Bahasa Binan Pada Kalangan Waria (Studi Deskriptif Kualitatif Penggunaan Bahasa Binan Pada Kalangan Waria Di Kota Kisaran)

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1

Paradigma Kajian

2.1.1 Paradigma Konstruktivisme

Paradigma adalah pedoman yang menjadi dasar bagi para saintis dan
peneliti dalam mencari fakta melalui kegiatan penelitian yang dilakukannya.
Menurut Mulyana (Tahir, 2011:59) paradigma sebagai suatu kerangka berpikir
yang mendasar dari suatu kelompok saintis (ilmuwan) yang menganut suatu
pandangan yang dijadikan landasan untuk mengungkap suatu fenomena dalam
rangka mencari fakta.
Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma
konstruktivisme. Paradigma konstruktivisme adalah paradigma yang memandang
bahwa kenyataan itu hasil konstruksi atau bentukan dari manusia itu sendiri.
Kenyataan itu bersifat ganda, dapat dibentuk, dan merupakan satu keutuhan.
Kenyataan yang ada sebagai hasil bentukan dari kemampuan berpikir seseorang.
Pengetahuan hasil bentukan manusia itu tidak bersifat tetap tetapi berkembang

terus. Penelitian kualitatif berlandaskan paradigma konstruktivisme yang
berpandangan bahwa pengetahuan itu bukan hanya merupakan hasil pengalaman
terhadap fakta, tetapi juga merupakan hasil konstruksi pemikiran subjek yang
diteliti. Pengenalan manusia terhadap realitas sosial berpusat pada subjek dan
bukan pada objek, hal ini berarti bahwa ilmu pengetahuan bukan hasil
pengalaman semata, tetapi merupakan juga hasil konstruksi oleh pemikiran
(Arifin, 2012:140).
Paradigma ini memandang ilmu sosial sebagai analisis sistematis terhadap
socially meaningfull action melalui pengamatan langsung dan terperinci terhadap
pelaku sosial yang bersangkutan menciptakan dan memelihara atau mengelola
dunia sosial mereka (Hidayat, 2003: 3). Menurut Sarantakos (Poerwandari, 2007:
22-23) paradigma ini menyatakan bahwa:

Universitas Sumatera Utara

1. Dasar untuk menjelaskan kehidupan, peristiwa sosial dan manusia bukan
ilmu dalam kerangka positivistik, tetapi justru dalam arti common sense.
Menurut mereka, pengetahuan dan pemikiran awam berisikan arti atau
makna yang diberikan individu terhadap pengalaman dan kehidupannya
sehari-sehari, dan hal tersebut lah yang menjadi awal penelitian ilmuilmu sosial.

2. Pendekatan yang digunakan adalah induktif, berjalan dari yang spesifik
menuju yang umum, dari yang konkret menuju yang abstrak.
3. Ilmu bersifat ideografis bukan nomotetis, karena ilmu mengungkap
bahwa realitas tertampilkan dalam simbol-simbol melalui bentuk-bentuk
deskriptif.
4. Pengetahuan tidak hanya diperoleh melalui indera karena pemahaman
mengenai makna dan interpretasi adalah jauh lebih penting.
5. Ilmu tidak bebas nilai. Kondisi bebas nilai tidak menjadi sesuatu yang
dianggap penting dan tidak pula mungkin di capai.
Menurut Patton, para peneliti konstruktivis mempelajari beragam realita
yang terkonstruksi oleh individu dan implikasi dari kontruksi tersebut bagi
kehidupan mereka dengan yang lain dalam konstruktivis, setiap individu memiliki
pengalaman yang unik. Dengan demikian, penelitian dengan strategi seperti ini
menyarankan bahwa setiap cara yang diambil individu dalam memandang dunia
adalah valid, dan perlu adanya rasa menghargai atas pandangan tersebut (Patton,
2002: 96-97).
Konstruktivisme menolak pandangan positivisme yang memisahkan subjek
dan objek komunikasi. Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa tidak lagi
hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan dipisahkan
dari subjek sebagai penyampai pesan. Konstruktivisme justru menganggap subjek

sebagai faktor sentral dalam kegiatan komunikasi serta hubungan-hubungan
sosialnya. Subjek memiliki kemampuan melakukan kontrol terhadap maksud maksud tertentu dalam setiap wacana.

Universitas Sumatera Utara

Komunikasi dipahami, diatur, dan dihidupkan oleh pernyataan-pernyataan
yang bertujuan. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan
makna, yakni tindakan pembentukan diri serta pengungkapan jati diri sang
pembicara. Oleh karena itu, analisis dapat dilakukan demi membongkar maksud
dan makna-makna tertentu dari komunikasi (Ardianto, 2007: 151).
Menurut Gubadan Lincoln (Sunartodan Hermawan, 2011: 4) Paradigma
sebagai serangkaian keyakinan-keyakinan dasar (basic beliefs) yang berhubungan
dengan prinsip-prinsip pokok. Keyakinan-keyakinan ini bersifat dasar dalam
pengertian harus diterima secara sederhana semata-mata berdasarkan kepercayaan
saja, hal ini disebabkan tidak ada satu cara untuk menentukan satu kebenaran
akhir. Jadi, paradigma dapat didefinisikan sebagai acuan yang menjadi dasar bagi
setiap peneliti untuk mengungkapkan fakta-fakta melalui kegiatan penelitian yang
dilakukannya.

Teori


konstruktivis

menyatakan

bahwa

individu

menginterpretasikan dan beraksi menurut kategori konseptual dari pikiran.
Realitas tidak menggambarkan diri individu namun harus disaring melalui cara
pandang orang terhadap realitas tersebut (Ardianto, 2010: 158).
Paradigma

konstruktivisme

memiliki

karakteristik


sebagai

berikut

(Pujileksono, 2016: 28-29):
1. Paradigma penelitian yang melihat suatu realita dibentuk oleh berbagai
macam latar belakang sebagai bentuk konstruksi realita tersebut. Realita
yang dijadikan sebagai objek penelitian merupakan suatu tindakan sosial
oleh aktor sosial.
2. Latar belakang yang mengkonstruksi realita tersebut melihat dalam
bentuk konstruksi mental berdasarkan pengalaman sosial yang dialami
oleh aktor sosial sehingga sifatnya lokal dan spesifik.
3. Penelitiannya mempertanyakan ‘mengapa’ (why)?
4. Realita berada diluar peneliti namun dapat memahami melalui interaksi
dengan realita sebagai objek penelitian.
5. Jarak antara peneliti dan objek penelitian tidak terlalu dekat, peneliti
tidak terlibat namun berinteraksi dengan objek penelitian.

Universitas Sumatera Utara


6. Paradigma penelitian konstruktivisme sifatnya kualitatif, peneliti
memasukkan nilai-nilai pendapat ke dalam penelitiannya. Penelitian
dengan paradigma ini sifatnya subjektif.
7. Tujuan untuk memahami apa yang menjadi konstruksi suatu realita.
Oleh karena itu, peneliti harus dapat mengetahui faktor apa saja yang
mendorong suatu realita dapat terjadi dan menjelaskan bagaimana
faktor-faktor itu merekonstruksi realita tersebut.
Peneliti menggunakan paradigma kontruktivisme dalam penelitin ini karena
peneliti ingin mendapatkan pengembangan pemahaman yang membantu proses
interpretasi suatu peristiwa. Paradigma konstruktivisme sesuai sebagai acuan
untuk melakukan penelitian ini, dimana yang ingin diteliti adalah penggunaan
bahasa binan pada kalangan waria.
2.2 Kerangka Teori
2.2.1

Teori Interaksionisme Simbolik

Interaksionisme simbolik didasarkan pada ide-ide tentang individu dan
interaksinya dengan masyarakat. Esensi interaksionisme simbolik adalah aktivitas
yang merupakan ciri manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang

diberi makna. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat
sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku
mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra
interaksi mereka. Defenisi yang mereka beri kepada orang lain, situasi, objek, dan
bahkan diri mereka sendiri yang menentukan perilaku manusia. Dalam konteks
ini, makna dikontruksikan dalam proses interaksi dan prises tersebut bukanlah
suatu medium netral yang memungkinkan kekuatan-kekuatan sosial memainkan
perannya, melainkan justru merupakan substansi sebenarnya dari organisasi sosial
dan kekuatan sosial (Mulyana,

2002:

68-70).

interaksionisme simbolik adalah segala hal

Peneliti

mendefenisikan


yang berhubungan dengan

pembentukan makna, yang melalui proses komunikasidan bertujuan untuk
memaknai lambang atau simbol (objek) berdasarkan kesepakatan bersama yang
berlaku di wilayah atau kelompok tertentu.

Universitas Sumatera Utara

Teori interaksionisme simbolik tidak bisa dilepaskan dari pemikiran
George Herbert Mead. Mead dilahirkan di Hadley, satu kota kecil di
Massachusetts. Karir Mead berawal saat beliau menjadi seorang professor di
kampus Oberlin, Ohio, kemudian Mead berpindah pindah mengajar dari satu
kampus ke kampus lain, sampai akhirnya saat beliau di undang untuk pindah dari
Universitas Michigan ke Universitas Chicago oleh John Dewey. Di Chicago inilah
Mead sebagai seseorang yang memiliki pemikiran yang original dan membuat
catatan kontribusi kepada ilmu sosial dengan meluncurkan “the theoretical
perspective” yang pada perkembangannya nanti menjadi cikal bakal “Teori
Interaksionisme Simbolik”, dan sepanjang tahunnya, Mead dikenal sebagai ahli
sosial psikologi untuk ilmu sosiologis. Mead menetap di Chicago selama 37
tahun, sampai beliau meninggal dunia pada tahun 1931 (Rogers, 1994: 166).

Semasa hidupnya Mead memainkan peranan penting dalam membangun
perspektif dari Mazhab Chicago, dimana memfokuskan dalam memahami suatu
interaksi perilaku sosial, maka aspek internal juga perlu untuk dikaji (West dan
Turner, 2008: 97). Mead tertarik pada interaksi, dimana isyarat non verbal dan
makna dari suatu pesan verbal, akan mempengaruhi pikiran orang yang sedang
berinteraksi. Pandangan terminologi yang dipikirkan Mead, setiap isyarat non
verbal (seperti body language, gerak fisik, baju, status, dll) dan pesan verbal
(seperti kata-kata, suara, dll) yang dimaknai berdasarkan kesepakatan bersama
oleh semua pihak yang terlibat dalam suatu interaksi merupakan satu bentuk
simbol yang mempunyai arti yang sangat penting (a significant symbol).
Generasi setelah Mead merupakan awal perkembangan interaksi simbolik,
dimana pada saat itu dasar pemikiran Mead terpecah menjadi dua Mazhab
(School), dimana kedua mazhab tersebut berbeda dalam hal metodologi, yaitu (1)
Mazhab Chicago (Chicago School) yang dipelopori oleh Herbert Blumer, dan (2)
Mazhab Iowa (Iowa School) yang dipelopori oleh Manford Kuhn dan Kimball
Young (Rogers, 1994: 171).
Mazhab Chicago yang dipelopori oleh Herbert Blumer (pada tahun 1969
yang mencetuskan nama interaksionisme simbolik) dan mahasiswanya, Blumer
melanjutkan penelitian yang telah dilakukan oleh Mead. Blumer melakukan


Universitas Sumatera Utara

pendekatan kualitatif, dimana meyakini bahwa studi tentang manusia tidak bisa
disamakan dengan studi terhadap benda mati, dan para pemikir yang ada di dalam
mahzab Chicago banyak melakukan pendekatan interpretif berdasarkan rintisan
pikiran George Herbert Mead (Ardianto dan Q-Aness, 2007: 135).
Teori ini menyatakan bahwa interaksi sosial pada hakekatnya adalah
interaksionisme simbolik. Manusia berinteraksi dengan yang lain dengan cara
menyampaikan simbol, kemudian yang lain memberi makna atas simbol tersebut.
Para ahli interaksionisme simbolik melihat bahwa individu adalah obyek yang
bisa secara langsung ditelaah dan dianalisis melalui interaksinya dengan individu
yang lain. Mereka menemukan bahwa individu-individu tersebut berinteraksi
dengan menggunakan simbol-simbol, yang didalamnya berisi tanda-tanda, isyarat
dan kata-kata. Simbol adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu
lainnya. Lambang meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku non verbal dan
obyek yang disepakati bersama (Mulyana, 2010:84).
Menurut Mead (West dan Turner, 2008: 98) teori interaksionisme simbolik
merupakan teori yang menekankan pada hubungan simbol dan interaksi. Dalam
teori interaksionisme simbolik memiliki tiga tema besar, yaitu:
1. Pentingnya makna bagi perilaku manusia.

2. Pentingnya konsep mengenai diri.
3. Hubungan antara individu dan masyarakat.
Tema pertama pada interaksionisme simbolik berfokus pada pentingnya
membentuk makna bagi perilaku manusia. Dimana dalam teori interaksionisme
simbolik tidak bisa dilepaskan dari proses komunikasi. Karena awalnya makna itu
tidak ada artinya, sampai pada akhirnya di konstruksi secara interpretif oleh
individu melalui proses interaksi untuk menciptakan makna yang dapat disepakati
secara bersama. Hal ini sesuai dengan tiga dari tujuh asumsi karya Herbert
Blumer (West dan Turner, 2008: 101) dimana asumsi-asumsi itu adalah sebagai
berikut:
1. Manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna yang
diberikan orang lain kepada mereka.

Universitas Sumatera Utara

2. Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia.
3. Makna dimodifikasi melalui proses interpretif
Tema kedua pada interaksi simbolik berfokus pada pentingnya ”Konsep
diri” atau ”Self-Concept”. Dimana, pada tema interaksionisme simbolik ini
menekankan pada pengembangan konsep diri melalui individu tersebut secara
aktif, didasarkan pada interaksi sosial dengan orang lainnya. Tema ini memiliki
dua asumsi tambahan, menurut LaRossan&Reitzes (West dan Turner, 2008: 101),
antara lain:
1. Individu-individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan
orang lain.
2. Konsep diri membentuk motif yang penting untuk perilaku.
Tema terakhir pada interaksionisme simbolik berkaitan dengan hubungan
antara kebebasan individu dan masyarakat, dimana asumsi ini mengakui
bahwanorma-norma sosial membatasi perilaku tiap individunya, tapi pada
akhirnya tiap individu-lah yang menentukan pilihan yang ada dalam sosial
kemasyarakatannya.
Karya tunggal Mead yang amat penting dalam hal in terdapat dalam
bukunya yang berjudul Mind,Self dan Society. Mead mengambil tiga konsep kritis
yang diperlukan dan saling mempengaruhi satu sama lain untuk meyusun sebuah
teori interaksionisme simbolik. Tiga konsep itu dan hubungan di antara ketiganya
merupaka inti pemikiran Mead, sekaligus keywords dalam teori tersebut.
Interaksionisme simbolik secara khusus menjelaskan tentang bahasa, interaksi
sosial dan reflektivitas.
1. Pikiran (Mind)
Mead mendefenisikan pikiran sebagai proses percakapan seseorang
dengan dirinya sendiri, tidak ditemukan di dalam diri individu, pikiran
adalah fenomena sosial. Pikiran muncul dan berkembang dalam proses
sosial dan merupakan bagian integral dari proses sosial. Proses sosial
mendahului pikiran, proses sosial bukanlah produk dari pikiran. Jadi
pikiran juga didefinisikan secara fungsional ketimbang secara substantif.

Universitas Sumatera Utara

Karakteristik istimewa dari pikiran adalah kemampuan individu untuk
memunculkan dalam dirinya sendiri tidak hanya satu respon saja, tetapi
juga respon komunitas secara keseluruhan. Itulah yang kita namakan
pikiran (Ardianto, 2007: 136).
Melakukan sesuatu berarti memberi respon terorganisir tertentu, dan
bila seseorang mempunyai respon itu dalam dirinya, ia mempunyai apa
yang kita sebut pikiran. Dengan demikian pikiran dapat dibedakan dari
konsep logis lain seperti konsep ingatan dalam karya Mead melalui
kemampuannya

menanggapi

komunitas

secara

menyeluruh

dan

mengembangkan tanggapan terorganisir. Mead juga melihat pikiran
secara pragmatis yaitu, pikiran melibatkan proses berpikir yang mengarah
pada penyelesaian masalah (Ritzer and Goodman, 2008: 280). Menurut
Mead “manusia mempunyai sejumlah kemungkinan tindakan dalam
pemikirannya sebelum ia melakukan tindakan yang sebenarnya”(Ritzer,
2011:67).
Berfikir menurut Mead adalah suatu proses dimana individu
berinteraksi dengan dirinya sendiri dengan mempergunakan simbol-simbol
yang bermakna. Melalui proses interaksi dengan diri sendiri itu, individu
memilih yang mana diantara stimulus yang tertuju kepadanya itu akan
ditanggapinya. Simbol juga digunakan dalam proses berpikir subyektif,
terutama simbol-simbol bahasa. Hanya saja simbol itu tidak dipakai secara
nyata, melainkan melalui percakapan internal. Serupa dengan itu, secara
tidak kelihatan individu menunjukkan pada dirinya sendiri mengenai diri
atau identitas yang terkandung dalam reaksi-reaksi orang lain terhadap
perilakunya. Maka, kondisi yang dihasilkan adalah konsep diri yang
mencakup kesadaran diri yang dipusatkan pada diri sebagai obyeknya
(Wirawan, 2014: 124).
Isyarat sebagai simbol-simbol signifikan tersebut muncul pada
individu yang membuat respons dengan penuh makna. Isyarat-isyarat
dalam bentuk ini membawa pada suatu tindakan dan respon yang dipahami
oleh masyarakat yang telah ada. Melalui simbol ini, maka akan terjadi

Universitas Sumatera Utara

pemikiran. Esensi pemikiran di konstruk dari pengalaman isyarat makna
yang terinternalisasi dari proses eksternalisasi sebagai bentuk hasil
interaksi dengan orang lain. Oleh karena perbincangan isyarat memiliki
makna, maka stimulus dan respons memiliki kesamaan untuk semua
partisipan.
2. Diri (Self)
Pada dasarnya diri adalah kemampuan untuk menerima diri sendiri
sebagai sebuah objek. Diri adalah kemampuan khusus untuk menjadi
subjek maupun objek. Diri mensyaratkan proses sosial yakni komunikasi
antar manusia. Diri muncul dan berkembang melalui aktivitas dan antara
hubungan sosial. Menurut Mead adalah mustahil membayangkan diri yang
muncul dalam ketiadaan pengalaman sosial. Tetapi, segera setelah diri
berkembang, ada kemungkinan baginya untuk terus ada tanpa kontak
sosial.
Diri berhubungan secara dialektis dengan pikiran. Artinya, di satu
pihak Mead menyatakan bahwa tubuh bukanlah diri dan baru akan
menjadi diri bila pikiran telah berkembang. Di lain pihak, diri dan
refleksitas adalah penting bagi perkembangan pikiran. Memang mustahil
untuk memisahkan pikiran dan diri karena diri adalah proses mental.
Tetapi, meskipun kita membayangkannya sebagai proses mental, diri
adalah sebuah proses sosial. Dalam pembahasanmengenai diri, Mead
menolak gagasan yang meletakkannya dalam kesadaran dan sebaliknya
meletakkannya dalam pengalaman sosial dan proses sosial.
Dengan cara ini Mead mencoba memberikan arti behavioristis tentang
diri. Diri adalah di mana orang memberikan tanggapan terhadap apa yang
ia tujukan kepada orang lain dan dimana tanggapannya sendiri menjadi
bagian dari tindakannya, di mana ia tidak hanya mendengarkan dirinya
sendiri, tetapi juga merespon dirinya sendiri, berbicara dan menjawab
dirinya sendiri sebagaimana orang lain menjawab kepada dirinya,
sehingga kita mempunyai perilaku di mana individu menjadi objek untuk
dirinya sendiri

Universitas Sumatera Utara

Karena itu diri adalah aspek lain dari proses sosial menyeluruh di mana
individu adalah bagiannya. Mekanisme umum untuk mengembangkan diri
adalah refleksivitas atau kemampuan menempatkan diri secara tak sadar ke
dalam tempat orang lain dan bertindak seperti mereka bertindak.
Akibatnya, orang mampu memeriksa diri sendiri sebagaimana orang lain
memeriksa diri mereka sendiri. Seperti dikatakan Mead :
“Dengan cara merefleksikan, dengan mengembalikan
pengalaman individu pada dirinya sendiri keseluruhan proses
sosial menghasilkan pengalaman individu yang terlibat di
dalamnya; dengan cara demikian, individu bisa menerima sikap
orang lain terhadap dirinya, individu secara sadar mampu
menyesuaikan dirinya sendiri terhadap proses sosial dan mampu
mengubah proses yang dihasilkan dalam tindakan sosial tertentu
dilihat dari sudut penyesuaian dirinya terhadap tindakan sosial
itu” (Ritzer and Goodman, 2008).
Mead membedakan antara “I” (saya) dan “Me” (aku). “I” (Saya)
bagian yang aktif dari diri (the self) yang mampu menjalankan perilaku.
“Me” (aku), merupakan konsep diri tentang yang lain, yang harus
mengikuti aturan main, yang diperbolehkan atau tidak.“I” (saya) memiliki
kapasitas untuk berperilaku, yang dalam batas-batas tertentu, sulit
diramalkan, sulit diobservasi, dan tidak terorganisir berisi pilihan perilaku
bagi seseorang. Sedangkan “Me” (aku) memberikan kepada “I” (saya)
arahan yang berfungsi untuk mengendalikan “I” (saya). Sehingga hasilnya
perilaku manusia lebih bisa diramalkan, atau setidak-tidaknya tidak begitu
kacau. Karena dalam kerangka pengertian tentang the self (diri),
terkandung esensi interaksi sosial. Interaksi antara “I” (saya) dan “Me”
(aku).
Bagian terpenting dari pembahasan Mead adalah hubungan timbal
balik antara diri obyek dan diri subyek. Diri sebagai obyek ditunjukkan
oleh Mead melalui konsep “Me”, sementara ketika subyek yang bertindak
ditunjukkan dengan konsep “I”. Ciri utama pembeda manusia dan hewan
adalah bahasa atau “simbol signifikan”. Simbol signifikan

haruslah

merupakan suatu makna yang dimengerti bersama, ia terdiri dua fase,
“Me” dan “I”. Dalam konteks ini “Me” adalah sosok diri saya

Universitas Sumatera Utara

sebagaimana dilihat oleh orang lain, sedangkan “I” yaitu bagian yang
memperhatikan diri saya sendiri.
Kita tak pernah tahu sama sekali tentang “I” dan melaluinya kita
mengejutkan diri kita sendiri lewat tindakan kita. Kita hanya tahu “I”
setelah tindakan telah dilaksanakan. Jadi, kita hanya tahu ”I” dalam
ingatan kita. Mead menekankan “I” karena empat alasan. Pertama, “I”
adalah sumber utama sesuatu yang baru dalam proses sosial. Kedua, Mead
yakin, didalam “I” itulah nilai terpenting kita ditempatkan. Ketiga, “I”
merupakan sesuatu yang kita semua cari perwujudan diri. Keempat, Mead
melihat suatu proses evolusioner dalam sejarah dimana manusia dalam
masyarakat primitif lebih didominasi oleh “Me” sedangkan dalam
masyarakat modern komponen “I” nya lebih besar (Ritzer and Goodman,
2008: 286).
Diri juga memungkinkan orang berperan dalam percakapan dengan
orang lain. Artinya, seseorang menyadari apa yang dikatakannya dan
akibatnya mampu menyimak apa yang sedang dikatakan dan menentukan
apa yang akan dikatakan selanjutnya (Ritzer and Goodman, 2008: 98).
3. Masyarakat (Society)
Pada tingkat paling umum, Mead menggunakan istilah masyarakat
(society) yang berarti proses sosial tanpa henti yang mendahului pikiran
dan diri. Masyarakat penting perannya dalam membentuk pikiran dan diri.
Di tingkat lain, menurut Mead, masyarakat mencerminkan sekumpulan
tanggapan teroganisir yang diambil alih oleh individu dalam bentuk “aku”
(me). Menurut pengertian individual ini masyarakat mempengaruhi
mereka, memberi mereka kemampuan melaui kritik diri, untuk
mengendalikan diri mereka sendiri.
Pada tingkat kemasyarakatan yang lebih khusus, Mead mempunyai
sejumlah pemikiran tentang pranata sosial (social institutions). Secara
luas, Mead mendefinisikan pranata sebagai “tanggapan bersama dalam
komunitas” atau “kebiasaan hidup komunitas”. Secara lebih khusus, ia
mengatakan bahwa, keseluruhan tindakan komunitas tertuju pada individu

Universitas Sumatera Utara

berdasarkan keadaan tertentu menurut cara yang sama, berdasarkan
keadaan itu pula, terdapat respon yang sama dipihak komunitas. Proses ini
disebut “pembentukan pranata”(Ritzer and Goodman, 2008: 99).
Teori interaksionisme simbolik berpegang bahwa individu membentuk
makna melalui proses komunikasi karena makna tidak bersifat intrinsik terhadap
apapun.

Dibutuhkan konstruksi

interpretif

diantara

orang-orang

untuk

menciptakan makna. Bahkan, tujuan dari interaksi menurut teori ini adalah untuk
menciptakan makna yang sama (West dan Turner, 2008: 99).
2.2.2

Komunikasi

2.2.2.1 Pengertian Komunikasi
Kata komunikasi atau communication dalam bahasa inggris berasal dari
bahasa Latin communis yang berarti ‘sama’, communico, communication, atau
communicare yang berarti “membuat sama’ (to make common) (Mulyana, 2010:
46).
Berkomunikasi adalah proses di mana seseorang menyampaikan sesuatu
yang mempunyai arti lalu ditangkap oleh lawan bicaranya dan dimengerti. Pesanpesan itu tercermin melalui perilaku manusia seperti berbicara secara verbal atau
nonverbal, gesture (gerakan isyarat) seperti melambaikan tangan ke orang lain,
menggelengkan kepala, menarik rambut. Semua itu menunjukkan bahwa kita
sedang berkomunikasi (Baso, 2012: 32).
Berbicara tentang defenisi komunikasi, tidak ada defenisi yang benar
ataupun salah. Seperti model dan teori, defenisi harus dilihat dari kemanfaatan
nya untuk menjelaskan fenomena yang didefenisikan. Berikut ini adalah beberapa
defenisi komunikasi menurut para ahli (Mulyana, 2010: 68-69):
1. Bernard Berelson dan Gary A. Steiner: “Komunikasi: transmisi
informasi, gagasan, emosi, keterampilan, dan sebagainya,
dengan menggunakan simbol-simbol, kata-kata, gambar, figur,
grafik, dan sebagainya. Tindakan atau proses transmisi itulah
yang biasanya disebut komunikasi”.
2. Carl I. Hovland: “Komunikasi adalah proses yang
memungkinkan seseorang (komunikator) menyampaikan
rangsangan (biasanya lambang-lambang verbal) untuk
mengubah perilaku orang lain (komunikate)”.

Universitas Sumatera Utara

3. Gerald R. Miller: “Komunikasi terjadi ketika suatu sumber
menyampaikan suatu pesan kepada penerima dengan niat yang
disadari untuk mempengaruhi perilaku penerima”.
4. Everett M. Rogers: “Komunikasi adalah proses dimana suatu ide
dari sumber kepada penerima atau lebih dengan maksud untuk
mengubah tingkah laku mereka”.
5. Raymond S. Ross: “ Komunikasi (intensional) adalah suatu
proses menyortir, memilih, dan mengirimkan simbol-simbol
sedemikian rupasehingga membantu pendengar membangkitkan
makna atau respons dari pikirannya yang serupa dengan yang
dimaksudkan komunikator”.
6. Marry B. Cassata dan Molefi K. Asante: “(Komunikasi adalah)
transmisi informasi dengan tujuan mempengaruhi khalayak”.
7. Harold Laswell: “Cara yang baik untuk menggambarkan
komununikasi adalah dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan
berikut) Who says what in which channel to whom with what
effect?”.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa komunikasi adalah proses penyampaian
pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan
efek tertentu (Mulyana, 2010: 46). Everett M. Rogers dan Lawrence Kincaid
(Fajar, 2009: 30-31) menyatakan bahwa komunikasi adalah suatu proses dimana
dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi antara satu
sama lain, yang pada gilirannya terjadi saling pengertian yang mendalam.
Berdasarkan definisi Lasswell (Mulyana, 2010: 69-71) ini dapat diturunkan
lima unsur komunikasi yang saling bergantungan satu sama lain, yaitu:
1. Sumber, yaitu pihak yang berinisiatif atau mempunyai kebutuhan untuk
berkomunikasi.
2. Pesan, yaitu apa yang di komunikasi oleh sumber kepada penerima.
3. Saluran atau Media, yaitu alat atau wahana yang digunakan sumber untuk
menyampaikan pesannya kepada penerima.
4. Penerima atau yang sering disebut Komunikan, yaitu orang yang
menerima pesan dari sumber.
5. Efek, yaitu apa yang terjadi kepada penerima setelah menerima pesan
tersebut.

Universitas Sumatera Utara

Komunikasi terjadi setiap saat. Manusia tidak bisa meninggalkan proses
komunikasi dalam hidupnya. Manusia selalu melakukan penyampaian dan
penerimaan pesan tiap waktu, dengan tujuan berbeda di dalamnya. Baik itu hanya
sekedar menyampaikan pesan untuk diterima dan dipahami hingga bertujuan
untuk mempengaruhi lawan bicaranya agar mengikuti hendak si pembicara.
Kesamaan bahasa yang digunakan dalam dalam percakapan antara
komunikator dan komunikan tidak dapat menjamin berhasilnya suatu proses
komunikasi. Bahasa yang digunakan antara keduanya boleh jadi dimaknai beda
oleh si komunikan. Proses komunikasi bisa dikatakan efektif bila keduanya,
komunikator dan komunikan, dapat mengerti bahasa dan mampu memaknai pesan
yang disampaikan.
2.2.2.2 Karakteristik Komunikasi
Karakteristik komunikasi menurut Riswandi (Susanto, 2012: 8-9)
menyatakan sebagai berikut:
1. Komunikasi suatu proses.
Komunikasi sebagai suatu proses artinya bahwa komunikasi merupakan
serangkaian tindakan atau peristiwa yang terjadi secara berurutan serta
berkaitan satu sama lainnya dalam kurun waktu tertentu.
2. Komunikasi adalah upaya yang disengaja serta mempunyai tujuan.
Komunikasi adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara sadar,
disengaja serta sesuai dengan tujuan atau keinginan dari perilakunya.
3. Komunikasi menurut adanya partisipasi dan kerja sama dari para pelaku
yang terlibat. Berlangsung dengan baik apabila pihak-pihak yang
berkomunikasi (dua orang atau lebih) sama-sama ikut terlibat dan samasama mempunyai perhatian yang sama terhadap topik pesan yang
dikomunikasikan.
4. Komunikasi bersifat simbolis.
Komunikasi pada dasarnya merupakan tindakan yang dilakukan dengan
menggunakan lambang-lambang, misalnya : bahasa.

Universitas Sumatera Utara

5. Komunikasi bersifat transaksional.
Komunikasi pada dasarnya menuntun dua tindakan yaitu memberi dan
menerima. Dua tindakan tersebut tentunya perlu dilakukan secara
seimbang atau proporsional oleh masing-masing pelaku yang terlibat
dalam komunikasi.
6. Komunikasi menembus faktor ruang dan waktu.
Komunikasi menembus faktor ruang dan waktu maksudnya bahwa para
peserta atau pelaku yang terlibat dalam komunikasi tidak harus hadir
pada waktu atau tempat yang sama. Dengan adanya berbagai produk
teknologi, seperti telepon, faksimile , telegram dan lain-lain, kedua
faktor tersebut (waktu dan ruang) bukan lagi menjadi persoalan atau
hambatan komunikasi.
2.2.2.3 Proses Komunikasi
Kategori-kategori proses komunikasi ditinjau dari dua perspektif :
1.

Proses komunikasi dalam perspektif Psikologi
Proses komunikasi perspektif ini terjadi pada diri komunikator dan

komunikan. Ketika seorang komunikator berminat akan menyampaikan
suatu pesan kepada komunikan, maka dalam dirinya terjadi suatu proses.
Pesan komunikasi terdiri dari dua aspek yakni isi pesan an lambing. Isi
pesan umumnya adalah pikiran, sedangkan lambang adalah bahasa. Walter
Hagemann menyebut isi pesan itu “picture in our head”, sedangkan
Walter Hagemann menamakannya “das Bewustseininhalte”. Proses
“mengemas” atau “membungkus” pikiran dengan bahasa yang dilakukan
komunikator itu dalam bahasa komunikasi dinamakan encoding. Hasil
encoding berupa pesan itu yang kemudian ia transmisikan atau operkan
atau kirimkan kepada komunikan. Kemudian proses dalam diri komunikan
disebut decoding seolah-olah membuka kemasan atau bungkus pesan yang
ia terima dari komunikator tadi. Isi bungkusan tadi adalah pikiran
komunikator. Apabila komunikan mengerti isi pesan atau pikiran

Universitas Sumatera Utara

komunikator, maka komunikasi terjadi. Sebaliknya bilamana komunikan
tidak mengerti, maka komunikasi pun tidak terjadi (Effendy, 2003 : 32).
2.

Proses Komunikasi dalam perspektif Mekanistis
Proses ini berlangsung ketika komunikator mengoperkan atau

“melemparkan” dengan bibir kalau lisan atau tangan jika pesan lukisannya
sampai ditangkap oleh komunikan. Penangkapan pesan dari komunikator
kepada komunikan itu dapat dilakukan dengan indera telinga atau mata,
atau indera-indera lainnya.
Proses komunikasi dalam perspektif ini kompleks atau rumit, sebab
bersifat situasional, bergantung pada situasi ketika komunikasi itu
berlangsung. Ada kalanya komunikannya seorang, maka komunikasi
dalam situasi ini dinamakan komunikasi interpersonal atau komunikasi
antar pribadi, kadang-kadang komunikannya sekelompok orang :
komunikasi dalam situasi ini disebut komunikasi kelompok ; acapkalai
pula komunikannya tersebar dalam jumlahnya yang relatif amat banyak
sehingga untuk menjangkaunya diperlukan suatu media atau sarana, maka
komunikasi dalam situasi seperti ini dinamakan komunikasi massa
(Effendy, 2003 : 40).
Untuk lebih jelasnya proses komunikasi dalam perspektif mekanistis
dapat diklasifikasikan menjadi dua (Effendy, 2003 : 40) :
a. Proses komunikasi secara primer
Proses komunikasi secara promer adalah proses penyampaian
pikiran oleh komunikator kepada komunikan dengan mempergunakan
suatu lambang (simbol) sebagai media atau saluran. Lambang ini
umumnya bahasa, tetapi dalam situasi-situasi komunikasi tertentu
lambang-lambang yang dipergunakan dapat berupa kial (gesture),
yakni gerakan anggota tubuh, gambar, warna dan lain sebagainya.
Lambang sebagai media primer dalam proses komunikasi ini mampu
“menerjemahkan” pikiran ataupun perasaan komunikator kepada
komunikan.

Universitas Sumatera Utara

b. Proses komunikasi sekunder
Proses komunikasi secara sekunder adalah proses penyampaian
pesan oleh komunikator kepada komunikan, dengan menggunakan
alat atau sarana sebagai media kedua setelah memakai lambang
sebagai media pertama. Komunikator menggunakan media kedua ini
karena komunikan yang dijanjikan sasaran komunikasinya jauh
tempatnya atau banyak jumlah kedua-duanya, jauh dan banyak. Kalau
komunikan jauh, dipergunakan surat maupun telepon; jika banyak
dipakailah perangkat pengeras suara; apabila jauh dan banyak;
dipergunakan surat kabar, radio atau televisi. Komunikasi sekunder ini
semakin lama semakin efektif dan efisien karena didukung oleh
teknologi komunikasi yang semakin canggih, yang ditopang pula oleh
teknologi-teknologi lainnya yang bukan teknologi komunikasi.
c. Proses komunikasi secara linear
Istilah linear mengandung makna lurus. Jadi poses linear berarti
perjalanan dari satu titik ke titik lain secara lurus. Dalam konteks
komunikasi, proses linear adalah proses penyampaian pesan oleh
komunikator kepada komunikan sebagai titik terminal. Komunikasi
linear ini berlangsung baik dalam situasi komunikasi tatap muka (face
to face communication) maupun dalam situasi komunikasi bermedia
(mediated communication). Proses komunikasi secara linear umumnya
berlangsung pada komunikasi bermedia, kecuali komunikasi melalui
telepon. Komunikasi melalui telepon hampir tidak pernah berlangsung
secara linear, melainkan dialogisnya, tanya jawab dalam bentuk
percakapan.
d. Proses komunikasi secara sirkular
Sirkular sebagai jembatan dari perkataan “circular” secara harfiah
berarti bulat, bundar atau keliling sebagai lawan dari perkataan linear
tadi yang bermakna lurus. Dalam konteks komunikasi yang
dimaksudkan dengan proses secara sirkular itu adalah terjadinya
feedback atau umpan balik, yaitu terjadinya arus dari komunikan

Universitas Sumatera Utara

kepada komunikator. Oleh karena itu ada kalanya feedback tersebut
mengalir dari komunikan kepada komunikator itu adalah response
atau tanggapan komunikan terhadap pesan yang akan dia terima dari
komunikator. Konsep umpan balik ini dalam proses komunikasi amat
penting

karena dengan terjadinya umpan

balik

komunikator

mengetahui apakah komunikasinya itu berhasil atau gagal, nila positif
ia patut gembira, sebaliknya jika negative mnejadi permasalahan,
sehingga

ia

harus

mengulang

lagi

dengan

perbaikan

gaya

komunikasinya lagi sampai menimbulkan umpan balik postif.
Di dalam situasi komunikasi tatap muka komunikator akan
mengetahui tanggapan komunikan pada saat ia sedang melontarkan
pesannya. Umpan balik jenis ini dinamakan immediate feedback
(umpan balik seketika atau umpan balik). Umpan balik memainkan
peranan yang sangat penting dalam komunikasi sebab ia mennetukan
berlanjutnya komunikasi atau berhentinya komunikasi.
2.2.2.4 Fungsi Komunikasi
Laswell (Effendy, 2003: 27) menjelaskan bahwa fungsi komunikasi adalah:
1. Manusia mengamati lingkungannya, baik lingkungan internal maupun
eksternal untuk terhindar dari ancaman dan nilai masyarakat yang
berpengaruh.
2. Terdapat

korelasi

unsur-unsur

masyarakat

dalam

menanggapi

lingkungannya
3. Penyebaran warisan sosial, dalam hal ini berperan sebagai pendidik
dalam kehidupan rumah tangga maupun sekolah untuk meneruskan
warisan sosial pada keturunan selanjutnya.
Penjelasan di atas, menjelaskan bahwa fungsi komunikasi (Effendy, 2003:
8), yaitu:
1. Menginformasikan (to inform)
2. Mendidik (to educate)

Universitas Sumatera Utara

3. Menghibur (to entertain)
4. Mempengaruhi (to influence)
2.2.2.5 Tujuan Komunikasi
Menurut Naisbitt (Devito, 1997: 31-32) ada empat tujuan atau motif
komunikasi yang perlu dikemukakan. Motif atau tujuan ini tidak perlu
dikemukakan secara sadar, juga tidak perlu mereka yang terlibat menyepakati
tujuan komunikasi mereka. Berikut keempat tujuan komunikasi menurut Naisbitt :
1. Menemukan
Salah satu tujuan komunikasi menyangkut penemuan diri (personal ).
Bila kita berkomunikasi dengan orang lain, kita belajar mengenai diri
sendiri dan orang lain. Dengan berkomunikasi kita dapat memahami
secara lebih baik diri kita sendiri dan diri orang lain yang kita ajak
berkomunikasi.

Tetapi

komunikasi

memungkinkan

kita

untuk

menemukan dunia luar, dunia yang dipenuhi objek, peristiwa dan
manusia lain.
2. Berhubungan
Salah satu motivasi kita yang paling kuat adalah berhubungan dengan
orang lain, membina dan memelihara hubungan dengan orang lain.
Kita ingin merasa dicintai dan disukai dan kemudian kita juga ingin
mencintai dan menyukai orang lain. Kita menghabiskan banyak waktu
dan energi komunikasi kita untuk membina dan memelihara hubungan
sosial.
3. Meyakinkan
Media massa ada yang sebagaian besar dapat mengubah sikap dan
perilaku kita. Kita juga menghabiskan banyak waktu untuk melakukan
persuasi antar pribadi, baik sebagai sumber maupun penerima.
4. Bermain
Kita menggunakan banyak perilaku komunikasi untuk bermain dan
menghibur diri.

Universitas Sumatera Utara

2.2.2.6 Dampak Komunikasi
Berbicara tentang komunikasi akan ada dampak yang ditimbul dalam
sebuah proses komunikasi (Panggalo, 2013: 19), yakni:
1. Dampak Kognitif
Dampak yang timbul pada komunikan yang menyebabkan dia menjadi
tahu atau meningkat

intelektualitasnya. Di sini pesan yang

disampaikan komunikator ditujukan kepada si komunikan. Tujuan
komunikator hanyalah berkisar pada upaya mengubah pikiran diri
komunikan.
2. Dampak Efektif
Dampak ini lebih tinggi kadarnya daripada dampak kognitif. Di sini
tujuan komunikator bukan hanya sekedar supaya komunikan tahu, tapi
tergerak hatinya; menimbulkan perasaan tertentu, misalnya perasaan
iba, terharu, sedih, gembira, marah, dan sebagainya.
3. Dampak Behavioral
Dampak ini timbul pada komunikan dalam bentuk perilaku, tindakan,
atau kegiatan.
2.2.2.7 Hambatan Komunikasi
Tidaklah mudah untuk melakukan komunikasi secara efektif. Bahkan
bebrapa ahli komunikasi menyatakan bahwa tidak mungkinlah seseorang
melakukan komunikasi yang sebenar-benarnya efektif. Ada banyak hambatan
yang dapat merusak komunikasi. Berikut ini adalah beberapa hal yang merupakan
hambatan komunikasi yang harus menjadi perhatian bagi komunikator jika ingin
komunikasinya sukses (Effendy, 2003 : 45).
1. Gangguan
Ada dua jenis gangguan terhadap jalannya komunikasi yang menurut
sifatnya dapat diklasifikasikan sebagai gangguan mekanik dan gangguan
semantic. Gangguan mekanik adalah gangguan yang disebabkan saluran
komunikasi atau kegaduhan yang bersifat fisik. Sebagai contoh ialah

Universitas Sumatera Utara

gangguan suara ganda (interfensi) pada pesawat radio, gambar meliukmeliuk atau berubah-ubah pada layar televisi, huruf tidak jelas, jalur huruf
yang hilang atau terbalik atau halaman yang sobek pada surat kabar.
Sedangkan gangguan sematik adalah jenis gangguan yang bersangkutan
dengan pesan komunikasi yang pengertiannya menjadi rusak. Gangguan
sematik ini tersaring ke dalam pesan melalui penggunaan bahasa. Lebih
anyak kekacauan mengenai pengertian suatu istilah atau konsep yang
terdapat pada komunikator, maka akan leih banyak gangguan sematik
dalam pesannya. Gangguan semantic terjadi dalam sebuah kepentingan.
2. Kepentingan
Interest atau kepentingan akan membuat seseorang selektif dalam
menanggapi atau menghayati pesan. Orang akan hanya memperhatikan
perangsang yang ada hubungananya dengan kepentingan. Kepentingan
bukan hanya mempengaruhi perhatian kita saja tetapi juga menentukan
daya tanggap. Perasaan, pikiran dan tingkah laku kita akan merupakan
sikap reaktif terhadap segala perangsang yang tidak bersesuai atau
bertentangan dengan suatu kepentingan (Effendy, 2003: 47).
3. Motivasi terpendam
Motivation atau motivasi akan mendorong seseorang berbuat sesuatu
yang sesuai benar dengan keinginannya, kebutuhan dan kekurangannya.
Keinginan, kebutuhan dan kekurangan seseorang berbeda dengan orang
lain, dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat, sehingga karena
motivasinya itu berbeda intensitasnya. Semakin sesuai komunikasi dengan
motivasi seseorang semakin besar kemungkinan komunikasi itu dapat
diterima dengan baik oleh pihak yang bersangkutan. Sebaliknya,
komunikan akan mengabaikan suatu komunikasi yang tidak sesuai dengan
motivasinya.
4. Prasangka
Prejudice atau prasangka merupakan salah satu rintangan atau
hambatan terberat bagi suatu kegiatan komunikasi oleh karena orang yang
mempunyai prasangka belum apa-apa sudah bersikap curiga dan

Universitas Sumatera Utara

menentang komunikator yang hendak melancarkan komunikasi. Dalam
prasangka, emosi memaksa kita untuk menarik kesimpulan atas dasar
syakwasangka tanpa menggunakan pikiran yang rasional.
Prasangka bukan saja dapat terjadi terhadap suatu ras, seperti sering kita
dengar, melainkan juga terhadap agama, pendirian politik, pendek kata
suatu perangsang yang dalam pengalaman pernah memberi kesan yang
tidak enak.
2.2.3

Gaya Komunikasi

2.2.3.1 Defenisi Gaya Komunikasi
Gaya komunikasi didefenisikan sebagai seperangkat perilaku antarpribadi
yang terspesialisasi digunakan dalam suatu situasi tertentu. Gaya komunikasi
merupakan cara penyampaian dan gaya komunikasi yang baik. Gaya yang
dimaksud dapat bertipe verbal atau nonverbal berupa vokalik, bahasa badan,
penggunaan waktu, penggunaan ruang dan jarak (Widjaja, 2000: 57). Proses
komunikasi seseorang dipengaruhi oleh gaya komunikasi. Gaya komunikasi
antara orang yang satu dengan yang lain dapat berupa perbedaan ciri – ciri model
dalam berkomunikasi, tata cara berkomunikasi cara berekspresi dalam
berkomunikasi dan tanggapan yang diberikan atau ditunjukkan pada waktu
berkomunikasi.
Setiap

orang

mempunyai

karakteristik

yang

berbeda-beda

untuk

menyampaikan pesan kepada orang lain. Hal tersebut mempengaruhi seseorang
dalam cara berkomunikasi baik dalam bentuk perilaku maupun perbuatan atau
tindakan. Cara berkomunikasi tersebut disebut gaya komunikasi. Gaya
komunikasi (communication style) didefinisikan sebagai seperangkat perilaku
antarpribadi yang terspesialisasi digunakan dalam suatu situasi tertentu (a
specialized set of intexpersonal behaviors that are used in a given situation).
Gaya komunikasi merupakan cara penyampaian

dan gaya bahasa yang baik

(Herwan, 2007: 7).
Gaya komunikasi dapat dilihat dan diamati ketika seseorang berkomunikasi
baik secara verbal (bicara) maupun nonverbal (ekspresi wajah, gerakan tubuh dan
tangan serta gerakan anggota tubuh lainnya). Gaya komunikasi adalah suatu

Universitas Sumatera Utara

kekhasan yang dimiliki setiap orang dan gaya komunikasi antara orang yang satu
dengan orang lainnya berbeda. Perbedaan antara gaya komunikasi antara satu
orang dengan yang lain dapat berupa perbedaan dalam ciri-ciri model dalam
berkomunikasi, tata cara berkomunikasi, cara berekspresi dalam berkomunikasi
dan tanggapan yang diberikan atau ditunjukkan pada saat berkomunikasi.
Ditambahkan oleh (Widjaja, 2000: 57) Gaya komunikasi merupakan cara
penyampaian dan gaya bahasa yang baik. Gaya yang dimaksud sendiri dapat
bertipe

verbal yang berupa kata-kata atau nonverbal berupa vokalik, bahasa

badan, penggunaan waktu, dan penggunaan ruang dan jarak. Pengalaman
membuktikan bahwa gaya komunikasi sangat penting dan bermanfaat karena akan
memperlancar proses komunikasi dan menciptakan hubungan yang harmonis.
Masing-masing gaya komunikasi terdiri dari sekumpulan perilaku komunikasi
yang dipakai untuk mendapatkan respon atau tanggapan tertentu dalam situasi
yang tertentu pula. Kesesuaian dari satu gaya

komunikasi yang digunakan,

bergantung pada maksud dari pengirim (sender) dan harapan dari penerima
(receiver).
Gaya komunikasi tidak tergantung pada tipe seseorang melainkan kepada
situasi yang dihadapi. Setiap orang akan menggunakan gaya komunikasi yang
berbeda-beda ketika mereka sedang gembira, sedih, marah, tertarik, atau bosan.
Begitu juga dengan seseorang yang berbicara dengan sahabat baiknya, orang yang
baru dikenal dan dengan anak-anak akan berbicara dengan gaya yang berbeda.
Selain itu gaya yang digunakan dipengaruhi oleh banyak faktor, gaya komunikasi
adalah sesuatu yang dinamis dan sangat sulit untuk ditebak. Sebagaimana budaya,
gaya komunikasi adalah sesuatu yang relatif.
Norton (1983), Kirtley dan Weaver (1999) (Liliweri, 2011: 309)
mendefenisikan

gaya

komunikasi

sebagai

proses

kognitif

yang

mengakumulasikan bentuk suatu konten agar dapat dinilai secara makro. Setiap
gaya selalu merefleksikan bagaimana setiap orang menerima dirinya ketika dia
berinteraksi dengan orang lain). Selain itu, Raynes (2011) (Liliweri 2011: 309)
juga memandang gaya komunikasi sebagai campuran unsur-unsur komunikasi
lisan dan ilustratif. Pesan-pesan verbal individu yang digunakan untuk

Universitas Sumatera Utara

berkomunikasi diungkapkan dalam kata-kata tertentu yang mencirikan gaya
komunikasi. Ini termasuk nada, volume atas semua pesan yang diucapkan.
2.2.3.2 Kategori Gaya Komunikasi
Para ahli komunikasi telah mengelompokkan beberapa tipe atau kategori
gaya komunikasi Norton (1983), (Liliweri, 2011: 309) ke dalam sepuluh jenis:
1. Gaya dominan (dominan style) adalah gaya seorang individu untuk
mengontrol situasi sosial.
2. Gaya dramatis (dramatic style) adalah gaya seorang individu yang
selalu “hidup” ketika dia bercakap-cakap.
3. Gaya kontroversial (controversial style) adalah gaya seseorang yang
selalu berkomunikasi secara argumentatif atau cepat untuk menantang
orang lain.
4. Gaya

animasi

(animated

style)

adalah gaya

seseorang

yang

berkomunikasi secara aktif dengan memakai bahasa nonverbal.
5. Gaya berkesan (impression style) adalah gaya berkomunikasi yang
merangsang orang lain sehingga mudah diingat, gaya yang sangat
mengesankan.
6. Gaya santai (relaxed style) adalah gaya seseorang yang berkomunikasi
dengan tenang dan senang, penuh senyum dan tawa.
7. Gaya atentif (attentive style) adalah gaya seseorang yang berkomunikasi
dengan memberikan perhatian penuh kepada orang lain, bersikap
simpati dan bahkan empati, mendengarkan orang lain dengan sungguhsungguh.
8. Gaya terbuka (open style) adalah gaya seseorang yang berkomunikasi
secara terbuka yang ditunjukkan dalam tampilan jujur dan mungkin saja
blakblakan.
9. Gaya bersahabat (friendly style) adalah gaya komunikasi yang
ditampilkan seseorang secara ramah, merasa dekat, selalu memberikan
respon positif, dan mendukung.

Universitas Sumatera Utara

10. Gaya yang tepat (precise style) adalah gaya yang tepat dimana
komunikator meminta untuk membicarakan suatu konten yang tepat
dan akurat dalam komunikasi lisan.
2.2.4

Komunikasi Verbal

2.2.4.1 Defenisi Komunikasi Verbal
Komunikasi verbal adalah komunikasi yang menggunakan kata-kata, entah
lisan maupun tulisan. Komunikasi ini paling banyak dipakai dalam hubungan
antar manusia. Melalui kata-kata, mereka mengungkapkan perasaan, emosi,
pemikiran, gagasan, atau maksud mereka, menyampaikan fakta, data, dan
informasi serta menjelaskannya, saling bertukar perasaan dan pemikiran, saling
berdebat, dan bertengkar. Simbol atau pesan verbal adalah semua jenis simbol
yang menggunakan satu kata atau lebih. Bahasa dapat juga dianggap sebagai
sistem kode verbal (Mulyana, 2010: 260).
Komunikasi verbal adalah komunikasi yang menggunakan kata-kata, entah
lisan maupun tulisan.Komunikasi ini paling banyak dipakai dalam hubungan antar
manusia. Melalui kata-kata, mereka mengungkapkan perasaan, emosi, pemikiran,
gagasan, atau maksud mereka, menyampaikan fakta, data, dan informasi serta
menjelaskannya, saling bertukar perasaan dan pemikiran, saling berdebat, dan
bertengkar. Dalam komunikasi verbal itu bahasa memegang peranan penting
(Hardjana, 2003: 22).
Komunikasi verbal selalu berhubungan dengan pesan verbal. Pesan-pesan
verbal merupakan tema yang dibicarakan bersama oleh peserta komunikasi.
Penyampaian pesan oleh seorang komunikator membutuhkan pengetahuan
tentang bentuk-bentuk pesan verbal, masyarakat sasaran (Liliweri, 2001: 193)
yang terdiri dari :
1. Struktur pesan: ditujukan oleh pola penyimpulan (tersirat atau tersurat),
pola urutan argumentasi (mana yang lebih dahulu, argumentasi yang
disenangi atau tidak disenangi), pola obyektifitas (satu atau dua sisi).
2. Gaya pesan: menunjukkan variasi linguistic dalam penyampaian pesan
(perulangan dan mudah dimengerti).

Universitas Sumatera Utara

3. Appeals pesan: mengacu pada motif-motif psikologis yang dikandung
pesan (rasional-emosional).
Dalam mempelajari interaksi bahasa dan verbal, ada beberapa hal yang
harus dipertimbangkan (Devito, 1997: 117), diantaranya:
1. Kata-kata kurang dapat menggantikan perasaan atau pikiran kompleks
yang ingin kita komunikasikan. Oleh karenanya, kata-kata hanya dapat
mendeteksi makna yang kita sampaikan.
2. Kata-kata hanyalah sebagian dari system komunikasi kita. Dalam
komunikasi yang sesungguhnya kata-kata kita selalu disertai perasaan
nonverbal. Oleh karenanya, pesan-pesan kita merupakan kombinasi.
2.2.5

Bahasa

2.2.5.1 Defenisi Bahasa
Bahasa adalah suatu sistem lambang yang memungkinkan orang berbagi
makna. Dalam komunikasi verbal, lambang bahasa yang dipergunakan adalah
bahasa verbal entah lisan, tertulis pada kertas, ataupun elektronik. Bahasa suatu
bangsa atau suku berasal dari interaksi dan hubungan antara warganya satu sama
lain (Hardjana, 2003: 23).
Barker (Mulyana, 2010:267) berpandangan, keistimewaan bahasa sebagai
sarana transmisi informasi yang lintas-waktu, dengan menghubungkan masa lalu,
masa kini, dan masa depan, memungkinkan kesinambungan budaya dan tradisi.
Tanpa bahasa seseorang tidak mungkin bertukar informasi, tidak mungkin
menghadirkan semua objek dan tempat untuk kita rujuk dalam komunikasi.
Dalam mempelajari interaksi bahasa dan verbal, ada beberapa hal yang
harus dipertimbangkan (Devito, 1997:117), diantaranya :
1. Kata-kata kurang dapat menggantikan perasaan atau pikiran kompleks
yang ingin kita komunikasikan. Oleh karenanya, kata-kata hanya dapat
mendeteksi makna yang kita sampaikan.
2. Kata-kata hanyalah sebagian dari sistem komunikasi kita. Dalam
komunikasi yang sesungguhnya kata-kata kita selalu disertai oleh

Universitas Sumatera Utara

perasaan nonverbal. Oleh karenanya, pesan-pesan kita merupakan
kombinasi isyarat-isyarat verbal dan nonverbal, dan efektivitasnya
bergantung pada bagaimana kedua macam isyarat ini dipadukan.
3. Bahasa adalah institusi sosial dari budaya kita dan mencerminkan budaya
tersebut. Pandanglah bahasa dalam suatu konteks sosial, selalu
mempertimbangkan implikasi sosial dari penggunaan bahasa.
Ada tiga teori yang membicarakan sehingga orang bisa memiliki
kemampuan berbahasa (Cangara, 2006:105), yaitu:
1. Teori pertama disebut Operant Conditioning yang dikembangkan oleh
seorang ahli psikologi behavioristik yang bernama B. F. Skinne