PENEGAKAN HUKUM YANG MASIH MENCIPTAKAN L

HUKUM DAN PENEGAKANNYA MASIH MENCIPTAKAN LEGAL GAPS
DI INDONESIA
Oleh: Robby Andrian, SH
No.Mahasiswa : 12912055

LATAR BELAKANG MASALAH
Cita-cita nasional untuk menyatukan Indonesia sebagai satu kesatuan politik dan di bawah
pemerintahan yang berhukum tunggal telah mengabaikan fakta kemajemukan hukum yang
berlaku dalam masyarakat. Alih-alih menyadari dan mempertimbangkan ulang kebijakan yang
ada, justru kebijakan unifikasi hukum itulah yang selalu dikukuhkan. Perubahan yang didominasi
motif-motif politik dengan legitimasi hukum undang-undang telah metransformasi kehidupan
dari wujudnya sebagai komunitas-komunitas etnis lokal tradisional ke suatu negara yang
tunggal, modern, sentral dan nasional. Perubahan transformatif itu bukan tanpa masalah.
Progresi di aras supra yang etatis tidak selamanya dapat diimbangi oleh dinamika perubahan di
aras infra yang populis. Tidak dipahaminya kebijakan dan isi kandungan hukum undang-undang
oleh rakyat awam yang tersebar diberbagai satuan etnik mencerminkan dengan jelas bahwa
dalam pembangunan hukum di Indonesia telah terjadi cultural gaps dan legal gaps 1
pokok-pokok konsep dalam Civil Law System sebagaimana yang dianut Negara kita memiliki
problematika di dalamnya karena memicu munculnya problematika dalam ruang Tata Hukum
Indonesia, yakni antara lain: Pertama, dalam kultur Civil Law System, hukum haruslah tertulis
atau dituangkan dalam bentuk undang-undang (prinsip legisme). Kedua, kultur Civil Law System

mendasarkan diri pada filsafat positivisme hukum.2 Dengan demikian, dalam Civil Law System
terdapat konsep bahwa tujuan utama yang disasar oleh hukum bukanlah keadilan melainkan
1

Soetandyo Wingnjosoebroto, Hukum Dalam Masyarakat: Perkembangan dan Masalah, Malang, Bayumedia, 2008,
Hlm-121
2

Ade Maman Suherman, “Pengantar Perbandingan Sistem Hukum,” Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 68.

1

kepastian, karena filsafat positivisme mengutamakan hal yang sifatnya jelas dan pasti (positif) di atas
segalanya dengan alasan bahwa hanya hal yang bersifat pasti saja yang dapat dijadikan ukuran
kebenaran.

3

padahal faktanya didalam masyarakat Indonesia, mendambakan suatu hukum yang


benar-benar berkeadilan dan memuat nilai-nilai kearifan yang bisa memenuhi ruang dan waktu
seluruh aspirasi masyarakat.

Berlakunya hukum harus adanya pengukuhan dan penegakan dalam ranah politik atau power
pemerintah, tidak cukup hanya dengan legitimasi dari dunia akademis dan/atau profesi.
Perubahan social dan terciptanya legal gap, dalam perkembangannya pemikir filsafat dalam ilmu
hukum dikontruksikan oleh kaum libral dengan mengakui dogma legisme positivistis kurang
realistis terkesan gagal dalam menjawab berbagai permasalahan yang timbul dalam
perubahannya. Kebenaran dalam doktrin positivism dalam pemikiran ilmu hukum atas dasar
“everybody is equal before the law/ everybody is born free to pursuit its happiness”. 4 Suatu
intitusi yang netral dan independen adalah merupakan sebuah harapan kosong belaka karena
hanyalah idealis semboyan dan hanya retorika padahal dalam implementasinya nihil
dikarenakan kuatnya hegemoni dan subordinasi penguasa dalam kepentingan politik.
Hukum Negara yang berkeadilan sangat tergantung pada perilaku Negara yang berkeadilan (Just
state). Gott Fried Dietze, menyatakan bahwa peraturan-peraturan Hukum Positif yang tidak
berkesesuaian dengan hukum adalah tidak berkeadilan. Dalam sebuah Negara berkeadilan (just
State) Perundang-undangan dan administrasinya harus ditentukan berdasarkan keadilan
sehingga pelanggaranyang dilakukan Negara terhadap kebebasan warga Negara tidak
berkessesuaian dengan keadilan. Negara yang menegakkan hukum tidak berkeadilan bukanlah
Negara yang berkeadilan, the state in which injustice legally exist or can exist is not the just

state.5
Dalam faktanya hukum yang dikonsepkan sebagai Undang-undang yang dibuat oleh Lembaga
Legislatif maka tidak seorangpun dapat membantah bahwa hukum adalah produk politik sebab
3

Harun Hadiwijoyo, “Seri Sejarah Filsafat Barat 2,” Yogyakarta, Kanisius, 1980, hlm. 109.

4

Mochamad Soef, Sosiologi hukum atas perkembangan sosial-politik, Diunduh di
https://soef47.wordpress.com/tag/sosiologi-hukum/24 Januari 2013
5

Gott Fried Dietze, dalam karyanya “ two concept of rule of law”, dikutip dari Jawahir Thontowi, “ kekerasan dan
ketidakadilan structural dalam masa supremasi Hukum di Indonesia” makalah yang disampaikan dalam kuliah
sosiologi hukum ,pasca sarjana Magister Hukum Universitas Islam Indonesia, hlm.3

2

ia merupakan kristalisasi, formalisasi dan legalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling

bersaingan baik melalui kompromi politik maupun melalui dominasi oleh kekuatan politik yang
terbesar 6. Oleh karena itu asumsi bahwa Undang-undang yang dikeluarkan merupakan produk
politik semata lahir tanpa ada nilai rasa keadilan masyarakat dan hanya sedikit mengandung
nilai moral sebagai tujuan dilahirkannya Peraturan itu sendiri. Hal itu karena peraturan yang
dibuat merupakan hasil dari tarik menarik antar kepentingan politik partai di dalam Badan
pembentuk Undang-undang tersebut. sehingga yang terjadi adalah undang-undang yang
dikeluarkan tersebut merupakan produk atas harga yang telah disepakati antar golongan politik
dan kepentingan golongan tertentu yang siap menikmati dari harga yang telah telah diberikan
kepada golongan elit politik tersebut . Produk politik tersebut Salah satunya adalah UU No. 22
Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, yang jika ditinjau secara historisnya bahwa Sejak
awal keberadaannya hingga adanya pembahasan RUU Minyak dan Gas bumi di DPR, telah
mendapat tantangan dari masyarakat karena dianggap tidak hanya bertentangan dengan Pasal
33 UUD 1945, melainkan juga dapat merugikan perekonomian Indonesia. yang pada akhirnya
Mahkamah Konstitusi pada tanggal 13 November 2012 memutuskan bahwa pasal yang
mengatur tugas dan fungsi Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi [BPMIGAS] yang diatur
dalam UU No.22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan UUD 1945
dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Walaupun telah 10 (sepuluh) tahun terjadi
liberalisasi pengelolaan minyak dan gas karena sangat dipengaruhi pihak asing, yang pada
akhirnya hanyalah banyak menguntungkan pihak asing, paling tidak dengan adanya Putusan
Mahkamah Konstitusi tanggal 13 November 2012, harapannya dapat mengembalikan bumi dan

kekayaan alam yang kepada kemakmuran rakyat Indonesia.
Di sini subtansi hukum negara dan subtansi moral hukum rakyat tidak hanya tidak selaras, akan
tetapi juga berselisih dan menghasilkan ruang yang menganga. Kondisi semacam ini tentu
merupakan bukti nyata adanya legal gaps dalam pembangunan hukum di Indonesia. Jika tidak
dicarikan jalan keluar yang baik fenomena legal gaps ini bisa berubah menjadi legal conflict dan
cultural conflict. Sebab tidak jarang ruang menganga itu menimbulkan situasi yang secara

6

Moh.Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta, PT.Rajagrafindo Persada, 2011, cetakan ke-4, Hlm 5

3

diametrikal berlawanan dan ujungnya bisa menimbulkan konflik-konflik yang serius di
masyarakat 7.
Bagaimana keadilan yang didambakan bisa terwujud jika peraturan yang dikeluarkan oleh para
elit politik hanya untuk melegalisasi kepentingan segelintir golongan tertentu, tanpa memikirkan
tujuan dari dibuatnya peraturan untuk mewujudkan masyarakat yang tertib dan berkeadilan
social. Pada akhirnya yang terjadi adalah Keadilan hanya menjadi ungkapan yang merdu
didengar saja, dan ternyata bukan “isapan jempol,” Betapa mahalnya harga sebuah keadilan.

Bahkan kondisi tersebut telah menempatkan peran dan fungsi hukum termasuk juga lembaga
peradilan sebagai supporting system untuk tercapainya stabilitas politik dan tujuan
pembangunan. Belum lagi ditambah dengan peran serta para penegak hukum yang didalam
penegakannya masih jauh dari harapan masyarakat, yang sebagian besar juga masih berpihak
kepada sebagian golongan yang memiliki kekuasaan dan uang.
Dalam wilayah lembaga Yudikatif yang Sebagai akibat dari cara pandang atau persepsi yang
dominan terhadap peran dan fungsi hukum seperti itu maka lembaga yudikatif bersifat kaku,
kurang terbuka, serta kurang tanggap terhadap tuntutan kebutuhan masyarakat.
Padahal sesungguhnya penegakan hukum yang baik itu tidak sekedar ditentukan oleh substansi
perundang-undangannya,

melainkan

lebih

banyak

ditentukan

oleh


“kultur

hukum”

(sebagaimana didefinisikan Lawrence M. Friedman: yakni mencakup opini-opini, kebiasaankebiasaan, cara bertindak, dan cara berpikir dari seseorang yang bertalian dengan segala hal
yang berbau hukum), warga masyarakat maupun para penegak hukum dan penguasanya 8.
Salah satu masalah yang sekarang timbul adalah terlepasnya sukma hukum yakni keadilan dari
banyak proses penegakan hukum karena hukum kemudian lebih banyak dihayati sebagai teknis
procedural semata. Banyak sekali orang yang melanggar etika dan moral secara hukum,
tepatnya belum dibuktikan sebagai tindakan yang salah secara hukum oleh pengadilan. Padahal
dalam waktu yang bersamaan proses hukum di lembaga peradilan juga menghadapi masalah
7

Ahmad zaenal Fanani, Makalah “legal gaps: problem mendasar penegakan hukum di Indonesia” , Hlm 3, dalam
http://badilag.net, Akses 21 Oktober 2012
8

Eman Suparman, Kata Pengantar Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia Dalam Dialektika
Pembaruan Sistem Hukum Indonesia Diterbitkan oleh Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial Republik

Indonesia Cetakan Pertama, Juli 2012 hlm-viii

4

besar karena banyak dihinggapi oleh penyakit Judicial Corruption 9. Selain terlepasnya keadilan
sebagai sukma hukum yang bersumber dari etika dan moral, masalah lain yang kita hadapi
adalah hubungan hukum antara hukum dan politik sebagai subsistem kemasyarakatan. Dalam
hal-hal penting tertentu hukum banyak didominasi oleh politik sehingga sejalan dengan
melemahnya dasar etika dan moral, pembuatan dan penegakan hukum banyak diwarnai oleh
kepentingan-kepentingan politik hukum kelompok dominan yang sifatnya teknis, tidak
substansial dan bersifat jangka pendek 10. Selain itu, faktanya yang terjadi saat ini, ternyata tidak
hanya para penegak hukum saja yang menciptakan ruang yang menganga dalam penegakan
hukum di Indonesia, akan tetapi juga Penyelenggara Negara dalam hal ini Presiden sebagai
kepala Negara pun turut menyumbang terjadinya legal Gaps atas penegakan Hukum ini. Antara
lain adalah dikeluarkannya 4 (empat ) Keppres yang dikeluarkan Presiden atas kejahatan Luar
Biasa (Extra ordinary Crime) bagi 4 orang terpidana Narkoba, yaitu : Keppres No.35/G/2011,
Grasi yang diberikan pada Merika Panola alias Ola atau Tania, Keppres No.7/G/2012, Grasi yang
diberikan kepada Deni Seia Maharawan, Keppres No.22/G/2012 Grasi yang diberikan kepada
Corby tanggal 15 Mei 2012, warga Australia dan Keppres No.23/G/2012 grasi yang diberikan
kepada Peter Achim Grobman, warga Jerman. Ancaman Pidana mati pelaku Narkoba bersifat

Imperatif dan dapat dipaksakan mengingat adanya Institusi BNN. Dan Ancaman hukuman Mati
diatur dalam Pasal 113, 114, 116, 118, 121 dan 126 UU no.35 Tahun 2009 tentang anti
Narkoba.11

Rumusan masalah

9

Moh.Mahfud MD, “HUKUM, MORAL dan POLITIK” , Makalah disampaikan di Materi stadium generale untuk
matrikulasi Program Doktor, Bidang Ilmu Hukum di Universitas Diponegoro, Semarang, Tanggal 23 Agustus 2008,
Hal - 1
10

Moh.Mahfud MD, Ibid, hal- 2

11

Jawahir Thontowi, Presiden, “ Kejahatan Luar biasa dan hukuman Mati “, Makalah yang disampaikan dalam
Perkuliahan Sosiologi Hukum, Program Pasca Sarjana Magister Hukum Universitas Islam Indonesia, hlm.-1


5

1. Bagaimana hukum dan penegakannya masih menciptakan legal Gaps dalam
masyarakat ?
2. Bagaimana agar hukum bisa ditegakkan selaras dengan nilai-nilai yang tumbuh didalam
masyarakat sehingga Legal Gaps yang muncul dapat diminimalisir ?
ANALISA DAN PEMBAHASAN
Hubungan kausalitas antara politik dan hukum sebagai sub system kemasyarakatan disebutsebut hukum sebagai produk politik. Dari pendekatan empirik hal itu merupakan suatu aksioma
yang tak dapat diitawar lagi. Tetapi, ada juga para yuris yang lebih percaya dengan semacam
mitos bahwa politiklah yang harus tunduk pada aturan hukum. Inipun , sebagai das sollen, tak
dapat disalahkan begitu saja 12.
Tidak akan ada hukum tanpa adanya masyarakat, dan tidak akan ada masyarakat tanpa hukum.
Karena itu, hukum juga harus senantiasa dilihat dalam konteks struktur sosial dimana hukum itu
berada. Fungsi utamanya dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu sebagai instrumen yang
mengatur dan membatasi (limitating function) sehingga dapat diwujudkan adanya kepastian
(legal certainty) dan keadilan (justice) bagi setiap individu, tetapi dapat pula dilihat sebagai
instrumen yang membebaskan (liberating function) sehingga dapat diwujudkan adanya struktur
sosial yang adil dan pasti yang bebas dari penindasan dan kekerasan struktural. Artinya, hukum
harus membebaskan (liberating) dengan tetap menjamin ketertiban sosial (social order) dan
keadilan sosial (social justice). Jika struktur masyarakat timpang atau mengalami kesenjangan

sosial yang tidak adil, maka niscaya hukum tidak dapat bekerja dengan sempurna atau dapat
dikatakan tidak efektif. Sebaliknya, jika hukum tidak berfungsi dengan baik, berarti struktur
sosial dimana hukum itu berada, dapat dipastikan adalah struktur sosial yang timpang dan tidak
berkeadilan social 13. Secara teoritis hubungan antara hukum dan politik memang dibedakan
atas tiga model hubungan. Pertama, sebagai Das Sollen, Hukum determinan atas politik karena
12

Moh. Mahfud MD., Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia. Gama Media : Yogyakarta, 1999

13

Jimly Asshidiqie, Struktur Hukum dan hukum Struktural Indonesia, Dalam Dialektika Pembaruan Sistem
Hukum Indonesia, Diterbitkan oleh Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial Republik Indonesia Cetakan Pertama, Juli
2012 hlm-21

6

setiap agenda politik harus tunduk pada aturan-aturan hukum. Kedua, sebagai Das Sein, Politik
determinan atas hukum karena dalam faktanya hukum merupakan produk politik sehingga
hukum apapun yang ada di depan kita tak lain merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak
politik yang saling bersaingan. Ketiga, Politik dan Hukum berhubungan secara indeterminan
karena politik tanpa hukum akan zalim sedang hukum tanpa pengawalan politik akan lumpuh 14.
Politik hukum adalah kebijakan hukum (legal policy) yang akan atau telah dilaksanakan secara
nasional oleh pemerintah Indonesia yang meliputi pertama, pembangunan hukum yang
berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat disesuaikan
dengan kebutuhan; kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan
fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum 15. Adanya realita bahwa antara hukum
dan

politik

keduanya

tidak

dapat

dipisahkan

baik

dalam

pembentukan

maupun

implementasinya. Soehardjo SS, pakar hukum tata negara Undip, mengatakan “…antara hukum
dan politik adalah pasangan, bila hukum dikaitkan dengan recht, politik dikaitkan dengan macht,
dengan demikian, hubungan antara keduanya diungkapkan sebagai: ”. . . recht bendichte
Werking des macht, nicht macht bendichte Werking des recht....” 16 Studi Moh. Mahfud (1994)
dalam disertasinya yang berjudul ”Perkembangan Politik : Studi tentang Pengaruh Konfigurasi
Politik terhadap Produk Hukum di Indonesia”, menunjukkan bahwa ada pengaruh cukup
signifikan antara konfigurasi politik terhadap produk hukum di Indonesia 17. Legal Gaps muncul
dan semakin membesar ketika di dalam implementasinya hukum tersebut tidak memuat
unsure-unsur baik didalam pembuatannya maupun penegakannya antara lain adalah pertama,
Hukum tidak mampu mencapai Tujuan bersama. Tujuan bersama yang dimaksud adalah Tujuan
dari hukum dalam konteks perundang-undangan tidak selaras dengan tujuan apa yang dicita
citakan masyarakat secara menyeluruh dalam fungsinya untuk mengatur, memberikan
kesejahteraan dan berkeadilan. Sebagai contoh adalah dengan disahkannya UU No. 22 Tahun
14

Moh.Mahfud MD, Op.Cit, hal- 2

15

Moh. Mahfud MD, Politik Hukum …, op.cit hal. 9.

16

Dalam karya tulis Soehardjo SS, yang berjudul “Kekuasaan Kehakiman dan Sistem PeradilanBerdasarkan UUD
1945,Suatu Analisis Atas Memorandum IKAHI II,Tanggal 23 Oktober 1996
17

Moh. Mahfud MD, 1993,”Perkembangan Politik : Studi tentang Pengaruh Konfigurasi Politik terhadap Produk
Hukum di Indonesia” (Disertasi Doktor), Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

7

2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, dimana muncul Beberapa pendapat yang muncul berkaitan
dengan Undang-undang ini adalah seperti pendapatnya Dr.Sri Mulyani, pengamat ekonomi UI
dalam Kompas Cyber Media tanggal 20 Maret 1999 mengatakan bahwa “ RUU Migas belum
Jamin kesejahteraan konsumen”, kemudian Dr.Rizal Ramli dari ECONIT dalam kompas Cyber
Media tanggal 28 Maret 1999 mengatakan bahwa “RUU Migas tidak lindungi pelaku ekonomi
Nasional”, kemudian Dr.Arif Arryman dari ECONIT dalam Media Transparansi tanggal 7 April
1999 menyatakan bahwa RUU Migas memiliki Agenda Tersembunyi dan Konflik Kepentingan 18.
Yang pada Akhirnya UU dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi manakala UU tersebut dinyatakan
inkonstitusional, artinya bertentangan dengan isi konstitusional. Terkait UU No.22 tahun 2001
ini dinyatakan Inkonstitusional, karena dalam konstitusi terdapat pasal yang mendasar
mengenai pengelolaan sumber daya alam, yaitu Pasal 33 yang menyatakan bahwa bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Frasa “dikuasai oleh negara” ini bentuknya bisa
mengatur, mengurus, dan mengelola sendiri. Dengan demikian, BP MIGAS dapat dianggap
sebagai wakil negara untuk mengatur dan mengelola, karena di dibentuk oleh negara. Akan
tetapi inkonstitusional BP MIGAS adalah karena tidak mencapai atau tidak sejalan dengan upaya
pencapaian tugas negara, yaitu sumber daya alam harus untuk membangun kesejahteraan
rakyat, sedangkan dalam faktanya rakyat dirugikan dengan adanya BP MIGAS. Ini merupakan
wujud dari konteks perundang-undangan yang tidak selaras dengan tujuan mengatur,
memberikan kesejahteraan dan berkeadilan bagi masyarakat Luas.
Kedua, Hukum tidak bisa berfungsi sebagai Norma yang memiliki kemampuan untuk
menyelesaikan permasalahan yang sedang terjadi. Fakta yang terjadi adalah kerusuhan yang
terjadi di lampung baru-baru ini, yang mengakibatkan korban meninggal sebanyak 14 orang,
dan menimbulkan rasa ketakutan bagi warga masyarakat setempat. Kemudian contoh lain
adalah pada saat Perang tradisional di Papua sejak 23 Juli 2006 lalu itu terpicu dari pertengkaran
akibat meninggalnya seorang anak yang tenggelam di sungai di Satuan Pemukiman (SP)13.
Dalam perselisihan itu seorang warga suku Dani, Abinus Kagoya, dari Kwamki Lama tewas
18

Ida Bagus Radendra Suastama, dalam Makalah: “Asas Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang UndangUndang Migas Dan Ketenagalistrikan ”, dimuat dalam Mimbar Hukum Volume 24 nomor 2 tahun 2012 halaman
335

8

terkena panah. Kejadian itu kemudian merebak menjadi perang antar suku. Korban pun
berjatuhan diantara kelompok yang berperang menggunakan panah dan tombak. Berulang kali
dilakukan upaya pendekatan oleh Bupati dan Kapolres Mimika untuk menghentikannya.
Termasuk dengan upaya damai bakar batu dan makan bersama. Namun perang yang sempat
terhenti beberapa hari kemudian pecah lagi. Alasan mereka, karena korban yang tewas belum
imbang. Awal September 2006 perang kembali terjadi. Melibatkan warga kedua suku di Kwamki
Atas, Kwamki Bawah dan Kwamki Tengah. Bahkan kemudian melebar ke kelompok suku Mee
setelah seorang warga suku ini tewas terkena panah. Kondisi ini membuat aparat kepolisian
kembali harus bekerja keras. Namun dengan tetap melakukan pendekatan persuasif. Sebab
kalau salah menanganinya, bisa jadi perang antar suku itu beralih menjadi ‘perang’ dengan
aparat keamanan. Apalagi kalau ada pihak-pihak yang memprovokasi. Kesepakatan damai
akhirnya dicapai setelah Wagub Papua Alex Hasegem turun langsung melakukan dialog dengan
pihak-pihak yang bertikai sepanjang hari Sabtu dan Minggu. Kemudian dilanjutkan Bupati
Mimika yang menggelar pertemuan dengan semua kelompok pada hari Senin (11/9/2006)
untuk menentukan waktunya. Kapolda Papua Irjen Pol.Tommy J Jacobus menilai penyelesaian
pertikaian di Kwamki Lama itu telah dilakukan secara komprehensif. Karena selain melibatkan
polisi juga melibatkan pemerintah Provinsi Papua dan MRP sebagai representasi resmi
masyarakat adat Papua.19 Dalam peristiwa tersebut diatas faktanya Hukum Negara yang berlaku
sama sekali tidak dapat menyelesaikan peristiwa tersebut. Akan tetapi Justru aparat Penegak
Hukum dan sejumlah aparatur pemerintahan yang ada yang bertugas diwilayah tersebut justru
menggunakan hukum adat yang tumbuh dan hidup pada daerah tersebut untuk menyelesaikan
pertikaian antar suku maka permasalahan menjadi selesai dan keadaan kembali aman dan
normal. Dan fakta diatas juga membuktikan bahwa Hukum yang tertulis sebagai produk politik
tidak bisa efektif diberlakukan atas semua permasalahan yang terjadi didalam masyarakat di
seluruh Indonesia. Disini Hukum prinsip legisme dalam bentuk undang-undang yang
mengedepankan kepastian hukum tidak dapat berlaku sama sekali dan tidak berfungsi untuk
menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Dan Aparat penegak hukum di wilayah tersebut pun
yakin bahwasannya Hukum Negara yang berlaku tidak akan mampu menyentuh permasalahan
19

Kompas, 12/9/2006.

9

tersebut dengan tujuan menyelesaikan konflik yang terjadi, disini eksistensi hukum yang berlaku
kembali dipertanyakan kepastian hukumnya yang memiliki sifat mengatur dan melindungi
masyarakat. Padahal idealnya ketika hukum telah di Unifikasi tentu saja dengan mellihat
berbagai kemajemukan hukum yang faktanya hidup didalam Negara ini, seharusnya hukum
tersebut bisa ditegakkan dengan memberlakukan hukum yang berlaku akan tetapi juga
memasukkan unsur-unsur nilai-nilai kearifan yang hidup didaerah sengketa tersebut.
Ketiga, Hukum yang ada tidak mampu berfungsi sebagai alat untuk membangun struktur
kehidupan yang efisien termasuk didalamnya membangun para perencana yang efisien dalam
membentuk institusinya, baik dari sisi pembuat Undang-undang maupun penegaknya yang
bersih dari campur tangan berbagai kepentingan.

Salah satunya adalah adanya kebijakan

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait grasi hukuman mati yang diberikan kepada
terpidana mati kejahatan Narkoba. Logika hukum Presiden sebagai kepala Pemerintahan yang
memiliki kewenangan didalam pembuatan Undang-undang bersama DPR, Presiden juga
memiliki Hak Prerogatif dengan pertimbangan dari Menteri Hukum dan HAM dan Mahkamah
Agung, sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) UUD 1945, untuk mengeluarkan Grasi
terhadap Terpidana, baik yang memperoleh Hukuman mati maupun seumur hidup.

20

di sini

yang terjadi adalah Hak konstitusional Presiden Tersebut menyimpangi rasa keadilan
masyarakat, yaitu dimana saat ini sedang digalakkannya pemberantasan terhadap Narkoba,
akan tetapi disatu sisi Pelaku kejahatan Narkoba tersebut malah diberikan ampunan oleh
Presiden selaku kepala Pemerintahan, yang sangat mencederai nilai-nilai keadilan didalam
masyarakat. Hal tersebut terlihat adanya campur tangan Negara asing didalam penegakan
Hukum kita yang mana Presiden cenderung menempatkan kepentingan kekuasaan dan
pencitraannya dengan dukungan Negara lain, dengan adanya campurtangan asing dalam
penegakkan terhadap kejahatan Narkoba, daripada memperhatikan nilai-nilai keadilan yang
tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat .
Ketika masyarakat mengharapkan penegakan hukum yang konsisten, predictable, dan adil bagi
semua orang, yang terjadi justru sebaliknya. Hukum menjadi alat legitimasi penguasa untuk

20

Jawahir Thontowi, Presiden, “ Kejahatan … op.cit hlm.3

10

memaksakan kepentingannya dan mempertahankan kekuasaannya. Keadilan yang menjadi
tujuan akhir para pencari keadilan pada akhirnya menjadi harapan belaka. 21
Nonet & Selznick, dalam Law and Society in Transition: Toward Responsive Law, bahwa hukum
dalam masyarakat dibedakan ke dalam tiga keadaan dasar, yaitu: (1) hukum represif,yaitu
hukum sebagai alat kekuasaan represif; (2) hukum otonom, yaitu hukum sebagai suatu pranata
yang mampu menetralisasikan represi dan melindungi integritas hukum itu sendiri; dan (3)
hukum responsif, yaitu hukum sebagai suatu sarana respon terhadap ketentuan-ketentuan
sosial dan aspirasi-aspirasi masyarakat. Dari penjelasan Nonet & Selznick selanjutnya dapat
disimak bahwa karakteristik hukum yang menindas, yaitu patron yang terdapat pada masyarakat
yang masih berada pada tahap pembentukan suatu tatanan politik tertentu (in the formative
stages of political society)22. Jika didasarkan pada teori yang disebutkan diatas maka saat ini
yang terjadi adalah bahwa hukum yang dibuat sebagai produk politik hanya memiliki energy
sebagai hukum represif, yang mana hanya berfungsi sebagai alat penguasa untuk masyarakat
agar taat dan patuh tanpa memperhatikan substansi dari peraturan yang dibuat tersebut
apakah sudah memuat kultur dan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang didalam masyarakat
atau tidaknya, apakah aspirasi dan kehendak masyarakat secara umum sudah terespon atau
belum, melihat fakta yang terjadi didalam masyarakat ini, maka sudah seharusnya energy politik
yang dibentuk agar bisa berjalan seiring dengan kultur dan nilai-nilai luhur harus dilandasi oleh
etik dan moral bagi para politisi sebagai pemegang kekuatan politik yang membentuk peraturan
tersebut. Karena jika politiknya tidak baik maka hukumnya pun tidak akan baik. Landasan etik
dan moral bagi para pemegang kekuatan politik sebagai pembentuk Undang-undang sangat
memegang peranan penting didalam penciptaan hukum tersebut, yang mana pada akhirnya
akan tercipta suatu hukum yang mampu sebagai alat untuk membangun struktur yang efisien
didalam institusinya. Indonesia yang dibangun dengan semangat kebangsaan baru pasca
reformasi berkultur majemuk itu, apabila mengabaikan ihwal kultural yang manifest dalam
wujud hukum tradisional ini, maka penegak hukum undang-undang akan selalu saja
21

Frans Hendra Winarta, Pro Bono Pro Justico & Pro Poor, Diunduh dari
http://www.cercsindonesia.org/index.php?p=detilberita&id=47, 24 Januari 2013
22

Eman Suparman,. Kata Pengantar… op.cit.,hlm ix

11

menghadapi masalah. Permasalahan akan terasa lebih serius lagi apabila undang-undang yang
akan ditegakkan itu terbilang hukum publik yang berlaku terhadap semua warga Negara, yang
tak lagi dibentuk melainkan dibuat oleh badan legislatif tanpa banyak mengindahkan naskahnaskah akademik yang disiapkan oleh para peneliti untuk mengevaluasi secara prediktif daya
keefektifan undang-undang yang tengah dibuat. Mengamati dan mengomentari kenyataan
serupa ini, sudah sejak lama Friedrich von Savigny mengingatkan para pembentuk kitab undangundang Perancis dengan tulisannya dalam bentuk pamflet (1814) bahwa hukum itu tak bisa
dibuat berdasarkan rasionalitas para elit, karena pada esensinya hukum itu sebenar-benarnya
berada dan terbentuk bersama kehidupan bangsa itu sendiri. Eugen Ehrlich juga mengingatkan
persoalan serupa dengan menunjukkan fakta bagaimana orang-orang di provinsi Bulgovina
tetap saja mengukuhi hukumnya sendiri yang berbeda dengan hukum resmi yang diterapkan
pengadilan-pengadilan negara. Dari pengalaman para pengkaji ihwal hukum dan pemerintahan
kolonial yang lebih suka berangkat dari realitas daripada idealitas, seperti misalnya Cornelis van
Vollenhoven dari Belanda, dan Robert Seidman dari Inggris, pun mengetengahkan persoalan
yang sama berikut saran kebijakan legislasi yang tak boleh menutup mata tentang gatra kultural
dalam setiap upaya pembuatan dan penegakan undang-undang.

Van Vollenhoven yang

menyebut undang-undang itu het juristenrecht atau yang di dalam bahasa Inggris disebut
lawyers’ law, yang hanya bisa dipahami rakyat apabila undang-undang itu dibentuk (bukan
dibuat) berdasarkan materi hukum rakyat, nota bene hukum yang sarat dengan kandungan
moral kultural, dan yang oleh sebab itu mesti digali dulu dari bumi kehidupan rakyat itu sendiri.
Hukum, apalagi yang telah berbentuk undang-undang hasil kerja badan legislatif dengan
anggota-anggotanya yang tak sempat menyapa rakyat dengan komunikasi yang intens – seperti
yang dikatakan oleh Philippe Nonet dan Philip Selznik (1978) – akan berkarakter terlalu otonom
dan tak sekali-kali bisa responsif. Dari sinilah datangnya dalil law of the non-transferable law
yang dikemukakan oleh Seidman (1978), berdasarkan data yang ia cari dan temukan serta
himpun lewat penelitiannya di wilayah Anglophonic Afrika 23.

Soetandyo Wignjosoebroto,” Hukum yangTak Kunjung Tegak: Apa yang Salah dengan Kerja Penegakan Hukum di
Negeri Ini”, Dalam Dialektika Pembaruan Sistem Hukum Indonesia Diterbitkan oleh Sekretariat Jenderal Komisi
Yudisial Republik Indonesia Cetakan Pertama, Juli 2012 hlm 12-13
23

12

Alternatif agar Legal Gaps dapat diminimalisir serta tidak berkepanjangan yang dapat memicu
timbulnya legal conflict, dan memulai menuju kepada Hukum yang selaras dengan nilai-nilai
yang tumbuh didalam masyarakat, adalah perlu adanya kebijakan memperkokoh kembali posisi
hukum adat dalam sistem hukum di Indonesia. Nilai-nilai yang terkandung dalam Hukum adat
dijadikan sebagai sumber hukum utama pembuatan hukum undang-undang. Lebih-lebih hukum
adat adalah hukum asli Indonesia, sedangan Civil Law System adalah sistem hukum hasil
transplantasi kekuasaan asing ke dalam bumi Indonesia melalui praktek kolonialisme
pemerintah Belanda di wilayah nusantara 24.
Disamping perlu adanya kebijakan untuk memperkokoh kembali posisi hukum adat dalam
sistem hukum di Indonesia, kita juga perlu mengangkat kembali nilai-nilai kebangsaan
khususnya nilai-nilai yang terkandung dalam konstitusi UUD NRI Tahun 1945, demi meneguhkan
kembali jati diri bangsa dan membangun kesadaran tentang sistem kenegaraan yang menjadi
konsensus nasional, sehingga diharapkan bangsa Indonesia dapat tetap menjaga keutuhan dan
mampu menegakkan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia di tengah terpaan arus
globalisasi yang bersifat multidimensial. Nilai-nilai Kebangsaan yang terkandung dalam pasalpasal UUD NRI Tahun 1945, yaitu:
1)

Nilai demokrasi, mengandung makna bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat, setiap

warga Negara memiliki kebebasan yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaran
pemerintahan.
2)

Nilai kesamaan derajat, setiap warga negara memiliki hak, kewajiban dan kedudukan

yang sama di depan hukum.
3)

Nilai ketaatan hukum, setiap warga negara tanpa pandang bulu wajib mentaati setiap

hukum dan peraturan yang belaku.
24

Civil Law System merupakan sistem hukum yang berkesejarahan pada peradaban Eropa daratan sejak era
kekuasaan Romawi oleh Kaisar Justinianus pada abad ke-5 Masehi hingga masa kekuasaan Napoleon Bonaparte
yang menganeksasi hampir keseluruhan wilayah Eropa daratan pada awal abad ke-19.18 Sehingga, Civil Law
System adalah sistem hukum yang berdasarkan pada filsafat, paradigma berpikir, serta karakteristik peradaban Eropa
barat, yang oleh karenanya bukan merupakan sistem hukum yang berlandaskan pada filsafat, paradigma berpikir,
dan karakteristik asli bangsa Indonesia dikutip dari Ahmad zaenal Fanani, Makalah “legal gaps: problem mendasar
penegakan hukum di Indonesia” , Hlm 8, dalam http://badilag.net, Akses 21 Oktober 2012

13

Sehingga diharapkan nilai-nilai tersebut untuk dapat dijadikan sebagai pedoman dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam wadah Negara Kesatuan Republik
Indonesia 25.
Alternative lain yang bisa dijadikan sumber hukum yang akan diberlakukan adalah untuk
memporkokoh kembali posisi hukum Islam dalam sistem hukum di Indonesia. Hukum Islam yang
hanya berlaku bagi rakyat yang beragama Islam yang jumlahnya masyoritas. Hal ini dikarenakan
hukum Islam seringkali bersentuhan langsung dengan sendi dasar dan realitas kehidupan
masyarakat sehari-hari, memiliki kaitan yang sangat erat dengan aspek teologis (keimanan),
sehingga berimplikasi kuat terhadap perhatian masyarakat untuk melaksanakan hukum tersebut
secara konsisten 26

KESIMPULAN DAN PENUTUP
Bahwa Hukum dan penegakannya saat ini masih menciptakan legal Gaps dalam masyarakat
karena, pertama belum tersentuhnya nilai moral dan keadilan pada elit Politik dalam membuat
peraturan dan Penyelenggara Negara didalam menegakan Hukum yang seharusnya memasukan
unsur nilai-nilai hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat didalam melegalisasi
hukum sebagai Undang-undang. Sehingga hukum belum tercipta dan berfungsi sebagai norma
yang mampu mencapai tujuan bersama masyarakat secara keseluruhan terutama pada lapisan
masyarakat dari kalangan bawah yang masih merasakan betapa mahalnya harga sebuah
keadilan.

Masyarakat masih merasakan ketidakpuasan atas hukum yang dikeluarkan oleh

Negara ini sebagai suatu produk komoditi politik.
Kedua, peraturan yang diciptakan belum mampu menciptakan hukum sebagai instrumen untuk
membangun struktur kehidupan yang efisien, dan membentuk sebuah institusi yang baik serta
25

Jimly Asshidiqie, Konsepsi Nilai Demokratis, Kebersamaan Dan Ketaatan Hukum Dalam Meningkatkan
Pemahaman Nilai-Nilai Konstitusi, dalam http://jimlyschool.com/read/analisis/261/konsepsi-nilai-demokratiskebersamaan-dan-ketaatan-hukum-dalam-meningkatkan-pemahaman-nilainilai-konstitusi/, akses 21 November 2012
26

Ahmad zaenal Fanani, Makalah “legal gaps: problem mendasar penegakan hukum di Indonesia” , Hlm 9, dalam
http://badilag.net, Akses 21 Oktober 2012

14

bersih dari campur tangan politik dan kepentingan manapun. Termasuk didalamnya adalah
unsure penegak hukum dan penyelenggara Negara yang belum dapat bersikap fair dan objektif
didalam penegakan hukumnya. Dalam artian, hukum yang diciptakan tersebut belum dapat
dijadikan alat untuk membersihkan dan menetralisir para penegak hukum dari seluruh institusi
yang terkait didalam menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum dari kepentingan tertentu
dan budaya “ sinten dan pinten”( dalam lingkup Peradilan).
Ketiga, Hukum yang berlaku belum dapat mengakomodir harapan dan cita-cita masyarakat
menuju masyarakat yang sejahtera, aman dan bebas dari ketakutan dari apapun juga termasuk
didalamnya atas proses penegakan hukum yang berlaku, seperti yang dikemukakan oleh Nonet
& Selznick, dalam Law and Society in Transition: Toward Responsive Law tiga keadaan dasar
hukum didalam masyarakat yang salah satunya adalah hukum responsif, yaitu hukum sebagai
suatu sarana respon terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi-aspirasi masyarakat.
Apabila masyarakat sudah dapat merasakan bahwa hukum sudah mencapai tujuan bersama
yaitu keselarasan antara Tujuan hukum dengan harapan dan cita-cita masyarakat, maka hukum
berarti sudah dikatakan efektif sebagai norma yang memuat aspiratif rakyat Indonesia. Sehingga
rakyat didalam menjalankan interaksi didalam kehidupan bernegara yang dibatasi oleh hukum
akan muncul kemauan untuk mentaati hukum secara sukarela. Bahkan boleh jadi masyarakat
pun nantinya akan dapat ikut mengawasi tegaknya peraturan yang memang diberlakukan untuk
mengatur kehidupan mereka yang memang dibutuhkan demi terwujudnya rasa aman, nyaman,
sejahtera dan merasakan hukum yang benar-benar berkeadilan.

15

DAFTAR PUSTAKA
1. Soetandyo Wingnjosoebroto, Hukum Dalam Masyarakat: Perkembangan dan Masalah,
Malang, Bayumedia, 2008
2. Ade Maman Suherman, “Pengantar Perbandingan Sistem Hukum,” Jakarta, Raja Grafindo
Persada, 2004
3. Harun Hadiwijoyo, “Seri Sejarah Filsafat Barat 2,” Yogyakarta, Kanisius, 1980
4. Mochamad Soef, Sosiologi hukum atas perkembangan sosial-politik, Diunduh di
https://soef47.wordpress.com/tag/sosiologi-hukum/24 Januari 2013
5. Jawahir Thontowi, “ kekerasan dan ketidakadilan structural dalam masa supremasi
Hukum di Indonesia” makalah yang disampaikan dalam kuliah sosiologi hukum ,pasca
sarjana Magister Hukum Universitas Islam Indonesia
16

6. Moh.Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta, PT.Rajagrafindo Persada, 2011,
cetakan ke-4
7. Ahmad zaenal Fanani, Makalah “legal gaps: problem mendasar penegakan hukum di
Indonesia” , dalam http://badilag.net, Akses 21 Oktober 2012
8. Bunga Rampai ; Dialektika Pembaruan Sistem Hukum Indonesia Diterbitkan oleh
Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial Republik Indonesia Cetakan Pertama, Juli 2012
9. Moh.Mahfud MD, “Hukum, Moral Dan Politik” , Makalah disampaikan di Materi stadium
generale untuk matrikulasi Program Doktor, Bidang Ilmu Hukum di Universitas
Diponegoro, Semarang, Tanggal 23 Agustus 2008
10. Jawahir Thontowi, “ Presiden, Kejahatan Luar biasa dan hukuman Mati “, Makalah yang
disampaikan dalam Perkuliahan Sosiologi Hukum, Program Pasca Sarjana Magister
Hukum Universitas Islam Indonesia
11. Frans Hendra Winarta, Pro Bono Pro Justico & Pro Poor, Diunduh dari
http://www.cercsindonesia.org/index.php?p=detilberita&id=47, 24 Januari 2013

12. Moh. Mahfud MD., Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia. Gama Media :
Yogyakarta, 1999
13. Moh. Mahfud MD, 1993,”Perkembangan Politik : Studi tentang Pengaruh Konfigurasi
Politik terhadap Produk Hukum di Indonesia” (Disertasi Doktor), Yogyakarta: Universitas
Gadjah Mada
14. Ida Bagus Radendra Suastama, dalam Makalah: “ASAS HUKUM PUTUSAN MAHKAMAH
KONSTITUSI TENTANG UNDANG-UNDANG MIGAS DAN KETENAGALISTRIKAN ”, dimuat
dalam Mimbar Hukum Volume 24 nomor 2 tahun 2012
15. Kompas, 12/9/2006
16. karya tulis Soehardjo SS, yang berjudul “Kekuasaan Kehakiman dan Sistem
PeradilanBerdasarkan UUD 1945,Suatu Analisis Atas Memorandum IKAHI II,Tanggal 23
Oktober 1996
17. Jimly Asshidiqie, Konsepsi Nilai Demokratis, Kebersamaan Dan Ketaatan Hukum Dalam
Meningkatkan
Pemahaman
Nilai-Nilai
Konstitusi,
dalam
http://jimlyschool.com/read/analisis/261/konsepsi-nilai-demokratis-kebersamaan-danketaatan-hukum-dalam-meningkatkan-pemahaman-nilainilai-konstitusi/,
akses
21
November 2012
17

18