Penguatan karakter bangsa melalui revita (1)

ORASI ILMIAH

PENGUATAN KARAKTER BANGSA
MELALUI REVITALISASI PENDIDIKAN GURU
DENGAN MODEL PENGEMBANGAN PROFESI GURU OTENTIK
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA

Sitti Maesuri Patahuddin, M.Pd., Ph.D.
Jurusan Matematika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Unesa

pada Upacara
PERINGATAN DIES NATALIS KE-46
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA

Gedung Gema Unesa, 21 Desember 2010

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
Desember 2010

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat pagi dan salam sejahtera.

Yang saya hormati,
1. Rektor Universitas Negeri Surabaya
2. Dewan Penyantun Universitas Negeri Surabaya
3. Anggota Senat Universitas Negeri Surabaya
4. Gubernur Jawa Timur
5. Walikota Surabaya
6. Para Rektor Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta
7. Kepala Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Timur
8. Kepala Dinas Pendidikan Kota Surabaya
9. Pimpinan Fakultas dan Lembaga di Lingkungan Universitas Negeri Surabaya
10. Para dosen, karyawan, dan mahasiswa serta Bapak/Ibu hadirin sekalian.
Puji syukur kepada Allah Yang Maha Kuasa atas semua rahmat dan karunia-Nya.
Sungguh suatu penghormatan dan penghargaan yang sangat besar bagi saya karena
Bapak Rektor dan Panitia Dies Natalis ke-46 Universitas Negeri Surabaya mempercayakan
kepada saya untuk menyampaikan orasi ilmiah. Untuk itu, dengan penuh kerendahan
hati, ijinkan saya menyampaikan orasi ilmiah ini dengan judul Penguatan Karakter Bangsa
Melalui Revitalisasi Pendidikan Guru dengan Model Pengembangan Profesi Guru Otentik
Universitas Negeri Surabaya.
Namun sebelumnya, ijinkan saya mengucapkan terima kasih secara khusus kepada
tiga professor pendidikan ternama Indonesia yang berasal dari Universitas Negeri

Surabaya. Pertama, Prof. R. Soedjadi, yang telah mendidik saya antara lain karakter
komitmen, kejujuran, rasa percaya diri serta tanggung jawab; Prof, Mohamad Nur,
mendidik saya dengan karakter kerja keras dan sungguh-sungguh, problem solving,
pebelajar yang tiada henti, serta sikap menghargai; dan Prof. Budi Dharma yang telah
mendidik saya dengan karakter sikap menghargai anak didik dan jauh dari kesombongan.
Minimal ketiga pendidik tersebut membuahkan janji dalam hati saya untuk terus berjuang
demi kemajuan pendidikan Indonesia di mana pun dan di situasi mana pun saya berada,
dan semoga Allah SWT memelihara janji yang terpatri dalam hati ini sampai akhir hayat.

2

“We must remember that intelligence is not enough. Intelligence plus character —
that is the goal of true education ” [Martin Luther King Jr. Tahun 1948]

Pendahuluan
Pernahkah Bapak/Ibu sekalian mendengar keluhan guru SMP yang terkesan
menyalahkan guru SD karena dianggap gagal membelajarkan siswa-siswanya, demikian
juga keluhan guru SMA yang terkesan menyalahkan guru SMP, dan pada akhirnya ditutup
dengan pertanyaan: siapa yang menghasilkan atau mendidik guru? Tidak jarang, dosen di
Unesa pun mengeluh dengan kelemahan para mahasiswanya (calon guru), dan terkesan

bahwa hal tersebut sebagai akibat kelemahan-kelemahan pengajaran yang terjadi pada
jenjang pendidikan sebelumnya.
Masalah tersebut sangat kompleks. Universitas Negeri Surabaya selaku institusi
pencetak guru, memegang peran kunci. Di saat profesi guru mulai dilirik dan mulai
populer di mata masyarakat, apakah kita memiliki standar yang ketat tentang siapa yang
patut kita rekrut menjadi calon guru masa depan? Apakah belum saatnya Unesa meniru
negara-negara yang dikenal “high achieving countries” seperti Finlandia, Swedia, Jepang,
Korea, China, Australia, Belanda, Singapura, dan lain-lain, yang berjuang untuk
mendapatkan “the best and brightest” untuk direkrut menjadi calon guru?
Hadirin yang terhormat,

Tema dies natalis kita kali ini adalah MEMPERKUAT KARAKTER BANGSA
MELALUI

REVITALISASI

PENDIDIKAN

GURU.


Tim

Pendidikan

Karakter

Kementerian Pendidikan Nasional mendefinisikan karakter sebagai “kepribadian utuh yang
mencerminkan keselarasan dan keharmonisan dari olah HATI (jujur, bertanggung jawab),
PIKIR (cerdas), RAGA (sehat dan bersih), serta RASA dan KARSA (peduli dan kreatif)”.
Menurut Soedjadi (2009), pribadi berkarakter adalah pribadi yang sadar akan nilai
kehidupan bersama, sadar akan kelebihan dan kekurangan diri, berkemampuan dan cerdas,
berkebiasaan baik, berfikir dan bertindak positif. Sedangkan unsur-unsur dari bangsa
adalah beragam suku bangsa yang di dalamnya mencakup keluarga, atau kelompok warga
atau individu yang kesemuanya merupakan satu kesatuan. Ini berarti karakter suatu bangsa
ditentukan oleh karakter setiap individu bangsa tersebut.
Dalam hal ini, Universitas Negeri Surabaya, yang menghasilkan guru satuan
pendidikan dasar dan menengah bahkan dosen perguruan tinggi, mempunyai peluang besar
membangun karakter bangsa. Jika Universitas Negeri Surabaya berhasil mencetak guru
3


profesional (termasuk berkarakter), maka kita akan mampu mengubah masa depan bangsa
Indonesia ke arah yang lebih baik. Syarat utama untuk mencetak guru yang demikian
adalah, bahwa seluruh jajaran pimpinan, para dosen Unesa, bahkan seluruh staf HARUS
BERKARAKTER.
Oleh karena itu, rangkaian kata revitalisasi pendidikan guru dalam tema Dies
Natalis ini sangat relevan. Kata revitalize artinya make something stronger, more active or
more healthy (Oxford, 2000). Ini berarti revitalisasi artinya membuat lebih kuat, lebih

aktif, atau lebih sehat. Pertanyaan mendasar: hal-hal apa yang perlu lebih diperkuat, lebih
diaktifkan, lebih disehatkan dalam kaitan dengan pendidikan guru? Dan bagaimana cara
merevitalisasinya sedemikian sehingga proses ini akan memperkuat karakter bangsa
Indonesia yang kita cintai.
Dalam upaya menjawab pertanyaan mendasar tersebut, maka saya akan
menyampaikan enam hal pokok dalam orasi ini, mencakup: (1) tantangan guru di masa kini
dan masa depan, (2) reviu singkat pendidikan guru pada “high achieving countries”, (3)
program Pendidikan Profesi Guru (PPG) sebagai ujian, (4) model pengembangan guru
otentik dan manfaatnya untuk pelaksanaan PPG. Pada bagian akhir orasi ini akan saya
tutup dengan sebuah komentar yang mungkin bisa didiskusikan lebih lanjut dalam rangka
merevitalisasi program pendidikan guru Universitas Negeri Surabaya.


Tantangan Guru di Masa Kini dan Masa Depan
Hadirin yang terhormat,

Penelitian telah menunjukkan bahwa, pengajaran merupakan tugas yang sangat
kompleks antara lain karena guru dituntut memahami materi yang diajarkan, strategi
pengajarannya, karakter dan kemampuan siswanya, dan lain-lain. Tugas ini semakin
kompleks ketika para guru dituntut mengajar dengan cara yang berbeda dari apa yang telah
mereka pelajari atau alami, dituntut mengikuti perkembangan teknologi, merancang
pembelajaran yang secara khusus dimaksudkan membangun karakter, atau ketika guru
dihadapkan pada tuntutan ujian nasional, perubahan kurikulum, rendahnya motivasi belajar
dan rendahnya kemampuan prasyarat siswa. Guru dituntut untuk bisa membantu para
peserta didik mempersiapkan kesuksesan di masa depannya, sedangkan peserta didik
bahkan guru itu sendiri tidak mengetahui warna masa depan itu. Tugas guru adalah berat
tetapi mengapa seseorang ingin menjadi guru? Berikut hasil refleksi saya mengapa saya
mau jadi guru!
4

Awalnya, saya berfikiran bahwa menjadi guru adalah hal yang sangat sederhana. Ini
berdasarkan pengamatan saya terhadap ayah saya, seorang guru di desa yang pernah
bertugas di suatu pulau terpencil. Sepengetahuan saya, beliau hampir tidak pernah

mengikuti pelatihan. Kecintaan dan penghargaan masyarakat pada beliau yang saya
rasakan memotivasi saya untuk menjadi seorang guru di desa terpencil.
Ide awal tersebut mulai berubah ketika saya membandingkan pekerjaan guru dan
dosen universitas di daerah saya pada tahun 1990. Guru bekerja enam hari seminggu
sedangkan dosen bisa datang memberi kuliah sekali atau dua kali seminggu. Saya mulai
bercita-cita menjadi dosen, dengan harapan saya juga mempunyai waktu yang banyak
untuk mengurusi rumah tangga. Ide ini terus ada hingga saya menyelesaikan program
pendidikan guru di IKIP Ujungpandang dan melanjutkan studi Master di IKIP Surabaya
karena mendapatkan beasiswa.

Kita semua tentu sepakat, bahwa setiap orang mempunyai motif/alasan tersendiri
mengapa mereka mau menjadi guru. Bisa saja terjadi, seseorang mau menjadi guru tanpa
menyadari besarnya tanggung jawab seorang guru. Lebih celaka lagi jika seseorang ingin
menjadi guru karena pekerjaan ini dianggap paling mudah, atau karena sudah tidak ada
pilihan pekerjaan lain.
Kenyataan menunjukkan, tantangan menjadi seorang guru semakin tidak sederhana.
Semakin banyak peserta didik yang terbiasa hidup dalam era komunikasi dan informasi
atau lebih populer disebut era digital. Banyak dari peserta didik telah terbiasa mengutakatik tombol-tombol, belajar dengan cara coba-coba, komunikasi secara cepat seperti
melalui ponsel, email, web, dan sebagainya (Palupi & Patahuddin, 2010; Patahuddin, 2009,
Rau a, Gao a, & Wu b, 2008). Sehingga fenomena “cikal bakal budaya plagiat” sedang

mengancam dunia pendidikan.
Dengan dampak teknologi di era digital ini, standar kompetensi yang dibutuhkan
untuk hidup selama ini terus berubah (Johnson, 2010). Di era ini, pengetahuan dasar,
seperti kemampuan menghitung atau pun membaca, tidak lagi cukup. Jenis keterampilan
yang dibutuhkan meliputi keterampilan berpikir kritis, keterampilan menyelesaikan
masalah, kemampuan untuk mengevaluasi informasi, keterampilan komunikasi (seperti
mampu menyajikan gagasan dan berbagi pengalaman), kemahiran dalam menggunakan
teknologi, dan keterampilan kerja kelompok atau mampu berkolaborasi dengan orang lain
untuk mencapai tujuan bersama. Peserta didik perlu dibekali dengan kemampuan belajar,
sehingga mampu mempelajari hal-hal baru oleh diri mereka sendiri, bisa mandiri dan
teratur dalam proses belajar mereka.

5

Untuk dapat membantu peserta didik meraih kompetensi di atas, dibutuhkan guru
yang berkompeten. Pertanyaan kembali muncul, bagaimana Universitas Negeri Surabaya
mempersiapkan guru-guru yang kompeten?

Hadirin yang terhormat,


Mari kita sejenak menengok program pendidikan guru dari “high achieving
countries”, yaitu negara-negara yang dipandang maju pendidikannya karena prestasi secara

internasional yang biasanya diukur oleh hasil PISA (Programme for International Student
Assessment) atau TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study). Hal ini

dimaksudkan dapat menjadi bahan pelajaran atau inspirasi bagi kita semua dalam
menentukan arah perjuangan Unesa yang lebih baik.

Reviu singkat pendidikan guru pada Dzhigh achieving countriesdz
Berikut adalah reviu tentang pendidikan guru di negara-negara yang dikenal
berprestasi (high achieving countries) yang dirangkum dari tulisan Darling-Hammond
(2005, 2009).
Di Jerman, seorang calon guru harus mempunyai gelar dalam dua subyek, telah lulus
sejumlah ujian menulis essay dan ujian lisan. Setelah itu mereka mengikuti pelatihan
pedagogik (pedagogical training) selama dua tahun yang sifatnya merupakan kombinasi
antara pengalaman kelas (mentored classroom experience) dan seminar. Selama dua tahun
mengikuti program internship ini, supervisor dari kedua pihak (universitas dan sekolah
mitra tempat praktek) mengobservasi dan menilai paling sedikit 25 kali pertemuan. Di
akhir periode, para calon guru tersebut harus menyiapkan, mengajar dan mengevaluasi

serangkaian pembelajaran, menyiapkan sebuah analisis kurikulum, dan mengikuti
serangkaian ujian lainnya sebelum mereka siap untuk mengajar.
Pada tahun 1989, Perancis melakukan reformasi pendidikan guru yang dimotivasi
oleh keyakinan bahwa jika siswa diinginkan sukses dalam pembelajaran yang lebih
menantang maka guru-guru sekolah dasar dan menengah harus memahami dua hal secara
lebih mendalam, yaitu materi ajar dan pedagogi. Sejak tahun 2005, setelah menyelesaikan
program sarjana, para calon guru mengikuti seleksi ketat untuk program persiapan guru
dua tahun di Universitas. Di universitas tersebut, mereka belajar tentang metode-metode
pengajaran, desain kurikulum, teori pembelajaran, dan perkembangan anak. Selain itu,
mereka juga harus melakukan penelitian dan berpartisipasi dalam praktek mengajar di
6

sekolah mitra. Biaya program selama dua tahun tersebut ditanggung oleh pemerintah. Pada
tahun kedua, mereka sudah mendapat posisi mengajar tetapi masih tetap di bawah
pembimbingan. Untuk posisi mengajar ini, para calon guru tersebut digaji sebesar gaji
dokter.
Pada tahun yang sama (yaitu 1989), Jepang juga melakukan reformasi besar pada
pendidikan guru yang tidak lama kemudian disusul oleh Taiwan. Di kedua negara tersebut,
setelah calon guru menyelesaikan pendidikan guru tingkat sarjana, mereka diharuskan
mengikuti program internship yang dilaksanakan secara intensif selama satu tahun di

universitas pendidikan guru. Pendidikan guru untuk tingkat sarjana disubsidi oleh
pemerintah dan untuk program pelatihan ekstensif (extensive training) calon guru hanya
membayar sedikit atau tidak sama sekali. Setelah melalui ujian yang sangat kompetitif,
guru pemula ditugaskan di sekolah di mana mereka bekerja dengan seorang guru ahli (a
master teacher).

Berdasarkan undang-undang di Jepang, guru-guru pemula menerima minimal 20 hari
inservice training pada tahun pertama ditambah 60 hari program pengembangan profesi

pada topik manajemen kelas, penggunaan komputer, strategi-strategi pengajaran, dan
metode-metode konseling.
Guru pemula mendapatkan sedikit jam mengajar. Mereka berkesempatan menghadiri
pelatihan di sekolah dengan "guru pembimbing yang telah ditunjuk" dua kali seminggu,
dan menerima pelatihan di luar sekolah setiap minggu termasuk seminar dan visitasi ke
sekolah-sekolah lainnya. Jam mengajar dari master teacher dikurangi sehingga mereka
mempunyai cukup untuk membina guru pemula. Pemerintah menugaskan seorang guru
tetap di suatu sekolah untuk membina setiap dua guru pemula. Sebagai tambahan,
pemerintah Jepang mendanai 50% biaya pelatihan guru yang dilaksanakan di luar sekolah.
Berdasarkan reviu di atas diketahui bahwa pemerintah menghargai profesi guru secara
finansial seperti profesi dokter. Proses persiapan calon guru sangat cermat dan intensif.
Guru baru masih tetap dalam pendampingan, guru baru dan pembinanya mendapat jam
mengajar yang sedikit untuk memungkinkan mereka menjalankan tugasnya secara
maksimal.
Bandingkan dengan fenomena di Indonesia? Dapatkan kita membayangkan
dampaknya ketika seseorang (baik dari kalangan guru maupun kalangan dosen) yang
belum dipandang profesional dalam arti sebenarnya diserahkan tugas untuk menangani
pembelajaran di kelas tanpa pendampingan dari guru atau dosen senior. Bayangkan jika
7

kita selaku pasien, berlapangdadakah kita bila ditangani oleh seorang dokter yang kurang
berpengalaman, atau dokter yang tidak punya tanggung jawab yang tinggi. Atau mari kita
lihat dari sudut pandang yang lain, seorang dokter, bila ingin membuat keputusan untuk
membedah pasien, maka dokter atau pasien mencari “second opinion” apakah keputusan
itu tepat. Pertanyaan bagi kita selaku guru atau pun dosen, apakah telah terpikirkan oleh
kita untuk mendapatkan ide dari teman sejawat tentang ketepatan-ketepatan rancangan
pembelajaran kita. Jangan sampai, karena kita telah mengampu mata kuliah tertentu dalam
waktu yang cukup lama dan selalu hanya mengajar peserta didik yang belum paham,
membawa kita merasa “kita yang terhebat” atau yang paling menguasai ilmu tersebut
sehingga tidak memerlukan “second opinion”

Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) sebagai Ujian
Undang-undang Guru dan Dosen Tahun 2005 menjadi momentum yang sangat penting
dalam pembentukan guru-guru profesional di Indonesia. Pelaksanaan sertifikasi guru
melalui kebijakan portofolio dan diklat bagi yang tidak lulus portofolio menimbulkan
pertanyaan mendasar: apakah langkah tersebut secara efektif dapat membawa para guru
menjadi profesional dan bagaimana dampak yang sebenarnya terhadap pembelajaran siswa
di kelas.
Masih ingatkan kita pelaksanaan kebijakan portofolio yang menghadapi banyak
tantangan? Masalah kecemburuan sosial, perasaan diperlakukan secara tidak adil,
kekurangpahaman para guru tentang persyaratan dan penyusunan portofolio, dan beberapa
kasus ketidakjujuran guru karena mengumpulkan data/bukti palsu (Kompas, 2007a, 2007b,
2007c, 2007d, 2007e). Bagi guru yang tidak lulus dalam penilaian portofolio, mereka
diharuskan mengikuti pendidikan dan pelatihan profesi guru (PLPG) selama kurang lebih
dua minggu. Pelaksanaan diklat ini pun menghadapi banyak tantangan. Bagi sebagian
guru, hal ini menimbulkan masalah baru. Misalnya, banyak kegiatan pembelajaran di kelas
kosong, guru pun harus mengejar ketertinggalan materi yang ditargetkan oleh kurikulum
akibat guru meninggalkan kelas. Masalah lain yang penulis temukan adalah keluhan
sebagian guru akan sulitnya menerapkan konsep yang mereka peroleh dari penataran
karena merasakan ketidaksesuaian dengan konteks sekolah mereka.
Implementasi kebijakan di atas telah menghabiskan dana yang sangat besar tetapi
tidak diketahui seberapa jauh dampak perbaikan pembelajaran di kelas. Hal ini sejalan
dengan gejala di Amerika yang diungkapkan oleh Borko (2004), yaitu banyaknya program
8

pengembangan profesi guru yang menghabiskan dana dalam jumlah besar tetapi
“intellectually superficial” dan “woefully inadequate” (hal.3).
Dalam dua tahun terakhir, kita dihadapkan pada kebijakan yang berbeda dari portfolio
dan PLPG, yang dikenal dengan program Pendidikan Profesi Guru (PPG). Mengacu pada
pasal 1 ayat 2 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 8 Tahun 2009 tentang
Pendidikan Profesi Guru, program ini adalah
program pendidikan yang diselenggarakan untuk mempersiapkan lulusan S1
kependidikan dan S1/D IV nonkependidikan yang memiliki bakat dan minat
menjadi guru agar menguasai kompetensi guru secara utuh sesuai dengan
standar nasional pendidikan sehingga dapat memperoleh sertifikat pendidik
profesional pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan
menengah.
Dalam buku pedoman PPG disebutkan tujuan umum program PPG, yaitu
menghasilkan calon guru yang memiliki kemampuan mewujudkan tujuan
pendidikan nasional, yaitu mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Sedangkan tujuan khusus program PPG seperti yang tercantum dalam pasal 2
Permendiknas Nomor 8 Tahun 2009 adalah:
untuk menghasilkan calon guru yang memiliki kompetensi dalam
merencanakan, melaksanakan, dan menilai pembelajaran; menindaklanjuti
hasil penilaian, melakukan pembimbingan, dan pelatihan peserta didik serta
melakukan penelitian, dan mampu mengembangkan profesionalitas secara
berkelanjutan.
Lembaga penyelenggara program

PPG adalah perguruan tinggi yang memiliki

program pengadaan tenaga kependidikan yang memenuhi persyaratan dan ditetapkan oleh
menteri. Artinya Unesa adalah salah satu calon kuat yang akan menyelenggarakan program
PPG ini.
Sebagai institusi yang salah satu misinya “mengembangkan penelitian di bidang
pendidikan dan pengajaran”, sudah selayaknya, program ini harus diikuti dengan riset.
Riset yang dimaksud adalah untuk mewujudkan pelaksanaan PPG yang berkualitas dan
untuk menganalisis faktor-faktor pendukung maupun penghambat pelaksanaan program
tersebut. Berkaitan dengan hal ini, saya mengajukan sebuat model yaitu “Model
Pengembangan Guru Otentik” yang dapat dimanfaatkan untuk kedua maksud tersebut.

9

Model pengembangan guru otentik dan manfaatnya untuk
pelaksanaan PPG
Model pengembangan profesi guru secara otentik (Authentic Teacher Professional
Development) yang direpresentasikan pada Gambar 1 merupakan perpaduan tiga konsep

utama. Konsep pertama [Ks-1] adalah lima karakteristik pengembangan profesi guru yang
efektif (Five Characteristics of Effective Professional Development) yang digambarkan
pada segilima beraturan. Konsep kedua [Ks-2] adalah zone pembelajaran guru yang
digambarkan oleh diagram venn di dalam segilima, dan konsep ketiga [Ks-3] adalah
pendekatan ethnography (Patahuddin, 2009, 2010)

Gambar 1 Model Pengembangan Profesi Guru secara Otentik

Sehubungan dengan konsep pertama [Ks-1], lima karakteristik pengembangan
profesi guru yang efektif yang dimaksudkan adalah: berkelanjutan untuk perolehan
pengetahuan, keterampilan, dan rasa percaya diri dan berkesempatan untuk berlatih,
mendapat umpan balik, dan berefleksi. Karakteristik kedua adalah kolaboratif, bahwa
aspek kolaborasi ini seharusnya terjadi baik antara fasilitator dengan guru maupun antar
guru-guru yang terlibat dalam program tersebut. Karakteristik ketiga adalah berorientasi
10

pada kebutuhan belajar siswa, bahwa program pengembangan profesi guru harus
menfokuskan pada pengembangan pembelajaran dan peningkatan hasil belajar siswa. Ini
berarti keberhasilan program pengembangan profesi guru, salah satu dapat dilihat dari
keberhasilan pembelajaran di kelas. Keempat, mempertimbangkan /memperhitungkan
individu guru dan konteksnya, artinya guru harus diperlakukan sebagai pebelajar aktif yang
mengkonstruksi pemahaman mereka sendiri sebagaimana layaknya orang dewasa, guru
harus diperlakukan dengan baik, dengan santun, dengan hormat, sebagaimana kita
mengharapkan mereka memperlakukan siswa. Selain itu, dalam menfasilitasi pembelajaran
guru, konteks kelas dan sekolah guru tersebut juga harus menjadi bahan pertimbangan
utama. Kelima adalah berfokus pada upaya pendalaman materi matematika dan strategi
pengajarannya, bahwa program pengembangan profesi guru seharusnya membangun
pedagogical content knowledge (PCK). PCK didefinisikan oleh Shulman sebagai

perpaduan dari isi materi matematika [atau materi ajar secara umum] dan pengajaran, yaitu
pemahaman tentang bagaimana topik-topik tertentu atau masalah-masalah tertentu di
susun, dipresentasikan, diajarkan, dan disesuaikan dengan ketertarikan dan kemampuan
siswa yang beragam (Patahuddin, 2010; Patahuddin, 2009).
Pada konsep yang kedua, teori zone pembelajaran guru [Ks-2] yang dimaksud
adalah “the three zones of influence in teacher professional learning ” yang dikembangkan
oleh Goos (Goos, 2005a, 2005b; Goos, Stillman et al., 2007). Pada hakekatnya, teori ini
menyatakan bahwa proses pembelajaran atau pengembangan guru ditentukan oleh berbagai
macam faktor yang saling berkaitan. Faktor-faktor tersebut dikelompokkan dalam tiga
zone, yaitu the Zone of Proximal Development (ZPD), the Zone of Free Movement (ZFM)

dan the Zone of Promoted Action (ZPA).
ZPD menyatakan pengetahuan dan kepercayaan guru. Zone ini meliputi pengetahuan
guru pada disiplin ilmu misalnya matematika dan strategi pengajarannya (pedagogical
content of knowledge) serta kepercayaan guru pada disiplin ilmu matematika tersebut

(misalnya keyakinan guru tentang matematika apa yang penting diajarkan dan bagaimana
cara terbaik mengajarkannya). Menurut Goos, ZPD ini menyatakan potensi pengembangan
profesi guru.
ZFM menyatakan konteks profesi guru, yang memberi batasan tentang tindakan apa
yang dapat dilakukan oleh guru. Unsur dari zone ini dapat berupa kurikulum, persyaratan
penilaian, ketersediaan sumber pembelajaran, struktur organisasi sekolah, budaya, persepsi
guru terhadap latar belakang siswa, kemampuan siswa, dan motivasi siswa.
11

ZPA menyatakan sumber bantuan yang tersedia bagi guru dalam pengembangan
pengajaran tertentu, misalnya yang disediakan oleh program pendidikan guru, guru
pamong atau konsultan, kolega yang profesional atau mentor di sekolah, atau kegiatan
yang lebih formal berupa workshop atau pelatihan-pelatihan guru.
Goos (2006) menyatakan bahwa hubungan dari ketiga zone tersebut bermanfaat untuk
menganalisis sejauh mana guru dapat mengadopsi praktek-praktek pengajaran yang baru.
Dia mengatakan bahwa pengembangan guru ditentukan oleh hubungan antara semua unsur
dari ketiga zone tersebut. Pemahaman faktor-faktor yang ada dalam ketiga zone tersebut
dapat membantu dalam upaya memfasilitasi guru dalam proses belajarnya.
Konsep yang ketiga adalah ethnography [Ks-3]. Ethnography yang dimaksudkan
dalam orasi ini adalah suatu metode penelitian kualitatif atau pendekatan untuk
menginvestigasi secara mendalam proses pembelajaran guru dari dalam konteks tempat
pelaksanaan program pengembangan profesi guru. Dengan demikian, program
pengembangan profesi guru ini dilaksanakan di sekolah dan peneliti atau dosen atau
pendamping guru yang bermaksud membawa inovasi pembelajaran berperan bukan hanya
sebagai fasilitator tetapi sebagai pengamat partisipatif (participant observer ).
Secara teoretis, Model Pengembangan Profesi Guru secara Otentik ini sangat powerful
karena ketiga konsep yang membangun model ini saling berhubungan satu sama lain dan
secara bersama-sama dapat memberi kontribusi dalam upaya pembaharuan (updating)
pengetahuan guru dan perbaikan praktek pengajaran guru di kelas. Kajian teoretis
hubungan ketiga konsep tersebut tidak disajikan di sini karena keterbatasan ruang.
Prinsip-prinsip dalam Model Pengembangan Profesi Guru secara Otentik dapat
diterapkan dalam pelaksanaan program Pendidikan Profesi Guru (PPG). Secara teoretis,
penerapan model ini dapat memberikan manfaat setidaknya dalam empat aspek:
terciptanya guru profesional, peningkatan hasil belajar siswa, pengembangan institusi
Universitas Negeri Surabaya, dan implikasi teoretik untuk pengembangan profesi guru
dalam konteks Indonesia.
Terciptanya guru profesional

Program PPG diharapkan berlangsung secara

intensif selama satu tahun. Ciri berkelanjutan dan kolaboratif dari program ini akan
memberi kesempatan yang luas bagi guru untuk memahami materi pelajaran dan aspek
pengajarannya secara lebih mendalam. Guru mempunyai kesempatan menerapkan konsep
pengajaran yang telah dipelajarinya, mendapatkan umpan balik, dan melakukan refleksi
12

atas pengajarannya. Dengan demikian, program ini akan memberi kesempatan perolehan
pengetahuan, keterampilan, dan rasa percaya diri pada guru lain. Dengan menerapkan
konsep pada model otentik tersebut, program PPG ini dapat sekaligus membantu guru atau
calon guru dalam membangun portofolio mereka karena guru dapat difasilitasi merancang
pembelajaran, belajar meneliti di kelasnya, dan membuat karya tulis ilmiah untuk
dipresentasikan di forum ilmiah atau dipublikasikan di media ilmiah.
Aspek hasil belajar siswa

Program pengembangan profesi guru secara otentik

diharapkan dapat berkontribusi pada peningkatan hasil belajar siswa dengan alasan sebagai
berikut. Pertama, dengan ethnography yang mensyaratkan program pengembangan guru
dilaksanakan di sekolah dalam waktu yang relatif lama dan tanpa menganggu jadwal
pelajaran siswa, maka guru dapat tetap mengajar di sekolah. Kedua, dengan sifat
kolaboratif antara guru dan dosen, mereka dapat menfokuskan pada bagaimana
meningkatkan kualitas pengajaran dan pembelajaran siswa. Kehadiran dosen pembimbing
atau fasilitator untuk membantu menganalisis kesulitan siswa, merancang tugas
pembelajaran untuk melibatkan siswa berfikir matematika, diharapkan dapat meningkatkan
hasil belajar siswa. Ketiga, Bila PPG yang menerapkan model otentik ini dapat
dilaksanakan untuk menganalisis tipe soal yang biasanya muncul dalam UNAS, untuk
selanjutnya merancang pembelajaran yang bermakna untuk memahami soal tersebut.
Dengan demikian penelitian ini diharapkan memberi fondasi pemahaman yang akan
membantu siswa menghadapi ujian nasional.
Aspek pengembangan institusi

Aspek penting yang ketiga adalah untuk

pengembangan institusi pendidikan khususnya perguruan tinggi yang mempunyai
tanggung jawab mempersiapkan guru profesional. Dengan pendekatan ethnography yang
mensyaratkan kegiatan PPG ini dilakukan di sekolah dan dalam situasi “apa adanya”, akan
memberi kesempatan yang luas pada calon guru, guru, bahkan dosen untuk membangun
pemahaman yang lebih komprehensif tentang persekolahan, karakteristik terkini dari
siswa, dinamika pembelajaran di kelas, tantangan pembelajaran yang ada di lapangan, dan
lain-lain. Hal ini akan membantu memberikan gambaran yang lebih valid tentang apa yang
perlu dibekali pada mahasiswa agar mampu menjadi guru yang profesional.
Aspek teoretis Aspek terakhir adalah implikasi teoretis. Kenyataan menunjukkan
bahwa pemerintah Indonesia telah melaksanakan berbagai upaya peningkatan kualitas para
guru dengan menyiapkan banyak bentuk pelatihan. Demikian juga masyarakat dari
13

berbagai institusi tampaknya menggalakkan berbagai seminar dan workshop bagi guruguru. Namun demikian, penelitian yang mengungkapkan apa dan bagaimana para guru
belajar dari kegiatan tersebut masih sulit ditemukan. Demikian juga terbatasnya penelitian
yang menyelidiki tentang dampak berbagai pelatihan terhadap perubahan pengajaran guru
di kelas dan dampak terhadap hasil belajar siswa. Oleh karena itu, pendekatan ethnography
diharapkan akan mengungkapkan hal-hal tersebut. Pendekatan dengan model otentik ini
diharapkan akan menemukan faktor-faktor personal dan kontekstual yang mendukung dan
menghambat guru dalam pengembangan profesinya. Dengan demikian implikasi teoretis
pun dapat dikembangkan.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika seseorang dalam posisi akan
membawa pembaharuan di kelas, akan bermaksud memperbaiki pengajaran di kelas maka
mereka tidak cukup hanya mendiseminasikan melalui seminar atau mensimulasikannya,
tetapi mereka perlu terlibat langsung di kelas. Ketika mengalami langsung di kelas, maka
diperlukan suatu pendekatan yang powerful dan di sinilah kerangka teori yang ditawarkan
ini dapat bermanfaat.
Dengan kata lain, jika kita bermaksud memberi dukungan pada guru, maka
tentunya kita harus mengenali situasi nyata guru, memahami pengetahuan guru tentang
mata pelajaran dan keyakinan guru tentang pengajaran materi itu sendiri. Karena tanpa itu,
tidak sedikit bukti dan pengakuan para fasilitator bahwa guru sulit berubah. Kita
memerlukan informasi yang lebih valid tentang faktor apa yang mendukung dan
menghambat terjadinya perubahan itu. Tanpa hal demikian, maka bisa terjadi banyak uang,
energi dan waktu yang sia-sia tanpa ada hasil yang jelas. Dan pemahaman yang mendalam
tentang situasi nyata sehubungan dengan tugas mengajar guru dapat dipahami secara lebih
baik melalui penerapam model pengembangan profesi guru secara otentik.

Penutup
Tugas merevitalisasi pendidikan guru di Universitas Negeri Surabaya adalah hal yang
tidak mudah. Dibutuhkan kesungguhan, keikhlasan, kejujuran, kerja keras, komitmen,
saling bahu-membahu, berniat baik, dan seterusnya. Dalam menjalankan ini secara
bersama-sama, semoga kita sepakat, bahwa pendidikan adalah tujuan jangka panjang.
Suatu proses menanam, yang mungkin kita sendiri tidak sampai waktu untuk memetik
buahnya. Pendidikan bukanlah proses instant seperti sering dipromosikan di iklan-iklan.

14

Bangsa kita sedang terpuruk. Korupsi telah dan sedang terjadi di setiap lini kehidupan,
bahkan yang lebih menyedihkan adalah komentar yang biasa muncul, tidak ada lagi tempat
di Indonesia di mana kita bisa benar-benar berbuat jujur! Ini disebabkan karena sistem
yang ada atau mungkin persepsi kita pada sistem membawa kita bergeser dari kejujuran.
Oleh karena itu, saya menggarisbawahi nilai kejujuran sebagai suatu yang hal yang vital
dan harus direvitalisasi segera demi penyelamatan anak bangsa.
Dalam kaitannya dengan penyiapan program PPG, saya merasakan niat baik (initial
aims) dari pelaksanaan program tersebut. Saya menangkap adanya peluang besar untuk

memajukan pendidikan guru di Indonesia. Namun demikian, saya harus mengakui bahwa
dalam kapasitas saya sebagai seorang dosen, sebagai pengamat, atau pun sebagai pebelajar,
saya sudah mulai merasakan kerisauan dan tidak jarang muncul suatu pesimisme, dan rasa
khawatir bahwa kita akan kembali menghadapi kegagalan berulang bilamana kita tidak
sungguh-sungguh belajar dari kegagalan masa lalu.
Namun demikian, saya meyakini, bahwa dengan kepemimpinan Universitas Negeri
Surabaya yang berkarakter yang didukung oleh semua unsur di Universitas ini, kita akan
berhasil menjalani ujian, yaitu mensukseskan program Pendidikan Profesi Guru. Semoga
program ini dipandang sebagai suatu kesempatan emas untuk meningkatkan kualitas
pendidikan guru Universitas Negeri Surabaya demi masa depan bangsa yang kita cintai ini.
Model pengembangan guru otentik (Authentic Teacher Professional Development
Model) yang diajukan di sini adalah model yang dapat diterapkan untuk membangun

kualitas pendidikan guru serta menjadi alat menganalisis faktor-faktor pendukung dan
penghambat. Hal teoretis ini hanya dapat terwujud jika sistem kebersamaan demi masa
depan anak bangsa kita kedepankan.
Akhir kata saya ucapkan terima kasih atas perhatian para hadirin yang telah mengikuti
penyampaian orasi saya sampai akhir. Sekali lagi terima kasih pada Bapak Rektor
Universitas Negeri Surabaya. Semoga ke depn Universitas Negeri Surabaya dapat
mencetak guru yang profesional dn berkarakter. Amin
Wabillahi taufiq wal hidayah. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

15

Daftar Pustaka

Borko, H. (2004). Professional development and teacher learning: mapping the terrain. Educational
Researcher, 33(8), 3 - 11.
Darling-Hammond. (2005). Prepping our teachers for teaching as a profession. The Education
Digest, 71(4), 22-27.
Darling-Hammond. (2009). A future worthy of teaching for America : Phi Delta Kappan
International, Inc, Bloomington, IN.
Ferguson, C. J., & Johnson, L. (2010). Building supportive and friendly school environments:
voices from beginning teachers. Childhood Education, 86(5), 302(305).
Goos, M. (2005). A sociocultural analysis of the development of pre-service and beginning
teachers’ pedagogical identities as users of technology. Journal of Mathematics Teacher
Education, 8(1), 35-59.
Goos, M. (2006, December 3-8). Understanding technology integration in secondary mathematics:
Theorising the role of the teacher. Paper presented at the 17th ICMI Study, "Digital
technologies and mathematics teaching and learning: Rethinking the terrain", Hanoi
University of Technology.
Goos, M., Dole, S., & Makar, K. (2007). Designing professional development to support teachers'
learning in complex environment. Mathematics Teacher Education and DEvelopment,
8(Special issue), 23-47.
Goos, M., Stillman, G., & Vale, C. (2007). Teaching secondary school mathematics. Research and
practice for the 21st century. Sydney: Allen & Unwin.
Hornby (Ed.) (2000) Oxford advanced learner's dictionary of current English (6 ed.). New York:
Oxford University Press.
Johnson, D. (2010). Taming the chaos: is technology diverting your students' attention away from
classroom instruction? Learn to use those entertaining devices to engage and challenge
young minds. Learning & Leading with Technology, 38(3).
Kompas. (2007a). Certification program should fulfil the sense of justice. Retrieved November 1,
2007, from http://www.sampoernafoundation.org/content/view/858/308/lang,en/
Kompas. (2007b). Indikasi kecurangan mulai ditemukan. Retrieved November 1, 2007, from
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0709/19/humaniora/3856141.htm
Kompas. (2007c). Teachers’ certification seems not well-unprepared. Only 50% expected to pass
Retrieved October 15, 2007, from
http://www.sampoernafoundation.org/content/view/815/308/lang,en/
Kompas. (2007d). Teachers’ certification should be simplified. Portfolio mechanism could save Rp
5.4 trillion. Retrieved November 1, 2007, from
http://www.sampoernafoundation.org/content/view/638/308/lang,en/
Kompas. (2007e). Terkait sertifikasi, guru kian resah. Retrieved November 1, 2007, from
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0710/02/humaniora/3887527.htm
Palupi, E. L. W., & Patahuddin, S. M. (2010). Pengembangan mathematics mobile learning
application sebagai media membelajaran alternatif. Paper presented at the Seminar
Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika 2010, Malang.
Patahuddin, S. M. (2009). Internet for teacher professional development. Saarbrücken, Germany:
LAP LAMBERT Academic Publishing AG & Co. KG.
Patahuddin, S. M. (2010). Model pengembangan profesi guru secara otentik. Jurnal Penelitian
Inovasi dan Perekayasa Pendidikan, 1(1), 83-114.
Rau a, P.-L. P., Gao a, Q., & Wu b, L.-M. (2008). Using mobile communication technology in high
school education: Motivation, pressure, and learning performance. Computers &
Education, 50, 1-22.
Soedjadi. (2009). Kontribusi Pendidik matematika dalam upaya membangun karakter bangsa .
Paper presented at the Seminar Jurusan Matematika Universitas Negeri Makassar.
16