EVALUASI IMPLEMENTASI PENERBITAN IZIN ME

AAPA-2016 international conference
EVALUASI IMPLEMENTASI PENERBITAN IZIN MENDIRIKAN
BANGUNAN (IMB) OLEH DINAS TATA RUANG TATA BANGUNAN DAN
PERUMAHAN KOTA PADANG

Cherry Amelia, Abyandi, Hafiza Khairina
Universitas Andalas
Cherryamelia19@gmail.com, Abyandi04@gmail.com,
ABSTRAK
Izin mendirikan bangunan adalah salah satu bentuk kontrol terhadap bangunan yang
ada di kota Padang. Namun sejauh ini masih banyak ditemukan penyimpangan bangunan.
Banyak ditemukan bangunan yang tidak memiliki izin, panjangnya alur pengurusan izin serta
proses penerbitan izin mendirikan bangunan yang cukup lama menyebabkan masyarakat
tidak mengurus izin bangunan yang mereka miliki. Adanya kebijakan untuk memiliki izin
mendirikan bangunan oleh setiap pemilik bangunan dimulai sejak tahun 1990. Izin
mendirikan bangunan diterbitkan oleh dinas perizinan dan pengawasan pembangunan
perkotaan hingga tahun 2008. Dari tahun 2008 hingga sekarang kewenangan mengurus izin
mendirikan bangunan tersebut menjadi tanggungjawab Dinas Tata Ruang, Tata Bangunan dan
Perumahan Kota Padang. Teori yang digunakan adalah teori implementasi yang dikemukakan
oleh Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier yang terdiri dari tiga variabel: 1) Karakteristik
masalah, 2) karakteristik kebijakan dan variabel lingkungan. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa penyebab ketidakteraturan tata bangunan di Kota Padang disebabkan
bangunan-bangunan yang telah lama berdiri namun tidak memiliki IMB. Sedangkan Dinas
Tata Ruang Tata Bangunan dan Perumahan tidak memiliki tugas untuk menindaklanjuti
bangunan yang telah lama berdiri dan tidak memiliki IMB. Selain itu, pola pikir yang sempit
dan tingkat pendidikan yang rendah mempengaruhi kemauan masyarakat dalam mengurus
IMB. Hal ini membuat Implementasi IMB dalam menata Kota Padang terkendala, karena
bangunan yang telah lama berdiri namun tidak memiliki IMB tidak terdeteksi. untuk
mengatasi hal tersebut perlu dilakukannya perbaikan peraturan untuk menyempurnakan
kekurangan pada implementasi sebelumnya.
Kata Kunci : Evaluasi Implementasi, Izin Mendirikan Bangunan
Latar Belakang
Rencana tata ruang kota merupakan kebijakan yang mempunyai dasar hukum yang kuat
dan sangat mengikat berupa peraturan daerah sehingga setiap masyarakat harus mematuhi
dan melaksanakan dalam seluruh komponen pembangunan. Salah satu cara untuk
mengurangi penyimpangan tersebut adalah pengendalian tata ruang kota dengan memberikan
Izin Mendirikan Bangunan (IMB) kepada masyarakat sebagai suatu proses perizinan
selanjutnya dalam hal tata ruang kota. Oleh sebab itu, pemerintah Kota Padang
mengharuskan setiap bangunan mempunyai izin bangunan agar terciptanya Tata Ruang Kota
1


AAPA-2016 international conference
yang tertib, teratur, dan seimbang serta tata letak bangunan yang rapi, indah, nyaman dan asri
di Kota Padang.
Dalam kebijakan penerbitan IMB, terdapat beberapa kebijakan yang mengatur
prosedur dalam menerbitkan IMB, kebijakan itu diantaranya adalah Perwako Padang Nomor
13 tahun 2011 tentang Retribusi perizinan Tertentu, didalam Perwako tersebut terdapat
retribusi izin mendirikan bangunan yang dipungut atas pemberian izin mendirikan bangunan,
didalamnya dijelaskan bagaimana penetapan tarif retribusi untuk setiap bangunan yang akan
diterbitkan izinnya, dan yang terakhir adalah lembaran derah nomor 6 tahun 1990 tentang tata
bangunan, didalam lembaran daerah tersebut dijelaskan secara jelas bagaimana mekanisme
penerbitan IMB mulai dari permohonan hingga penerbitan IMB, selain itu juga diatur
pemberian sanksi terhadap bangunan yang tidak sesuai atau tidak memiliki IMB. Dalam hal
ini, lembaran daerah merupakan bentuk perda yang dikeluarkan oleh kepala daerah. Peraturan
tersebut masih bernama lembaran daerah karena diperuntukkan untuk Kotamadya Daerah
Tingkat II Padang.
IMB muncul pada tanggal 25 Agustus 1949, kemudian pada tahun 1960 IMB menjadi
kewenangan Dinas Pekerjaan Umum, pada tahun 2000 Dinas tata kota dan dinas perijinan
bergabung dan IMB menjadi kewenangan Dinas Ini, sehingga yang mengeluarkan IMB
adalah Dinas Perizinan dan Pengawasan Pembangunan Kota (DP3K). Namun setelah adanya
pembentukan organisasi dan tata kerja dinas daerah didalam perda Kota Padang Nomor 16

tahun 2008 yang di revisi menjadi perda Nomor 14 tahun 2012, maka IMB menjadi
tanggungjawab Dinas Tata Ruang, Tata Bangunan dan Perumahan Kota Padang.
Tata ruang Kota Padang dinilai menyimpang dari rencana tata ruang jangka panjang
yang telah diletakkan pendahulunya. Banyak hal terkait penataan kota yang tidak menjadi
perhatian lagi. Banyak rumah–rumah yang tidak teratur dan tidak teratur seiring dengan
pertumbuhan penduduk di Kota Padang.1 Pemicu ketidakteraturan Tata Kota Padang tersebut
salah satunya disebabkan karena penerbitan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Kondisi
ketidakteraturan Kota Padang yang dikelola oleh Dinas Tata Ruang Tata Bangunan dan
Perumahan Kota Padang seharusnya dapat diatasi melalui penerbitan IMB, karena IMB yang
dikeluarkan oleh DTRTBP seharusnya merujuk kepada semua kebijakan yang terkait dengan
IMB. Jika penerbitan IMB dilakukan sesuai dengan ketentuan, dan masyarakatpun mampu

1

Padang Media. Tata Ruang Kota Padang Berserakan. (http://www.padangmedia.com : 2013 ) diakses tanggal
18 februari 2014.

2

AAPA-2016 international conference

mematuhi kebijakan pemerintah terkait IMB, maka akan tercipta tata ruang Kota Padang
yang baik.
Pentingnya penelitian ini dilakukan mengingat kajian peneliti mengenai kebijakan
publik khususnya perlu memperhatikan setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah,
apakah kebijakan itu layak ataupun membutuhkan revisi demi mencapai tujuan yang ingin
dicapai dan sebagainya. Pentingnya Evaluasi implementasi penerbitan IMB dilakukan agar
tujuan pembangunan Kota Padang dapat terwujud menjadikan tata kota yang nyaman, teratur
dan seimbang.
Dengan demikian, dari berbagai gejala atau fenomena yang telah dipaparkan diatas,
peneliti pun tertarik untuk membahas tentang Evaluasi Implementasi Penerbitan Izin
Mendirikan Bangunan (IMB) Yang Dilakukan Oleh DinaS Tata Ruang Tata Bangunan
dan Perumahan Kota Padang. Peneliti ingin melihat bagaimana proses penerbitan IMB
serta kendala yang dihadapi hingga dampak yang ditimbulkan.
BODY
Menurut Mazmanian dan Sabatier dalam Solichin Abdul Wahab, yaitu mempelajari
masalah implementasi kebijakan berarti berusaha untuk memahami apa yang senyatanya
terjadi sesudah suatu program diberlakukan atau dirumuskan. Yakni peristiwa-peristiwa dan
kegiatan-kegiatan yang terjadi setelah proses pengesahan kebijakan baik yang menyangkut
usaha-usaha untuk mengadministrasi maupun usaha untuk memberikan dampak tertentu pada
masyarakat. Hal ini tidak saja mempengaruhi perilaku lembaga-lembaga yang bertanggung

jawab atas sasaran (target grup) tetapi juga memperhatikan berbagai kekuatan politik,
ekonomi, sosial yang berpengaruh pada impelementasi kebijakan Negara.
Mazmanian menjelaskan bahwa terdapat 3 variabel faktor yang mempengaruhi
keberhasilan implementasi pada pendekatan Mazmanian dan Sabatier, diantaranya adalah :
(1) Karakteristik Dari masalah ( Tractability of the problems), (2) Karakteristik kebijakan
(Ability of statute to structure implementation), (3) Variabel lingkungan (nonstatutory
variables affecting implementation).
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan tipe penelitian deskriptif. Teknik
pengumpulan data yang peneliti lakukan adalah dengan wawancara dan dokumentasi. Teknik
pemilihan informan yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling.
Untuk mendeskripsikan evaluasi implementasi penerbitan izin mendirikan bangunan (IMB)
oleh Dinas Tata Ruang Tata Bangunan dan Perumahan Kota Padang, maka informan yang
3

AAPA-2016 international conference
dipilih adalah informan yang berkaitan langsung dengan implementasi program tersebut,
dalam hal ini adalah Dinas Tata Ruang Tata Bangunan dan Perumahan Kota Padang. Data
yang ditemukan di lapangan peneliti analisis dengan menggunakan model implementasi
Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier.
Dengan menggunakan Teori implementasi yang dikemukakan Mazmanian dan Sabatier,

maka dapat dilihat bagaimana Evaluasi Implementasi Penerbitan Izin Mendirikan Bangunan
oleh Dinas Tata Ruang, Tata Bangunan Dan Perumahan Kota Padang. Selain itu juga akan
ditemukan faktor dan kendala yang selama ini mengakibatkan Kota Padang dianggap belum
teratur dan seimbang. Berikut adalah penjelasan dari masing-masing indikator dan kaitannya
dengan Evaluasi Implementasi penerbitan Izin mendirikan bangunan (IMB) oleh Dinas Tata
Ruang, Bangunan dan Perumahan Kota Padang.
1

Mudah atau Tidaknya Masalah Dikendalikan (Tractability of the Problem (s)
Addressed by a Statute)
Kesulitan dalam implementasi kebijakan adalah munculnya beberapa permasalahan.

Hal ini berkaitan dengan karakteristik dari masalah yang ditangani yang membuat mudah
atau tidaknya masalah dikendalikan, sehingga menurut Mazmanian dan Sabatier harus
terdapat pemahaman kejelasan dari aspek masalah teknikal, perilaku yang akan diatur tidak
terlalu bervariasi, hanya melibatkan sekelompok kecil masyarakat, dan lingkup perubahan
perilaku yang dikehendaki dari kelompok sasaran relatif kecil. Aspek-aspek berikut akan
mempengaruhi badan pelaksana dalam implementasi penerbitan IMB oleh Dinas Tata Ruang
Tatat Bangunan dan Perumahan Kota Padang


untuk pencapaian tujuan yang secara

konseptual dijelaskan pada variabel mudah atau tidaknya masalah dikendalikan.
1.1

Kesulitan Teknis
Mazmanian dan Sabatier menjelaskan kesulitan teknis merupakan kesulitan mengukur

perubahan keseriusan masalah yaitu berhubungan dengan sifat masalah yang ditangani.Dalam
hal ini dilihat bagaimana permasalahan yang terjadi, apakah termasuk permasalahan sosial
yang secara teknis mudah diselesaikan atau masuk kategori masalah sosial yang secara teknis
sulit untuk dipecahkan. Sifat masalah yang ditangani kebijakan akan mempengaruhi mudah
atau tidaknya kebijakan untuk diimplementasikan. Permasalahan yang ditangani melalui
Penerbitan IMB dalam merubah perilaku kelompok sasaran yakninya masyarakat, dianggap
cukup sulit untuk diimplementasikan karena kebijakan ini bertujuan untuk menciptakan tata
ruang yang teratur dan seimbang yang harus didukung oleh setiap bagian dari sebuah kota.
Bagian yang dimaksud tentunya tidak hanya dititikberatkan kepada masyarakat, namun
4

AAPA-2016 international conference

melibatkan setiap aspek yang ada dalam lingkungan sebuah kota, termasuk pemerintah
sebagai pembuat kebijakan, serta dinas sebagai implementor yakninya DTRTBP Kota
Padang.
Dalam penelitian yang peneliti lakukan, ditemukan bahwa ternyata cakupan dari
kebijakan IMB ini hampir seluruh masyarakat Kota Padang, masyarakat yang dimaksud
tentunya masyarakat yang memiliki bangunan.
DTRTBP mengetahui sebuah bangunan yang tidak memiliki IMB melalui pemantauan
secara langsung, terhadap bangunan-bangunan baru dan bangunan dalam proses
pembangunan, mereka melihat Plang IMB yang dipasang atau dengan menanyakan langsung
kepada pemilik bangunan terkait IMB bangunan tersebut. Bangunan yang tidak memiliki
IMB akan sangan merugikan si Pemilik bangunan, jika bangunan mereka terkena proyek
pemerintah dan mereka tidak memiliki IMB, itu berarti mereka harus merelakan bangunannya
untuk dirobohkan, hal ini hanya terjadi jika bangunan tersebut tidak memiliki IMB,
sedangkan jika bangunan tersebut memiliki IMB tentunya mereka akan mendapatkan ganti
rugi atas bangunan tersebut, karena mereka telah memiliki IMB bangunan tersebut
DTRTBP sendiri cukup kesulitan dalam menertibkan pembangunan di Kota Padang,
apalagi dengan budaya masyarakat kita yang tidak mau mematuhi aturan yang sifatnya
retribusi dan pungutan lainnya. Hal ini hendaknya mampu menjadi sebuah kajian bagi
pembuat kebijakan, pertimbangan ini mampu hendaknya membuat pemerintah lebih
meningkatkan lagi tingkat kepatuhan masyarakat terhadap kebijakan yang dimilikinya

dengan melakukan pendekatan kemasyarakat.
Menurut peneliti, tingkat kesulitan teknis masalah dapat diketahui melalui kriteria
berikut:
1.

Luasnya cakupan kebijakan, jika kebijakan tersebut untuk banyak orang, biasanya
permasalahan teknisnya cukup sulit. Hal ini dapat diketahui dari jumlah masyarakat

Kota Padang yang menjadi sasaran dari kebijakan IMB
2.
Perbedaan tingakat sosial masyarakat, hal ini dapat dilihat melalui pendidikan
3.

masyarakat, karena yang membedakan mereka adalah pola pikir masyarakat itu sendir
Perbedaan ekonomi, hal ini menjadi salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
kesulitan teknis sebuah masalah, karena kebijakan terkait IMB memungut retribusi
yang menyebabkan faktor ekonomi menjadi pertimbangan kesulitan masalah yang
dihadapi.

5


AAPA-2016 international conference
Jadi dapat disimpulkan bahwa kesulitan teknis masalah dalam Implementasi kebijakan
IMB adalah merubah pola pikir masyarakat dalam mematuhi aturan atau kebijakan yang telah
ditetapkan pemerintah, hal ini terjadi karena kecendrungan masyarakat yang tidak mau
dirugikan dengan adanya retribusi IMB, padahal tanpa mereka sadari kedepannya kerugian
yang akan mereka alami jauh lebih tinggi jika mereka tetap bersikeras tidak mengurus IMB.
Menurut mazmanian dan sabatier kesulitan teknis merupakan kesulitan mengukur
perubahan

keseriusan

masalah

yaitu

berhubungan

dengan


sifat

masalah

yang

ditangani.Dalam hal ini kita melihat pada kasus IMB, bagaimana permasalahan yang terjadi,
apakah termasuk permasalahan sosial yang secara teknis mudah diselesaikan atau masuk
kategori masalah sosial yang secara teknis sulit untuk dipecahkan. Dan yang peneliti temukan
adalah, IMB merupakan permasalahan sosial yang secara teknis sulit diselesaikan, hal ini
dikarenakan IMB melibatkan seluruh sektor masyarakat yang ada di Kota Padang yang
memiliki setiap bangunan, artinya hampir seluruh dari populasi masyarakat menjadi sasaran
kebijakan.
1.2

Keragaman Perilaku Kelompok Sasaran
Keragaman kelompok sasaran implementasi

Kebijakan

IMB

di

Kota

Padangmenyangkut kondisi sosial maupun ekonomi masyarakat yang ada memiliki
pemahaman yang relatif berbeda terhadap kebijakan. Keragaman dilihat dari variasi perilaku
individu yang mengurus IMB.
Peneliti melihat faktor sosial dan ekonomi menyebabkan masyarakat memiliki perilaku
yang berbeda dalam menyikapi kebijakan IMB, hal ini dikarenakan biaya retribusi untuk
menerbitkan IMB cukup menjadi pertimbangan bagi masyarakat menengah kebawah, karena
mereka memiliki penghasilan yang hanya cukup untuk kehidupan sehari-hari.
keragaman tingkat ekonomi masyarakat sangat berpengaruh terhadap kesaran
masyarakat dalam mengurus IMB. Sebagian masyarakat ada yang sadar akan pentingnya
IMB nahkan tidak enggan dalam merubah IMB saat membangun, padahal jika dilihat lebih
jauh, selama sebuah bangunan bediri dengan IMB itu tidak akan menimbulkan masalah yang
cukup besar nantinya, namun jika mereka paham dan mengerti akan pentingnya ketertiban
dan kenyamanan maka kesadaran untuk memperbaiki IMB akan muncul sendirinya. Hal ini
hendaknya menjadi pertimbangan pemerintah saat nantinya dilakukan evaluasi kebijakan,
sehingga IMB tidak hanya akan menata kota dengan baik namun juga mampu
mempertimbangkan kebutuhan dan kemampuan masyarakat.

6

AAPA-2016 international conference
Sesuai dengan teori yang diungkapkan Mazmanian dan Sabatier, semakin banyak
keragaman perilaku yang diatur semakin sulit membuat aturan yang jelas, dengan demikian
lebih sulit membuat aturan yang jelas dan menjadi semakin kecil kemungkinan tujuan
kebijakan akan tercapai. Hal itu berarti bahwa keberagaman perilaku kelompok akan
memiliki pengaruh yang besar dalam pelaksanaan sebuah kebijakan. Kelompok sasaran dari
kebijakan ini hampir seluruh masyarakat Kota Padang, itu artinya keberagaman perilaku
kelompok sangat bervariasi, dimulai dari perbedaan pola pikir masyarakat, perbedaan satus
sosial ekonomi, hingga perbedaan tingkah laku masyarakat, dan hal ini menyebabkan tujuan
kebijakan sulit untuk dicapai. Buktinya sampai saat ini permasalahan tata kota tidak pernah
berhenti bermunculan, mulai dari bangunan yang tidak memiliki IMB yang dapat diketahui
dari jumlah panggilan yang dikeluarkan DTRTBP, bangunan yang digusur yang berada di
tepian jalan yang mengganggu pelebaran jalan seperti rumah disepanjang jalur 2 bypass,
hingga masyarakat yang mendemo pemerintah dikarenakan bangunannya digusur namun
tidak mendapatkan ganti rugi. Hal tersebut dapat dilihat melalui data berikut:
1.3

Proporsi Kelompok Sasaran Terhadap Total Populasi
Proporsi kelompok sasaran terhadap total populasi Dalam artian bahwa suatu program

atau kebijakan akan lebih mudah diimplementasikan ketika sasarannya hanyalah sekelompok
orang tertentu atau hanya sebagian kecil dari semua populasi yang ada ketimbang kelompok
sasarannya menyangkut seluruh populasi itu sendiri. kelompok sasaran merupakan
Masyarakat yang mengurus IMB di Kota Padang. Persentase dinilai dengan membandingkan
jumlah kelompok sasaran dengan jumlah populasi.
Temuan dilapangan adalah DTRTBP tidak menentukan target grup dari IMB,
masyarakat yang mengurus IMB tidak mereka targetkan, hanya saja mereka memiliki target
retribusi IMB yang harus dicapai setiap tahunnya. Yang peneliti lihat dengan adanya target
anggaran yang harus mereka capai dalam menerbitkan IMB menyebabkan staf yang bekerja
akan lebih terfokus kepada pencapaian target anggaran yang diperoleh dari IMB dan
mengabaikan tujian dari kebijakan IMB itu sendiri, meskipun uang yang mereka peroleh dari
penerbitan IMB bukan uang milik mereka dan menjadi pendapatan asli daerah.
Seperti yang diungkapkan oleh mazmanian, semakin besar proporsi kelompok sasaran
maka semakin sulit pula sebuah kebijakan diimplementasikan. Begitu juga dengan IMB,
karena dengan jumlah masyarakat Kota Padang yang banyak, menyebabkan kebijakan IMB
sulit umtuk diimplementasikan. Meskipun pada temuan peneliti dilapangan bahwa beberapa
tahun terakhir realisasi dari retribusi IMB selalu melebihi target. Namun masih banyak
7

AAPA-2016 international conference
ditemukan bangunan yang tidak memiliki IMB dilapangan. Seharusnya, salah satu langkah
dalam menciptakan keteraturan kota adalah dengan menemukan kekurangan yang terjadi
pada implementasi kebijakan IMB yang sebelumnya sebagai perbaikan dimasa mendatang.
Setelah dinas tidak mampu mendata masyarakat yang memiliki bangunan yang telah berdiri
sebelumnya, baik itu bangunan yang baru maupun bangunan lama, hendaknya ada perbaikan
atau evaluasi pada tahapan tersebut, sehingga bangunan yang tidak memiliki IMB tidak lagi
menjadi permasalahan yang perlu di jadikan faktor penyebab ketidak teraturan kota.
1.4

Cakupan Perubahan Perilaku Yang Diharapkan
Cakupan perubahan perilaku yang diharapkan menyangkut bagaimana perubahan

perilaku dari kelompok sasaran yang diharapkan dengan program yang ada. Sebuah kebijakan
atau program akan lebih mudah diimplementasikan ketika program tersebut lebih bersifat
kognitif dan memberikan pengetahuan. Sementara itu, program yang bersifat merubah sikap
atau perilaku masyarakat cenderung cukup sulit untuk diimplementasikan seperti halnya
mengurus Izin Mendirikan Bangunan ini. Peneliti melihat indikator ini melalui beberapa hasil
dari wawancara dengan staf DTRTBP.
Cakupan perubahan perilaku yang diharapkan menyangkut bagaimana perubahan
perilaku dari kelompok sasaran dari kebijakan IMB adalah Patuhnya masyarakat dengan
kebijakan IMB agar Kota Padang dapat lebih tertata lagi, dan tidak ada lagi masalah-masalah
yang muncul serta timbulnya kerusuhan yang disebabkan penolakan masyarakat untuk
dipindahkan karena bangunannya terkena pelebaran jalan dan tidak mendapat ganti rugi.
Selain itu dari data yang telah peneliti jabarkan di latar belakang terkait jumlah panggilan
terhadap masyarakat yang tidak memiliki IMB dapat disimpulkan bahwa perubahan perilaku
dan pola pikir masyarakat dalam mengurus IMB masih kecil, bukti lebih jelasnya dapat
dilihat juga dari jumlah masyarakat yang mengurus IMB pada tahun 2014 yakninya sebanyak
869 orang. Sedangkan menurut Mazmanian dan Sabatier untuk persyaratan meluasnya
perubahan perilaku atau permasalahan akan lebih dapat dikendalikan bila tingkat dan ruang
lingkup perubahan perilaku sederhana. Akhirnya berdasarkan perubahan perilaku yang
diinginkan, disimpulkan bahwa tingkat dan ruang lingkup perubahan perilaku yang
diinginkan cukup besar maka akan sulit dalam pencapaian hasil yang diharapkan
dalamKebijakan IMB.

8

AAPA-2016 international conference
2

Kemampuan Kebijakan Menstrukturkan Proses Implementasi (Ability of Statute to
Structure Implementation)
Pada prinsipnya, kerangka kebijakan dirancang untuk menstruktur proses implementasi

dalam menangani masalah dan pencapaian tujuan. Mazmanian dan Sabatier mengatakan
bahwa dalam menstruktur proses implementasi maka dijabarkan tujuan kebijakan, badanbadan implementasi yang memenuhi persyaratan kebijakan, kewenangan, sumber daya
finansial dan memberikan partisipasi bagi pihak diluar badan pelaksana untuk berpartisipasi.
Berikut kemampuan kebijakan yaitu Penerbitan IMB oleh Dinas Tatat Ruang Tata Bangunan
dan Perumahan Kota Padang dalam menstrukturkan proses implementasi kebijakan:
2.1

Kejelasan Isi Kebijakan
Dalam penelitian ini, kejelasan dan konsistensi isi kebijakan dilihat dari tujuan

kebijakan Penerbitan IMB dalam menciptakan tata ruang kota yang baik. Tujuan yang
diharapkan

dalam

kebijakan

tersebut

jelas

sehingga

implementor

paham

dalam

pengimplementasikan kebijakan tersebut dan tidak terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan
kebijakan.
Kebijakan yang mengatur Penerbitan IMB tidak hanya satu, dalam menerbitkan IMB
harus mempertimbangkan Perwako Padang Nomor 13 tahun 2011 tentang Retribusi perizinan
Tertentu, didalam Perwako tersebut terdapat retribusi izin mendirikan bangunan yang
dipungut atas pemberian izin mendirikan bangunan, didalamnya dijelaskan bagaimana
penetapan tarif retribusi untuk setiap bangunan yang akan diterbitkan izinnya. Dan yang
terakhir adalah lembaran derah nomor 6 tahun 1990 tentang tata bangunan, didalam lembaran
daerah tersebut dijelakan secara jelas bagaimana mekanisme penerbitan IMB mulai dari
permohonan hingga penerbitan IMB, selain itu juga diatur pemberian sanksi terhadap
bangunan yang tidak sesuai atau tidak memiliki IMB.
Peneliti melihat kebijakan ini sudah cukup jelas membantu implementor dalam
menerbitkan IMB karena dengan mengikuti ke 3 kebijakan tersebut IMB yang dikeluarkan
tidak akan merusak rencana tata ruang wilayah Kota Padang. Hanya saja, permasalahan yang
peneliti lihat adalah, kebijakan terkait tata bangunan yang tercantum dalam lembaran derah
nomor 6 tahun 1990 tentang tata bangunan sudah terlalu lama, hingga saat ini belum ada
revisi terhadap kebijakan tersebut, padalal sebagian besar aturan terkait IMB ada didalam
kebijakan tersebut. Dalam lembaran daerah tersebut, aktor pelaksana dari penerbitan IMB
masih Dinas Perizinan dan Pengawasan Pembangunan Kota (DP3K), meskipun telah terjadi

9

AAPA-2016 international conference
perubahan SKPD dan dibentuknya DTRTBP melalui perda 16 tahun 2008 tentang
pembentukan organisasi Dinas daerah Kota Padang.
Kebijakan terkait IMB digunakan sekitar 25 tahun tanpa revisi, padahal selama 25
tahun telah banyak merubah tata ruang Kota Padang, salah satunya adalah gempa yang
melanda Kota Padang tahun 2009 yang mengancam keberadaan penduduk pesisir pantai
dengan adanya prediksi Tsunami yang akan terjadi dalam waktu yang tidak dapat
diperkirakan, dengan

demikian, pola ruang kota akan berubah untuk menghindari

kemungkinan kerusakan besar yang disebabkan oleh bencana tersebut. Kejelasan kebijakan
diperlukan karena menurut Mazmanian dan Sabatier berguna untuk memberikan bantuan
dalam evaluasi kebijakan, arahan bagi pejabat pelaksana dari keambiguan, dan sumber daya
untuk mendukung tujuan kebijakan. Disimpulkan bahwa Kebijakan IMBkurang mampu
mampu memberikan urutan instruksi yang tepat dan jelas kepada pejabat pelaksana dengan
kebijakan yang mengatur tentang tata Bangunan diikerenakan proses yang panjang dan rumit
dengan waktu yang singkat.
2.2

Digunakan Teori Kausal yang Memadai
Dalam kebijakan IMB, urgensinya adalah mencapai tata kota yang teratur dan

seimbang, terkait dengan indikator ini peneliti ingin melihat bagaimana kebijakan IMB
memiliki

suatu

kausalitas

dalam

menata

kota

agar

mencapai

keteraturan

dan

keseimbanganserta tersedianya penjelasan empiris ataupun paling tidak dukungan teoritis
bahwa kebijakan IMB dapat menstruktur tercapainya tujuan yang diinginkan.
DTRTBP tidak memiliki pedoman khusus yang mampu menstrukturkan kebijakan IMB
dalam mencapai tujuan dari kebijakan tersebut. Para Implementor yang berperan dalam
memproses hingga terbitnya sebuah IMB memang berharap adanya pedoman khusus,
setidaknya juklak dan juknis dalam menerbitkan IMB agar ketercapaian tujuan kebikajan
sendiri dapat terstrukur dan lebih jelas.
Sebagaimana menurut Mazmanian dan Sabatier suatu kebijakan hendaknya memuat
suatu teori kausal yang mampu menjelaskan usaha pencapaian tujuan melalui implementasi
kebijakan. Dalam pembahasan ditemukan bahwa dalam implementasi kebijakan IMB belum
memiliki teori kausal yang memadai untuk pencapaian tujuan dan perubahan-perubahan yang
dikehendaki karena belum memberikan kecukupan teori kausal dari sisi teoritis yaitu strategi
dan pendekatan yang telah mampu memuat usaha-usaha pembaharuan dalam menstrukturkan
kebijakan IMB dalam mencapai tujuan kebijakan tersebut

menata kota. Dan temuan

dilapangan disimpulkan bahwa DTRTBP tidak memiliki pedoman khusus yang mampu
10

AAPA-2016 international conference
menstrukturkan kebijakan IMB dalam mencapai tujuan dari kebijakan tersebut. Para
Implementor yang berperan dalam memproses hingga terbitnya sebuah IMB juga merasa
kewalahan dengan proses penerbitan IMB tanpa adanya petunujuk atau pedoman khusus
yang menstrukturkan kebijakan IMB dalam mencapai tujuan kebijakan tersebut.
2.3

Besarnya alokasi sumberdaya finansial terhadap kebijakan tersebut
Apakah dana yang tersedia dalam implementasi kebijakan Penerbitan IMB telah

disertai dengan pengalokasian sumber daya yang cukup atau tidak. Selain itu indikator ini
dapat dilihat dari sumber dana yang dialokasikan. Dengan demikian ketersediaan alokasi
sumberdaya finansial diharapkan dapat mendukung dalam pencapaian dari implementasi
kebijakan penerbitan IMB.
Sejauh ini kendala dalam hal sumberdaya finansial dalam menerbitkan IMB tidak ada,
hal tersebut telah dipaparkan sendiri oleh beberapa staf di DTRTBP. Untuk lingkungan
implementor, mereka tidak memiliki kekurangan dana dalam mengimplementasikan
kebijakan IMB, namun untuk lingkungan masyarakat, faktor ekonomi sangat berpengaruh
terhadap proses terbitnya IMB, hal ini dikarenakan IMB dipungut biaya retribusi atas
bangunan yang mereka bangun.
Sedangkan Mazmanian dan Sabatier menjelaskan, tersedianya dana pada ambang batas
diperlukan agar terbuka peluang untuk keberlangsungan pencapaian tujuan dan tersedianya
dana di atas ambang batas akan sebanding dengan peluang pencapaian tujuan. Tidak
memadainya dana pada tingkat ambang batas akan menyebabkan kesulitan dalam
implementasi program. Dan hasil temuan dilapangan menunjukkan bahwa ketersediaan dana
di DTRTBP dalam mengeluarkan IMB tidak memiliki kendala, sedangkan permasalahan
yang menimbulkan kesulitan dalam implementasi kebijakan IMB ada pada masyarakat yang
dikenai retribusi atas bangunannya.
2.4

Keterpaduan Hierarki Di Dalam Dan Diantara Badan Pelaksana
Ciri penting yang perlu dimiliki kebijakan yang baik menurut Mazmanian dan Sabatier

adalah memiliki kemampuan untuk memadukan hirarki badan-badan pelaksana karena
kendala utama dalam implementasi kebijakan adalah kesulitan mendapatkan tindakan yang
terkoordinir. Keterpaduan diperlukan agar mendukung kesamaan arah dan tindakan badan
pelaksana dalam implementasi kebijakan. Badan pelaksana yang bertanggung jawab dalam
implementasi Kebijakan IMB adalah DTRTBP (Dinas Tata Ruang Tata Bangunan dan
Perumahan) Kota Padang sebagai implementor. Peneliti menemukan bahwa ternyata satpol
PP tidak berkoordinasi langsung dengan DTRTBP, mereka memang bekerja sama namun

11

AAPA-2016 international conference
melalui perintah pengadilan yang memutuskan perkara terkait penyegelan atau perobohan
atas bangunan yang tidak memiliki IMB dan tidak diurus IMBnya meskipun telah dilakukan
beberapa panggialan. Sedangkan kebijakan yang baik menurut Mazmanian dan Sabatier
adalah memiliki kemampuan untuk memadukan hirarki badan-badan pelaksana karena
kendala utama dalam implementasi kebijakan adalah kesulitan mendapatkan tindakan yang
terkoordinir. Dan temuan dilapangan menunjukkan bahwa tidak adanya koordinasi langsung
antara pihak dinas dengan satpol PP dalam melakukan penataan kota, hanya saja jika terdapat
kasus yang tisak mampu dikendalikan oleh pihak DTRTBP mereka hanya mengumpulkan
berkas pelanggaran dan menyerahkannya kepada pihak pengadilan untuk ditindaklanjuti.
2.5
serta

Kejelasan Dan Konsistensi Aturan Yang Ada Pada Badan Pelaksana
Badan pelaksana atau implementor sebuah kebijakan harus diberikan kejelasan aturan
konsistensi

agar

tidak

terjadi

kerancuan

yang

menyebabkan

kegagalan

pengimplementasian. Dalam hal ini dapat kita ketahui apakah kebijakan mengatur secara
jelas aturan penerbitan IMB, dalam hal ini peraturan yang dimaksud adalah Lembaran daerah
No.6 Tahun 1990 tentang Tata Bangunan, serta Perwako Nomor 13 Tahun 2011 mengenai
retribusi perizinan tertentu sehingga tercapai tujuan menjadikan kota yang rapi, tertib, teratur
dan seimbang serta tata letak bangunan yang rapi, indah, nyaman dan asri yang hal tersebut
dikelola oleh DTRTBP.
Dapat disimpulkan bahwa konsistensi aturan pada badan pelaksana sudah ada, namun
untuk kejelasan aturan pada badan pelaksana belum mampu memberikan insentif yang
memadai dalam meningkatkan kepatuhan kelompok sasaran. Hal ini dikarenakan
implementor atau pejabat pelaksana yang berhubungan langsung dengan IMB masih
mengalami kesulitan dalam memproses IMB dengan aturan yang cukup sulit untuk dipahami
dalam bentuk perda, dan tidak adanya bentuk keputusan tersendiri oleh badan pelaksana
dalam memberikan kemudahan dalam memproses IMB oleh pejabat pelaksananya dengan
waktu yang relatif singkat. Hal ini kurang sesuai dengan pernyataan Mazmanian dan Sabatier
menyatakan bahwa kejelasan dan konsistensi aturan dari badan pelaksana dapat memberikan
insentif yang memadai bagi kepatuhan kelompok sasaran, sehingga dengan demikian
kejelasan dan konsistensi aturan yang dimiliki oleh badan pelaksana cukup berpengaruh pada
kepatuhan kelompok sasaran dari kebijakan IMB ini.
2.6

Tingkat Komitmen Aparat Terhadap Tujuan Kebijakan
Salah satu faktor utama kesuksesan implementasi sebuah kebijakan adalah adanya

komitmen yang kuat dari aparatur dalam melaksanakan tugasnya. Komitmen mencakup
12

AAPA-2016 international conference
keseriusan dan kesungguhan agar penerapan suatu peraturan ataupun kebijakan bisa berjalan
dengan baik dan diterima serta dipatuhi oleh sasaran dari kebijaan tersebut. Kita dapat
mengetahui indikator ini dengan tingkat kepatuhan implementor terhadap penerbitan IMB di
Kota Padang serta komitmennya yang mencakup keseriusan dan kesungguhan implementor
dalam menerapkan kebijakan yang ada dalam menerbitkan IMB.
Beberapa IMB yang diterbitkan oleh DTRTBP menghabiskan waktu lebih dari 30 hari
kerja, sedangkan pada lembaran daerah Nomor 6 tahun 1990 pasal 12 tentang pemberian
keputusan IMB dituliskan secara jelas pada pasal 3 bahwa penerbitan IMB selambatlambatnya 30 hari setelah permohonan IMB dimasukkan sehingga dapat disimpulkan bahwa
implementor tidak mematuhi aturan yang telah diatur dalam perda terkait tata bangunan.
Keterlambatan penerbitan IMB tidak hanya dikarenakan oleh lambatnya proses
verifikasi data yang ada dalam proses IMB oleh DTRTBP, namun juga dipengaruhi oleh
kemampuan dan kemauan masyarakat dalam membayar retribusi. Tidak jarang juga
ditemukan bahwa lamanya proses IMB dikarenakan kurangnya tingkat komitmen dari pejabat
pelaksana dengan waktu yang telah ditentukan. Sedangkan menurut Mazmanian dan Sabatier
Salah satu faktor utama kesuksesan implementasi sebuah kebijakan adalah adanya komitmen
yang kuat dari aparatur dalam melaksanakan tugasnya. Komitmen mencakup keseriusan dan
kesungguhan agar penerapan suatu peraturan ataupun kebijakan bisa berjalan dengan baik
dan diterima serta dipatuhi oleh sasaran dari kebijaan tersebut. Dengan demikian tingkat
komitmen dari pejabat pelaksana kebijakan menjadi faktor yang menyebabkan implementasi
kebijakan IMB belum begitu baik hasilnya dalam menata Kota Padang.
2.7

Akses Formal Pihak Luar (Formal Access By Outsiders)
Peluang-peluang dari pihak di luar badan-badan pelaksana dalam mempengaruhi

pencapaian tujuan kebijakan penerbitan IMB yang dapat mempengaruhi pencapaian tujuan
program secara formal yaitu peluang-peluang aktor eksternal yang mempengaruhi
implementasi. Dalam penerbitan IMB memungkinkan akses formal dari pihak luar yang
terlibat dalam implementasi peneritan IMB. Misalnya NGO yang bergerak dalam urusan
kebencanaan untuk ikut menyukseskan proses implementasi. Dalam hal ini pasca bencana di
Kota Padang tahun 2009 lalu membuat tata kota berubah, sehingga membutuhkan pihak luar
terlibat dalam menciptakan tata ruang Kota Padang. Sebuah program akan mendapat
dukungan yang banyak ketika kelompok-kelompok luar, dalam artian diluar pihak pembuat
kebijakan seperti masyarakat ikut terlibat dalam kebijakan tersebut dan tidak hanya

13

AAPA-2016 international conference
menjadikan mereka sebagai penonton tentang adanya suatu kebijakan ataupun program di
wilayah mereka.
Pihak ke3 yang bekerja sama dengan DTRTBP adalah konsultan perencana yang
membantu dalam menstrukturkan tata kota, dengan demikian pihak DTRTB cukup terbantu
karena pekerjaan mereka cukup berkurang dan proses menuju penerbitan IMB telah diambil
alih dalam satu tahap. Hal ini sesuai dengan teori yang diungkapkan mazmanian dan sabatier
bahwa Peluang-peluang dari pihak di luar badan-badan pelaksana dalam mempengaruhi
pencapaian tujuan kebijakan penerbitan IMB dapat dapat mempengaruhi pencapaian tujuan
program secara formal. Dan tujuan dalam menata serta menstrukturkan ruang kota cukup
terbantu dengan adanya pihak ke3 ini.
3

Lingkungan Kebijakan

Lingkungan kebijakan terdiri atas:
3.1

Kondisi Sosial Ekonomi Dan Tingkat Kemajuan Teknologi
Perbedaan kondisi sosial, ekonomi dan teknologi dapat mempengaruhi implementasi

kebijakan. Berdasarkan variasi yang dijelaskan Mazmanian dan Sabatier bahwa paling tidak
terdapat empat kemungkinan bahwa variasi kondisi sosial ekonomi dan teknologi dapat
mempengaruhi kebijakan. Pertama, variasi kondisi sosial ekonomi dapat mempengaruhi
persepsi dari seberapa relatif pentingnya masalah yang ditangani kebijakan, terkait dengan
tingkat keseriusan masalah yang dihadapi. Kedua, keberhasilan implementasi yang diberikan
menjadi lebih sulit karena variasi lokal kondisi sosial ekonomi. Variasi tersebut menghasilkan
desakan untuk menghasilkan aturan yang fleksibel dan keleluasaan administrasi yang cukup
besar pada unit lokal. Ketiga, dukungan terhadap kebijakan yang ditujukan untuk
perlindungan lingkungan atau konsumen atau keselamatan kerja tampaknya berkorelasi
dengan ekonomi dari kelompok sasaran. Terakhir, dalam kebijakan yang terkait langsung
dengan teknologi, perubahan dalam teknologi jelas penting memberikan pengaruh terhadap
implementasi kebijakan.
Pembahasan dalam indikator ini peneliti mendeskripsikan pada variasi terakhir
yakninya kebijakan yang terkait langsung dengan teknologi. Karena variasi lainnya secara
tidak langsung juga telah terjawab diindikator lainnya. Kondisi sosial ekonomi masyarakat
menyangkut akan hal keadaan suatu masyarakat secara umum, mulai dari pendidikan,
keadaan ekonomi, dan kondisi sosialnya yang secara sederhana dapat dikatakan kepada
masyarakat yang sudah terbuka dan modern dengan masyarakat yang tertutup dan tradisional.
Masyarakat yang sudah terbuka akan lebih mudah menerima program-program pembaharuan
14

AAPA-2016 international conference
daripada masyarakat yang masih tertutup dan tradisional. Sementara itu, teknologi sendiri
sebagai pembantu untuk mempermudah pengimplementasian sebuah program. Teknologi
yang semakin modern tentu akan semakin mempermudah. Apakah kondisi sosial ekonomi
dan teknologi yang berkembang di Kota Padang mendukung implementasi kebijakan.
Ketersedian teknologi yang ada di DTRTBP belum cukup memadai, dengan demikian
akhirnya demi mengikuti perkembangan teknologi serta mempermudah pekerjaan dari
pejabat pelaksana yang menerbitkan IMB akhirnya mereka memfasilitasi sendiri kebutuhan
tersebut dengan barang milik pribadinya. Karena salah satu indikator yang menyebabkan
implementasi sebuah program dapat berjalan dengan baik adalah ketersedian teknologi yang
memadai.
3.2

Dukungan Publik Terhadap Sebuah Kebijakan
Dukungan publik akan cenderung besar ketika kebijakan yang dikeluarkan memberikan

insentif ataupun kemudahan. Sebaliknya, dukungan akan semakin sedikit ketika kebijakan
tersebut malah bersifat dis-insentif atau yang membuat masyarakat merugi. Apakah
masyarakat Kota Padang mendukung dilaksanakannnya Penerbitan IMB serta pemungutan
retribusinya. Hal ini dapat dinilai dari respon mereka terhadap kebijakan bersangkutan.
Pada dasarnya, setiap kebijakan pasti memiliki pro dan kontra, hal tersebut
dikarenakan faktor sosial, ekonomi, dan tingkat pendidikan masyarakat dalam memahami
sebuah kebijakan yang dibuat pemerintah. Namun beberapa kendala dan keluhan
masyarakat hendaknya juga menjadi perhatian bagi setiap kalangan yang terlibat dalam
perumausan sebuah kebijakan nantinya, agar tidak ada pihak yang sangat dirugikan dalam
hal tersebut. Karena seharusnya sesuai yang diungkapkan Mazmanian dan Sabatier bahwa
dukungan publik terhadap sebuah kebijakan akan mempermudah implementor dalam
mencapai tujuan kebijakan tersebut. Sehingga denganbanyaknya masyarakat yang sadar
dan mengerti akan pentingnya IMB dan mendukung kebijakan ini berlangsung akan
semakin mempermudah DTRTBP dalam meningkatkan kesadaran masyarakat dalam
menerbitkan IMB dan menata Kota Padang sehingga tercipta kota yang aman, nyaman,
teratur dan seimbang.
3.3 Sikap Dan Sumber-Sumber Yang Dimiliki Kelompok Pemilih (Attitudes And
Resources Of Constituency Groups)
Kelompok pemilih berkaitan dengan kebijakan yang sasarannya di wilayah pemilihan
atau basis politik, seperti kebijakan yang dibuat oleh elit untuk masyarakat yang mayoritas
pendukung elit. Indikator ini tidak peneliti gunakan dalam menjelaskan implementasi
15

AAPA-2016 international conference
kebijakan IMB di Kota Padang karena penerbitan IMB bukan merupakan kebijakan dari elit
untuk wilayah konstituennya.
3.4

Tingkat Komitmen Dan Keterampilan Dari Aparat Dan Implementor
Komitmen aparat pelaksana untuk merealisasikan tujuan yang telah tertuang dalam

kebijakan adalah variabel yang paling krusial. Aparat badan pelaksana harus memiliki
keterampilan dalam membuat prioritas tujuan dan selanjutnya merealisasikan prioritas tujuan
tersebut. implementor dalam kasus ini adalah DTRTBP. Komitmen dilihat dari kapatuhan
mereka terhadap kebijakan, dan upaya mereka dalam mencapai tujuan kebijakan IMB ini.
Keterampilan implementor dilihat dari bagaimana mereka melakukan pelayanan terhadap
masyarakat yang mengurus IMB, apakah ada inovasi baru atau sebagainya dalam menarik
perhatian dan kesadaran masyarakat dalam mengurus IMB.
Pada dasarnya staf DTRTBP telah melakukan pembaharuan metode dalam
mensosialisasikan IMB kepada masyarakat. Namun, disangkan bahwa metode tersebut malah
tidak menjadi perhatian masyarakat, karena tidak semua masyarakat yang membaca koran,
bahkan menonton TV yang disebutkan. Dari beberapa masyarakat yang peneliti wawancarai,
banyak yang tidak mengetahui sosialisasi yang dilakukan oleh pihak DTRTBP. Sedangkan
menurut Mazmanian dan Sabatier Komitmen aparat pelaksana untuk merealisasikan tujuan
yang telah tertuang dalam kebijakan adalah variabel yang paling krusial. Aparat badan
pelaksana harus memiliki keterampilan dalam mencapai tujuan dari sbuah kebijakan, terkait
dengan indikator ini sosialisasi adalah salah satu bentuk keterampilan DTRTBP menyadarkan
masyarakat pentingnya IMB, namun cara merka melakukan belum mampu di konsumsi atau
tersampaikan kepada masyarakat, meskipun cara yang mereka lakukan lebih maju sesuai
perkembangan teknologi.
3.5 Dukungan Dari Atasan
Mazmanian dan Sabatier menjelaskan bahwa dukungan dari atasan sangat berpengaruh
dalam membantu implementor meningkatkan kinerjanya dalam mengimplementasikan
kebijakan. Hal ini dapat dilihat dari seberapa besar peran atasan dalam meningkatkan kinerja
implementor dalam mencapai tujuan kebijakan, dalam penelitian ini peneliti melihat
bagaimana dukungan dari atasan khususnya kepala dinas dalam meningkatkan stafnya dalam
melayani masyarakat, sehingga staf DTRTBP selalu berusaha meningkatkan kinerja mereka.
Atasan DTRTBP sangat mendukung bawahannya agar memiliki kinerja yang baik
dalam melakukan tugasnya, dengan adanya pemberian reward, akan menambahkan semangat
dari staffnya dalam melaksanakan tugas kedepannya. Mazmanian dan Sabatier menjelaskan
16

AAPA-2016 international conference
bahwa dukungan dari atasan sangat berpengaruh dalam membantu implementor
meningkatkan kinerjanya dalam mengimplementasikan kebijakan, dengan adanya dukungan
dari atasan DTRTBP terhadap stafnya yang bekerja cukup membantu dalam meningkatkan
kinerja masyarakatnya.
4 Tahap-Tahap Dalam Proses Implementasi (Stages Dependent Variables In The
Process)
Tahap-tahap dalam proses implementasi menurut Mazmanian da Sabatier yaitu:
(1)Output (keluaran) kebijakan dari badan pelaksana, (2)kepatuhan kelompok sasaran
terhadap output kebijakan, (3)dampak nyata output kebijakan, (4)dampak Output kebijakan
sebagaimana dipersepsi/ dampak yang diperkirakan, dan akhirnya, (5)perbaikan dalam
peraturan. Menurut Mazmanian dan Sabatier dalam tahap-tahap dalam proses implementasi
terdapat dua proses yang terpisah yaitu jika hanya terkait dengan sejauh mana dampak yang
sebenarnya sesuai dengan tujuan kebijakan maka hanya bersangkutan pada tiga tahap
pertama sedangkan dua tahap terakhir mempertimbangkan sistem politik dalam evaluasi
terhadap kebijakan.
4.1

Output(Keluaran) Kebijakan Dari Badan Pelaksana
Tujuan kebijakan harus diterjemahkan atau dijabarkan agar mampu memberikan

analisis teknis yang lebih konkrit dan aplikasi aktual seperti ketersediaan output kebijakan.
Output kebijakan dalam implementasi penerbitan IMB sebagai arahan kebijakan sehingga
implementasi penerbitan IMB konsisten dengan tujuan adanya IMB yang tertuang dalam
indikator keberhasilan implementasi program yakninya:
1
2
3

Terciptanya bangunan yang serasi, rapi, indah, nyaman dan tertib
Bangunan terdaftar dalam tata ruang
Bangunan memiliki kekuatan hukum yang pasti
output kebijakan adalah IMB yang di keluarkan oleh DTRTBP, setelah jelas apa

outputnya. Selanjutnya, untuk mengimplementasikan sebuah kebijakan yang perlu untuk
diketahui oleh implementor adalah masalah teknis yang akan dihadapi, hal ini terkait mudah
atau tidaknya masalah dikendalikan, untuk melihat apakan sebuah masalah mudah atau tidak
untuk dikendalikan, mazmanian memiliki beberapa indikator untuk mengukur, diantaranya
adalah kesulitan teknis, keragaman perilaku kelompok, proporsi kelompok sasaran terhadap
populasi serta cakupan perubahan perilaku.
Keberagaman perilaku kelompok akan memiliki pengaruh yang besar dalam
pelaksanaan sebuah kebijakan. Dan ternyata yang peneliti temukan dilapangan adalah
kelompok sasaran dari kebijakan ini hampir seluruh masyarakat Kota Padang, itu artinya
17

AAPA-2016 international conference
keberagaman perilaku kelompok sangat bervariasi, dimulai dari perbedaan pola pikir
masyarakat, perbedaan satus sosial ekonomi, hingga perbedaan tingkah laku masyarakat, dan
hal ini menyebabkan tujuan kebijakan sulit untuk dicapai. Buktinya sampai saat ini
permasalahan tata kota tidak pernah berhenti bermunculan, mulai dari bangunan yang tidak
memiliki IMB, bangunan yang digusur, hingga masyarakat yang mendemo pemerintah
dikarenakan bangunannya digusur namun tidak mendapatkan ganti rugi.
Dengan demikian, setelah mengetahui output kebijakan yang ditetapkan oleh DTRTBP
dapat disimpukan Kendala yang mereka hadapi dalam mengimplementasikan penerbitan
IMB tersebut yakninya:
1. Tingkat kesadaran masyarakat tentang pentingnya IMB cukup kurang, hal ini dapat
dilihat karena masih adanya panggilan-panggilan kepada masyarakat yang telah
mendirikan bangunan namun tidak mengurus IMBnya. Padahal seharusnya IMB harus
telah ada sebelum bangunan tersebut didirikan
2. Retribusi IMB yang harus dibayarkan terkadang menyebabkan masyarakat malas untuk
mengurus IMB. Hal ini dikarenakan tingkatan ekonomi masyarakat berbeda, hal ini
juga telah dijelaskan sebelumnya, dimana beberapa masyarakat mengeluhkan retribusi
IMB yang harus dibayarkan tidak mampu mereka penuhi sehingga IMBnya tertahan,
sedangkan kebutuhan akan tempat tinggal adalah hal yang penting.
3. Tingkat pendidikan masyarakat menyebabkan pola pikir mereka berbeda memahami
pentingnya IMB. Sehingga bagi mereka IMB akan diurus setelah bangunannya
bermasalah.
4. Namun ada juga kemungkinan lain yang ditemukan, yakninya masyarakat tersebut
berkecukupan, berpendidikan tinggi, namun tidak peduli dengan kebijakan tersebut,
sama halnya dengan mereka mengerti namun acuh tak acuh.
4.2 Kepatuhan Kelompok Sasaran terhadap Output Kebijakan
Dalam indikator kepatuhan kelompok sasaran terhadap Output kebijakan, peneliti
mendeskripsikan kepatuhan kelompok sasaran terhadap indikator keberhasilan implementasi
Penerbitan IMB. Berdasarkan indikator keberhasilan tersebut, peneliti memfokuskan
pembahasan pada indikator pertama yaitu terciptanya bangunan yang serasi, rapi, indah,
nyaman dan tertib. Hal ini didasari bahwa indikator kedua dan ketiga telah mengarah pada
dampak dalam pelaksanaan kegiatan.
DTRTBP sendiri cukup kesulitan dalam menertibkan pembangunan di Kota padang,
apalagi dengan budaya masyarakat kita yang tidak mau mematuhi aturan yang sifatnya
retribusi dan pungutan lainnya. Hal ini hendaknya mampu menjadi sebuah kajian bagi
pembuat kebijakan, pertimbangan ini mampu hendaknya membuat pemerintah lebih

18

AAPA-2016 international conference
meningkatkan lagi tingkat kepatuhan masyarakat terhadap kebijakan yang dimilikinya
dengan melakukan pendekatan kemasyarakat.
4.3 Dampak Nyata Output Kebijakan
Implementasi Kebijakan IMB bertujuan untuk mengendalikan, mengawasi, mengatur
dan melaksanakan pembangunan fisik kota agar rapi, nyaman, indah dan tertib sesuai rencana
tata ruang kota. Keempat tujuan tersebut hal yang seharusnya dicapai oleh Dinas Tata Ruang
Tata Bangunan dan Perumahan Kota Padang dalam mewujudkan tata kota yang baik.
Pembahasan dampak nyata output kebijakan, peneliti mendeskripsikan perubahanperubahan

ataupun

peningkatan-peningkatan

jumlah

masyarakat

yang

melakukan

mengurusan IMB. Beberapa tahun belakangan penerbitan IMB yang dilakukan oleh DTRTBP
tidak selalu meningkat, ada penurunan dan kenaikan yang mereka dapatkan, tetapi pada tahun
2014 telah kembali meningkat jumlah masyarakat yang melakukan pengurusan IMB. Pada
kenyataannya ditemukan bahwa IMB belum sepenuhnya menjadi kesadaran masyarakat.
Namun seharusnya, kebijakan IMB mampu menstrukturkan pembangunan kota agar tertata
rapi dan mampu memberikan kenyamanan terhadap masyarakatnya agar tidak terjadi
permasalahan yang nantinya akan merugikan masyarakat itu sendiri.
4.3
Dampak Nyata Output Kebijakan Sebagaimana Yang Dipesepsikan/
Diperkirakan
Dampak nyata output kebijakan yang dipersepsikan adalah terciptanya kepaturhan
masyarakat dalam mengurusi IMB sehingga tidak menimbulkan permasalahan yang akan
merugikan masyarakat itu sendiri, hal

ini dapat dilihat melalui beberapa hasil dari

wawancara dengan staf DTRTBP.
Cakupan perubahan perilaku yang diharapkan menyangkut bagaimana perubahan
perilaku dari kelompok sasaran dari kebijakan IMB adalah Patuhnya masyarakat dengan
kebijakan IMB agar Kota Padang dapat lebih tertata lagi, dan tidak ada lagi masalah-masalah
yang muncul serta timbulnya kerusuhan yang disebabkan penolakan masyarakat untuk
dipindahkan karena bangunannya terkena pelebaran jalan dan tidak mendapat ganti rugi.
Selain itu dari data yang telah peneliti jabarkan di latar belakang terkait jumlah panggilan
terhadap masyarakat yang tidak memiliki IMB dapat disimpulkan bahwa perubahan perilaku
dan pola pikir masyarakat dalam mengurus IMB masih kecil, bukti lebih jelasnya dapat
dilihat juga dari jumlah masyarakat yang mengurus IMB pada tahun 2014 yakninya sebanyak
869 orang. Sedangkan menurut Mazmanian dan Sabatier untuk persyaratan meluasnya
perubahan perilaku atau permasalahan akan lebih dapat dikendalikan bila tingkat dan ruang
19

AAPA-2016 international conference
lingkup perubahan perilaku sederhana. Akhirnya berdasarkan perubahan perilaku yang
diinginkan, disimpulkan bahwa dampak dan ruang lingkup perubahan perilaku yang
diinginkan cukup besar maka akan sulit dalam pencapaian hasil yang diharapkan
dalamKebijakan IMB.
4.4 Perubahan Peraturan
Dari temuan dilapangan dapat dikatakan bahwa sebenarnya yang menjadi kendala dari
penerbitan IMB tidak hanya pada tingkat kepatuhan masyarakat, namun juga peraturan yang
mengatur IMB, berdasarkan temuan dilapangan dengan peraturan yang sudah lama
digunakan dari tahun 1990 tentunya perlu adanya revisi dari peraturan tersebut, mengingat
kondisi perkembangan pertumbuhan penduduk yang berkembang dengan pesat dan juga
pembangunan yang terus berkesinambungan menyebabkan perlu adanya perbaikan-perbaikan
dari peraturan tersebut. Selain itu, dalam perda Nomor 6 tahun 1990 tentang tata bangunan,
yang menjadi implementor yang menerbitkan IMB adalah DP3K (Dinas Perizinan dan
Pengawasan Pembangunan Kota). Sedangkan sekarang yang menjadi implementornya adalah
DTRTBP Kota Padang, tentunya banyak perubahan yang harus dilakukan berdasarkan
temuan-temuan dilapangan.
Seperti implementor dari IMB yang dijelaskan pada bagian umum kebijakan adalah
DP3K (Dinas Pe