Kurangnya minat masyarakat terhadap Prod

Kurangnya minat masyarakat terhadap
Produk Dalam Negeri
June 15, 2013 | sucirakhma
1. Kurangnya minat masyarakat terhadap Produk Dalam Negeri.
Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alamnya, negara kepulauan yang
menghubungkan dari Sabang sampai Merauke. Dari pulau–pulau tersebutlah menghasilkan
banyak sumber daya alam karena di setiap pulau berbeda akan kekayaan sumber daya alamnya.
Namun, penyebaran penduduk di Indonesia belum merata khususnya di Pulau Sumatera,
Kalimantan, dan Papua, penduduknya tidak sepadat di Jawa. Program transmigrasi pun banyak
dilakukan oleh pihak pemerintah untuk masyarakatnya, guna untuk pemerataan penduduk.
Hasil atau produk Indonesia pun sebenarnya kaya dan menghasilkan produk–produk yang
berkualitas. Tentu yang seharusnya produk Indonesia itu menjadi tuan rumahnya di negeri
sendiri. Namun, banyaknya monopoli dunia, produk luar negeri lebih memegang peranan pasar
sehingga menjadikan minat masyarakat cenderung ke produk luar negeri.
Indonesia mengalami kendala mengenai produk dalam negeri yang kalah saing dengan luar
negeri yang seharusnya bisa menjadi tuan rumah Indonesia yaitu kurangnya kesadaran
masyarakat tentang pemakaian produk lokal karena kebanyakan dari masyarakat Indonesia lebih
banyak mengkonsumsi atau menggunakan produk luar daripada dalam. Serta gaya mewah yang
terjadi apabila memakai produk luar. Yang terjadi di Indonesia, apabila memakai produk luar itu
berkesan elegan dan mewah karena harganya yang cenderung lebih tinggi dan kualitas yang
dijanjikan telah bagus dan menyebar di seluruh dunia.

Penyebab Indonesia harus mengembangkan produk lokal agar memungkinkan menjadi tuan
rumah Indonesia yaitu Indonesia tergerak untuk ikut maju bersama dengan negara maju lainnya.
Seharusnya kita harus sebagai warga negara Indonesua harus bangkit dan bangga dengan produk
lokal yang berkualitas dan menjadi tuan rumah untuk negerinya sendiri sehingga mempunyai
rasa kecintaan tersendiri bagi Indonesia. Selain itu, Indonesia juga memerlukan bantuan dari
pemerintah untuk mengembangkan usaha produk lokalnya agar bias menarik minat masyarakat
dan kesadaran cinta tanah air.
Permasalahan tentang kurangnya minat masyarakat Indonesia dalam membeli produk anak
bangsa bukan semata-mata disebabkan oleh kecintaan kami pada merek luar negeri melainkan
karena kurangnya perhatian produsen terhadap keinginan konsumen, tidak memberikan barang
yang bermutu, tidak menyediakan layanan purna jual, serta kurang mampu mengemas, menjual,
produk yang baik. Produk buatan Indonesia yang dijual di dalam negeri sering bermutu rendah
dibandingkan dengan yang dijual di luar negeri.

Kita mencoba membahas satu persatu masalah mengapa produk kita kurang diminati di pasar
sendiri :
Dari segi mutu produk : dalam mutu produk yang dijual di pasar di Indonesia banyak produsen
yang menjual produknya yang mempunyai mutu kualitas nomor 2, dan mutu kualitas yang
nomor 1 malah dijual dipasaran luar negeri. Hal itu akan memicu konsumen dalam negeri
enggan untuk membeli produk dalam negeri, memang benar harganya lebih murah tetapi untuk

keamanan dan kenyamanan apalagi segi keawetan produk itu pasti rendah, padahal masyarakat
sudah pintar dalam memilih barang untuk dibelinya, tidak mengapa lebih mahal asal kualitas
lebih bagus
Dari segi layanan purna jual : sudah menjadi rahasia umum bila layanan purna jual produk
local tidak member services yang memuaskan kepada pelanggan atau konsumen, apabila
konsumen mempunyai keluhan terhadap produk yang dibeli malah dibuat bingung harus
menghubungi siapa, biasanya produk lokal tidak mencantumkan nomor customer care ataupun
tidak mencantumkan garansi dalam produknya.
Dari segi pengemasan produk hingga memilih segmentasi pasar yang baik dan tepat :
memang ada produk dalam negeri yang kualitasnya bagus malah tampilan luarnya monoton atau
kemasannya kurang menarik peminat untuk membeli, biasanya konsumen terpancing oleh
kemasan luar produk jadi bisa dikatakan produk local sebagian besar kurang mempunyai variasi
variasi dalam barang barang yang dijualnya, atau modelnya pun kurang mengikuti trend
perkembangan jaman sekarang. Dan biasanya produsen kurang jeli untuk melihat dan memilih
segmentasi pasar, biasanya produsen kurang memperhatikan apakah produknya cocok untuk
kalangan kelas ekonomi atas, menengah keatas, ataupun kalangan menengah kebawah.
Pemerintah juga tidak boleh lepas tangan, dalam hal ini peran pemerintah sebagai teladan sangat
diharapkan. Karena bagaimana mungkin masyarakat diminta untuk mencintai produk dalam
negeri kalau pejabat pemerintahan sendiri ternyata lebih senang memakai produk-produk luar
negeri.

2. Faktor Penyebab Produk Dalam Negeri kurang diminati.
a. Kurangnya Mutu Produk Dalam Negeri Dibandingkan Dengan Produk Impor
Dari sudut pandang sumber daya manusia, sebenarnya kualitas orang-orang Indonesia tidak
kalah dibandingkan dengan orang-orang di negara-negara maju, jika saja benar-benar mau
belajar. Hal ini terbukti dengan banyaknya tokoh-tokoh dan cendikiawan yang berasal dari
negara kepulauan terbesar di dunia ini. Namun kemauan saja tidak cukup, fasilitas
pendukungnya pun harus mumpuni. Hal inilah yang harus menjadi sorotan. Bahwa dalam proses
belajarnya, orang-orang Indonesia belum mendapatkan fasilitas yang memadai, belum
maksimalnya akses informasi dari masyarakat di pedalaman. Serta yang tidak boleh dilupakan
juga adalah asupan gizi sebagian besar masyarakat yang jauh dari pemenuhannya karena alasan
ekonomi. Beberapa gambaran diatas menjadi mata rantai permasalahan yang saling terkait yang
membuat kualitas orang-orang Indonesia lebih rendah jika dibandingkan dengan orang-orang di
negara-negara maju.

Kualitas masyarakat yang rendah juga berakibat pada rendahnya mutu atau kualitas produk
(barang maupun jasa) yang dihasilkan. Hal ini karena belum maksimalnya penerapan sebuah
teknologi dalam proses produksi. Kebanyakan masyarakat hanya mengandalkan pengalaman saja
tanpa diiringi penguasaan konsep dan teknologi yang membuat tidak maksimalnya proses
produksi.
Permasalahan yang selanjutnya adalah dalam menjalankan proses produksinya, pelaku usaha di

tanah air selalu dibayang-bayangi masalah finansial atau pendanaan proses produksi. Untuk
menyelesaikan masalah ini, pemerintah telah memberikan bantuan dengan mengucurkan dana
usaha bagi pengusaha kecil dan menengah. Namun, yang harus disoroti adalah bahwa bantuanbantuan yang ditujukan kepada kalangan pengusaha kecil dan menengah itu belum
termanfaatkan dengan maksimal. Karena ternyata dalam penyalurannya, bantuan tersebut banyak
yang salah sasaran. Sehingga wajar saja bila pengusaha kecil dan menengah tidak dapat berbuat
banyak untuk menyikapi masalah pedanaan ini. Secara tidak langsung keadaan ini mengganggu
proses produksi yang membuat mereka lebih memilih untuk menekan biaya produksi hingga
seminimal mungkin. Misalnya saja dengan menggunakan bahan baku yang kualitasnya dibawah
standar yang seharusnya serta penggunaan teknologi konvensional yang membuat proses
produksi tidak maksimal.
Dua permasalahan klasik diatas merupakan sebagian kecil dari hambatan-hambatan yang
membuat produk-produk dalam negeri menjadi lebih rendah mutunya jika dibandingkan dengan
produk-produk yang diproduksi negara-negara maju. Hal ini tentunya menjadi ancaman serius
bagi pelaku usaha nasional karena kita telah memasuki gerbang perdagangan bebas. Sedangkan
pada perdagangan bebas itu diharapkan barang-barang produksi anak bangsa mampu menyaingi
produk luar yang masuk ke Indonesia sehingga dapat tetap menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
b. Kurangnya Kesadaran dan Kebanggaan Untuk Menggunakan Produk Dalam Negeri
Sudah menjadi rahasia umum bahwa produk buatan Indonesia berkelas lebih rendah
dibandingkan dengan produk luar negeri. Masyarakat Indonesia umumnya telah melakukan
pengaturan pada pola pikir mereka bahwa produk asal luar negeri selalu atau bahkan selamanya

akan memiliki kualitas yang lebih bagus dibandingkan produk dalam negeri. Dan karena
kecintaan mereka terhadap produk luar negeri, mereka rela merogoh saku dalam-dalam untuk
sebuah produk luar negeri. Hal tersebut bertolak belakang dengan produk dalam negeri yang
memiliki image buruk bahkan sangat buruk di mata konsumen (masyarakat Indonesia.red).
Jangankan untuk merogoh saku dalam-dalam, merogoh di permukaan saku pun sepertinya
masyarakat enggan kalau uang itu hanya untuk membeli sebuah barang produksi dalam negeri.
Tidak sedikit dari mereka yang bahkan berpikir bahwa membeli barang produksi dalam negeri
sama saja dengan membuang uang.
Ada beberapa alasan yang menjadi faktor utama masyarakat Indonesia lebih memlilih produk
luar negeri. Sebagian dari mereka berasumsi bahwa produk luar negeri memiliki kualitas yang
lebih bagus. Mungkin pengibaratan kualitas produk luar negeri dan produk dalam negeri
bagaikan langit dan bumi. Sangat signifikan! Sebagian lagi berdalih bahwa produk luar negeri itu
lebih elit dan berkelas yang diukur dari segi kualitas atau mungkin juga dari negara asal produk

tersebut. Tidak sedikit yang beranggapan bahwa produk yang berasal dari negara-negara di
Eropa lebih berkelas dibanding produk yang berasal dari negara-negara di kawasan Asia.
Menurut para pecandu produk luar negeri, yang membuat produk dalam negeri terpuruk adalah
tidak sebandingnya harga dengan kualitas produk dalam negeri. Alasan mereka bahwa produk
dalam negeri memiliki kualitas rendah tetapi dipatok dengan harga yang cukup tinggi. Berbeda
dengan produk luar negeri yang mereka anggap sebanding antara kualitas dan harganya.

Walaupun memiliki harga yang relatif lebih mahal, tetapi mereka tidak segan mengorbankan
uang yang lebih banyak untuk barang tersebut.
Sebenarnya banyak alasan yang seharusnya membuat masyarakat Indonesia lebih memilih
produk dalam negeri. Pertama, membeli produk dalam negeri secara langsung dan tidak langsung
akan meningkatkan kesejahteraan para pekerja lokal. Mengapa? Karena semakin banyak
permintaan akan produk dalam negeri akan semakin meningkatkan beban pekerja dan itu berarti
akan meningkatkan pula upah yang mereka terima. Kedua, membeli produk dalam negeri dapat
membantu mengurangi jumlah pengangguran. Apabila permintaan produk dalam negeri
meningkat, maka untuk memenuhi pertambahan jumlah permintaan, produsen kemungkinan
akan menambah jumlah pekerjanya. Dengan kata lain kembali terbuka lowongan pekerjaan bagi
masyarakat yang masih menganggur. Ketiga, membeli produk dalam negeri berarti
meningkatkan pendapatan negara. Alasan terakhir adalah dengan membeli produk dalam negeri
akan menentukan jati diri bangsa. Hal itu merupakan salah satu wujud cinta kita kepada
Indonesia, sebagai warga negara yang baik.
Mungkin banyak yang tidak mengetahui bahwa tidak semua produk dalam negeri memiliki
kualitas yang lebih rendah, misalnya buah-buahan. Sebenarnya membeli buah lokal itu
memberikan lebih banyak manfaat. Cita rasa buah lokal yang lebih enak dan nutrisinya lebih
optimal karena dijual dalam keadaan segar. Harganya pun lebih terjangkau. Selain itu kita ikut
mencegah pemanasan global karena mengurangi jumlah pemakaian kapal kargo yang
mengangkut buah-buahan impor dan tentu saja kualitas buah lokal lebih baik.

Banyak pula yang akan tercengang ketika mereka mengetahui bahwa banyak perusahaan
barang-barang berlabel luar negeri menggunakan jasa orang Indonesia untuk membuat produk
mereka. Seperti tas dan sepatu, banyak orang Indonesia yang bekerja sama dengan produsen luar
negeri. Mereka membuat sepatu atau tas kemudian dikirimkan ke luar negeri, lalu di sana
diberikan label dan dijual kembali kepada konsumen (yang kemungkinan orang Indonesia)
dengan “judul” barang produksi luar negeri. Padahal barang tersebut dibuat di Indonesia. Artinya
barang buatan orang Indonesia tidak selamanya berkelas rendah. Produsen luar negeri saja
mengakui kualitas barang buatan orang Indonesia, mengapa kita sendiri yang notabene
masyarakat Indonesia sepertinya berat untuk mengakui kelebihan itu? Gengsikah?
Tidak banyak pula dari masyarakat kita yang menyadari betapa bangsa ini telah kecanduan
produk luar negeri. Saat ini barang-barang kebutuan sehari-hari mulai dari makanan, minuman,
pakaian, barang elektronik, alat tulis-menulis, sampai korek api pun merupakan barang impor.
Apalagi setelah diberlakukannya sistem perdagangan bebas. Produsen dalam negeri seakan
tertimbun oleh barang impor hingga tak mampu lagi berproduksi karena kalah bersaing dengan
produk luar negeri.

Bukannya produsen dalam negeri menawarkan produk berkualitas lebih rendah, tapi belum
sempat mereka mengembangkan dan memperbaiki kualitas produk yang mereka tawarkan,
produk-produk impor telah masuk dan memporak-porandakan istana perdagangan yang mereka
bangun secara perlahan. Seandainya mereka memiliki waktu untuk memperbaiki produksi

mereka, pasti akan mereka lakukan. Karena perbaikan kualitas produk mereka tidak hanya
memberikan kepuasan bagi konsumen mereka, tetapi juga mendatangkan keuntungan yang lebih
besar bagi mereka. Tetapi sebelum hal itu terjadi, produsen raksasa luar negeri datang sebagai
rival mereka dalam berdagang di negeri sendiri.
Lihatlah yang terjadi pada Korea Selatan yang 40-an tahun lalu tidak ada apa-apanya
dibandingkan dengan Indonesia. Tapi sekarang ‘level’ mereka bahkan berada jauh di atas
Indonesia. Mereka mampu menjadi produsen barang raksasa yang cukup berpengaruh di Asia.
Hal itu tentu saja tidak terlepas dari peranan masyarakat Korea Selatan sendiri. Mereka lebih
bangga dan meras lebih elit bila menggunakan produk buatan negara mereka sendiri.
Hal yang sama juga terjadi pada Jepang. Negara yang terpuruk, bahkan dapat dikatakan mati
ketika dibombardir oleh tentara sekutu pada tahun 1945. Tahun yang sama ketika Indonesia
memproklamirkan kemerdekaannya. Masyarakat Jepang hampir anti dengan produk impor.
Mereka akan tetap mengonsumsi produk dari negara mereka sendiri walaupun harganya lebih
mahal dan kualitas lebih rendah. Tetapi dengan tindakan seperti itu justru membangkitkan
semangat produsen dalam negeri untuk memberikan yang lebih baik bagi para konsumen
mereka. Hal ini merupakan apresiasi atas kesetiaan mereka untuk tetap menggunakan produk
dalam negeri. Sehingga Jepang berhasil melahirkan banyak perusahaan raksasa yang memiliki
pengaruh besar di Asia bahkan dunia. Barang-barang mereka yang bermerk Sony, Honda,
Suzuki, dan Kawasaki menjadi barang kelas elit di Indonesia. Dan sekarang Jepang muncul
sebagai salah satu negara maju di Asia.

Bila kedua negara di atas dibandingkan dengan Indonesia, seharusnya ketiga negara berada di
level keelitan yang sama. Tapi pada kenyataannya, Indonesia tertinggal jauh di bawah mereka.
Khususnya dari segi perdagangan, Indonesia hanya bisa ‘gigit jari’ atas prestasi yang mampu
diraih Jepang dan Korea Selatan. Indonesia bahkan menjadi negara yang cukup konsumtif dalam
menggunakan barang-barang kedua negara tersebut.
Padahal jika Indonesia mau dan berusaha untuk mencari titik cerah seperti ketika Korea Selatan
masih berada di masa suram atau ketika Jepang berusaha bangkit dari keterpurukan, pasti bisa.
Khususnya dalam menghargai produk hasil karya anak negeri. Korea Selatan dan Jepang bisa
seperti sekarang karena masyarakatnya menghargai negara mereka. Mereka mencintai apa yang
ada di negara mereka. Mereka bangga berdiri di atas kaki mereka sendiri, dengan menggunakan
barang-barang dari negara mereka. Tidak seperti Indonesia yang malah merasa elit dan berkelas
ketika menggunakan produk luar negeri. Jangankan bangga, memiliki rasa cinta dan menghargai
produk dari negara mereka sendiri tidak.
Masyarakat Indonesia terlalu gengsi untuk menggunakan produk dalam negeri. Mereka merasa
lebih elit ketika mereka menggunakan sepatu bermerk Adidas atau Puma ketimbang hanya
mengalaskan kaki mereka dengan bungkusan kaki berlabel Cibaduyut. Mereka merasa lebih
berkelas ketika laptop yang mereka gunakan bergambar Apple ketimbang mereka mengetik

dengan Zyrex. Bahkan tidak sedikit dari mereka merasa berlevel lebih tinggi ketika membayar
dengan dolar ketimbang rupiah.

Kapan negara ini bisa maju kalau masyarakatnya saja justru merasa lebih bangga, lebih elit, lebih
berkelas, dan berlevel tinggi ketika mereka dibalut produk bermerk luar negeri? Kapan produsen
dalam negeri bisa maju dan melakukan revolusi terhadap produk mereka kalau tidak ada yang
mau membeli produk mereka? jawaban untuk kedua pertanyaan di atas adalah ‘tidak kan pernah
terjadi’, kalau masyarakat Indonesia masih menggantung tinggi gengsinya untuk menggunakan
produk dalam negeri. Sebuah negara tidak akan pernah maju ketika masyarakatnya tidak
mencintai negara mereka sendiri.
c. Kurangnya Perhatian Pemerintah Pada Produk Dalam Negeri
Peran pemerintah dalam hal memajukan produk dalam negeri sudah pasti sangatlah
penting. Sudah merupakan kewajiban pemerintah untuk mengampanyekan slogan “cinta produk
Indonesia”. Meminta konsumen agar lebih memilih produk buatan dalam negeri dan mendorong
pelaku bisnis (ritel) untuk lebih mengutamakan menjual produk dalam negeri. Namun, jangan
sampai itu hanya jargon belaka. Rakyat diminta mencintai produk dalam negeri sementara para
pejabat sendiri justru lebih suka menggunakan produk dari luar negeri.
Jika pejabat publik, yang seharusnya jadi panutan, justru lebih suka menggunakan produk luar
negeri, bagaimana bisa meminta masyarakat mencintai produk negeri sendiri? Demikian pula
produsen, jika mereka sendiri lebih mencintai produk luar negeri, bagaimana mungkin
mengharapkan konsumen Indonesia mencintai produk buatan mereka?
Pemerintah maupun asosiasi pengusaha, harus menerapkan standardisasi produk. Sebelum
produk dalam negeri dipasarkan, harus memenuhi standar kualitas tertentu. Standar kualitas

produk untuk pasar dalam negeri dengan produk untuk ekspor haruslah sama. Artinya, mereka
harus memberi nilai atau penghargaan yang sama bagi konsumen di tanah air dengan konsumen
di luar negeri. Jangan karena hanya untuk kebutuhan lokal, lantas menganggap remeh soal
kualitas. Seolah-olah kualitas pas-pasan sudah cukup untuk konsumen lokal. Hal ini merupakan
sebuah kekeliruan yang sangat besar.
Apalagi di era pasar bebas, produk dari berbagai belahan dunia sudah membanjiri negeri kita
sehingga konsumen memiliki banyak pilihan. Produsen nasional harus bisa bersaing dengan
menghasilkan produk berkualitas bagus, inovatif, dan harga bersaing. Sehingga masyarakat tidak
merasa seolah-olah dipaksa membeli produk dalam negeri atau bahkan dianggap “berdosa”
karena tidak mencintai produk dalam negeri. Sebab, tak ada yang mau dirugikan dengan
membeli produk berkualitas rendah.
Demikian pula para pegawai negeri sipil (PNS). Mereka juga manusia normal yang memiliki
selera sendiri. Tentu pemerintah tidak bisa memaksa mereka melalui peraturan yang mewajibkan
memakai produk dalam negeri. Pemerintah harus bisa membuktikan bahwa produk dalam negeri,
misalnya produk A, B, C, dan seterusnya, memang memiliki kualitas sebanding (atau bahkan
lebih baik) dibanding produk serupa dari luar negeri.

Tetapi pemerintah justru tidak memberikan teladan yang baik kepada rakyat ,
Contohnya: pada tahun 2008 diadakan acara buka puasa bersama di istana negara . Sangat
disayangkan sekali hampir semua menteri yang menghadiri acara tersebut memakai sepatu
produksi luar negeri. Ironis memang, di tengah kampanye “cinta produk Indonesia” justru
pejabat negara memberikan contoh yang tidak baik.
Konsumen Indonesia juga perlu dilibatkan atau diberi kesempatan ikut berpartisipasi dalam
menilai produk dalam negeri. Konsumen akan loyal terhadap produk dalam negeri bila mereka
merasa produk itu benar-benar sesuai dengan kebutuhan mereka dari segi kualitas, harga, dan
inovasi. Supaya pasar kita yang sangat besar ini tidak justru lebih dinikmati para produsen dari
luar negeri.
Selain itu pemerintah saat ini merasa sudah cukup puas dengan segala sesuatu yang sudah kita
milki, sehingga pemerintah tidak sigap dalam mematenkan produk tersebut . Dengan sikap
pemerintah yang seperti itu, dewasa ini banyak sekali produk-produk dalam negeri yang tanpa
kita sadari sudah dipatenkan oleh negara lain. Alhasil produk-produk dalam negeri tersebut
menjadi milik negara lain .
Dengan sikap pemerintah yang seperti itu sudah pasti rakyat sangatlah kecewa, terkesan
pemerintah tidak menjaga aset yang sudah lama dimiliki oleh negara ini . Inilah salah satu sikap
pemerintah yang justru bertentangan dengan kampanye yang sudah di galakkan yaitu “lestarikan
aset dalam negeri” .
Rakyat pun bingung dengan sikap pemerintah. Rakyat dihimbau untuk melestarikan aset yang
ada tetapi pemerintah tidak memberikan contoh yang sesuai dengan apa yang di galakan.
Bagaimana rakyat bisa menjalankan apa yang digalakkan oleh pemerintah sedangkan pemerintah
sendiri tidak menunjukkan contoh yang riil kepada rakyat .
Dengan sikap pemerintah yang kurang sigap, pasti akan memberikan dampak yang buruk bagi
negara kita. Antara lain menurunnya omset pengusaha dalam negeri yang secara otomatis
menurunkan devisa negara, kemudian hilangnya aset negara karena pemerintah tidak tegas dalam
hal mematenkan aset yang telah dimiliki sehingga negara lain dengan mudah mengambilnya.
Dampak lainnya yaitu adanya ketergantungan dengan produk luar negeri, berkurangnya
kepercayaan masyarakat terhadap produk dalam negeri, hingga jumlah pengangguran meningkat.
Masalah ini bukan mutlak kesalahan pemerintah saja, tapi kita pun sebaiknya introspeksi diri
dalam hal ini. Masih banyak masyarakat yang gengsi apabila harus membeli atau menggunakan
produk dalam negeri. Karena kebanyakan produk luar negeri mempunyai mutu yang lebih baik
dari produk dalam negeri sendiri.
Meskipun sikap pemerintah terkesan plin-plan, rakyat justru harus mempunyai kesadaran sendiri
untuk melestarikan aset yang sudah ada. Mungkin dengan sikap rakyat seperti itu pemerintah
dapat bercermin pada sikap rakyatnya sendiri.

3. Dampak yang Ditimbulkan akibat kurangnya minat akan produk dalam negeri.
1. Produksi nasional menurun (Khususnya produk usaha kecil dan menengah).
2. Pembangunan terhambat.
3. Lapangan kerja semakin sedikit.
4. PHK terjadi dimana-mana.
5. Pengangguran meningkat.
6. Kesejahteraan masyarakat memburuk.
Perlu ditekankan disini imbas dari hal tersebut yang sangat dirasakan ujung-ujungnya adalah
memburuknya kesejahteraan masyarakat yang mana ini sangat bertolakbelakang sekali dengan
prinsip ekonomi kerakyatan yang dianut oleh bangsa Indonesia.
Sistem Ekonomi Kerakyatan yaitu Sistem Ekonomi Nasional Indonesia yang berasas
kekeluargaan, berkedaulatan rakyat, bermoral Pancasila, dan menunjukkan pemihakan sungguhsungguh pada ekonomi rakyat. Sering juga disebut dengan sistem ekonomi yang demokratis.
Dalam sistem ekonomi ini kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran
orang-seorang.
4. Solusi untuk Meminimalisasi Supaya Produk Nasional Tidak Kalah Saing oleh Produk
Impor.
Berdasarkan dampak di atas perlu segera dicarikan solusi supaya produk dalam negeri tetap
bertahan, perekonomian Indonesia membaik juga demi kesejahteraan masyarakat kita. Solusi ini
ditujukan untuk pemerintah agar cepat dan tepat dalam mengambil tindakan. Solusi tersebut
adalah sebagai berikut :
1. Meningkatkan daya saing agar dapat berkompetisi dengan produk impor terutama produk
impor dari China
Caranya adalah dengan memperbaiki masalah infrastruktur. Karena mustahil bagi Indonesia
untuk bersaing dengan China bila tidak ditopang dengan infrastruktur yang memadai.
2. Mengeluarkan kebijakan safeguard
Kebijakan safeguard disisni yaitupengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP). Strategi
ini dilakukan jika memang pemerintah tidak mampu berkompetisi dengan beberapa sektor
perdagangan luar negeri sehingga produk impor tidak terlalu banyak di negara kita.
3. Solusi complementary

Seperti apa yang dikatakan oleh A Prasetyantoko (analis kebijakan dari Center for Financial
Policy Studies), Indonesia perlu memperhatikan struktur produksi dan ekspor mana yang berbeda
dari negara luar. Jadi apa yang tidak di produksi di negara luar, maka produk itu dapat dijadikan
produk ekspor andalan Indonesia ke negara luar. Itulah yang disebut dengan
solusi complementary atau kebijakanperdagangan yang saling melengkapi antara Indonesia
dengan negara luar.
4. Solusi voluntary export restraint (VER)
Dengan VER, Indonesia dapat meminta negara luar untuk secara sukarela membatasi ekspornya
ke Indonesia. Caranya adalah dengan meminta negara luar mencabut subsidi ekspor dan membeli
lebih banyak lagi dari Indonesia.
5. Standarisasi bagi sebuah produk
Dengan penerapan standarisasi bagi sebuah produk diharapkan mutu dari suatu produk terjamin,
sehingga masyarakat kita akan lebih percaya terhadap produk yang dihasilkan dari dalam
negerinya sendiri. Dengan penerapan tindakan ini diharapkan dapat meminimalisasi pasokan
barang-barang impor sejenis.
6. Turunkan pajak ekspor semaksimalnya, dan perketat masuknya barang impor yang tentunya
dengan harga yg demikian murah dapat menghancurkan industri dalam negeri yang baru
bertumbuh.
7. Perketat pengawasan dana asing yang masuk ke negeri ini. Jangan sampai perusahaanperusahaan nasional kita ‘dikerjai’ kembali oleh investor2 asing. Butuh kejelasan porsi
kepemilikan usaha Domestik/Foreign, dan sedikit ketegasan terhadap pemindahan dana usaha ke
luar negeri.

5. Kendala yang Dihadapi Pemerintah dalam Mencapai Produk Nasional Supaya Tidak
Kalah Saing.
Untuk mencapai supaya produk kita tidak kalah oleh produk impor perlu adanya cara untuk
mencapai tujuan tersebut, sebagaimana yang telah dikemukakan dalam solusi di atas. Tapi di sisi
lain dalam pencapaian tujuan tersebut masih ditemukan beberapa kendala diantaranya sebagai
berikut :
1. Kurangnya pengawasan terhadap ekspor-impor barang
Hal ini menyebabkan barang ekspor-impor leluasa masuk ditambah lagi adanya petugas yang
menyalahgunakan kewenangannya (ada petugas yang disogok).
2. Minimnya minat masyarakat untuk berwirausaha

3. Kurangnya pelatihan kepada masyarakat mengenai wirausaha
4. Kurang adanya kejelasan mengenai kepemilikan usaha domestik atau asing.

Sumber :
http://vzheesyeni.blogspot.com/2012/01/penyebab-kalahnya-produk-nasional-oleh.html
http://ighiers.blogspot.com/2010/06/cinta-produk-dalam-negeri-disusun-untuk.html
http://parapenuliskreatif.wordpress.com/tag/produk-dalam-negeri/