Sistem Pemidanaan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Terorisme Sebagai Extra Ordinary Crime Di Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang
Terorisme sebagai suatu kejahatan yang tidak dapat digolongkan sebagai

kejahatan biasa. Secara akademis, terorisme dikategorikan sebagai ”kejahatan luar
biasa” atau ”extra ordinary crime” dan dikategorikan pula sebagai ”kejahatan
terhadap kemanusiaan” atau ”crime against humanity”.1 Mengingat kategori yang
demikian, tentunya pemberantasannya tidak dapat menggunakan cara-cara yang biasa
sebagaimana menangani tindak pidana biasa seperti pencurian, pembunuhan atau
penganiayaan serta tindak pidana yang diancam dengan Pasal 187 KUH Pidana,
sekalipun secara substansial tindakannya memiliki kesamaan dalam kejahatan yang
membahayakan bagi keamanan umum, orang atau barang. Berdasarkan esensial
tindakan terorisme tentunya bukan hanya membahayakan keamanan umum, tetapi
telah memakan banyak korban nyawa manusia yang tidak sedikit, bahkan telah
menimbulkan rasa takut dan panik di dalam masyarakat sampai pada hancurnya
perekonomian nasional. Tindak pidana terorisme selalu menggunakan ancaman atau
tindak kekerasan yang mengancam keselamatan jiwa tanpa memilih-milih siapa yang

akan menjadi korbannya.

1

Muladi, Penanganan Terorisme Sebagai Tindak Pidana Khusus (Extra Ordinary Crime),
Materi Seminar di Hotel Ambara Jakarta, 28 Juni 2004, halaman. 1.

1
Universitas Sumatera Utara

2

Terorisme merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) dan
membutuhkan penanganan dengan mendayagunakan cara-cara luar biasa (extra
ordinary measure). Kategori terorisme sebagai kejahatan luar biasa ini harus

memenuhi standar keluarbiasaan. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Muladi2
sebagai berikut:
”Setiap usaha untuk mengatasi terorisme, sekalipun dikatakan bersifat domestik
karena karakteristiknya mengandung elemen ”etno socio or religios identity”,

dalam mengatasinya mau tidak mau harus mempertimbangkan standar-standar
keluarbiasaan tersebut dengan mengingat majunya teknologi komunikasi,
informatika dan transportasi modern. Dengan demikian tidaklah mengejutkan
apabila terjadi identitas terorisme lintas batas negara (transborder terorism
identity)”.
Romli Atmasasmita3 mengatakan bahwa dari latar belakang sosiologis,
terorisme merupakan kejahatan yang sangat merugikan masyarakat baik nasional
maupun internasional, bahkan sekaligus merupakan perkosaan terhadap hak asasi
manusia. Pendapat Romli Atmasasmita ini sejalan dengan pendapat Indriyanto Seno
Aji4 yang menyatakan sebagai berikut:
“bahwa akibat dari kejahatan terorisme yang memperkosa hak asasi manusia
merusak system perekonomian, integritas Negara, penduduk sipil yang tidak
berdosa serta fasilitas umum lain dalam konteks melawan hukum yang
signifikan sekali, karena itu pelaku teror yang berlindung sebagai pelaku delik
politik atau political purpose yang dilakukan dengan purpose of violence
dimana tindakan dimaksud untuk membuat shock atau intimidasi governmental
authority atau yang berakibat pada public by innoncent.

2


Ibid
Romli Atmasasmita, Kasus Terorisme Di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme , Materi Seminar Penanganan
Terorisme Sebagai Tindak Pidana Khusus, Jakarta 28 Juni 2004, halaman. 3
4
Indriyanto Seno Aji, Kompas, 29 Oktober, 2002
3

Universitas Sumatera Utara

3

T. P. Thornton5 menyatakan bahwa terorisme sebagai Terror as Weapon of
Political Agitation. Hal ini mengandung arti bahwa terorisme merupakan suatu

penggunaan teror dengan tindakan simbolis yang dirancang untuk mempengaruhi
kebijaksanaan dan tingkah laku politik dengan cara-cara ekstra normal, khususnya
dengan penggunaan kekerasan dan ancaman kekerasan. penggunaan cara-cara
kekerasan dan menimbulkan ketakutan adalah cara yang sah untuk mencapai tujuan.
Proses teror, menurut T. P. Thornton6 harus memiliki 3 (tiga) unsur, yaitu: Pertama ,

tindakan atau ancaman kekerasan. Kedua , reaksi emosional terhadap ketakutan yang
amat sangat dari pihak korban atau calon korban. Ketiga , dampak sosial yang
mengikuti kekerasan atau ancaman kekerasan dan rasa ketakutan yang muncul
kemudian.
Memahami makna terorisme di negara yang menganut sistem hukum common
law antara lain Amerika Serikat pada lembaga-lembaganya yang berkonsentrasi pada

pemberantasan terorisme telah memberikan pengertian yang berbeda-beda, seperti
misalnya: United Stated Central Intelligence (CIA). Terorisme internasional adalah
terorisme yang dilakukan dengan dukungan pemerintah atau organisasi asing dan/atau
diarahkan untuk melawan negara, lembaga, atau pemerintah asing. United Stated
Federal Bureau of Investigation (FBI) terorisme adalah penggunaan kekuasaan tidak

sah atau kekerasan atas seseorang atau harta untuk mengintimidasi sebuah
pemerintahan, penduduk sipil dan elemen-elemennya untuk mencapai tujuan sosial
5

Bryan A. Gardner, Editor in Chief, Black Law Dictionary, Seventh Edition, 1999,
halaman. 84.
6

Ibid

Universitas Sumatera Utara

4

atau politik.7 Menurut Brian Jenkins8 mendukung pernyataan ini dengan
pendapatnya, yaitu: “… what called terrorism thus seems depend on the point of
view. At the time, point in this expanding use of the term “terrorism” can mean just
what those who use the term (not the terrorist) want it to mean- almost any violent act

by any opponent”(… apa yang dimaksud dengan terorisme tergantung pada sudut
pandang masing-masing. Terorisme dalam arti yang luas dapat diartikan oleh siapa
saja (tidak termasuk teroris) sebagai perbuatan kekerasan terhadap orang lain).
Terorisme berdasarkan pendapat Brian Jenkins ini menyatakan bahwa terorisme harus
diartikan secara luas yang dapat diartikan tindak pidana terorisme dapat dilakukan
oleh siapa saja yang tidak hanya sebagai perbuatan kekerasan terhadap orang lain dan
pemahaman terhadap terorisme tergantung pada sudut pandang seseorang untuk
memaknai terorisme.
Di samping itu, terorisme seperti ditegaskan dalam Convention of the

Organization of the Islamic Conference on Combating International Terrorism,1999

(Konvensi

Konferensi

Internasional

Organisasi

Islam

tentang

Terorisme

Internasional, 1999) sebagaimana dikutip Muladi9 merupakan tindakan kekerasan
atau ancaman tindakan kekerasan, terlepas dari motif atau niat yang ada untuk
menjalankan rencana tindak kejahatan individual atau kolektif dengan tujuan
7


Muladi, Penanggulangan Terorisme Sebagai Tindak Pidana Khusus, bahan seminar
Pengamanan Terorisme sebagai Tindak Pidana Khusus, Jakarta, 28 Januari 2004, halaman. 7
8
Indriyanto Seno Adji, Permasalahan Terorisme dan Hukum Pidana , Makalah
disampaikan pada sosialisasi RUU tentang pemberantasan terorisme yang diselenggarakan oleh
Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia R.I., Jakarta, 3 Desember 2001, halaman. 1
9
Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, The
Habibie Center, Jakarta, 2002, halaman. 173.

Universitas Sumatera Utara

5

menteror orang lain atau mengancam untuk mencelakakan mereka, atau mengancam
kehidupan, kehormatan, kebebasan, keamanan dan hak mereka atau mengeksploitasi
lingkungan atau fasilitas atau harta benda pribadi atau publik, atau menguasainya atau
merampasnya, membahayakan sumber nasional, atau fasilitas internasional, atau
mengancam stabilitas, integritas teritorial, kesatuan politis atau kedaulatan negaranegara merdeka.

Pandangan hukum Islam melihat terorisme sebagai suatu bentuk irhâb.10
Majma‟ al-Lughah al-„Arabiyah (Akademi Bahasa Arab) di Kaero menetapkan
penggunaan kata al-irhâb (sebagai terjemahan kata terrorism) di dalam bahasa arab
dalam sifatnya sebagai istilah kontemporer. Asasnya adalah kata rahiba yang
bermakna khâfa (takut). Majma‟ al-Lughah menjelaskan bahwa teroris adalah sifat
yang dikenakan pada orang-orang yang menempuh jalan kekerasan untuk merealisasi
tujuan-tujuan politik mereka. Ini sekaligus menjelaskan bahwa dalam kazanah Islam
kata irhâb sebagai satu istilah dengan maknanya sekarang, sebelumnya tidak dikenal.
Sebab sebagai sebuah istilah, terorisme adalah istilah baru, berawal dari Eropa,
muncul pada masa revolusi Perancis yang memunculkan tatanan sekuler demokrasi.
Dalam bahasa arab, kata irhâb merupakan derivasi dari asal kata rahiba – yarhabu –
rahban wa rahaban wa ruhban wa rahbatan yang artinya khâfa (takut) dan faza‟a

10

Definisi yang disebutkan oleh Syaikh Sulthôn, beliau bahasakan dari definisi yang
disebutkan oleh guru kami, Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al-Madkhlyhafizhohullâh dalam
kitab beliau Al-Irhâb Wa Âtsâruhu „Alal Afrôdi Wal Umam (Terorisme dan dampaknya terhadap
individu dan umat) halaman. 10.


Universitas Sumatera Utara

6

(ngeri). Dan arhabahu wa rahhabahu artinya akhâfahu (membuatnya takut) dan
fazza‟ahu (membuatnya merasa ngeri).11
Di dalam al-Quran, kata rahiba dan derivatnya dinyatakan 12 kali. Diantaranya
kata fa [i]rhabûn (QS al-Baqarah [2]: 40; an-Nahl [16]: 51); ruhbân (QS al-Maidah
[5]:82; at-Tawbah [9]:31, 34); istarhabûhum (QS al-A‟raf [7]: 116); yarhabûn (QS
al-A‟raf [7]:154); turhibûn (QS al-Anfal [8]: 60); rahaban (QS al-Anbiya [21]: 90);
ar-Rahbu (QS al-Qashash [38]:32); rahbâniyyah (QS al-Hadid [57]:27) dan rahbatan
(QS al-Hasyr [59]:13). Semuanya dalam makna bahasanya yaitu takut, gentar dan
ngeri. Begitu juga di dalam hadits, kata rahiba dan derivatnya disebutkan dalam
makna bahasanya. Tidak ada nash yang mentransformasi makna kata rahiba/irhâb itu
ke makna yang spesifik. Artinya kata irhâb tidak memiliki makna syar‟i. Kata rahiba
dan derivatnya di dalam nash ini, kebanyakan dinyatakan dalam kontek berita.
Namun ada juga yang dinyatakan dalam kontek perintah. Yaitu perintah untuk takut
kepada Allah (QS 2: 40; 16: 51); dan perintah untuk berdoa secara raghaban wa
rahaban (harap dan cemas) yaitu cemas/takut doa tidak terkabulkan (QS 21: 90 dan


di dalam hadits) dan perintah dalam firman Allah SWT sebagai berikut:

‫ط ل يل ت‬
‫َ يع‬

‫ق‬
‫ا تع‬

‫ست عت‬
‫آخ ي‬

‫ل‬
‫َ ع‬

‫أع‬
‫ع‬

Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu
sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan
11


Qarârât Al-Majma Al-Fiqhi Al-Islâmy halaman. 355-356.

Universitas Sumatera Utara

7

persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang
selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya.

(QS al-Anfal [8]: 60)
Ayat ke-60 dari surah al-Anfal ini tidak memiliki sebab turunnya ayat. Kitabkitab mengenai sebab turunnya ayat tidak menyebutkan sebab di balik turunnya ayat
ini. Namun, siyaq (konteks) ayat ini disebutkan setelah ayat-ayat yang bercerita
tentang perang Badar, suatu perang yang terjadi secara kebetulan, bahkan terkesan
tanpa persiapan maksimal, maka ayat ke-60 ini mengingatkan bahwa umat senantiasa
harus berwaspada terhadap serangan musuh, baik yang dikenal maupun yang tidak
dikenal. Dan tidak ada perlindungan yang lebih baik daripada mempersiapkan
kekuatan, yang dengannya musuh akan berfikir berulang kali untuk menyerang umat.
Demikian pendapat Fakhruddin al-Razi12 dalam tafsirnya “al-Tafsir al-Kabiir wa
mafatih al-Ghaib.

Menurut Muhammad Rasyid Ridha13, mempersiapkan senjata untuk menakutnakuti musuh, setidaknya melahirkan lima manfaat:
1.
2.
3.
4.
5.

Agar musuh tidak berniat untuk menyerang negeri Islam.
Jika rasa takut mereka semakin besar, mereka akan berkomitmen
membayar jizyah.
Kekuatan umat islam akan menjadi pendorong bagi keislaman mereka.
Antar kelompok kafir tidak berniat untuk saling membantu menyerang
umat Islam.
Akan melahirkanm stabilitas keamanan yang lebih baik di negeri Islam.

12

Fakhruddin al-Rizal, al-Tafsir al-Kabiir wa Mafatih al-Ghaib, (beirut: Daar al-Fikr, tt) jilid
7, halaman 423.
13
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur‟an al-Hakim, (Kairo : Daar al-Manar,tt), jilid 10,
halaman. 56.

Universitas Sumatera Utara

8

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan syar‟iy oleh Al-Majma‟ Al-Fiqh AlIslâmy. Lembaga fiqih internasional, pada tanggal 15/10/1421H bertepatan 10/1/2001
(yaitu sepuluh bulan sebelum kejadian 11 September 2001M) mengeluarkan definisi
tentang terorisme sebagai suatu permusuhan yang ditekuni oleh individu-individu,
kelompok-kelompok, atau negara-negara dengan penuh kesewenang-wenangan
terhadap manusia (agama, darah, akal, harta dan kehormatannya). Terorisme juga
mencakup berbagai bentuk pemunculan rasa takut, gangguan, ancaman dan
pembunuhan tanpa haq serta apa yang berkaitan dengan bentuk-bentuk permusuhan,
membuat ketakutan di jalan-jalan, membajak di jalan dan segala perbuatan kekerasan
dan ancaman. Aplikasinya terjadi pada suatu kegiatan dosa secara individu maupun
kelompok, dengan target melemparkan ketakutan di tengah manusia, atau membuat
mereka takut dengan gangguan terhadap mereka, atau memberikan bahaya pada
kehidupan, kebebasan, keamanan, atau kondisi-kondisi mereka. Dan diantara bentukbentuknya, melekatkan bahaya pada suatu lingkungan, fasilitas, maupun kepemilikan
umum atau khusus, atau memberikan bahaya pada salah satu sumber daya/aset negara
atau umum. Seluruh hal ini tergolong kerusakan di muka bumi yang dilarang oleh
Allah Subhânahu wa Ta‟âlâ”.14
Terorisme mencakup seluruh makna terorisme yang tercela dan menjelaskan
secara tidak langsung kesalahan atau kekurangan yang terdapat dalam definisidefinisi

14

yang

pernah

diletakkan

oleh

lembaga-lembaga

internasional

Ibid

Universitas Sumatera Utara

9

sebelum

Al-Majma‟ Al-Fiqh Al-Islamy.15 Dalam sebuah khutbah jum‟at yang

berjudul

“Al-Irhâb Bainat Tadmîr wat Tabrîr ”, di Mesjid Jâmi‟ Khalid

bin

Al-Walid,

kota

Riyadh,

„Iedhafizhohullâh menjelaskan

Syaikh

tentang

Sulthôn

makna

bin

terorisme.

„Abdurrahmân

Al-

Beliau menyatakan

“Sesungguhnya kalimat Al-Irhâb (terorisme) mempunyai makna dengan bentukbentuk yang beraneka ragam. Tercakup dalam (makna); membuat takut dan ngeri
orang-orang yang aman tanpa kebenaran, melayangkan jiwa-jiwa yang tidak berdosa,
menghancurkan harta-harta yang terpelihara, merusak kehormatan-kehormatan yang
terjaga, memecah tongkat (persatuan) kaum muslimin, mencerai beraikan jama‟ah
mereka dan keluar terhadap pemimpinnya dan memanas-manasi anak muda untuk
berhadapan (berseberangan) dengan negara mereka serta membenturkan mereka
dengan penguasa dan ulamanya dalam berbagai front dan benturan.”16
Adapun maknanya dalam syari‟at adalah segala sesuatu yang menyebabkan
goncangan keamanan, pertumpahan darah, kerusakan harta atau pelampauan batas
dengan berbagai bentuknya. Semua ini dinamakan irhâb. (Allah) Ta‟âla berfirman,
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian sanggupi
dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu)
kalian meng-irhâb (teror) musuh Allah dan musuh kalian”.17 Irhâb menyebabkan

ketakutan pada pihak-pihak musuh dan pengurungan keinginan pihak musuh terhadap
kaum muslimin dan hal lainnya. Inilah maknanya secara istilah. Berangkat dari
15

Ibid
Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al-Madkhlyhafizhohullâh, Loc.cit
17
QS. Al-Anfâl, halaman. 60
16

Universitas Sumatera Utara

10

keterangan di atas tampak bagi kita bahwa Al-Irhâb kadang boleh dan kadang haram.
Al-Irhâb beraneka ragam hukumnya tergantung dari maksudnya. Keberadaan kita

mempersiapkan diri, menambah kekuatan, latihan senjata (militer), membuat senjata
dan menyiapkan kekuatan yang membuat irhâb terhadap musuh sehingga tidak
lancang terhadap kita, agama, aqidah dan individu-individu umat. Ini adalah perkara
yang dituntut (diinginkan) keberadaannya pada kaum muslimin. Maka tidak pantas
bagi kaum muslimin untuk dilalaikan oleh Al-Lahwu (perkara tidak bermanfaat),
perhiasan dan gemerlapnya kehidupan sehingga lengah dari maksud dan sasaran
musuh-musuh mereka. Bahkan wajib bagi mereka untuk memiliki kekuatan
sebagaimana firman Allah SWT yakni:18
“Kamu
kalian”.
60).

meng-irhâb

(teror)

musuh

Allah

dan
musuh
(QS. Al-Anfâl :

Dan Nabi shollallahu „alaihi wa sallam bersabda,

‫الر ْعب مس ْيرة ش ْ ر‬
ُ ‫نص ْرت ب‬
,

“Saya ditolong dengan Ar-Ru‟bi (timbulnya rasa takut/gentar pada musuh)
selama perjalanan satu bulan”. Inilah Al-Irhâb yang disyari‟atkan.
Adapun Al-Irhâb yang terlarang adalah apa yang dikerjakan oleh pelaku (irhâb)
ini dengan cara mendatangi orang-orang yang dalam keadaan aman, tentram dan

Hadits Jâbir bin „Abdillah radhiyallâhu „anhumâ riwayat Al-Bukhâry no. 335, 438, Muslim
no. 521, An-Nasâ`i 1/209. Dan dikeluarkan pula oleh Al-Bukhâry no. 2977, 6998, 7013, 7273, Muslim
no. 523, An-Nasâ`i 6/3-4 dari Abu Hurairah radhiyallâhu „anhu. Dan maksud dari hadits di atas adalah
bahwa yang termasuk salah satu ciri khas Nabishollallâhu „alaihi wa „alâ âlihi wa sallam dan umatnya
adalah ditimbulkannya rasa takut/gentar pada musuh-musuhnya ketika pasukan kaum muslimin masih
berada dalam jarak perjalanan satu bulan
18

Universitas Sumatera Utara

11

lapang yang tidak mempunyai urusan dengan masalah kekuatan, peperangan dan
kezholiman, lalu disergap secara tiba-tiba dengan pembunuhan, perusakan harta
benda, menimbulkan berbagai macam ketakutan atau selain itu, baik dari kalangan
orang kafir atau dari kalangan kaum muslimin. Diperkecualikan darinya apa yang
terjadi antara negara muslim dan negara harby. Kalau negara (muslim) memerangi
negara kafir dan tidak ada antara keduanya mu‟âhad atau hilif (perjanjian) dan antara
keduanya ada peperangan dan saling menyerang secara tiba-tiba, maka dalam
keadaan ini (boleh) bagi kaum muslimin untuk melakukan apa yang dengannya bisa
mengalahkan musuh yakni negara kafir, dan menahan musuh dan kezholimannya,
mengembalikan harta benda kaum kafir, menjaga bumi dan kehormatan kaum
muslimin. Semua ini dianggap perkara yang boleh. Adapun apa yang berkaitan
dengan irhâb terhadap orang-orang yang aman dan lengah dari laki-laki dan
perempuan kaum muslimin, orang-orang kafir dan selain orang-orang kafir, maka
kaum kafir itu tidak boleh diserang secara tiba-tiba khususnya kalau antara kaum
muslimin dan bangsa-bangsa (kafir) ini ada mu‟âhad, hilif dan selain itu”.
Terorisme sebagai penggunaan atau ancaman penggunaan kekerasan fisik yang
direncanakan, dipersiapkan dan dilancarkan secara mendadak terhadap sasaran
langsung yang lazimnya adalah non combatant untuk mencapai suatu tujuan politik.
Istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan prilaku baik yang terbuka (overt),
baik yang bersifat menyerang (offensive) atau bertahan (defensive) yang disertai
penggunaan kekuatan kepada orang lain. Pengertian terorisme menurut James Adams

Universitas Sumatera Utara

12

adalah:19 penggunaan atau ancaman kekerasan fisik oleh individu- individu atau
kelompok-kelompok untuk tujuan-tujuan politik, baik untuk kepentingan atau untuk
melawan kekuasaan yang ada, apabila tindakan- tindakan terorisme itu dimaksudkan
untuk mengejutkan, melumpuhkan atau mengintimidasi suatu kelompok sasaran yang
lebih besar daripada korban- korban langsungnya. Terorisme melibatkan kelompokkelompok yang berusaha untuk menumbangkan rezim-rezim tertentu untuk
mengoreksi keluhan kelompok/nasional, atau untuk menggerogoti tata politik
internasional yang ada.
Tindak pidana terorisme berdasarkan perkembangan lingkungan strategik
merupakan kejahatan terorganisir, memiliki jaringan nasional maupun internasional
yang sangat meresahkan dan menjadi perhatian dunia. Tindak pidana terorisme setiap
saat akan terjadi berdasarkan tipologi yang mendasarinya dengan sasaran yang tidak
dapat diprediksi, tindakannya menimbulkan ketakutan masyarakat secara luas,
menimbulkan korban jiwa dan kerugian harta benda yang tidak sedikit, juga
menimbulkan dampak yang sangat luas terhadap kehidupan berbangsa dan
bernegara.20
Ledakan bom berkekuatan tinggi yang terjadi di Indonesia antara lain terjadi di
Legian (Kuta Bali), Manado dan Makasar telah menghentakkan bangsa, sekaligus

19

Muchamad Ali, Syafaat dalam Terorisme, Definisi, Aksi dan Regulasi, Imparsial, Jakarta,
2003, halaman. 59.
20
Abdul Wahid, Kejahatan Terorisme Perpestif Agama, Hak Asasi Manuisa & Hukum, PT.
Refika Aditama, Bandung, 2004, halaman. 35 bahwa menurut Wilkinson, tipologi terorisme ada
beberapa macam antara lain: Pertama , terorisme epifenomenal. Kedua , terorisme revolusioner . Ketiga ,
terorisme sybrevolusioner . Keempat, terorisme represif .

Universitas Sumatera Utara

13

menggelisahkan segenap masyarakat karena Indonesia telah mengalami atau
terancam persoalan kriminalitas yakni mudahnya bom diledakkan dengan dalih
sebagai jihad atau strategi pertarungan atau perjuangan dan pelampiasan ambisi serta
pemenuhan target-target ekslusif sehingga nyawa manusia menjadi tidak berarti
karena dengan begitu mudahnya dirampas bahkan nyawa orang banyak yang
sebenarnya tidak mengerti persoalan apa-apa dibalik motif peledakan bom tersebut.
Fakta ini menunjukkan bukti bahwa sebuah jaringan terorisme telah masuk dalam
wilayah Negara Indonesia dan mengancam stabilitas keamanan dalam negeri.
Jaringan terorisme yang mempunyai kekuatan financial dan system pengorganisasian
yang canggih dan luar biasa hebat seperti berada dibalik peristiwa peledakan bom
ibarat mata rantai yang sulit diputus, sehingga logis apabila dikatakan jika Negara
yang tingkat stabilitas keamanannya rawan seperti Indonesia dangat potensial untuk
dijadikan sarang terorisme.21
Indonesia

telah

merumuskan

beberapa

peraturan

perundang-undangan

menyakut pemberantasan tindak pidana terorisme yakni Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme yang kemudian disetujui menjadi Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, secara spesifik memuat
perwujudan ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan Perserikatan Bangsa- Bangsa

21

F. Budi Hardiman, Terorisme, Definisi, Aksi dan Regulasi, Imparsial, Jakarta, 2003,

halaman. 7

Universitas Sumatera Utara

14

(PBB) dalam Convention Against Terorism Bombing (1997) dan Convention on the
Suppression of Financing Terorism (1997), antara lain memuat ketentuan- ketentuan

tentang lingkup yuridiksi yang bersifat transnasional dan internasional serta
ketentuan-ketentuan khusus terhadap tindak pidana terorisme internasional. Perpu
Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme juga
mempunyai kekhususan, antara lain:22
1.
2.
3.

4.

5.

6.

7.

22

Merupakan ketentuan payung terhadap peraturan perundang-undangan
lainnya yang berkaitan dengan tindak pidana terorisme.
Memuat ketentuan khusus tentang perlindungan terhadap hak asasi
tersangka atau terdakwa yang disebut ”safe guarding rules”.
Di dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini juga
ditegaskan bahwa tindak pidana yang bermotif politik atau yang bertujuan
politik sehingga pemberantasannya dalam wadah kerjasama bilateral dan
multilateral dapat dilaksanakan secara lebih efektif.
Memuat ketentuan yang memungkinkan Presiden membentuk satuan
tugas anti teror dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas publik
(sunshine principle) dan atau prinsip pemberantasan waktu efektif (sunset
principle) yang dapat mencegah penyalahgunaan wewenang satuan tugas
bersangkutan. Memuat ketentuan tentang yuridiksi yang didasarkan
kepada asas teritorial, asas ekstrateritorial dan asas nasional aktif
sehingga diharapkan dapat secara efektif memiliki daya jangkauan
terhadap tindak pidana terorisme.
Memuat ketentuan tentang pendanaan untuk kegiatan teroris sebagai
tindak pidana terorisme sehingga sekaligus juga membuat UndangUndang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini
tidak berlaku bagi kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum,
baik melalui unjuk rasa, protes, maupun kegiatan-kegiatan yang bersifat
advokasi.
Di dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini tetap
dipertahankan ancaman sanksi pidana yang minimum khusus untuk
memperkuat fungsi penjeraan terhadap para pelaku tindak pidana
terorisme.

Ibid

Universitas Sumatera Utara

15

8.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini merupakan
ketentuan khusus yang diperkuat sanksi pidana dan sekaligus merupakan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang bersifat
koordinatif (coordinating act) dan berfungsi memperkuat ketentuanketentuan di dalam peraturan perundangan lainnya yang berkaitan dengan
pemberantasan terorisme.

Penggunaan Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme, didasarkan pada pertimbangan bahwa terjadinya terorisme di berbagai
tempat di Indonesia telah menimbulkan kerugian baik materil maupun immateril serta
menimbulkan ketidakamanan bagi masyarakat oleh karena itu setelah menjadi
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme, Undang-Undang tersebut telah menjadi ketentuan payung dan bersifat
koordinatif (coordinating act) terhadap peraturan perundang-undangan lainnya yang
berkaitan dengan

pemberantasan tindak

pidana

terorisme.

Undang-Undang

Pemberantasan Terorisme ini juga menegaskan bahwa tindak pidana yang bertujuan
politik sehingga pemberantasannya dalam wadah kerja sama bilateral dan multilateral
dapat dilaksanakan secara lebih efektif. Tersangka atau terdakwa mendapat
perlindungan khusus terhadap hak asasinya (safe guarding rules) dan juga diatur
tentang ancaman sanksi pidana minimum khusus untuk memperkuat fungsi penjeraan
terhadap pelaku tindak pidana terorisme. Pemberantasan tindak pidana terorisme
berlandaskan kepada 6 (enam) prinsip yaitu:23
1.

23

National security adalah untuk mewujudkan prinsip teritorialitas dari
hukum pidana sekaligus untuk melandasi pertahanan dan keamanan
Negara sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ibid

Universitas Sumatera Utara

16

2.

3.

4.

5.

6.

Balance of justice adalah untuk menegakkan prinsip equity before the
law, baik terhadap tersangka/terdakwa maupun terhadap korban
sehingga due proses harus digandengkan dengan model crime control
dalam mencegah dan memberantas tindak pidana terorisme.
Safe guarding rules adalah prinsip yang harus dipertahankan dan
dilaksanakan untuk mencegah terjadinya abuse of power dalam mencegah
dan pemberantasan tindak pidana ini.
Safe harbor rules adalah prinsip yang diharapkan upaya untuk
memberikan perlindungan kepada tersangka pelaku tindak pidana
terorisme dan prinsip ini dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme telah diperkuat dengan ketentuan yang
mengkriminalisasi perbuatan memberikan kemudahan (fasilitas) sesudah
tindak pidana tersebut dilakukan (accessories after the facts) sebagai
tindak pidana yang berdiri sendiri.
Sunshine principle adalah prinsip yang mengedepankan transparansi dan
akuntabilitas dalam proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di
muka sidang pengadilan dalam kasus pidana terorisme.
Sunset principle adalah prinsip yang mengadakan pembatasan waktu
(time limits) terhadap kebijakan pemerintah yang bersifat pembentukan
kelembagaan khusus dan atau mekanisme khusus tertentu yang
diperlukan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana terorisme.

Kejahatan terorisme memiliki karakteristik spesifik yang tidak dimiliki
kejahatan-kejahatan konvensional yaitu dilaksanakan secara sistematis dan meluas
serta terorganisasi sehingga merupakan ancaman yang sangat serius terhadap
masyarakat, bangsa dan negara. Oleh karenanya kejahatan terorisme masuk ke dalam
“Trans National Crime” dan “Extra Ordinary Crime”.24

24

Soeharto, Implemetasi Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa dan Korban dalam
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Disertasi
Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, 2009, halaman.. 47 bahwa di Indonesia
regulasi mengenai tindak pidana terorisme diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Filosofis yang ada dalam Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme bahwa terorisme merupakan musuh umat manusia, kejahatan
terhadap peradaban, merupakan Internasional dan Transnational Organized Crime. Tujuan dari
dibentuknya Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme adalah perlindungan masyarakat, sedangkan
paradigma pembentukan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang merupakan

Universitas Sumatera Utara

17

Berdasarkan karakteristik tindak pidana terorisme dan maksud pelaku
melakukan tindakan teror25 tentunya di dalam sistem pemidanaan memerlukan suatu
formulasi hukum yang tidak hanya berorientasi pada pembalasan melalui
pemberantasan seperti yang dilakukan oleh Polri dengan membentuk Detasemen
Khusus 88 Anti Teror yang menerapkan kebijakan (policy) tembak ditempat bagi
pelaku tindak pidana terorisme, berikut Putusan Pengadilan yang menghukum pelaku
dengan hukuman mati. Adapun dasar dilakukannya tindakan represif khususnya
dilakukan oleh Polri adalah rumusan delik formil yang terdapat di dalam UndangUndang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
khususnya Pasal 7 sampai dengan Pasal 12. Dalam hal ini perbuatan yang dilarang
dan dikategorikan sebagai kegiatan terorisme adalah bermaksud untuk melakukan
perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan dimana perbuatan
tersebut dapat menimbulkan suasana teror di tengah-tengah masyarakat. Sebenarnya
terlalu berat sanksi bagi tindakan delik formil yang belum menimbulkan dampak
apapun, kepada orang lain yang terlalu berlebihan. Berdasarkan ketentuan ini bahwa
adanya unsur batin dari pembuat hendak menjangkau secara luas yaitu rumusan
“dengan maksud untuk menimbulkan teror” termasuk pelaku sebagai korban yang
telah diidentifikasi sebagai jaringan terorisme.

paradigma tritunggal yaitu melindungi wilayah negara kesatuan Republik Indonesia, Hak Asasi
Manusia dan Perlindungan Hak Asasi Tersangka.
25
Kata terror (Ingg.) berasal dari bahasa Latin “terrer ” yang berarti membuat gemetar atau
menggetarkan. Dalam praktiknya, kata terror dipakai juga untuk makna menimbulkan kengerian.

Universitas Sumatera Utara

18

Sistem pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana terorisme di Indonesia yang
menganut sistem civil law memerlukan reorientasi khususnya pelaku sebagai korban
dari radikalisme berupa pemahaman nilai-nilai agama yang salah bagi penganut
fundamentalisme, utamanya fundamentalisme agama Islam melalui resialisasi dalam
bentuk mengenalkan dan meluruskan kembali nilai-nilai ajaran agama dengan cara
rehabilitasi terhadap pelaku tindak pidana terorisme di dalam Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Hal ini disebabkan sekalipun citra tindak
pidana terorisme selalu berkonotasi politik tetapi penekanannya lebih kepada
perbuatan (actus reus) dan akibatnya.
Arti

pentingnya

pemidanaan

terhadap

pelaku

dalam

kerangka

pertanggungjawaban pidana adalah melakukan tindakan secara efektif terhadap
pelaku sebagai korban kejahatan terorisme secara komprehensif akibat pengaruh
fundamentalisme. Korban kejahatan adalah mereka yang menderita jasmaniah dan
rohaniah sebagai tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri
sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi pihak
yang dirugikan, dalam crime dictionary disebutkan juga bahwa korban adalah
“person who has injured mental or psysical suffering, loss of property or death
resulting from an actual or attempted criminal offense commited by another ”.26

Ketentuan yang terdapat di dalam hukum acara pidana pada hakekatnya telah
mengatur tentang perlindungan korban kejahatan, akan tetapi belum sepenuhnya

26

Ralph De Sola, Crime Dictionary, Facts on File Publication, New York, 1988,
halaman. 188

Universitas Sumatera Utara

19

mencantumkan prinsip “access to justice and fair treatment”27 khususnya terhadap
korban sebagai pelaku kejahatan. Hal in didasarkan pertimbangan bahwa faham yang
dianut dalam pemberantasan tindak pidana terorisme sebagaimana diatur dalam
undang-undang bersifat vertikalistis yaitu mengandalkan peranan aparat-aparat
kekuasaan negara seperti Kepolisian, Intelijen, Pengadilan tanpa menderivasi peranan
sarana-sarana pemidanaan atas pelaksanaan kebijakan anti dan kontra terorisme.
Salah satunya menyangkut rehabilitasi pelaku sebagai korban kejahatan terorisme.
Terorisme sering diidentikkan dan diletakkan pada penganut fundamentalisme
agama Islam karena adanya pemahaman keagamaan yang ekslusif, skripturalis dan
miskinnya pemahaman realitas historis dalam menafsirkan pesan teks-teks kitab suci,
sehingga mewariskan sikap-sikap yang fanatik, ekslusif dan intoleran dalam
menyikapi realitas perbedaan dan kondisi fluralitas social, politik, budaya dan
ekonomi,

bahkan

mengimplementasikan

termasuk
prinsip

dalam

menyikapi

“menegakkan

wilayah

kebajikan

juang
dan

dalam

mencegah

kejahatan/kemungkaran (amar makruf nahi mungkar )”.
Menurut Azyumardi Azra, terorisme merupakan kekerasan politik yang
sepenuhnya bertentangan dengan etos kemanusiaan agama Islam. Islam mengajarkan
etos kemanusiaan yang sangat menekankan kemanusiaan universal. Islam memang
menganjurkan dan member justifikasi kepada muslimin untuk berjuang, berperang
(harb) dan menggunakan kekerasan (qital) terhadap para penindas, musuh-musuh

27

Soeharto, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa, dan Korban Tindak Pidana Terorisme
Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia , PT. Refika Aditama, Bandung, 2013, halaman. 26

Universitas Sumatera Utara

20

Islam dan pihak luar yang menunjukkan sikap bermusuhan atau tidak mau hidup
berdampingan secara damai dengan Islam dan kaum muslimin. Islam sebagai agama
yang “rahmatan lil alamin”, jelas menolak dan melarang penggunaan kekerasan demi
untuk mencapai tujuan-tujuan (alghoyat), termasuk tujuan yang baik sekalipun.
Sebuah kaidah “ushul dalam Islam menegaskan al-ghayah la tubarrir al wasilah
(tujuan tidak bisa menghalalkan segala cara)”.28
Fenomena teks keagamaan, kata “jihad” seringkali dipahami oleh kelompok
ekslusif sebagai suatu tindakan yang lekat dengan kekerasan.29 Pemahaman ini
sebenarnya salah yang memerlukan tindakan pelurusan terhadap nilai-nilai ajaran
agama, sebab agama Islam sendiri mengandung misi fundamental universal,30 yakni
perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Di samping itu menurut pendapat
M. Hasballah Thaib bahwa Islam berorientasi pada terwujudnya kemashlahatan,31
sehingga bertolak belakang dengan pemahaman-pemahaman dari dalil-dali shari‟

28

Azyumardi Azra, Kompas, 2 November 2001
Muhammad Khair Haekal, Jihad & Perang Menurut Syariat Islam, Buku Kedua, Pustaka
Thariqul Izzah, Bogor, 2004, halaman. 255, bahwa Utsman Jum‟ah Dhamiriyah menyatakan beberapa
alas an yang menyebabkan kaum Muslimin berjihad adalah: 1. Pembelaan diri dalam rangka melawan
bentuk serangan yang telah atau akan dilakukan terhadap kaum muslimin. 2. Melindungi tanah air
Islam, menyelamatkan kaum muslimin yang tertindas di Negara manapun. 3. Menjamin kebebasan
penyebaran dakwah Islam. 4. Menjaga jaminan (keamanan) dan consensus. 5. Menolak fitnah dan
mencegah pembangkangan di dalam dan luar negeri.
30
Fundamental universal ajaran Islam dalam di lihat dalam beberapa ayat al-qur‟an antara
lain: Pertama , QS. 17:7 bahwa manusia, apapun warna kulit, ras, suku, keyakinan dan agamanya
dalam pandangan mahluk mulia. Kedua , QS. 49:17 bahwa pluralitas dan perbedaan merupakan rahmat
dan nikmat Tuhan, bukan ancaman. Menurut Islam, “yang lain” itu merupakan karib yang mesti
diakomodasi dan diajak kerjasama.
31
H. Syahril Sofyan, Pemikiran dan Sikap M. Hasballah Thaib dalam Berbagai Dimensi,
Citapustaka Media Perintis, Bandung, 2013, halaman. 211 bahwa agama juga bisa dimoderinisasikan
dalam bidang mua‟amalah, akantetapi dalam bidang ibadah dan aqidah tidak dapat dimoderinisasikan
karena Rasulullah SAW telah mengajarkannya secara jelas. Sebagaimana ahli-ahli fiqh lainnya M.
Hasballah Thaib menyadarkan hukum kepada dalil-dalil shari‟ serta melihat mashlahat yang ada.
29

Universitas Sumatera Utara

21

yang dipahamkan oleh pelaku terorisme sebagai jihad melalui tindakan kekerasan.
Nabi Muhammad SAW bersabda sebagai berikut:32
“Wahai sekalian manusia, sebarluaskanlah perdamaian, eratkanlah tali
persaudaraan, berikan makan (kepada mereka yang kelaparan), kerjakanlah
shalat ketika kebanyakan orang tidur di waktu malam, maka kamu akan masuk
surga dengan penuh kesejaahteraan”.
Upaya penerapan sistem pemidanaan ke depan terhadap pelaku tindak pidana
terorisme khususnya penganut fundamentalisme agama dengan cara rehabilitasi
penting untuk dilakukan dalam sistem hukum pidana nasional disebabkan oleh
beberapa hal, antara lain:
Pertama , Tindak Pidana terorisme merupakan tindak pidana murni (mala
perse) yang dibedakan dengan administrative criminal law (mala prohibita ) sehingga

berpengaruh dalam penerapan sistem pemidanaan terhadap pelaku.
Kedua , pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana terorisme dalam kerangka

pertanggungjawaban pidana (liability on fault or negligence atau fault liability),33
lebih diarahkan pada perbuatannya bukan kepada pelaku kejahatan sebagai korban
kejahatan sehingga pemberantasan terorisme tidak efektif. Dalam tindak pidana

32

Hasyim Muzadi dalam Abdul Wahid, Op.cit, halaman.. vii
Pandangan monistis beranggapan bahwa suatu perbuatan yang oleh hukum diancam dengan
hukuman, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh seorang yang bersalah dan orang itu dianggap
bertanggungjawab atas perbuatannya. Menurut aliran monistis unsur-unsur strafbaar feit ini meliputi
baik unsur-unsur perbuatan yang lazim disebut obyektif, maupun unsur-unsur pembuat, yang lazim
dinamakan unsur subjektif. Oleh karena dicampurnya unsur perbuatan dan unsur pembuatnya maka
dapatlah disimpulkan bahwa strafbaar feit adalah sama dengan syarat-syarat penjatuhan pidana,
sehingga adanya anggapan bahwa kalau terjadi strafbaar feit, maka pasti pelakunya dapat dipidana.
Menurut A. Z. Abidin, aliran monistis terhadap strafbaar feit penganutnya merupakan mayoritas di
seluruh dunia, memandang unsur pembuat delik sebagai bagian dari strafbaar feit. Lihat, AZ. Abidin,
Bunga Rampai Hukum Pidana Pradnya Paramita, Jakarta, 1983, halaman. 51
33

Universitas Sumatera Utara

22

seseorang dapat dikenai yakni: Pertama , pembuat dalam pengertian pelaku (dader )34
yaitu pembuat tunggal, ialah melakukan tindak pidana secara pribadi. Dengan syarat
perbuatannya telah memenuhi semua unsur tindak pidana yang dirumuskan undangundang. Kedua , sebagai pelaku, pelaku ikut serta, turut serta melakukan
(mededader )35 dimana orang ini telah berbuat dalam mewujudkan segala anasir atau
elemen dari tindak pidana yang merupakan aktor penyebab terjadinya suatu tindak
pidana. Ketiga , disebut sebagai pembuat pembantu. Para pembuat itu adalah yang
melakukan (plegen)36 orangnya disebut dengan pembuat pelaksana, yang menyuruh
melakukan (mede plegen)37 orangnya disebut sebagai pembuat penyuruh (doen
pleger )38, yang turut serta melakukan (mede plegen)39 orangnya disebut dengan

pembuat peserta (mede pleger )40, yang sengaja menganjurkan (uitloken)41 orangnya
disebut dengan pembuat penganjur (uitloker ).42 Pemidanaan dengan menerapkan
sanksi pidana dengan ancaman maksimum dan hukum mati kepada pelaku
seharusnya hanya terfokus kepada manus domina antara lain Dader (pembuat
tunggal),43

Mededader

(para

pembuat)

dan

medepleger

(yang

menyuruh

34

Marjanne Termorshuizen, Kamus Hukum Belanda-Indonesia , Djambatan, Jakarta, 1999,
halaman 92.
35
Ibid, halaman 227.
36
Ibid, halaman 312.
37
Ibid, halaman 311.
38
Ibid, halaman 127.
39
Ibid, halaman 230.
40
Ibid, halaman 311.
41
Ibid, halaman 612.
42
Adami Ghazawi, Pelajaran Hukum Pidana 3 Percobaan dan Penyertaan , Raja Grafisindo
Persada, Jakarta, 2002, halaman. 79
43
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya ,
Cet. I, Alumni AHM-PTHM, Jakarta, 1982, halaman. 237

Universitas Sumatera Utara

23

melakukan),44 Doen pleger (pembuat penyuruh) dan Uitlokker (yang sengaja
menganjurkan)

45

bukan terhadap manus ministra misalnya orang yang diluar

kehendaknya melakukan tindakan teror akibat pemahaman terhadap agama yang
salah.46 Penerapan sanksi pidana terhadap manus domina dengan ancaman
maksimum dan hukum mati disebabkan pelaku tindak pidana terorisme melakukan
tindakan-tindakan dengan “sengaja” (menghendaki dan mengetahui) telah mereka
gerakkan untuk dilakukan oleh orang lain (ten aanzien der laatsen komen allen die
handelingen in aanmerking die zij opzettlijk hebben uitgelokt) dan mereka yang

melakukan, menyuruh melakukan atau yang turut melakukan, mereka dengan
pemberian-pemberian,
keterpandangan,

janji-janji,

dengan

dengan

kekerasan,

menyalahgunakan

ancaman

atau

kekuasaan

dengan

atau

menimbulkan

kesalahpahaman atau memberikan kesempatan, sarana-sarana atau keteranganketerangan dengan menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana yang
bersangkutan (zij die het feit plegen, doen plegen of medeplegen, zij die door giften,
beloften, misbruik van gezag of van aanzein, geweld, bedreigingof misleading of door
het verschaffen van gelegenheid, middelen of inlichtingen het feit opzettelijk
uitlokken, beneven hare gevolgen), (dapat diartikan sebagai berikut bahwa mereka

yang melakukan, menyuruh melakukan atau yang turut melakukan, mereka dengan
pemberian-pemberian,

janji-janji,

dengan

menyalahgunakan

kekuasaan

atau

44

Wina Armada, Wajah Hukum Pidana Pers, Cet. I, Kartini, Jakarta, 1989, halaman 84.
Ibid
46
Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad, Intisari Hukum Pidana , Cet. I, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1983, halaman. 32.
45

Universitas Sumatera Utara

24

keterpandangan,

dengan

kekerasan,

ancaman

atau

dengan

menimbulkan

kesalahpahaman atau memberikan kesempatan, sarana-sarana atau keteranganketerangan, dengan menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana yang
bersangkutan).47 Terhadap pelaku tindak pidana terorisme yang dikategorikan sebagai
manus ministra unsur opzettlijk hebben uitgelokt (sengaja telah mereka gerakkan)

tidak terpenuhi, hal ini disebabkan pelaku melakukan tindak pidana terorisme diluar
kehendak dan tidak mengetahui tindakan yang dilakukan didasarkan pada tipologi
dan maksud (modus opzet) dilakukannya tindakan teror. Di luar kehendak
dimaksudkan bahwa pelaku melakukan tindak teror disebabkan pengaruh faham
fundamentalisme agama dengan idiologi jihad yang keliru sehingga melahirkan
sikap-sikap yang fanatik, dogmatik, ekslusif dan intoleran dalam menyikapi realitas
perbedaan dan kondisi fluralitas social, politik, budaya dan ekonomi secara sempit.
Alasan lainnya menyangkut penerapan pemidanaan dengan menerapkan sanksi
pidana maksimum terhadap pelaku yang dikategorikan sebagai manus domina
didasarkan pada aspek objektif berupa perbuatan dan aspek subjektif yakni pelaku
sebagai syarat-syarat untuk adanya pidana (strafvoirussetzungen). Pada segi objektif
atau Tat, ada Tatbestandsmazigkleit (hal mencocoki rumusan wet) dan tidak adanya
alasan pembenar (Fehlen von Rechtsfertingungsgruden), pada segi Handelnde yang
dinamakan segi subjektif, sebaliknya ada Schuld (kesalahan) dan tidak adanya alasan
pemaaf (Fehlen von personlichen Strafausschleszungs gronden).48

47
48

Abdul Wahid, Op.cit, halaman. 93
Ibid, halaman. 70

Universitas Sumatera Utara

25

Ketiga , tindak pidana terorisme merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary
crime)49 yang membutuhkan penanganan dengan mendayagunakan cara-cara luar

biasa (extraordinary measure) dengan pertimbangan berbagai hal, antara lain: 50
1.

2.
3.
4.
5.

Terorisme merupakan perbuatan yang menciptakan bahaya terbesar (the
greatest danger ) terhadap hak asasi manusia. Dalam hal ini hak asasi
manusia untuk hidup (the right to life) dan hak asasi untuk bebas dari rasa
takut. Target terorisme bersifat random atau indiscriminate yang
cenderung mengorbankan orang-orang tidak bersalah.
Kemungkinan digunakannya senjata-senjata pemusnah massal dengan
memanfaatkan teknologi modern.
Kecenderungan terjadinya sinergi negatif antar organisasi terorisme
nasional dengan organisasi internasional.
Kemungkinan kerjasama antara organisasi teroris dengan kejahatan yang
terorganisasi baik yang bersifat nasional maupun transnasional.
Dapat membahayakan perdamaian dan keamanan internasional.

Berdasakan uraian di atas dapat diidentifikasi terorisme mengandung arti
sebagai penggunaan atau ancaman tindakan dengan ciri-ciri sebagai berikut:51
Pertama , aksi yang melibatkan kekerasan serius terhadap seseorang, kerugian berat

pada harta benda, membayakan kehidupan seseorang, bukan kehidupan orang yang
melakukan tindakan, menciptakan resiko serius bagi kesehatan atau keselamatan
49

Soeharto, Implemetasi Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa dan Korban dalam
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme , Disertasi
Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, 2009, halaman. 47 bahwa di Indonesia
regulasi mengenai tindak pidana terorisme diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Filosofis yang ada dalam Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme bahwa terorisme merupakan musuh umat manusia, kejahatan
terhadap peradaban, merupakan Internasional dan Transnational Organized Crime. Tujuan dari
dibentuknya Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme adalah perlindungan masyarakat, sedangkan
paradigma pembentukan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang merupakan
paradigma tritunggal yaitu melindungi wilayah negara kesatuan Republik Indonesia, Hak Asasi
Manusia dan Perlindungan Hak Asasi Tersangka.
50
Muladi, Penanggulangan Terorisme Sebagai Tindak Pidana Khusus, bahan seminar
Pengamanan Terorisme sebagai Tindak Pidana Khusus, Jakarta, 28 Januari 2004, halaman. 7
51
F. Budi Hardiman, Terorisme, Definisi, Aksi dan Regulasi, Imparsial, Jakarta, 2003,
halaman. 4.

Universitas Sumatera Utara

26

publik atau bagian tertentu dari publik atau didesain secara serius untuk campur
tangan atau mengganggu sistem elektronik. Kedua , penggunaan ancaman atau
didesain untuk mempengaruhi pemerintah atau mengintimidasi publik atau bagian
tertentu dari publik. Ketiga , penggunaan atau ancaman dibuat dengan tujuan
mencapai tujuan politik, agama atau ideologi. Keempat, penggunaan atau ancaman
yang masuk dalam kegiatan yang melibatkan penggunaan senjata api atau bahan
peledak.
Selanjutnya, rehabilitasi pelaku teror penting untuk direalisasikan. Dalam
rangka mencegah kembalinya terpidana terorisme dalam kubangan jejaring
radikalisme ekstrem, harus diaktifkan program rehabilitasi atas mereka dan
reintegrasi dengan masyarakat luas. Nasir Abbas, misalnya, yang pernah menjadi
terpidana kasus terorisme menyatakan, akar masalah terorisme adalah ideologi
pembalasan dengan justifikasi agama. Orang kaya, miskin, pintar, maupun bodoh,
bisa terpengaruh, dan paham itu tidak bisa dilawan dengan senjata. Oleh karenanya
untuk mengikis paham radikal tersebut dalam diri pelaku teror perlu dilakukan soft
approach (pendekatan halus) untuk meluruskan doktrin yang mereka yakini

kebenarannya.52
Pemidanaan terhadap para pelaku terorisme terutama terhadap korban sebagai
pelaku kejahatan dengan menerapkan rehabilitasi merupakan kajian penting dalam
menjaga stabilitas keamanan di kemudian hari yang ditujukan dalam rangka
52

Rehabilitasi dan Reintegrasi Pelaku Teror Perlu, Dan Itu Tugas Sipil, dalam
http://www.lazuardibirru.org/berita/news/rehabilitasi-dan-reintegrasi-pelaku-teror-perlu-dan-itu-tugassipil/

Universitas Sumatera Utara

27

memperbaiki pelaku, di samping itu ditujukan untuk menekan intensitas pelaku
terorisme agar tindak melakukan tindak pidana terorisme, dengan maksud untuk
menghilangkan faham keagamaan yang salah terutama pemahaman terhadap idiologi
jihad.
Di Indonesia saat ini menjadikan lembaga pemasyarakatan sebagai tempat yang
sangat memiliki peranan dalam melakukan pembinaan terhadap narapidana teroris
untuk tidak mengulangi perbuatannya. Pola pembinaan narapidana teroris tentu
berbeda dengan narapidana lain, di mana dalam masa pembinaan mental, narapidana
teroris tidak diperkenankan memberikan dakwah. Pembinaan bagi narapidana teroris
bertujuan untuk membina dan mendidik mereka menjadi orang yang lebih baik.
Perubahan paradigma tempat pemidanaan membawa konsekuensi yuridis berupa
perubahan tujuan pemidanaan dari pembalasan menuju pembinaan.53 Dalam kerangka
pembinaan terhadap narapidana, lembaga pemasyarakatan memiliki dua peranan
penting yakni sebagai tempat dan sarana atas reedukasi dan resosialisasi.
Pembinaan di lembaga pemasyarakatan bertumpu pada konsep rehabilitasi dan
reintegrasi sosial.54 Rehabilitasi berasal dari kata rehabilitation yang berarti

53

Menurut Sahardjo, lembaga pemasyarakatan bukan tempat yang semata-mata menghukum
dan menderitakan orang, tetapi suatu tempat membina atau mendidik orang-orang yang telah
berkelakuan menyimpang (narapidana) agar setelah menjalani pembinaan di dalam lembaga
pemasyarakatan dapat menjadi orang-orang yang baik dan menyesuaikan diri dengan lingkungan
masyarakat. Anonim, “Sistem Pemasyarakatan Indonesia”, Serial Online 2010, , (Cited 2011 Jan. 2),
available from: URL: http://adln.lib.unair.ac.id/files/disk1/225/gdlhub- gdl-s3-2010-praptonoor-11238th4209-k.pdf, 2010
54

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teoriteori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana , RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002, halaman.
38.

Universitas Sumatera Utara

28

perbaikan, penempatan atau pengembalian hak. Rehabilitasi bagi narapidana dengan
demikian bertujuan untuk mendukung dan memberikan penanganan dan perbaikan
mental yang bersifat informal dan tertutup. Konsep pemasyarakatan sejalan dengan
filosofi reintegrasi sosial yang berasumsi kejahatan adalah konflik yang terjadi antara
terpidana dengan masyarakat. Sehingga pemidanaan ditujukan untuk memulihkan
konflik atau menyatukan kembali terpidana dengan masyarakatnya (reintegrasi).
Rehabil