Leksikon Kuliner Melayu Tanjung balai
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORETIS
Penelitian ini bertitik tolak dari perspektif ekolinguistik. Menurut Mbete
(2009:2),“ dalam perspektif ekolinguistik, bahasa dan komunitas penuturnya
dipandang sebagai organisme hidup secara bersistem dalam suatu kehidupan,
bersama organisme-organisme lainnya.” Teori-teori yang digunakan dalam
penelitian ini merupakan paduan teori linguistik dan ekologi, sebagaimana
dinyatakan oleh Fill (1993:126) dalam Lindo dan Simonsen (2000:40) bahwa
ekolinguistik merupakan sebuah payung bagi semua penelitian mengenai bahasa
yang ditautkan dengan ekologi “ecolinguistics is an umbrella term for ... all
approaches in which the study of language (and language) is in any way
combined with ecology.” Sejumlah teori linguistik yang digunakan dalam
penelitian ini mencakup teori sosiolinguistik, semantik, dan leksikon.
Pada bab ini juga akan diuraikan konsep, kerangka teori, dan penelitian
terdahulu
yang
berkaitan
dengan
penelitian
“LeksikonKuliner
MelayuTanjungbalai: Kajian Ekolingusitik”.
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Leksikon
Leksikon adalah koleksi leksem dalam suatu bahasa. Dalam leksikon
terdapat kajian yang meliputi tentang apa yang dimaksud dengan kata, struktur
kosakata, pembelajaran kata, penggunaan dan penyimpanan kata, sejarah dan
evolusi kata (etimologi), hubungan antarkata, serta proses pembentukan kata pada
suatu bahasa. Dalam penggunaan sehari-hari leksikon dianggap sebagai sinonim
kamus atau kosakata. Hal ini sejalan dengan apa yang dinyatakan Surbakti
(2012:11) dalam temuannya tentang konsep ekologi kesungaian.
Leksikon didefenisikan sebagai “kosakata, komponen bahasa yang
memuat semua informasi tentang makna dan pemakaian kata dalam bahasa;
kekayaan kata yang dimiliki suatu bahasa”. KBBI (2008:805).Chaer (2007:5)
mengatakan bahwa istilah leksikon berasal dari kata Yunani Kuno yang berarti
‘kata’, ‘ucapan’, atau ‘cara berbicara’. Kata leksikon seperti ini sekerabat dengan
leksem, leksikografi, leksikograf, leksikal, dan sebagainya. Sebaliknya, istilah
kosakata adalah istilah terbaru yang muncul ketika kita sedang giat-giatnya
mencari kata atau istilah tidak berbau barat.
Selanjutnya Sibarani (1997:4) membedakan leksikon dari perbendaharaan
kata, yaitu “leksikon mencakup komponen yang mengandung segala informasi
tentang kata dalam suatu bahasa seperti perilaku semantis, sintaksis, morfologis,
dan fonologisnya, sedangkan perbendaharaan kata lebih ditekankan pada
kekayaan kata yang dimiliki seseorang atau sesuatu bahasa”.
2.1.2 Bahasa dan Lingkungan
Terdapat hubungan yang nyata prihal pelbagai perubahan ragawi
lingkungan terhadap bahasa dan sebaliknya. Dalam tulisannya Language Ecology
and Environment, Muhlhausler (2001:3) menyebutkan, ada empat hal yang
memungkinkan hubungan antara bahasa dan lingkungan. Semuanya menjadi
subjek yang berbeda dari kajian linguistik pada satu waktu, atau pada waktu yang
lain. Keempat hubungan tersebut adalah (1) bahasa berdiri dan terbentuk
(Chomsky, Linguistik Kognitif); (2) bahasa dikonstruksi oleh alam (Marr);
(3)alam dikonstruksi bahasa; dan (4) bahasa saling berhubungan dengan alamkeduanya saling mengontruksi, tetapi jarang yang berdiri sendiri (ekolinguistik).
Lingkungan bahasa atau ekologi bahasa adalah ruang hidup, tempat hidup
bahasa-bahasa. Bahasa yang hidup ada pada guyub tutur dan secara nyata hadir
dalam komunikasi dan interaksi kegiatan baik lisan maupun tulisan. Ekologi
adalah ilmu tentang lingkungan hidup sedangkan linguistik adalah ilmu tentang
bahasa. Kerangka pandang ekologi, bandingkan misalnya ekolinguistik, menjadi
parameter yang membedakannya dengan cabang makrolinguistik lainnya (seperti
sosiolingistik, psikolinguistik, neurolinguistik, atau antropolinguistik), adalah (1)
interelasi (interrelationship), (2) lingkungan (environment), dan (3) keberagaman
(diversity) (Haugen dalam Fill and Muhlhausler, 2001:1).
Berdasarkan kerangka pandang itu, bahasa-bahasa dapat dikaji, di dalami
dan dimaknai secara khusus. Lingkungan hidup bahasa meniscayakan adanya
keberagaman dan kesalinghubungan dengan pemahaman bahwa di suatu
lingkungan atau kawasan memang hidup bahasa, namun bahasa hidup dalam
guyub tutur. Adalah kenyataan bahwa di suatu lingkungan hidup, secara khusus
lingkungan hidup manusia dalam suatu jejaring dan kebersaam sosial, hidup
beragam bahasa pula. Hal ini sejalan dengan pendapat Safir dalam Fill dan
Muhlhausler (eds) (2001:14), menyebutkan tiga bentuk lingkungan:
1. Lingkungan fisik yang mencakupi karakter geografis seperti topografi
sebuah negara (baik pantai, lembah dataran tinggi, maupun pegunungan,
keadaan cuaca dan jumlah curah hujan).
2. Lingkungan ekonomis ‘kebutuhan dasar manusia’ yang terdiri atas flora
dan fauna dan sumber mineral yang ada dalam daerah tersebut.
3. Lingkungan sosial yang melingkupi pelbagai kekuatan yang dalam
masyarakat yang membentuk kehidupan dan pikiran masyarakat satu sama
lain. Namun yang paling penting dari kekuatan sosial tersebut adalah
agama, standar etika, bentuk organisasi politik dan seni.
2.1.3 Warisan Kuliner Melayu
Kamus Besar Bahasa Indonesia memakai ‘warisan’ sebagai : sesuatu yang
diwariskan, seperti harta, nama baik, harta pusaka, sedangkan kuliner adalah
segala sesuatu yang berkaitan dengan pangan dan makanan mulai dari bahanbahan mentah sampai pada proses pengolahan dan penyajian. Menurut Steven
Labensky dalam Webster’s New World Dictionary Culinary of Arts adalah
“segala sesuatu yang berhubungan dengan aktivitas memasak dalam hal
penyiapan bahan-bahan pangan, pengolahan dan penyajian”.
Menurut Yuyun dan Rudy (2006) bahwa kuliner adalah cermin jujur,
setiap bangsa tidak sekedar lahir dan di alami secara politik akan tetapi dihayati
dengan perasaan yang begitu khas dan unik. Dalam sisi yang lain, kuliner adalah
wujud pencapaian estetika tentang bagaimana bangsa dalam rentang waktu sejarah
tertentu terbangun dengan semangat dan cita rasa, karena itu terdapat suatu
ungkapan yang mengatakan bahwa sekali-sekali jangan pernah mengatakan telah
mengenal sebuah bangsa, jika belum mengenal kulinernya. Ungkapan ini berlaku
bagi negara termasuk Indonesia, yang dikenal sebagai negara kepulauan yang
memiliki beraneka ragam suku, budaya dan adat istiadat.
Menurut Basyarsyah (2002), Melayu adalah adat istiadat dan Islam,
sedangkan
menurut
Kamus
Purwadarminta
Melayu
adalah
sekelompok
masyarakat seresam (resam=aturan-aturan adat yang menyertai kehidupan) dan
Melayu adalah nama suku dalam resam Melayu yang tidak diketahui lagi asalusul sukunya sebelum menyatu dengan Melayu.
Pada dasarnya dalam pengolahan masakan Melayu, bahan yang paling
utama digunakan terdiri atassantan kelapa, cabe, dan beras. Hidangan masyarakat
suku Melayu sangat terkenal mampu membangkitkan selera, bukan saja dari rasa
enak tetapi dari segi pedas dan juga penggunaan rempah-rempahnya. Makanan
Melayu sering digambarkan sebagai masakan pedas dan beraroma karena
memanfaatkan melting pot rempah-rempah dan tanaman hidup (Surya, 2010).
Pengolahan masakan Melayu menggabungkan bahan segar, seperti serai,
daun jeruk, daun kemangi, pala, kunyit, dan jahe. Tidak ketinggalan rempahrempah kering tradisional seperti jintan dan ketumbar digunakan bersama-sama
dengan rempah-rempah seperti lada, kapulaga, dan jintan serta bumbu rempahrempah alami.
Bumbu memiliki peran penting dalam mengolah masakan Melayu karena
berfungsi meningkatkan rasa makanan. Kombinasi bumbu rempah-rempah segar
dan kering biasanya ditumbuk bersama-sama di dalam lesung untuk membuat
bubuk halus dan dimasak dalam minyak dengan ditambahkan santan segar sebagai
bahan utama dalam segala jenis gulai atau masakan lemak.
2.1.4 Nilai Budaya dan Kearifan Lingkungan
2.1.4.1 Nilai Budaya
Kebudayaan merupakan identitas suatu bangsa yang dapat membedakan
bangsa tersebut dengan bangsa lainnya. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 32
mengamanatkan bahwa negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di
tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam
memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. Dalam konteks ini,
pemerintah
menjamin
kebebasan
masyarakat
dalam
memelihara
dan
mengembangkan nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang di masyarakat
Indonesia. Pada era globalisasi, pemerintah berkewajiban melindungi dan
melayani masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai
budayanya agar tidak tergerus oleh nilai-nilai budaya global yang tidak sesuai
dengan karakter dan jati diri bangsa.
Kebudayaan menurut
Mahsun (2005: 2) terdiri atas nilai-nilai,
kepercayaan, dan persepsi abstrak tentang jagat raya yang berada di balik, dan
tercermin dalam perilaku manusia. Sejalan dengan itu Haviland (1999: 333)
mengemukakan pendapatnya bahwa kebudayaan adalah seperangkat peraturan
atau norma yang dimiliki bersama oleh para anggota masyarakat, dan apabila
dilaksanakan oleh para anggotanya, maka akan melahirkan perilaku yang
dipandang layak dan dapat diterima oleh seluruh anggota masyarakat tersebut.
Menurut Koentjaraningrat (2004: 85) nilai budaya terdiri atas konsepsikonsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebahagian besar warga masyarakat
mengenai hal-hal yang mereka anggap amat mulia.Sistem nilai yang ada dalam
suatu masyarakat dijadikan orientasi dan rujukan dalam bertindak. Oleh karena
itu, nilai budaya yang dimiliki seseorang memengaruhinya dalam menentukan
alternatif, cara-cara, alat-alat, dan tujuan-tujuan pembuatan yang tersedia.
Sementara itu, Sumaatmadja dalam Marpaung (2000) mengatakan bahwa pada
perkembangan, pengembangan, penerapan budaya dalam kehidupan, berkembang
pula nilai-nilai yang melekat di masyarakat yang mengatur keserasian,
keselarasan, serta keseimbangan. Nilai tersebut dikonsepsikan sebagai nilai
budaya.
Selanjutnya, bertitik tolak dari pendapat di atas, maka dapat dikatakan
bahwa setiap individu dalam melaksanakan aktivitas sosialnya selalu berdasarkan
serta berpedoman kepada nilai-nilai atau sistem nilai yang ada dan hidup dalam
masyarakat itu sendiri, artinya nilai-nilai itu sangat banyak memengaruhi tindakan
dan perilaku manusia, baik secara invidual, kelompok atau masyarakat secara
keseluruhan tentang baik buruk, benar salah, patut atau tidak patut. Suatu nilai
apabila sudah membudaya di dalam diri seseorang, maka nilai itu akan dijadikan
sebagai pedoman atau petunjuk di dalam bertingkah laku. Hal ini dapat dilihat
dalam kehidupan sehari-hari, misalnya budaya gotong royong, dan lain-lain. Jadi,
secara universal, nilai itu merupakan pendorong bagi seseorang dalam mencapai
tujuan tertentu.
Jadi dapat disimpulkan bahwa nilai budaya adalah suatu bentuk konsepsi
umum yang dijadikan pedoman dan petunjuk di dalam bertingkah laku baik secara
individual, kelompok atau masyarakat secara keseluruhan tentang baik buruk,
benar salah, patut atau tidak patut.
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Teori Ekolinguistik
Ekolinguistik adalah kajian interdisipliner yang mengkaitkan ekologi dan
linguistik diawali pada tahun 1970-an ketika Einar Haugen (1972) menciptakan
paradigma ‘ekologi bahasa’. Dalam pandangan Haugen, ekologi bahasa adalah kajian
tentang interaksi bahasa dan lingkungannya. Dalam konteks ini, Haugen
menggunakan konsep lingkungan bahasa secara metaforis, yakni lingkungan
dipahami sebagai masyarakat pengguna bahasa, sebagai salah satu kode bahasa.
Bahasa berada hanya dalam pikiran penuturnya, dan oleh karenanya bahasa hanya
berfungsi
apabila
digunakan
untuk
menghubungkan
antarpenutur,
dan
menghubungkan penutur dengan lingkungannya, baik lingkungan sosial ataupun
lingkungan alam. Dengan demikian, ekologi bahasa ditentukan oleh orang-orang
yang mempelajari, menggunakan, dan menyampaikan bahasa tersebut kepada orang
lain (Haugen, 2001:57).
Dua dekade setelah diciptakannya paradigma ‘ekologi bahasa’, barulah
muncul istilah ekolinguistik ketika Halliday (1990)pada konferensi AILA
memaparkan elemen-elemen dalam sistem bahasa yang dianggap ekologis
(’holistic’ system) dan tidak ekologis (’fragmented’ system). Berbeda dengan
Haugen, Halliday menggunakan konsep ekologi dalam pengertian non-metaforis,
yakni ekologi sebagai lingkungan biologis. Halliday mengkritisi bagaimana
sistem bahasa berpengaruh pada perilaku penggunanya dalam mengelola
lingkungan. Dalam tulisannya yang berjudul “New Ways of Meaning”, Halliday
(2001) menjelaskan bahwa bahasa dan lingkungan merupakan dua hal yang saling
mempengaruhi. Perubahan bahasa, baik di bidang leksikon maupun gramatikal,
tidak dapat dilepaskan dari perubahan lingkungan alam dan sosial (kultural)
masyarakatnya. Di satu sisi, perubahan lingkungan berdampak pada perubahan
bahasa, dan di sisi lain, perilaku masyarakat terhadap lingkungannya dipengaruhi
oleh bahasa yang mereka gunakan. Kajian terhadap hubungan dialektika antara
bahasa dan lingkungannya telah melahirkan topik-topik penelitian dibawah
payung ekolinguistik, dan sejak saat itu pula cakupan aplikasi konsep ekologi
dalam linguistik berkembang dengan pesat, baik di bidang pragmatik, analisis
wacana, linguistik antropologi, linguistik teoretis, pengajaran bahasa, dan
berbagai cabang linguistik lainnya (Fill dan Muhlhausler, 2001:1).
Walaupun kajian tentang interelasi bahasa dan lingkungannya telah
muncul sejak tahun 1970-an, pendekatan teoretis dan model analisis dalam kajian
ekolinguistik baru diformulasikan pada tahun 1990-an, ketika Jorgen Chr Bang
dan Jorgen Door (1993) mengenalkan teori dialektikal ekolinguistik. Melalui
Kelompok Penelitian Ekologi, Bahasa, dan Ideologi (ELI/the Ecology, Language,
and Ideology Research Group) yang berpusat di Universitas Odense, Denmark,
Bang dan Door mengenalkan kerangka teoretis ekolinguistik dialektikal.
Kerangka teoretis ini menarik untuk dicermati mengingat ekolinguistik yang
sebelumnya merupakan istilah payung (umbrella term) dari berbagai pendekatan
teori linguistik (Bundsgaard dan Steffensen, 2000:9), ternyata dapat memiliki
kerangka teoretis tersendiri, yakni teori linguistik dialektikal atau ekolinguistik
dialektikal. Kebaruan dari kerangka teoretis ini terletak di antaranya pada
penggunaan konsep praksis sosial sebagai lingkungan bahasa, yang mengacu pada
tiga dimensi, yakni dimensi ideologis, dimensi sosiologis, dan dimensi biologis.
Menurut pandangan ekolinguistik dialektikal atau linguistik dialektikal
(dialectical linguistics) (Steffensen, 2007), bahasa merupakan bagian yang
membentuk dan sekaligus dibentuki oleh praksis sosial.Bahasa merupakan produk
sosial dari aktivitas manusia dan pada saat yang sama bahasa juga mengubah dan
memengaruhi aktivitas manusia atau praksis sosial. Dengan demikian, terdapat
hubungan dialektikal antara bahasa dan praksis sosial. Konsep praksis sosial
dalam konteks ini mengacu pada semua tindakan, aktifitas dan perilaku
masyarakat, baik terhadap sesama masyarakat maupun terhadap lingkungan alam
di sekitarnya. Dalam teori dialektikal, praksis sosial mencakup tiga dimensi
praksis sosial, yakni
1. Dimensi ideologis, yaitu adanya ideologi atau adicita masyarakat misalnya
ideologi kapitalisme yang disangga pula dengan ideologi pasar sehingga perlu
dilakukan aktivitas terhadap sumber daya lingkungan, seperti muncul istilah
dan wacana eksploitasi, pertumbuhan, keuntungan secara ekonomis. Jadi ada
upaya untuk tetap mempertahankan, mengembangkan, dan membudidayakan
jenis ikan atau tumbuhan produktif tertentu yang bernilai ekonomi tinggi dan
kuat,
2. Dimensi sosiologis, yakni adanya aktivitas wacana, dialog, dan diskursus sosial
untuk mewujudkan ideologi tersebut. Dalam dimensi ini bahasa merupakan
wujud praktik sosial yang bermakna, dan
3. Dimensi biologis, berkaitan dengan adanya diversivitas (keanekaragaman)
biota danau (atau laut, ataupun darat) secara berimbang dalam ekosistem, serta
dengan tingkat vitalitas spesies dan daya hidup yang berbeda antara satu
dengan yang lain; ada yang besar dan kuat sehingga mendominasi dan
“menyantap” yang lemah dan kecil, ada yang kecil dan lemah sehingga
terpinggirkan dan termakan. Dimensi biologis itu secara kegiatan terekam
secara leksikon dalam khazanah kata setiap bahasa sehingga entitas-entitas itu
tertandakan dan dipahami. (Lindo dan Bundsgaard, 2000:10-11)
Ekolinguistik merupakan studi hubungan timbal balik yang bersifat
fungsional. Dua parameter yang hendak kita hubungkan adalah bahasa dan
lingkungan. Bergantung pada perspektif yang digunakan baik ekologi bahasa
maupun bahasa ekologi. Kombinasi keduanya menghasilkan kajian ekolinguistik.
Ekologi
bahasa
mempelajari
dukungan
pelbagai
sistem
bahasa
yang
diperkenalkan bagi kelangsungan makhluk hidup, seperti halnya dengan faktorfaktor yang memengaruhi kediaman (tempat) bahasa-bahasa dewasa ini.
Haugen (1970), lihat Mbete (2009:11-12), mengatakan bahwa ruang
lingkup linguistik dalam payung ekologi bahasa diutarakan oleh Haugen berikut
ini: (1) linguistik historis komparatif; (2) linguistik demografi; (3) sosiolingustik;
(4) dialinguistik; (5) dialektologi; (6) filologi; (7) linguistik preskriptif; (8)
glotopolitik; (9) etnolinguistik, linguistik antropologi atau linguistik kultural
(cultural linguistics); dan (10) tipologi. Dari uraian tersebut kajian ini adalah
kajian preskriptif (leksikon) dan linguistik antropologi. Berdasarkan pembagian
Haugen tersebut, penelitian ini ada terkait dengan ruang kaji sosiolinguistik dan
linguistik perspektif.
Dalam lingkup kajian ekolinguistik, bahasa yang hidup dan digunakan
menggambarkan, mewakili, melukiskan (mempresentasikan secara simbolikkegiatanl) realitas di lingkungan, baik lingkungan ragawi maupun lingkungan
buatan manusia (lingkungan sosial-budaya). Hal tersebut mengimplikasikan
bahasa mengalami perubahan seiring dengan perubahan lingkungan ragawi dan
sosialnya, sebagaimana dinyatakan Liebert (2001) dalam Mbete (2009:7) bahwa
“... perubahan bahasa ... mempresentasikan perubahan ekologi.” Proses perubahan
pada bahasa tersebut berjalan secara bertahap dalam kurun waktu yang lama,
tanpa disadari oleh penuturnya, dan tidak dapat dihindari.
Perubahan pada bahasa itu tampak jelas teramati pada tataran leksikon.
Alasannya, kelengkapan leksikon dari suatu bahasa mencerminkan sebagian besar
karakter lingkungan ragawi dan karakteristik sosial serta budaya masyarakat
penuturnya. Sapir dalam Fill dan Muhlhausler (2001:2) menarik kesimpulan
bahwa dalam lingkup ekolinguistik, hubungan bahasa dan lingkungannya ada
pada tataran leksikon saja, bukan, misalnya, pada tataran fonologi atau morfologi.
Sehubungan dengan dasar konsep teori di atas maka sejumlah segi yang
dapat dibedah dan dikaji di dalamnya mencakupi.
1. Leksikon-leksikon bermakna dan berfungsi referensial, yakni khazanah
leksikon yang referensi nyatanya dapat dilacak, dijejaki, dibuktikan secara
empirik atau kasat mata, karena dapat ditemukan dilapangan, atau juga kendati
masih diingat (dalam kognisi warga masyarakat di sekitarnya) oleh penuturnya,
baik tua maupun muda, namun sesungguhnya biota atau makhluk hidup yang
diwadahi dalam bahasa lokal itu, sudah terancam keberadaannya, populasinya
kian mengecil, bahkan ada yang sudah punah.
2. Secara kategorikelinguistikan, perangkat leksikon yang berkaitan dengan
lingkungan itu, khususnya lingkungan alam sifat dan karakternya jelas harus
dipilah-pilah
atau
dikategorikan.
Dengan
demikian,
klasifikasi
atau
kategorisasi menjadi nomina (tatanama), verba, dan ajektiva menjadi fokus
dalam kajian pula. Pasti ada nomina yang secara semantis tergolong bendabenda mati tak bergerak, makhluk hidup (non-insani), seperti nama-nama
fauna, hewan/ binatang dan tumbuhan (flora) apa saja yang digunakan dalam
kuliner MTB dalam bahasa lokal (MTB). Dikaji pula atau ditemukan pula, jika
ada, nama-nama (nomina) hewan dan tumbuhan yang habitatnya atau
lingkungan hidupnya hanya ada di daerah kota Tanjungbalai. Demikian juga
pasti cukup banyak tanaman lokal yang ditemukan dalam bahasa lokal,
meskipun sebagiannya “tinggal ingatan” orang tua-tua, namun sudah tidak ada
lagi di daerah tersebut.
3. Pertanyaan lebih kritis lagi dapat diajukan pula sebagai fokus kajian lebih
dalam yakni, mengapa sejumlah flora dan fauna yang menurut cerita atau
tuturan generasi tua, sudah tidak ada lagi dalam realita di lingkungan daerah
tersebut?
Selain
penghilangan
karena
perburuan
atau
penangkapan,
pencemaran karena menggunakan racun misalnya, semuanya itu dapat
disingkap dalam kajian ini. Sebaliknya juga, apa saja yang tetap terpelihara,
sehingga populasi flora dan fauna di daerah tersebut tetap ada dan terjaga.
2.2.2 Ekolinguistik dan Ekologi
Ekologi bahasa menurut Haugen, adalah
Language ecology may be defined as the study of interactions between
any given language and its environment (Haugen, 1997, dalam Peter,
1996:57).
Ekologi bahasa dapat didefinisikan sebagai studi tentang interaksi
antarbahasa yang ada dengan lingkungannya (terjemahan penulis)
Fill (1993:126) dalam Lindo & Bundsgaard (eds.) (2000)
mendefinisikan ekolinguistik sebagai berikut.
Ecolinguistics is an umbrella term for ‘[...] all approaches in which
the study of language (and language) is in any way combined with
ecology’.
Ekolinguistik merupakan payung istilah terhadap ‘[...] semua
pendekatan studi bahasa (dan bahasa-bahasa) yang dikombinasikan
dengan ekologi (terjemahan penulis)
Sementara itu, Crystal (2008:161-162) dalam kamus A Dictionary of
Linguistics and Phonetics 6th Edition, menjelaskan:
Ecolinguistics (n.) In linguistics, an emphasis-reflecting the nation of
ecology in biological studies-in which the interaction between
language and the cultural environment is seen as central; also called
the ecology of language, ecological linguistics, and sometimes green
lingusitics. An ecolinguistic approach highlights the value of linguistic
diversity in the world, the importance if individual and community
linguistic rights, anf the role of languange attitudes. Language
awareness language variety, and language change in fostering a
culture of communicative peace.
Ekolingustik (nomina) dalam linguistik, suatu penekanan yang
mencerminkan gagasan ekologi dalam studi biologis-dimana interaksi
antara bahasa dan lingkungan budaya dipandang sebagai inti; juga
disebut dengan ekologi bahasa. Linguistik ekologi dan kadang-kadang
linguistik hijau. Pendekatan ekolinguistik menyoroti nilai keragaman
linguistik di dunia, pentingnya hak linguistik dari individu dan
masyarakat, peranan dari sikap bahasa, kesadaran bahasa, ragam
bahasa, dan perubahan bahasa dalam membina budaya perdamaian
yang komunikatif).
Sementara itu, istilah ekologi berasal dari bahasa Yunani oikos, yang
berarti house, man’s immediate surroundings. Ricklefs (1976:1) dalam bukunya
The Economy of Nature A Textbook in Basic Ecology mendefinisikan ekologi
sebagai berikut
Ecology is the study of plants and animals, as individuals and together
in populations and biological communities, in relation to their
environments – the physical, chemical, and biological characteristics
of their surroundings.
Ekologi merupakan studi yang mempelajari tumbuh-tumbuhan dan
hewan-hewanan sebagai individu dan secara bersamaan dalam
populasi dan komunitas biologis dalam kaitannya dengan
lingkungannya – fisik, kimia, dan karakteristik biologis
lingkungannya (terjemahan penulis)
Disamping itu, Haeckel (1870) dalam Ricklefs (1976:2) menerangkan
“By ecology, ”he wrote, “we mean the body of knowledge concerning
the economy of nature – the investigation of the total relations of the
animal both to its organic and to its inorganic environment; including
above all, its friendly and inimcal relation with those animals and
plants with ehich it come directly or indirectly in contact – in a word,
ecology is the study of all the complex interrelations referred to by
Darwin as the conditions of the struggle for existence.”
terkait ekologi, ‘beliau menulis “kita artikan pokok ilmu pengetahuan
mengenai ekonomi alam – penelitian hubungan mutlak dari hewan
baik lingkungan organik maupun non-organik; termasuk secara
keseluruhan, keramahtamahannya dan hubungan inimcal dengan
hewan-hewan tersebut dan tanaman-tanaman dengan ehich yang
datang dalam kontak secara langsung atau tidak langsung – dalam kata
lain, ekologi adalah studi keseluruhan hubungan intra yang kompleks
yang dirujuk Darwin sebagai kondisi perebutan eksistensi”
(terjemahan penulis)
Dengan demikian, kajian ekolinguistik lebih melihat tautan ekosistem
yang merupakan bagian dari sistem kehidupan manusia (ekologi) dengan bahasa
yang dipakai manusia dalam berkomunikasi dalam lingkungannya (linguistik).
Lingkungan tersebut adalah lingkungan ragawi berbahasa yang menghadirkan
pelbagai bahasa dalam sebuah masyarakat. Situasi dwi/ multi bahasa inilah yang
mendorong adanya interaksi bahasa. Lingkungan ragawi dengan pelbagai kondisi
sosial sangat memengaruhi penutur bahasa secara psikologis dalam penggunaan
bahasanya.
2.2.3 Semantik Leksikal
Dari segi semantis, “setiap kata memiliki makna sesuai dengan lingkungan
budaya bahasa bersangkutan” (Sibarani, 1997:7). Pembahasan makna dalam kata
merupakan kajian semantik leksikal. Makna kata itu dianggap sebagai satuan
mandiri, bukan makna kata dalam kalimat (Pateda, 2001:74). Jadi, menurut
semantik leksikal, makna satu kata sesuai dengan referennya, sesuai dengan hasil
observasi alat indera, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan
kita. Kata merupakan tumpuan dalam pembahasan semantik leksikal. Sweet
dalam Palmer (1976:37) membagi kata atas kata penuh (full words), kata tugas,
dan partikel (form words). Kata penuh mengandung makna tersendiri. Kata ini
bebas konteks kalimat sehingga mudah dianalisis. Misalnya, nomina, kegiatan,
adjektiva, dan adverbia. Kata tugas merupakan bentuk bebas yang terikat konteks
kalimat. Kata ini mengandung makna apabila berada dalam kalimat. Contohnya,
pronomina, numeralia, interogativa, demonstrativa, artikula, preposisi, konjungsi,
interjeksi. Partikel merupakan bentuk terikat yang melekat pada kata dasar dan
terikat pada konteks kalimat.
Semantik berkaitan dengan semiotik. Dalam semantik, kata disebut
lambang (symbol) sedangkan dalam semiotik lambang itu sendiri disebut tanda
(sign) (Pateda 2001:25). Sebagai pengguna bahasa, masyarakat dikelilingi oleh
tanda. Tanda-tanda itu mengandung makna. Dalam semiotik natural ditelaah
sistem tanda yang dihasilkan oleh alam (Pateda, 2001:31). Misalnya, kelapa yang
digongseng (disangrai) sudah berwarna kecoklatan menandakan bahwa kelapa
tersebut sudah masak dan dapat diangkat dari tempat pemasakan.
2.2.4Semantik Kognitif
Kognitivisme mengacu pada teori linguistik yang berdasar pada
pandangan tradisional tentang arah hubungan sebab akibat antara bahasa dan
pikiran (Lyons 1995: 97). Kognitivisme merupakan bagian dari linguistik
fungsional yang menawarkan prinsip yang sangat berbeda dari linguistik formal
dalam memandang bahasa. Secara eksternal, linguis fungsional berpendapat
bahwa prinsip penggunaan bahasa terwujudkan dalam prinsip kognitif yang
sangat umum; dan secara internal mereka berpendapat bahwa penjelasan linguistik
harus melampaui batas antara berbagai macam tingkatan analisis (Saeed 1997:
300). Misalnya, penjelasan tentang pola gramatikal tidak dapat hanya dianalisis
melalui prinsip sintaksis yang abstrak, tetapi juga melalui sisi makna yang
dikehendaki pembicara dalam konteks tertentu penggunaan bahasa (Saeed 1997:
300).
Penganut semantik kognitif berpendapat bahwa manusia tidak memiliki
akses langsung terhadap realitas, dan oleh karena itu, realitas sebagaimana
tercermin dalam bahasa merupakan produk pikiran manusia berdasarkan
pengalaman mereka berkembang dan bertingkah laku (Saeed 1997: 300). Dengan
kata lain, makna merupakan struktur konseptual yang dikonvensionalisasi (Saeed
1997: 300) dan bahasa merupakan cara eksternalisasi dari seluruh mekanisme
yang terdapat dalam otak (Jaszczolt 2002: 345). Proses konseptualisasi ini,
menurut penganut semantik kognitif, sangat dipengaruhi oleh metafora sebagai
cara manusia memahami dan membicarakan dunia. Selain itu, dalam semantik
kognitif juga ditelaah proses konseptual pembicara, meliputi viewpoint shifting,
figure-ground shifting, dan profiling (Saeed 1997: 302).
2.3 Penelitian Relevan
2.3.1 Leksikon Nomina Bahasa Gayo dalam Lingkungan Kedanauan Lut
Tawar: Kajian Ekolinguistik (Sukhrani, 2010)
Metode penelitian yang digunakan oleh Sukhrani adalah metode penelitian
kualitatif. Data leksikon nomina bahasa Gayo terkait dengan lingkungan ragawi
Lut Tawar diperoleh melalui dokumen tertulis, observasi nonpartisipan, dan
wawancara mendalam.Hasil penelitian ini adalah (1) saat ini sebagian besar
penutur bahasa Gayo pria dan wanita dari masing kelompok usia masih mengenal
dan sering mendengar maupun menggunakan leksikon nomina bahasa Gayo yang
berhubungan dengan lingkungan kedanauan Lut Tawar, (2) leksikon kedanauan
Lut Tawar yang diteliti tingkat pemahamannya lebih didominasi nomina karena
begitu beragam dan kayanya Lut Tawar akan nama biota dalam dan sekitar danau
dan nama alat tangkap ikan, dan (3) Leksikon nomina bahasa Gayo dalam
lingkungan kedanauan Lut Tawar sebagian besar masih dikenal dan digunakan
dalam berkomunikasi. Faktor penyebab kebertahanan leksikon nomina tersebut
adalah karena biodiversitas lingkungan sekitar danau, penutur dari masing-masing
kelompok usia masih berinteraksi dengan lingkungan ragawi yang beragam, dan
oenutur dari masing-masing kelompok usia masih sering berbahasa Gayo dalam
keseharian.
Penelitian Sukhrani memberikan kontribusi terhadap penelitian ini dalam
hal teori-teori ekolinguistik oleh Haugen. Perbedaan penelitian Sukhrani dengan
penelitian ini adalah penelitian Sukhrani membahas mengenai nomina bahasa
Gayo dalam lingkungan kedanauan Lut Tawarsedangkan penelitian ini tidak
terbatas pada nomina melainkan nomina, kegiatan, dan ajektivamengenai leksikon
kuliner MTB.
2.3.2Pengetahuan dan Sikap Remaja Terhadap Tanaman Obat Tradisional
di Kabupaten Buleleng dalam Rangka Pelestarian Lingkungan:
Sebuah Kajian Ekolinguistik (Rasna, 2010)
Penelitian yang dilakukan oleh Rasna dalam meneliti “Pengetahuan dan
Sikap Remaja Terhadap Tanaman Obat Tradisional di Kabupaten Buleleng dalam
Rangka
Pelestarian
Lingkungan:
Sebuah
Kajian
Ekolinguistik”
bersifat
eksploratif. Informasi diperoleh dengan teknik wawancara untuk memperoleh data
pengetahuan tanaman obat tradisional dengan bantuan kuesioner terstruktur.
Hasil penelitian menyimpulkan secara ekolinguistik adanya penyusutan
bentuk leksikal tumbuhan/ tanaman obat para remaja sehingga para remaja tidak
lagi mengenal bentuk leksikal sekapa(gadung), kusambi, nagasari, kundal,
antasari, bahkan tidak semua remaja tahu beluntas. Hal ini terjadi akibat: (a)
adanya perubahan sosiokultural, (b) perubahan sosioekologis secara fisik, dan (c)
faktor sosioekonomis.
Kontribusi penelitian ini terhadap penelitian yang akan dilakukan adalah
memberikan contoh bagaimana menganalisis kajian ekolinguistik pada tumbuhan
(flora). Perbedaan penelitian Rasna dengan penelitian ini adalah penelitian Rasna
membahas mengenai tanaman obat yang dikaji dalam kajian ekolinguistik
sedangkan penelitian ini membahas mengenai leksikon kuliner MTB.
2.3.3 Penyusutan Tutur dalam Masyarakat Gayo: Pendekatan Ekolinguistik
(Yusradi Usman, 2010)
Penyusutan Tutur dalam Masyarakat Gayo: Pendekatan Ekolinguistik
yang dilakukan oleh Yusradi Usman pada tahun 2010 menggunakan metode
penelitian kualitatif. Topik dan karakteristik masalah yang dirumuskan dengan
penelitian kaji tindak (action research).
Hasil penelitian ini adalah (1) konsep tutur dalam masyarakat Gayo;
munculnya tutur dalam masyarakat Gayo tidak berdiri sendiri melainkan ada
faktor sosial budaya yang merangkainya. Hal tersebut tidak terlepas dari nilai
budaya Gayo yang terdiri atas pelbagai nilai. Nilai-nilainya yang dimaksud adalah
imen (iman), mukemel (harga diri), tertip (tertib), setie (setia), semayang
gemasih(kasih sayang), mutentu (kerja keras), amanah (amanah), genap mupakat
(musyawarah), alang tulung (tolong menolong), dan bersikemelen (kompetitif).
Hubungan darah perkawinan, belah (klan), terjadinya kecelakaan, perkelahian,
membantu seseorang, dan mengadopsi anak merupakan perangkai sosial yang
membentuk tutur dalam masyarakat Gayo. (2) klasifikasi, bentuk, dan fungsi
tutur; tutur dalam masyarakat Gayo diklasifikasikan menjadi 1) patut atau
muperdu (bentuk tutur yang sudah baku); 2) museltu (terbentuk akibat faktor
tertentu); 3) mantut (peralihan tutur ke bentuk yang sebenarnya/ seharusnya); 4)
uru-uru (tindak betutur didorong akibat ikut-ikutan); 5) gasut (pemakaian tutur
yang kerap berubah-ubah. (3) penyusutan tutur; perubahan sosio-ekologis yang
terjadi didataran tinggi tanoh Gayo sangat mempengaruhi penyusutan tutur.
Terlebih di Takengon yang dikenal dengan pluralitas etnik yang lebih dari delapan
etnik. Keragaman situasi itu membuat terjadinya kontak antar etnik, bahasa, dan
budaya. Kondisi tersebut sangat mempengaruhi masyarakat Gayo baik secara
psikologis maupun secara sosial khususnya dalam bertutur. (4) bentuk tutur baru
(variasi tutur); empat hal yang terjadi perihal tutur, yaitu a) tetap, b) jarang, dan c)
tidak dipakainya lagi tutur, serta d) terciptanya bentuk tutur baru.
Penelitian Penyusutan Tutur dalam Masyarakat Gayo: Pendekatan
Ekolinguistik yang dilakukan oleh Yusrdi Usman, memberikan kontribusi dalam
hal teori-teori ekolinguistik. Perbedaan penelitian Usman dengan penelitian ini
adalah penelitian Usman mengenai penyusutan tutur sedangkan penelitian ini
pengetahuan guyub tutur terhadap leksikon kuliner MTB.
2.3.4 Ketahanan Khazanah Lingual Pertanian Guyub Tutur Bahasa Bima
dalam Perspekstif Ekolinguistik Kritis (Umiyati, 2011)
Penelitian ketahanan khazanah lingual pertanian guyub tutur bahasa Bima
dilakukan dengan menghimpun leksikon-leksikon, teks-teks tentang lingkungan
hidup, wacana-wacana, dokumen-dokumen, publikasi seta publikasi serta hasil
interview. Penelitian ini dilakukan di dua desa dan dua kelurahan yang tersebar di
dua kebupaten, yaitu Kabupaten Bima dan Kabupaten Dompu.
Hasil penelitian ini menyimpulkan ketahanan khazanah lingual pada ranah
pertanian masih sangat terjaga, ditandai dengan kemunculan sejumlah leksikon
khas ranah pertanian dalam sejumlah metafora dan ungkapan-ungkapan yang lahir
dari kearifan lokal setempat. Dalam pandangan ekolinguistik pandangan green
grammar dijadikan sebagai bentuk struktur yang ideal untuk menyelaraskan
kalimat/ klausa yang ada pada guyub tutur ini dengan alam.
Kontribusi penelitian ini terhadap penelitian yang akan dilakukan adalah
memberikan kemudahan dalam hal teori ekolinguistik yang terbilang baru di
Indonesia dalam usaha pelestarian lingkungan. Perbedaan penelitian Umiyati
dengan penelitian ini adalah penelitian Umiyati membahas mengenai bentuk
metafora dari sejumlah leksikon pertanian dan pandangan kajian green grammar
dalam ungkapan-ungkapan pelestarian alam lingual pertanian guyub tutur bahasa
Bima, sedangkan penelitian ini membahas mengenai leksikon kuliner MTB.
2.3.5Pergeseran Leksikon Kuliner Melayu Serdang Terhadap Remaja
Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai (Sinar, T, S, 2011)
Penelitian ini bertujuan menemukan dan mendeskripsikan leksikon kuliner
nomina bahasa Melayu Serdang, untuk diwariskan sebagai pengetahuan dan
pemahaman generasi muda dan mengenai leksikon kuliner nomina Kesultanan
Serdang dan
memberikan
informasi
yang
merujuk
kepada pentingnya
keterpeliharaan lingkungan Kesultanan Serdang sehingga masyarakat masa kini
yang bermukin disekitarnya bertanggung jawab dalam pemeliharaan lingkungan.
Saat ini generasi muda Melayu Serdang sudah mulai tidak mengenal lagi
pangan kuliner Melayu Serdang, dan lebih mengenal kuliner yang modern saat ini
yang cepat saji dan praktis. Metode yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan pendekatan dan metode kuantitatif dan kualitatif dengan instrumen
untuk pengumpulan data dilakukan di Kecamatan Perbaungan yang berada dalam
lingkungan Kesultanan Serdang masa lalu di Kabupaten Serdang Bedagai.
Penelitian ini menemukan beberapa pangan kuliner yang sudah mulai
tidak dikenal lagi seperti: anyang kepah, botok kampong, bubur lambuk, bubur
sup, gulai darat atau terung sembah, gulai pisang emas, gulai kacang hijau
dengan daun buas-buas, gulai lambuk kemuna, gulai telur terubuk, pekasam
kepah, pekasam maman, rendang santan telur terubuk, emping padi, senat,
sambal lengkong, sambal tempoyak durian, sambal terasi asam sundai, sambal
belacan asam binjei, kue danagi, halwa masekat, lubuk haji pantai surga,
lempeng putih, kueh makmur, kueh pakis, kueh pelita daun, tepung gomak, cucur
badak, kueh cara, halwa renda, halwa cermai, halwa rukam.
Kontribusi penelitian ini terhadap penelitian yang akan dilakukan adalah
memberikan kemudahan dalam hal informasi berbagai jenis kuliner khususnya
kuliner Melayu. Perbedaan penelitian Sinar dengan penelitian ini adalah penelitian
Sinar membahas mengenai leksikon kuliner Melayu Serdang, sedangkan
penelitian ini membahas mengenai leksikon kuliner MTB.
2.3.6 Analisis dan Kebermaknaan Bahan Bubur Pedas Sebagai Warisan
Kuliner Melayu Stabat dan Tanjungbalai (Sartika dan Siti Wahidah,
2013)
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Analisis dan Kebermaknaan
Bahan Bubur Pedas Sebagai Warisan Kuliner Melayu Stabat dan Tanjungbalai
baik dari segi pengetahuan, bahan, pengolahan dan penyajian. Subjek penelitian
ini dilakukan terhadap 4 narasumber yang dibagi menjadi 2 orang untuk daerah
Stabat dan 2 orang juga untuk daerah Tanjungbalai. Penelitian ini merupakan
penelitian deskriptif kualitatif yang bersifat eksploratif, yang menggambarkan
pengetahuan masyarakat tentang bubur pedas baik di daerah Stabat maupun
Tanjungbalai. Untuk merealisasikan tujuan penelitian di atas, metode yang
digunakan pada penelitian ini adalah metode wawancara mendalam (Indepth
Interview). Narasumber dipilih dengan system non random (Non Probability
Sampling) dengan teknik Purposive Sampling (Pengambilan Sampling atas
pertimbangan tertentu oleh peneliti sendiri/kepentingan sendiri) sebanyak 4 orang.
Alat yang digunakan untuk menjaring data adalah berupa lampiran pertanyaan
daftar wawancara. Data yang terkumpul dijadikan dalam bentuk matriks menurut
variabel yang diteliti, kemudian diuraikan secara kualitatif untuk mengetahui
uraian pengetahuan dan pandangan narasumber tentang analisis bahan bubur
pedas sebagai warisan kuliner Melayu Stabat dan Tanjungbalai.
Hasil penelitian ini adalah (1) pengetahuan masyarakat Melayu tentang
bubur pedas masih sangat kental akan tetapi walaupun sama-sama dari rumpun
Melayu untuk pendapat mengenai asal-usul bubur pedas sangat berbeda dan
pengetahuan masing-masing narasumber itu sendiri bukan dari tingkat pendidikan
melainkan dari pengetahuan yang berasal dari turun temurun, (2) untuk setiap
daerah memiliki perbedaan dari segi bahan-bahan, dan juga pengolahan,
sedangkan dalam penyajiannya tidak ada yang berbeda baik dari Stabat dan
Tanjungbalai. Pada daerah Stabat bahan-bahannya menggunakan banyak rempah
dan rimpang-rimpangan, sedangkan untuk daerah Tanjungbalai bahan-bahan
tersebut masih dalam keadaan segar dan tidak terlalu banyak menggunakan
rempah-rempah dan rimpang-rimpangan, dan (3) untuk pengolahannya, daerah
Stabat lebih memilih mengeringkan bahan-bahan seperti rimpang-rimpangan yang
kemudian dihaluskan bersamaan dengan rempah-rempah yang memang sudah
kering dan kemudian perebusan dimasukkan secara bersamaan. Alasan untuk
pengeringan bahan-bahan tersebut adalah agar penyimpanan dalam waktu lama
tidak akan mudah rusak, sedangkan untuk pemasakan yang dilakukan bersamaan
agar semua bahan yang dimasak akan matang secara merata. Untuk daerah
Tanjungbalai bahan-bahan yang digunakan masih dalam keadaan segar dan juga
dalam perebusannya memiliki beberapa tahap. Alasan menggunakan bahan-bahan
segar agar bubur pedas lebih memiliki aroma yang segar serta dalam
pengolahannya memiliki beberapa tahap agar semua bahan-bahan tersebut matang
secara bersamaan.
Perbedaan penelitian Sartika dan Siti Wahidah dengan penelitian ini
adalah penelitian Sartika dan Siti Wahidah membahas mengenai kebermaknaan
bahan bubur pedas yang merupakan salah satu kuliner MelayuTanjungbalai
sedangkan penelitian ini membahasmengenai leksikon kuliner MTB.
2.3.7 Keterkaitan Metafora dengan Lingkungan Alam pada Komunitas
Bahasa Aceh Di Desa Trumon Aceh Selatan: Kajian Ekolinguistik
(Nuzwaty, 2014)
Dalam penelitian ini ada beberapa tujuan penelitian yaitu pertama,
menganalisis dan mendeskripsikan keterkaitan metafora dengan lingkungan alam
pada
komunitas
bahasa
di
Desa
Trumon.
Kedua,
menganalisis
dan
mendeskripsikan klasifikasi metafora. Ketiga, menganalisis dan menemukan
karakteristik metafora dikaitkan dengan lingkungan alam Desa Trumon. Metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif kualitatif. Teori
yang digunakan dalam penelitian ini adalah kolaborasi dari teori ekolinguistik
dengan tiga dimensi sosial praksis, parameter ekolinguistik (keberagaman,
keterhubungan, lingkungan), dan teori metafora konseptual kognitif linguistik.
Penelitian ini menemukan bahwa metafora yang digunakan oleh
masyarakat bahasa di Desa Trumon terbentuk dari sifat alamiah flora dan fauna
yang ada di lingkungan alam sebagai ranah sumber dipetakan kepada manusia dan
sifat atau perilaku manusia tersebut sebagai ranah target, keterhubungan antara ke
dua ranah tersebut diproses di dalam kognitif penggunaannya dan pengguna
metafora tersebut disepakati secara konvensional oleh anggota masyarakat bahasa
tersebut. Ditemukan pula bahwa pada umumnya metafora di Desa Trumon
terbentuk dari ranah sumber berdasarkan pengalaman tubuh dan pengalaman
inderawi pengguna bahasa tersebut. Karakteristik metafora yang digunakan di
Desa Trumon merupakan metafora konseptual yang terbentuk secara konseptual
alamiah dari unsur-unsur bahasa dan kognitif manusia melalui tiga dimensi sosial
praksis dan dapat pula digambarkan dalam hubungan ontologi dan epistemik.
Kontribusi penelitian ini terhadap penelitian yang akan dilakukan adalah
memberikan kemudahan dalam hal informasi mengenai tiga dimensi sosial
praksis. Perbedaan penelitian Nuzwaty dengan penelitian ini adalah penelitian
Nuzwaty membahas mengenai keterkaitan metafora dengan lingkungan alam,
sedangkan penelitian ini membahas mengenai leksikon kuliner MTB.
2.3.8 Khazanah Ekoleksikal, Sikap, dan Pergeseran Bahasa Melayu Serdang:
Kajian Ekolinguistik (Faridah, 2014)
Dalam penelitian ini ada beberapa tujuan penelitian yaitu untuk (1)
menganalisis khazanah leksikal BMS, (2) menganalisis perubahan lingkungan dan
pilihan bahasa, (3) membuktikan hubungan antara pengetahuan dan sikap penutur,
dan (4) menganalisis sikap bahasa dan pergeseran bahasa serta faktor-faktor
penyebab terjadi pergeseran. Metode yang digunakan dalam metode kualitatif dan
kuantitatif. Teori yang digunakan dalam penelitian ini untuk mengkaji khazanah
leksikal
dari
disiplin
ilmu
Ekolinguistik
adalah
interrelasi,
interaksi,
interdepedensi, keberagaman dan lingkungan.
Penelitian ini menemukan lima temuan yaitu (1) leksikal umum flora
dalam BMS adalah kelambir yang menurunkan 27 leksikon khusus, (2) leksikal
umum fauna yang diacu adalah ayam kampung yang memiliki 9 leksikal khusus
turunan, (3) lingkungan penutur BMS pada mulanya menggunakan BMS dan hal
tersebut disebabkan oleh faktor ecoregion yang mendukung pada saat itu, (4)
terdapat hubungan yang tidak signifikan antara pengetahuan dan sikap diantara
para penutur dari kalangan usia muda, (5) kedudukan BMS mengalami pergeseran
dalam penggunaannya di masyarakat da terdapat delapan faktor penyebab.
Kontribusi penelitian ini terhadap penelitian yang akan dilakukan adalah
memberikan kemudahan dalam hal informasi mengenai teori ekolinguististik
Haugen. Perbedaan penelitian Faridah dengan penelitian ini adalah penelitian
Faridah membahas mengenai khazanah ekoleksikal sedangkan penelitian ini
membahas mengenai leksikon kuliner MTB.
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORETIS
Penelitian ini bertitik tolak dari perspektif ekolinguistik. Menurut Mbete
(2009:2),“ dalam perspektif ekolinguistik, bahasa dan komunitas penuturnya
dipandang sebagai organisme hidup secara bersistem dalam suatu kehidupan,
bersama organisme-organisme lainnya.” Teori-teori yang digunakan dalam
penelitian ini merupakan paduan teori linguistik dan ekologi, sebagaimana
dinyatakan oleh Fill (1993:126) dalam Lindo dan Simonsen (2000:40) bahwa
ekolinguistik merupakan sebuah payung bagi semua penelitian mengenai bahasa
yang ditautkan dengan ekologi “ecolinguistics is an umbrella term for ... all
approaches in which the study of language (and language) is in any way
combined with ecology.” Sejumlah teori linguistik yang digunakan dalam
penelitian ini mencakup teori sosiolinguistik, semantik, dan leksikon.
Pada bab ini juga akan diuraikan konsep, kerangka teori, dan penelitian
terdahulu
yang
berkaitan
dengan
penelitian
“LeksikonKuliner
MelayuTanjungbalai: Kajian Ekolingusitik”.
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Leksikon
Leksikon adalah koleksi leksem dalam suatu bahasa. Dalam leksikon
terdapat kajian yang meliputi tentang apa yang dimaksud dengan kata, struktur
kosakata, pembelajaran kata, penggunaan dan penyimpanan kata, sejarah dan
evolusi kata (etimologi), hubungan antarkata, serta proses pembentukan kata pada
suatu bahasa. Dalam penggunaan sehari-hari leksikon dianggap sebagai sinonim
kamus atau kosakata. Hal ini sejalan dengan apa yang dinyatakan Surbakti
(2012:11) dalam temuannya tentang konsep ekologi kesungaian.
Leksikon didefenisikan sebagai “kosakata, komponen bahasa yang
memuat semua informasi tentang makna dan pemakaian kata dalam bahasa;
kekayaan kata yang dimiliki suatu bahasa”. KBBI (2008:805).Chaer (2007:5)
mengatakan bahwa istilah leksikon berasal dari kata Yunani Kuno yang berarti
‘kata’, ‘ucapan’, atau ‘cara berbicara’. Kata leksikon seperti ini sekerabat dengan
leksem, leksikografi, leksikograf, leksikal, dan sebagainya. Sebaliknya, istilah
kosakata adalah istilah terbaru yang muncul ketika kita sedang giat-giatnya
mencari kata atau istilah tidak berbau barat.
Selanjutnya Sibarani (1997:4) membedakan leksikon dari perbendaharaan
kata, yaitu “leksikon mencakup komponen yang mengandung segala informasi
tentang kata dalam suatu bahasa seperti perilaku semantis, sintaksis, morfologis,
dan fonologisnya, sedangkan perbendaharaan kata lebih ditekankan pada
kekayaan kata yang dimiliki seseorang atau sesuatu bahasa”.
2.1.2 Bahasa dan Lingkungan
Terdapat hubungan yang nyata prihal pelbagai perubahan ragawi
lingkungan terhadap bahasa dan sebaliknya. Dalam tulisannya Language Ecology
and Environment, Muhlhausler (2001:3) menyebutkan, ada empat hal yang
memungkinkan hubungan antara bahasa dan lingkungan. Semuanya menjadi
subjek yang berbeda dari kajian linguistik pada satu waktu, atau pada waktu yang
lain. Keempat hubungan tersebut adalah (1) bahasa berdiri dan terbentuk
(Chomsky, Linguistik Kognitif); (2) bahasa dikonstruksi oleh alam (Marr);
(3)alam dikonstruksi bahasa; dan (4) bahasa saling berhubungan dengan alamkeduanya saling mengontruksi, tetapi jarang yang berdiri sendiri (ekolinguistik).
Lingkungan bahasa atau ekologi bahasa adalah ruang hidup, tempat hidup
bahasa-bahasa. Bahasa yang hidup ada pada guyub tutur dan secara nyata hadir
dalam komunikasi dan interaksi kegiatan baik lisan maupun tulisan. Ekologi
adalah ilmu tentang lingkungan hidup sedangkan linguistik adalah ilmu tentang
bahasa. Kerangka pandang ekologi, bandingkan misalnya ekolinguistik, menjadi
parameter yang membedakannya dengan cabang makrolinguistik lainnya (seperti
sosiolingistik, psikolinguistik, neurolinguistik, atau antropolinguistik), adalah (1)
interelasi (interrelationship), (2) lingkungan (environment), dan (3) keberagaman
(diversity) (Haugen dalam Fill and Muhlhausler, 2001:1).
Berdasarkan kerangka pandang itu, bahasa-bahasa dapat dikaji, di dalami
dan dimaknai secara khusus. Lingkungan hidup bahasa meniscayakan adanya
keberagaman dan kesalinghubungan dengan pemahaman bahwa di suatu
lingkungan atau kawasan memang hidup bahasa, namun bahasa hidup dalam
guyub tutur. Adalah kenyataan bahwa di suatu lingkungan hidup, secara khusus
lingkungan hidup manusia dalam suatu jejaring dan kebersaam sosial, hidup
beragam bahasa pula. Hal ini sejalan dengan pendapat Safir dalam Fill dan
Muhlhausler (eds) (2001:14), menyebutkan tiga bentuk lingkungan:
1. Lingkungan fisik yang mencakupi karakter geografis seperti topografi
sebuah negara (baik pantai, lembah dataran tinggi, maupun pegunungan,
keadaan cuaca dan jumlah curah hujan).
2. Lingkungan ekonomis ‘kebutuhan dasar manusia’ yang terdiri atas flora
dan fauna dan sumber mineral yang ada dalam daerah tersebut.
3. Lingkungan sosial yang melingkupi pelbagai kekuatan yang dalam
masyarakat yang membentuk kehidupan dan pikiran masyarakat satu sama
lain. Namun yang paling penting dari kekuatan sosial tersebut adalah
agama, standar etika, bentuk organisasi politik dan seni.
2.1.3 Warisan Kuliner Melayu
Kamus Besar Bahasa Indonesia memakai ‘warisan’ sebagai : sesuatu yang
diwariskan, seperti harta, nama baik, harta pusaka, sedangkan kuliner adalah
segala sesuatu yang berkaitan dengan pangan dan makanan mulai dari bahanbahan mentah sampai pada proses pengolahan dan penyajian. Menurut Steven
Labensky dalam Webster’s New World Dictionary Culinary of Arts adalah
“segala sesuatu yang berhubungan dengan aktivitas memasak dalam hal
penyiapan bahan-bahan pangan, pengolahan dan penyajian”.
Menurut Yuyun dan Rudy (2006) bahwa kuliner adalah cermin jujur,
setiap bangsa tidak sekedar lahir dan di alami secara politik akan tetapi dihayati
dengan perasaan yang begitu khas dan unik. Dalam sisi yang lain, kuliner adalah
wujud pencapaian estetika tentang bagaimana bangsa dalam rentang waktu sejarah
tertentu terbangun dengan semangat dan cita rasa, karena itu terdapat suatu
ungkapan yang mengatakan bahwa sekali-sekali jangan pernah mengatakan telah
mengenal sebuah bangsa, jika belum mengenal kulinernya. Ungkapan ini berlaku
bagi negara termasuk Indonesia, yang dikenal sebagai negara kepulauan yang
memiliki beraneka ragam suku, budaya dan adat istiadat.
Menurut Basyarsyah (2002), Melayu adalah adat istiadat dan Islam,
sedangkan
menurut
Kamus
Purwadarminta
Melayu
adalah
sekelompok
masyarakat seresam (resam=aturan-aturan adat yang menyertai kehidupan) dan
Melayu adalah nama suku dalam resam Melayu yang tidak diketahui lagi asalusul sukunya sebelum menyatu dengan Melayu.
Pada dasarnya dalam pengolahan masakan Melayu, bahan yang paling
utama digunakan terdiri atassantan kelapa, cabe, dan beras. Hidangan masyarakat
suku Melayu sangat terkenal mampu membangkitkan selera, bukan saja dari rasa
enak tetapi dari segi pedas dan juga penggunaan rempah-rempahnya. Makanan
Melayu sering digambarkan sebagai masakan pedas dan beraroma karena
memanfaatkan melting pot rempah-rempah dan tanaman hidup (Surya, 2010).
Pengolahan masakan Melayu menggabungkan bahan segar, seperti serai,
daun jeruk, daun kemangi, pala, kunyit, dan jahe. Tidak ketinggalan rempahrempah kering tradisional seperti jintan dan ketumbar digunakan bersama-sama
dengan rempah-rempah seperti lada, kapulaga, dan jintan serta bumbu rempahrempah alami.
Bumbu memiliki peran penting dalam mengolah masakan Melayu karena
berfungsi meningkatkan rasa makanan. Kombinasi bumbu rempah-rempah segar
dan kering biasanya ditumbuk bersama-sama di dalam lesung untuk membuat
bubuk halus dan dimasak dalam minyak dengan ditambahkan santan segar sebagai
bahan utama dalam segala jenis gulai atau masakan lemak.
2.1.4 Nilai Budaya dan Kearifan Lingkungan
2.1.4.1 Nilai Budaya
Kebudayaan merupakan identitas suatu bangsa yang dapat membedakan
bangsa tersebut dengan bangsa lainnya. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 32
mengamanatkan bahwa negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di
tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam
memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. Dalam konteks ini,
pemerintah
menjamin
kebebasan
masyarakat
dalam
memelihara
dan
mengembangkan nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang di masyarakat
Indonesia. Pada era globalisasi, pemerintah berkewajiban melindungi dan
melayani masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai
budayanya agar tidak tergerus oleh nilai-nilai budaya global yang tidak sesuai
dengan karakter dan jati diri bangsa.
Kebudayaan menurut
Mahsun (2005: 2) terdiri atas nilai-nilai,
kepercayaan, dan persepsi abstrak tentang jagat raya yang berada di balik, dan
tercermin dalam perilaku manusia. Sejalan dengan itu Haviland (1999: 333)
mengemukakan pendapatnya bahwa kebudayaan adalah seperangkat peraturan
atau norma yang dimiliki bersama oleh para anggota masyarakat, dan apabila
dilaksanakan oleh para anggotanya, maka akan melahirkan perilaku yang
dipandang layak dan dapat diterima oleh seluruh anggota masyarakat tersebut.
Menurut Koentjaraningrat (2004: 85) nilai budaya terdiri atas konsepsikonsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebahagian besar warga masyarakat
mengenai hal-hal yang mereka anggap amat mulia.Sistem nilai yang ada dalam
suatu masyarakat dijadikan orientasi dan rujukan dalam bertindak. Oleh karena
itu, nilai budaya yang dimiliki seseorang memengaruhinya dalam menentukan
alternatif, cara-cara, alat-alat, dan tujuan-tujuan pembuatan yang tersedia.
Sementara itu, Sumaatmadja dalam Marpaung (2000) mengatakan bahwa pada
perkembangan, pengembangan, penerapan budaya dalam kehidupan, berkembang
pula nilai-nilai yang melekat di masyarakat yang mengatur keserasian,
keselarasan, serta keseimbangan. Nilai tersebut dikonsepsikan sebagai nilai
budaya.
Selanjutnya, bertitik tolak dari pendapat di atas, maka dapat dikatakan
bahwa setiap individu dalam melaksanakan aktivitas sosialnya selalu berdasarkan
serta berpedoman kepada nilai-nilai atau sistem nilai yang ada dan hidup dalam
masyarakat itu sendiri, artinya nilai-nilai itu sangat banyak memengaruhi tindakan
dan perilaku manusia, baik secara invidual, kelompok atau masyarakat secara
keseluruhan tentang baik buruk, benar salah, patut atau tidak patut. Suatu nilai
apabila sudah membudaya di dalam diri seseorang, maka nilai itu akan dijadikan
sebagai pedoman atau petunjuk di dalam bertingkah laku. Hal ini dapat dilihat
dalam kehidupan sehari-hari, misalnya budaya gotong royong, dan lain-lain. Jadi,
secara universal, nilai itu merupakan pendorong bagi seseorang dalam mencapai
tujuan tertentu.
Jadi dapat disimpulkan bahwa nilai budaya adalah suatu bentuk konsepsi
umum yang dijadikan pedoman dan petunjuk di dalam bertingkah laku baik secara
individual, kelompok atau masyarakat secara keseluruhan tentang baik buruk,
benar salah, patut atau tidak patut.
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Teori Ekolinguistik
Ekolinguistik adalah kajian interdisipliner yang mengkaitkan ekologi dan
linguistik diawali pada tahun 1970-an ketika Einar Haugen (1972) menciptakan
paradigma ‘ekologi bahasa’. Dalam pandangan Haugen, ekologi bahasa adalah kajian
tentang interaksi bahasa dan lingkungannya. Dalam konteks ini, Haugen
menggunakan konsep lingkungan bahasa secara metaforis, yakni lingkungan
dipahami sebagai masyarakat pengguna bahasa, sebagai salah satu kode bahasa.
Bahasa berada hanya dalam pikiran penuturnya, dan oleh karenanya bahasa hanya
berfungsi
apabila
digunakan
untuk
menghubungkan
antarpenutur,
dan
menghubungkan penutur dengan lingkungannya, baik lingkungan sosial ataupun
lingkungan alam. Dengan demikian, ekologi bahasa ditentukan oleh orang-orang
yang mempelajari, menggunakan, dan menyampaikan bahasa tersebut kepada orang
lain (Haugen, 2001:57).
Dua dekade setelah diciptakannya paradigma ‘ekologi bahasa’, barulah
muncul istilah ekolinguistik ketika Halliday (1990)pada konferensi AILA
memaparkan elemen-elemen dalam sistem bahasa yang dianggap ekologis
(’holistic’ system) dan tidak ekologis (’fragmented’ system). Berbeda dengan
Haugen, Halliday menggunakan konsep ekologi dalam pengertian non-metaforis,
yakni ekologi sebagai lingkungan biologis. Halliday mengkritisi bagaimana
sistem bahasa berpengaruh pada perilaku penggunanya dalam mengelola
lingkungan. Dalam tulisannya yang berjudul “New Ways of Meaning”, Halliday
(2001) menjelaskan bahwa bahasa dan lingkungan merupakan dua hal yang saling
mempengaruhi. Perubahan bahasa, baik di bidang leksikon maupun gramatikal,
tidak dapat dilepaskan dari perubahan lingkungan alam dan sosial (kultural)
masyarakatnya. Di satu sisi, perubahan lingkungan berdampak pada perubahan
bahasa, dan di sisi lain, perilaku masyarakat terhadap lingkungannya dipengaruhi
oleh bahasa yang mereka gunakan. Kajian terhadap hubungan dialektika antara
bahasa dan lingkungannya telah melahirkan topik-topik penelitian dibawah
payung ekolinguistik, dan sejak saat itu pula cakupan aplikasi konsep ekologi
dalam linguistik berkembang dengan pesat, baik di bidang pragmatik, analisis
wacana, linguistik antropologi, linguistik teoretis, pengajaran bahasa, dan
berbagai cabang linguistik lainnya (Fill dan Muhlhausler, 2001:1).
Walaupun kajian tentang interelasi bahasa dan lingkungannya telah
muncul sejak tahun 1970-an, pendekatan teoretis dan model analisis dalam kajian
ekolinguistik baru diformulasikan pada tahun 1990-an, ketika Jorgen Chr Bang
dan Jorgen Door (1993) mengenalkan teori dialektikal ekolinguistik. Melalui
Kelompok Penelitian Ekologi, Bahasa, dan Ideologi (ELI/the Ecology, Language,
and Ideology Research Group) yang berpusat di Universitas Odense, Denmark,
Bang dan Door mengenalkan kerangka teoretis ekolinguistik dialektikal.
Kerangka teoretis ini menarik untuk dicermati mengingat ekolinguistik yang
sebelumnya merupakan istilah payung (umbrella term) dari berbagai pendekatan
teori linguistik (Bundsgaard dan Steffensen, 2000:9), ternyata dapat memiliki
kerangka teoretis tersendiri, yakni teori linguistik dialektikal atau ekolinguistik
dialektikal. Kebaruan dari kerangka teoretis ini terletak di antaranya pada
penggunaan konsep praksis sosial sebagai lingkungan bahasa, yang mengacu pada
tiga dimensi, yakni dimensi ideologis, dimensi sosiologis, dan dimensi biologis.
Menurut pandangan ekolinguistik dialektikal atau linguistik dialektikal
(dialectical linguistics) (Steffensen, 2007), bahasa merupakan bagian yang
membentuk dan sekaligus dibentuki oleh praksis sosial.Bahasa merupakan produk
sosial dari aktivitas manusia dan pada saat yang sama bahasa juga mengubah dan
memengaruhi aktivitas manusia atau praksis sosial. Dengan demikian, terdapat
hubungan dialektikal antara bahasa dan praksis sosial. Konsep praksis sosial
dalam konteks ini mengacu pada semua tindakan, aktifitas dan perilaku
masyarakat, baik terhadap sesama masyarakat maupun terhadap lingkungan alam
di sekitarnya. Dalam teori dialektikal, praksis sosial mencakup tiga dimensi
praksis sosial, yakni
1. Dimensi ideologis, yaitu adanya ideologi atau adicita masyarakat misalnya
ideologi kapitalisme yang disangga pula dengan ideologi pasar sehingga perlu
dilakukan aktivitas terhadap sumber daya lingkungan, seperti muncul istilah
dan wacana eksploitasi, pertumbuhan, keuntungan secara ekonomis. Jadi ada
upaya untuk tetap mempertahankan, mengembangkan, dan membudidayakan
jenis ikan atau tumbuhan produktif tertentu yang bernilai ekonomi tinggi dan
kuat,
2. Dimensi sosiologis, yakni adanya aktivitas wacana, dialog, dan diskursus sosial
untuk mewujudkan ideologi tersebut. Dalam dimensi ini bahasa merupakan
wujud praktik sosial yang bermakna, dan
3. Dimensi biologis, berkaitan dengan adanya diversivitas (keanekaragaman)
biota danau (atau laut, ataupun darat) secara berimbang dalam ekosistem, serta
dengan tingkat vitalitas spesies dan daya hidup yang berbeda antara satu
dengan yang lain; ada yang besar dan kuat sehingga mendominasi dan
“menyantap” yang lemah dan kecil, ada yang kecil dan lemah sehingga
terpinggirkan dan termakan. Dimensi biologis itu secara kegiatan terekam
secara leksikon dalam khazanah kata setiap bahasa sehingga entitas-entitas itu
tertandakan dan dipahami. (Lindo dan Bundsgaard, 2000:10-11)
Ekolinguistik merupakan studi hubungan timbal balik yang bersifat
fungsional. Dua parameter yang hendak kita hubungkan adalah bahasa dan
lingkungan. Bergantung pada perspektif yang digunakan baik ekologi bahasa
maupun bahasa ekologi. Kombinasi keduanya menghasilkan kajian ekolinguistik.
Ekologi
bahasa
mempelajari
dukungan
pelbagai
sistem
bahasa
yang
diperkenalkan bagi kelangsungan makhluk hidup, seperti halnya dengan faktorfaktor yang memengaruhi kediaman (tempat) bahasa-bahasa dewasa ini.
Haugen (1970), lihat Mbete (2009:11-12), mengatakan bahwa ruang
lingkup linguistik dalam payung ekologi bahasa diutarakan oleh Haugen berikut
ini: (1) linguistik historis komparatif; (2) linguistik demografi; (3) sosiolingustik;
(4) dialinguistik; (5) dialektologi; (6) filologi; (7) linguistik preskriptif; (8)
glotopolitik; (9) etnolinguistik, linguistik antropologi atau linguistik kultural
(cultural linguistics); dan (10) tipologi. Dari uraian tersebut kajian ini adalah
kajian preskriptif (leksikon) dan linguistik antropologi. Berdasarkan pembagian
Haugen tersebut, penelitian ini ada terkait dengan ruang kaji sosiolinguistik dan
linguistik perspektif.
Dalam lingkup kajian ekolinguistik, bahasa yang hidup dan digunakan
menggambarkan, mewakili, melukiskan (mempresentasikan secara simbolikkegiatanl) realitas di lingkungan, baik lingkungan ragawi maupun lingkungan
buatan manusia (lingkungan sosial-budaya). Hal tersebut mengimplikasikan
bahasa mengalami perubahan seiring dengan perubahan lingkungan ragawi dan
sosialnya, sebagaimana dinyatakan Liebert (2001) dalam Mbete (2009:7) bahwa
“... perubahan bahasa ... mempresentasikan perubahan ekologi.” Proses perubahan
pada bahasa tersebut berjalan secara bertahap dalam kurun waktu yang lama,
tanpa disadari oleh penuturnya, dan tidak dapat dihindari.
Perubahan pada bahasa itu tampak jelas teramati pada tataran leksikon.
Alasannya, kelengkapan leksikon dari suatu bahasa mencerminkan sebagian besar
karakter lingkungan ragawi dan karakteristik sosial serta budaya masyarakat
penuturnya. Sapir dalam Fill dan Muhlhausler (2001:2) menarik kesimpulan
bahwa dalam lingkup ekolinguistik, hubungan bahasa dan lingkungannya ada
pada tataran leksikon saja, bukan, misalnya, pada tataran fonologi atau morfologi.
Sehubungan dengan dasar konsep teori di atas maka sejumlah segi yang
dapat dibedah dan dikaji di dalamnya mencakupi.
1. Leksikon-leksikon bermakna dan berfungsi referensial, yakni khazanah
leksikon yang referensi nyatanya dapat dilacak, dijejaki, dibuktikan secara
empirik atau kasat mata, karena dapat ditemukan dilapangan, atau juga kendati
masih diingat (dalam kognisi warga masyarakat di sekitarnya) oleh penuturnya,
baik tua maupun muda, namun sesungguhnya biota atau makhluk hidup yang
diwadahi dalam bahasa lokal itu, sudah terancam keberadaannya, populasinya
kian mengecil, bahkan ada yang sudah punah.
2. Secara kategorikelinguistikan, perangkat leksikon yang berkaitan dengan
lingkungan itu, khususnya lingkungan alam sifat dan karakternya jelas harus
dipilah-pilah
atau
dikategorikan.
Dengan
demikian,
klasifikasi
atau
kategorisasi menjadi nomina (tatanama), verba, dan ajektiva menjadi fokus
dalam kajian pula. Pasti ada nomina yang secara semantis tergolong bendabenda mati tak bergerak, makhluk hidup (non-insani), seperti nama-nama
fauna, hewan/ binatang dan tumbuhan (flora) apa saja yang digunakan dalam
kuliner MTB dalam bahasa lokal (MTB). Dikaji pula atau ditemukan pula, jika
ada, nama-nama (nomina) hewan dan tumbuhan yang habitatnya atau
lingkungan hidupnya hanya ada di daerah kota Tanjungbalai. Demikian juga
pasti cukup banyak tanaman lokal yang ditemukan dalam bahasa lokal,
meskipun sebagiannya “tinggal ingatan” orang tua-tua, namun sudah tidak ada
lagi di daerah tersebut.
3. Pertanyaan lebih kritis lagi dapat diajukan pula sebagai fokus kajian lebih
dalam yakni, mengapa sejumlah flora dan fauna yang menurut cerita atau
tuturan generasi tua, sudah tidak ada lagi dalam realita di lingkungan daerah
tersebut?
Selain
penghilangan
karena
perburuan
atau
penangkapan,
pencemaran karena menggunakan racun misalnya, semuanya itu dapat
disingkap dalam kajian ini. Sebaliknya juga, apa saja yang tetap terpelihara,
sehingga populasi flora dan fauna di daerah tersebut tetap ada dan terjaga.
2.2.2 Ekolinguistik dan Ekologi
Ekologi bahasa menurut Haugen, adalah
Language ecology may be defined as the study of interactions between
any given language and its environment (Haugen, 1997, dalam Peter,
1996:57).
Ekologi bahasa dapat didefinisikan sebagai studi tentang interaksi
antarbahasa yang ada dengan lingkungannya (terjemahan penulis)
Fill (1993:126) dalam Lindo & Bundsgaard (eds.) (2000)
mendefinisikan ekolinguistik sebagai berikut.
Ecolinguistics is an umbrella term for ‘[...] all approaches in which
the study of language (and language) is in any way combined with
ecology’.
Ekolinguistik merupakan payung istilah terhadap ‘[...] semua
pendekatan studi bahasa (dan bahasa-bahasa) yang dikombinasikan
dengan ekologi (terjemahan penulis)
Sementara itu, Crystal (2008:161-162) dalam kamus A Dictionary of
Linguistics and Phonetics 6th Edition, menjelaskan:
Ecolinguistics (n.) In linguistics, an emphasis-reflecting the nation of
ecology in biological studies-in which the interaction between
language and the cultural environment is seen as central; also called
the ecology of language, ecological linguistics, and sometimes green
lingusitics. An ecolinguistic approach highlights the value of linguistic
diversity in the world, the importance if individual and community
linguistic rights, anf the role of languange attitudes. Language
awareness language variety, and language change in fostering a
culture of communicative peace.
Ekolingustik (nomina) dalam linguistik, suatu penekanan yang
mencerminkan gagasan ekologi dalam studi biologis-dimana interaksi
antara bahasa dan lingkungan budaya dipandang sebagai inti; juga
disebut dengan ekologi bahasa. Linguistik ekologi dan kadang-kadang
linguistik hijau. Pendekatan ekolinguistik menyoroti nilai keragaman
linguistik di dunia, pentingnya hak linguistik dari individu dan
masyarakat, peranan dari sikap bahasa, kesadaran bahasa, ragam
bahasa, dan perubahan bahasa dalam membina budaya perdamaian
yang komunikatif).
Sementara itu, istilah ekologi berasal dari bahasa Yunani oikos, yang
berarti house, man’s immediate surroundings. Ricklefs (1976:1) dalam bukunya
The Economy of Nature A Textbook in Basic Ecology mendefinisikan ekologi
sebagai berikut
Ecology is the study of plants and animals, as individuals and together
in populations and biological communities, in relation to their
environments – the physical, chemical, and biological characteristics
of their surroundings.
Ekologi merupakan studi yang mempelajari tumbuh-tumbuhan dan
hewan-hewanan sebagai individu dan secara bersamaan dalam
populasi dan komunitas biologis dalam kaitannya dengan
lingkungannya – fisik, kimia, dan karakteristik biologis
lingkungannya (terjemahan penulis)
Disamping itu, Haeckel (1870) dalam Ricklefs (1976:2) menerangkan
“By ecology, ”he wrote, “we mean the body of knowledge concerning
the economy of nature – the investigation of the total relations of the
animal both to its organic and to its inorganic environment; including
above all, its friendly and inimcal relation with those animals and
plants with ehich it come directly or indirectly in contact – in a word,
ecology is the study of all the complex interrelations referred to by
Darwin as the conditions of the struggle for existence.”
terkait ekologi, ‘beliau menulis “kita artikan pokok ilmu pengetahuan
mengenai ekonomi alam – penelitian hubungan mutlak dari hewan
baik lingkungan organik maupun non-organik; termasuk secara
keseluruhan, keramahtamahannya dan hubungan inimcal dengan
hewan-hewan tersebut dan tanaman-tanaman dengan ehich yang
datang dalam kontak secara langsung atau tidak langsung – dalam kata
lain, ekologi adalah studi keseluruhan hubungan intra yang kompleks
yang dirujuk Darwin sebagai kondisi perebutan eksistensi”
(terjemahan penulis)
Dengan demikian, kajian ekolinguistik lebih melihat tautan ekosistem
yang merupakan bagian dari sistem kehidupan manusia (ekologi) dengan bahasa
yang dipakai manusia dalam berkomunikasi dalam lingkungannya (linguistik).
Lingkungan tersebut adalah lingkungan ragawi berbahasa yang menghadirkan
pelbagai bahasa dalam sebuah masyarakat. Situasi dwi/ multi bahasa inilah yang
mendorong adanya interaksi bahasa. Lingkungan ragawi dengan pelbagai kondisi
sosial sangat memengaruhi penutur bahasa secara psikologis dalam penggunaan
bahasanya.
2.2.3 Semantik Leksikal
Dari segi semantis, “setiap kata memiliki makna sesuai dengan lingkungan
budaya bahasa bersangkutan” (Sibarani, 1997:7). Pembahasan makna dalam kata
merupakan kajian semantik leksikal. Makna kata itu dianggap sebagai satuan
mandiri, bukan makna kata dalam kalimat (Pateda, 2001:74). Jadi, menurut
semantik leksikal, makna satu kata sesuai dengan referennya, sesuai dengan hasil
observasi alat indera, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan
kita. Kata merupakan tumpuan dalam pembahasan semantik leksikal. Sweet
dalam Palmer (1976:37) membagi kata atas kata penuh (full words), kata tugas,
dan partikel (form words). Kata penuh mengandung makna tersendiri. Kata ini
bebas konteks kalimat sehingga mudah dianalisis. Misalnya, nomina, kegiatan,
adjektiva, dan adverbia. Kata tugas merupakan bentuk bebas yang terikat konteks
kalimat. Kata ini mengandung makna apabila berada dalam kalimat. Contohnya,
pronomina, numeralia, interogativa, demonstrativa, artikula, preposisi, konjungsi,
interjeksi. Partikel merupakan bentuk terikat yang melekat pada kata dasar dan
terikat pada konteks kalimat.
Semantik berkaitan dengan semiotik. Dalam semantik, kata disebut
lambang (symbol) sedangkan dalam semiotik lambang itu sendiri disebut tanda
(sign) (Pateda 2001:25). Sebagai pengguna bahasa, masyarakat dikelilingi oleh
tanda. Tanda-tanda itu mengandung makna. Dalam semiotik natural ditelaah
sistem tanda yang dihasilkan oleh alam (Pateda, 2001:31). Misalnya, kelapa yang
digongseng (disangrai) sudah berwarna kecoklatan menandakan bahwa kelapa
tersebut sudah masak dan dapat diangkat dari tempat pemasakan.
2.2.4Semantik Kognitif
Kognitivisme mengacu pada teori linguistik yang berdasar pada
pandangan tradisional tentang arah hubungan sebab akibat antara bahasa dan
pikiran (Lyons 1995: 97). Kognitivisme merupakan bagian dari linguistik
fungsional yang menawarkan prinsip yang sangat berbeda dari linguistik formal
dalam memandang bahasa. Secara eksternal, linguis fungsional berpendapat
bahwa prinsip penggunaan bahasa terwujudkan dalam prinsip kognitif yang
sangat umum; dan secara internal mereka berpendapat bahwa penjelasan linguistik
harus melampaui batas antara berbagai macam tingkatan analisis (Saeed 1997:
300). Misalnya, penjelasan tentang pola gramatikal tidak dapat hanya dianalisis
melalui prinsip sintaksis yang abstrak, tetapi juga melalui sisi makna yang
dikehendaki pembicara dalam konteks tertentu penggunaan bahasa (Saeed 1997:
300).
Penganut semantik kognitif berpendapat bahwa manusia tidak memiliki
akses langsung terhadap realitas, dan oleh karena itu, realitas sebagaimana
tercermin dalam bahasa merupakan produk pikiran manusia berdasarkan
pengalaman mereka berkembang dan bertingkah laku (Saeed 1997: 300). Dengan
kata lain, makna merupakan struktur konseptual yang dikonvensionalisasi (Saeed
1997: 300) dan bahasa merupakan cara eksternalisasi dari seluruh mekanisme
yang terdapat dalam otak (Jaszczolt 2002: 345). Proses konseptualisasi ini,
menurut penganut semantik kognitif, sangat dipengaruhi oleh metafora sebagai
cara manusia memahami dan membicarakan dunia. Selain itu, dalam semantik
kognitif juga ditelaah proses konseptual pembicara, meliputi viewpoint shifting,
figure-ground shifting, dan profiling (Saeed 1997: 302).
2.3 Penelitian Relevan
2.3.1 Leksikon Nomina Bahasa Gayo dalam Lingkungan Kedanauan Lut
Tawar: Kajian Ekolinguistik (Sukhrani, 2010)
Metode penelitian yang digunakan oleh Sukhrani adalah metode penelitian
kualitatif. Data leksikon nomina bahasa Gayo terkait dengan lingkungan ragawi
Lut Tawar diperoleh melalui dokumen tertulis, observasi nonpartisipan, dan
wawancara mendalam.Hasil penelitian ini adalah (1) saat ini sebagian besar
penutur bahasa Gayo pria dan wanita dari masing kelompok usia masih mengenal
dan sering mendengar maupun menggunakan leksikon nomina bahasa Gayo yang
berhubungan dengan lingkungan kedanauan Lut Tawar, (2) leksikon kedanauan
Lut Tawar yang diteliti tingkat pemahamannya lebih didominasi nomina karena
begitu beragam dan kayanya Lut Tawar akan nama biota dalam dan sekitar danau
dan nama alat tangkap ikan, dan (3) Leksikon nomina bahasa Gayo dalam
lingkungan kedanauan Lut Tawar sebagian besar masih dikenal dan digunakan
dalam berkomunikasi. Faktor penyebab kebertahanan leksikon nomina tersebut
adalah karena biodiversitas lingkungan sekitar danau, penutur dari masing-masing
kelompok usia masih berinteraksi dengan lingkungan ragawi yang beragam, dan
oenutur dari masing-masing kelompok usia masih sering berbahasa Gayo dalam
keseharian.
Penelitian Sukhrani memberikan kontribusi terhadap penelitian ini dalam
hal teori-teori ekolinguistik oleh Haugen. Perbedaan penelitian Sukhrani dengan
penelitian ini adalah penelitian Sukhrani membahas mengenai nomina bahasa
Gayo dalam lingkungan kedanauan Lut Tawarsedangkan penelitian ini tidak
terbatas pada nomina melainkan nomina, kegiatan, dan ajektivamengenai leksikon
kuliner MTB.
2.3.2Pengetahuan dan Sikap Remaja Terhadap Tanaman Obat Tradisional
di Kabupaten Buleleng dalam Rangka Pelestarian Lingkungan:
Sebuah Kajian Ekolinguistik (Rasna, 2010)
Penelitian yang dilakukan oleh Rasna dalam meneliti “Pengetahuan dan
Sikap Remaja Terhadap Tanaman Obat Tradisional di Kabupaten Buleleng dalam
Rangka
Pelestarian
Lingkungan:
Sebuah
Kajian
Ekolinguistik”
bersifat
eksploratif. Informasi diperoleh dengan teknik wawancara untuk memperoleh data
pengetahuan tanaman obat tradisional dengan bantuan kuesioner terstruktur.
Hasil penelitian menyimpulkan secara ekolinguistik adanya penyusutan
bentuk leksikal tumbuhan/ tanaman obat para remaja sehingga para remaja tidak
lagi mengenal bentuk leksikal sekapa(gadung), kusambi, nagasari, kundal,
antasari, bahkan tidak semua remaja tahu beluntas. Hal ini terjadi akibat: (a)
adanya perubahan sosiokultural, (b) perubahan sosioekologis secara fisik, dan (c)
faktor sosioekonomis.
Kontribusi penelitian ini terhadap penelitian yang akan dilakukan adalah
memberikan contoh bagaimana menganalisis kajian ekolinguistik pada tumbuhan
(flora). Perbedaan penelitian Rasna dengan penelitian ini adalah penelitian Rasna
membahas mengenai tanaman obat yang dikaji dalam kajian ekolinguistik
sedangkan penelitian ini membahas mengenai leksikon kuliner MTB.
2.3.3 Penyusutan Tutur dalam Masyarakat Gayo: Pendekatan Ekolinguistik
(Yusradi Usman, 2010)
Penyusutan Tutur dalam Masyarakat Gayo: Pendekatan Ekolinguistik
yang dilakukan oleh Yusradi Usman pada tahun 2010 menggunakan metode
penelitian kualitatif. Topik dan karakteristik masalah yang dirumuskan dengan
penelitian kaji tindak (action research).
Hasil penelitian ini adalah (1) konsep tutur dalam masyarakat Gayo;
munculnya tutur dalam masyarakat Gayo tidak berdiri sendiri melainkan ada
faktor sosial budaya yang merangkainya. Hal tersebut tidak terlepas dari nilai
budaya Gayo yang terdiri atas pelbagai nilai. Nilai-nilainya yang dimaksud adalah
imen (iman), mukemel (harga diri), tertip (tertib), setie (setia), semayang
gemasih(kasih sayang), mutentu (kerja keras), amanah (amanah), genap mupakat
(musyawarah), alang tulung (tolong menolong), dan bersikemelen (kompetitif).
Hubungan darah perkawinan, belah (klan), terjadinya kecelakaan, perkelahian,
membantu seseorang, dan mengadopsi anak merupakan perangkai sosial yang
membentuk tutur dalam masyarakat Gayo. (2) klasifikasi, bentuk, dan fungsi
tutur; tutur dalam masyarakat Gayo diklasifikasikan menjadi 1) patut atau
muperdu (bentuk tutur yang sudah baku); 2) museltu (terbentuk akibat faktor
tertentu); 3) mantut (peralihan tutur ke bentuk yang sebenarnya/ seharusnya); 4)
uru-uru (tindak betutur didorong akibat ikut-ikutan); 5) gasut (pemakaian tutur
yang kerap berubah-ubah. (3) penyusutan tutur; perubahan sosio-ekologis yang
terjadi didataran tinggi tanoh Gayo sangat mempengaruhi penyusutan tutur.
Terlebih di Takengon yang dikenal dengan pluralitas etnik yang lebih dari delapan
etnik. Keragaman situasi itu membuat terjadinya kontak antar etnik, bahasa, dan
budaya. Kondisi tersebut sangat mempengaruhi masyarakat Gayo baik secara
psikologis maupun secara sosial khususnya dalam bertutur. (4) bentuk tutur baru
(variasi tutur); empat hal yang terjadi perihal tutur, yaitu a) tetap, b) jarang, dan c)
tidak dipakainya lagi tutur, serta d) terciptanya bentuk tutur baru.
Penelitian Penyusutan Tutur dalam Masyarakat Gayo: Pendekatan
Ekolinguistik yang dilakukan oleh Yusrdi Usman, memberikan kontribusi dalam
hal teori-teori ekolinguistik. Perbedaan penelitian Usman dengan penelitian ini
adalah penelitian Usman mengenai penyusutan tutur sedangkan penelitian ini
pengetahuan guyub tutur terhadap leksikon kuliner MTB.
2.3.4 Ketahanan Khazanah Lingual Pertanian Guyub Tutur Bahasa Bima
dalam Perspekstif Ekolinguistik Kritis (Umiyati, 2011)
Penelitian ketahanan khazanah lingual pertanian guyub tutur bahasa Bima
dilakukan dengan menghimpun leksikon-leksikon, teks-teks tentang lingkungan
hidup, wacana-wacana, dokumen-dokumen, publikasi seta publikasi serta hasil
interview. Penelitian ini dilakukan di dua desa dan dua kelurahan yang tersebar di
dua kebupaten, yaitu Kabupaten Bima dan Kabupaten Dompu.
Hasil penelitian ini menyimpulkan ketahanan khazanah lingual pada ranah
pertanian masih sangat terjaga, ditandai dengan kemunculan sejumlah leksikon
khas ranah pertanian dalam sejumlah metafora dan ungkapan-ungkapan yang lahir
dari kearifan lokal setempat. Dalam pandangan ekolinguistik pandangan green
grammar dijadikan sebagai bentuk struktur yang ideal untuk menyelaraskan
kalimat/ klausa yang ada pada guyub tutur ini dengan alam.
Kontribusi penelitian ini terhadap penelitian yang akan dilakukan adalah
memberikan kemudahan dalam hal teori ekolinguistik yang terbilang baru di
Indonesia dalam usaha pelestarian lingkungan. Perbedaan penelitian Umiyati
dengan penelitian ini adalah penelitian Umiyati membahas mengenai bentuk
metafora dari sejumlah leksikon pertanian dan pandangan kajian green grammar
dalam ungkapan-ungkapan pelestarian alam lingual pertanian guyub tutur bahasa
Bima, sedangkan penelitian ini membahas mengenai leksikon kuliner MTB.
2.3.5Pergeseran Leksikon Kuliner Melayu Serdang Terhadap Remaja
Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai (Sinar, T, S, 2011)
Penelitian ini bertujuan menemukan dan mendeskripsikan leksikon kuliner
nomina bahasa Melayu Serdang, untuk diwariskan sebagai pengetahuan dan
pemahaman generasi muda dan mengenai leksikon kuliner nomina Kesultanan
Serdang dan
memberikan
informasi
yang
merujuk
kepada pentingnya
keterpeliharaan lingkungan Kesultanan Serdang sehingga masyarakat masa kini
yang bermukin disekitarnya bertanggung jawab dalam pemeliharaan lingkungan.
Saat ini generasi muda Melayu Serdang sudah mulai tidak mengenal lagi
pangan kuliner Melayu Serdang, dan lebih mengenal kuliner yang modern saat ini
yang cepat saji dan praktis. Metode yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan pendekatan dan metode kuantitatif dan kualitatif dengan instrumen
untuk pengumpulan data dilakukan di Kecamatan Perbaungan yang berada dalam
lingkungan Kesultanan Serdang masa lalu di Kabupaten Serdang Bedagai.
Penelitian ini menemukan beberapa pangan kuliner yang sudah mulai
tidak dikenal lagi seperti: anyang kepah, botok kampong, bubur lambuk, bubur
sup, gulai darat atau terung sembah, gulai pisang emas, gulai kacang hijau
dengan daun buas-buas, gulai lambuk kemuna, gulai telur terubuk, pekasam
kepah, pekasam maman, rendang santan telur terubuk, emping padi, senat,
sambal lengkong, sambal tempoyak durian, sambal terasi asam sundai, sambal
belacan asam binjei, kue danagi, halwa masekat, lubuk haji pantai surga,
lempeng putih, kueh makmur, kueh pakis, kueh pelita daun, tepung gomak, cucur
badak, kueh cara, halwa renda, halwa cermai, halwa rukam.
Kontribusi penelitian ini terhadap penelitian yang akan dilakukan adalah
memberikan kemudahan dalam hal informasi berbagai jenis kuliner khususnya
kuliner Melayu. Perbedaan penelitian Sinar dengan penelitian ini adalah penelitian
Sinar membahas mengenai leksikon kuliner Melayu Serdang, sedangkan
penelitian ini membahas mengenai leksikon kuliner MTB.
2.3.6 Analisis dan Kebermaknaan Bahan Bubur Pedas Sebagai Warisan
Kuliner Melayu Stabat dan Tanjungbalai (Sartika dan Siti Wahidah,
2013)
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Analisis dan Kebermaknaan
Bahan Bubur Pedas Sebagai Warisan Kuliner Melayu Stabat dan Tanjungbalai
baik dari segi pengetahuan, bahan, pengolahan dan penyajian. Subjek penelitian
ini dilakukan terhadap 4 narasumber yang dibagi menjadi 2 orang untuk daerah
Stabat dan 2 orang juga untuk daerah Tanjungbalai. Penelitian ini merupakan
penelitian deskriptif kualitatif yang bersifat eksploratif, yang menggambarkan
pengetahuan masyarakat tentang bubur pedas baik di daerah Stabat maupun
Tanjungbalai. Untuk merealisasikan tujuan penelitian di atas, metode yang
digunakan pada penelitian ini adalah metode wawancara mendalam (Indepth
Interview). Narasumber dipilih dengan system non random (Non Probability
Sampling) dengan teknik Purposive Sampling (Pengambilan Sampling atas
pertimbangan tertentu oleh peneliti sendiri/kepentingan sendiri) sebanyak 4 orang.
Alat yang digunakan untuk menjaring data adalah berupa lampiran pertanyaan
daftar wawancara. Data yang terkumpul dijadikan dalam bentuk matriks menurut
variabel yang diteliti, kemudian diuraikan secara kualitatif untuk mengetahui
uraian pengetahuan dan pandangan narasumber tentang analisis bahan bubur
pedas sebagai warisan kuliner Melayu Stabat dan Tanjungbalai.
Hasil penelitian ini adalah (1) pengetahuan masyarakat Melayu tentang
bubur pedas masih sangat kental akan tetapi walaupun sama-sama dari rumpun
Melayu untuk pendapat mengenai asal-usul bubur pedas sangat berbeda dan
pengetahuan masing-masing narasumber itu sendiri bukan dari tingkat pendidikan
melainkan dari pengetahuan yang berasal dari turun temurun, (2) untuk setiap
daerah memiliki perbedaan dari segi bahan-bahan, dan juga pengolahan,
sedangkan dalam penyajiannya tidak ada yang berbeda baik dari Stabat dan
Tanjungbalai. Pada daerah Stabat bahan-bahannya menggunakan banyak rempah
dan rimpang-rimpangan, sedangkan untuk daerah Tanjungbalai bahan-bahan
tersebut masih dalam keadaan segar dan tidak terlalu banyak menggunakan
rempah-rempah dan rimpang-rimpangan, dan (3) untuk pengolahannya, daerah
Stabat lebih memilih mengeringkan bahan-bahan seperti rimpang-rimpangan yang
kemudian dihaluskan bersamaan dengan rempah-rempah yang memang sudah
kering dan kemudian perebusan dimasukkan secara bersamaan. Alasan untuk
pengeringan bahan-bahan tersebut adalah agar penyimpanan dalam waktu lama
tidak akan mudah rusak, sedangkan untuk pemasakan yang dilakukan bersamaan
agar semua bahan yang dimasak akan matang secara merata. Untuk daerah
Tanjungbalai bahan-bahan yang digunakan masih dalam keadaan segar dan juga
dalam perebusannya memiliki beberapa tahap. Alasan menggunakan bahan-bahan
segar agar bubur pedas lebih memiliki aroma yang segar serta dalam
pengolahannya memiliki beberapa tahap agar semua bahan-bahan tersebut matang
secara bersamaan.
Perbedaan penelitian Sartika dan Siti Wahidah dengan penelitian ini
adalah penelitian Sartika dan Siti Wahidah membahas mengenai kebermaknaan
bahan bubur pedas yang merupakan salah satu kuliner MelayuTanjungbalai
sedangkan penelitian ini membahasmengenai leksikon kuliner MTB.
2.3.7 Keterkaitan Metafora dengan Lingkungan Alam pada Komunitas
Bahasa Aceh Di Desa Trumon Aceh Selatan: Kajian Ekolinguistik
(Nuzwaty, 2014)
Dalam penelitian ini ada beberapa tujuan penelitian yaitu pertama,
menganalisis dan mendeskripsikan keterkaitan metafora dengan lingkungan alam
pada
komunitas
bahasa
di
Desa
Trumon.
Kedua,
menganalisis
dan
mendeskripsikan klasifikasi metafora. Ketiga, menganalisis dan menemukan
karakteristik metafora dikaitkan dengan lingkungan alam Desa Trumon. Metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif kualitatif. Teori
yang digunakan dalam penelitian ini adalah kolaborasi dari teori ekolinguistik
dengan tiga dimensi sosial praksis, parameter ekolinguistik (keberagaman,
keterhubungan, lingkungan), dan teori metafora konseptual kognitif linguistik.
Penelitian ini menemukan bahwa metafora yang digunakan oleh
masyarakat bahasa di Desa Trumon terbentuk dari sifat alamiah flora dan fauna
yang ada di lingkungan alam sebagai ranah sumber dipetakan kepada manusia dan
sifat atau perilaku manusia tersebut sebagai ranah target, keterhubungan antara ke
dua ranah tersebut diproses di dalam kognitif penggunaannya dan pengguna
metafora tersebut disepakati secara konvensional oleh anggota masyarakat bahasa
tersebut. Ditemukan pula bahwa pada umumnya metafora di Desa Trumon
terbentuk dari ranah sumber berdasarkan pengalaman tubuh dan pengalaman
inderawi pengguna bahasa tersebut. Karakteristik metafora yang digunakan di
Desa Trumon merupakan metafora konseptual yang terbentuk secara konseptual
alamiah dari unsur-unsur bahasa dan kognitif manusia melalui tiga dimensi sosial
praksis dan dapat pula digambarkan dalam hubungan ontologi dan epistemik.
Kontribusi penelitian ini terhadap penelitian yang akan dilakukan adalah
memberikan kemudahan dalam hal informasi mengenai tiga dimensi sosial
praksis. Perbedaan penelitian Nuzwaty dengan penelitian ini adalah penelitian
Nuzwaty membahas mengenai keterkaitan metafora dengan lingkungan alam,
sedangkan penelitian ini membahas mengenai leksikon kuliner MTB.
2.3.8 Khazanah Ekoleksikal, Sikap, dan Pergeseran Bahasa Melayu Serdang:
Kajian Ekolinguistik (Faridah, 2014)
Dalam penelitian ini ada beberapa tujuan penelitian yaitu untuk (1)
menganalisis khazanah leksikal BMS, (2) menganalisis perubahan lingkungan dan
pilihan bahasa, (3) membuktikan hubungan antara pengetahuan dan sikap penutur,
dan (4) menganalisis sikap bahasa dan pergeseran bahasa serta faktor-faktor
penyebab terjadi pergeseran. Metode yang digunakan dalam metode kualitatif dan
kuantitatif. Teori yang digunakan dalam penelitian ini untuk mengkaji khazanah
leksikal
dari
disiplin
ilmu
Ekolinguistik
adalah
interrelasi,
interaksi,
interdepedensi, keberagaman dan lingkungan.
Penelitian ini menemukan lima temuan yaitu (1) leksikal umum flora
dalam BMS adalah kelambir yang menurunkan 27 leksikon khusus, (2) leksikal
umum fauna yang diacu adalah ayam kampung yang memiliki 9 leksikal khusus
turunan, (3) lingkungan penutur BMS pada mulanya menggunakan BMS dan hal
tersebut disebabkan oleh faktor ecoregion yang mendukung pada saat itu, (4)
terdapat hubungan yang tidak signifikan antara pengetahuan dan sikap diantara
para penutur dari kalangan usia muda, (5) kedudukan BMS mengalami pergeseran
dalam penggunaannya di masyarakat da terdapat delapan faktor penyebab.
Kontribusi penelitian ini terhadap penelitian yang akan dilakukan adalah
memberikan kemudahan dalam hal informasi mengenai teori ekolinguististik
Haugen. Perbedaan penelitian Faridah dengan penelitian ini adalah penelitian
Faridah membahas mengenai khazanah ekoleksikal sedangkan penelitian ini
membahas mengenai leksikon kuliner MTB.