris yang dipergunakan hanya sebagai pendukung terhadap penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara melakukan wawancara dengan informan yang terkait dengan permasalahan yang akan dilakukan pembahasan.

Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis,59

2. Sumber Data.

artinya bahwa penelitian ini menggambarkan bagaimana suatu ketentuan hukum dalam konteks teori-teori hukum yang dalam pemaparannya menggambarkan tentang berbagai persoalan yang berkaitan dengan urgensi pemberian bantuan hukum oleh Advokat terhadap pelaku tindak pidana terorisme.

Sumber data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data skunder, meliputi:

a. Data primer.

1. Data primer diperoleh melalui studi lapangan (field research) dengan melakukan wawancara pada informan yang terkait dalam penelitian ini, yaitu: Advokat dari Tim Pembela Muslim.

b. Data sekunder. 58

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, op.cit hlm. 80.

59

Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 12.


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku :

Abdussalam, Prospek Hukum Pidana Indonesia Dalam Mewujudkan Rasa Keadilan Masyarakat, Jakarta: Restu Agung, 2006.

Adji, Indriyanto Seno. Arah dan Sistem Peradilan (Pidana) terpadu Indonesia (suatu tinjauan pengawasan aplikatif dan praktek), Jakarta: Komisi Hukum Nasional, 2001.

Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam Di Indonesia, Edisi Keenam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998.

Atmasasmita, Romli. Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Jakarta: Kencana Predana Media Group, 2010.

---, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Bandung: PT. Rafika Aditama, 2000.

---, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Bandung: PT. Eresco, 1992. Budiarjo, Miriam,. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia, 1977.

Burhani MS dan Hasbi Lawrens, Kamus Ilmiah Populer, Edisi Millenium, Jombang: Lintas Media, 2006.

Direktorat Jenderal Pembinaan Badan Peradilan Umum Departemen Kehakiman,

Penyuluhan Hukum Tentang Bantuan Hukum, Jakarta: Pengayoman, 1981. Forum Solidaritas LKBH Kampus, Menjamin Hak Atas Bantuan Hukum Masyarakat

Marginal, Position Paper RUU Bantuan Hukum dan Peran LKBH Kampus, (Jakarta: The Indonesian Legal Resource Center: 2010.

Friedman, Lawrence M. Sistem Hukum, Perspektif Ilmu Sosial, Bandung: Nusa Media, 2009.

Hamzah, Andi dan Irdan Dahlan, Perbandingan KUHAP, HIR dan Komentar, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984.


(2)

Harahap, M. Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Hart, Mr. A.C. ’t dan Abdul Hakim Garuda Nusantara, Hukum Acara Pidana Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1986.

Hartono, Sunaryati. Apakah The Rule Of Law Itu, Bandung: Alumni, 1996.

Kaligis, O.C. Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana, Bandung: PT. Alumni, 2006.

Kusnardi, Moh. dan Bintan R. Saragih, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta: PT. Gramedia, 1983.

Lubis, M. Solly. Modul Politik Hukum, Medan: Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2006.

---, Modul Teori Hukum, Medan: Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, 2003.

Lubis, Todung Mulya, Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural, Jakarta: LP3ES, 1979.

Manalu, Paingot Rambe., Coky T.N. Sinambela dan Laurensius Rambe Manalu,

Hukum Acara Pidana Dari Segi Pembelaan, (Jakarta: CV. Novindo Pustaka Mandiri, 2010.

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.

Mujahid, Menciptakan Mekanisme Pengawasan yang Efektif Dalam SPP, Tesis Jakarta: Program Pasca Sarjana UI, 2004.

Muladi, Penanggulangan Terorisme Sebagai Tindak Pidana Khusus, Makalah Bahan Seminar Pengamanan Terorisme Sebagai Tindak Pidana Khusus, Jakarta, 28 Januari 2004.

---, Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996.

Mulyadi, Lilik. Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik dan Permasalahannya, Bandung: Alumni, 2007.


(3)

Mulyadi, Mahmud. Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal Policy Dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008.

Naning, Ramdlon. Cita dan Citra Hak Asasi Manusia Indonesia, Jakarta: Lembaga Kriminologi UI, 1983.

Nasution, Adnan Buyung. Bantuan Hukum Di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1988. Pangaribuan, Luhut M.P. Hukum Acara Pidana, Jakarta: Djambatan, 2008.

Prodjodikoro, Wirjono. Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Jakarta: PT. Eresco, 1981.

Rahardjo, Satjipto. Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Yogyakarta: Genta Publishing, 2009.

---, Sisi-Sisi Lain Dari Hukum Di Indonesia, Jakarta: Kompas, 2003.

Reksodiptro, Mardjono. Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan karangan buku kedua, Jakarta; Lembaga Kriminologi UI.

Rukmini, Mien. Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tidak Bersalah dan Asas Persamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Bandung: Alumni, 2003.

Saleh, Abdurrahman. Aspek-Aspek Bantuan Hukum, Jakarta: 2009. Samidjo, Responsi Hukum Acara Pidana, Bandung: CV. Armico, 1988. ---, Ilmu Negara, Bandung: CV. Armico, 1986.

Sihombing, Uli Parulian Sihombing. Mengelola Legal Clinic, Panduan Membentuk dan Mengembangkan Kampus Untuk Memperkuat Akses Keadilan, Jakarta: ILRC, 2009.

Simanjuntak, Nikolas, Acara Pidana Indonesia Dalam Sirkus Hukum, Bogor: Ghalia Indonesia, 2009.

Simorangkir, J.C.T, Rudy T. Erwin, dan J.T. Prasetyo,. Kamus Hukum, Jakarta: Aksara Baru, 1980


(4)

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Nornatif, Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009.

Soekanto, Soerjono. Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.

---, Bantuan Hukum, Suatu Tinjauan Sosio Yuridis, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983.

Soemtiro, Ronny Hanitijo. Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Ghalia Indonesia, 1982.

Sunggono, Bambang dan Aries Harianto, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, Bandung: Mandar Maju, 2009.

Suseno, Franz Magnis. Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Kenegaraan Modern, Jakarta: PT. Gramedia, 1988.

Tahir, Hadari Djenawi. Pokok-Pokok Pikiran Dalam KUHAP, Bandung: Alumni, 1981.

Wahid, Abdul, Sunardi dan Muhammad Imam Sidik, Kejahatan Terorisme,

Perspektif Agama, HAM, dan Hukum, Bandung: PT. Refika Aditama, 2004. Winarta, Frans Hendra. Bantuan Hukum, Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas

Kasihan, Jakarta: Elex Media Komputindo, 2000.

Makalah dan Majalah :

Arief, Barda Nawawi. Sistem Peradilan Pidana Terpadu dalam kaitannya dengan Pembaharuan Kejaksaan, Makalah pada Forum dengar Publik: Pembaharuan Kejaksaan, diselenggarakan oleh KHN, Kejaksaan Agung dan Partnership for Governance Reform ini Indonesia, Jakarta, 24-25 Juni 2003.

Harkrisnowo, Harkristuti. Sistem Peradilan Pidana Terpadu dan peran Akademis,

Makalah Pada Forum Dengar Pendapat Publik: Pembaharuan Kejaksaan, Kejaksaan Agung, Jakarta 24-25 Juni 2003.

Loqman, Loebby. Eksistensi Kejaksaan RI dalam Sistem Peradilan Pidana¸Makalah, Jakarta, 13 November 2001.


(5)

Majalah Jurnal Keadilan, Vol. 2 No. 1 Tahun 2002.

Muladi, Peran Administrasi Peradilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu, Newsletter Komisi Hukum Nasional, Edisi Mei 2002.

---, Akses Pengadilan dan Bantuan Hukum, Makalah Workshop Akses Publik ke Pengadilan,. Jakarta 10 Juli 2002.

Reksodiputro, Mardjono. Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Makalah, Jakarta, 13 November 2001.

Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun VI No. 64, Januari 1991.

Yudhoyono, Susilo Bambang. Selamatkan Negeri Kita Dari Terorisme, Kementrian Koordinator Polkam, 2002.

Internet :

-ustadz-abu-siap-jalani-sidang-perdana-40095/menu-id-698.html.Diaksespada tanggal

11 April 2011.

Laporan Kontras dan LPSHAM Palu ke Asian Human Rights Commission (AHRC), pada tanggal 22 April 2011.

http://www.tribunnews.com / 2010 / 05/26/tpm- beberkan-pelanggaran-ham- yang-diduga-dilakukan-polri. Diakses Pada Tanggal 09 September 2011.

http:// www .eramuslim. com / berita / nasional/ komnas-ham-tentang-terorisme-polisi-melakukanpelanggaran-ham-berat.htm. Diakses Pada Tanggal 09 September 2011.

Peraturan Perundang-Undangan :

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.


(6)

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat.

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Lembaga Pemasyarakatan.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.