Gambaran Penggunaan Obat Nyeri Kepala pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Angkatan 2013

4

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Nyeri
2.1.1. Definisi Nyeri
Menurut International Association for Study of Pain (1994), nyeri adalah
suatu pengalaman sensoris dan emosional yang tidak menyenangkan yang
berhubungan dengan kerusakan jaringan yang sebenarnya atau potensial, atau yang
digambarkan dalam hal kerusakan tersebut.
Ketidakmampuan individu untuk berkomunikasi secara verbal tidak
menghapuskan kemungkinan seorang individu mengalami nyeri dan memerlukan
tatalaksana yang sesuai untuk meredakan nyeri. Nyeri selalu subjektif. Setiap
individu mempelajari aplikasi istilah tersebut melalui pengalaman yang berhubungan
dengan luka pada awal kehidupan. Para ahli biologi mengenal bahwa stimulus yang
menyebabkan nyeri berhubungan dengan jaringan yang rusak. Dengan demikian,
nyeri adalah pengalaman yang kita hubungkan dengan kerusakan jaringan yang
sebenarnya atau potensial. Nyeri adalah sensasi dari suatu bagian tubuh, tetapi juga
selalu tidak menyenangkan dan oleh sebab itu, nyeri juga merupakan pengalaman
emosional. (International Association for Study of Pain , 1994)


2.1.2 Fisiologi Nyeri
Beberapa reseptor sensoris kutaneus merupakan ujung saraf bebas (free nerve
ending). Sensasi nyeri dan temperatur timbul dari dendrit yang tidak bermielin yang

terletak pada kulit dan jaringan dalam. (Ganong, 2012)
Nosiseptor dapat dibagi menjadi beberapa tipe. Nosiseptor mekanis memberi
respon terhadap tekanan kuat, misalnya dari benda tajam. Nosiseptor termal
diaktivasi oleh kulit pada suhu di atas 42°C atau dingin yang berlebihan. Nosiseptor

5

yang sensitif terhadap zat kimia memberi respon terhadap zat seperti bradikinin,
histamin, asam, dan berbagai iritan lingkungan. Nosiseptor polimodal memberi
respon terhadap kombinasi stimulus – stimulus ini. (Ganong, 2012)
Impuls dari nosiseptor ditransmisikan melalui dua tipe serat, yaitu serat Aδ
bermielin tipis (diameter 2 – 5 μm) dengan laju konduksi sekitar 12 – 35 m/s dan
serat C tanpa mielin (diameter 0.4 – 1.2 μm) dengan laju konduksi sekitar 0.5 – 2 m/s.
Aktivasi serat Aδ mencetuskan pelepasan glutamat dan menyebabkan fast pain atau
epicritic pain yang merupakan respon cepat. Fast pain memediasi kemampuan untuk


melokalisir dan menentukan intensitas nyeri. Aktivasi serat C mencetuskan
pelepasan glutamat dan substansi P dan menyebabkan slow pain atau protopathic
pain. Slow pain merupakan nyeri yang tumpul dan tersebar. (Ganong, 2012)

Variasi reseptor ditemukan pada ujung saraf sensoris nosiseptif yang
memberi respon terhadap stimulus termal, mekanis, dan kimiawi. Kebanyakan
reseptor ini merupakan bagian dari sekelompok kanal kation nonselektif yang
disebut kanal transient receptor potential (TRP). Ini termasuk reseptor TRPV1 (V
merujuk ke kelompok zat kimia yang disebut vanilloid) yang diaktivasi oleh panas,
asam, dan bahan kimia seperti kapsaisin. Reseptor TRPV1 juga dapat diaktivasi
secara tidak langsung oleh aktivasi awal reseptor TRPV3 pada keratinosit di kulit.
Stimulus mekanis, dingin, dan kimiawi dapat mengaktivasi reseptor TRPA1 (A
merupakan ankyrin) pada ujung saraf sensoris. Ujung saraf sensoris juga memiliki
reseptor acid sensing ion channel (ASIC) yang diaktivasi oleh perubahan pH dan
kemungkinan merupakan reseptor dominan dalam memediasi nyeri akibat asam.
(Ganong, 2012)
Beberapa stimulus nosiseptif melepaskan molekul intermediat yang
kemudian mengaktivasi reseptor pada ujung saraf. Misalnya, stimulus nosiseptif
mekanis menyebabkan pelepasan ATP yang bekerja pada reseptor purinergik

(misalnya reseptor ionotropik P2X dan G protein-coupled receptor P2Y). Tyrosine

6

receptor kinase A (TrkA) diaktivasi oleh nerve growth factor (NGF) yang dilepaskan

akibat kerusakan jaringan. (Ganong, 2012)

2.2. Nyeri Kepala
2.2.1 Definisi
Nyeri kepala adalah rasa nyeri atau rasa tidak mengenakkan pada seluruh
daerah kepala dari dagu sampai ke daerah belakang kepala. Berdasarkan kausanya,
nyeri kepala dapat digolongkan menjadi nyeri kepala primer dan nyeri kepala
sekunder. Nyeri kepala primer adalah nyeri kepala tanpa adanya kelainan anatomi
atau struktur yang jelas, sedangkan nyeri kepala sekunder adalah nyeri kepala
dengan adanya kelainan anatomi atau struktur yang jelas. (Prabawani, 2011)

2.2.2 Epidemiologi
Nyeri kepala merupakan gangguan neurologis yang paling sering ditemukan
dalam praktik sehari-hari. 50% dari populasi umum mengalami nyeri kepala setiap

tahun, dan lebih dari 90% melaporkan riwayat nyeri kepala dalam hidup. Prevalensi
rata-rata migrain dalam hidup adalah 18%, dan diperkirakan prevalensi rata-rata
tahun lalu adalah 13%. Prevalensi tension-type headache (TTH) adalah sekitar 52%
dalam hidup, sedangkan 3% dari populasi umum mengalami chronic headache.
(International Association for the Study of Pain, 2011)
Berdasarkan hasil penelitian multicentre berbasis rumah sakit pada lima
rumah sakit di Indonesia, didapatkan prevalensi penderita nyeri kepala sebagai
berikut : migrain tanpa aura 10%, migrain dengan aura 1,8%, episodic tension-type
headache 31%, chronic tension-type headache 24%, cluster headache 0.5%, dan
mixed headache 14%. (Surya, 2012)

Perbandingan jumlah penderita migrain pada wanita dan pria adalah dua
sampai tiga wanita per satu pria. Pada saat pubertas, risiko remaja perempuan
menderita nyeri kepala dan migrain adalah 1,5 dan 1,7 kali lebih besar daripada

7

remaja laki-laki. Pada prevalensi tension-type headache, perbandingan jumlah
penderita pria dan wanita adalah 1:1. (International Association for the Study of Pain ,
2011)


2.2.3 Faktor Risiko
Kurangnya upaya menjaga kesehatan diri sendiri, ketidakmampuan rileks
setelah bekerja, gangguan tidur, usia muda, kelaparan, dehidrasi, pekerjaan atau
beban yang terlalu berat, caffeine withdrawal, dan fluktuasi hormonal pada wanita
merupakan faktor risiko tension-type headache (TTH). Stress dan konflik emosional
merupakan pemicu tersering TTH. (Anurogo, 2014)
Terdapat peningkatan risiko pada cluster headache yang menunjukkan
adanya hubungan dengan faktor genetik. Terdapat pula penigkatan insidensi trauma
kepala lama pada cluster headache dengan range antara 5% hingga 37%, meskipun
sering terdapat interval yang lama antara trauma kepala dengan onset nyeri kepala.
(Matharu, 2010)
Secara keseluruhan, faktor risiko yang berhubungan dengan perkembangan
chronic daily headache (CDH) meliputi jenis kelamin wanita, pendidikan rendah,

status sosioekonomi rendah, riwayat trauma kepala, obesitas (indeks massa tubuh
lebih besar dari 30), sleep apnea , stress, konsumsi kafein yang berlebihan,
penggunaan obat yang berlebihan, dan depresi. Pada suatu penelitian di Cina, Wang
et al melakukan community-based survey pada penduduk yang berusia 65 tahun atau


lebih. Ditemukan bahwa faltor risiko CDH meliputi penggunaan analgesik yang
berlebihan, riwayat migrain, dan depresi. (Silberstein, 2006)

2.2.4 Klasifikasi
Klasifikasi nyeri kepala menurut The Intemational Classification of
Headache Disorders, 2nd Edition (2004) dalam Ravishankar (2012) adalah:

1. Nyeri kepala primer

8

1.1. Migrain
1.2. Tension-type headache
1.3. Cluster headache and sefalgia trigeminal otonom lain
1.4. Nyeri kepala primer lain
2. Nyeri kepala sekunder
2.1. Nyeri kepala akibat trauma kepala atau leher
2.2. Nyeri kepala akibat kelainan kranial atau servikal
2.3. Nyeri kepala akibat kelainan intrakranial nonvaskuler
2.4. Nyeri kepala akibat obat atau withdrawal

2.5. Nyeri kepala akibat infeksi
2.6. Nyeri kepala akibat kelainan homeostasis
2.7. Nyeri kepala atau fasial akibat kelainan cranium, leher, mata, telinga,
hidung, sinus, gigi, mulut, atau struktur fasial atau kranial lainnya
2.8. Nyeri kepala akibat kelainan psikiatrik
3. Neuralgia kranial dan nyeri fasial
3.1. Neuralgia kranial dan penyebab utama nyeri fasial
3.2. Nyeri kepala lain, neuralgia kranial sentral, atau nyeri fasial primer

2.2.5 Patofisiologi
Beberapa teori yang menyebabkan timbulnya nyeri kepala terus berkembang
hingga sekarang, seperti teori vasodilatasi cranial, aktivasi saraf trigerminal perifer,
lokalisasi dan fisiologi second order trigerminovascular neurons , cortical spreading
depression, dan rostral brainstem activation . (Akbar, 2010)

Variabilitas tinggi pada gambaran klinis migrain, faktor pemicu yang banyak,
serta berbagai abnormalitas fungsional dan biologis berujung pada perkembangan
teori mengenai patofisiologi migrain. Ide patofisiologis telah berkembang dalam pola
pikir yang terbatas, seperti keterlibatan vaskuler, neurogenik, neurotransmitter, dan
faktor genetik dan molekuler. (Kojić, 2013)


9

Karena ciri nyeri kepala yang berdenyut, migrain awalnya dianggap sebagai
kelainan vaskuler pada abad ke-20. Sekarang, banyak fakta yang menyanggah teori
vaskuler sebagai penyebab serangan migrain, seperti: vasodilator intracranial kuat,
yaitu vasoactive intestinal polypeptide (VIP), tidak menyebabkan migrain;
vasodilatasi intrakranial terjadi secara sekunder terhadap stimulasi nyeri kepala; zatzat yang tidak menyebabkan vasokonstriksi seperti aspirin dapat menghentikan
serangan migrain. (Kojić, 2013)
Pendukung teori neurogenik dan neurotransmitter menyatakan bahwa
disfungsi batang otak adalah penyebab utama nyeri kepala migrain. Struktur
neuromodulator, seperti periaqueductal gray matter (PAG), locus coeruleus, dan
nucleus raphe, memodulasi transmisi sinyal nyeri asenden. (Kojić, 2013)
Salah satu teori yang paling sering digunakan mengenai penyebab tensiontype headache (TTH) adalah kontraksi otot wajah, leher, dan bahu. Otot-otot yang

biasanya terlibat antara lain m. splenius capitis, m. temporalis, m. masseter , m.
sternocleidomastoideus, m. trapezius, m. cervicalis posterior , dan m. levator
scapulae. Penelitian mengatakan bahwa para penderita TTH mungkin mempunyai

ketegangan otot wajah dan kepala yang lebih besar daripada orang lain. Kontraksi ini

dapat dipicu oleh posisi tubuh yang dipertahankan secara lama sehingga
menyebabkan ketegangan pada otot. (Akbar, 2010)
Patofisiologi cluster headache tidak sepenuhnya dipahami. Teori sekarang
termasuk dilatasi vaskuler, stimulasi saraf trigerminal, dan efek sirkadian. Pelepasan
histamin, peningkatan jumlah mast cells, faktor genetik, dan aktivasi sistem saraf
otonom juga bisa berkontribusi. (Weaver-Agostoni, 2013)
Acute cluster headache telah ditunjukkan melibatkan aktivasi posterior
hypothalamic gray matter , dan diturunkan secara autosomal dominant dalam sekitar

5% pasien. Hubungan first-degree relative meningkatkan risiko dari 14 hingga 39
kali lipat. Sebuah penelitian menunjukkan adanya hubungan antara cluster headache

10

dengan gen HCRTR2. Gangguan irama sirkadian juga mungkin merupakan
penyebab karena onset nyeri kepala sering pada saat tidur. (Weaver-Agostoni, 2013)

2.2.6 Diagnosis
Klasifikasi IHS menyusun apa yang telah dipikirkan klinisi dari prinsip
utama, yaitu migrain merupakan kumpulan dari gejala. Beberapa gejala lebih

menonjol dari yang lain, tetapi tidak ada yang dominan. Meskipun sifat unilateral,
berdenyut, dan nyeri hebat dengan rasa mual merupakan migrain, nyeri berdenyut
bilateral yang hebat juga bisa merupakan spektrum migrain. (Goadsby, 2003)
Kriteria diagnostik migrain menurut IHS dalam Goadsby (2003) adalah
episode serangan yang berlangsung selama 4-72 jam dengan dua dari ciri-ciri berikut:
unilateral, berdenyut, diperparah oleh gerakan, dan nyeri sedang hingga berat. Mual
dan muntah serta fotofobia dan fonofobia dapat ditemukan.
Pemeriksaan neuroimaging pada pasien migrain dilakukan hanya jika
ditemukan pemeriksaan neurologis abnormal, pasien datang dengan ciri-ciri atipikal,
serangan migrain yang terjadi pertama kali pada usia lebih dari 40 tahun, atau
frekuensi dan intensitas serangan migrain meningkat. (Ravishankar, 2011)
Diagnosis tension-type headache (TTH) hanya bergantung pada tanda dan
gejala. TTH merupakan episode nyeri kepala rekuren yang berlangsung dari menit
hingga minggu. Nyeri TTH umumnya dalam bentuk tekanan dengan intensitas
ringan hingga sedang, bersifat bilateral, dan tidak diperberat oleh aktivitas fisik.
Keluhan mual dan muntah umumnya tidak ada, tetapi keluhan fotofobia dan
fonofobia dapat ditemukan. (Ravishankar, 2011)
Ciri-ciri penting dari cluster headache (CH) adalah periodisitas sirkadian
serangan yang terjadi dalam bentuk klaster setiap hari pada waktu yang sama selama
beberapa haridengan periode remisi yang bervariasi. Nyeri kepala bersifat unilateral,

lokasi sering pada orbital, supraorbital atau temporal, dan berlangsung selama 15-

11

180 menit jika tidak ditatalaksana. Nyeri kepala dapat berhubungan dengan salah
satu gejala berikut: ipsilateral conjunctival injection atau lakrimasi, ipsilateral nasal
congestion atau rinorea, miosis ipsilateral, ptosis, edema kelopak mata ipsilateral,

keringat fasial dan dahi ipsilateral, kegelisahan, atau agitasi selama nyeri kepala.
Frekuensi serangan dapat terjadi antara satu hingga delapan kali sehari. (Ravishankar,
2011)
Meskipun CH sering merupakan nyeri kepala primer, CH dapat merupakan
manifestasi yang langka dari lesi pokok seperti tumor kelenjar pituitari. Pemeriksaan
neuroimaging direkomendasikan untuk CH. (Ravishankar, 2011)

2.2.7 Penatalaksanaan
2.2.7.1 Penatalaksanaan Farmakologis
Dalam migrain episodik, amitriptyline telah dipakai untuk terapi profilaktik
selama 45 tahun terakhir, dan umumnya merupakan obat yang efektif. Selain
menurunkan frekuensi, durasi, dan intensitas serangan nyeri kepala, terapi
amitriptyline dapat meningkatkan respons terhadap tatalaksana akut, menurunkan
gangguan aktivitas, dan menurunkan biaya. (Santiago, 2014)
Penggunaan amitriptyline untuk terapi migrain menurunkan frekuensi nyeri
kepala sebesar 50%. Penelitian menunjukkan adanya penurunan intensitas dan
frekuensi nyeri kepala ketika dibandingkan dengan kelompok venlafaxine dan
penurunan frekuensi dan durasi nyeri kepala ketika dibandingkan dengan plasebo.
(Santiago, 2014)
Dewasa dengan migrain harus mendapatkan pengobatan akut. Pengobatan
teratur yang terlalu sering (lebih dari dua kali seminggu) dapat menyebabkan
medication-overuse headache . (Steiner, 2007)

Setiap pasien migrain harus mengikuti

treatment

ladder

(stepped

management), biasanya mengobati tiga serangan pada setiap langkah sebelum

12

melanjutkan ke langkah berikutnya. Jika strategi ini diikuti dengan tepat, maka
penatalaksanaan yang efektif dapat tercapai. (Steiner, 2007)
Langkah pertama adalah terapi simptomatik yang terdiri atas pemberian
analgesik sederhana dan antiemetik (jika diperlukan). Analgesik yang sering dipakai
adalah asam asetilsalisilat 900 – 1000 mg (hanya pada dewasa), ibuprofen 400 – 800
mg, diclofenac 50 – 100 mg, ketoprofen 100 mg, dan naproxen 500 – 1000 mg. Jika
obat tersebut dikontraindikasikan, maka pasien diberikan parasetamol. Pasien
disarankan untuk menggunakan lebih dari satu jenis analgesik pada langkah pertama
sebelum lanjut ke langkah kedua. (Steiner, 2007)
Jika administrasi per oral tidak memungkinkan akibat adanya gejala muntah,
administrasi rektal dapat dilakukan. Analgesik supersitori yang digunakan adalah
diclofenac 100 mg, ibuprofen 400 mg, ketoprofen 100 – 200 mg, dan naproxen 500 –
1000 mg. (Steiner, 2007)
Langkah kedua adalah terapi spesifik. Obat yang umumnya digunakan adalah
almotriptan, eletriptan, frovatriptan, naratriptan, rizatriptan, sumatriptan, zolmitriptan,
dan ergotamin taltrat, tergantung availabilitas pada setiap negara. (Steiner, 2007)
Penderita migrain diberi terapi profilaktik jika terjadi serangan yang
menyebabkan gangguan berat selama dua hari atau lebih dalam sebulan, terapi akut
optimal tidak meredakan migrain, dan pasien setuju untuk medikasi harian. Indikasi
lain untuk terapi profilaktik adalah risiko penggunaan obat yang terlalu sering
meskipun efektif (tetapi obat profilaktik tidak cocok untuk medication-overuse
headache) dan untuk anak-anak yang sering absen dari sekolah. (Steiner, 2007)

Terapi farmakologis terbatas pada tension-type headache (TTH), tetapi
efektif pada kebanyakan pasien. Pengobatan akut harus dilakukan dengan hati-hati
ketika nyeri kepala sering karena adanya risiko penggunaan obat yang berlebihan.
(Steiner, 2007)
Tatalaksana simptomatik dengan analgesik over-the-counter cocok untuk
TTH episodik yang terjadi dalam kurang dari dua kali seminggu. Obat yang

13

digunakan adalah asam asetilsalisilat 600 – 1000 mg (dewasa), ibuprofen 400 – 800
mg, dan parasetamol 1000 mg. Opioid harus dihindari, terutama kodein,
dihidrokodein, dekstropropoksifen, ataupun kombinasi dari analgesik yang terdiri
atas opioid. Barbiturat juga tidak digunakan untuk tatalaksana farmakologis TTH.
(Steiner, 2007)
Prinsip profilaksis pada penderita tension-type headache (TTH) adalah
intoleransi diturunkan dengan pemberian dosis awal obat yang rendah (10 mg) dan
ditingkatkan sebesar 10 – 25 mg setiap 1 – 2 minggu dan menjaga jadwal untuk
menilai efektivitas. Profilaksis yang tidak efektif tidak boleh dihentikan terlalu cepat;
2 – 3 bulan merupakan minimum untuk mencapai dan mengobservasi efektivitas.
(Steiner, 2007)
Sumatriptan 6 mg yang diberikan secara subkutan adalah tatalaksana akut
cluster headache yang terbukti efektif, tetapi tidak direkomendasikan untuk

penggunaan lebih dari dua kali sehari. Analgesik, termasuk opioid, tidak digunakan
untuk tatalaksana cluster headache . (Steiner, 2007)
Profilaksis episodic cluster headache harus dimulai secepat mungkin setelah
awal serangan klaster (kecuali penggunaan prednisolon, yang hanya digunakan untuk
jangka pendek) dan dihentikan dengan tapering-off dua minggu setelah remisi penuh.
Pada chronic cluster headache , terapi dapat dilanjutkan secara long-term. Obat yang
sering dipakai adalah verapamil 240 – 960 mg setiap hari, prednisolon 60 – 80 mg
selama 2 – 4 hari (dihentikan dengan penurunan dosis selama 2 – 3 minggu), litium
karbonat 600 – 1600 mg setiap hari, ergotamine tartrate 2 – 4 mg setiap hari per
rectum (biasanya diabaikan setiap hari ketujuh), dan methysergide 1 – 2 mg tiga kali
sehari (penggunaan diinterupsi minimal sebulan setiap enam bulan). Kombinasi obat
dapat dicoba, tetapi risiko toksisitas tinggi. (Steiner, 2007)
Menurut Wilmana (1995) dalam Antono (2013), asam asetilsalisilat, atau
yang lebih dikenal sebagai asetosal atau aspirin adalah analgesik, antipiretik, dan
antiinflamasi yang banyak digunakan sebagai golongan obat bebas.

14

Aspirin sekarang sudah jarang digunakan untuk pengobatan antiinflamasi dan
lebih sering digunakan untuk efek anti-platelet. (Katzung, 2012)
Menurut Mycek

(2001) dalam Antono (2013), dosis oral aspirin untuk

memperoleh efek analgesik dan antipiretik pada manusia adalah 325 – 650 mg empat
kali sehari, sedangkan dosis untuk memperoleh efek antiinflamasi adalah 4 – 6 gram
secara oral per hari. Aspirin berfungsi sebagai analgesik dengan menghambat sintesa
prostaglandin E2.
Ibuprofen adalah derivat sederhana asam fenilpropionat. Pada dosis sekitar
2400 mg per hari, ibuprofen setara dengan efek antiinflamasi aspirin 4 g. Ibuprofen
oral sering diberikan dalam dosis rendah (kurang dari 2400 mg per hari), dimana
terdapat efek analgesik tetapi tidak efektif sebagai antiinflamasi. (Katzung, 2012)
Ketoprofen adalah derivat asam propionate yang menginhibisi COX secara
nonselektif dan lipoksigenase. Efektivitas ketoprofen pada dosis 100-300 mg per hari
setara

dengan

NSAID

lain.

Meskipun

ketoprofen

berpengaruh

terhadap

prostaglandin dan leukotrien, ketoprofen tidak lebih efektif secara klinis jika
dibandingkan dengan NSAID lain. (Katzung, 2012)
Naproxen adalah derivat asam naftilpropionat. Insiden perdarahan saluran
cerna bagian atas akibat penggunaan over-the-counter rendah, tetapi masih dua kali
lebih tinggi dari over-the-counter ibuprofen. (Katzung, 2012)
Asetaminofen adalah metabolit aktif fenasetin yang memiliki efek analgesik.
Asetaminofen merupakan inhibitor COX-1 dan COX-2 yang lemah pada jaringan
perifer. Meskipun dikatakan setara terhadap aspirin sebagai analgesik dan antipiretik,
asetaminofen tidak memiliki sifat antiinflamasi. Obat ini efektif untuk tatalaksana
nyeri ringan hingga sedang seperti nyeri kepala, mialgia, nyeri postpartum, dan
keadaan dimana aspirin merupakan analgesik yang efektif. Asetaminofen lebih
digunakan pada pasien yang alergi terhadap aspirin atau tidak dapat mentoleransi
salisilat. (Katzung, 2012)

15

Diclofenac adalah derivat asam fenilasetat yang merupakan inhibitor COX
nonselektif. Ulserasi gastrointestinal lebih jarang terjadi pada penggunaan diclofenac
dibandingkan dengan NSAID lain. (Katzung, 2012)
Sumatriptan digunakan secara subkutan atau intranasal. Efektivitas
sumatriptan oral tidak diketahui. Pada pasien dengan cluster headache episodik atau
kronis, sumatriptan subkutan lebih efektif dalam menurunkan keparahan dan durasi
nyeri kepala pada menit kelima belas, sedangkan sumatriptan intranasal lebih efektif
untuk meredakan nyeri, durasi serangan, dan jumlah serangan pada menit ketiga
puluh. (Matharu, 2010)

2.2.7.2 Penatalaksanaan Nonfarmakologis
Selain terapi farmakologis profilaktik, beberapa penelitian menunjukkan
manfaat intervensi nonfarmakologis seperti senam aerobik. Olahraga dengan
intensitas sedang yang dilakukan secara teratur dapat meningkatkan relaksasi otot,
meningkatkan kesehatan kardiovaskuler, dan juga menurunkan frekuensi, intensitas
dan durasi serangan nyeri kepala. (Santiago, 2014)
Terapi relaksasi dan biofeedback secara potensial merupakan pilihan efektif
ketika tatalaksana farmakologis harus dihindari. Manfaat fisioterapi juga telah
terbukti pada pasien dengan tension-type headache (TTH). Diperlukan dokter yang
terampil untuk memberikan terapi tersebut. (Steiner, 2007)
Akupunktur memberi manfaat kepada penderita migrain atau tension-type
headache (TTH), meskipun uji klinis luas gagal membedakan akupunktur dengan

prosedur palsu. (Steiner, 2007)
Transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) dapat meredakan nyeri

kronis, tetapi tidak terbukti dalam tatalaksana nyeri kepala. Beberapa pasien
menemukan bahwa kompres es yang diaplikasikan di kepala atau leher dapat
meredakan nyeri. Prosedur operasi pada wajah atau leher tidak memberikan
keuntungan dan secara potensial berbahaya. (Steiner, 2007)

16

2.2.7.3 Edukasi dan Pencegahan
Pada pasien migrain, latihan secara teratur serta hindari faktor predisposisi
akan memberi keuntungan. (Steiner, 2007)
Pada pasien tension-type headache (TTH), bersantai seperti pemijatan atau
mandi air hangat dapat bermanfaat. Menyesuaikan diri terhadap stress dengan latihan
pernapasan dan relaksasi dapat mencegah nyeri kepala. (Steiner, 2007)
Pada pasien cluster headache , analgesik umumnya tidak efektif karena
analgesik memerlukan waktu yang lama. Penatalaksanaan pada awal episode klaster
lebih efektif, sehingga pasien disarankan untuk segera mencari bantuan medis
secepatnya. (Steiner, 2007)

2.2.8 Prognosis
Tidak ada obat yang pasti untuk migrain, tetapi serangan pada penderita
migrain lebih jarang di kemudian hari. (Steiner, 2007)
Tension-type headache (TTH) pada kondisi tertentu dapat menyebabkan

nyeri hebat, tetapi tidak membahayakan. Nyeri ini dapat sembuh dengan perawatan
ataupun dengan menyelesaikan masalah yang menjadi latar belakangnya jika
merupakan TTH yang timbul akibat pengaruh psikis. Nyeri kepala ini dapat sembuh
dengan terapi obat berupa analgesik. TTH biasanya mudah diobati sendiri. Dengan
pengobatan, relaksasi, perubahan pola hidup, dan terapi lain, lebih dari 90% pasien
TTH dapat sembuh dengan baik. (Akbar, 2010)
Cluster headache dapat mengalami rekurensi setelah beberapa tahun. (Steiner,

2007)

2.3. Penggolongan Obat
2.3.1. Tujuan Penggolongan Obat

17

Penggolongan obat dimaksudkan untuk peningkatan keamanan dan ketepatan
penggunaan serta pengamanan distribusinya. (Muchid, 2006)

2.3.2. Golongan Obat
Menurut Permenkes No. 917/1993, obat digolongkan menjadi obat bebas,
obat bebas terbatas, obat keras dan psikotropika, dan obat narkotika. (Muchid, 2006)
Obat bebas adalah obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa
resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas adalah lingkaran
hijau dengan garis tepi berwarna hitam. Contohnya adalah parasetamol. (Muchid,
2006)
Obat bebas terbatas adalah obat yang sebenarnya termasuk obat keras tetapi
masih dapat dijual atau dibeli bebas tanpa resep dokter, dan disertai dengan tanda
peringatan. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas terbatas adalah
lingkaran biru dengan garis tepi berwarna hitam. Contohnya adalah chlorpheniramin
maleat. (Muchid, 2006)
Obat keras adalah obat yang hanya dapat dibeli di apotek dengan resep dokter.
Tanda khusus pada kemasan dan etiket adalah huruf K dalam lingkaran merah
dengan garis tepi berwarna hitam. Contohnya adalah asam mefenamat. (Muchid,
2006)
Obat psikotropika adalah obat keras baik alamiah maupun sintetis bukan
narkotik, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf
pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
Contohnya adalah diazepam dan fenobarbital. (Muchid, 2006)
Obat narkotika adalah obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman
baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri
dan menimbulkan ketergantungan. Contohnya adalah morfin dan petidin. (Muchid,
2006)

18

2.3.3 Daftar Obat NSAID yang Memerlukan Resep
Tabel 2.1. Daftar obat NSAID yang memerlukan resep (Food and Drug
Administration , 2008)

Generic Name

Trade Name

Celecoxib

Celebrex

Diclofenac

Cataflam, Voltaren, Arthrotec (combined with
misoprostol)

Diflunisal

Dolobid

Etodolac

Lodine, Lodine XL

Fenoprofen

Nalfon, Nalfon 200

Flurbiprofen

Ansaid

Ibuprofen

Motrin, Tab-Profen, Vicoprofen* (combined with
hydrocodone),

Combunox

(combined

with

oxycodone)
Indomethacin

Indocin, Indocin SR, Indo-Lemmon, Indomethagan

Ketoprofen

Oruvail

Ketorolac

Toradol

Mefenamic acid

Ponstel

Meloxicam

Mobic

Nabumetone

Relafen

Naproxen

Naprosyn, Anaprox, Anaprox DS, EC-Naproxyn,
Naprelan,

Naprapac

(copackaged

lansoprazole)
Oxaprozin

Daypro

Piroxicam

Feldene

Sulindac

Clinoril

Tolmetin

Tolectin, Tolectin DS, Tolectin 600

with

19

* Vicoprofen mempunyai dosis ibuprofen yang sama dengan NSAID over-thecounter (OTC), umumnya digunakan selama kurang dari sepuluh hari untuk
mengurangi nyeri. Label NSAID OTC memperingatkan bahwa penggunaan jangka
panjang dan berkelanjutan dapat meningkatkan risiko serangan jantung atau stroke.