Pengaruh Cuci Hidung Menggunakan NaCl 0,9% Terhadap Penurunan Rata – Rata Waktu Transpor Mukosiliar pada Pedagang Kaki Lima di Kawasan Universitas Sumatera Utara Tahun 2015
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hidung dan Sinus Paranasal
2.1.1. Anatomi Hidung
Hidung adalah organ yang terdiri dari dua bagian yaitu hidung luar dan cavum nasi. Hidung luar memiliki dua lubang yang disebut nares. Nares dipisahkan antara satu dengan yang lainnya oleh septum nasi. Bagian pinggir lateral hidung luar disebut ala nasi, merupakan bagian yang bisa digerakkan. Rangka hidung luar dibentuk oleh os nasale, processus frontalis maxillaris, dan pars nasalis ossis frontalis dengan bagian bawah nya disusun oleh lempeng-lempeng tulang rawan hialin. (Snell, 2008)
Bagian permukaan dalam dari hidug disebut cavum nasi. Cavum nasi akan bermuara ke nasofaring melalui choanae, atau nares internal. Cavum nasi dilapisi oleh epitel bertingkat semu silindris bersilia. Sepanjang Epitel ini dijumpai banyak sel goblet yang memproduksi mucus. Area di bagian depan cavum nasi yang berada tepat dibelakang nares disebut vestibulum nasi. Di vestibulum nasi dijumpai rambut kasar yang disebut vibrissae yang membantu menahan partikel besar agar tidak melewati cavum nasi. (McKinley, 2012)
Sepanjang dinding lateral cavum nasi terdapat tiga pasang proyeksi tulang yaitu nasal konka superior, media, dan inferior. Konka membagi cavum nasi menjadi jalan udara yang terpisah, yang disebut meatus nasi. Meatus nasi superior, media, dan inferior terletak dibawah tiap-tiap choncha. Ketika udara yang dihirup melewati lubang sempit pada tiap meatus, udara yang dihirup akan mengalami turbulensi. Meningkatnya turbulensi akan menahan udara lebih lama di cavum nasi, sehingga udara menjadi lembab dan hangat. Karena itu concha juga biasa dikenal dengan “tulang turbinasi”. (McKinley, 2012)
(2)
Pendarahan cavum nasi berasal dari cabang - cabang arteri maxillaris. Cabang terpenting yaitu arteri sphenopalatina yang beranastomosis dengan ramus septalis arteri labialis superior. (Snell, 2008)
2.1.2. Anatomi Sinus Paranasal
Empat tulang pada tengkorak memiliki rongga berisi udara yang disebut sinus paranasal. Setiap rongga udara diberi nama sesuai tulang dimana rongga ini berada yaitu sinus frontalis, sinus ethmoidalis, sinus sphenoidalis dan sinus maxillaris. Sinus - sinus ini saling terhubung dengan cavum nasi oleh duktus yang dilapisi oleh epitel bertingkat semu silindris bersilia seperti cavum nasi. (McKinley, 2012)
Mekanisme pembersihan mukosiliar yang aktif membantu memindahkan mukus dan mikroorganisme keluar dari sinus menuju ke cavum nasi. Pembersihan mukosiliar menjaga sinus agar tetap steril. Kadar oksigen yang rendah pada sinus memfasilitasi pertumbuhan organisme yang akan merusak sistem pertahanan lokal. (Porth, Matfin, 2009)
2.1.2.1. Sinus Frontalis
Sinus frontalis merupakan sinus yang letaknya paling superior, terdiri dari dua buah sinus frontalis yang dipisahkan oleh septum tulang. Sinus ini berbentuk segitiga dan terletak di os frontale. Masing - masing sinus frontalis bermuara ke dinding lateral meatus nasi media melalui duktus frontonasal yang menembus labirin ethmoidalis dan berlanjut sebagai infundibulum ethmoidalis pada akhir dari bagian depan hiatus semilunaris. (Standrig, Susan, 2008)
2.1.2.2. Sinus Ethmoidalis
Sinus ethmoidalis terdapat di dalam os ethmoidale, di antara hidung dan orbita. Sinus ethmoidalis terletak di anterior, medius, dan posterior. Kelompok anterior sinus ini bermuara ke dalam infundibulm, kelompok media bermuara ke meatus nasi media, dan kelompok posterior bermuara ke meatus nasi superior.
(3)
Frontal nasal duct
Middle meatus
Inferior
turbinate Nasolacrimal
duct
Orifice of auditory tube
Inferior meatus Sphenoid ostium
Posterior ethmoid ostia Maxillary ostium
w-wall a infe-.
(Snell, 2008)
2.1.2.3. Sinus Sphenoidalis
Sinus sphenoidalis terletak di dalam corpus os sphenoidale, terdiri dari dua buah sinus yang masing - masing nya bermuara ke dalam processus sphenoethmoidalis di atas concha nasalis superior. (Snell, 2008)
2.1.2.4. Sinus Maxillaris
Sinus maxillaris terletak di dalam corpus os maxillare di belakang pipi. Sinus ini berbentuk pyramid yang bagian atap nya dibentuk oleh dasar orbita dan bagian dasarnya berhubungan dengan akar gigi premolar dan molar. Sinus maxillaris bermuara ke dalam meatus nasi medius melalui hiatus semilunaris. (Snell, 2008)
(4)
Anatomy and Physiology of The Nose and Paranasal Sinuses. Halaman 552, Gambar 26.6
2.1.3. Histologi Mukosa Hidung
Mukosa Hidung secara histologik dan fungsional dibagi atas mukosa pernapasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa olfaktorius). (Difiore, 2008)
Mukosa pernapasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung. Permukaan mukosa pernapasan dilapisi oleh epitel respiratori yaitu epitel bertingkat semu silindris bersilia yang diantaranya terdapat sel goblet. Mukosa ini diapisi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya yang berfungsi sebagai sistem pertahanan tubuh dari benda asing.(Porth, Matfin, 2009)
Mukosa penghidu terletak di atap rongga hidung, pada permukaan konka superior, dan di kedua septum. Mukosa penghidu berfungsi untuk menampung stimulus penghidu. Mukosa ini dilapisi oleh epitel olfaktorius yaitu epitel bertingkat semu silindris tanpa sel goblet dan motil silia, sangat berbeda dengan epitel respiratori yang memiliki banyak sel goblet dan motil silia. Epitel olfaktorius disusun oleh tiga tipe sel berbeda yaitu sel penunjang, sel basal, dan sel reseptor penghidu. (Porth, Matfin 2009)
2.1.3.1. Silia Respiratorik
Pada manusia, silia respiratorik dijumpai di sinus paranasal dan diseluruh traktus respiratorik kecuali pada vestibulum nasi. Silia ini memiliki ketinggian 6 !m diatas permukaan luminal sel dan lebar sekitar 0,3 !m. Dijumpai 100 silia pada setiap sel di dalam hidung. Setiap silia tertanam ke badan basal yang terletak tepat di bawah permukaan sel. (Ballenger, 2003)
Struktur dari sentriol dari sel yang terbagi mirip dengan badan basal, yang lama menghasilkan yang baru dan menjadi silia yang baru. Setiap silia diselubungi oleh perpanjangan dari membran plasma sel. Silia terbentuk dari
(5)
sembilan pasang struktur mikrorubulus luar dengan pola “cartwheel” pada bagian tepi dari aksonema. Sedangkan dua pasang mikrotubulus lainnya terletak pada bagian tengah aksonema. Mikrotubulus ini saling terhubung oleh bahan elastis yang disebut neksin dan jari - jari radial. (Ballenger, 2003)
Gambar 2.2 Struktur Normal Silia. Sumber: Munkholm & Mortensen, 2014. Mucociliary Clearance: Pathophysiological Aspects. Halaman 172. Gambar 1
2.1.3.2. Palut Lendir (mucous blanket)
Palut lendir dihasilkan terutama oleh kelenjar serosa dan kelenjar goblet, yang memiliki ketebalan 12!m – 15 !m. Palut lendir terletak pada bagian ujung dari silia dan berfungsi sebagai lubrikan, pelindung dari substansi higroskopik, dan menjerat partikulat – partikulat kecil. (Ballenger, 2003)
Dalam keadaan sehat. pH palut lendir sedikit asam. Palut lendir ini disusun oleh glikoprotein (2.5% - 30%), garam (1% - 2%), dan air (95%). Sedangkan immunoglobulin merupakan protein yang dominan (70%). Mukus dijumpai di semua bagian hidung kecuali vestibulum nasi dan sinus paranasal. Pergerakan dari silia mendorong mukus beserta partikel yang terjerat menuju ke faring dan esofagus. (Ballenger, 2003)
2.2. Sistem Transpor Mukosiliar
2.2.1. Fisiologi Sistem Transpor Mukosiliar
Hidung berperan dalam proses penciuman dan juga sebagai jalan masuknya udara menuju traktus respiratorius bagian bawah (conducting portion).
(6)
Dalam keadaan sehat, mukosa hidung mempunyai kemampuan untuk menyaring dan melembabkan udara yang masuk. (McDowell 2010)
Sistem Respiratorik memiliki beberapa mekanisme untuk melindunginya dari kemungkinan efek yang merugikan dari partikel di lingkungan dan pathogen (virus, bakteri, dll) yang dapat masuk ke sistem ketika bernapas. Pada traktus respiratorius atas, mukosiliar yang melapisi cavum nasi merupakan lini pertama dalam mekanisme pertahanan sistem respiratorik. Adanya rambut halus pada cavum nasi berfungsi sebagai mekanisme pertahanan untuk menyaring partikel yang terinhalasi dari lingkungan luar. Lini kedua sistem pertahanan pada hidung berupa mucus yang melapisi tulang turbinasi dan sinus yang akan menjerat partikel yang melewati hidung. Kedua mekanisme ini menjerat 80% - 85% partikel berdiameter 5 sampai 10 mikrometer . Partikel ini nantinya ditranspor oleh silia ke faring untuk ditelan. (McDowell, 2010)
Ketika udara melewati hidung, cavum nasi menjalankan fungsinya memanaskan, melembabkan dan menyaring udara yang masuk. Udara dihangatkan oleh radiasi dari pembuluh darah mukosa dan dilembabkan oleh kadar air pada mukus yang tertransudasi secara langsung dari pembuluh-pembuluh darah pada hidung. Sedangkan penyaringan partikel – partikel besar dilakukan oleh rambut – rambut dan vibrissae pada cavum nasi. (Guyton, 2006; Walsh, Kern, 2006)
Saat udara masuk ke hidung, udara akan berbenturan dengan concha, septum, dan dinding faring yang menyebabkan terjadinya turbulensi udara. Saat udara mengalami benturan, maka udara mengalami perubahan arah gerak. Partikel – partikel di udara memiliki momentum dan massa yang lebih kecil dibandingkan udara sehingga tidak dapat mengubah arah geraknya secara cepat. Hal ini menyebabkan pertikel tersebut membentur permukaan dan terperangkap di palut lendir dan kemudian ditranspor oleh silia. (Guyton, 2006)
(7)
Ozon (O3) adalah hasil dari reaksi photochemical antara radiasi ultraviolet, NO2 dan hidrokarbon yang merupakan derivat dari asap kendaraan. Jumlah O3 tergantung kepada jumlah NO2 yang dihasilkan kendaraan pada cuaca cerah yang akan mengubah NO2 menjadi O3. O3 adalah polusi udara yang paling utama pada cuaca cerah, karena jumlahnya bisa mencapai lebih dari 90% dari total level oksidan di kota dengan cuaca cerah. (Olivieri, Scoditti, 2005)
O3 secara potensial menyebabkan pembentukan produk reaktif sekunder dan tersier, yang akan menyebabkan peningkatan reactive O2 species (ROS) intraselular. O3 juga meningkatkan permeabilitas sel epitel, menyebabkan alergen dan toksin menjadi mudah masuk serta menyebabkan terjadinya perlepasan sitokin-sitokin inflamasi (Interleukin (IL)-1, IL-6, IL-8, dan tumour necrosis factor (TNF)). Sehingga akan terjadi kerusakan jaringan dan destruksi sel epitel respiratori yang akan menyebabkan terganggunya sistem transpor mukosiliar.
NO2 dan Hidrokarbon
O3 (Ozon)
Peningkatan intraselular ROS dan pelepasan sitokin-sitokin inflamasi
(IL-1, IL-6, IL-8, TNF)
Kerusakan jaringan dan destruksi sel epitel respiratori
Terganggunya sistem transpor mukosiliar Radiasi Ultraviolet
(8)
Bagan 2.1 Patofisiologi Terganggunya Sistem Transpor Mukosiliar
2.2.3. Pemeriksaan Waktu Transpor Mukosiliar
Uji sakarin adalah uji yang digunakan untuk menghitung waktu transport mukosiliar. Dilakukan dengan cara meletakkan sedikit sakarin dibelakang ujung anterior dari konka inferior. Pada keadaan mukosiliar yang normal, sakarin akan ditranspor ke daerah nasofaring dan akan timbul rasa manis.(Klein, Enders, 2007). Berdasarkan penelitian de Oliveira-Maul et al, pada tahun 2013, referensi nilai normal waktu transpor mukosiliar pada orang dewasa sehat adalah ≤12 menit.
2.2.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Transpor Mukosiliar
Disfungsi mukosiliar hidung dibagi atas kelainan primer dan sekunder. Kelainan primer berupa diskinesia silia primer dan fibrosis kistik. Kelainan sekunder berupa influenza, sinusitis kronis, rinitis atrofi, rinitis vasomotor, deviasi septum, sindroma Sjogren, dan penyakit adenoid. (Sakakura, 1997)
Transpor Mukosiliar dipengaruhi oleh faktor fisiologis atau fisik, polusi udara dan rokok, kelainan kongenital, rinitis alergi, infeksi virus atau bakteri, obat-obat topikal, obat-obat sistemik, bahan pengawet, dan tindakan operasi. (Waguespack, 1995)
a. Diskinesia silia primer
Kartagener’s syndrome adalah varian klinis dari dyskinesia silia primer disertai situs inversus dan infeksi jalan nafas kronis. Tes sakarin yang dilakukan pada penderita Kartagener’s syndrome adalah lebih dari 60 menit. (Tanaka et al, 2007)
b. Lingkungan
Silia harus selalu ditutupi oleh lapisan lendir agar tetap aktif. Meningkatnya kerusakan transpor mukosiliar berhubungan dengan meningkatnya paparan NO2. Penelitian Brant et al, 32% subjek yang terpapar polusi udara
(9)
mempunyai waktu transpor mukosiliar ≥12 menit yang mengindikasikan
terganggunya transpor mukosiliar. c. Alergi
Pengaruh lingkungan alergik pada hidung masih diperdebatkan. Pada pasien rhinitis alergi, terjadi perlepasan sitokin inflamasi IL-3 yang akan menurunkan frekuensi ciliary beat yang akan meningkatkan waktu transpor mukosiliar. (Hellings, Fokkens, 2006).
d. Struktur dan anatomi hidung
Pada penderita deviasi septum kecepatan waktu transpor mukosiliar lebih lambat dibandingkan grup kontrol. Setelah dilakukan operasi septum kecepatan waktu transpor mukosiliar pada pasien dengan deviasi septum tidak signifikan berbeda dari grup control. (Ulusoy, Arbag, 2007)
e. Obat-obatan
Gosepath et al melakukan penelitian tentang pengaruh larutan topical antibiotik (ofloxacin), antiseptic (betadin, H2O2), dan anti jamur (amphotericin B, itraconazole,clotrimazole) terhadap frekwensi denyut silia. Peningkatan konsentrasi ofloxacin sampai 50% terlihat sedikit mempengaruhi frekwensi denyut silia. Peningkatan konsentrasi itraconazole dari 0,25% menjadi 1% dapat menurunkan aktivitas silia dari 8 jam menjadi 30 menit. Larutan Betadin lebih berefek siliotoksik dibanding H2O2. Terlihat penurunan aktivitas silia dan frekwensi denyut silia setengahnya pada peningkatan konsentrasi betadin dua kali lipat. Hasil ini mengindikasikan bahwa pemakaian obat-obat topikal antibiotik dan anti jamur khususnya pada konsentrasi tinggi dapat merusak fungsi pembersih mukosiliar.
Hasani et al melakukan penelitian tentang pengaruh !2 adrenoreceptor agonist dan dual D2 dopamin receptor terhadap pembersihan mukosiliar pada pasien PPOK. Hasil penelitian menunjukkan obat-obat tersebut secara signifikan
(10)
meningkatkan sistem pembersihan mukosiliar.
f. Infeksi
Infeksi dapat menyebabkan degenerasi dan pembengkakan mukosa, terlepasnya sel- sel radang, dan perubahan pH. Endotoksin dari bakteri serta enzim proteolitik yang dihasilkan oleh neutrofil diketahui dapat menurunkan aktivitas silia dan frekwensi denyut silia. (Clerico, 2001)
2.3. Polusi Udara
2.3.1. Kandungan dalam Polusi Udara
Pencemaran udara adalah adanya bahan polutan di atmosfer yang dalam konsentrasi tertentu akan mengganggu keseimbangan dinamik atmosfer dan mempunyai efek pada manusia dan lingkungannya (Mukono, 2005).
Berdasarkan buletin WHO yang dikutip Holzworth & Cormick (1976), penentuan pencemar atau tidaknya udara suatu daerah berdasarkan parameter sebagai berikut:
Tabel 2.1 Parameter Pencemaran Udara
No. Parameter Udara bersih Udara tercemar
1. Bahan partikel 0,01-0,02 mg/m3 0,07- 0,7 mg/m3
2. SO2 0,003-0,02 ppm 0,02- 2 ppm
3. CO < 1 ppm 5- 200 ppm
4. NO2 0,003- 0,02 ppm 0,02 – 0,1 ppm
5. CO2 310- 330 ppm 350 – 700 ppm
6. Hidrokarbon < 1 ppm 1 – 20 ppm
Sumber : Buletin WHO dalam Mukono, 2005
Penyebab pencemaran lingkungan di atmosfer biasanya berasal dari sumber kendaraan bermotor dan atau industri. Bahan pencemar yang dikeluarkan antara lain adalah gas NO2, SO2, SO3, ozon, CO, HC, dan partikel debu. Gas
(11)
NO2, SO2, HC dan CO dapat dihasilkan dari proses pembakaran oleh mesin yang
menggunakan bahan bakar yang berasal dari bahan fosil (Mukono, 2008).
2.3.2. Nilai Ambang Batas Polutan di Udara
Nilai ambang batas adalah kadar tertinggi suatu zat dalam udara yang diperkenankan, sehingga manusia dan makhluk lainnya tidak mengalami gangguan penyakit atau menderita karena zat tersebut (Agusnar, 2008).
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 tahun 1999 tentang pengendalian pencemaran udara dijelaskan mengenai pengertian baku mutu udara ambien, yaitu ukuran batas atau kadar zat, energi dan/atau komponen yang ada atau yang seharusnya ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam udara ambien. Baku mutu kadar debu dalam udara ambien yang tercantum di dalam PP RI No. 41 tahun 1999 tersebut untuk PM10 (Partikel <10 µm) adalah 150 µg/m3.
2.3.3. Dampak Polusi Udara Terhadap Hidung
Ketika udara masuk ke dalam rongga hidung, udara akan disaring, dihangatkan dan dilembabkan. Ketiga proses ini merupakan fungsi utama mukosa inspirasi yang terdiri dari epitel toraks bertingkat, bersilia dan bersel goblet. Materi-materi yang terkandung dalam polutan dapat menyebabkan perubahan suasana rongga hidung menjadi asam dalam upaya proteksi terhadap sumber-sumber infeksi. Perubahan kadar pH menjadi lebih asam ini akan mengganggu kerja dari silia-silia hidung, sebab frekuensi denyut silia bekerja optimal pada pH normal, yaitu 7-9 (Waguespack,1995).
Selain itu, polutan-polutan dalam polusi udara dapat merubah komposisi dari sekret hidung sehingga menyebabkan kerusakan epitel dan silia. Kerusakan ini akan memperpanjang waktu transpor mukosilia. Hal ini akan menyebabkan gangguan sistem mukosiliar dan mengakibatkan polutan yang tertangkap oleh palut lendir akan menembus mukosa hidung dan terjadilah obstruksi. Dari sini akan muncul keluhan-keluhan pernafasan lainnya seperti batuk, sesak napas,
(12)
rhinitis dll. Jika hal ini terjadi terus menerus dalam jangka waktu tertentu akan menyebabkan rhinosinusitis kronis atau sinusitis kronik (Joshepin, Roy, 1999).
2.4. Cuci Hidung (nasal irrigation)
Cuci hidung merupakan suatu pengobatan nonfarmakologi alternatif pada beberapa penyakit pada hidung dan sinus paranasal. Cuci hidung merujuk pada kata yang bersifat luas, mulai dari penggunaan nasal spray hingga membilas hidung dengan 250 ml larutan salin.
Pada penelitian meta analisis oleh Hermelingmeier et al, cuci hidung dengan larutan salin pada pasien rhinitis alergi menghasilkan perbaikan dari gejala, kualitas hidup, dan waktu transport mukosiliar.
2.4.1. Mekanisme Kerja
Mekanisme kerja pengobatan dengan cuci hidung belum diketahui secara pasti. Cuci hidung menggunakan salin dapat meningkatkan kemampuan mukosa hidung dalam melawan pengaruh agen-agen infeksi dan mediator-mediator inflamasi serta berbagai jenis iritan. Cuci hidung menggunakan salin dapat memperbaiki fungsi mukosa hidung melalui efek fisiologis yaitu pembersihan secara langsung akibat irigasi cairan yang akan membuang mediator-mediator inflamasi, dan memperbaiki fungsi mukosiliar yang dibuktikan dengan peningkatan frekuensi kecepatan cilia. (am fam physician, 2009)
Terdapat hipotesis mengapa cuci hidung mampu memicu perbaikan gejala-gejala pada hidung, yaitu:
a. Memperbaiki pembersihan mukosiliar b. Menurunkan edema mukosa
c. Menurunkan mediator-mediator inflamasi
d. Secara langsung membersihkan kerak-kerak pada hidung dan mukus yang tebal (Hernandez, 2007)
(13)
2.4.2.1. Bahan Cuci Hidung
Larutan garam yang digunakan untuk melakukan cuci hidung dengan hasil optimal belum diketahui dengan pasti, namun NaCl 0,9 % dan NaCl 3% adalah larutan yang sering digunakan. Suhu dan pH yang optimal juga masih belum diketahui. Namun, pada beberapa literatur dikatakan bahwa larutan isotonis lebih baik dibandingkan dengan larutan hipertonis karena transpor mukosiliar optimal pada pH yang netral (Rabago, 2006; Passali et al, 2005)
2.4.2.2. Metode Cuci Hidung
Putar kepala (sekitar 45 derajat) sehingga salah satu lubang hidung berada di atas yang lainnya. Lalu masukkan ujung dari spuit ke dalam lubang hidung dengan nyaman tanpa menekan ke bagian tengah atau septum hidung. Bernafas melalui mulut dan larutan akan masuk ke lubang hidung bagian atas dan kemudian mengalir ke lubang hidung bagian bawah. Ketiks spuit sudah kosong, hembuskan nafas secara lembut melalui kedua lubang hidung untuk membersihkan larutan yang berlebih dan mukus. Lakukan prosedur untuk lubang hidung lainnya. (University of Wisconsin)
Gambar 2.3. Teknik melakukan cuci hidung. Sumber: Am fam physician, 2009. Saline Nasal Irrigation for Upper Respiratory Conditions. Halaman 6, Gambar. 1
(1)
Bagan 2.1 Patofisiologi Terganggunya Sistem Transpor Mukosiliar
2.2.3. Pemeriksaan Waktu Transpor Mukosiliar
Uji sakarin adalah uji yang digunakan untuk menghitung waktu transport mukosiliar. Dilakukan dengan cara meletakkan sedikit sakarin dibelakang ujung anterior dari konka inferior. Pada keadaan mukosiliar yang normal, sakarin akan ditranspor ke daerah nasofaring dan akan timbul rasa manis.(Klein, Enders, 2007). Berdasarkan penelitian de Oliveira-Maul et al, pada tahun 2013, referensi nilai normal waktu transpor mukosiliar pada orang dewasa sehat adalah ≤12 menit. 2.2.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Transpor Mukosiliar
Disfungsi mukosiliar hidung dibagi atas kelainan primer dan sekunder. Kelainan primer berupa diskinesia silia primer dan fibrosis kistik. Kelainan sekunder berupa influenza, sinusitis kronis, rinitis atrofi, rinitis vasomotor, deviasi septum, sindroma Sjogren, dan penyakit adenoid. (Sakakura, 1997)
Transpor Mukosiliar dipengaruhi oleh faktor fisiologis atau fisik, polusi udara dan rokok, kelainan kongenital, rinitis alergi, infeksi virus atau bakteri, obat-obat topikal, obat-obat sistemik, bahan pengawet, dan tindakan operasi. (Waguespack, 1995)
a. Diskinesia silia primer
Kartagener’s syndrome adalah varian klinis dari dyskinesia silia primer disertai situs inversus dan infeksi jalan nafas kronis. Tes sakarin yang dilakukan pada penderita Kartagener’s syndrome adalah lebih dari 60 menit. (Tanaka et al, 2007)
b. Lingkungan
Silia harus selalu ditutupi oleh lapisan lendir agar tetap aktif. Meningkatnya kerusakan transpor mukosiliar berhubungan dengan meningkatnya paparan NO2. Penelitian Brant et al, 32% subjek yang terpapar polusi udara
(2)
mempunyai waktu transpor mukosiliar ≥12 menit yang mengindikasikan terganggunya transpor mukosiliar.
c. Alergi
Pengaruh lingkungan alergik pada hidung masih diperdebatkan. Pada pasien rhinitis alergi, terjadi perlepasan sitokin inflamasi IL-3 yang akan menurunkan frekuensi ciliary beat yang akan meningkatkan waktu transpor mukosiliar. (Hellings, Fokkens, 2006).
d. Struktur dan anatomi hidung
Pada penderita deviasi septum kecepatan waktu transpor mukosiliar lebih lambat dibandingkan grup kontrol. Setelah dilakukan operasi septum kecepatan waktu transpor mukosiliar pada pasien dengan deviasi septum tidak signifikan berbeda dari grup control. (Ulusoy, Arbag, 2007)
e. Obat-obatan
Gosepath et al melakukan penelitian tentang pengaruh larutan topical antibiotik (ofloxacin), antiseptic (betadin, H2O2), dan anti jamur (amphotericin B, itraconazole,clotrimazole) terhadap frekwensi denyut silia. Peningkatan konsentrasi ofloxacin sampai 50% terlihat sedikit mempengaruhi frekwensi denyut silia. Peningkatan konsentrasi itraconazole dari 0,25% menjadi 1% dapat menurunkan aktivitas silia dari 8 jam menjadi 30 menit. Larutan Betadin lebih berefek siliotoksik dibanding H2O2. Terlihat penurunan aktivitas silia dan frekwensi denyut silia setengahnya pada peningkatan konsentrasi betadin dua kali lipat. Hasil ini mengindikasikan bahwa pemakaian obat-obat topikal antibiotik dan anti jamur khususnya pada konsentrasi tinggi dapat merusak fungsi pembersih mukosiliar.
Hasani et al melakukan penelitian tentang pengaruh !2 adrenoreceptor agonist dan dual D2 dopamin receptor terhadap pembersihan mukosiliar pada
(3)
meningkatkan sistem pembersihan mukosiliar.
f. Infeksi
Infeksi dapat menyebabkan degenerasi dan pembengkakan mukosa, terlepasnya sel- sel radang, dan perubahan pH. Endotoksin dari bakteri serta enzim proteolitik yang dihasilkan oleh neutrofil diketahui dapat menurunkan aktivitas silia dan frekwensi denyut silia. (Clerico, 2001)
2.3. Polusi Udara
2.3.1. Kandungan dalam Polusi Udara
Pencemaran udara adalah adanya bahan polutan di atmosfer yang dalam konsentrasi tertentu akan mengganggu keseimbangan dinamik atmosfer dan mempunyai efek pada manusia dan lingkungannya (Mukono, 2005).
Berdasarkan buletin WHO yang dikutip Holzworth & Cormick (1976), penentuan pencemar atau tidaknya udara suatu daerah berdasarkan parameter sebagai berikut:
Tabel 2.1 Parameter Pencemaran Udara
No. Parameter Udara bersih Udara tercemar
1. Bahan partikel 0,01-0,02 mg/m3 0,07- 0,7 mg/m3
2. SO2 0,003-0,02 ppm 0,02- 2 ppm
3. CO < 1 ppm 5- 200 ppm
4. NO2 0,003- 0,02 ppm 0,02 – 0,1 ppm
5. CO2 310- 330 ppm 350 – 700 ppm
6. Hidrokarbon < 1 ppm 1 – 20 ppm
Sumber : Buletin WHO dalam Mukono, 2005
Penyebab pencemaran lingkungan di atmosfer biasanya berasal dari sumber kendaraan bermotor dan atau industri. Bahan pencemar yang dikeluarkan antara lain adalah gas NO2, SO2, SO3, ozon, CO, HC, dan partikel debu. Gas
(4)
NO2, SO2, HC dan CO dapat dihasilkan dari proses pembakaran oleh mesin yang menggunakan bahan bakar yang berasal dari bahan fosil (Mukono, 2008).
2.3.2. Nilai Ambang Batas Polutan di Udara
Nilai ambang batas adalah kadar tertinggi suatu zat dalam udara yang diperkenankan, sehingga manusia dan makhluk lainnya tidak mengalami gangguan penyakit atau menderita karena zat tersebut (Agusnar, 2008).
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 tahun 1999 tentang pengendalian pencemaran udara dijelaskan mengenai pengertian baku mutu udara ambien, yaitu ukuran batas atau kadar zat, energi dan/atau komponen yang ada atau yang seharusnya ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam udara ambien. Baku mutu kadar debu dalam udara ambien yang tercantum di dalam PP RI No. 41 tahun 1999 tersebut untuk PM10 (Partikel <10 µm) adalah 150 µg/m3.
2.3.3. Dampak Polusi Udara Terhadap Hidung
Ketika udara masuk ke dalam rongga hidung, udara akan disaring, dihangatkan dan dilembabkan. Ketiga proses ini merupakan fungsi utama mukosa inspirasi yang terdiri dari epitel toraks bertingkat, bersilia dan bersel goblet. Materi-materi yang terkandung dalam polutan dapat menyebabkan perubahan suasana rongga hidung menjadi asam dalam upaya proteksi terhadap sumber-sumber infeksi. Perubahan kadar pH menjadi lebih asam ini akan mengganggu kerja dari silia-silia hidung, sebab frekuensi denyut silia bekerja optimal pada pH normal, yaitu 7-9 (Waguespack,1995).
Selain itu, polutan-polutan dalam polusi udara dapat merubah komposisi dari sekret hidung sehingga menyebabkan kerusakan epitel dan silia. Kerusakan ini akan memperpanjang waktu transpor mukosilia. Hal ini akan menyebabkan gangguan sistem mukosiliar dan mengakibatkan polutan yang tertangkap oleh palut lendir akan menembus mukosa hidung dan terjadilah obstruksi. Dari sini
(5)
rhinitis dll. Jika hal ini terjadi terus menerus dalam jangka waktu tertentu akan menyebabkan rhinosinusitis kronis atau sinusitis kronik (Joshepin, Roy, 1999).
2.4. Cuci Hidung (nasal irrigation)
Cuci hidung merupakan suatu pengobatan nonfarmakologi alternatif pada beberapa penyakit pada hidung dan sinus paranasal. Cuci hidung merujuk pada kata yang bersifat luas, mulai dari penggunaan nasal spray hingga membilas hidung dengan 250 ml larutan salin.
Pada penelitian meta analisis oleh Hermelingmeier et al, cuci hidung dengan larutan salin pada pasien rhinitis alergi menghasilkan perbaikan dari gejala, kualitas hidup, dan waktu transport mukosiliar.
2.4.1. Mekanisme Kerja
Mekanisme kerja pengobatan dengan cuci hidung belum diketahui secara pasti. Cuci hidung menggunakan salin dapat meningkatkan kemampuan mukosa hidung dalam melawan pengaruh agen-agen infeksi dan mediator-mediator inflamasi serta berbagai jenis iritan. Cuci hidung menggunakan salin dapat memperbaiki fungsi mukosa hidung melalui efek fisiologis yaitu pembersihan secara langsung akibat irigasi cairan yang akan membuang mediator-mediator inflamasi, dan memperbaiki fungsi mukosiliar yang dibuktikan dengan peningkatan frekuensi kecepatan cilia. (am fam physician, 2009)
Terdapat hipotesis mengapa cuci hidung mampu memicu perbaikan gejala-gejala pada hidung, yaitu:
a. Memperbaiki pembersihan mukosiliar
b. Menurunkan edema mukosa
c. Menurunkan mediator-mediator inflamasi
d. Secara langsung membersihkan kerak-kerak pada hidung dan mukus yang tebal (Hernandez, 2007)
(6)
2.4.2.1. Bahan Cuci Hidung
Larutan garam yang digunakan untuk melakukan cuci hidung dengan hasil optimal belum diketahui dengan pasti, namun NaCl 0,9 % dan NaCl 3% adalah larutan yang sering digunakan. Suhu dan pH yang optimal juga masih belum diketahui. Namun, pada beberapa literatur dikatakan bahwa larutan isotonis lebih baik dibandingkan dengan larutan hipertonis karena transpor mukosiliar optimal pada pH yang netral (Rabago, 2006; Passali et al, 2005)
2.4.2.2. Metode Cuci Hidung
Putar kepala (sekitar 45 derajat) sehingga salah satu lubang hidung berada di atas yang lainnya. Lalu masukkan ujung dari spuit ke dalam lubang hidung dengan nyaman tanpa menekan ke bagian tengah atau septum hidung. Bernafas melalui mulut dan larutan akan masuk ke lubang hidung bagian atas dan kemudian mengalir ke lubang hidung bagian bawah. Ketiks spuit sudah kosong, hembuskan nafas secara lembut melalui kedua lubang hidung untuk membersihkan larutan yang berlebih dan mukus. Lakukan prosedur untuk lubang hidung lainnya. (University of Wisconsin)
Gambar 2.3. Teknik melakukan cuci hidung. Sumber: Am fam physician, 2009.