Bahasa Binan Dalam Komunikasi Antar Pribadi Di Kalangan Waria

(1)

BAHASA BINAN DALAM KOMUNIKASI ANTARPRIBADI DI

KALANGAN WARIA

(Studi Deskriptif Mengenai Penggunaan Bahasa Binan Dalam Proses Komunikasi Antarpribadi di Kalangan Waria di Kelurahan Sitirejo II

Kecamatan Medan Amplas Sumatera Utara)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Menyelesaikan Pendidikan Sarjana (S-1) pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Departemen Ilmu Komunikasi

Disusun oleh :

SANDHY SYARI PRATIWI

060904088

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(2)

ABSTRAKSI

Penelitian ini berjudul Pengaruh Bahasa Binan dalam Komunikasi Antarpribadi di Kalangan Waria ( Studi Deskriptif Mengenai Penggunaan Bahasa Binan Dalam Proses Komunikasi Antarpribadi di Kalangan Waria di Kelurahan Sitirejo II Kecamatan Medan Amplas Sumatera Utara).

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif yang hanya menggambarkan suatu situasi atau peristiwa penelitian, tanpa mencari atau menjelaskan hubungan, serta tidak menguji hipotesis atau membuat prediksi.

Populasi dalam penelitian ini adalah para waria di Kelurahan Sitirejo II Kecamatan Medan Amplas. Untuk menentukan jumlah sampel dan penarikan sampel digunakan Total Sampling. Jumlah responden dalam penelitian ini sebanyak 35 orang waria.

Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini melalui dua cara, yaitu Penelitian Kepustakaan (Library research) dan Penelitian Lapangan (Field Research).Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa tabel tunggal dengan menggunakan aplikasi Statistical Product and System Solution (SPPS) 16.

Dari hasil penelitian ini diketahui mengenai para responden yang beridentitas sebagai waria menyatakan bahwa mereka sangat tertarik dengan asal usul bahasa binan yang sering mereka gunakan dalam berkomunikasi antarpribadi sehari-harinya. Ketika akan mengungkapankan informasi pribadi kepada orang lain, tentunya seorang waria harus memiliki sebuah kesamaan tertentu dengan orang lain sehingga dirinya merasa tidak canggung dalam berkomunikasi. Para waria mengakui sangat memiliki kesamaan dengan lawan bicara ketika menjalin komunikasi antarpribadi

Komunikasi antarpribadi di kalangan waria di Kelurahan Sitirejo II Kecamaan Medan Amplas terjalin akrab dan harmonis dikarenakan berbagai hal kesamaan diantara mereka, selain itu penggunaan bahasa binan sebagai bahasa sandi merupakan bentuk komunikasi verbal yang paling nyaman bagi para waria di lingkungan ini.


(3)

KATA PENGANTAR Bismillahirahmannirrahim

Syukur allhamdulilah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-NYA, sehingga peniliti dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “ Bahasa Binan dalam Komunikasi Antarpribadi di Kalangan Waria” (Studi Deskriptif mengenai Penggunaan Bahasa Binan dalam Proses Komunikasi Antarpribadi di Kalangan Waria di Kelurahan Sitirejo II Kecamatan Medan Amplas Sumatera Utara). Tak lupa salawat berangkaikan salam peneliti haturkan kepada junjungan alam Nabi Besar Muhammad Saw yang telah membawa manusia dari alam kebodohan ke alam yang berilmu pengetahuan.

Dalam penelitian ini, peneliti menyadari sepenuhnya bahwa isi dari skripsi ini masih jauh dari sempurna. Hal ini disebabkan masih minimnya pengetahuan dan pengalaman dalam mencari, mengumpulkan dan mengolah data penelitian. Meskipun demikian, peneliti berusaha secara maksimal agar tulisan ini dapat tersusun sebaik mungkin. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati peneliti terbuka atas segala kritikan dan saran yang membangun dari pembaca, sebagai masukan untuk menyempurnakan tulisan ini.

Penyusunan skripsi ini sebagai tugas akhir peneliti dimungkinkan berkat bantuan berbagai pihak. Maka sudah pada tempatnya maka peneliti

menyampaikan penghargaan dan rasa terimakasih yang sedalam-dalamnya pada mereka yang banyak membantu dan mendukung peneliti dalam menulis skripsi ini.

Pertama sekali peneliti mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada orang tua yakni Ayahanda Syarifuddin,SE dan Ibunda Yusniar Nasution yang selalu ada untuk membimbing, memberikan semangat, cinta dan kasih sayang serta doa yang tak pernah putus untuk menjadikan kami anak yang terbaik. Untuk abang Yudha yang banyak memberikan masukan tentang kuliah, Fiera, Hendro, ibu Norma, om Amryn, mbak Ika, mbak Lia dan Yudo Baskoro yang selalu setia memberikan kebaikan dan ketulusan dalam memotivasi untuk membantu peneliti menggapai gelar sarjana, serta kepada Ayra Shaqi Nafila, keponakan yang selalu memberikan keceriaan dan senyuman dikala penat melanda.

Dalam proses penyelesaian skripsi ini peneliti tidak hanya mengandalkan kemampuan diri sendiri. Begitu banyak pihak yang memberikan kontribusi, baik berupa materi, pikiran, maupun dorongan semangat dan motivasi. Oleh karena iu melalui kata pengantar ini penulis menyampaikan terimakasih kepada :

1. Bapak Prof.Dr.Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs.Amir Purba, MA dan Ibu Dra.Dewi Kurniawati, M.Si selaku ketua dan juga sekretaris Departemen Ilmu Komunikasi yang begitu baik dan memotivasi penyelesaian skripsi ini.


(4)

3. Ibu Dra.Dayana, M.Si selaku dosen pembimbing peneliti, terimakasih yang tak terhingga penulis ucapkan atas kebaikan dan pengetahuan yang telah banyak ibu berikan dalam membimbing peneliti sehingga memotivasi peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Para dosen Ilmu Komunikasi FISIP USU yang selalu memberikan contoh, masukan serta teladan yang patut ditiru oleh peneliti berupa semangat untuk terus belajar dan meraih cita-cita.

5. Kak Ros, Bang Ria, Pak Herman, Kak Icut dan Kak Maya untuk semua dukungannya.

6. Kak Rotua atas semua dukungan, pengertian, memberikan motivasinya agar peneliti segera menyelesaikan studi, serta meluangkan waktunya untuk memberikan masukan dan ilmu kepada peneliti.

7. Terimakasih kepada teman-teman angkatan 2006 Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara atas perjuangan dan semangat kebersamaan kita.

8. Untuk anak-anak MZPZ : Aci, Sophia, Didar, Fara, dan Nizlya buat motivasinya selama ini.

Medan, Agustus 2010 Peneliti


(5)

DAFTAR ISI

Halaman LEMBAR PERSETUJUAN

ABSTRAKSI... i

KATA PENGANTAR... ii

DAFTAR ISI... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR... x

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah ... 1

I.2. Perumusan Masalah ... 4

I.3. Pembatasan Masalah... 5

I.4. Tujuan Masalah ... 5

I.5. Manfaat Penelitian ... 6

I.6. Kerangka Teori ... 6

I.6.1. Komunikasi ... 6

I.6.2. Komunikasi Verbal ... 7

I.6.3. Bahasa Binan ... 8

I.6.4. Komunikasi Antarpribadi ... 9

I.6.5. Self Disclosure ... 10

I.7. Kerangka Konsep... 11

I.8. Model Teoritis ... 12

I.9. Komponen Operasional ... 13

I.10Defenisi Operasional... 14

BAB II URAIAN TEORITIS II.1. Pengertian Komunikasi ... 18

II.2. Komunikasi Verbal ... 20

II.2.1. Asal Usul Bahasa ... 20

II.2.2. Fungsi Bahasa Dalam Kehidupan Manusia... 21

II.2.3. Keterbatasan Masalah... 22

II.3. Bahasa Binan ... 24

II.4. Komunikasi Antarpribadi ... 29

II.4.1. Pengertian Komunikasi Antarpribadi ... 29

II.4.2. Sifat-sifat Komunikasi Antarpribadi ... 31

II.4.3. Komponen Komunikasi Antarpribadi dan Proses Komunikasi Antarpribadi... 32

II.4.4. Efektifitas Komunikasi Antarpribadi ... 32

II.5. Self Disclosure... 36


(6)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

III.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 42

III.2. Metodologi Penelitian ... 43

III.2.1. Metode Penelitian ... 43

III.2.2. Lokasi Penelitian... 43

III.3. Populasi dan Sampel ... 43

III.3.1. Populasi ... 43

III.3.2. Sampel... 44

III.4. Teknik Pengumpulan Data... 44

III.5. Teknik Analisis Data... 45

BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN IV.1. Pelaksanaan Pengumpulan Data ... 46

IV.1.1. Langkah-langkah pengumpulan data ... 46

IV.2. Proses Pengolahan Data... 47

IV.3. Analisa Tabel Tunggal... 48

IV.3.1. Karakteristik Responden... 48

IV.3.2. Bahasa Binan dalam Proses Komunikasi Antar pribadi di kalangan waria ... 51

IV.4. Pembahasan ... 78

BAB V PENUTUP V.1. Kesimpulan... 84

V.2. Saran... 85

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(7)

DAFTAR TABEL

Nomor Tabel Halaman

I.1 Komponen Operasional ... 13

IV.1 Agama responden ... 48

IV.2 Tingkat pendidikan responden... 49

IV.3 Pekerjaan responden ... 50

IV.4 Anda mengetahui asal usul bahasa binan... 51

IV.5 Ketertarikan dengan asal usul bahasa binan ... 52

IV.6 Anda mengetahui fungsi dari bahasa binan ... 53

IV.7 Fungsi bahasa binan sudah tepat sebagai bahasa sandi ... 54

IV.8 Anda mengerti dengan gramatika bahasa binan ... 55

IV.9 Anda dan sesama waria mengerti gramatika bahasa binan. 56 IV.10 Anda membuka diri ketika menjalin hubungan sosial... 57

IV.11 Anda berterusterang bahwa anda seorang waria... 58

IV.12 Keyakinan bahwa keterbukaan merupakan dasar hubungan yang sehat ... 59

IV.13 Keterbukaan lebih disukai ketika menjalin hubungan dengan orang lain ... 60

IV.14 Keterbukaan akan menciptakan sebuah hubungan yang bersifat positif ... 61

IV.15 Anda memiliki kompetensi yang merupakan bagian dari sifat positif ketika menjalin komunikasi ... 62

IV.16 Anda memiliki sikap berterusterang yang merupakan bagian dari sifat positif ketika menjalin komunikasi ... 63

IV.17 Anda memiliki sikap terbuka yang merupakan bagian dari sifat positif ketika menjalin komunikasi ... 64

IV.18 Anda memiliki sikap fleksibel yang merupakan bagian dari sifar positif ketika menjalin komunikasi... 65

IV.19 Anda memiliki sikap adaptif yang merupakan bagian dari sifat positif ketika menjalin komunikasi ... 66


(8)

IV.20 Anda memiliki intelegensia yang merupakan bagian

dari sifat positif ketika menjalin komunikasi ... 67 IV.21 Keyakinan bahwa keterbukaan sebuah dasar komunikasi harmonis... 68 IV.22 Keyakinan bahwa keterbukaan diawali dengan bersikap tulus, jujur dan apa adanya dalam menjalin hubungan ... 69 IV.23 Anda membayangkan diri anda kepada orang lain ketika sedang berkomunikasi... 70 IV.24 Berempati diperlukan dalam menjalin sebuah hubunga ... 71 IV.25 Anda mendapatkan dukungan dari lingkungan terhadap jati diri anda sebagai waria... 72 IV.26 Sebuah dukungan sangat berarti dalam kehidupan anda .... 73 IV.27 Anda mendapatkan tanggapan yang baik dari lingkungan ketika menjalin komunikasi dengan mereka ... 74 IV.28 Sebuah tanggapan yang baik ketika berkomunikasi sangat berarti dalam kehidupan anda ... 75 IV.29 Anda merasa memiliki kesamaan dengan lawan bicara ketika menjalin komunikasi antarpribadi ... 76 IV.30 Anda memiliki kesamaan yang merupakan unsur yang sangat penting ketika menjalin komunikasi antarpribadi dengan sesama waria... 77 IV.31 Hubungan antara tahu asal usul bahasa binan dan sikap berterusterang terhadap identitas sebagai waria... 79 IV.32 Hubungan antara sikap adaptif dan mengerti dengan bahasa binan antara sesama waria... 80 IV.33 Hubungan antara kesamaan yang dimiliki oleh para waria dan penggunaan bahasa sandi sebagai bahasa sandi kaum waria... 82


(9)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Gambar Halaman

I.1 Model Teoritis ... 12 II.1 Johari Window... 36 III.1 Struktur kelurahan Sitirejo II Kecamatan Medan Amplas.. 42


(10)

ABSTRAKSI

Penelitian ini berjudul Pengaruh Bahasa Binan dalam Komunikasi Antarpribadi di Kalangan Waria ( Studi Deskriptif Mengenai Penggunaan Bahasa Binan Dalam Proses Komunikasi Antarpribadi di Kalangan Waria di Kelurahan Sitirejo II Kecamatan Medan Amplas Sumatera Utara).

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif yang hanya menggambarkan suatu situasi atau peristiwa penelitian, tanpa mencari atau menjelaskan hubungan, serta tidak menguji hipotesis atau membuat prediksi.

Populasi dalam penelitian ini adalah para waria di Kelurahan Sitirejo II Kecamatan Medan Amplas. Untuk menentukan jumlah sampel dan penarikan sampel digunakan Total Sampling. Jumlah responden dalam penelitian ini sebanyak 35 orang waria.

Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini melalui dua cara, yaitu Penelitian Kepustakaan (Library research) dan Penelitian Lapangan (Field Research).Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa tabel tunggal dengan menggunakan aplikasi Statistical Product and System Solution (SPPS) 16.

Dari hasil penelitian ini diketahui mengenai para responden yang beridentitas sebagai waria menyatakan bahwa mereka sangat tertarik dengan asal usul bahasa binan yang sering mereka gunakan dalam berkomunikasi antarpribadi sehari-harinya. Ketika akan mengungkapankan informasi pribadi kepada orang lain, tentunya seorang waria harus memiliki sebuah kesamaan tertentu dengan orang lain sehingga dirinya merasa tidak canggung dalam berkomunikasi. Para waria mengakui sangat memiliki kesamaan dengan lawan bicara ketika menjalin komunikasi antarpribadi

Komunikasi antarpribadi di kalangan waria di Kelurahan Sitirejo II Kecamaan Medan Amplas terjalin akrab dan harmonis dikarenakan berbagai hal kesamaan diantara mereka, selain itu penggunaan bahasa binan sebagai bahasa sandi merupakan bentuk komunikasi verbal yang paling nyaman bagi para waria di lingkungan ini.


(11)

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah

Kata ‘waria’ sudah menjadi makanan telinga kita sehari-hari. Memang dalam peristilahannya, waria adalah seorang laki-laki yang berbusana dan bertingkah laku sebagaimana layaknya seorang wanita. Istilah ini awalnya muncul dari masyarakat Jawa Timur yang merupakan akronim dari ‘wanita tapi pria’ pada tahun 1983-an. Paduan dari kata wanita dan pria. Sedangkan istilah lain yang lazim digunakan untuk kaum ini adalah Banci yang kemudian mengalami metamorfosa dengan melahirkan kata bencong. Wadam kependekan dari wanita adam. Istilah ini kurang begitu populer lagi. Wandu berasal dari bahasa Jawa yang mungkin artinya wanito dhudhu (wanita bukan). Pernah juga ada istilah binan, namun penggunaannya juga kian berkurang menjadi kata yang umum. Kaum ini juga terkenal kreatif dalam menghasilkan kosakata baru, yang acap membingungkan kita kaum kebanyakan dikarenakan kaum semacam ini cenderung menggunakan istilah yang ditujukan bagi komunitasnya belaka. Kata ‘Waria’ inilah yang kini menjadi kata baku dalam bahasa Indonesia.

Waria dan diskriminasi, bagai dua sisi mata uang yang sulit dipisahkan. Keberadaan waria ditengah masyarakat merupakan suatu fenomena yang ikut meramaikan fakta sosial baru di dalam masyarakat. Hal ini menimbulkan adanya suatu pandangan-pandangan yang beraneka ragam di dalam masyarakat, mulai dari pemberian cap bahwa mereka sampah masyarakat, penyakit sosial, berperilaku negatif, sumber penyakit hingga tidak diakui eksistensi sosialnya.


(12)

Tetepi ada juga yang menilai waria sebagai manusia yang seutuhnya, sama seperti manusia lainnya. Bisa merasakan rasa sayang, senang, sakit hati dan sedih. Waria hanyalah manusia biasa. Ada stigma negatif dari masyarakat terhadap waria, sampai-sampai ada sikapnya tidak berpikir secara etis dan kritis merupakan persepsi yang kurang dari nilai-nilai kemanusiaan.

Keberadaan waria di tengah-tengah masyarakat sama halnya dengan keberadaan setiap individual manusia lainnya. Ada yang bersikap baik dan ada pula yang bersikap tidak baik. Ada yang memiliki nilai-nilai moral, etika dan estetika serta sebaliknya adapula yang kurang bermoral, tidak memiliki etika dan estetika. Semua itu kembali lagi kepada sikap pribadi perorangan masing-masing individu. Kebanyakan dari kaum waria mencoret citranya sendiri. Dengan gaya hidup waria yang dinilai berlebihan dalam mengeksplorasi keerotisan. Pergaulan waria yang yang banyak memiliki teman perempuan nakal menjadikan sebagian besar kaum waria berprofesi sebagai mucikari (penjual wanita). Selain itu kebanyakan dari mereka pun berprofesi menjadi seorang PSK (Pekerja Seks Komersil). Hal ini membuat perspektif pandangan masyarakat semakin memburuk terhadap mereka. Menyukai sesama jenis dan identik dengan sikap yang bergonta ganti pasangan mengakibatkan penilaian masyarakat bahwa waria itu sebagai manusia yang kotor dan sumber penyakit.

Dalam kenyataannya, tidak semua citr negatif yang ditujukan kepada waria itu benar. Dalam perspektif lain, tidak sedikit pula waria yang terlahir dari sentuhan keindahan masyarakat yang tanpa ragu mengakuinya. Mereka tumbuh dan berbaur dengan masyarakat tanpa menyinggung status sosialnya. Tidak sedikit dari kaum waria menjadi sukses dengan bakat-bakat serta potensi yang


(13)

dimilikinya. Dengan bakat seperti kebanyakan perempuan yang dimilikinya, kaum waria banyak yang menjadi perancang busana, make up artist, artis dan pengusaha yang membuka lapangan pekerjaan bagi banyak orang. Contohnya seperti Ivan Gunawan dan juga Oscar Lawalata yang merupakan designer papan atas Indonesia, kemudian Dorce yang memiliki jiwa sosial yang tinggi. Banyak hal positif yang dilakukan oleh presenter yang cukup akrab menyapa para pemirsa televisi setiap harinya.

Dalam kenyataannya hidup sebagai waria yakni hanya sekedar beratribut sebagaimana perempuan hidup. Sebagai waria adalah suatu kondisi kejiwaan dan kulturual sekaligus sehingga seorang waria tidak hanya sebatas merasakan dirinya waria, tetapi hidup dalam kultural itu sendiri, dalam berbagai dimensi dan ragamnya untuk diterima di dalam ruang-ruang sosial yang ada. Karena itu, sebagai waria tidak sama dengan menjadi homoseks sebagaimana yang banyak dilihat dalam konteks relasi seksual semata.

Hidup sebagai waria mengandung makna bahwa waria selalu berusaha menjadi bagian dari berbagai ruang sosial. Selebihnya mereka pun memiliki ruang pribadi dan menjalin hubungan sosial antar sesama kaum waria. Mereka cenderung melakukan perkelompokan dikarenakan adanya rasa persamaan dan juga latar belakang. Komunikasi yang terjalin dalam hubungan ini bersifat lebih akrab dan juga hangat, itulah yang dinamakan dengan komunikasi antarpribadi.

Dalam komunikasi antarpribadi ini, para waria menggunakan lambang-lambang tertentu ataupun berupa komunikasi dalam bentuk verbal berupa penggunaan bahasa binan atau waria. Bahasa ini memang sangat berbeda dengan tatanan bahasa Indonesia. Mereka menggunakan bahasa ini sebagai sandi dalam


(14)

berkomunikasi akrab dengan sesama kaum waria, namun tidak jarang ada beberapa kata bahasa binan ini menjadi bahasa gaul dan juga populer di kalangan masyarakat.

Kita lihat saja bagaimana kata “peres” bisa sangat popular digunakan

sebagai pengganti untuk istilah kata gila. Memanggil teman kita dengan sebutan “Nek”, dan sebuatan pria dengan istilah ‘lekong”. Itu semua tidak hanya

digunakan oleh para waria sebagai bahasa mereka berkomunikasi, namun sudah menjadi istilah umum bagi siapa saja. Bahasa waria atau bahasa binan ini memang sudah lazim didengarkan, namun lebih sering lagi, ketika kita bertemu dengan sekumpulan waria ketika mereka sedang berkomunikasi satu sama lain.

Penelitian ini akan dilakuan di Kelurahan Sitirejo II Kecamatan Medan Amplas Sumatera Utara. Pemilihan lokasi penelitian dikarenakan wilayah ini banyak terdapat para waria yang tinggal dan juga menyewa rumah/kost di daerah ini. Wilayahnya dianggap oleh para waria cukup strategis antara kota Medan dan lintas luar kota Medan.

Berdasarkan uraian diatas maka peneliti tertarik untuk meneliti sejauhmana penggunaan bahasa binan dalam proses komunikasi antarpribadi di kalangan para waria di kelurahan Sitirejo II Kecamatan Medan Amplas Sumatera Utara.

I.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, peneliti

merumuskan masalah sebagai berikut, “Bagaimanakah penggunaan bahasa binan terhadap proses komunikasi antarpribadi di kalangan waria di kelurahan Sitirejo II Kecamatan Medan Amplas Sumatera Utara?”


(15)

I.3 Pembatasan Masalah

Untuk menghindari ruang lingkup penelitian yang terlalu luas sehingga dapat mengaburkan penelitian, maka penulis membatasi masalah yang akan diteliti. Adapun pembatasan masalah yang akan diteliti adalah sebagai berikut :

1. Penelitian ini dibatasi pada penggunaan bahasa binan yang dilakukan oleh para kaum waria dalam proses hubungan komunikasi antarpribadi dengan sesama waria

2. Objek penelitian adalah para kaum waria di lingkungan kelurahan Sitirejo II Kecamatan Medan Amplas Sumatera Utara.

3. Penelitian dilakukan dari April-Juni 2010

I.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian merupakan arah pelaksanaan penlitian, yang

menguraikan apa yang akan dicapai dan biasanya disesuaikan dengan kebutuhan peneliti dan pihak lain yang berhubungan dengan penelitian tesebut :

Adapun yang menjadi tujuan penelitian adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui bahasa sandi/khusus atau yang populer disebut bahasa binan yang digunakan oleh responden yakni para kaum waria

2. Untuk mengetahui proses komunikasi antarpribadi yang terjalin antara sesama waria

3. Untuk mengetahui bagaimana penggunaan bahasa binan terhadap proses komunikasi antarpribadi di kalangan para waria.

I.5 Manfaat Penelitian


(16)

1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat menambah atau mempeluas khasanah penelitian di Departemen Ilmu Komunikasi.

2. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan peneliti mengenai komunikasi verbal dan komunikasi antar pribadi.

3. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi kontibusi atau masukan yang positif bagi para kaum waria di kota Medan.

I.6 Kerangka Teori

Setiap penelitian memerlukan kejelasan ttitik tolak atau landasan berpikir dalam memecahkan atau menyoroti masalahnya. Untuk itu, perlu disusun

kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian akan disoroti (Nawawi, 2001:39).

Kerlinger menyebutkan teori adalah himpunan konstruk (konsep), definisi,

dan proposisi yang mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala dengan menjabarkan relasi di antara variabel, untuk menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut (Rakhmat, 2004:6).

Dalam penelitian ini, teori – teori yang dianggap relevan diantaranya adalah Komunikasi, Komunikasi Verbal, Komunikasi Antarpribadi dan

Self-disclosure.

I.6.1 Komunikasi

Istilah komunikasi dalam bahasa inggris “communication” berasal dari

kata latin “communication” dan bersumber dari kata communis yang berarti

sama. Komunikasi merupakan unsur penting bagi kehidupan manusia. Hal ini sangat diperlukan dalam rangka menjalin hubungan dengan sesama sehubungan dengan sifat manusia sebagai mahluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa orang


(17)

lain. Komunikasi digunakan sebagai jembatan yang menghubungkan manusia yang satu dengan yang lainnya (Effendy, 2003 : 27). Dewasa ini, ilmu komunikasi berkembang menjadi ilmu yang dianggap penting sehubungan dengan dampak sosial yang menjadi kendala bagi kehidupan manusia akibat perkembangan teknologi.

Harold Lasswell (Mulyana, 2005 : 62), menerangkan cara terbaik untuk menggambarkan komunikasi adalah dengan mnjawab pertanyaan-pertanyaan berikut : Who Says What In Which Channel To Whom Wtih What Effect ? (Siapa

Mengatakan Apa Melalui Saluran Apa Kepada Siapa Dengan Efek Apa ?). Jawaban bagi pertanyaan paradigma Lasswell merupakan unsur-unsur proses komunikasi yang meliputi komunikator, pesan, media, komunikan dan efek (Effendy, 2004 : 253).

I.6.2 Komunikasi Verbal

Jika diperhatikan dengan sungguh-sungguh maka setiap hari sebenarnya setiap orang dalam berkomunikasi antarpribadi telah melaksanakan pengiriman pesan-pesan yang bersifat verbal maupun nonverbal.

Dalam komunikasi tanda-tanda verbal diwakili dalam penyebutan kata-kata, pengungkapannya baik yang lisan maupun tertulis. Sedangkan tanda-tanda nonverbal terlihat dalam ekspresi wajah, gerakan tangan. Dan hal demikan setiap saat dilakukan oleh siapa saja tanpa kecuali. Sebenarnya jika kita jujur maka pelaksanaan komunikasi antarpribadi setiap hari terbanyak melibatkan prilaku non verbal sebagai penguat pesan-pesan verbal yang diucapkan.

Goffman (1971) dan De Lozier (1976) Little John (1978) merinci perilaku verbal seperti bahasa jarak atau prosemik; bahasa gerak anggota tubuh atau


(18)

kinesik dan perilaku yang terletak antara verbal dan nonverbal yang disebut dengan paralinguistik.

Jadi, baik perilaku verbal maupun nonverbal masing-masing dapat menunjukkan seberapa jauh hubungan antara pihak-pihak yang terlibat

didalamnya. Perilaku verbal dan nonverbal yang memiliki/mengandung pesan dapat menghasilkan suatu suasana yang menunjukkan erat tidaknya hubungan antara dua orang atau dekat atau jauhnya jarak sosial (Liliweri, 1991:31).

I.6.3 Bahasa Binan

Pada dekade 1990-an ini, khalayak pendengar radio dan penonton televisi mau tak mau mendengar suatu jenis bahasa baru yang kata-katanya ada yang sepintas dengar terkendali, akan tetapi konteks penggunaan dan maknanya, setidaknya pada awal, terkesan tidak pada tempatnya; ada yang asing sama sekali; dan ada pula yang menggunakan gaya bahasa khas waria yang latah atau dilatah-latahkan.

Setidaknya sejak tahun 1960-an di kalangan wadam/waria dan homo/gay digunakan bahasa khusus yang dikenal dengan nama Omong Cong atau Omong Ces, hingga saat ini yang diberi nama Bahasa Binan. Sebagian dari kata bahasa binan ini kemudian masuk ke dalam bahasa informal umum, seperti kata nepsong,

trimse' kamse', dan puncaknya saat ini dengan penggunaan begitu banyak kata

Bahasa Binan dalam Bahasa Gaul.

Hal yang boleh dikatakan baru dalam media elektronik dalam dekade 1990-an ini adalah meluasnya penggunaan ragam bahasa yang awalnya berasal dari ragam yang dipakai oleh komunitas kaum gay /homoseks. Dengan perkataan lain, ragam bahasa yang dalam komunitas asalnya dikenal sebagai bahasa binan


(19)

kemudian menjadi apa yang dinamakan bahasa gaul dan digunakan oleh mereka yang bukan waria dan bukan (atau belum diketahui) gay. Sejauh yang kita ketahui, di kepulauan Nusantara ini tercatat adanya enam jenis proses pembentukan kata-kata bahasa binan (Oetomo:2003:63).

Kata-kata bahasa binan dibentuk dengan dua proses, yakni :

1. Proses perubahan bunyi dalam kata yang berasal dari bahasa daerah atau bahasa Indonesia

2. Proses penciptaan kata atau istilah baru atau pun penggeseran makna kata atau istilah (plesetan) yang sudah ada dalam bahasa daerah atau bahasa Indonesia.

I.6.4 Komunikasi Antarpribadi

Dikutip oleh Liliweri (1991 : 12), Devito menjelaskan komunikasi merupakan pengiriman pesan dari seseorang dan telah diterima oleh orang lain atau sekelompok orang lain dengan efek dan efek umpan balik yang berlangsung. Untuk memperjelas pengertian komunikasi antarpribadi Devito memberikan beberapa ciri komunikasi antar pribadi :

1. Keterbukaan

Komunikator dan komunikan saling mengungkapkan segala ide atau gagasan bajwa permasalahan secara bebas (tidak ditutupi) dan terbuka tanpa rasa takut atau malu, kedua-duanya saling mengerti dan memahami pribadi masing-masing.

2. Empati

Kemampuan seseorang untuk memproyeksikan dirinya kepada orang lain. 3. Dukungan


(20)

Setiap pendapat, ide atau gagasan yang disampaikan mendapat dukungan dari pihak-pihak yang berkomunikasi. Dengan demikian keinginan atau hasrat yang ada dimotivasi untuk mencapainya. Dukungan membnatu seseorang untuk lebih bersemangat dalam melaksanakan aktivitas serta meraih tujuan yang didambakan.

4. Rasa Positif

Setiap pembicaraan yang disampaikan dapat tanggapan yang positif, rasa positif menghindarkan pihak-pihak yang berkomunikasi untuk tidak curiga atau berprasangka yang menggangu jalinan interaksi.

5. Kesamaan

Suatu komunikasi lebih akrab dan jalinan pribadi pun lebih kuat apabila memiliki kesamaan tertentu seperti kesamaan pandangan, sikap, usia, ideologi dan sebagainya.

I.6.5 Self-Disclosure

Menurut Devito (1997:231-232), teori self disclosure atau pembukaan diri

merupakan proses mengungkapkan reaksi atau tanggapan kita terhadap situasi yang sedang kita hadapi serta memberikan informasi guna memahami suatu tanggapan terhadap orang lain dan sebaliknya. Membuka diri berarti membagikan kepada orang lain perasaan kita terhadap suatu yang telah dikatakan atau

dilakukannya, atau perasaan kita terhadap suatu kejadian-kejadian yang baru saja kita saksikan.

Beberapa manfaat dan dampak pembukaan diri terhadap hubungan antar pribadi adalah sebgai berikut :


(21)

1. Pembukaan diri merupakan dasar bagi hubungan yang sehat antara dua orang

2. Semakin kita bersikap terbuka kepada orang lain, maka orang tersebut akan menyukai diri kita, sehingga ia akan semakin membuka diri kepada kita.

3. Orang yang rela membuka diri kepada orang lain terbukti cenderung memiliki sifat-sifat sebagai berikut : kompeten, terbuka, ekstrover, fleksibel, adaptif dan inteligen.

4. Membuka diri pada orang lain merupakan dasar relasi yang memungkinkan komunikasi intim baik dengan diri kita sendiri maupun dengan orang lain.

5. membuka diri berarti berarti bersikap realistis, maka di dalam pembukaan diri kita haruslah jujur, tulus, dan autentik.

Teori Self Disclosure atau proses pengungkapan diri yang telah lama

menjadi fokus penelitian dan teori komunikasi mengenai hubungan merupakan proses mengungkapkan informasi pribadi kita kepada orang lain dan seterusnya.

I.7 Kerangka Konsep

Teori-teori yang dijadikan landasan pada kerangka teori harus dapat menghasilkan beberapa konsep yang disebut dengan kerangka konsep. Menurut Nawawi (2001 : 56) kerangka konsep merupakan hasil pemikiran rasional yang bersifat kritis dalam memperkirakan kemungkinan hasil penelitian yang akan dicapai. Agar konsep-konsep dapat diteliti secara empiris, maka harus


(22)

Pembatasan konsep dalam penelitian ini tidak saja untuk menghindari salah maksud dalam memahami konsep penelitian dalam membatasi penelitian, tetapi batasan konsep diperlukan untuk penjabaran variabel penelitian maupun indikator variabel/komponen (Bungin, 2005: 92).

Komponen yang digunakan dalam penelitian ini adalah penggunaan bahasa binan dalam proses komunikasi antarpribadi di kalangan waria .

I.8 Model Teoritis

Berdasarkan komponen yang akan diteliti dalam kerangka konsep maka dibentuk suatu model teoritis yaitu :

Gambar I.1 Model Teoritis

Komunikasi verbal di kalangan waria

Proses Komunikasi Antarpribadi Penggunaan Bahasa Binan  

       

Tingkat keterbukaan diri  

I.9 Komponen Operasional

Berdasarkan kerangka teori dan kerangka konsep yang telah diuraikan di atas, maka untuk lebih memudahkan penelitian, perlau dibuat operasional komponen terkait sebagai berikut :


(23)

Tabel I.1

Komponen Operasional

Komponen Teoritis Komponen Operasional

Bahasa Binan Dalam Proses Komunikasi Antarpribadi di Kalangan Waria

1. Asal-usul bahasa 2. Fungsi Bahasa 3. Gramatika

4. Keterbukaan (Self-Disclosure)  Dasar hubungan yang sehat  Keterbukaan lebih disukai  Sifat positif

a. Kompeten b. Terbuka c. Ekstrovet d. Fleksibel e. Adaptif f. Inteligen

 Terjalinnya komunikasi intim  Bersikap realistis

5. Empati 6. Dukungan 7. Rasa positif 8. Kesamaan

Karakteristik Responden

1. Usia

2. Agama

3. Tingkat pendidikan

4. Pekerjaan

I.10 Defenisi Operasional

Defenisi operasional adalah unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana caranya untuk mengukur suatu komponen. Dengan kata lain defenisi operasional adalah suatu informasi ilmiah yang sangat membantu penelitian lain yang ingin menggunakan komponen yang sama (Singarimbun, 1995 : 46).

Defenisi operasional dari komponen penelitian ini adalah :

1. Penggunaan bahasa Binan dalam proses komunikasi antarpribadi di kalangan waria :

a. Asal usul bahasa adalah bagaimana proses terciptanya bahasa binan di kalangan waria di Kelurahan Siti Rejo II Kecamatan Medan Amplas.


(24)

b. Fungsi bahasa adalah makna dari penggunaan bahasa binan tersebut di kalangan waria di Kelurahan Siti Rejo II Kecamatan Medan Amplas. c. Gramatika adalah susunan tata bahasa dalam suatu bahasa, dalam

penelitian ini adalah tata bahasa binan di kalangan waria di Kelurahan Siti Rejo II Kecamatan Medan Amplas.

d. Keterbukaan (Self-Disclosure) adalah proses yang terjadi antara

komunikator dan komunikan dalam saling mengungkapkan segala ide atau gagasan bajiwa permasalahan secara bebas (tidak ditutupi) dan terbuka tanpa rasa takut atau malu, kedua-duanya saling mengerti dan memahami pribadi masing-masing di kalangan waria di Kelurahan Siti Rejo II Kecamatan Medan Amplas.

 Dasar hubungan yang sehat adalah sebuah awal hubungan yang baik dan akan berproses secara baik. Dasar ini menjadi sebuah awal jalinan hubungan di kalangan para waria di Kelurahan Siti Rejo Kecamatan Medan Amplas.

 Keterbukaan lebih disukai adalah adanya keterusterangan dalam menjalin hubungan di kalangan para waria di Kelurahan Siti Rejo Kecamatan Medan Amplas.

 Sifat positif adalah sifat baik yang dimiliki oleh orang yang terbuka di kalangan para waria di Kelurahan Siti Rejo Kecamatan Medan Amplas. Ada 6 sifat positif :

1. Kompeten : memiliki kemampuan yang handal di kalangan para waria di Kelurahan Siti Rejo Kecamatan Medan Amplas.


(25)

2. Terbuka : sikap selalu apa adanya dan terus terang pada diri seseorang di kalangan para waria di Kelurahan Siti Rejo Kecamatan Medan Amplas.

3. Ekstrovet : keterbukaan diri total seseorang di kalangan para waria di Kelurahan Siti Rejo Kecamatan Medan Amplas.

4. Fleksibel : mampu seseorang mengikuti situasi yang ada di kalangan para waria di Kelurahan Siti Rejo Kecamatan Medan Amplas.

5. Adaptif : seseorang mampu menyesuaikan diri di kalangan para waria di Kelurahan Siti Rejo Kecamatan Medan Amplas.

6. Inteligen : kecakapan seseorang dalam bersikap dan berpikir di kalangan para waria di Kelurahan Siti Rejo Kecamatan Medan Amplas.

 Terjalinnya komunikasi intim adalah terjalinnya komunikasi timbal balik ketika berkomunikasi satu sama lain antara para waria di Kelurahan Siti Rejo Kecamatan Medan Amplas.

 Bersikap realistis adalah bersikap tulus, jujur dan autentik antara para waria di Kelurahan Siti Rejo Kecamatan Medan Amplas. e. Empati adalah kemampuan seseorang untuk memproyeksikan dirinya

kepada orang lain. Dalam hal ini bagaimana para waria di Kelurahan Siti Rejo Kecamatan Medan Amplas mampu memproyeksikan diri mereka

f. Dukungan adalah setiap pendapat, ide atau gagasan yang disampaikan mendapat dukungan dari pihak-pihak yang berkomunikasi. Dengan


(26)

demikian keinginan atau hasrat yang ada dimotivasi untuk mencapainya. Dukungan membantu seseorang untuk lebih bersemangat dalam melaksanakan aktivitas serta meraih tujuan yang didambakan. Dukungan ini sangat dibutuhkan oleh para waria di Kelurahan Siti Rejo Kecamatan Medan Amplas.

g. Rasa Positif adalah setiap pembicaraan yang disampaikan dapat tanggapan yang positif, rasa positif menghindarkan pihak-pihak yang berkomunikasi untuk tidak curiga atau berprasangka yang menggangu jalinan interaksi, begitupun rasa positif yang diharapkan oleh para waria di Kelurahan Siti Rejo Kecamatan Medan Amplas ketika mereka menjalin komunikasi.

h. Kesamaan adalah suatu komunikasi lebih akrab dan jalinan pribadi pun lebih kuat apabila memiliki kesamaan tertentu seperti kesamaan pandangan, sikap, usia, ideologi dan sebagainya. Kesamaan ini sangat dibutuhkan oleh para waria di Kelurahan Siti Rejo Kecamatan Medan Amplas.

2. Karakteristik Responden

a. Usia adalah jumlah umur responden mulai lahir sampai saat mengisi kuesioner.

b. Agama, keyakinan agama yang dianut responden meliputi agama Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu.

c. Tingkat pendidikan responden meliputi tamat SD, tamat SMP, tamat SMA, Akademi dan Universitas.


(27)

BAB II

URAIAN TEORITIS II.1 Pengertian Komunikasi

Sebagai makhluk sosial manusia senantiasa ingin berhubungan dengan manusia lainnya. Ia ingin mengetahui lingkungan sekitarnya, bahkan ingin

mengetahui apa yang terjadi dalam dirinya. Rasa ingin tahu ini memaksa manusia perlu berkomunikasi. Komunikasi adalah suatu kebutuhan yang sangat

fundamental bagi seseorang dalam hidup bermasyarakat.

Secara etimologis atau menurut asal katanya komunikasi atau

communication dalam bahasa Inggris berasal dari bahasa Latin communis yang

berarti “sama”, communico, communicatio, atau communicare yang berarti

“membuat sama” (to make common). Istilah pertama (communis) adalah istilah

yang paling sering sebagai asal-usul kata komunikasi, yang merupakan akar dari kata-kata Latin lainnya yang mirip. Komunikasi menyarankan bahwa suatu pikiran, suatu makna, atau suatu pesan dianut secara sama (Mulyana 2002:41).

Secara terminologis, komunikasi berarti proses penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang kepada orang lain. Dari pengertian itu jelas bahwa komunikasi melibatkan sejumlah orang, dimana seseorang menyatakan sesuatu kepada orang lain. Jadi, yang terlibat dalam komunikasi itu adalah manusia . karena itu, komunikasi yang dimaksudkan disini adalah komunikasi manusia atau

dalam sering kali disebut komunikasi sosial atau social communication.


(28)

komunikasi sosial karena hanya pada manusia-manusia yang bermasyarakat terjadinya komunikasi.

Secara paradigmatis, komunikasi adalah proses penyampaian suatu pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberi tahu atau untuk mengubah sikap, pandapat, atau perilaku, baik langsung secara lisan, maupun tak langsung melalui media (Effendy, 2004:4).

Menurut Harold D. Lasswel, bahwa cara terbaik untuk menjelaskan kegiatan komunikasi ialah menjawab pertanyaan “who says what in which

channel to whom with what effect?.

Paradigma Laswell di atas menunjukkan bahwa komunikasi meliputi lima unsur sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan itu, yakni :

- Komunikator (communicator, source, sender)

- Pesan (message)

- Media (channel, media)

- Komunikan (communicant, communicatee, receiver, recipient)

- Efek (effect, impact, influence)

Jadi berdasarkan paradigma Laswell tersebut, komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu Effendy (2004: 10).

Adapun fungsi dari komunikasi, adalah sebagai berikut: a. Menyampaikan informasi (to inform)

b. Mendidik (to educate)

c. Menghibur (to entertain)


(29)

Adapun tujuan dari komunikasi, adalah sebagai berikut: a. Perubahan sikap (attitude change)

b. Perubahan pendapat (opinion change)

c. Perubahan perilaku (behavior change)

d. Perubahan sosial (social change) (Effendy, 2004: 8)

II.2 Komunikasi Verbal

Simbol atau pesan verbal adalah semua jenis simbol yang menggunakan satu kata atau lebih. Hampir semua rangsangan wicara yang kita sadari termasuk ke dalam kategori pesan verbal disengaja, yaitu usaha-usaha yang dilakukan secara sadar untuk berhubungan dengan orang lain secara lisan. Bahasa dapat juga dianggap sebagai suatu sistem kode verbal (Mulyana, 2007:237).

Bahasa dapat didefenisikan sebagai seperangkat simbol, dengan aturan untuk mengkombinasikan simbol-simbol tersebut, yang digunakan dan dipahami suatu komunitas. Bahasa verbal adalah sarana utama untuk menyatakan pikiran, perasaan, dan maksud kita. Bahasa verbal menggunakan kata-kata yang

merepresentasikan berbagai aspek realitas individual kita. Konsekuensinya, kata-kata adalah abstraksi realitas kita yang tidak mampu menimbulkan reaksi yang merupakan totalitas objek atau konsep yang diwakili kata-kata itu.

II.2.1 Asal-Usul Bahasa

Hingga kini belum ada suatu teori pun yang diterima luas mengenai bagaimana bahasa itu muncul di permukaan bumi. Ada dugaan kuat bahasa nonverbal muncul sebelum bahasa verbal. Dulu, nenek moyang kita yang juga disebut Cro Magnon ini tinggal di gua-gua. Ketika mereka belum mampu


(30)

pada tulang, tanduk, cadas dan dinding gua yang banyak ditemukan di Spanyol dan Prancis Selatan. Dalam tahap perkembangan berikutnya, antara 40.000 dan 35.000 tahun lalu Cro Magnon mulai menggunakan bahasa lisan. Ini

dimungkinkan karena mereka memiliki struktur tengkorak, lidah, dan kotak suara yang mirip dengan yang kita miliki sekarang. Kemampuan berbahasa inilah yang membuat mereka terus bertahan hingga kini. Karena Cro Magnon dapat berpikir

lewat bahasa, mereka mampu membuat rencana, konsep dan berburu dengan cara yang lebih baik (Mulyana, 2002 :241).

Sekitar 5000 tahun lalu manusia melakukan tansisi komunikasi dengan memasuki era tulisan, sementara bahasa lisan pun terus berkembang. Transisi paling dini dilakukan bangsa Sumeria dan Mesir kuno yang mengembangkan tulisan mereka secara independen. Tahun 2000 Sebelum Masehi, papirus digunakan secara luas di Mesir untuk menyebarkan pesan tertulis dan merekam informasi. Sistem tulisan dan bahasa lisan itu terus berkembang hingga kini. Kita pun memasuki era cetak pada abad ke 15, yang beberapa abad kemudian disusul oleh era radio, era telekomunikasi, dan kini era komunikasi. Kesemuanya telah merekam hasil peradaban manusia untuk disempurnakan lagi oleh generasi-generasi mendatang lewat kemampuan mereka dalam berbahasa.

II.2.2 Fungsi Bahasa Dalam Kehidupan Manusia

Kita sering tidak menyadari pentingnya bahasa, karena kita sepanjang hidup menggunakannya. Kita baru sadar bahasa itu penting ketika kita menemui jalan buntu dalam menggunakan bahasa misalnya ketika kita berupaya

berkomunikasi dengan orang yang sama sekali tidak memahami bahasa kita yang membuat kita frustasi; ketika kita sulit menerjemahkan suatu kata, frase atau


(31)

kalimat dari suatu bahasa ke bahasa lain; ketika kita harus dihadapkan pada situasi baru yang menuntut pola interaksi komunikasi timbal balik.

Fungsi bahasa yang mendasar adalah untuk menamai atau menjuluki orang, objek dan peristiwa. Menurut Larry L.Barker, bahasa memiliki tiga fungsi : penamaan (naming atau labeling), interaksi dan transmisi informasi (Mulyana,

2002 : 243). Penamaan atau penjulukan merujuk pda usaha mengidentifikasi objek, tindakan, atau orang dengan menyebut namanya sehingga dapat dirujuk dalam komunikasi. Fungsi interaksi menekankan berbagai gagasan dan emosi, yang dapat mengundang simpati dan pengertian atau keamrahan dan kebingungan. Melalui bahasa, informasi dapat disampaikan kepada orang lain.

Anda juga menerima informasi setiap hari, sejak bangun tidur hingga tidur kembali, dari orang lain, baiks ecara langsung ataupun tidak (misalnya melalui media massa). Fungsi bahasa inilah yang disebut fungsi transmisi. Keistimewaan bahasa sebagai sarana transmisi informasi dari lintas/waktu, dengan

menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan., memungkinkan

kesinambungan budaya dan tradisi kita. Tanpa bahasa kita tidak mungkin bertukar informasi; kita tidak mungkin menghadirkan semua objek ditempat untuk rujuk dalam komunikasi kita.

II.2.3 Keterbatasan Bahasa

Berbicara tentang komunikasi verbal, yang porsinya hanya 35% dari keseluruhan proses komunikasi , banyak orang tidak sadar bahwa bahasa oti terbatas. Keterbatasan bahasa tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :


(32)

Kata-kata adalah kategori-kategori untuk merujuk pada objek tertentu orang, benda, peristiwa, sifat, perasaan dan sebagainya. Tidak semua kata tersedia untuk merujuk pada objek. Suatu kata hanya mewakili realitas, tetapi bukan realitas itu sendiri. Dengan demikian, kata-kata pada dasarnya bersifat parsial, tidak melukiskan sesuatu secara eksak.

Kesulitan menggunakan kata yang tepat juga kita alami ketika kita ingin mengungkapkan perasaan. Pesan verbal biasanya lebih lazim kita gunakan untuk menerangkan sesuatu yang bersifat faktual-deskriptif- rasional. Akan tetapi, untuk mengungkapkannya menjadi sesuatu yang sangat efektif dan pribadi, kita

biasanya lebih mengandalkan pesan nonverbal. Keterbatasan jumlah kategori untuk menamai objek sebenarnya berfungsi untuk mengendalikan lingkungan kita, dan memudahkan kita untuk berkomunikasi dengan orang lain dan berbagi

pengalaman serta pengetahuan dengan mereka. Bayangkan betapa sulitnya kita berkomunikasi dengan orang lain kalau kita dibebani dengan penggunaan berbagai perkiraan kosa kata. Akan tetapi, penamaan suatu objek yang bersifat kira-kira itu sebenarnya sekaligus merupakan hambatan bagi kita untuk

berkomunikasi. Artinya, selalu ada perbedaan antara makna dalam kepala kita dengan makna dalam kepala orang lain, sekecil apa pun perbedaan itu (Mulyana, 2007: 272). Oleh karena itu pengalaman kita berbeda dengan pengalaman orang lain, sebenarnya makna yang kita berikan pada kata-kata tidak akan pernah persis sama dengan makna yang orang lain berikan pada kata-kata yang sama.

2. Kata-kata bersifat ambigu dan kontekstual

Kata-kata bersifat ambigu, karena kata-kata merepresentasikan persepsi dan interpretasi orang-orang, yang menganuti latarbelakang sosial budaya yang


(33)

berbeda-beda. Oleh karena itu, terdapat berbagai kemungkinan untuk memaknai kata-kata tersebut. Ruang dan waktu mengubah makna kata. Menurut Hubert Alexander, makna harus dianggap sebagai proses ketimbang sesuatu yang statis. Kata-kata baru muncul, sementara kata-kata lama pelan-pelan menghilang, satu demi satu. Gaya bahasa yang dulu populer kini menjadi klise. Prinsip bahwa kata-kata bersifat kontekstual sebenarnya mengisyaratkan bahwa aturan-aturan baku dalam berbahasa tidaklah mutlak.

3. Kata-kata mengandung bias budaya

Bahasa terikat oleh konteks budaya. Dengan ungkapan lain, bahasa dapat dipandang sebagai perluasan budaya. Menurut hipotesis Sapirwhorf, sering juga disebut Teori Relativitas Linguistik, sebenarnya setiap bahasa

menunjukkan suatu dunia simbolik yang khas, yang melukiskan realitas pikiran, pengalaman batin dan kebutuhan pemakainya. Jadi bahasa yang berbeda sebenarnya mempengaruhi pemakainya untuk berpikir, melihat lingkungan, dan alam semesta di sekitarnya dengan cara yang berbeda, dan karenanya berperilaku secara berbeda pula. Hipotesis yang dikemukakan Benjamin Lee Whorf dan mempopulerkan serta menegaskan pandangan gurunya Edward Sapir ini menyatakan bahwa (1) Tanpa bahasa kita tidak dapat berpikir, (2) bahasa mempengaruhi persepsi, dan (3) bahasa

mempengaruhi pola berpikir.

4. Pencampuradukan fakta, penafsiran dan penilaian

Dalam berbahasa kita sering mencampuradukkan fakta (uraian), penafsiran (dugaan), dan penilaian. Komunikasi kita akan lebih efektif kalau kita memisahkan pernyataan fakta dengan dugaan.


(34)

II.3 Bahasa Binan

Pada dekade 1990-an ini, khalayak pendengar radio dan penonton televisi mau tak mau mendengar suatu jenis bahasa baru yang kata-katanya ada yang sepintas dengar terkendali, akan tetapi konteks penggunaan dan maknanya, setidaknya pada awal, terkesan tidak pada tempatnya; ada yang asing sama sekali; dan ada pula yang menggunakan gaya bahasa khas waria yang latah atau dilatah-latahkan.

Hal yang boleh dikatakan baru dalam media elektronik dalam dekade 1990-an ini adalah meluasnya penggunaan ragam bahasa yang awalnya berasal dari ragam yang dipakai oleh komunitas kaum gay /homoseks. Dengan perkataan lain, ragam bahasa yang dalam komunitas asalnya dikenal sebagai bahasa binan kemudian menjadi apa yang dinamakan bahasa gaul dan digunakan oleh mereka yang bukan waria dan bukan (atau belum diketahui) gay. Sejauh yang kita ketahui, di kepulauan Nusantara ini tercatat adanya enam jenis proses pembentukan kata-kata bahasa binan (Oetomo:2003:63).

Kata-kata bahasa binan dibentuk dengan dua proses, yakni :

3. Proses perubahan bunyi dalam kata yang berasal dari bahasa daerah atau bahasa Indonesia

4. Proses penciptaan kata atau istilah baru atau pun penggeseran makna kata atau istilah (plesetan) yang sudah ada dalam bahasa daerah atau bahasa Indonesia.

Jenis yang pertama ditemui di Surabaya, Malang, Semarang, Solo, Yogyakarta dan kota-kota berbasis budaya Jawa lainnya, dan umumnya berupa perubahan bunyi terhadap kata-kata bahasa Jawa. Dari suatu kata dasar hanya


(35)

suku kata pertamanya yang dipertahankan. Bilamana suku kata pertama berakhir dengan vokal, maka konsonan pertama kata beriktunya dipertahankan pula. Kemudian pada awal potongan itu ditambahkan awalan si-,

Contohnya : banci→ban→siban

lanang”laki-laki”(Jawa)→lan→silan wedok→wed→siwed

homo→hom→sihom

Jenis yang kedua dan ketiga ditemui di semua kota di Indonesia pada kalangan yang terpengaruh bahasa Indonesia Jakarta. Prosesnya adalah mengubah suku kata terakhir sehingga berakhir dengan –ong (jenis kedua) atau –es (jenis ketiga), dan mengubah bunyi/huruf vokal suku kata sebelumnya dengan e- diucapkan (-e). Jenis kedua biasa dinamakan omong cong atau bahasa ong-ong,

sedangkan jenis ketiga biasa dinamakan omong ces atau bahasa es-es.

Contohnya : laki→lekong (lėkong) atau lekes (lėkes) homo→hemong (hėmong) atau (hėmes)

banci→bencong (bencong) atau bences (bėnces)

Penggunaan jenis –ong atau pun -es tidak mengikuti suatu kaidah ayng pasti. Terkesan orang menggunakannya secara manasuka atau sembarang.

Sekitar pertengahan tahun 1990-an muncul varian yang mengganti bentuk akhir –ong atau –es itu dengan –i, meskipun pembentukan ini tidak seproduktif varian kedua dan ketiga. Maksudnya , apabila dengan proses transformasi gaya –ong dan –es praktis kata manapun dapat dijadikan kata bahasa binan, dengan proses –i, ini hanya sejumlah kata tertentu saja yang dapt dijadikan sebagai kata bahasa binan. Contoh proses transformasi ini : alih-alih mengatakan kentong atau


(36)

kenti (sebagai transformasi dari kata:‘zakar, penis’), orang mengatakan kenti atau bukannya lagi pentong (transformasi dari pantat) melainkan penti.

Jenis yang keempat tampaknya hanya dipakai di Jakarta dan Bandung, setidaknya pada awalnya namun didalam perkembangannya menyebar ke kota-kota lain. Prosesnya adalah penyisipan –in- sesudah konsonan awal suku kata-suku kata pada kata tertentu, sehingga kata menjadi dua kali lebih panjang. Kemudian kata yang panjang itu dipendekkan lagi.

Contohnya : bule→binuline→binul lesbi→linesbini→lines

gay→ginay

Jenis yang kelima mirip dengan jenis pertama, yaitu kata asal dipotong sehingga hanya tinggal suku kata pertama dan (kalau suku kata pertama berakhir dengan vokal) konsonan pertama suku kata berikutnya, kemudian ditambahkan akhiran –se’.

Contohnya : homo→hom→homse’ cina→cin→cinse’

Perlu dicatat bahwa dibeberapa kalangan, kata se’ sendiri dipakai dengan makna ‘gay, homoseks.’Kadang-kadang jenis ini digabungkan dengan kata-kata yang sudah diubah melalui proses –ong atau –es, seperti :

Dorong ‘semburit, sanggama dubur’→dorong/deres→derse’.

Akhirnya, masih ada lagi jenis yang keenam, yang konon berawal di Medan dan kemudian menyebar disemua kota-kota Indonesia. Jenis ini berupa pemertahanan suku kata atau bagian suku kata awal kata dasar, sementara selebihnya diubah sehingga seakan-akan kata lain.


(37)

Contohnya : sundal→sund→sundari

enak→en-→endang

sekal→s-→sulastri sudah→su-→sutra tidak→ti-→tinta

emang→em→ember,embrong

sakit ‘gay, homoseks’→sak→sakinah

Jenis inilah yang pada dekade 1990-an amat populer. Berkembang pesat dan meluas di seantero nusantara, dan kemudian dipakai sebagai bahasa gaul. Setiap komunitas waria atau gay senantiasa menciptakan sendiri kata-kata jenis ini, dan dari kunjung-mengunjungi maupun komunikasi melalui berbagai medium tersebar ke komunitas lain.

Selain itu masih ada kata-kata yang tidak dipakai sama sekali dalam bahasa masyarakat umum, seperti cucok ‘cakep’, rumpik ‘sialan, penipu,’ bala-bala ‘bagi-bagi, ‘ tau kata-kata yang maknanya lain dari yang dipakai umum, seperti racun ‘perempuan, istri, ‘jeruk’pemeras, ‘kucing’pelacur laki-laki,’ngebom ‘meledek, ‘serta seruan-seruan panggilan seperti nek (tak diketahui asalnya, mungkinkah dari nenek?).

Kecuali kata-kata khas yang dipakai didalam berbahasa daerah (semisal proses si- dalam berbahasa Jawa) jenis-jenis yang lima lagi dapat dan memang senantiasa dipakai berganti-ganti secara mana suka atau sembarang. Selain itu juga suatu hasil transformasi dari proses yang satu dapat mengalami transformasi lagi melalui proses yang lain, seperti yang ktia lihat pada kasus kata


(38)

Pura (bentuk dasar pura-pura) →peres→per→persi tidak→ti-→tint→tin-→tintring

lumayan→luma-→lumajang→lumejong silit ‘dubur(Jawa)’→sil→sisil→sisilia

silit→sil→sisil→susil→susilo→susilo sudarman

Ciri pembeda bahasa binan di atas peringkat tata bunyi dan kosa kata adalah intonasi agak centil (atau sangat centil, bergantung pada penuturnya) dalam berbicara, serta juga pada sebagian penuturnya, kebiasaan latah yang

sesungguhnya atau yang dibuat-buat.

Satu lagi ciri pembeda wacana pada bahasa binan adalah materi pembicaraan yang lebih lugas, bebas atau bahkan vulgar seperti penyebutan bagian-bagian dan cairan tubuh yang dilibatkan dalam hubungan seks

(kenti:’zakar,’susil atau pentil :’dubur, pantat,’pejong :’mani,’dan sebagainya). Serta perbuatan-perbuatan seksual (meong :’main, berhubungan seks,

’karaoke:’seks oro-gential, fellatio,’cuci WC :menjialti dubur, seks oro-anal’, dan sebagainya).

Penggunaan bahasa binan di kalangan waria dan gay merupakan salah satu ciri pembeda yang menunjukkan apakah seseorang itu kerap bergaul dalam

komunitasnya ataukah hanya hidup terselubung (yang dilakukan cukup banyak gay kalengan/tertutup karena takut akan stigma dari keluarga dan masyarakat) (Oetomo:2003 :67).


(39)

II.4 Komunikasi Antarpribadi

II.4.1 Pengertian Komunikasi Antarpribadi

Pada dasarnya, komunikasi antarpribadi merupakan suatu proses sosial dimana orang-orang yang terlibat di dalamnya saling mempengaruhi.

Sebagaimana diungkapkan oleh Devito (1997:97), bahwa komunikasi antarpribadi merupakan pengiriman pesan-pesan dari seseorang dan diterima oleh orang lain, atau sekelompok orang dengan efek dan umpan balik yang langsung.

Selanjutnya Devito (1997: 169-170) menjabarkan komunikasi antarpribadi menjadi tiga pendekatan secara umum, yaitu :

a. Komunikasi antarpribadi didefinisikan sebagai pengiriman pesan-pesan dari seseorang dan diterima oleh orang lain. Atau sekelompok kecil orang, dengan efek dan umpan balik yang langsung.

b. Komunikasi antarpribadi merupakan komunikasi antara dua orang yang memang telah ada hubungan di antara keduanya.

c. Interpersonal communication is seen a kind of progrestion (or development)

from interpersonal communication at one extreme to personal

communication at the other extreme, yang artinya “Komunikasi antarpribadi

merupakan bentuk perkembangan atau peningkatan dari komunikasi dari satu sisi menjadi komunikasi pribadi pada sisi yang lain”.

Dalam bukunya “Komunikasi Antarpribadi” (1991:12), Alo Liliweri mengemukakan bahwa pada hakikatnya komunikasi anatarpribadi adalah komunikasi antara komunikator dengan seorang komunikan. Komunikasi jenis ini dianggap paling efektif dalam hal mengubah sikap, pendapat, atau perilaku sesorang, karena sifatnya yang dialogis berupa percakapan dan arus balik bersifat


(40)

langsung. Komunikator mengetahui tanggapan komunikan ketika itu juga, pada saat komunikasi dilancarkan. Komunikan mengetahui pasti apakah komunikasi itu positif atau negatif, berhasil atau tidak. Jika tidak, ia dapat memberikan kesempatan kepada komunikan untuk bertanya seluas-luasnya.

Menurut Evert M. Rogers, dalam Komunikasti antarpribadi (Liliweri 1991:46) ada beberapa cirri komunikasi yang menggunakan saluran antarpribadi, yaitu :

1) Arus pesan yang cenderung dua arah 2) Konteks komunikasinya tatap muka 3) Tingkat umpan balik yang terjadi tinggi

4) Kemampuan mengatasi tingkat selektifitas (terutama “selectivitas exposure’)

yang tinggi

5) Kecepatan jangkauan terhadap audiens yang besar relatif lambat 6) Efek yang mungkin terjadi ialah perubahan sikap

II.4.2 Sifat-Sifat Komunikasi Antarpribadi

Komunikasi antarpribadi dari mereka yang saling mengenal lebih bermutu dari mereka yang belum mengenal karena setiap pihak mengetahui secara baik tentang liku-liku hidup pihak lain, pikiran, dan pengetahuannya, perasaanya, maupun menanggapi tingkah lakunya. Sehingga jika hendak menciptakan

komunikasi anatarpribadi yang lebih bermutu maka didahului dengan keakraban, dengan kata lain tidak semua bentuk interaksi yang dilakukan anatara dua orang dapat digolongkan ke dalam komunikasi antarpribadi.

Ada tujuh sifat yang menunjukan bahwa sesuatu komunikasi antara dua orang merupakan sikap komunikasi anatarpribadi dan bukanya komunikasi


(41)

lainnya yang terangkum dari pendapat Effendy (2003:.46) Sifat-sifat komunikasi antarpribadi itu sendiri adalah : (1) melibatkan di dalamnya perilaku verbal dan non verbal; (2) melibatkan pernyataan ataupun ungkapan yang spontan, scripted,

dan contrived; (3) tidak statis, namun dinamis; (4) melibatkan umpan balik

pribadi, hubungan interaksi dan koherensi (pernyataan satu dan harus berkaitan dengan sebelumnya); (5) dipandu oleh tata aturan yang bersifat intrinsic dan ekstrinsik. (6) komunikasi antarpribadi merupakan satu kegiatan dan tindakan; (7) melibatkan didalamnya bidang persuasif (Liliweri, 1991:31).

II.4.3 Komponen Komunikasi Antarpribadi dan Proses Komunikasi Antarpribadi

Menurut Effendy (2003:7), yang mencoba mengutip paradigma Laswell. Ada lima komponen penting yang menyebabkan suatu komunikasi dapat berjalan dengan baik, yaitu:

Who : komunikator : pihak penyampaian pesan

Says what : pesan : pernyataan yang didukung oleh lambang- lambang

In which channel : media : sarana atau saluran penyampaian pesan

To whom : komunikan : pihak penerima pesan

With what effect : efek : dampak yang timbul sebagai pengaruh dari pesan

II.4.4 Efektifitas Komunikasi Antarpribadi

Dikatakan efektifitas dalam waktu tertentu tujuan dapat tercapai dengan baik. Ini berarti komunikasi antarpribadi efektif jika dalam waktu tertentu


(42)

melaksanakannya. Berkomunikasi efektif berarti bahwa komunikator dan komunikan sama-sama memiliki pengertian yang sama tentang suatu pesan. Rakhmat (2004:159) menyatakan bahwa komunikasi yang efektif bila pertemuan komunikasi merupakan hal yang menyenangkan bagi komunikan.

Menurut Effendy (2003:219) Komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang menimbulkan sikap, opini ataupun perilaku. Efek komunikasi yang timbul pada komunikan diklasfikasikan sebagai berikut:

a. Efek kognitif yaitu efek yang berkaitan dengan pikiran, nalar atau ratio. Dengan efek ini diharapkan komunikan yang semula tidak mengerti menjadi mengerti, yang semula tidak tau membedakan mana yang salah dan yang benar.

b. Efek afektif adalah efek yang berhubungan dengan perasaan. Misalnya yang semula tidak senang menjadi senang, yang semula rendah diri menjadi mimiliki rasa percaya diri.

c. Efek behavioral yakni efek yang menimbulkan etika untuk berprilaku tertentu dalam arti kata melakukan suatu tindakan atau kegiatan yang bersifat fisik atau jasmani.

Ketiga jenis efek ini adalah hasil proses psikologi yang berkaitan satu sama lain, secara terpadu. Efek behavioral tidak mungkin timbul pada komunikan apabila sebelumnya dia tidak tahu atau tidak mengerti disertai rasa senang dan berani.

Menurut Tubbs dan Moss (Rakhmat, 2004:13) komunikasi yang efektif menimbulkan 5 hal yaitu :


(43)

a. Pengertian, artinya penerimaan yang cermat dari isi stimulus/pesan seperti yang dimaksud oleh komunikator.

b. Kesenangan, artinya tidak semua komunikasi ditujukan untuk menyampaikan informasi dan membentuk pengertian, akan tetapi ada juga dilakuakan untuk menimbulkan kesenangan, misalnya menanyakan seseorang. Komunikasi inilah yang menyebabkan hubungan kita menjadi hangat, akrab dan menyengkan.

c. Pengaruh pada sikap. Komunikasi seringkali dilakukan dengan tujuan untuk mempengaruhi orang lain. Komunikasi yang efektif ditandai dengan perubahan sikap, perilaku atau pendapat komunikan sesuai dengan kehendak komunikator.

d. Hubungan sosial yang baik. Komunikasi juga ditunjukan untuk menumbuhkan hubungan sosial yang baik. Manusia juga adalah makhluk sosial yang tidak tahan hidup sendiri.

e. Tindakan Efektifitas komunikasi biasanya diukur dari tindakan nyata yang dilakukan komunikan.

Komunikasi yang efektif ditandai dengan hubungan interpersonal yang baik. Menurut Rakhmat (2004:129) ada tiga faktor menumbuhkan hubungan interpersonal, yaitu:

1. Percaya.

Definisi ini menyebutkan tiga unsur percaya, yaitu:

a. Ada situasi yang menimbulkan resiko. Bila orang menaruh kepercayaan kepada orang lain, ia akan menghadapi resiko.


(44)

b. Orang yang menaruah kepercayaan pada orang lain berarti menyadari bahwa akibat-akibatnya bergantung pada perilaku orang lain.

c. Orang yakin bahwa perilaku pihak lain akan berakibat baik baginya.

Selain itu, faktor kepercayaan juga berhubungan dengan

karakterisitik dan maksud orang lain, hubungan kekuasaan, serta sifat dan kualitas komunikasi.

2. Sikap Suportif

Sikap suportif adalah sikap yang mengurangi sikap defensif dalam berkomunikasi. Orang dikatakan defensif bila tidak menerima, tidak jujur, dan tidak empatis; dan tentunya akan menggagalkan komunikasi

interpersonal. Jack R. GIBB (Rahkmat, 2004:134) menyebutkan enam prilaku sportif, yaitu sebagi berikut:

Tabel II.1 Perilaku Defensif dan suportif dari Jack Gibb

Iklim Defensif Iklim Suportif

1. Evaluasi 2. Control 3. Strategi 4. Netralisasi 5. Superioritas 6. Kepastian

1. Deskripsi

2. Orientasi masalah 3. Spontanitas 4. Empati 5. Persamaan 6. Profesionalisme

3. Sikap terbuka

Sikap terbuka (open mindness) amat besar pengaruhnya dalam


(45)

(Rakhmat, 2004:136), mengkarakteristikkan orang bersikap terbuka sebagai orang yang menilai pesan objektif dengan data dan logika, serta membedakan dengan mudah dengan melihat suasana.

II. 5 Self Disclosure

Proses mengungkapakan informasi pribadi kita kepada orang lain atau sebaliknya disebut dengan self disclouser. Salah satu tipe komunikasii dimana

informasi mengenai diri (self) yang biasanya disembunyikan diri orang lain, kini

dikomunikasikan kepada orang lain (Rakhmat, 2004:108).

Josep Luft mengemukakan teori Self Disclosure berdasarkan pada modal

interaksi model interaksi manusia yang di sebut Johari Window.

Gambar II.1 Johari Window

Menurut Luft, orang memiliki atribut yang hanya diketahui oleh dirinya Gambar yang disebut Jendela Johari tersebut melukiskan bahwa dalam pengembangan hubungan antar seorang denga yang lainnya terdapat empat kemungkinan sebagai mana terwakili melalui suasana di keempat bidang (Jendela). Bidang 1, melukiskan suatu kondisi di mana antara seorang dengan yang lain mengembangkan suatu hubungan yang terbuka sehingga dua pihak saling mengetahui masalah tentang hubungan mereka. Bidang 2 melukiskan bidang buta, masalah hubungan antara kedua pihak hanya diketahui orang lain namun tidak diketahui oleh diri sendiri. Bidang 3, disebut bidang tersembunyi

            

 Diketahui oleh diri sendiri Tidak diketahui oleh diri sendiri Diketahui oleh orang lain

Tidak diketahui oleh orang lain

         

         

1 2

Terbuka Buta

3 4

Tersembunyi Tidak

yakni permasalahan hubungan antara kedua pihak diketahui diri sendiri namun tidak diketahui orang lain. Bidang 4, bidang tidak dikenal, dimana kedua pihak sama-sama tidak mengetahui masalah hubungan diantara mereka.

Keadaaan yang dikehendaki sebenarnya dalam suatu komunikasi


(46)

mengetahui makna pesan yang sama. Meskipun demikian kenyataan hubungan antarpribadi tidak seideal yang diharapkan itu, ini disebabkan karena dalam berhubungan dengan orang lain betapa sering setiap orang mempunyai peluang untuk menyembunyikan atau mengungkapkan masalah yang dihadapinya

Menurut De Vito (De vito, 1997:30), ada beberapa keuntungan dari self disclouser :

1. Memahami diri sendiri

2. Meningkatkan kemampuan untuk menghadapi rasa bersalah 3. Energy release

4. Meningkatkan efisiensi dan berkomunikasi 5. Membina hubungan yang bermakna

6. Kesehatan fisiologis.

II. 5.1 Dimensi Self Disclosure

Self disclosure memiliki berbagai dimensi menurut Joseph A. Devito

(1997:40) menyebutkan ada 5 dimensi self disclosure, yaitu (1) ukuran

self-disclosure, (2) valensi self-disclosure, (3) kecermatan dan kejujuran, (4) maksud

dan tujuan, dan (5) keakraban. Ini berbeda dengan dimensi yang dikemukakan dalam Fisher (1986 : 261) yang menyebutkan dua sifat pengungkapan yang umum dalam self-disclosure adalah memperhatikan jumlah (seberapa banyak informasi

tentang diri yang diungkapkan) dan valensi (informasi yang diungkapkan bersifat positif atau negatif). Apabila diperbandingkan, fokus yang dikemukakan Fisher hanya pada jumlah atau dalam istilah Devito “ukuran” dan valensi saja.

Kini kita mencoba untuk mendalami kelima dimensi tersebut dengan memadukan apa yang diungkapkan Devito dan Fisher, dengan melihat contohnya dalam hidup keseharian kita.


(47)

1. Ukuran/jumlah self-disclosure

Hal ini berkaitan dengan seberapa banyak jumlah informasi diri kita yang diungkapkan. Jumlah tersebut bisa dilihat berdasarkan frekuensi kita menyampaikan pesan-pesan self-disclosure atau bisa juga dengan menggunakan ukuran waktu, yakni berapa lama kita menyampaikan pesan-pesan yang mengandung self-disclosure pada keseluruhan kegiatan komunikasi kita dengan

lawan komunikasi kita. Misalnya, dalam percakapan antara anak dan orang tuanya, tentu tidak sepanjang percakapan di antara keduanya. Taruhlah berlangsung selama 30 menit itu bersifat self-disclosure. Mungkin hanya 10 menit

saja dari waktu itu yang percakapannya menunjukkan self-disclosure, seperti saat anak menyatakan kekhawatirannya nilai rapornya jelek untuk semester ini atau tatkala si anak menyatakan tengah jatuh hati pada seseorang.

2. Valensi Self-disclosure

Hal ini berkaitan dengan kualitas self-disclosure kita: positif atau negatif.

Saat kita menyampaikan siapa diri kita secara menyenangkan, penuh humor, dan menarik seperti yang dilakukan seorang tua yang berkepala botak yang menyatakan, “Inilah model rambut yang paling cocok untuk orang seusia saya.” Ini merupakan self-disclosure yang positif. Sebaliknya, apabila orang tersebut

mengungkapkan dirinya dengan menyatakan, “Sudah berobat ke sana ke mari dan mencoba berbagai metode mencegah kebotakan yang ternyata bohong semua, inilah hasilnya. Ini berarti self-disclosure negatif. Dampak dari self-disclosure

yang berbeda itu tentu saja akan berbeda pula, baik pada orang yang mengungkapkan dirinya maupun pada lawan komunikasinya.


(48)

3. Kecermatan dan Kejujuran

Kecermatan dalam self-disclosure yang kita lakukan akan sangat

ditentukan oleh kemampuan kita mengetahui atau mengenal diri kita sendiri. Apabila kita mengenal dengan baik diri kita maka kita akan mampu melakukan self-disclosure dengan cermat. Bagaimana kita akan bisa menyatakan bahwa kita

ini termasuk orang yang bodoh apabila kita sendiri tidak mengetahui sejauh mana kebodohan kita itu dan tidak bisa juga merumuskan apa yang disebut pandai itu. Di samping itu, kejujuran merupakan hal yang penting yang akan mempengaruhi self-disclosure kita. Oleh karena kita mengemukakan apa yang kita ketahui maka

kita memiliki pilihan, seperti menyatakan secara jujur, dengan dibungkus kebohongan, melebih-lebihkan atau cukup rinci bagian-bagian yang kita anggap perlu. Untuk hal-hal yang bersifat pribadi, banyak orang memilih untuk berbohong atau melebih-lebihkan. Namun, self-disclosure yang kita lakukan akan

bergantung pada kejujuran kita. 4. Maksud dan Tujuan

Dalam melakukan self-disclosure, salah satu hal yang kita pertimbangkan

adalah maksud atau tujuannya. Tidak mungkin orang tiba-tiba menyatakan dirinya apabila tidak memiliki maksud dan tujuan tertentu. Contohnya pada saat untuk mengurangi rasa bersalah atau untuk mengungkapkan perasaan. Inilah yang populer disebut sebagai curhat itu. Kita mengungkapkan diri kita dengan tujuan tertentu. Oleh karena menyadari adanya maksud dan tujuan self-disclosure itu

maka kita pun melakukan kontrol atas self-disclosure yang kita lakukan. Orang


(49)

sisi bisa dipandang sebagai salah satu bentuk kontrol supaya self-disclosure-nya

mencapai maksud atau tujuan yang diinginkannya. 5. Keakraban

Seperti yang dikemukakan Fisher (1986 :261-262), keakraban merupakan salah satu hal yang serta kaitannya dengan komunikasi self-disclosure. Apa yang

diungkapkan itu bisa saja hal-hal yang sifatnya pribadi atau intim misalnya mengenai perasaan kita, tetapi bisa juga mengenai hal-hal yang sifatnya umum, seperti pandangan kita terhadap situasi politik mutakhir di tanah air atau bisa saja antara hal yang intim/pribadi dan hal yang impersonal publik. Berkenaan dengan dimensi self-disclosure yang disebut terakhir, kita bisa

mengacu pada apa yang dinamakan Struktur Kepribadian Pete yang dikembangkan Irwin Altman dan Dalmas Taylor dengan Teori Penetrasi Sosial-nya (Griffin, 2003:134). Dalam Struktur Kepribadian Pete ini, digambarkan kepribadian manusia itu seperti bawang, yang memiliki lapisan-lapisan. Setiap lapisan itu menunjukkan derajat keakraban orang yang menjalin relasi atau berkomunikasi kerangka Teori Penetrasi Sosial - kita menjalin hubungan dengan orang lain. Misalnya, pada tahap awal kita berbincang-bincang soal yang sifatnya umum saja. Kita bicara soal perkuliahan yang kita ikuti. Bisa juga berbincang-bincang soal selera makanan kita. Di sini kita hanya berbicara pada lapisan pinggiran dari bawang tadi yang disebut periferal. Makin lama akan makin masuk ke lapisan berikutnya. Kita mulai berbicara mengenai keyakinan agama kita, aspirasi dan tujuan hidup kita, akhirnya konsep diri kita sebagai lapis terdalam “bawang” kepribadian itu. Hal tersebut menunjukkan bahwa self-disclosure tidak


(50)

berisikan informasi yang sifatnya pribadi. Bisa saja bercampur baur dengan informasi yang bersifat umum atau berada pada tataran periferal.

Dalam konteks ini berarti kita sudah mulai membicarakan soal kedalaman (depth) dan keluasan (breadth) self-disclosure. Sejauh mana kedalaman dalam

self-disclosure itu akan ditentukan oleh derajat keakraban kita dengan lawan

komunikasi. Makin akrab kita dengannya maka akan makin dalam self-disclosure

-nya. Selain itu, akan makin luas juga cakupan bahasan yang kita komunikasikan melalui self-disclosure itu. Ini merupakan hal yang logis. Bagaimana kita mau

berbincang-bincang mengenai lapisan terdalam dari diri kita apabila kita tidak merasa memiliki hubungan yang akrab dengan lawan komunikasi kita. Apabila kita tidak akrab dengan seseorang, sebutlah dengan orang yang baru kita kenal di dalam bis atau pesawat terbang maka kita akan berbincang mengenai lapisan terluar “bawang” tadi. Begitu juga halnya dengan upaya kita membangun keakraban maka akan menuntut kita untuk berbicara mengenai diri kita. Pada awalnya tidak menyentuh lapisan terdalam melainkan lapisan yang berada agak di luar.


(51)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN III.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di kelurahan Siti Rejo II, kecamatan Medan Amplas, Medan. Kelurahan ini memiliki luas wilayah 44,3 HA. Potensi sumber daya manusianya adalah memiliki total penduduk sebanyak 11.181 jiwa, dengan tingkat pendidikan tertinggi hanyalah tamatan SD/sederajat. Mata pencaharian utama adalah pegawai negeri sipil dan juga pensiunan PNS/TNI/Polri. Suku yang terdata dalam kelurahan ini adalah Aceh, Batak, Nias, Melayu, Minang dan Jawa dengan mayoritas suku yang ada adalah suku Batak. Agama yang dianut para penduduk yakni Islam, Katolik, Protestan dan Budha. Agama yang mendominasi adalah Islam.

Bagan III.1 Struktur Kelurahan Siti Rejo II Kecamatan Medan Amplas

Staf Kasi Pembangunan Kasi Umum Kasi Trantib Kasi PEM Sekretaris LURAH Kepling I Djafar BB Kepling II Bambang Kepling III Rosdiana Kepling IV Mariadi Kepling V Fitriani Hrp Kepling VI Ramisah Kepling VII Azhari Kepling VIII Irawan Kepling IX Azhari Pulungan Kepling XI Arbi Sutan Kepling XII supiandi Kepling X Ambri Lbs


(52)

III.2 Metodologi Penelitian

Metode dalam pembuatan penelitian ini menggambarkan tentang tata cara pengumpulan data yang diperlukan guna menjawab permasalahan yang ada dalam kegiatan ilmiah. Metodologi merupakan hal yang penting untuk menentukan secara teoritis teknik operasional yang dipakai sebagai pegangan dalam mengambil langkah – langkah sehingga diketahui tentang:

III.2.1 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan keadaan subyek/obyek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya (Nawawi, 2001 : 63).

III.2.2 Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di kelurahan Sitirejo II kecamatan Medan Amplas, Medan. Alasan penelitian dilakukan di lokasi tersebut karena tingginya tingkat populasi waria yang bermukim di wilayah ini.

III.3 Populasi dan Sampel III.3.1 Populasi

Populasi adalah jumlah keseluruhan unit analisis, yaitu objek yang akan diteliti. Populasi merupakan keseluruhan dari objek penelitian yang dapat berupa manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, udara, gejala, nilai, peristiwa, sikap hidup, dan sebagainya. Sehingga objek-objek ini dapat menjadi sumber data penelitian (Burhan Bungin, 2001 : 101).


(53)

Populasi dalam penelitian ini adalah para waria di kelurahan Sitirejo II Kecamatan Medan Amplas, Medan.

III.3.2 Sampel

Sampel adalah sebagian populasi yang diambil dengan cara tertentu (Nawawi, 2001 : 144). Dalam buku yang berjudul Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Arikunto (2002 : 120), sampel adalah gambaran sebagian karakter dan mewakili sebagian populasi dan tidak bias (memiliki kesempatan yang sama), valid atau tidak dipengaruhi oleh waktu dan biaya. Adapun menentukan jumlah sampel maka digunakan pendapat Arikunto, yaitu tingkat populasi besar atau lebih besar dari 100 orang maka dapat diambil 10 – 15 % atau 20 – 25 %, tetapi jika kurang dari 100 orang maka seluruh pupulasi dijadikan sampel (Arikunto, 2002:20).

Dalam penelitian ini sampel yang diambil keseluruhan dari total populasi yaitu 35 orang waria yang bertempat tinggal dan terdaftar di wilayah kelurahan Sitirejo II Kecamatan Medan Amplas, Medan.

III.4 Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah :

1. Penelitian Kepustakaan (Library Research)

Penelitian yang dilakukakan dengan cara mempelajari dan mengumpulkan data melalui literatur dan sumber bacaan yang relevan dan mendukung penelitian. Dalam hal ini penelitian kepustakaan dilakukan dengan membaca buku-buku, literatur serta tulisan yang berkaitan dengan masalah yang dibahas.


(54)

2. Penelitian Lapangan (Field Research)

Penelitian ini dilakukan dengan pengumpulan data yang meliputi kegiatan survey di lokasi penelitian, pengumpulan data dari responden melalui kuesioner dan wawancara sepintas dengan responden.

III.5 Teknik Analisa Data

Teknik analisa data yang digunakan adalah analisa tabel tunggal yang merupakan suatu analisis yang dilakukan dengan membagi-bagikan variabel penelitian ke dalam kategori-kategori yang dilakukan atas dasar frekuensi. Tabel tunggal merupakan suatu langkah awal dalam menganalisis data yang terdiri dari kolom, yaitu sejumlah frekuensi dan persentase untuk setiap kategori (Singarimbun, 1995 : 226). Adapun setelah data yang terkumpul akan ditabulasi, kemudian dianalisis dan diinterpretasikan.


(55)

BAB IV

ANALISA DAN PEMBAHASAN

IV.1. Pelaksanaan Pengumpulan Data

Peneliti menempuh beberapa tahapan penelitian dalam pengumpulan data. Tahapan tersebut sebagai berikut :

IV.1.1. Langkah-langkah pengumpulan data

1. Langkah pertama dalam penelitian ini, peneliti melakukan pra penelitian dilokasi penelitian yang bertempat di kelurahan Sitirejo II Kecamatan Medan Amplas, Medan. Kemudian peneliti menyusun proposal penelitian. Perbaikan proposal penelitian, kemudian dikonsultasikan dengan dosen pembimbing dan untuk kemudian diteruskan dengan pembuatan kuesioner.

2.

Langkah  kedua,  studi  kepustakaan.  Dalam  tahap  penelitian  ini,  peneliti  melanjutkan dengan studi kepustakaan di perpustakaan guna mengumpulkan  buku‐buku yang berhubungan dengan judul penelitian yang sedang diteliti oleh  peneliti  yakni:  BAHASA  BINAN  DALAM  KOMUNIKASI  ANTARPRIBADI  DI  KALANGAN WARIA (Studi Deskriptif  Mengenai Penggunaan Bahasa Binan Dalam  Proses  Komunikasi Antarpribadi di Kalangan Waria  di  Kelurahan Sitirejo  II  Kecamatan Medan Amplas Sumatera Utara) 

3. Pelaksanaan pengumpulan data. Melakukan penyebaran kuesioner dalam waktu  ±10 hari. 

   


(56)

Pengolahan data dilakukan setelah peneliti selesai mengumpulkan data dari 35 responden. Adapun tahapan pengolahan data tersebut adalah :

1. Penomoran Kuesioner

Penomoran kuesioner yaitu memberikan nomor urut kuesioner sebagai pengenal, yakni mulai dari 1-35.

2. Editing

Editing yaitu proses pengeditan jawaban responden untuk memperjelas setiap jawaban yang meragukan dan menghindari terjadinya kesilapan pengisian dalam kotak kode yang disediakan.

3. Coding

Coding yaitu proses pemindahan jawaban-jawaban responden ke kotak kode yang telah disediakan di kuesioner dalam bentuk angka (score).

4. Inventarisasi Variabel

Inventarisasi variabel yaitu data mentah yang diperoleh dan dimasukkan ke dalam lembar Fotron Cobol (FC) sehingga memuat seluruh data dalam satu kesatuan.

5. Menyediakan Kerangka Tabel

Banyaknya kerangka tabel minimal sejumlah pertanyaan dalam bentuk kuesioner, maksimal sesuai dengan kebutuhan analisis kerangka tabel ini dilengkapi dengan nomor tabel, judul tabel, kolom vertikal dan horizontal, kategori dan indikator, frekuensi, persen dan jumlah. Fungsi kerangka tabel ini untuk mewadahi sebaran data dalam penelitian.


(57)

Tabulasi data yaitu memindahkan variabel responden dari lembar Fotron Cobol (FC) ke dalam kerangka tabel. Adapun tabel yang disajikan berbentuk tabel tunggal. Penyebaran data dalam tabel secara rinci melalui kategori, frekuensi, persentase, dan selanjutnya di analisa.

IV.3. Analisa Tabel Tunggal IV.3.1 Karakteristik Responden

Karakteristik responden perlu disajikan untuk lebih mengetahui latar belakang responden. Adapun karakteristik umum yang dianggap relevan dengan penelitian ini meliputi usia responden, penghasilan responden dan pekerjaan responden. Selengkapnya data tersebut dapat dilihat pada tabel yang dimulai dari tabel IV.1 sampai dengan tabel IV.3.

Tabel IV.1 Agama Responden

No Agama Responden F %

1 Islam 25 71.4

2 Protestan 9 25.7

3 Katolik 0 0

4 Hindu 0 0

5 Budha 1 2.9

Total 35 100.0

Sumber : Kuesioner Penelitian P2/FC.3

Dari tabel IV.1 diatas, diketahui mengenai agama responden. Sebanyak 25 orang responden (71,4%) beragama Islam, sebanyak 9 orang responden (25,7%) beragama Protestan dan hanya ada 1 orang responden (2,9%) yang beragama Budha.


(1)

B. Bahasa Binan Dalam Proses Komunikasi Antarpribadi di Kalangan Waria

Asal usul bahasa

6. Apakah anda mengetahui asal-usul bahasa binan yang anda gunakan dalam berkomunikasi ?

1. Tidak mengetahui

2. Kurang mengetahui 6

3. Mengetahui 4. Sangat mengetahui

6. Apakah anda tertarik dengan asal-usul penggunaan bahasa binan tersebut?

1. Tidak tertarik 2. Kurang tertarik

3. Tertarik 7

4. Sangat tertarik Berikan alasan anda :

... ...

Fungsi Bahasa

7. Apakah anda tahu fungsi dari bahasa binan yang anda gunakan? 1. Tidak tahu

2. Kurang tahu 3. Tahu

4. Sangat tahu 8

8. Menurut anda, apakah fungsi tersebut sudah tepat dalam penggunaannya sebagai bahasa sandi di kalangan waria? 1. Tidak tepat

2. Kurang tepat 3. Tepat

4. Sangat tepat 9

Berikan alasan anda :

... ...

Gramatika

9. Apakah anda mengerti dengan gramatika/tata bahasa yang digunakan dalam bahasa binan ini?

1. Tidak mengerti 2. Kurang mengerti

3. Mengerti 10


(2)

10. Apakah antara anda dan teman sesama waria mengerti dengan

gramatika/tata bahasa binan ketika menjalin komunikasi antarpribadi? 1. Tidak mengerti

2. Kurang mengerti 3. Mengerti

4. Sangat mengerti 11

Keterbukaan (Self-Disclosure)

11. Apakah anda selalu membuka diri ketika menjalin hubungan sosial dengan orang lain?

1. Tidak pernah 2. Jarang

3. Kadang-kadang 12

4. Sering

12. Ketika anda menjalin hubungan sosial dengan orang lain, apakah anda berterusterang bahwa anda adalah seorang waria?

1. Tidak pernah 2. Jarang

3. Kadang-kadang

4. Sering 13

Berikan alasan anda :

... ...  Dasar hubungan yang sehat

13. Apakah anda yakin bahwa keterbukaan merupakan sebuah dasar dari hubungan yang sehat?

1. Tidak yakin 2. Kurang yakin

3. Yakin 14

4. Sangat yakin Berikan alasan anda :

... ...

Keterbukaan lebih disukai

14. Apakah anda yakin bahwa keterbukaan lebih disukai ketika menjalin hubungan dengan orang lain?

1. Tidak yakin 2. Kurang yakin

3. Yakin 15

4. Sangat yakin Berikan alasan anda :

... ...


(3)

Sifat positif

15. Apakah anda yakin bahwa keterbukaan akan menciptakan sebuah hubungan yang bersifat positif ?

1. Tidak yakin 2. Kurang yakin

3. Yakin 16

4. Sangat yakin

Berikan alasan anda :

... ... g. Kompeten

16. Apakah anda memiliki kemampuan yang bisa diandalkan yang merupakan bagian dari sifat positif ketika menjalin komunikasi antarpribadi dengan sesama waria?

1. Tidak memiliki

2. Kurang memiliki 17

3. Memiliki

4. Sangat memiliki h. Terbuka

17. Apakah anda memiliki sikap berterus terang yang merupakan bagian dari sifat positif ketika menjalin komunikasi antarpribadi dengan sesama waria?

1. Tidak memiliki 2. Kurang memiliki

3. Memiliki 18

4. Sangat memiliki i. Ekstrovet

18. Apakah anda memiliki sikap terbukayang merupakan bagian dari sifat positif ketika menjalin komunikasi antarpribadi dengan sesama waria ?

1. Tidak memiliki 2. Kurang memiliki

3. Memiliki 19

4. Sangat memiliki j. Fleksibel

19. Apakah anda memiliki sikap mampu mengikuti kemana saja dengan situasi apapaun yang merupakan bagian dari sifat positif ketika menjalin komunikasi antarpribadi dengan sesama waria ? 1. Tidak memiliki

2. Kurang memiliki

3. Memiliki 20


(4)

k. Adaptif

20. Apakah anda memiliki sikap mudah menyesuaikan diri dimana saja yang merupakan bagian dari sifat positif ketika menjalin komunikasi antarpribadi dengan sesama waria ?

1. Tidak memiliki

2. Kurang memiliki 21

3. Memiliki

4. Sangat memiliki l. Inteligen

21. Apakah anda memiliki sikap cakap dalam berpikir dan bertindak yang merupakan bagian dari sifat positif ketika menjalin komunikasi antarpribadi dengan sesama waria ?

1. Tidak memiliki 2. Kurang memiliki

3. Memiliki 22

4. Sangat memilki

Terjalinnya komunikasi intim

22. Apakah anda yakin bahwa keterbukaan satu sama lain merupakan sebuah dasar agar dapat terjalinnya komunikasi timbal balik yang harmonis?

1. Tidak yakin 2. Kurang yakin 3. Yakin

23 4. Sangat yakin Berikan alasan anda :

... ...

Bersikap realistis

23. Apakah anda yakin bahwa keterbukaan diawali dengan bersikap tulus, jujur dan apa adanya dalam menjalin sebuah hubungan? 1. Tidak yakin

2. Kurang yakin 3. Yakin

24 4. Sangat yakin Berikan alasan anda :

... ...

Empati

24. Apakah anda mampu membayangkann diri anda kepada orang lain ketika sedang berkomunikasi?

1. Tidak mampu 2. Kurang mampu

3. Mampu 25


(5)

25. Menurut anda, apakah perasaan membayangkan diri anda terhadap orang lain (berempati) diperlukan dalam menjalin sebuah hubungan? 1. Tidak perlu

2. Kurang perlu

3. Perlu 26

4. Sangat perlu Berikan alasan anda :

... ...

Dukungan

26. Apakah anda mendapat dukungan dari lingkungan terhadap jati diri anda sebagai waria?

1. Tidak didukung 2. Kurang didukung

3. Didukung 27

4. Sangat didukung

27. Apakah sebuah dukungan sangat berarti dalam kehidupan anda? 1. Tidak berarti

2. Kurang berarti

3. Berarti 28

4. Sangat berarti Berikan alasan anda :

... ...

Rasa positif

28. Apakah anda mendapat tanggapan yang baik dari lingkungan anda ketika anda menjalin komunikasi dengan mereka?

1. Tidak dapat 2. Kurang dapat

3. Dapat 29

4. Sangat dapat Berikan alasan anda :

... ... 29. Apakah sebuah tanggapan yang baik ketika berkomunikasi sangat

berarti dalam kehidupan anda? 1. Tidak berarti

2. Kurang berarti

3. Berarti 30

4. Sangat berarti

Kesamaan

30. Apakah anda merasakan memiliki kesamaan dengan lawan bicara anda ketika menjalin komunikasi antarpribadi?

1. Tidak memiliki 2. Kurang memiliki


(6)

4. Sangat memiliki

31. Apakah memiliki kesamaan merupakan unsur yang sangat penting dalam menjalin komunikasi antarpribadi dengan sesama waria? 1. Tidak penting

2. Kurang penting

3. Penting 32

4. Sangat penting