Pengaruh Kepemimpinan terhadap Kinerja P

PENGARUH KEPEMIMPINAN TERHADAP KINERJA
PEGAWAI YANG DIMEDIASI OLEH BUDAYA ORGANISASI
KOMITMEN KERJA DAN MOTIVASI KERJA
Syahruddin Sappe
Fakultas Ekonomi Universitas Cenderawasih
Yohanis Rante
Fakultas Ekonomi Universitas Cenderawasih
Ruben Tuhumena
Fakultas Ekonomi Universitas Cenderawasih
Bonifasia Elita Bharanti
Fakultas Ekonomi Universitas Cenderawasih
ABSTRACT
Main mission of regional autonomy is intended to improve the quality of public
services and the welfare of the community, creating efficiency and effectiveness of
human resource management, as well as empowering and creating a space for people
to participate actively in the development process. Therefore, it needs a leader who
can act generate commitment, motivation and optimism in carrying out the work, foster
an atmosphere of cooperation, and can affect the behavior of subordinates who have
an impact on improving the performance of employees. This study aims to identify and
assess the relevance of leadership on employee performance mediated by
organizational culture, work commitment and work motivation as determinants of

employee performance improvement.
The sample used in this study were 160 respondents to the analysis unit
employees in Food Security Council Keerom Papua Province. Data was collected by
questionnaires followed by in-depth interviews. Quantitative Data Analysis using
Structural Equation Modeling (SEM) with the help of the program Analysis Moment
Structures (AMOS).
The results of this study indicate that, good leadership can improve employee
performance, when considering the factors that come into play that organizational
culture, work commitment and motivation work to DKP in Keerom Papua Province.
Furthermore, the results of this study that the strengthening of organizational culture
and high employee commitment can lead to increased motivation.
Keywords: Leadership, organizational culture, job commitment, work motivation and
performance of employees.
PENDAHULUAN
Kebijakan Otonomi Daerah yang diimplementasikan berdasarkan UndangUndang Republik Indonesia Nomor 22 tahun 1999 dan Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah yang mengakibatkan terjadinya pergeseran peran mendasar
dari posisi Negara yang sentralistik menjadi desentralistik. Mencermati hal tersebut,
bahwa misi utama penyelenggaraan otonomi daerah dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat, menciptakan efesiensi
dan efektivitas pengelolaan sumberdaya manusia, serta memberdayakan dan
menciptakan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam proses

pembangunan. Daya dukung ini memberi manfaat bilamana roda pemerintahan
dikelola dan dilaksanakan oleh pemimpin yang mampu menjadi inspirator untuk
mendorong motivasi kerja melalui budaya organisasi dan komitmen kerja pegawai,
sehingga mampu meningkatkan kinerja (Alisyahbana, 2008).

Temuan Lusiana (2009) menyatakan bahwa tingkat komitmen dan loyalitas
pegawai Indonesia relatif masih rendah, bahkan 22 % lebih rendah dibanding 10
negara lain dikawasan Asia, dan hasil penelitian terhadap 8.000 responden dari 46
organisasi sektor publik di Indonesia, kepemimpinan juga masih rendah karena
pegawai menilai tidak mendapat arahan pengembangan karier yang memadai dari
pemimpinnya, Sutikno (2007).
Beberapa fenomena di era otonomi daerah; pertama: rendahnya kompetensi
yang dimiliki pemimpin, hal ini tidak terlepas dari pola promosi yang kurang
mempertimbangkan kompetensi pemimpin yang akan diangkat; kedua: pemimpin
dalam menjalankan organisasi belum digerakkan oleh visi dan misi organisasi; ketiga:
pemimpin mengandalkan kewenangan formal yang dimilikinya, kekuasaan dijadikan
kekuatan dalam menggerakkan para pegawai, pemimpin kurang memahami
perbedaan karakteristik yang dipunyai para pegawai; dan keempat: kebijakan alih
tugas yang terlalu sering dilakukan berpotensi besar untuk melahirkan pemimpin
(pejabat) pesanan yang didasarkan pada karier yang tidak profesional.

. Pembangunan daerah dilaksanakan melalui pengembangan otonomi daerah
dan pengaturan sumberdaya yang memberikan kesempatan bagi terwujudnya tata
pemerintahan yang baik, sehingga tercipta suatu lingkungan yang memungkinkan
masyarakat untuk menikmati kualitas kehidupan yang lebih baik, maju, tenteram, dan
sekaligus memperluas pilihan yang dapat dilakukan masyarakat bagi peningkatan
harkat, martabat, dan harga diri, sebagaimana yang diutamakan dalam pembangunan
daerah di tanah Papua.
Mencermati hal tersebut, maka salah satu masalah yang perlu penanganan
secara serius di era otonomi daerah adalah masalah ketahanan pangan karena
menyangkut keberlangsungan suatu daerah atau negara untuk kehidupan generasi
penerus bangsa. Rentannya kondisi ketahanan pangan akhir-akhir ini, telah
memperlambat proses pembangunan di daerah secara khusus dan nasional pada
umumnya.
Sejalan dengan UU RI No 32 Tahun 2004 dalam era otonomi daerah telah
membawa perubahan dalam hal penanganan ketahanan pangan nasional di Papua
ini. Peran pemerintah dalam upaya memajukan ketahanan pangan dilakukan oleh
Dewan Ketahanan Pangan (DKP) Papua dengan berbagai cara seperti memperkuat
struktur ekonomi masyarakat berbasis agribisnis dan meningkatkan peranan serta
swadaya masyarakat lokal, membuat kebijakan diversifikasi pangan yang dapat
memperkuat ketahanan pangan, serta perlindungan lahan pertanian pangan

berkelanjutan. Melalui program penanganan ketahanan pangan dalam era otonomi
daerah dimana peran pemimpin sangat memegang peranan penting. Penanganan
ketahanan pangan secara berkesinambungan dan berkelanjutan terus dipacu oleh
pemerintah Kabupaten Keerom Provinsi Papua melalui Dewan Ketahanan Pangan
sesuai Keputusan Bupati Keerom Nomor 130 Tahun 2014 tentang DKP sebagai
lembaga yang mewadahi SKPD teknis di daerah ini, yakni: (1) Dinas Pertanian,
Peternakan dan Perikanan Kabupaten Keerom, (2) Dinas Perkebunan dan Kehutanan
Kabupaten Keerom, (3) Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan
Kehutanan Kabupaten Keerom, dan (4) Dinas Koperasi, Perindustrian dan
Perdagangan Kabupaten Keerom.
Berdasarkan fenomena yang ada pada Dewan Ketahanan Pangan di daerah ini,
diperoleh fakta bahwa masih ditemui beberapa jenis komoditas ketahanan pangan
masih didatangkan dari luar daerah, salah satunya adalah beras yang merupakan
makanan pokok masyarakat. Fenomena ini bertolak belakang dengan keadaan yang
ada dimana alamnya luas dan subur, disisi lain beras masih didatangkan dari luar
daerah. Hal ini perlu dicermati secara mendalam dari pengelolah daerah yang
membantu pimpinan daerah dalam ketersediaan pangan. Sehubungan dengan fakta
tersebut dapat kita amati, bahwa pegawai negeri sipil yang ada pada Dewan
Ketahanan Pangan ini di dalam melaksanakan tugas pokoknya belum optimal.
2


Belum optimalnya kinerja pegawai pada satuan kerja, sehingga kualitas
sumberdaya manusia menjadi penting untuk dikaji, hal ini berdampak pada perlunya
upaya mengembangkan sumberdaya manusia sebagai salah satu kompetensi penting
yang dimiliki organisasi untuk menghadapi era globalisasi saat ini yang dihadapkan
kita dari berbagai tantangan yang sangat kompleks, diantaranya bagaimana kebijakan
ketahanan pangan daerah atau nasional di dalam memenuhi kebutuhan pangan
masyarakatnya setiap saat dalam jumlah dan mutu yang tepat.
Pentingnya masalah kepemimpinan, menjadikan pemimpin selalu menjadi fokus
evaluasi mengenai penyebab keberhasilan atau kegagalan organisasi. Hal senada
juga didukung pendapat Schein (1992) menyatakan bahwa pemimpin mempunyai
pengaruh yang besar terhadap keberhasilan organisasi dalam menghadapi tantangan
yang muncul. Di antara teori-teori manajemen yang ada, salah satunya adalah model
Primal Leadership, dimana model kepemimpinan ini dibangun berdasarkan kaitannya
dengan neurologi, riset mengenai otak, menunjukkan mengapa suasana hati dan
tindakan berdampak besar pada pegawai yang dipimpinnya. Penemuan ini memberi
kerangka baru bahwa seorang pemimpin yang cerdas dalam hal emosi mampu
menginspirasi, membangkitkan gairah dan antutisme serta membuat orang tetap
termotivasi dan berkomitmen dalam melaksanakan pekerjaan dan menumbuhkan
atmosfir kerjasama, gairah serta dapat mempengaruhi perilaku bawahan berdasarkan

nilai-nilai yang dimiliki untuk mencapai tujuan organisasi (Goleman et al., 2004).
Kepemimpinan yang cerdas dalam hal emosi akan mendatangkan kewibawaan
dan akibatnya mendatangkan kinerja yang baik. Pemimpin mempunyai kekuatan untuk
mempermainkan emosi setiap pegawai. Jika emosi pegawai didorong kearah
atusiasme, kinerja akan meningkat dan sebaliknya jika emosi pegawai didorong
kearah kebencian dan kecemasan kinerja akan menurun (Goleman et al, 2004).
Dari hasil penelitian terdahulu menemukan bahwa, peran kepemimpinan dalam
meningkatkan kinerja tidak terlepas dari peran budaya organisasi, komitmen kerja dan
motivasi kerja. Kepemimpinan merupakan variabel penting dalam memperkuat budaya
organisasi pada suatu organisasi. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa kepemimpinan berpengaruh positif terhadap budaya organisasi (Xenikou dan Simosi, 2006;
Kuchinke, 2004). Begitu pula kepemimpinan dan budaya organisasi memiliki dampak
sinergi terhadap kinerja (Amran et al., 2007; Tsang, 2007). Disamping itu terdapat
hubungan yang positif signifikan antara kepemimpinan dan kinerja (Goleman, 2004;
Carmeli, 2003).
Gibson et al., (1996) mengeksplor lebih lanjut hubungan antara kepemimpinan
dengan komitmen kerja yang menyimpulkan bahwa karyawan yang diberdayakan oleh
pemimpin akan berkomitmen tinggi terhadap organisasi. Kepemimpinan dan komitmen
kerja mempunyai dampak sinergi terhadap kinerja karyawan. Carmeli (2006) menyatakan bahwa pemimpin yang mempunyai tanggung jawab yang tinggi serta perhatian
akan berdampak pada komitmen yang tinggi. Begitu pula Gilder (2003) menyimpulkan
bahwa komitmen kerja yang tinggi akan berpengaruh positif terhadap kinerja

karyawan.
Herzberg dalam Siagian (2004), penemu teori motivasi dua faktor, bahwa
kepuasan kerja berasal dari keberadaan motivator intrinsik (seperti kemajuan,
pengetahuan, pekerjaan, dan tanggung jawab). Dijelaskan lebih lanjut, bahwa
ketidakpuasan kerja berasal dari ketidakberadaan faktor ekstrinsik (seperti kondisi
kerja, upah, hubungan antar pribadi, pengawasan, dan kebijakan organisasi). Strategi
memotivasi pegawai harus tetap diperhatikan karena merupakan faktor penentu
kesuksesan organisasi. Pemimpin yang dapat memotivasi pegawainya akan
menghasilkan peningkatan kinerja. Hal ini sejalan dengan hasil temuan Porter dan
Lawler (1968), Rajiv Metha et al., (2003), bahwa kepemimpinan dengan tingkat
kematangan yang tinggi, akan berdampak positif terhadap motivasi kerja. Selanjutnya
kepemimpinan dan motivasi kerja yang tinggi mempunyai dampak sinergi terhadap
kinerja pegawai.
3

Berdasarkan saling keterkaitan antar variabel penelitian, dapat dibangun
kerangka konseptual penelitian seperti pada gambar berikut ini.
Gambar: 1 Kerangka Konsep Penelitian

METODE PENELITIAN

Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif
(positivism). Pendekatan kuantitatif ini, adalah melakukan teknik survey yaitu suatu
penelitian yang mengambil sampel dari suatu populasi dengan mengandalkan
kuesioner sebagai instrumen pengumpulan data, untuk memperoleh informasi dan
fakta secara faktual dan pada umumnya unit analisisnya adalah individu (Singarimbun
dan Effendi,1995).
Jenis Penelitian
Penelitian ini dimaksudkan untuk menguji dan menganalisis pengaruh
kepemimpinan, terhadap kinerja pegawai yang dimediasi oleh budaya organisasi,
komitmen kerja dan motivasi kerja. Penelitian ini eksplanatori, yaitu suatu penelitian
yang bertujuan untuk menemukan penjelasan tentang hubungan kausal atau
pengaruh hubungan antar variabel dengan variabel lain, dan melakukan pengujian
hipotesis (Singarimbun, 1995).
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada Dewan Ketahanan Pangan Kabupaten Keerom
Provinsi Papua.
Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah keseluruhan Pegawai
Negeri Sipil (PNS) pada Dewan Ketahanan Pangan Kabupaten Keerom sebanyak 267

orang.
Penentuan jumlah sampel dilakukan dengan menggunakan rumus Slovin (Umar,
2001) sebagai berikut:
N
267
267
n =
=
=
= 160 orang
1 + Ne²
1 + 267 (0,05) (0,05)
1, 67
Dimana:
n = Jumlah sampel
N = Jumlah populasi
e = Persentase tingkat kesalahan pengambilan sampel yang dapat diterima,
dalam penelitian ini ditentukan 5% (0,05)
4


Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan melalui dua cara yaitu:
(a) penyebaran daftar pertanyaan (kuesioner), dan (b) wawancara mendalam (indepth
interview).
Skala Pengukuran
Metode pengukuran yang digunakan adalah Likert Scala, untuk mengukur sikap
dengan menyatakan setuju atau ketidak-setujuannya terhadap subyek, obyek atau
kejadian tertentu.
Metode Analisis
Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Structural Equation
Modeling (SEM). Metode SEM digunakan untuk menganalisis hubungan kausal antar
variabel yang ditetapkan dalam penelitian ini baik secara langsung (direct effects)
maupun tidak langsung (indirect effects) Ferdinand, 2002.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis SEM tentang hubungan antar konstruk (variabel laten) secara
keseluruhan pada modification indeces model tahap akhir, seperti pada gambar
berikut ini.
Gambar 2 Hasil Uji Model antar Variabel Penelitian

Hasil uji konstruk model penelitian yang tersaji pada Gambar 2 dievaluasi

berdasarkan goodness of fit indices, seperti pada tabel berikut ini.
Tabel 1 Evaluasi Kriteria Goodness of Fit Indices Overall Model Penelitian
Goodness of fit
Hasil Model
Keterangan
Cup-of Value
Indexes
Chi Square (X²)
Diharapkan kecil
158,642
Baik
Sign. Probability
≥ 0,05
0,161
Baik
CMIN/DF
≤ 2,00
1,117
Baik
GFI
≥ 0,90
0,911
Baik
AGFI
≥ 0,90
0,880
Cukup Baik
TLI
≥ 0,90
0,991
Baik
CFI
≥ 0,90
0,993
Baik
RMSEA
≤ 0,08
0,027
Baik
Sumber : Data Primer (diolah), 2014
5

Tabel 1 menunjukkan bahwa model dapat diterima dibuktikan oleh nilai hasil
model yang telah disyaratkan dari cut-of value, sehingga data dapat diuji selanjutnya
untuk mengetahui seberapa besar nilai estimasi dari setiap variabel penelitian.
Variabel penelitian dikatakan signifikan dalam mengukur atau membentuk variabel
independen dan variabel dependen apabila nilai t hitung (critical ratio) ≥ dari t tabel
atau bila nilai p ≤ 0,05. Dengan demikian model dapat diterima dan diuji lebih lanjut.
Selanjutnya, dilakukan uji pengaruh antara konstruk yaitu pengaruh secara
langsung (direct effects) dan pengaruh secara tidak langsung (indirect effects). Hasil
komputasi pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung dapat dilihat pada tabel
berikut ini.
Tabel 2 Pengujian Pengaruh Antar Konstruk Variabel Penelitian
Variabel
Independen
Kepemimpinan
Kepemimpinan
Kepemimpinan
Kepemimpinan
Budaya
Organisasi
Budaya
Organisasi
Komitmen Kerja
Komitmen Kerja
Motivasi Kerja

Variabel
Dependen
Budaya
Organisasi
Komitmen
Kerja
Motivasi
Kerja
Kinerja
Pegawai
Motivasi
Kerja
Kinerja
Pegawai
Motivasi
Kerja
Kinerja
Pegawai
Kinerja
Pegawai

Langsung

Pengaruh
Tidak
Langsung

0,803

0,000

0,791

CR

P-Value

Keputusan

0,803

9,154

0,000

Diterima

0,000

0,791

8,485

0,000

Diterima

0,334

0,475

0,809

2,014

0,044

Diterima

0,226

0,640

0866

1,807

0,071

Ditolak

0,313

0,000

0,313

2,474

0,013

Diterima

0,238

0,093

0,331

2,540

0,011

Diterima

0,282

0,000

0,282

2,141

0,032

Diterima

0,262

0,084

0,346

2,765

0,006

Diterima

0,299

0,000

0,299

2,553

0,011

Diterima

Total

Sumber : Data Primer (diolah), 2014
Tabel 2 menunjukkan bahwa kepemimpinan secara langsung berpengaruh
positif terhadap budaya organisasi sebesar 0,803 atau 80,30%, secara langsung
berpengaruh positif terhadap komitmen kerja 0,791 atau 79,10%, secara langsung
berpengaruh positif terhadap motivasi kerja sebesar 0,334 atau 33,40%, dan secara
tidak langsung melalui budaya organisasi dan komitmen kerja berpengaruh positif
terhadap motivasi kerja sebesar 0,475 atau 47,50%, secara langsung pengaruh
terhadap kinerja pegawai sebesar 0,226 atau 22,60% berpengaruh tidak signifikan,
dan secara tidak langsung melalui budaya organisasi, komitmen kerja dan motivasi
kerja berpengaruh positif terhadap kinerja pegawai sebesar 0,640 atau 64,00%.
Selanjutnya budaya organisasi secara langsung berpengaruh positif terhadap motivasi
kerja sebesar 0,313 atau 31,30%, secara langsung berpengaruh positif terhadap
kinerja pegawai sebesar 0,238 atau 23,80%, dan secara tidak langsung melalui
motivasi kerja berpengaruh positif terhadap kinerja pegawai sebesar 0,093 atau
9,30%. Sedangkan komitmen kerja secara langsung berpengaruh positif terhadap
motivasi kerja sebesar 0,282 atau 28,20%, secara langsung berpengaruh positif
terhadap kinerja pegawai sebesar 0,262 atau 26,20%, dan secara tidak langsung
melalui motivasi kerja berpengaruh positif terhadap kinerja pegawai sebesar 0,084
atau 8,40%. Motivasi kerja secara langsung berpengaruh positif terhadap kinerja
pegawai sebesar 0,299 atau 29,90%.
6

Temuan Akhir Penelitian
Berdasarkan hasil analisis statistik diperoleh model akhir penelitian sebagai
berikut:
Gambar 3 Model Temuan Akhir Penelitian

Keterangan: (S) berpengaruh signifikan
(TS) berpengaruh tidak signifikan

Model temuan akhir di atas memberikan implikasi sebagai berikut:
1. Kepemimpinan berpengaruh terhadap kinerja pegawai melalui budaya organisasi,
komitmen kerja dan motivasi kerja. Oleh sebab itu dapat dijelaskan bahwa
kepemimpinan yang memiliki nilai kesadaran diri, kesadaran sosial dan
pengelolaan diri, mampu meningkatkan kinerja pegawai dalam bentuk kuantitas,
kualitas dan waktu, apabila memperhatikan budaya organisasi, komitmen kerja
dan motivasi kerja. Sehingga pengaruh kepemimpinan terhadap kinerja pegawai
melalui budaya organisasi, komitmen kerja dan motivasi kerja memberikan
pengaruh yang bermakna dan sifatnya sebagai variabel intervening penuh (fully
intervening). Dengan demikian budaya organisasi, komitmen kerja dan motivasi
kerja mampu memediasi kepemimpinan dengan kinerja pegawai. Hal ini
memperkuat pendapat Goleman (2004) bahwa seorang pemimpin adalah
mampu membangkitkan komitmen, motivasi, optimisme dalam melaksanakan
pekerjaan serta menumbuhkan atmosfir kerjasama, gairah yang dapat
mempengaruhi perilaku bawahan untuk mencapai tujuan organisasi.
2. Kepemimpinan berpengaruh terhadap motivasi kerja, baik secara langsung
maupun secara tidak langsung melalui budaya organisasi dan komitmen kerja.
Oleh sebab itu dapat dijelaskan bahwa kepemimpinan yang memiliki nilai
kesadaran diri, kesadaran sosial dan pengelolaan diri, mampu meningkatkan
motivasi kerja yaitu adanya daya dorong yang timbul dari dalam diri pegawai.
Oleh karena itu, pengaruh kepemimpinan terhadap motivasi kerja melalui budaya
organisasi dan komitmen kerja memberikan pengaruh yang bermakna dan
bersifat fully intervening. Hal ini memperkuat teori yang menyatakan, bahwa
seorang pemimpin harus mengetahui karakter (sifat, perilaku, kemampuan dan
pengetahuan) setiap pegawai, karakter setiap pegawai berbeda dengan karakter
pegawai lainnya. Dengan mengetahui karakter masing-masing pegawai, maka
pemimpin dapat menentukan pemberian motivasi kepada masing-masing
pegawai (Siagian, 2004). Hal yang sama dikemukakan oleh Herzberg bahwa
hanya pekerjaan menantang yang memotivasi pegawai.
3. Budaya organisasi berpengaruh terhadap kinerja pegawai secara langsung dan
tidak langsung melalui motivasi kerja. Oleh sebab itu dapat dijelaskan bahwa
budaya organisasi yang kuat akan memicu motivasi kerja yang tinggi, sehingga
akan meningkatkan kinerja pegawai. Budaya organisasi yang kuat dapat diartikan
bahwa pegawai yang bekerja dengan inovasi dan berani mengambil resiko serta
7

memperhatikan hal-hal yang detail akan mampu memicu motivasi instrinsik yakni
adanya daya dorong yang timbul dari dalam diri pegawai terhadap organisasi
akan berdampak pada kualitas kerja lebih baik. Hal ini memperkuat pendapat
Schein (1992) bahwa budaya organisasi akan memotivasi pegawai agar mau
bekerja sama secara produktif berhasil mencapai dan mewujudkan tujuan yang
telah ditetapkan.
4. Komitmen kerja berpengaruh terhadap kinerja pegawai, baik secara langsung
maupun secara tidak langsung melalui motivasi kerja. Oleh sebab itu dapat
dijelaskan bahwa membaiknya komitmen kerja yang tinggi akan memicu pula
motivasi kerja yang tinggi, sehingga akan meningkatkan kinerja pegawai.
Komitmen kerja yang tinggi ditandai dengan adanya keyakinan dan loyalitas yang
tinggi, akan mampu memicu motivasi instrinsik yakni adanya daya dorong yang
timbul dari dalam diri pegawai terhadap organisasi akan berdampak pada kualitas
kerja lebih baik. Hal ini memperkuat pendapat Luthans (1996), bahwa komitmen
individu yang ditunjukkan melalui keterlibatan dirinya pada organisasi, khususnya
meyakini atau mempercayai tujuan dan nilai organisasi, membantu usaha dalam
mencapai tujuan organisasi. Memperkuat teori dua faktor Herzberg dalam
Siagian (2004) bahwa hubungan seseorang dengan pekerjaannya sangat
mendasar dan karena itu sikap seseorang terhadap pekerjaannya sangat
mungkin menentukan keberhasilan dan kegagalan.
Implikasi Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini mampu membangun model teoritik tentang pengaruh
kepemimpinan terhadap kinerja pegawai yang dimediasi oleh budaya organisasi,
komitmen kerja dan motivasi kerja. Model ini juga mampu menjelaskan bahwa
pengaruh kepemimpinan secara langsung terhadap kinerja pegawai tidak signifikan,
namun pengaruh kepemimpinan secara tidak langsung terhadap kinerja pegawai
melalui budaya organisasi, komitmen kerja dan motivasi kerja memberikan pengaruh
yang bermakna dan sifatnya sebagai variabel intervening penuh (fully intervening).
Dengan demikian budaya organisasi, komitmen kerja dan motivasi kerja mampu
memediasi kepemimpinan dengan kinerja pegawai.
Hal ini memberi makna bahwa pemimpin tidak serta merta secara langsung
mempengaruhi kinerja pegawai tetapi perlu ada penguatan budaya organisasi serta
komitmen kerja dan motivasi kerja yang tinggi karena ketiganya merupakan prediktor
di dalam meningkatkan kinerja pegawai.
Keterbatasan Penelitian
1. Objek penelitian terbatas pada Dewan Ketahanan Pangan Kabupaten Keerom
Provinsi Papua, sehingga hasil penelitian ini belum tentu dapat digeneralisasikan
dengan daerah-daerah lain yang memiliki karakteristik berbeda.
2. Dalam penelitian ini pengamatan dilakukan dengan menggunakan cakupan waktu
bersifat cross section yang artinya data diperoleh dari satu waktu tertentu,
sedangkan perilaku pemimpin dan dampak kinerja pegawai pada waktu lain (time
series) tidak tercakup dalam penelitian ini.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Kepemimpinan berperan meningkatkan kinerja pegawai melalui budaya organisasi, komitmen kerja dan motivasi kerja. Hal ini mengindikasikan bahwa
kepemimpinan yang memiliki pengelolaan diri yang tinggi mampu membentuk
budaya organisasi yang kuat, serta mampu meningkatkan komitmen kerja dan
motivasi kerja. Budaya organisasi yang kuat tercermin dengan bekerja secara
inovatif dan berani mengambil resiko dengan perhatian terhadap hal-hal yang
detail. Komitmen kerja yang tinggi tercermin dengan memiliki keyakinan dan
8

kesetiaan yang tinggi terhadap organisasi. Sedangkan motivasi kerja yang tinggi
tercermin dengan motivasi intrinsik mampu memediasi peran kepemimpinan dalam
meningkatkan kinerja pegawai.
2. Penguatan budaya organisasi yakni budaya inovasi dan berani mengambil resiko
dengan perhatian terhadap hal-hal yang detail, berperan meningkatkan motivasi
kerja dan kinerja pegawai
3. Komitmen kerja yang tinggi yakni memiliki keyakinan dan kesetiaan yang tinggi
terhadap organisasi berperan meningkatkan motivasi kerja dan kinerja pegawai.
4. Motivasi kerja yang tinggi yakni motivasi intrinsik karena adanya daya dorong yang
timbul dari dalam diri pegawai berperan di dalam peningkatan kinerja pegawai
yakni peningkatan kualitas kerja.
Saran
1. Pemimpin sebaiknya mempunyai rasa empati, artinya mampu memahami apa
yang diinginkan dan dibutuhkan oleh pegawai dalam hal ini seorang pemimpin
mampu memenuhi harapan pegawai.
2. Pemimpin harus mengevaluasi kembali kompetensi pegawai berdasarkan tingkat
pendidikan dan ketrampilan yang dimiliki karena tidak semua pegawai mempunyai
kemampuan yang sama.
3. Penelitian lebih lanjut dapat mengembangkan penelitian ini dengan menguji
kembali konsistensi hasil penelitian ini dengan mengembangkan model dan
variabel lain, seperti sifat atau gaya kepemimpinan dihubungkan dengan budaya
lokal dalam peningkatan motivasi dan kinerja.

DAFTAR PUSTAKA
Alisyahbana, 2008. Makalah disampaikan pada: “Seminar Nasional solusi dan
Evaluasi Krisis Masa Depan Ekonomi Nasional”. Yang diselenggarakan
Jurusan Ekonomi dan Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas
Pasundan Bandung 20 Juli 2008.
Amran TG, Kusbramayanti P., 2007. Leadership and Organizational Culture
Relationship Analysis On Job Performance And Satisfaction Using SEM At
Carita Boat Indonesia. Procceding, International Seminar on Industrial
Engineering and Management. Menara Peninsula, Jakarta.August 29-30.
Carmeli Abraham, 2006. The Relationship Between Emotional Intelligence and work
attitude, Behaviour and Outcomes. An Examination Among Senior Manager.
Journal of Managerial Psychology. Vol.18. No.8.pp.788-813.
Ferdinand, Augusty, 2005. Structural Equation Modeling dalam Penelitian Manajemen.
Edisi Ketiga. Semarang: BP Undip.
Gibson (alih bahasa Nunuk Adiami), 1996. Organisasi Edisi ke-8. Jakarta: Jembatan.
Gilder D, 2003. Commitmen, Trust and Work Behaviour. The Cases of Contingent
Workers, Personnel Review. Vol.32. No.5.pp.588-604.
Goleman .D, Boyatzis R. and Mckee A. (alih bahasa Susi Purwioko) 2004. Primal
Leadrship (Kepemimpinan Berdasarkan Kecerdasan Emosi). Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Umum.

9

Kuchinke KP., 2004. Leadership and culture: Work-Related Values and Leadership
style’s Among One Company’s U.S and German Telecom-munication
Employees. Human Resources Development Quarterly. 10 (2).pp.135-152.
Lusiana

and Abdullah, (2009). Pengaruh Komitmen Terhadap Kepuasan Kerja:
Motivasi sebagai Variabel Intervening. Bandung: Fakultas Ekonomi UNIB..

Luthans, Fred, 1996. Organizational Behaviour. Singapore: McGraw Hill Book
Company.
Porter, L.W., Steers, R.M., Mowday, R.T., & Boulian, P.V. 1974. Organizational
Commitment, Job Satisfaction, and Turnover Among Psychiatric Technicians.
Journal of Applied Psychology. 59, 603-609.
Rajiv Metha, Alan J. Dubinsky, Roph E.Anderson, 2003. Journal of Marketing. Vol.37
No.1-2.pp.50-85.
Robbins, Stephen P, Mary Coulter, 1996. Perilaku Organisasi. Edisi Bahasa
Indonesia. Jakarta: PT. Prehalindo.
Schein, E.H., 1992. Organizational Culture and Leadership. San Fransisco: JosseyBass Publisher.
Siagian SP., 2004. Teori Motivasi dan Aplikasinya. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Singarimbun M, Effendi S., 1995. Metode Penelitian Survey. Jakarta: LP3ES
Sutikno, R.B., 2007. The Power of Empaty in Leadership (Mengoptimalkan Performan
Karyawan dengan Prinsip Empati). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum.
Tsang Denise, 2007. Leadership, National Culture and Performance Management in
The Chinese Software Industry, International Journal Of Productivity and
Performance Management. Vol.56. No.4.pp.270-284.
Umar, Husein, 2001.Riset Sumber Daya Manusia. Jakarta: Gramedia Pustaka.
Xenikou A, Simosi M., 2006. Organizational Culture and Transformational Leadership
As Predictor Of Business Unit Performance. Jounal Of management
Psyhology. Vol.21. No.26.pp.566-579.
, 1996. Undang-Undang RI. Nomor 7 Tahun 1996. Tentang Pangan. Jakarta:
Kemeterian Hukum dan Ham RI
, 1999. Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 1999. Tentang Otonomi Daerah.
Jakarta: Kementerian Hukum dan Ham RI
, 2001. Undang-Undang RI. Nomor 21 Tahun 2001. Tentang Otonomi Khusus
Papua. Jakarta: Kementerian Hukum dan Ham RI
, 2004. Undang-Undang RI. Nomor 32 Tahun 2004. Tentang Pemerintah
Daerah. Jakarta: Kemeterian Hukum dan Ham RI
, 2014. Kabupaten Keerom Dalam Angka. Arso: Kantor BPS Statistik.
10