Pengaruh Cuci Hidung Menggunakan NaCl 0,9% Terhadap Penurunan Rata-rata Total Skor Kualitas Hidup Pada Pedagang Kaki Lima di Kawasan Universitas Sumatera Utara Tahun 2015

5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Anatomi Hidung dan Sinus Paranasal

2.1.1. Anatomi Hidung
Hidung merupakan salah satu organ terpenting pelindung tubuh terhadap
lingkungan luar yang tidak menguntungkan. Hidung terdiri atas hidung luar dan
hidung dalam. Struktur hidung luar dapat dibedakan menjadi 3 bagian: paling
atas, kubah tulang, yang tidak dapat digerakkan, dibawahnya terdapat kubah
kartilago yang dapat sedikit digerakkan, dan paling bawah yaitu lobulus hidung
dan mudah digerakkan (Boies, 1997).
Hidung dibagi menjadi hidung luar, yang membatasi bagian anterior
dengan wajah melalui lubang hidung yang disebut nares, dan hidung dalam, yang
dibagi secara sagital menjadi bagian kanan dan kiri oleh septum yang membatasi
bagian posterior dengan nasofaring melewati apertura nasalis posterior atau
choanae. Kavum nasi dibentuk oleh kerangka yang terdiri dari tulang dan


kartilago fibro-elastis. Sinus paranasal adalah rongga-rongga berisi udara yang
terdapat pada tulang besar pada kerangka yang membentuk kavum nasi. Sinus dan
duktus nasolakrimalis dihubungkan dengan kavum nasi melalui dinding lateralnya
(Gray’s Anatomy, 2008).
Hidung luar membatasi bagian anterior hidung dengan wajah melalui
lubang hidung yang disebut nares. Struktur hidung luar berbentuk piramida yang
terletak pada garis tengah wajah dan melekat dengan tulang wajah. Bentuk hidung
luar sangat bervariasi pada setiap individu. Bagian atasnya berhubungan dengan
dahi dan bagian dasarnya terdapat dua lubang hidung atau nares yang dipisahkan
oleh septum nasi atau columella . Ukuran nares biasanya adalah 1,5-2 cm
anteroposterior dan 0,5-1 cm secara transversal. Vestibulum terletak tepat di
belakang nares, pada dinding medialnya dibentuk oleh septum yang terdiri dari
columella . Hidung luar mendapat vaskularisasi dari cabang-cabang arteri fasialis,

arteri oftalmika, dan arteri infraorbital. Aliran vena pada hidung luar tidak
berjalan paralel dengan arteri tetapi sesuai dengan wilayah arteriovenous pada

Universitas Sumatera Utara


6

wajah. Bagian frontomedian wajah termasuk hidung, mengalirkannya ke vena
fasialis dan daerah orbitopalpebral pada wajah termasuk dasar hidung
mengalirkannya ke vena oftalmika. Aliran limfe utamanya ke nodus-nodus di
submandibular, tetapi aliran limfe dari dasar hidung mengalir ke nodus parotid
superfisialis. Inervasi pada kulit hidung

berasal dari nervus infratrochlearis,

cabang nasales externa nervus nasociliaris, dan cabang nasalis nervus
infraorbitalis (Gray’s Anatomy, 2008).

Gambar 2.1. Struktur Anatomi Dinding Lateral Hidung. Sumber : Ballenger,
2003. Anatomy and Physiology of The Nose and Paranasal Sinuses. Halaman 552,
Gambar 26.6

Hidung dalam, yang dibagi secara sagital menjadi bagian kanan dan kiri
oleh septum, dan pada bagian posterior membatasi dengan nasofaring melewati
apertura nasalis posterior atau choanae. Kavum nasi dibentuk oleh kerangka yang

terdiri dari tulang dan kartilago fibro-elastis. Kavum nasi adalah ruang irregular
yang berada di antara atap mulut dan basis cranii. Bagian bawah lebih luas
daripada bagian atas, dan terluas di bagian sentral yang dipisahkan oleh septum
osseokartilaginous vertikal. Setiap bagian kavum nasi memiliki dasar, atap,

Universitas Sumatera Utara

7

dinding medial dan dinding lateral. Dinding medial hidung adalah septum nasi,
lapisan tulang yang tipis pada bagian posterior dan kartilago pada bagian anterior.
Pada dinding lateral terdapat 3 penonjolan yaitu, konka nasalis superior, media,
dan inferior. Area di bawah setiap konka disebut meatus. Konka inferior
merupakan yang terbesar dan terletak paling bawah, kemudian yang lebih kecil
konka media, dan yang lebih kecil lagi konka superior, dan terkecil adalah konka
supreme yang terkadang disebut sebagai konka keempat. Vaskularisasi pada
kavum nasi berasal dari cabang-cabang arteri maksilaris, cabang yang terpenting
adalah cabang arteri sphenopalatina. Darah di dalam anyaman vena submukosa
berasal dari vena-vena yang menyertai arteri. Bagian anterior kavum nasi
mengalirkan limfe ke nodus-nodus submandibular. Bagian lain kavum nasi

limfenya dialirkan ke nodus-nodus servikalis superior profunda (Gray’s Anatomy,
2008).
Nervus olfaktorius turun melalui lamina kribrosa dari permukaan bawah
bulbus olfaktorius dan kemudian menyebar di mukosa yang melapisi bagian atas
konka superior dan bagian septum (Ballenger, 2003).

2.1.2. Anatomi Sinus Paranasal
Sinus paranasal adalah rongga-rongga berisi udara yang terdapat di dalam
tulang yang sama dengan namanya yaitu, sinus frontalis, sinus ethmoidalis, sinus
sphenoidalis, dan sinus maksilaris. Sinus-sinus tersebut berhubungan dengan
dinding lateral kavum nasi melalui apertura-apertura yang relatif kecil (Gray’s
Anatomy, 2008).

2.1.2.1 Sinus Frontalis
Terdapat dua buah sinus frontalis terletak pada os frontalis yang keduanya
dipisahkan oleh septum tulang. Masing-masing sinus frontalis bermuara ke dalam
meatus nasi medius melalui infundibulum.

Universitas Sumatera Utara


8

Gambar 2.2. Struktur Anatomi Hidung Secara Horizontal. Sumber: Ballenger,
2003. Anatomy and Physiology of The Nose and Paranasal Sinuses. Halaman 550,
Gambar. 26.4

2.1.2.2 Sinus Ethmoidalis
Sinus ethmoidalis terletak di anterior, medius, posterior, dan terdapat di
dalam os ethmoidale, di antara hidung dan orbita. Terdapat tiga kelompok sinus
ethmoidalis yaitu kelompok anterior yang bermuara ke dalam infundibulum,
kelompok media yang bermuara ke dalam meatus nasi medius, pada atau di atas
bulla ethmoidalis, dan kelompok posterior yang bermuara ke dalam meatus nasi
superior.

2.1.2.3 Sinus Sphenoidalis
Ada dua buah sinus sphenoidalis, terletak di dalam korpus ossis
sphenoidalis. Setiap sinus bermuara ke dalam recessus sphenoethmoidalis di atas
konka nasalis superior.

Universitas Sumatera Utara


9

2.1.2.4 Sinus Maksilaris
Sinus maksilaris terletak di dalam korpus maksilaris di belakang pipi.
Muara dari sinus maksilaris tersebut adalah meatus nasi medius melalui hiatus
semilunaris (Snell, 2008).

2.2.

Fisiologi Hidung
Hidung memiliki tiga fungsi utama yaitu penciuman, pernafasan, dan

perlindungan. Ketiga fungsi ini dibantu oleh anatomi kavum nasi yang berlikuliku sehingga menciptakan area perrmukaan yang luas. Permukaan kavum nasi
yang bersilia meningkatkan kontak dengan udara yang masuk, sehingga
memaksimalkan fungsi penciuman serta menghasilkan pemanasan, kelembaban,
dan filtrasi yang efisien terhadap udara yang masuk ke hidung sebelum mencapai
saluran pernafasan bawah (Walsh, Kern, 2006).
Ketika udara melewati hidung, terdapat tiga fungsi pernafasan normal
yang dilakukan oleh kavum nasi yaitu, udara dipanaskan oleh permukaan luas

pada konka dan septum yang total areanya sekitar 160 cm², udara dilembabkan
ketika melewati hidung, kelembaban berasal dari kadar air yang terdapat pada
mukus yang tertransudasi secara langsung dari pembuluh-pembuluh darah pada
hidung, dan udara difiltrasi, rambut-rambut dan vibrissae pada lubang hidung,
memfiltrasi partikel-partikel besar yang masuk ke hidung. Ketiga fungsi tersebut
disebut dengan air conditioning function pada saluran pernafasan bagian atas
(Guyton, 2006; Walsh, Kern, 2006).
Rambut-rambut pada lubang hidung penting untuk menyaring partikel dari
luar yang berukuran besar. Yang lebih penting lagi adalah membersihkan partikel
dengan presipitasi turbulen. Ketika udara masuk ke hidung akan berbenturan
dengan beberapa hambatan yaitu, konka yang menyebabkan turbulensi udara,
septum, dan dinding faring. Saat udara berbenturan dengan salah satu hambatan
tersebut, maka harus mengubah arah gerakannya. Partikel-partikel yang ada di
udara memiliki massa dan momentum yang lebih besar daripada udara tersebut,
sehingga tidak dapat mengubah arah gerakannya secara cepat seperti yang dapat
udara lakukan. Oleh karena itu, partikel-partikel tersebut diteruskan, membentur

Universitas Sumatera Utara

10


permukaan hambatan, dan terperangkap di dalam lapisan mukosa kemudian
ditranspor oleh silia ke faring untuk di telan. Mekanisme turbulensi tersebut
sangat efektif untuk membersihkan partikel-partikel yang ukurannya lebih dari 6
mikrometer (Guyton, 2006).

2.3.

Sistem Mukosiliar Hidung

2.3.1. Histologi Mukosa Hidung
Epitel organ pernapasan yang biasanya berupa epitel kolumnar bersilia
pseudostratified, berbeda-beda pada berbagai bagian hidung, tergantung pada
tekanan dan kecepatan aliran udara, demikian pula suhu, dan derajat kelembaban
udara. Jadi, mukosa pada ujung anterior konka dan septum sedikit melampaui os
internum masih dilapisi oleh epitel squamous berlapis tanpa silia-lanjutan epitel
kulit vestibulum nasi. Sepanjang jalur utama arus inspirasi epitel menjadi
kolumnar, silia pendek dan agak iregular. Sel-sel meatus media dan inferior yang
terutama menangani arus ekspirasi memiliki silia yang panjang yang tersusun rapi.
Sinus mengandung epitel kuboidal dan silia yang sama panjang dan jaraknya

antaranya. Kekuatan aliran udara yang melewati berbagai lokasi juga
mempengaruhi ketebalan lamina propria dan jumlah kelenjar mukosa. Lamina
propria tipis pada daerah di mana aliran udara lambat atau lemah, namun tebal di
daerah aliran udara yang kuat. Jumlah kelenjar penghasil sekret dan sel goblet,
yaitu sumber dari lapisan mukus, sebanding dengan ketebalan lamina propria.
Lapisan mukus yag sangat kental dan lengket menangkap debu, benda asing, dan
bakteri yang terhirup, dan melalui kerja silia benda-benda ini di angkut ke faring,
selanjutnya ditelan dan dihancurkan dalam lambung. Lisozim dan imunoglobulin
A (IgA) ditemukan pula dalam lapisan mukus, dan melindungi lebih lanjut
terhadap patogen. Lapisan mukus hidung diperbarui tiga sampai empat kali dalam
satu jam. Silia, yaitu struktur kecil mirip rambut bergerak serempak secara cepat
ke arah aliran lapisan, kemudian membengkok dan kembali tegak dengan lebih
lambat. Kecepatan pukulan silia kira-kira 700-1.000 siklus per menit.

Universitas Sumatera Utara

11

2.3.1.1 Silia Respiratorik
Silia yang panjangnya sekitar 5-7 mikron terletak pada lamina akhir sel-sel

permukaan epitelium, dan jumlahnya sekitar 100 per mikron persegi, atau sekitar
250 per sel pada saluran pernapasan atas. Silia tampaknya bekerja hampir
otomatis. Misalnya, sel dapat saja terbelah menjadi pecahan-pecahan kecil tanpa
menghentikan gerakan silia. Suatu silia tunggal akan terus bergerak selama bagian
kecil sitoplasma yang menyelubungi korpus basalis silia tetap melekat padanya.
Masing-masing silia bergerak secara metakronis dengan silia disekitarnya. Bila
gerakan silia diamati, maka silia akan membengkok bersamaan dan berurutan.
Gerakan tersebut tidak hanya terkoordinasi menurut waktu, tetapi juga menurut
arahnya pada jutaan epitel dalam sinus, yang merupakan faktor penting dalam
mengangkut mukus ke nasofaring (Boies,1997).

Gambar 2.3. Struktur Normal Silia. Sumber: Munkholm & Mortensen, 2014.
Mucociliary Clearance: Pathophysiological Aspects. Halaman 172. Gambar 1.

2.3.1.2 Palut Lendir (mucous blanket)
Lapisan ganda palut lendir dihasilkan oleh kelenjar serosa dan kelenjar
goblet, yang memiliki ketebalan 12-15 µm. Palut lendir berfungsi sebagai lubrikan
dan menjerat partikulat-partikulat kecil. Jumlahnya sekitar 1-2 L per hari.
Pada kondisi sehat, pH palut lendir sedikit asam. Palut lendir disusun oleh
glikoprotein (2.5-3%), garam (1-2%), dan air (9%). Mukus dijumpai di semua

bagian hidung kecuali vestibulum nasi dan sinus paranasal. Pergerakan silia

Universitas Sumatera Utara

12

mendorong mukus beserta partikel yang terjerat menuju ke faring dan esofagus
(Ballenger, 2003).

2.3.2. Transpor Mukosiliar
Transpor mukosiliar atau sistem pembersihan adalah dua sistem yang
bekerja sama satu dengan yang lainnya yang tergantung pada gerakan aktif silia
mencapai serpihan mukus pada permukaan luminal dan mendorong serpihanserpihan tersebut ke esofagus (Ballenger, 2003).
Lapisan tipis dari mukus melapisi epitel hidung. Lapisan tersebut terdiri
dari 2 lapisan: lapisan viskositas rendah yang menyelubungi silia (sol phase) dan
lapisan yang lebih kental (gel phase). Mukus berasal dari sel goblet, seron-mucus
dan kelenjar serous, eksudasi dari pembuluh darah dan air mata. Albumin dan
immunoglobulin, lisozim, lactoferin, sitokin, dan mediator-mediator lain sama
seperti ion-ion yang terdapat pada lapisan mukosa. Gerakan silia menyebabkan
mukus terdorong menuju nasofaring, kecuali pada bagian anterior dari konka
inferior dimana transpor mukosa hidung berada di depan. Partikel dan zat yang
terperangkap atau terlarut di dalam mukus akan ditelan dan dihancurkan oleh
enzim-enzim yang terdapat di saluran cerna. Peningkatan atau penurunan dari
lapisan mukosa menghasilkan gangguan pada transportasi. Pembersihan
mukosiliar juga dapat terganggu akibat disfungsi silia seperti pada fibrosis kistik
atau diskinesia silia primer (Gaga, Vignola, Chanez, 2001).
Lapisan mukosa akan dibawa ke nasofaring setiap 10-15 menit oleh
gerakan silia dan digantikan dengan mukus baru yang disekresikan oleh kavum
nasi dan mukosa sinus. Aktifitas silia dapat terganggu akibat penurunan
kelembaban, penurunan temperatur, atau kohesi dari permukaan mukosa yang
berlawanan (Walsh, Kern, 2006).
Lapisan mukosa bergerak dengan kecepatan 2-25mm/menit. Secara
terperinci, yang mengontrol frekuensi gerakan silia belum diketahui. Namun,
frekuensi gerakan silia akan meningkat jika sel-sel tersebut terpapar oleh NO atau
sebuah mekanis, calsium-mediated stimulus, sedangkan IL-3 akan menurunkan
frekuensinya. Selain itu, aktivitas fisik yang intensif juga dapat menurunkan

Universitas Sumatera Utara

13

fungsi transpor mukosiliar. Penggunaan NaCl memicu peningkatan frekuensi
gerakan silia dan memperbaiki fungsi transpor mukosiliar (Beule, 2010).
2.3.3.

Patofisiologi Terganggunya Sistem Transpor Mukosililiar
Ozon (O3) adalah hasil dari reaksi photochemical antara radiasi

ultraviolet, NO2 dan hidrokarbon yang merupakan derivat dari asap kendaraan.
Jumlah O3 tergantung kepada jumlah NO2 yang dihasilkan kendaraan pada cuaca
cerah yang akan mengubah NO2 menjadi O3. O3 adalah polusi udara yang paling
utama pada cuaca cerah, karena jumlahnya bisa mencapai lebih dari 90% dari total
level oksidan di kota dengan cuaca cerah (Olivieri& Scoditti, 2005).
NO2dan Hidrokarbon
Radiasi Ultraviolet

O3 (Ozon)

Peningkatan intraselular ROS dan
pelepasan sitokin-sitokin inflamasi(IL-1,
IL-6, IL-8, TNF)

Kerusakan jaringan dan destruksi sel epitel respiratori

Terganggunya sistem transpor mukosiliar
Bagan 2.1 Patofisiologi Terganggunya Sistem Transpor Mukosiliar

O3 secara potensial menyebabkan pembentukan produk reaktif sekunder
dan tersier, yang akan menyebabkan peningkatan reactiveO2 species (ROS)
intraselular. O3 juga meningkatkan permeabilitas sel epitel, menyebabkan alergen

Universitas Sumatera Utara

14

dan toksin menjadi mudah masuk serta menyebabkan terjadinya perlepasan
sitokin-sitokin inflamasi (Interleukin (IL)-1, IL-6, IL-8, dan tumour necrosis
factor (TNF)). Sehingga akan terjadi kerusakan jaringan dan destruksi sel epitel

respiratori yang akan menyebabkan terganggunya sistem transpor mukosiliar.

2.3.4. Faktor yang Mempengaruhi Transpor Mukosiliar
Disfungsi mukosiliar hidung dibagi menjadi kelainan primer dan sekunder.
Kelainan primer berupa diskinesia silia primer dan fibrosis kistik. Kelainan
sekunder berupa influenza, sinusitis kronis, rinitis atrofi, rinitis vasomotor, deviasi
septum, sindroma Sjogren, dan penyakit adenoid (Sakakura, 1997).
Menurut Waguespack (1995), keadaan yang mempengaruhi transpor
mukosiliar adalah faktor fisiologis atau fisik, polusi udara dan rokok, kelainan
kongenital, rinitis alergi, infeksi virus atau bakteri, obat-obat topikal, obat-obat
sistemik, bahan pengawet, dan tindakan operasi.

2.3.5. Pemeriksaan Fungsi Mukosiliar
Fungsi transpor mukosiliar dapat diperiksa dengan menggunakan partikel,
baik yang larut maupun tidak larut dalam air. Zat yang bisa larut seperti sakarin,
obat topikal, atau gas inhalasi, sedangkan yang tidak larut adalah lamp black,
colloid sulfur , 600-µm alluminium disc atau substansi radioaktif seperti human

serum albumin, teflon, bismuth trioxide (Waguespack, 1995; Jorissen, Willems,
Boeck, 2000).
Penilaian terhadap fungsi transpor mukosiliar dapat dinilai dari beberapa
aspek, yaitu:
a. Pembersihan Mukosiliar
Pemeriksaan ini merupakan suatu tes yang sederhana dengan meletakkan 0.5
mm sakarin pada bagian anterior konka inferior. Lalu dinilai berapa lama waktu
yang dibutuhkan sampai terasa manis dimulut, normalnya kurang dari 30 menit.

b. Frekuensi Kecepatan Silia

Universitas Sumatera Utara

15

Ketika tes sakarin menunjukkan waktu yang mamanjang atau jika dicuigai
terdapat abnormalitas dari silia, lakukan pemeriksaan silia secara langsung
dengan mengambil sampel menggunakan cuuped spatula (Rhinoprobe) dan
amati aktivitas silia di bawah mikroskop dengan sel fotometrik. Normalnya 1215 Hz pada konka inferior.
c. Mikroskop Elektron
Jika waktu pembersihan mukosiliar dan frekuensi kecepatan silia abnormal,
sampel diambil dengan spatula atau dengan biopsi langsung untuk diperiksa
dengan mikroskop elektron untuk mendiagnosa kondisi-kondisi seperti primary
ciliary dyskinesia (PCD).
d. Pengukuran Nitric Oxide
Kadar nitric oxide yang terdapat pada udara ekspirasi hidung dan paru-paru
dapat membantu untuk menentukan fungsi normal mukosiliar. Jika terjadi
inflamasi, maka akan terjadi peningkatan kadar nitric oxide (Ballenger, 2003).

2.4.

Polusi Udara

2.4.1. Kandungan dalam Polusi Udara
Pencemaran udara adalah adanya bahan polutan di atmosfer yang dalam
konsentrasi tertentu akan mengganggu keseimbangan dinamik atmosfer dan
mempunyai efek pada manusia dan lingkungannya (Mukono, 2005).
Penyebab pencemaran lingkungan di atmosfer biasanya berasal dari
sumber kendaraan bermotor dan atau industri. Bahan pencemar yang dikeluarkan
antara lain adalah gas NO2, SO2, SO3, ozon, CO, HC, dan partikel debu. Gas
NO2, SO2, HC dan CO dapat dihasilkan dari proses pembakaran oleh mesin yang
menggunakan bahan bakar yang berasal dari bahan fosil (Mukono, 2008).

Universitas Sumatera Utara

16

Berdasarkan buletin WHO yang dikutip Holzworth & Cormick (1976),
penentuan pencemar atau tidaknya udara suatu daerah berdasarkan parameter sebagai
berikut:
Tabel 2.1 Parameter Pencemaran Udara
No.

Parameter

Udara bersih

Udara tercemar

1.

Bahan partikel

0,01-0,02 mg/m3

0,07- 0,7 mg/m3

2.

SO2

0,003-0,02 ppm

0,02- 2 ppm

3.

CO

< 1 ppm

5- 200 ppm

4.

NO2

0,003- 0,02 ppm

0,02 – 0,1 ppm

5.

CO2

310- 330 ppm

350 – 700 ppm

6.

Hidrokarbon

< 1 ppm

1 – 20 ppm

Sumber : Buletin WHO dalam Mukono, 2005

2.4.2 Nilai Ambang Batas Polutan di Udara
Nilai ambang batas adalah kadar tertinggi suatu zat dalam udara yang
diperkenankan, sehingga manusia dan makhluk lainnya tidak mengalami
gangguan penyakit atau menderita karena zat tersebut (Agusnar, 2008).
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 tahun 1999
tentang pengendalian pencemaran udara dijelaskan mengenai pengertian baku
mutu udara ambien, yaitu ukuran batas atau kadar zat, energi dan/atau komponen
yang ada atau yang seharusnya ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang
keberadaannya dalam udara ambien. Baku mutu kadar debu dalam udara ambien
yang tercantum di dalam PP RI No. 41 tahun 1999 tersebut untuk PM10 (Partikel

Dokumen yang terkait

Pengaruh Cuci Hidung Menggunakan NaCl 0,9% Terhadap Penurunan Rata-rata Total Skor Kualitas Hidup Pada Pedagang Kaki Lima di Kawasan Universitas Sumatera Utara Tahun 2015

0 12 91

Pengaruh Cuci Hidung Menggunakan NaCl 0,9% Terhadap Penurunan Rata – Rata Waktu Transpor Mukosiliar pada Pedagang Kaki Lima di Kawasan Universitas Sumatera Utara Tahun 2015

0 0 1

Pengaruh Cuci Hidung Menggunakan NaCl 0,9% Terhadap Penurunan Rata – Rata Waktu Transpor Mukosiliar pada Pedagang Kaki Lima di Kawasan Universitas Sumatera Utara Tahun 2015

0 0 3

Pengaruh Cuci Hidung Menggunakan NaCl 0,9% Terhadap Penurunan Rata – Rata Waktu Transpor Mukosiliar pada Pedagang Kaki Lima di Kawasan Universitas Sumatera Utara Tahun 2015

0 4 13

Pengaruh Cuci Hidung Menggunakan NaCl 0,9% Terhadap Penurunan Rata – Rata Waktu Transpor Mukosiliar pada Pedagang Kaki Lima di Kawasan Universitas Sumatera Utara Tahun 2015

0 2 4

Pengaruh Cuci Hidung Menggunakan NaCl 0,9% Terhadap Penurunan Rata-rata Total Skor Kualitas Hidup Pada Pedagang Kaki Lima di Kawasan Universitas Sumatera Utara Tahun 2015

0 2 16

Pengaruh Cuci Hidung Menggunakan NaCl 0,9% Terhadap Penurunan Rata-rata Total Skor Kualitas Hidup Pada Pedagang Kaki Lima di Kawasan Universitas Sumatera Utara Tahun 2015

0 2 2

Pengaruh Cuci Hidung Menggunakan NaCl 0,9% Terhadap Penurunan Rata-rata Total Skor Kualitas Hidup Pada Pedagang Kaki Lima di Kawasan Universitas Sumatera Utara Tahun 2015

0 2 4

Pengaruh Cuci Hidung Menggunakan NaCl 0,9% Terhadap Penurunan Rata-rata Total Skor Kualitas Hidup Pada Pedagang Kaki Lima di Kawasan Universitas Sumatera Utara Tahun 2015

0 1 5

Pengaruh Cuci Hidung Menggunakan NaCl 0,9% Terhadap Penurunan Rata-rata Total Skor Kualitas Hidup Pada Pedagang Kaki Lima di Kawasan Universitas Sumatera Utara Tahun 2015

0 0 32