SKRIPSI FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

SKRIPSI
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI FERTILITAS PADA
REMAJA USIA 15-24 TAHUN DI INDONESIA
(ANALISIS LANJUT DATA SDKI 2012)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Remaja
2.1.2 Konsep Remaja
Masa remaja adalah masa peralihan dari masa anak dengan masa dewasa
yang mengalami perkembangan semua aspek/fungsi untuk memasuki masa
dewasa. Penggunaan istilah untuk menyebutkan masa peralihan dari masa anak
dengan masa dewasa ada yang memberi istilah pubertas (inggris: puberty), dengan
demikian pubertas dapat diartikan sebagai tahap ketika seorang remaja memasuki
masa kematangan seksual dan mulai berfungsi organ-organ reproduksinya.
Perkembangan ini lebih ditandai dengan perkembangan ciri-ciri seks sekunder
yang merupakan kelanjutan dari pertumbuhan ciri seks primer yaitu terbentuknya
alat kelamin. Masa pematangan fisik ini berjalan lebih kurang dua tahun dan
biasanya dihitung mulai haid yang pertama pada wanita atau sejak seorang lakilaki mengalami mimpi basahnya yang pertama (Rumini, 2004).
Masa pubertas ditandai dengan kematangan organ-organ reproduksi, baik

reproduksi primer (produksi sel sperma, sel telur) maupun sekunder seperti kumis,
rambut kemaluan, payudara, dll. Masa awal pubertas diperkirakan antara 12-14
tahun dan berakhir 18-22 tahun (Anggraeni dan Juliaan, 2007). Tidak ada batas
yang jelas/tajam antara akhir masa kanak-kanan dan awal masa pubertas, aan
tetapi dapat dikatakan bahwa pubertas dimulai dengan awal berfungsinya ovarium
dan berakhir pada saat ovarium berfungsi dengan mantap dan teratur. Pada abad

ini secara umum didapatkan pergeseran mulainya pubertas ke arah umur yang
lebih muda oleh karena terdapatnya peningkatan keadaan gizi dan kesehatan
penduduk (Karkata, 1992).
Remaja dalam arti Adolescence (inggris) berasal dari kata latin adolescere
yang artinya tumbuh ke arah kematangan (Muss, 1968 dalam Rumini, 2004).
Kematangan di sini tidak hanya berarti kematangan fisik, tetapi terutama
kematangan sosial-psikologis. Dalam tulisannya, Gunarso (1978) dalam Rumini
(2004) disebutkan bahwa di Indonesia baik istilah pubertas maupun adolesensia
dipakai dalam arti umum selanjutnya dipakai istilah remaja, tinjauan psikologis
yang ditunjukkan pada seluruh proses perkembangan remaja dengan batas usia
12-22 tahun.
Batasan usia remaja berbeda-beda sesuai dengan sosial budaya setempat.
WHO membagi kurun usia remaja dalam 2 bagian, yaitu remaj awala (10-14

tahun) dan remaja akhir (15-20 tahun). Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
menetapkan usia 15-24 tahun sebagai usia muda (youth) (Sarwono, 2010).
Sedangkan dari segi program pelayanan, definisi remaja digunakan oleh
Departemen Kesehatan adalah mereka yang berusia 10-19 tahun dan belum
kawin. Sementara itu, menurut BKKBN (Direktorat Remaja dan Perlindungan
Hak Reproduksi) batasan usia remaja adalah 10-21 tahun (Ceria BKKBN, 2011).
International Planned Parenthood Federation

(IPPF & PKBI) (1998)

mendefinisikan remaja dengan rentang usia 10-24 tahun (PKBI, 2005).
Tabel 1.
Tahap Perkembangan Remaja
Tahapan Remaja

Umur (tahun) lakilaki

Umur (tahun)
perempuan


Pra remaja

< 11

17

> 16

Sumber: PPFA, Adolescent Sexuality, 2001:1:4 dalam Pangkahila, 2004

2.1.3 Perkembangan Remaja
2.1.3.1 Perkembangan Fisik
Perubahan fisik ditandai dengan kematangan seks sekunder seperti tumbuh
rambut di ketiak dan sekitar alat kemaluan, wajah berminyak dan muncul jerawat.
Pada anak lai-laki tumbuh kumis dan jenggot, jakun dan suara membesar, begitu
pula alat kelaminnya, penis dan buah zakarnya membesar. Puncak dari
kematangan organ reproduksi pada masa remaja, pada anak laki-laki adalah
kemampuannya untuk ejakulasi, yang menunjukkan bahwa ia sudah dapat
menghasilkan sperma. Ejakulasi ini biasanya terjadi di saat tidur dan diawali
dengan mimpi erotis biasanya mimpi ini disebut mimpi basah (PKBI, 2004).

Pada anak perempuan tampak perubahan pada bentuk tubuh karena
tumbuh payudara dan pinggul membesar. Pada masa ini, tinggi badan juga
bertambah pesat. Puncak dari kematangan organ reproduksi pada masa remaja
adalah terjadinya menstruasi pertama (menarche) pada anak perempuan.
Menstruasi menunjukkan bahwa dirinya telah memproduksi sel telur karena tidak
dibuahi, maka akan keluar bersama darah menstruasi melalui vagina/alat kelamin
wanita (PKBI, 2004).
2.1.3.2 Perkembangan Kejiwaan
Sukiat (1991) membagi perkembangan kejiwaan remaja meliputi
perkembangan emosi, intelek, sosial dan moral.
a. Perkembangan emosi erat kaitannya dengan perkembangan hormon, dan
ditandai dengan emosi yang sangat intens dan labil. Terkadang jika marah
bisa meledak-ledak, jia sedang gembira terlihat sangat ceria dan jika sedih
bisa sangat depresif. Remaja belum dapat sepenihnya mengendalikan
emosi, hal ini masih dikatakan normal. Ketika masa anak-anaknya
penurut, tetapi ketika memasuki remaja mereka lebih berani kepada orang
tua. Mereka juga sering menunjukkan bahwa mereka bisa lebih mandiri
dari sebelumnya dan dapat diekspresikan dalam kata-kata dan tindakan.
b. Perkembangan intelek ditandai dengan kemampuan berfikir abstrak,
kausalitas, dan membuat proyeksi ke masa datang, berfikir secara kritis,

artinya tidak mau menerima begitu saja.
c. Perkembangan sosialnya ditandai dengan keterkaitannya pada kelompok
sebaya. Hal ini mengembangkan rasa solidaritas, saling menghargai, saling

menghormati yang sebelumnya tidak dimiliki oleh remaja ketika masa
kanak-kanak. Pada masa ini, selain masalah sekolah, masalah teman dan
ketertarikan pada lawan jenis menjadi lebih kental. Minat sosialnya
bertambah, dan penampilan menjadi lebih penting dibandingkan
sebelumnya. Perubahan fisik seperti tinggi dan berat badan serta proporsi
tubuh dapat menimbulkan perasaan tidak nyaman, seperti ragu-ragu, tidak
percaya diri dan tidak aman (PKBI, 2004).
d. Perkembangan moral, yaitu berkaitan dengan norma-norma etika
perbuatan apa yang baik atau tidak baik. Menurut Kohlberg (1983) dalam
Sukiat,

1991

ada

tiga


tahap

perkembangan,

meliputi

tahap

prakonvensional di mana nilai-nilai moral berada di luar dirinya.
Orientasinya pada kepatuhan dan hukuman yang bersifat egosentris,
maksudnya perbuatan yang baik yang dilakukan hanyalah untuk
memperoleh

pemuasan

kebutuhan-kebutuhannya

dan


menghindari

hukuman. Tahap berikutnya adalah tahap konvensional ditandai oleh
kepatuhan dan ketaatan pada norma-norma dari lingkungannya hanya
semata-mata

untuk

menyenangkan

orang

di

sekitarnya.

Tahap

perkembangan berikutnya adalah pasca-konvensional yaitu kepemilikan
norma yang sudah mendarah daging, rasional dan objektif.

2.2 Fase Perkembangan Perilaku Seksual Remaja
Masa remaja merupakan maturasi maupun psikologik. Perkembangan fisik
termasuk organ seksual serta peningkatan kadar hormon reproduksi atau hormon
seks baik pada anak laki-laki maupun anak perempuan akan menyebabkan
perubahan perilaku seksual remaja secara keseluruhan. Menurut Pangkahila
(2004), perkembangan seksual tersebut sesuai dengan berapa fase mulai dari pra
remaja, remaja awal, remaja menengah sampai remaja akhir.
1) Pra remaja
Masa pra remaja adalah suatu tahap untuk memasuki tahap remaja yang
sesungguhnya. Pada masa pra remaja ada beberapa indikator yang telah dapat
ditentukan untuk menentukan identitas gender laki-laki atau perempuan.
Beberapa indikator tersebut ialah indikator biologis yang berdasarkan jenis
kromosom, bentuk gonad dan kadar hormon. Ciri-ciri perkembangan seksual

pada masa ini antara lain adalah perkembangan fisik yang masih tidak banyak
berbeda dengan sebelumnya. Pada masa pra remaja mereka sudah mulai
senang mencari tahu informasi tentang seks dan mitos seks, baikdari teman
sekolah, keluarga atau dari sumber lainnya. Penampilan fisik dan mental secara
seksual tidak banyak memberikan kesan yang berarti.
2) Remaja awal

Pada masa ini remaja sudah mulai tampak ada perubahan fisik yaitu fisik sudah
mulai matang dan berkembang. Pada masa ini remaja sudah mulai mencoba
melkakukan onani karena telah seringkali terangsang secara seksual akibat
pematangan yang dialami. Rangsangan ini diakibatkan oleh faktor internal
yaitu meningkatnya kadar testosteron pada laki-laki dan estrogen pada
perempuan. Sebagian dari mereka amat menikmati apa yang mereka rasakan,
tetapi ternyata sebagian dari mereka justru selama atau sesudah merasakan
kenikmatan tersebut kemudian merasa kecewa dan merasa berdsa. hampir
sebagian besar laki-laki pada periode ini tidak bisa menahan untuk tidak
melkaukan onani sebab pada masa ini mereka sringkali mengalami fantasi.
Selain itu tidak jarang dari mereka yang memilih melakukan aktifitas non fisik
untuk melakukan fantasi atau menyalurkan perasaan cinta dengan teman lawan
jenisnya yaitu bentuk hubungan telepon, surat-menyurat atau mempergunakan
sarana komputer.
3) Remaja menengah
Pada masa remaja menengah, para remaja sudah mengalami mimpi basah
sedangkan anak perempuan sudah mengalami menstruasi. Pada masa ini,
gairah seksual remaja sudah mencapai puncak sehingga mereka mempunyai
kecenderungan mempergunakan kesempatan untuk melakukan sentuhan fisik.
Namun demikian perilaku seksual mereka masih secara alamiah. Mereka tidak

jarang melakukan pertemuan untuk bercumbu bahkan kadang-kadang mereka
mencari kesempata untuk melakukan hubungan seksual. Sebagian besar dari
mereka mempunyai sikap tidak mau bertanggung jawab terhadap perilaku
seksual mereka yang mereka lakukan.
4) Remaja akhir
Pada masa remaja akhir, remaja sudah mengalami perkembangan fisik secara
penuh, sudah seperti orang dewasa. Mereka telah mempunyai perilaku seksual

yang sudah jelas dan mereka sudah mulai mengembangkannya dalam bentuk
pacaran.
Pada masa pubertas, mulai menyadari adanya rasa tertarik pada lawan jenis dan
mulai mempunyai konsep tentang hubungan antara lawan jenis. Jika mereka
salah dalam mendapatkan patokan atau pandangan mengenai hubungan antar
lawan jenis ini akan berakibat serius pada tahap kehidupan selanjutnya, karena
konsekuensi yang terbatas dari masa pubertas ini adalah efeknya pada
kehidupan yang akan datang terhadap minat, sikap, tingkah laku dan
kepribadian. Bagi remaja, dorongan seksual dan minat terhadap lawan jenis
menjadi bagian penting dalam perkembangannya (Sukiat, 1991).
2.3 Perilaku Seksual
Pada masa remaja, organ-organ reproduksi dan hormon-hormon seksual mulai

berfungsi. Hormon tersebut yang menyebebkan munculnya dorongan seksual.
Bentuk dari semakin berkembangnya dorongan seksual biasanya diekspresikan
sebagai rasa tertarik terhadap lawan jenis. Pada saat remaja, mereka sudah dapat
terdorong untuk mendapatkan kepuasan seksual dan juga lebih sadar sensasi
seksualnya dibandingkan ketika masih kanak-kanak. Hasrat seksual dikspresikan
dalam bentuk perilaku mulai dari saling lirik, berpegangan tangan, mencium,
memeluk, slaing menggesekkan alat kelamin bahkan hubungan seksual. Semua
kegiatan yang bertujuan untuk mencapai kepuasan seksual disebut perilaku
seksual (PKBI, 2004).
2.4 Perkawinan Usia Anak
Menurut United Nations Development Economic and Social Affairs (UNDESA,
2010), Indonesia termasuk negara ke-37 dengan presentase pernikahan usia muda
yang tinggi dan merupakan tertinggi kedua di ASEAN setelah Kamboja. Pada
tahun 2010, terdapat 158 negara dengan usia legal minimal perempuan menikah
adalah 18 tahun ke atas, namun di Indonesia batas usia minimal untuk perempuan
adalah 16 tahun. Menurut SDKI tahun 1991-2012, usia menikah pertama wanita
usia 25-49 tahun sudah di atas 16 tahun dan usia menikah pertama setiap tahunnya
meningkat seperti tampak pada gambar di bawah ini. Pernikahan usia muda
beresiko karena belum cukupnya kesiapan dari aspek kesehatan, mental
emosional, pendidikan, sosial ekonomi dan reproduksi. Pendewasaan usia

perkawinan juga berkaitan dengan pengendalian kelahiran karena lamanya masa
subur perempuan terkait dengan banyaknya anak yang akan dilahirkan. Usia ideal
pernikahan pertama bagi perempuan menurut sebagian besar (37%) remaja
perempuan usia 15-19 tahun adalah usia 24-25 tahun, sedangkan menurut
sebagian besar remaja laki-laki (33%) adalah usia 20-21 tahun. Usia ideal
pernikahan pertama bagi laki-laki menurut sebagian besar remaja laki-laki (49%)
maupun perempuan (42%) adalah usia 24-25 tahun (SDKI 1991-2012, Badan
Pusat Statistik dalam Infodatin, Kemenkes RI)
Perkawinan usia anak mengakhiri masa remaja anak perempuan, yang
seharusnya menjadi masa bagi perkembnagan fisik, emosional dan sosial mereka.
Masa remaja ini juga sangat penting bagi mereka karena ini adalah masa dimana
mereka dapat mempersiapkan diri untuk memasuki masa dewasa (Plan
International, 2012 dalam UNICEF, 2012). Praktik perkawinan usia anak
seringkali menimbulkan dampak buruk terhadap status kesehatan, pendidikan,
ekonomi, keamanan anak perempuan dan anak-anak mereka, serta menimbulkan
dampak yang merugikan bagi masyarakat.
Perkawinan usia anak merupakan pelanggaran dasar terhadap hak anak
perempuan. Perkawinan usia anak melanggar Konvensi tentang Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), dan Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Hukum HAM Internasional
menyatakan bahwa perkawinan merupakan perjanjian formal dan mengikat antara
orang dewasa. CEDAW menyatakan bahwa perkawinan usia anak tidak boleh
dinyatakan sah menurut hukum (pasal 16 (2)).
Konvensi Hak Anak mendefinisikan setiap orang di bawah usia 18 tahun
sebagai anak dan berhak atas semua perlindungan anak (The Convention on the
Rights of The Child, article). Perkawinan usia anak melanggar sejumlah hak asasi
manusia yang dijamin oleh KHA yang diantaranya adalah hak atas kesehatan.
Perkawinan usia anak dapat meningkatkan resiko anak perempuan terhadap
penyakit dan kematian yang berhubungan dengan kehamilan dan persalinan dini.
Selanjutnya, perkawinan usia anak membatasi kontrol anak perempuan atas tubuh

mereka sendiri, termasuk kemampuan seksual dan reproduksi mereka (The
Convention on the Rights of The Child, Article 24, p.7.).
Perkawinan usia anak menyebabkan kehamilan dan persalinan dini, yang
berhubungan dengan angka kematian yang tinggi dan keadaan tidak normal bagi
ibu karena tubuh anak perempuan belum sepenuhnya matang untuk melahirkan
(Centre for Reproductive Rights, 2013). Anak perempuan usia 10-14 tahun
memiliki resiko lima kali lebih besar untuk meninggal dalam kasus kehamilan dan
persalinan daripada perempuan usia 20-24 tahun, dan secara global, kematian
yang disebabkan oleh kehamilan merupakan penyebab utama kematian anak
perempuan usia 15-19 tahun (WHO, 2014). Anak perempuan menghadapi resiko
tingkat komplikasi yang terkait dengan persalinan yang jauh lebih tinggi, seperti
fistula obstetri, infeksi, perdarahan hebat, anemia dan eklampsia (Accountability
for Child Marriage, p. 4).
2.5 Berbagai Resiko Kesehatan Reproduksi
Kesehatan reproduksi remaja dipengaruhi oleh kehamilan, aborsi, penyakit
menular seksual (PMS), kekerasan seksual, dan oleh sistem yang membatasi akses
terhadap informasi dan pelayanan klinis. Kesehatan reproduksi juga dipengaruhi
oleh gizi, kesehatan psikologis, ekonomi dan ketidaksetaraan gender yang
menyulitkan remaja putri menghindarri hubungan seks yang dipaksakan atau seks
komersial (Gage, 1998).
1. Kehamilan
Wanita menikah dan melahirkan di masa remaja mereka di berbagai belahan
dunia. Kehamilan dan persalinan membawa resiko morbiditas dan mortalitas yang
lebih besar pada remaja dibandingkan pada wanita yang telah berusia 20 tahunan,
terutama di wilayah di mana pelayanan medis sangat langka atau tidak tersedia.
(Outlook, Volume 16 Januari 1999 Edisi Khusus: Keselamatan Ibu). Remaja putri
yang berusia kurang dari 18 tahun mempunyai 2 sampai 5 kali resiko kematian
(maternal mortality) dibandingkan dengan wanita yang telah berusia 18-25 tahun
akibat persalinan lama dan persalinan macet, perdarahan maupun faktor lain
(WHO). Kegawatdaruratan yang berkaitan dengan kehamilan, misalnya tekanan

darah tinggi (hipertensi) dan anemia (kurang darah) juga lebih sering terjadi pada
ibu-ibu berusia remaja, terutama pada daerah di mana kekurangan gizi merupakan
endemis.
2. Aborsi yang Tidak Aman
Kehamilan yang tidak diinginkan pada remaja seringkali berakhir dengan aborsi.
Banyak survei yang telah dilakukan di negara-negara berkembang menunjukkan
bahwa hampir 60% kehamilan pada wanita di bawah usia 20 tahun adalah
kehamilan yang tidak diinginkan atau salah waktu (mistimed) (International
Council on Management of Population Programmes (ICOMP), 1997). Pada akhir
tahun 190-an di Kanada, Inggris, Selandia Baru dan Merika Serikat menunjukkan
bahwa 50% lebih dari semua aborsi terjadi pada wanita di bawah usia 25 tahun
(Hanshaw, 1990). Di banyak negara berkembang, mahasiswi atau pelajar yang
hamil seringkali mencari pelayanan aborsi agar mereka tidak dikeluarkan dari
sekolah.
Aborsi yang disengaja (induced abortion) seringkali beresiko lebih besar pada
remaja putri dibandingkan pada wanita yang lebih tua. Remaja cenderung
menunggu lebih lama sebelum mencari bantuan karena tidak dapat mengakses
pelayanan kesehatan, atau bahkan mungkin mereka tidak sadar atau tahu bahwa
mereka hamil. Di berbagai negara, resiko ini menjadi berat di mana aborsi hanya
tersedia dalam keadaan yang tidak aman. Di Nigeria misalnya, 50-70% wanita
yang masuk rumah sakit akibat komplikasi aborsi yang disengaja, umunya mreka
yang berusia di bawah 20 tahun. Sebiah telaah yang dilaksanakan di sana selama
13 tahun, menemukan bahwa 72% kematian ibu di sebuah rumah sakit
universitas, terjadi pada wanita di bawah usia 19 tahun dan disebabkan oleh
komplikasi akibat aborsi yang tidak aman (Unuigbe, 1998).
3. Penyakit Menular Seksual (PMS), termasuk HIV.
Infeksi PMS dapat menyebabkan masalah kesehatan seumur hidup, termasuk
kemandulan dan rasa sakit kronis, serta meningkatkan resiko penularan HIV.
Sekitar 333 juta kasus PMS yang dapat disembuhkan terjadi setiap tahunnya; dan
data yang ada menunjukkan bahwa sepertiga dari infeksi PMS di negara-negara

berkembang terjadi pada mereka yang berusia 13-20 tahun (Islam, Q. STDs: The
burden and The Challenge. AIDScaptions 3 (1):4-7 (May 1996)). Di Pedesaan
Kenya misalnya, 41% wanita berusia 15-24 tahun yang mengunjungi klinik
Kesehatan Ibu-Anak & KB (KIA/KB) terinfeksi PMS dibanding 16% dari seluruh
wanita usia reproduksi (The Alan Guttmacher Institute (AGI),1998).
Resiko remaja untuk tertular HIV/AIDS juga meningkat. Perkiraan terakhir
memperhitungan bahwa 40% dari infeksi HIV terjadi pada kaum muda berusia
15-24 tahun; 7.000 dari 16.000 kasus infeksi baru yang terjadi setiap hari. Infeksi
baru pada kelompok wanita jauh lebih tinggi dibanding pada pria, dengan rasio 2
banding 1.
Kaum muda cenderung lebih beresiko tertular PMS, termasuk HIV/AIDS karena
berbagai sebab. Seringkali hubungan seksual terjadi tanpa direncanakan atau
tanpa diinginkan. (14-15). Walaupun hubungan seks dilakukan atas keinginan
bersama (“mau sama mau”). Seringkali remaja tidak merencanakan lebih dahulu
sehingga tidak siap dengan kondom maupun kontrasepsi lain, dan merek ayang
belum berpengalaman ber KB cendeung menggunakan alat kontrasepsi tersebut
secara tidak benar (Richters, J. et al, 1995). Lebih lanjut, remaja putri mempunyai
resiko lebih tinggi terhadap infeksi dibandingkan wanita lebih tua karena belum
matangnya sistem reproduksi mereka.
2.6

Tantangan Mengembangkan Program yang efektif

Program untuk meningkatkan kesehatan reproduksi remaja menghadapi beberapa
tantangan. Program harus dapat memberikan informasi dan pelayanan klinis yang
tepat, sekaligus membantu remaja mengembangkan kemampuan membuat
keputusan maupun memperoleh keterampilan utama yang lain. Program juga
harus memerhitungkan berbagai faktor yang mempengaruhi “pilihan” remaja
(misalnya norma budaya, pengaruh teman sebaya dan media massa, serta
kesulitan ekonomi) dan mengembangkan strategi program yang mampu
menjawab kebutuhan remaja. Selain itu, program juga harus mampu membangun
masyarakat dan menggalang dukungan politis bagi kegiatan-kegiatan yang
berpusat pada remaja.

2.6.1 Penyediaan Pelayanan Klinis
Pelayanan klinis kesehatan reproduksi remaja paling baik dilakukan oleh petugas
yang telah terlatih menghadapi masalah khas remaja dan mampu memberikan
konseling untuk remaja yang berkaitan dengan masalah reproduksi dan
kontrasepsi yang dinilai sangat peka. Dalam semua kegiatan intervensi, petugas
harus mempertimbangkan status perkawinan si remaja, keadaan kesehatannya
secara keseluruhan, serta seberapa besar kuasa yang mereka miliki dalam
hubungan seks. Remaja seringkali menyebutkan karakteristik berikut ini sebagai
hal yang penting dalam memenuhi kebutuhan kesehatan mereka: jaminan
kerahasiaan, lokasi dan waktu/jam yang sesuai, lingkungan yang bersahabat bagi
remaja, terbuka bagi remaja putri maupun putra, memiliki komponen program
konseling yang kuat, petugas yang terlatih secara khusus serta pelayanan klinis
yang komprehensif (www.pathfind.org).
2.6.2 Pemberian Informasi
Memberikan informasi yang tepat dan relevan tentang kesehatan reproduksi,
merupakan hal yang sangat penting bagi program jenis apapun. Pendidikan dan
konseling yang berbasis di klinik merupkaan hal yang terpenting dalam upaya ini,
demikian pula program yang berbasis di sekolah. Jelas sekali bahwa orangtua
adalah sumber utama informasi, walau seringkali para orangtua merasa kurang
punya informasi, malu membahas topik ini dengan anak mereka, atau bahka tidak
setuju bila remaja mengutarakan minatnya untuk minatnya untuk mengetahui halhal yang berkaitan dengan seksualitas. Pendekatan gaya remaja seperti program
radio “on-air” dimana remaja dapat menelepon, sanggar remaja (drop-inccentres), majalah, “telepon hotline” juga merupakan strategi efektifuntuk
menjangkau remaja.

2.6.3 Mengembangkan Kemampuan
Remaja perlu mengembangkan kemmapuan praktis untuk meningkatkan
kesehatan mereka. Salah satu pendekatan untuk menghadapi tantangan ini adalah

program “Pilihlah Sebuah Masa epan” yang dilaksanakan di lima negara di Sub
Sahara Afrika. Program tersebut menggunakan pelatihan, permainan peran,
kunjungan masyarakat, dan cara-cara lain guna meningkatkan keterampilan
kesehatan, termasuk bagaimana mencegah penyakit menular seksual (PMS),
merumuskan tujuan dan meningkatkan komunikasi dengan keluarga dan teman.
Kurikulum tersebut juga membahas ketidaksetaraan jender yang mempengaruhi
kesehatan dan mempromosikan tanggung jawab bersama antara pria-wanita
terhadap kesehatan (Centre for Development and Population Activities, 1998).
2.6.4 Mempertimbangkan Sisi Kehidupan Remaja
Pandangan remaja atau kaum muda di seluruh dunia sebenarnya dibentuk oleh
situasi dimana merek ahidup, remaja putri dengan pendidikan minim, atau mereka
yang tidak terdidik, mungkin akan melihat kawin muda dan melahirkan sebagai
salah satunya jalan hidup mereka. Anak-anak yang hidup dalam kemiskinan
mungkin merasa tidak ada gunanya merencanakan hari depan dan/atau melindungi
kesehatan mereka. Berbagai faktor lain yang mempengaruhi kesehatan dan
perilaku remaja mencakup:
-

Kemiskinan, termasuk kekurangan gizi;
Kekacauan politik, termasuk penduduk yang tersingkir atau terisolasi;
Tekanan kelompok sebaya dan pengaruh media;
Ketidaksetaraan gender dan eksploitasi seksual;
Tuntutan masyarakat mengenai kehamilan dan melahirkan (childbearing).

Baru-baru ini, sebuah artikel menelaah bagaimana merumuskan strategi
perencanaan program yang didasarkan pada perbedaan tingkat pengalaman
seksual remaja.

2.6.5 Menjamin Program yang Cocok atau Relevan untuk Remaja
Perencana program pertama-tama harus mengidentifikasi secara jelas kelompok
remaja yang bagaimana, yang akan dilayani oleh programnya dan kemudian
melibatkan kelompok remaja tersebut dengan cara yang bermakna guna
mengembangkan program tersebut. Beberapa organisasi misalnya International
Planned Parenthood Federation (IPPF) telah melakukan hal ini dengan

membentuk Panel Penasehat Remaja untuk membantu membentuk ide-ide
program.
2.6.6 Menggalang Dukungan Masyarakat
Program untuk remaja seringkali menghadapi kesulitan untuk memperoleh
penerimaan masyrakat karena orang dewasa takut atau khawatir bila remaja
memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan reproduksi remaja, justru akan
terodrong menjadi aktif secara seksual. Namun hasil evaluasi berbagai program di
berbagai negara membuktikan lain. Berbagai program telah membuktikan bahwa
menjelaskan tujuan program kepada para orang tua, pemuka agama dan tokoh
masyarakat, serta mengundang mereka berduskusi dengan remaja, dapat
mengurangi tantangan atau keberatan mereka terhadap program. Di Nyeri,
Perkumpulan Keluarga Berecana Kenya membantu orangtua mendekati anak-anak
mereka untuk berbagi informasi mengenai kesehatan reproduksi, dan mendorong
adanya diskusi seumur hidup mengenai kesehatan reproduksi. (Hughes, J. And
McCauley, 1998). Di Uganda, Program Pemantapan Kesehatan Reproduksi
Remaja (Program For Enhancing Adolescent Reproductive Life/PEARL)
melibatkan wakil pemerintah, LSM, masyarakat, kaum muda dan lainnya di
dalam program untuk meningkatkan kesadaran mengenai maslah-masalah yang
berkaitan dengan kesehatan reproduksi, mendorong terjadinya advokasi dan
menyediakan pelayanan (UNFPA, 1997).
2.7 Strategi Program
Pengalaman menunjukkan bahwa kombinasi dari berbagai pendekatan seringkali
paling efektif dalam menjangkau kelompok remaja. Namun hanya sedikit program
yang dievaluasi secara seksama berkaitan dengan dampak atau hasil sakhirnya.
Oleh karena itu, menentukan program seperti apa yang paling efektif justru
menjadi tangtangan tersendiri. Berikut ini adlah beberapa pendekatan yang umum
dilakukan.
2.7.1 Pelayanan
Services)

Klinik

Berorientasi

Remaja

(Youth-Oriented

Clinic

Pelayanan ini merupakan pelayanan yang cukup umu di Amerika, Eropa Barat dan
Amerika Latin. Klinik-klinik ini memberikan berbagai pelayanan sosial dan klinis
seperti

kehamilan,

konseling

pencegahan

PMS

dan

pengetesan

atau

pemeriksaannya. Sebagai contoh, pada tahun 1990, rumah sakit Maria Auxiliadora
mulai memberikan pelayanan bagi satu juta remaja di daerah sekitar kota Lima,
Peru. Rumah Sakit tersebut membentuk 10 klinik remaja untuk memberikan
pelayanan dan konseling pencegahan di luar rumah sakit. Keterkaitan antara PMS
dan pelayanan kesehatan reproduksi lainnya tampaknya membuat klinik-klinik ini
lebih bermanfaat bagi remaja (Pathfinder International, 1998).
2.7.2 Klinik Berbasis Sekolah (School-based clinics)
Klinik ini tersedia di beberapa negara maju dan negara berkembang. Pelayanan
yang diberikan bervariasi, tetapi minimum mencakup pemantauan kesehatan dasar
dan pelayanan rujuka. Di negara maju, klinik berbasis sekolah menyediakan
kondom dan konseling yang berkaitan dengan kehamilan dan pencegahan PMS,
serta rujukan untuk berbagai pelayanan lainnya sehubungan dengan kontrasepsi
dan kesehatan reproduksi. Pelayanan klinik seperti ini seringkali mengundang
kontroversi. Di negara berkembang, klinik berbasis sekolah seringkali dibatsi oleh
adanya

pembatasan

kebijakan,

kekurangan

tenaga,

kurangnya

jaminan

kerahasiaan untuk konseling, serta kurangnya jaringan kerja dengan sumber daya
yang ada di luar sekolah. (WHO).
Pusat Multi pelayanan remaja (Youth Center) sering memberikan pelayanan
kontrasepsi sebagai bagian progrma menyeluruh bagi kaum muda, termasuk
pendidikan, rekreasi, dan persiapan kerja. Salah satu program yang berhasil adalah
Women’s Center for Pregnant Adolescents (Pusat Pelayanan Remaja Hamil) di
Jamaica.
Sejak tahun 1978, program ini telah memungkinkan remaja putri untuk
melanjutkan sekolah sekalipun sedang hamil, kembali ke sekolah sesudah
persalinan, dan mencegah terulangnya kehamilan selama masa remajanya. Selama
mengikuti program, remaja putri meneruskan pendidikan akademisnya, menerima
informasi dan pelayanan KB, belajar keterampilan untuk merawat bayi/anak, serta
menerima pelayanan perencanaan hidup (Barnett, B. et al, 1996). Also available at

http://www.fhi.org/en/wsp/wspubs/wspubs.html.) baru-baru ini, evaluasi terhadap
program mengalami kehamilan untuk kedua kalinya sebelum lulus sekolah atau
sebelum mulai bekerja. (UNFPA, 1997).
2.7.3 Program Penjangkauan Berbasis Masyarakat (Community-based
outreach programs)
Program ini merupakan program penting, terutama bagi kelompok seperti remaja
putus sekolah, remaja jalanan, dan remaja putri yang memiliki kesempatan
terbatas untuk keluar dari lingkungannya. Proyek berbasis masyarakat seperti ini
menggunakan berbagai cara untuk menjangkau remaja dimana mereka berkumpul
untuk bekrja atau bermain. Sebagai contoh, di Meksiko, para anggota “gang”
dilatih untuk menjangkau kelompok remaja putus sekolah, bekerjasama dengan
Mexican Social Security Institute (IMMS) dan Perkumpulan Keluarga Berencana
Meksiko (MEXFAM). Sesudah mengikuti sesi pendidikan, para anggota gang
yang tertarik diundang untuk bergabung dalam kelompok teater untuk
mementaskan pertunjukan di tempat umum maupun di sekolah, agar dapat
memberikan informasi kepada kelompok sebaya mereka (Pathfinder, 1998).
2.7.4 Kelompok Remaja
Kelompok remaja seperti Pramuka dan perkumpulan olahraga juga terbukti
bermanfaat dalam memberikan informasi kesehatan reproduksi sebagai bagian
dari program yang berfokus pada kesehatan dan kesejahteraan umum para
anggotanya. Sebagai contoh, Kenya, Persatuan Olahraga Remaja Mathare
(MYSA) sjak tahun 1987 memulai proyek bantu-diri yang melibatkan remaja
putra dan putri dalam kegiatan pengembangan masyrakat dan pada waktu yang
bersamaan juga menyediakan kesempatan berolahraga. Saat ini hampir 3.000
remaja putri berusia 10-18 tahun terlibat dalam program sepakbola masyarakat.
MYSA kemudian mengembangkan program tersebut sengan mencakup pelatihan
kesadaran akan HIV dan bahkan telah memulai proyek kesetaraan gender.
Penelitian di Amrika Serikat menemukan bahwa remaja putri yang terlibat di
dalam kegiatan olahraga yang terorganisir, secara mental dan fisik menjadi lebih
sehat, dan tingkat putus sekolahnya lebih rendah, kepercayaan diri lebih baik, dan

mempunyai tingkat stres dan depresi yang lebih rendah. Semua faktor tersebut
membantu mereka menjadi lebih matang dlam membuat keputusan (Brady, 1998).
2.7.5 Program Kesehatan di Tempat Kerja
Program ini dapat menjadi sumber penting bagi kaum muda pria maupun wanita.
Sebagai

contoh,

sebuah

program

di

Thailand

memberikan

informasi

kesehatanreproduksi bagi pekerja wanita yang tinggal di asrama tempat kerja.
Teman sebaya yang telah dilatih memberikan penyuluhan menggunakan berbagai
media populer sepertoi komik, buku novel dan diskusi kelompok sebaya. Diskusi
ini memberikan kesempatan kepada peserta untuk belajar dan mempraktekkan
keterampilan khusus seperti bernegosiasi, merencanakan, dan mengetahui
kesehatan seksual misalnya dalamhal penggunaan kondom. (Cash, K, and
Anasuchatku, B, 1995).
2.8 Fertilitas
2.8.1 Definisi
Fertilitas merupakan hasil reproduksi yang nyata dari seorang wanita atau
sekelompok wanita semasa hidupnya (Muder (2010) dalam jurnal Pratiwi (2014)).
Pengertian fertilitas dalam demografi lebih dikaitkan dengan banyaknya
anak lahir hidup. Istilah fertilitas dapat diartikan juga sebagai kelahiran hidup
(live birth), yaitu terlepasnya bayi dari rahim seorang perempuan dengan
menunjukkan tanda-tanda kehidupan, misalnya berteriak, bernafas, jantung
berdenyut, dan sebagainya (Mantra dalam Wahyuni, dkk, 2013).
Ruang lingkup fertilitas hanya mengenai peranan kelahiran pada
perubahan penduduk. Hal ini menjadikan fertilitas berkaitan erat dengan bidang
demografi dan dipahami sebagai sesuatu yang berbeda dari fekunditas atau
kemampuan fisiologis seseorang untuk menghasilkan keturunan yang dikaitkan
dengan kesuburan wanita (Yuniarti, dkk, 2013).
2.8.2 Konsep fertilitas
Istilah yang dikenal dalam analisis fertilitas menurut Perserikatan BangsaBangsa (PBB) atau United Nations (UN) dan World Health Organization (WHO)
(Adioetomo dan Samosir, 2011) antara lain:

1. Lahir Hidup (live Birth)
Konsep fertilitas hanya menghitung jumlah bayi yang lahir hidup.
Organisasi

Keseahtan

Dunia

(World

Health

Organization/WHO)

mendefinisikan kelahiran hidup sebagai peristiwa kelahiran bayi, tanpa
memperhitungkan lamnaya berada dalam kandungan, dimana si bayi
menunjukkan tanda-tanda kehidupan pada saat dilahirkan; misalnya
bernafas, ada denyut jantung, atau denyut tali pusat, atau gerakan-gerakan
otot. Dengan demikian, peristiwa bayi yang lahir dalam keadaan tidak
hidup/meninggal (still birth) tidak dimasukkan dalam perhitungan jumlah
kelahiran. Untuk bayi yang lahir hidup tetapi kemudian meninggal,
beberapa saat setelah lahir atau dikemudian hari, kelahiran hidup ini tetap
dimasukkan dalam perhitungan jumlah kelahiran. Tidak termasuk sebagai
kelahiran hidup adalah peristiwa keguguran atau bayi yang lahir dalam
keadaan meninggal (lahir mati).
2. Lahir mati (Still Birth)
Lahir mati adalah kelahiran seorang bayi dari kandungan yang berumur
paling sedikit 28 minggu, tanpa menunjukkan tanda-tanda kehidupan.
3. Aborsi
Aborsi adalah kematian bayi dalam kandungan dengan umur kehamilan
kurang dari 28 minggu. Aborsi dapat terjadi dalam dua macam cara yaitu
dengan disengaja (induced abortion) dan tidak disengaja atau secara
spontan (spontaneous abortion).
4. Masa reproduksi (Reproduvtive/Childbearing age)
Masa reproduksi adalah masa ketika wanita mampu melahirkan atau
disebut juga masa usia subur (15-49 tahun) yaitu sejak mendapat haid
pertama (merachea) dan berakhir pada saat berhenti haid (menopouse).
2.9 Teori Determinan Fertilitas Menurut Para Ahli
2.9.1 Ronald Freedman: Variabel Antara dan Norma Sosial
Freedman merupakan pakar sosiolog yang mengembangkan konsep variabel
antara dari Davis dan Blake menjadi suatu kerangka pikir yang lebih lengkap,
tetapi tetap memakai jalan pikiran bahwa variabel antara yang dikembangkan oleh
Davis dan Blake adalah satu-satunya perantara yang dapat dengan jelas
menerangkan perbedaan fertilitas. Menurut Ronald Freedman, variabel antara
(intermediate variables) sangat erat hubungannya dengan norma sosial yang

berkembang dalam masyarakat. Semua perilaku perempuan yang berkaitan
dengan variabel antara sangat dipengaruhi oleh adat istiadat serta anggapan
masyarakat di sekelilingnya tentang proses kelahiran mulai saat menikah, hamil,
dan melahairkan. Norma sosial tersebut sangat berhubungan dengan tingkat
kemajuan perempuan atau pasangan tersebut, ataupun masyarakat sekelilingnya.
Pada akhirnya, perilaku seseorang akan dipengaruhi oleh norma yang ada.
Menurut Freedman (dalam Rusli, 1985), variabel antara (intermediate variable)
yng dikemukakan Dvis dan Blake menghubungkan antara “norma-norma
fertilitas” yang sudah mapan diterima masyarakat dengan jumlah anak yang
dimiliki (outcome). Ia mengemukakan bahwa “norma fertilitas” yang sudah
mapan di masyarakat dpat sesuai dengan fertilitas yang diinginkan seseorang.
Selain itu, norma sosial dianggap sebagai faktor yang dominan.
Freedman (dalam Mundiharno, 2010), secara umum mengatakan bahwa salah satu
prinsip dasar sosiologi adalah bahwa para anggota suatu masyarakat akan
menghadapi suatu masalah yang timbul berkali-kali dan membawa konsekuensi
sosial yang penting. Mereka cenderung menciptakan suatu cara penyelesaian
normatif terhadap masalah tersebut. Cara penyelesaian ini merupakan serangkaian
aturan tentang bertingkah laku dalam suatu situasi tertentu dan menjadi sebagian
dari kebudayaannya serta masyarakat mengindoktrinasikan kepada para
anggotanya untuk menyesuaikan diri dengan norma tersebut, baik melalui
ganjaran (rewards) atau hukuman (penalty) yang implisit dan eksplisit. Karena
jaumlah anak yang akan dimiliki oleh sepasang suami istri itu merupakan masalah
yang sangat universal dan penting bagi setiap masayarakat, maka akan terdapat
suatu penyimpangan sosiologis apabil atidak diciptakan budaya penyelesaian yang
normatif untuk mengatasi masalah ini.
Jadi norma merupakan “resesp” untuk membimbing serangkaian tingkah laku
tertentu pada berbagai situasi yang sama. Norma merupakan unsur kunci dalam
teori sosiologi tentang fertilitas. Dalam artikelnya yang berjudul “Theories of
Fertility Decline: a Reappraisal”, Freedman (dalam Mundiharjo, 2010), juga
mengemukakan bahw atingkat fertilitas yang cenderung terus menurun di
beberapa negara pada dasarnya bukan semata-mata akibat variabel-variabel

pembangunan makro sperti urbanisasi, tetapi akibat bertambahnya jumlah
penduduk yang melek huruf serta berkembangnya jaringan-jaringan komunikasi
dan transportasi.

Gambar 1.
Kerangka teori yang digunakan dalam penelitian (Pemikiran Ronald Freedman (1973))

Tingkat
Mortalitas
L

Norma tentang
Besarnya Keluarga

I

F
E

N
G
K

R

Struktur Sosial
Ekonomi

Variabel
Antara

U

T
I
L

N

I

G

T

A
Norma tentang
Variabel Antara

N
Program KB

Sumber: Adioetomo, 2011. Dasar-dasar demografi, Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia.

2.9.2 Davis dan Blake: Variabel Antara
Model yang disarankan untuk melakukan analisis sosial yang mempengaruhi
tingkat fertilitas ditunjukkan pada gambar 1. Model bekerja secara ‘backward’
untuk mengetahui kelas variabel yang mempengaruhi tingkat fertilitas masyarakat
atau kelompok masyarakat. Kelas variabel tersebut adalah sebagai berikut:
I. Media pengendalian fertilitas yang berada diantara organisasi sosial dan norma
sosial serta yang lainnya adalah fertilitas itu sendiri. Dalam tulisannya yang
berjudul “The social structure and fertility: an analytic framework” (1956),

A
S

Kingsley David dan Judith Blake melakukan analisis sosiologis tentang
fertilitas. Davis and Blake mengemukakan 11 variabel antara yang
mempengaruhi fertilitas. Masing-masing variabel dikelompokkan dalam tiga
tahap proses reproduksi sebagai berikut:
1) Tahap Hubungan Kelamin (Sexual intercourse).
Terdapat enam variabel antara pada tahap ini yaitu usia kawin pertama,
selibat permanen, lama berstatus kawin, abstinensi sukarela, abstinensi
terpaksa dan frekuensi hubungan kelamin.
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya

hubungan

kelamin

(intercouse variables):
a). Faktor-faktor yang mengatur tidak terjadinya hubungan kelamin.
1. Umur mulai hubungan kelamin
2. Selibat permanen: proporsi wanita yang tidak pernah
melakukan hubungan seksual.
3. Lamanya masa reproduksi sesudah atau di antara hubungan
kelamin.
- Ketika hubungan tidak lagi utuh karena perceraian,
-

perpisahan atau ditinggalkan.
Ketika hubungan tidak lagi utuh disebabkan karena suami

yang meninggal.
b). Faktor-faktor yang mengatur terjadinya hubungan kelamin
a. Abstinensi sukarela/sengaja (pantangan berhubungan seks) (sehabis
melahirkan (postpartum), berhenti seterusnya (terminan), berhenti
berkala, dalam keadaan mengandung dan selama masa haid.
b. Abstinensi terpaksa, berpantang karena terpaksa (oleh impotensi, sakit,
pisah sementara).
c. Frekuensi hubungan seksual (termasuk periode pantang melakukan
hubungan seksual).
2) Tahap Pembuahan (conception)
a). Pada tahap ini terdapat tiga variabel antara yaitu:
a. Fekunditas atau infekunditas karena disengaja, fekunditas atau
infekunditas yang terjadi karena sebab-sebab yang tidak disengaja.

b. Status pemakaian kontrasepsi (memakai atau tidak memakai).
- Mekanik atau kimia.
- Cara lain.
c. Fekunditas atau infekunditas yang dipengaruhi oleh sterilisasi
sukarela/disengaja., subinsisi, perawatan medis.
b). Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya konsepsi (conception
variables):
1. Kesuburan atau kemandulan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor
yang tidak sengaja.
2. Menggunakan atau tidak menggunakan metode kontrasepsi.
3. Kesuburan atau kemandulan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor
yang disengaja (sterilisasi, subinsisi, obat-obatan dan sebagainya).
3) Tahap Kehamilan (gestation)
a). Pada tahap ini terdapat dua variabel antara yaitu keguguran dan aborsi.
b).

Faktor-faktor

yang

mempengaruhi

kehamilan

dan

kelahiran

(conception variables):
3

Mortalitas janin yang disebabkan oleh faktor-faktor yang tidak disengaja

4

(keguguran).
Mortalitas janin yang disebabkan oleh faktor-faktor yang disengaja. (aborsi).
Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Davis dan Blake, variabel

antara ini memiliki nilai kombinasi yang berbeda tetapi dapat menghasilkan
tingkat fertilitas yang sama. Di sisi lain, masyarakat atau kelompok masyarakat
dengan tingkat fertilitas yang berbeda, mungkin memiliki nilai variabel antara
yang sama. Hal ini merupakan asumsi yang seringkali salah, bahwa variabel
antara selalu digunakan dengan sengaja untuk membatasi fertilitas. Efek pada
kesuburan seringkali merupakan akibat pola budaya yang tidak disengaja tanpa
adanya hubungan yang jelas dengan kesuburan. Faktor lain dapat mempengaruhi
kesuburan hanya melalui satu atau lebih variabel antara ini. Gambar 1 ditarik
untuk membuat titik ini. Satu-satunya pengaruh kausal langsung melibatkan garis
koneksi melalui variabel menengah daripada langsung ke fertilitas.
Dalam variabel antara yang dikemukakan oleh Davis dan Blake, terdapat beberapa
kelemahan, tetapi sudah mendapat perbaikan (elaborasi, lebih disempurnakan),
yaitu :

a. Variabel antara yang dikemukakan oleh Davis dan Blake (1956)
merupakan variabel antara yang menghubungkan norma-norma fertilitas
yang sudah mapan diterima oleh masyarakat dengan sejumlah anak yang
dimilikinya. Norma sosial yang sudah mapan tersebut bisa sesuai atau
tidak dengan fertiltas yang diinginkan seseorang. Dalam hal ini norma
sosial dianggap sebagai faktor yang dominan atau menentukan.
b. Diterimanya alat-alat kontrasepsi secara luas merupakan perubahan
variabel antara yang paling penting di dalam menentukan naik-turunnya
fertilitas di negara-negara Barat.
Di Indonesia, dalam menentukan turunnya fertilitas, dipengaruhi oleh tiga faktor
yaitu:
a. Penggunaan kontrasepsi modern.
b. Praktek pembatasan kelahiran secara tradisional.
c. Perubahan pola perkawinan (dari hasil penelitian).
Informasi yang diperoleh dari berbagai hasil penelitian menunjukan bahwa faktor
a. dan c. lebih banyak digunakan.
II. Norma sosial

tentang ukuran (besar) keluarga. Jumlah anak-anak yang

seharusnya dimiliki pasangan adalah masalah yang begitu universal dan
sangat penting di setiap masyarakat sehingga merupakan anomali sosiologis
jika solusi budaya normatif tidak dikembangkan untuk mengatasi masalah ini
dalam banyak kasus. Norma tentang ukuran keluarga seharusnya adalah
menentukan jumlah anak yang diijinkan atau diinginkan, mungkin kira-kira
"setidaknya tiga atau empat" atau "sebanyak mungkin”.
III. Norma sosial tentang masing-masing variabel antara. Sebagian besar variabel
antara dikendalikan oleh norma masyarakat, beberapa (misalnya kontrasepsi)
mungkin tidak diketahui dan oleh karena itu tidak dikenai keputusan budaya.
Ada kemungkinan dalam penelitian untuk menetapkan nilai (jika hanya nol)
terhadap efek sebenarnya dari masing-masing variabel antara meskipun tidak
ada norma yang menjalankan. Norma-norma yang mengatur variabel antara
dapat berkembang untuk memenuhi masalah yang hanya berhubungan
dengan fertilitas. Diskusi terakhir tentang negara-negara berkembang telah
memperhatikan perbedaan antara norma tentang kontrasepsi ukuran keluarga

dan variabel antara lainnya yang mempengaruhi penerapan norma keluarga
kecil. Norma tentang berbagai aspek seks, reproduksi, dan pernikahan
ditemukan di semua masyarakat dan sangat mempengaruhi fertilitas, namun
karena teori tersebut berdasarkan pada takhayul atau pengetahuan ilmiah yang
masuk akal, norma-norma tersebut tidak mudah diidentifikasi.
IV. Aspek organisasi sosial yang berfungsi sebagai pendukung norma tentang
besarnya keluarga dengan menyediakan penghargaan dan hukuman dengan
bergantung pada jumlah anak dalam keluarga. Asumsi di sini adalah bahwa
norma ukuran keluarga akan cenderung sesuai dengan angka yang
memaksimalkan utilitas bersih yang berasal dari memiliki anak di masyarakat
atau lapisan masyarakat. Jelas, aspek-aspek berbeda dari masyarakat dapat
memberikan tekanan ke arah yang berlawanan pada norma-norma. Misalnya,
jika negara memiliki tujuan kesuburan yang lebih tinggi atau lebih rendah,
maka akan direalisasikan oleh keseimbangan imbalan dan hukuman sosial
yang ada, kebijakan kependudukan dapat memberikan tekanan balik terhadap
norma dan praktik tersebut. Memiliki banyak anak dapat dinilai oleh orang
tua sebagai sumber keamanan di masa tua mereka, namun, di sisi lain, banyak
anak dapat memberlakukan beban sulit pada orang tua selama masa
ketergantungan anak.
V. Aspek lain dari organisasi sosial yang mempengaruhi fertilitas. Berbagai
macam praktik atau organisasi sosial dapat mempengaruhi norma tentang atau
nilai sebenarnya dari variabel tengah dengan cara yang kurang sesuai dengan
norma sosial dan ukuran keluarga. Ini mungkin melibatkan spesialiasi
organisasi dalam mengendalikan satu atau lebih variabel antara (Mis.,
Gerakan keluarga berencana). Ini mungkin melibatkan organisasi dan
keefektifan unit keluarga itu sendiri untuk menerapkan norma ukuran
keluarga (misalnya, pola komunikasi internal yang dibutuhkan untuk
konsensus tentang keluarga berencana), mungkin melibatkan organisasi yang
aktivitasnya memiliki tujuan yang sangat berbeda (misalnya, organisasi
keagamaan yang menentukan periode pantangan untuk tujuan ritual).

Norma sosial beroperasi untuk mengendalikan perilaku dalam situasi yang
tepat. Jika ada perbedaan antara norma dan perilaku, realitas norma sosial
tentang ukuran keluarga mungkin dipertanyakan.
Program terorganisir untuk mempengaruhi kesuburan atau variabel antara
atau norma tentang mereka adalah bagian dari organisasi sosial.
Dua kelas variabel sebelumnya (IV dan V) bersama-sama mencakup variabel
sosial dan ekonomi yang bervariasi. Variabel sosial dan ekonomi yang
signifikan dapat dicari, di manapun ada hubungan fungsional yang dapat
disepakati antara beberapa elemen organisasi sosial dan norma untuk ukuran
keluarga, norma untuk variabel antara, atau variabel antara itu sendiri.
VI. Tingkat kematian, yang menentukan seberapa besar surplus kelahiran
diperlukan untuk menghasilkan jumlah normatif anak-anak. Sebagian besar
konsekuensi sosial dan ekonomi dari tingkat kesuburan yang berbeda
mungkin terkait dengan jumlah anak yang masih hidup daripada jumlah
kelahiran. Sebuah norma yang menentukan "tiga atau empat anak" yang
diinginkan cukup konsisten dengan jumlah rata-rata kelahiran hidup per
individu yang jauh lebih besar di masyarakat dengan tingkat kematian tinggi
dan bervariasi. Hal ini mungkin menyebabkan sebagian perbedaan antara
keinginan untuk tiga atau empat anak dan tingkat kesuburan yang jauh lebih
tinggi di daerah kurang maju. Kematian bayi juga dapat mempengaruhi
kesuburan dengan mengurangi periode kemandulan sementara setelah
kelahiran yang disebabkan oleh menyusui. Kematian seorang anak dan
penghentian menyusui akan memperpendek periode penguraian yang
berkurang. Jika seorang anak hidup dan diberi ASI, probabilitas pembuahan
berkurang untuk periode waktu yang terbatas namun signifikan.
VII. Tingkat Net Migrasi, yang menentukan jumlah dan usia orang yang tersedia
untuk keluarga dan masyarakat secara keseluruhan. Pada kebanyakan waktu
dan tempat, migrasi relatif tidak penting dalam keseimbangan reproduksi
seluruh masyarakat, namun dalam bentuk mobilitas fisik dan sosial di dalam
masyarakat, hal itu mungkin memiliki efek yang sangat penting pada
keseimbangan reproduksi, atau fertilitas subkelompok masyarakat.

VIII. Faktor lain di lingkungan yang mempengaruhi variabel antara dengan cara
yang tidak sesuai dengan norma fertilitas. Penyakit kelamin yang
diperkenalkan dari luar, kelaparan yang disebabkan cuaca, atau variabel lain
yang eksogen terhadap sistem sosial dapat mengurangi kesuburan di bawah
tingkat yang diinginkan.
Singkatnya, model ini menentukan bahwa kesuburan setiap kolektivitas sosial
cenderung sesuai dengan tingkat yang ditentukan oleh norma sosial, yang
pada gilirannya merupakan penyesuaian terhadap cara di mana berbagai
jumlah anak mempengaruhi pencapaian tujuan yang bernilai sosial. Dalam
jangka panjang, efek

dari variabel antara yang mempengaruhi fertilitas

mengakibatkan tingkat reproduksi normatif yang lebih rendah. Dalam
masyarakat yang kompleks dan berubah, faktor pengelolaan dan lingkungan
lainnya dapat mempengaruhi variabel antara dengan cara yang tidak sesuai
dengan norma ukuran keluarga.
Dalam sebuah Jurnal Kependudukan dikatakan bahwa menurut Freedman (1975)
mengembangkan faktor yang mempengaruhi fertilitas secara tidak langsung yang
lebih multidisipliner yaitu mengkaji dari berbagai aspek kehidupan yaitu: sosial,
ekonomi, demografi, program, dan norma tentang besar keluarga serta norma
tentang intermediate variable.
4.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Fertilitas
4.4.1 Umur
Umur adalah salah satu faktor sterilitas terpaksa yang penting dalam menentukan
fertilitas. Pada awal masa reproduksinya, seorang wanita mungkin kurang subur
karena ovulasinya tidak teratur, dan ini menyebabkan sterilitas masa remaja.
Kesuburan dan tingkat fertilitas wanita menurut umur mencapai puncaknya pada
usia 20-29 tahun, kemudian menurun saat masih haid yaitu pada umur 50 tahun,
dan menjadi steril untuk seterusnya (Lucas et al, 1995).
Teori menyatakan bahwa semakin tinggi umur ibu, maka semakin banyak jumlah
anak yang dilahirkan, karena masa kemungkinan hamil yang makin panjang
(Adioetomo, 1980). Hasil penelitian yang serupa oleh Ananta (1986), Santoso
(1980), Suwarno (1987), Utari (2002), Fathimah (2002), penelitian yang

dilakukan oleh BKKBN (1999) dan Deswarini (2004) memperlihatkan bahwa
rata-rata jumlah anak akan meningkat sejalan dengan meningkatnya umur wanita.
Secara lebih lanjut Adioetomo (1980) menjelaskan bahwa kelompok umur wanita
akan mempengaruhi tingkat kesuburannya, dimana jumlah anak yang dimiliki
akan membentuk pola huruf U terbalik atau seperti lonceng (Adioetomo, 1980).
4.4.2 Daerah Tempat Tinggal
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) daerah perkotaan adalah suatu wilayah
administratif setingkat desa/kelurahan yang memenuhi persyaratan tertentu dlama
hal kepadatan penduduk, persentase rumah tangga pertanian, dan sejumlah
fasilitas perkotaan, seperti jalan raya, sarana pendidikan formal, dan sarana
kesehatan. Sedangkan daerah perdesaan ad