PENINGKATAN KEMAMPUAN PENALARAN MATEMATIS, KOMUNIKASI MATEMATIS DAN KECERDASAN EMOSIONAL MAHASISWA MELALUI PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH.

(1)

Halaman

HALAMAN JUDUL ………. i

HALAMAN PENGESAHAN ………... ii

PERNYATAAN ...………. iii

PERSEMBAHAN ...……….. iv

KATA PENGANTAR ………... v

ABSTRAK ...………. ix

ABSTRACT ...………... x

DAFTAR ISI ...………... xi

DAFTAR TABEL ………... xiii

DAFTAR GAMBAR ………... xxi

DAFTAR LAMPIRAN ...………. xxiii

BAB I PENDAHULUAN……….. 1

A. Latar Belakang Masalah……….. 1

B. Rumusan Masalah……… 16

C. Tujuan Penelitian ……… 18

D. Manfaat Penelitian ……….. 18

E. Definisi Operasional ….………. 19

BAB II KAJIAN PUSTAKA ……….. 21

A. Penalaran Matematis ……….. 21

B. Komunikasi Matematis ………... 30

C. Kecerdasan Emosional ……… 41

D. Pembelajaran Berbasis Masalah………... 49

E. Penelitian Relevan ……….. 70

F Hipotesis Penelitian ………. 77

BAB III METODE PENELITIAN …….……… 79

A. Desain Penelitian ……..……….. 79

B. SubjekPenelitian ………. 80

C. Pengembangan Instrumen ……….. 82

D. Pengembangan Perangkat Pembelajaran ……… 94

E. Prosedur Penelitian ………. 96


(2)

ii

A. Deskripsi Data ………. 101

1. Deskripsi KPM Mahasiswa ... 101

2. Deskripsi KKM Mahasiswa ……... 106

3. Deskripsi KE Mahasiswa ……… 110

B Hasil Pengujian Hipotesis ……….. 114

1. Kemampuan Penalaran Matematis (KPM) …………. 115

2. Kemampuan Komunikasi Matematis (KKM) ……… 127

3. Kecerdasan Emosional Mahasiswa ……… 138

C Pembahasan ……… 141

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, KETERBATASAN, DAN REKOMENDASI ………. 183

A. Simpulan ………. 183

B. Implikasi ……… 187

C. Rekomendasi ………... 194

DAFTAR PUSTAKA………. 197


(3)

iii

Tabel Judul Halaman

2.1. Level Kualitas Respon Menurut Biggs dan Collis...……... 29

3.1 Kaitan Antara Variabel Bebas, Variabel Terikat dan Variabel Kontrol ……….. 80

3.2. Subjek Penelitian ... 82

3.3. Kriteria Tingkat Reliabilitas……... 84

3.4. Kategori Daya Pembeda soal……... 85

3.5. Kategori Indeks Kesukaran Soal ... 86

3.6. Aturan Akademik Tentang Penilaian UNP ………... 87

3.7. Kriteria Kategori Kemampuan Awal Matematis (KAM) ... 87

3.8. Distribusi Mahasiswa berdasarkan kategori KAM, Pendekatan Pembelajaran dan kategori level PT……... 88

3.9. Uji Kesetaraan KAM Berdasarkan Pembelajaran ………. 88

3.10 Uji Perbedaan KAM Berdasarkan Level PT ………. 89

3.11. Proses Perhitungan Skor Skala Kecerdasan Emosional Mahasiswa untuk Pernyataan Negatif Nomor 1……... 93

3.12. Proses Perhitungan Skor Skala Kecerdasan Emosional Mahasiswa untuk Pernyataan positif Nomor 12…….. ... 93

3.13. Kriteria Kategori Kecerdasan Emosional ……… 93

3.14. Objek Validasi dan Metode Validasi Perangkat Pembelajaran……... 95

3.12. Hasil Validasi Pakar dan Praktisi terhadap Perangkat……... 96

3.13. Jadwal Pelaksanaan Penelitian……... 98

3.14 Klasifikasi Gain ………. 99

4.1 Data Pre-test, Post-test, dan N-Gain KPM Mahasiswa …………. 102


(4)

iv

4.3 Level Penalaran matematis Berdasarkan Pelevelan Biggs dan

Collis ………. 105

4.4 Data Pre-test, Post-test, dan N-Gain KKM Mahasiswa ………… 107

4.5 Rata-rata Capaian untuk setiap Kriteria KKM ……….. 109

4.6 Data Pre-test, Post-test, dan N-Gain KE Mahasiswa…... 111

4.7 Rata-rata Capaian untuk setiap indikator KE ... 113

4.8. Hasil uji normalitas data N-Gain KPM, KKM dan KE ... 114

4.9. Uji Signifikansi N-Gain KPM Mahasiswa Berdasarkan Pembelajaran untuk setiap Level PT…... 117

4.10 Uji Interaksi antara Faktor KAM, Pembelajaran, dan Level PT terhadap N-Gain KPM Mahasiswa ……….. 119

4.11 Uji Interaksi antara Faktor KAM dan Pembelajaran terhadap Peningkatan KPM Mahasiswa pada PT Level Tinggi …... 121

4.12 Uji Interaksi antara KAM dan Pembelajaran terhadap Peningkatan KPM Mahasiswa pada PT Level Sedang…... 122

4.13. Uji Perbedaan Peningkatan KPM berdasarkan KAM ... 125

4.14. Uji Perbedaan Peningkatan KPM berdasarkan Pembelajaran….... 126

4.15. Uji Perbedaan Peningkatan KPM berdasarkan Level PT…... 127

4.16 Uji Signifikansi Peningkatan KKM Mahasiswa berdasarkan Pembelajaran…... 129

4.17 Uji Interaksi antara faktor KAM, faktor Pembelajaran, dan Level PT terhadap peningkatan KKM Mahasiswa…... 131

4.18. Uji Interaksi antara faktor KAM dan faktor Pembelajaran terhadap Peningkatan KKM Mahasiswa pada PT Level Tinggi… 133 4.19. Uji Interaksi antara faktor KAM dan faktor Pembelajaran terhadap KKM Mahasiswa pada PT Level Sedang …... 134

4.20. Uji Signifikansi Perbedaan KKM berdasarkan KAM…... 136


(5)

v

4.22. Uji Perbedaan Peningkatan KKM berdasarkan Level PT……... 138 4.23. Uji Signifikansi Peningkatan KE Mahasiswa berdasarkan


(6)

vi

Gambar Judul Halaman

4.1. Diagram KPM Mahasiswa ………... 103

4.2. Diagram N-Gain KPM Mahasiswa ………... 103

4.3. Diagram KKM Mahasiswa …………... 108

4.4. Diagram N-Gain KKM Mahasiswa …………... 108

4.5. Diagram N-Gain KE Mahasiswa …………... 112

4.6. Interaksi antara Faktor KAM, Pembelajaran, dan Level PT terhadap N-Gain KPM Mahasiswa ……... 120

4.7. Interaksi antara Faktor KAM dan Pembelajaran terhadap KPM Mahasiswa pada PT Level Tinggi ... 122

4.8. Interaksi antara Faktor KAM dan Faktor Pembelajaran terhadap KPM Mahasiswa pada PT Level Sedang... 123

4.9. Interaksi antara factor KAM, Faktor Pembelajaran, dan Level PTterhadap N-Gain KKM Mahasiswa ... 132

4.10. Interaksi antara faktor KAM dan faktor Pembelajaran,terhadap KKM Mahasiswa pada PT level Tinggi... 134

4.11. Interaksi antara faktor KAM dan faktor Pembelajaran,terhadap KKM Mahasiswa pada PT level Sedang... 135


(7)

vii

Lampiran Judul Halaman

A-1. Lembar Pertimbangan... 205

A-2. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Data Ujicoba Tes Kemampuan Penalaran Matematis ... 214

A-3. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Data Ujicoba Tes Kemampuan Komunikasi Matematis ... 215

A-4 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Data Ujicoba Tes Kemampuan Awal Matematis ... 216

A-5 Hasil validasi Skala Kecerdasan Emosional ... 218

A-6 Skor Tiap Item Skala Kecerdasan Emosional ... 219

A-7. Kisi-kisi dan Tes Kemampuan Penalaran Matematis ... 220

A-8 Kisi-kisi dan Tes Kemampuan Komunikasi Matematis ... 222

B-1. Contoh Rencana Pelaksanaan PBL ... 225

B-2. Contoh Rencana Pelaksanaan PKV...…... 232

B-3. Contoh Lembar Kerja Mahasiswa (LKM) ………... 235

B-4 Kunci Jawaban Tes Kemampuan Penalaran Matematis ... 238

B-5 Kunci Jawaban Tes Kemampuan Komunikasi Matematis ... 242

C-1. Hasil Analisis Data Kemampuan Penalaran Matematis (KPM) ... 249

C-2. Hasil Analisis Data Kemampuan Komunikasi Matematis (KKM) ... 256

C-3. Hasil Analisis Data Kecerdasan Emosional (KE) ... 264

D Izin Penelitian ... 265


(8)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Saat ini pada umumnya orang sangat mungkin mendapatkan informasi dengan cara yang sangat cepat, mudah dan murah dari berbagai sumber. Informasi itu ada yang baik dan mungkin ada yang kurang baik. Agar seseorang dapat memilih dan memilah informasi yang diterima, ia memerlukan kemampuan berpikir dan bernalar yang memadai. Selain itu untuk dapat berbagi informasi dengan baik, seseorang juga sangat membutuhkan kemampuan berkomunikasi. Kemampuan-kemampuan ini tidak dapat muncul begitu saja, tetapi perlu terus dilatih dan dipertajam. Sekolah dan perguruan tinggi merupakan tempat yang tepat dan strategis untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan tersebut, proses pengembangan itu dapat diintegrasikan dalam setiap kegiatan pembelajaran.

Matematika merupakan ilmu yang sangat sarat dengan materi-materi yang dapat memicu berkembangnya kemampuan penalaran dan kemampuan berkomunikasi. Hal ini dikarenakan matematika adalah ilmu yang mempunyai karakteristik deduktif aksiomatik, yang memerlukan kemampuan berpikir dan bernalar untuk memahaminya. Selain itu matematika adalah bahasa yang universal dengan simbol yang unik dan terstruktur. Misalnya, dalam matematika untuk menyatakan jumlah + + + …digunakan lambang ∑ , dan semua orang memahami bahwa lambang ∑ itu menyatakan jumlah. Di seluruh dunia


(9)

orang dapat menggunakan bahasa matematika untuk mengkomunikasikan informasi, selain menggunakan bahasa nasionalnya.

Seperti telah disebutkan, matematika sarat dengan materi-materi yang dapat memicu berkembangnya kemampuan penalaran dan kemampuan berkomunikasi. Kemampuan kemampuan ini telah tertuang secara jelas dalam kurikulum pengajaran matematika yaitu Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sebagai salah satu kemampuan yang harus dimiliki oleh setiap siswa setelah mengikuti pembelajaran matematika. Kenyataan yang terjadi di lapangan kedua kemampuan ini masih belum berkembang dengan baik. Lemahnya kemampuan penalaran matematis siswa dapat dicermati melalui laporan The Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS 2003 dan 2007). Dalam TIMSS 2003 dilaporkan bahwa untuk salah satu soal yang berkaitan dengan penalaran matematis hanya sekitar 7% siswa Indonesia yang menjadi sampel mampu menjawab soal tersebut. Sedangkan siswa dari Singapura ada 44% yang mampu menjawab soal yang sama. Pada TIMSS 2007, untuk jenis soal yang sama ada 17% siswa Indonesia yang menjadi sampel mampu menjawab, sedangkan siswa Singapura ada 59%.

Data dari TIMSS bukanlah satu-satunya bukti tentang lemahnya kemampuan penalaran siswa. Informasi dari guru-guru di sekolah juga memberikan indikasi lemahnya kemampuan penalaran dan kemampuan komunikasi matematis siswa. Lemahnya kemampuan penalaran matematis siswa terlihat ketika dihadapkan pada soal-soal dalam bentuk verbal, siswa seringkali kurang mampu menganalisis informasi yang terdapat dalam soal. Lemahnya


(10)

kemampuan komunikasi matematis siswa terlihat di saat proses pembelajaran, dalam kegiatan tersebut siswa sangat jarang mengajukan pertanyaan atau menjawab pertanyaan dari guru.

Rendahnya kemampuan penalaran matematis siswa masih terlihat disaat mereka telah menjadi mahasiswa, bahkan mahasiswa Jurusan Matematika. Misalnya, ketika diberikan soal latihan dalam bentuk verbal atau dalam bentuk masalah nyata, hanya sebagian kecil mahasiswa yang langsung mengerjakannya sementara sebagian lainnya hanya menunggu jawaban dari teman atau penjelasan dosen kemudian menyalinnya (Armiati, 2006). Temuan ini juga mengindikasikan bahwa kemampuan mahasiswa untuk menganalisis soal bentuk verbal masih lemah, mereka belum mampu menangkap informasi yang terdapat dalam soal, dan malas berpikir. Akibat dari kondisi tersebut perkuliahan berlangsung kurang efektif, karena hanya sebagian mahasiswa yang terlibat secara aktif dalam kegiatan perkuliahan, bahkan tidak jarang perkuliahan hanya berlangsung satu arah, sehingga perkuliahan yang terjadi menjadi kurang bermutu.

Berdasarkan kajian awal yang peneliti lakukan terhadap beberapa mahasiswa Jurusan Matematika FMIPA UNP semester lima, ditemukan indikasi lemahnya kemampuan penalaran dan kemampuan komunikasi matematis mahasiswa. Diantarnya ketika diberikan satu soal yang berkaitan dengan konsep himpunan seperti berikut:

“ Misalkan A = {x| 2x = 6} dan b = 3. Periksalah apakah A = b, beri alasan jawaban anda!”


(11)

Sekitar 80 % mahasiswa yang menjadi responden menjawab A = b, kondisi ini menyiratkan kemampuan mereka dalam penalaran matematis masih sangat lemah.

Berdasarkan kajian terhadap jawaban mahasiswa, ternyata mahasiswa keliru memahami simbol yang terdapat dalam soal yang diberikan. Mereka keliru memahami A yang merupakan simbol untuk himpunan, dan b yang merupakan simbol untuk suatu konstanta. Artinya mereka kurang teliti dalam memahami dan menganalisis soal. Meskipun konsep yang terkandung dalam soal bukanlah konsep yang rumit tetapi bentuk soal yang tidak biasa mereka hadapi/selesaikan (seperti perintah “periksa dan berikan alasan”), membuat mereka keliru dalam menjawab. Keadaan ini juga mendukung pendapat bahwa mahasiswa tidak mampu menyelesaikan soal/masalah yang tidak rutin. Kondisi tersebut sangat memprihatinkan.

Kebiasaan meniru atau menyalin pekerjaan orang lain hanya akan membuat mahasiswa menjadi seorang pemakai/konsumen. Mahasiswa dengan kebiasaan tersebut hanya mengetahui konsep sebagai hafalan tanpa memiliki pemahaman yang mendalam, dan tidak akan mampu mengaplikasikannya. Kebiasaan tersebut juga membuat mahasiswa kurang mampu berpikir kritis, tidak terlatih untuk melakukan analisis sebelum mengambil keputusan, serta tidak mampu melihat hubungan sebab akibat.

Kemampuan melakukan analisis sebelum mengambil keputusan serta kemampuan dalam melihat hubungan sebab akibat merupakan bagian dari kemampuan penalaran. Kemampuan tersebut sangat dibutuhkan seseorang dalam dunia kerja, ketika ia harus mengambil sebuah keputusan, artinya ia


(12)

membutuhkan kemampuan penalaran dalam proses membuat keputusan yang benar dan valid. Hal ini sesuai dengan definisi yang dikemukakan oleh Keraf (1982: 5) bahwa penalaran merupakan proses bepikir yang menghubung-hubungkan fakta-fakta atau evidensi-evidensi yang diketahui menuju kepada tercapainya suatu kesimpulan.

Seseorang dengan kemampuan penalaran yang rendah akan selalu mengalami kesulitan dalam menghadapi berbagai persoalan, karena ketidakmampuan menghubungkan fakta dan eviden untuk sampai pada suatu kesimpulan. Hal ini berarti pengembangan kemampuan penalaran menjadi esensial agar mahasiswa mampu melakukan analisis sebelum membuat keputusan, dan mampu membuat argumen untuk mempertahankan pendapat. Kemampuan-kemampuan tersebut selanjutnya bermuara pada Kemampuan-kemampuan pemecahan masalah yang berguna untuk menghadapi situasi-situasi baru dalam kehidupan yang sesungguhnya setelah perkuliahan.

Penalaran matematis adalah kemampuan berpikir secara logis dan sistematis. Penalaran matematis tidak hanya diperlukan dalam bidang matematika, tetapi juga diberbagai bidang lain yaitu dalam mengevaluasi argumen dan menyeleksi. Ungkapan ini menyiratkan bahwa ketika seseorang dihadapkan pada sejumlah pernyataan atau argumen, kemampuan penalaran matematis diperlukan untuk membuat pertimbangan atau mengevaluasi pernyataan tersebut sebelum ia membuat keputusan. Selain itu tersirat pula bahwa kemampuan penalaran diperlukan untuk memilah dan memilih agar sampai pada suatu kesimpulan yang benar, sehingga akan diperoleh suatu keputusan yang valid.


(13)

Berkaitan dengan penalaran matematis Biggs dan Collis (Dasari, 2009) membagi level penalaran secara hierarkhis. Pembagian itu adalah level prestructural, unistructural, multi structural, relational dan extended abstract. Semakin tinggi level penalaran semakin tinggi pula kemampuan yang harus ditunjukkan. Misalnya level unistructural dapat ditunjukkan melalui kemampuan memberikan jawaban yang sangat sederhana tanpa memberikan alasan, sementara level multistructural adalah kemampuan menjelaskan sesuatu dengan memberikan dua atau lebih alasan tetapi belum mampu mengintegrasikan dengan pengetahuan lain.

Selain kemampuan penalaran matematis mahasiswa juga perlu dibekali dengan kemampuan komunikasi matematis. Untuk dapat menyampaikan apa yang ia pikirkan, mengemukakan ide dan ketika berhubungan dengan orang lain atau mengungkapkan hasil penalarannya mahasiswa memerlukan kemampuan berkomunikasi.

Sehubungan dengan komunikasi matematis, Lindquist dan Elliott (1996:1) menyebutkan bahwa “jika kita ingin memenuhi kebutuhan masyarakat pekerja sosial yang mampu membaca dan menulis secara metamatis, belajar sepanjang hayat, berkesempatan untuk banyak hal, maka kita semua akan memerlukan komunikasi matematis”. Kenyataan yang sering terlihat adalah mahasiswa kurang berani mengungkapkan apa yang ia pikirkan, takut salah atau merasa malu. Seringkali jika diberi pertanyaan, mahasiswa tidak langsung menjawab, tetapi menoleh ke kiri atau ke kanan seakan-akan mencari dukungan pada teman di sebelahnya (Armiati, 2009). Jika mereka diberi soal dalam bentuk verbal,


(14)

seringkali mereka memberikan komentar untuk kesimpulan yang cenderung hanya meniru kata-kata yang ada pada soal sebelumnya yang mirip dengan soal tersebut. Kondisi ini selain menunjukkan lemahnya kemampuan komunikasi matematis mahasiswa, rendahnya rasa percaya diri, juga memperlihatkan mahasiswa kurang mampu mengelola emosinya, selalu ragu-ragu dalam bertindak.

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk meningkatkan kemampuan penalaran matematis, antara lain Sumarmo (1987), Priatna (2003), Dahlan (2004), Maesarah (2007), Awaludin (2007) dan Dasari (2009). Penelitian-penelitian tersebut menyimpulkan bahwa penalaran matematis itu penting dan perlu terus dikembangkan. Priatna (2003) menyarankan perlu dilakukan penelitian yang mengaitkan penalaran matematika dengan perkembangan kognitif dan emosional siswa. Dahlan (2004) merekomendasikan agar dilakukan analisis kualitiatif terhadap penalaran ketika siswa menyelesaikan masalah matematika. Hasil dari ke dua penelitian ini memberi peluang untuk melanjutkan penelitian tentang penalaran matematis dengan pengkajian yang lebih mendalam.

Penelitian Dasari (2009) menggunakan empat level pertama tentang penalaran yang dikemukakan oleh Biggs & Collis (1982) yang dikenal dengan taksonomi SOLO (Structure of Observed Learning Outcome) yaitu: prestructural, unistructural, multistructural, dan relational. Pembelajaran yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah model PACE. Secara umum ditemukan bahwa model PACE dapat mengembangkan kemampuan penalaran mahasiswa, baik pada mahasiswa Program Studi Matematika maupun pada mahasiswa Program Studi


(15)

Pendidikan Matematika. Kemampuan penalaran yang dapat dikembangkan dengan model ini adalah level multistruktural mendekati level relasional. Tetapi hasil yang dicapai belum maksimal. Hal ini diakui oleh peneliti dan ia yakin bahwa peluang untuk mencapainya masih sangat terbuka.

Sehubungan dengan komunikasi matematis juga sudah banyak penelitian yang dilakukan untuk mengembangkan kemampuan tersebut. Sugiatno (2008) melakukan penelitian berkaitan dengan komunikasi matematis khususnya kemampuan membaca yang meliputi kemampuan bahasa matematis, tabel, grafik, dan diagram. Dalam penelitian ini, kemampuan membaca yang dikaji belum memberi penjelasan tentang tujuan membaca yang diharapkan dari mahasiswa, apakah membaca untuk memperoleh informasi, membaca untuk melihat kaitan atau membaca untuk menemukan sesuatu yang tersirat dari bacaan.

Peneliti lain yang juga mengkaji komunikasi matematis adalah Hendriana (2009). Hendriana menemukan bahwa kemampuan komunikasi matematik siswa yang belajar dengan Metaphorical Thinking lebih baik dari pada yang menggunakan cara konvensional, tetapi hanya berada pada kualifikasi sedang. Pada penelitian tersebut, tidak dijelaskan aspek-aspek komunikasi yang diteliti, apakah membaca, menulis atau berdiskusi. Ketidakjelasan ini memberi peluang untuk melakukan pengkajian lebih lanjut sehubungan dengan kemampuan komunikasi matematis mahasiswa.

Dari uraian tentang penalaran dan komunikasi matematis di atas, terlihat bahwa kemampuan-kemampuan itu sangat diperlukan oleh mahasiswa. Kenyataan yang ditemukan meskipun beberapa kajian tentang penalaran dan komunikasi


(16)

matematis telah banyak dilakukan, ternyata masih banyak mahasiswa yang bermasalah dalam kemampuan tersebut. Kemampuan-kemampuan itu masih perlu ditingkatkan, karena jika tidak mahasiswa akan selalu ragu-ragu dalam menghadapi kehidupannya kelak, dan generasi yang dihasilkan adalah generasi dengan kualitas yang rendah. Untuk itu perlu dilakukan suatu usaha yang sungguh-sungguh agar dapat mengembangkan kemampuan penalaran matematis dan komunikasi matematis pada mahasiswa.

Kemampuan komunikasi diperlukan dan dapat digunakan jika mahasiswa memahami materi atau konsep yang akan dikomunikasikan dan mempunyai keberanian untuk melakukannya. Sebaliknya pemahaman mahasiswa terhadap materi atau konsep, dapat diketahui melalui kemampuannya berkomunikasi. Pemahaman dapat terjadi berdasarkan hasil pemikiran rasional yang merupakan dimensi kecerdasan kognitif dan intelektual. Kecerdasan kognitif dan intelektual lebih dikenal dengan IQ.

Sampai pada penghujung abad ke-20, kecerdasan kognitif dan intelektual dianggap sebagai kecerdasan yang sangat menentukan dalam kehidupan seseorang. Namun berdasarkan bukti-bukti yang telah ditemukan melalui beberapa penelitian sejak awal abad ke-21, disadari ada kecerdasan lain yang tak kalah pentingnya, yaitu kecerdasan non intelektual (non- kognitif) berupa emosi, faktor-faktor pribadi dan sosial. Kecerdasan non-intelektual inilah yang akan menuntun mahasiswa untuk mempunyai keberanian dalam melakukan komunikasi.


(17)

Kenyataan yang terjadi selama ini dalam pembelajaran, pengembangan kecerdasan non intelektual kurang mendapat perhatian. Sehubungan dengan aspek non kognitif, Agustian (2001: xliii) mengatakan bahwa pendidikan di Indonesia selama ini, terlalu menekankan arti penting nilai akademik, kecerdasan otak atau IQ saja, jarang sekali ditemukan pendidikan tentang kecerdasan emosional yang mengajarkan: integritas, kejujuran, komitmen, visi, kreativitas, ketahanan mental, kebijaksanaan, keadilan, prinsip kepercayaan, penguasaan diri atau sinergi, yang juga sangat penting. Kutipan ini menyiratkan bahwa kedua aspek tersebut yaitu aspek kognitif dan aspek non kognitif (afektif) sama pentingnya dalam menunjang keberhasilan seseorang, maka sebaiknya dalam pelaksanaan pendidikan kedua aspek itu harus mendapat perhatian yang sama besar.

Beberapa hal yang diperkirakan menjadi penyebab kurang berkembangnya kemampuan penalaran matematis, komunikasi matematis dan kecerdasan emosional mahasiswa diantaranya adalah pelaksanaan pembelajaran. Selama ini pelaksanaan pembelajaran lebih bersifat mekanistik, mahasiswa kurang terlibat dalam proses pembelajaran, dan soal-soal latihan yang diberikan seringkali mirip dengan contoh dan bersifat rutin. Keadaan ini kurang memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk beraktivitas dan berkreasi sesuai potensi yang dimilikinya. Umumnya pelaksanaan perkuliahan lebih memperhatikan penguasaan terhadap teoriti/konsep, kurang memperhatikan kemampuan lain yang seharusnya dapat ditumbuhkan melalui kegiatan perkuliahan. Keadaan ini telah berlangsung sejak mereka duduk di bangku persekolahan.


(18)

Penyebab lainnya adalah ketika merencanakan perkuliahan, umumnya rumusan tujuan perkuliahan lebih mengutamakan aspek kognitif. Untuk pencapaian aspek kognitif pelaksanaan pembelajaran yang terjadi kurang memicu berkembangnya kemampuan penalaran dan kemampuan komunikasi matematis mahasiswa. Berdasarkan perencanaan dan rumusan yang telah dibuat, pembelajaran yang terjadi seringkali lebih bersifat rutin, yaitu dosen menjelaskan konsep, memberikan contoh yang berkaitan dengan konsep, kemudian mahasiswa mengerjakan soal-soal yang mirip dengan contoh yang diberikan dosen. Akibatnya jika mereka menemukan soal yang berbeda dari contoh seringkali mereka mengalami kesulitan, bahkan tidak jarang mereka tidak mampu menemukan penyelesaiannya.

Seperti diungkapkan oleh Sullivan (1992), pembelajaran matematika di kelas pada umumnya hanya terpusat pada guru, yang menyebabkan siswa menjadi malas dan tidak kreatif dalam belajar matematika. Dalam proses pembelajaran di kelas, guru masih memandang bahwa belajar adalah suatu proses transfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) dari pengajar kepada peserta didik. Kondisi ini menempatkan siswa menjadi pasif (Dahlan, 2004:6). Hal senada juga diungkapkan oleh Ruseffendi (2006:328) bahwa selama ini dalam proses belajar mengajar matematika di kelas, pada umumnya siswa dalam mempelajari matematika hanya diberitahu oleh gurunya dan bukan melalui eksplorasi. Keadaan ini masih ditemukan dalam pelaksanaan perkuliahan, pada umumnya pelaksanaan perkuliahan masih bersifat rutin dan berjalan secara mekanistik.


(19)

Dalam merumuskan tujuan pembelajaran selama ini aspek afektif masih kurang mendapat perhatian, baik di tingkat pendidikan dasar, pendidikan menengah maupun di perguruan tinggi. Aspek afektif merupakan salah satu ranah pendidikan yang berkaitan dengan sikap positif dan kebiasaan-kebiasaan baik yang dibutuhkan setiap orang dalam kehidupan bermasyarakat. Sikap positif dan kebiasaan-kebiasaan baik akan menumbuhkan pribadi dengan karakter yang baik.

Dampak dari kurangnya perhatian terhadap aspek afektif selama ini adalah hasil pendidikan banyak melahirkan peserta didik dengan karakter yang kurang baik, memiliki sikap dan kebiasaan yang buruk dalam kehidupan. Siswa/mahasiswa gampang menyerah untuk hal-hal yang menuntut kerja keras dan disiplin, hanya menunggu nasib, sering memaksakan kehendak dan menimpakan kesalahan pada orang lain untuk kegagalannya. Hal ini diperkirakan karena siswa/mahasiswa kurang mampu mengelola emosinya, kurang mampu mengaitkan emosi dengan kegiatan berpikir sehingga mereka sering menunjukkan sikap/kebiasaan yang kurang baik.

Kemampuan mengelola emosi adalah kemampuan untuk memahami dan mengelola emosi pribadi dan emosi orang lain, serta kemampuan memanfaatkan emosi dalam kegiatan-kegiatan intelektual. Dengan kemampuan mengelola emosi akan tumbuh sikap yang baik, sehingga akan melahirkan siswa/mahasiswa dengan karakter yang baik.

Akhir-akhir ini upaya membangun karakter bangsa menjadi isu yang hangat dibicarakan, dan sudah menjadi agenda nasional yang tertuang dalam Renstra Kemendiknas Tahun 2010-2014. Jika dikaitkan dengan dampak dari


(20)

aspek afektif seperti yang telah disebutkan, maka kecerdasan emosional merupakan salah satu bentuk karakter yang harus dikembangkan. Aspek afektif yang terkait dengan karakter bangsa dan tergolong dalam kecerdasan emosional antara lain adalah kesediaan untuk berpartisipasi, merasa yakindan sebagainya.

Telah disebutkan, selama ini aspek afektif belum dirumuskan secara jelas dalam perencanaan perkuliahan. Pengembangan kecerdasan emosional yang berkaitan dengan aspek afektif dan berpotensi dalam pembentukan karakter mahasiswa kurang mendapat perhatian. Kondisi seperti ini tentu tidak dapat dibiarkan terus berlanjut, dan perlu dicarikan pemecahannya.

Salah satu model pembelajaran yang diperkirakan dapat mengembangkan kemampuan penalaran matematis, komunikasi matematis dan kecerdasan emosional mahasiswa adalah pembelajaran berbasis masalah (Problem-Based-Learning). Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL) adalah pembelajaran yang dimulai dengan masalah kontekstual dan terbuka, dengan karakteristik sebagai berikut: (1) berpandangan konstruktivisme, dengan pembentukan pemahaman melalui asimilasi dan akomodasi dari masalah yang disajikan, diskusi dalam memecahkan masalah, dan pengalaman berpikir matematis yang dialami; (2) bembelajaran terpusat pada mahasiswa, dengan pengajar sebagai fasilitator, motivator, dan manajer belajar. Interaksi antar mahasiswa dan mahasiswa-pengajar diutamakan; (3) berfokus pada keterkaitan antar disiplin.

Karakteristik pembelajaran berbasis masalah tersebut memungkinkan mahasiswa untuk terlibat dalam proses pembelajaran. Dalam pembelajaran berbasis masalah mahasiswa dihadapkan pada situasi masalah yang mengharuskan


(21)

mereka melakukan analisis, menggali informasi, melihat hubungan sebab akibat untuk kemudian menemukan solusi dan melakukan refleksi. Hasil analisis serta informasi yang diperoleh melalui masalah yang diberikan harus dituliskan, kemudian dikaitkan dengan pengetahuan matematika yang telah mereka miliki sebelumnya. Keikutsertaan dalam kegiatan ini diperkirakan akan mempertajam kemampuan penalaran dan kemampuan komunikasi mahasiswa. Selain itu dalam pembelajaran berbasis masalah mahasiswa dibiasakan mengemukakan pendapat, serta mendengarkan pendapat. Semua kegiatan tersebut akan melatih mereka untuk terbiasa mendengar, memahami dan mengerti orang lain. Hal ini akan menumbuhkan keberanian, keyakinan, motivasi dan empati yang berdampak pada kemampuan dalam mengelola emosi yang menghasilkan suatu kecerdasan emosional.

Berkaitan dengan pembelajaran berbasis masalah (PBL), Delisle (1977: 7) menyebutkan bahwa PBL dapat digunakan pada semua siswa/mahasiswa. Pendapat ini menyiratkan bahwa keterlibatan seluruh siswa/mahasiswa dengan berbagai tingkat kemampuan sangat dimungkinkan terjadi dalam PBL. Artinya dalam PBL, semua mahasiswa dapat terlibat dalam kegiatan menganalisis masalah, menggali informasi untuk mendapatkan fakta dan selanjutnya mengaitkan fakta dengan pengetahuan sebelumnya untuk memperoleh penyelesaian.

Kesiapan mahasiswa dalam menerima pengetahuan/situasi baru akan dipengaruhi oleh pengetahuan yang telah ia miliki. Seperti disebutkan Arends (2008a: 268), bahwa kemampuan awal peserta didik untuk mempelajari ide-ide


(22)

baru bergantung pada pengetahuan awal mereka sebelumnya dan struktur kognitif yang sudah ada. Berkaitan dengan pengembangan kecerdasan emosional seseorang Shapiro (1997, dalam Darwis 2006) menyebutkan bahwa Emotional Intelligent (EI) tidak seperti IQ yang cenderung tetap, EI dapat diajarkan, juga dapat dilatihkan dan ditingkatkan pada setiap tahap perkembangan peserta didik. Artinya pengembangan kecerdasan emosional dapat dilakukan secara terintegrasi dalam proses pembelajaran.

Merujuk pada pandangan Delisle (1977), dalam mengembangkan kemampuan penalaran matematis dan komunikasi matematis mahasiswa perlu memperhatikan tingkat kemampuan mahasiswa. Dalam hal ini yang diperhatikan adalah level perguruan tinggi. Berdasarkan pada pendapat Arend (2008a) maka dalam penelitian ini perlu mempertimbangkan kemampuan awal matematis (KAM) mahasiswa.

Dari beberapa kondisi di atas dilakukan kajian melalui sebuah penelitian pada mahasiswa matematika dengan judul “Peningkatan Kemampuan Penalaran Matematis, Komunikasi Matematis dan Kecerdasan Emosional Mahasiswa melalui Pembelajaran Berbasis Masalah“. Sehubungan dengan komunikasi matematis, melalui penelitian ini lebih ditekankan pada kemampuan komunikasi matematis dari aspek menulis. Aspek ini dipilih karena dengan mengembangkan kemampuan tersebut maka aspek lainnya dalam komunikasi juga akan ikut berkembang. Selain itu pengkajian dalam penelitian ini juga mempertimbangkan kemampuan awal matematis (KAM) dan level perguruan tinggi.


(23)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah maka faktor utama yang menjadi perhatian dalam penelitian ini adalah pembelajaran, kemampuan penalaran matematis, kemampuan komunikasi matematis dan kecerdasan emosional mahasiswa. Faktor lain yang juga menjadi pertimbangan adalah kemampuan awal matematis (KAM) dan level perguruan tinggi. Sehubungan dengan itu rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah kualitas peningkatan kemampuan penalaran matematis (KPM), kemampuan komunikasi matematis (KKM), dan kecerdasan emosional mahasiswa yang belajar dengan pembelajaran berbasis masalah (PBL) dan mahasiswa yang belajar dengan pembelajaran konvensional (PKV)?

2. Apakah terdapat perbedaan peningkatan KPM mahasiswa berdasarkan Kemampuan Awal Matematik (KAM)?

3. Apakah terdapat perbedaan peningkatan KPM mahasiswa berdasarkan pembelajaran?

4. Apakah terdapat perbedaan peningkatan KPM mahasiswa berdasarkan level PT?

5. Apakah terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dan KAM terhadap peningkatan KPM mahasiswa?

6. Apakah terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dan level PT terhadap peningkatan KPM mahasiswa?


(24)

7. Apakah terdapat interaksi antara KAM dan level PT terhadap peningkatan KPM mahasiswa?

8. Apakah terdapat interaksi antara KAM, pembelajaran dan level PT terhadap peningkatan KPM mahasiswa?

9. Apakah terdapat perbedaan peningkatan KKM mahasiswa berdasarkan KAM?

10. Apakah terdapat perbedaan peningkatan KKM mahasiswa berdasarkan pembelajaran ?

11. Apakah terdapat perbedaan peningkatan KKM mahasiswa berdasarkan level PT?

12. Apakah terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dan KAM terhadap peningkatan KKM mahasiswa?

13. Apakah terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dan level PT terhadap peningkatan KKM mahasiswa?

14. Apakah terdapat interaksi antara KAM dan level PT terhadap peningkatan KKM mahasiswa?

15. Apakah terdapat interaksi antara KAM, pembelajaran dan level PT terhadap peningkatan KKM mahasiswa?

16. Apakah terdapat perbedaan peningkatan KE mahasiswa berdasarkan pembelajaran?


(25)

C. Tujuan Penelitian

Dari permasalahan yang telah dirumuskan, maka yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah untuk memperoleh

1. suatu deskripsi yang komprehensif tentang dampak pembelajaran berbasis masalah terhadap kemampuan penalaran matematis, kemampuan komunikasi matematis serta kecerdasan emosional mahasiswa dan kaitannya dengan kemampuan awal matematis dan level Perguruan Tinggi dibandingkan dengan pembelajaran konvensional;

2. suatu gambaran tentang level penalaran mahasiswa berdasarkan pelevelan Biggs dan Collis;

3. suatu kesimpulan dan implikasi teoritik sehubungan dengan pengembangan kemampuan penalaran matematis, kemampuan komunikasi matematis dan kecerdasan emosional mahasiswa.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan nantinya akan dapat memberikan manfaat kepada berbagai pihak, diantaranya:

1. Bagi mahasiswa, memberikan pengalaman yang berharga melalui keterlibatannya secara aktif dalam proses pembelajaran, melalui kegiatan menganalisis masalah, menggali informasi, mencari berbagai alternatif pemecahan dan memutuskan penyelesaian yang paling tepat. Kegiatan-kegiatan ini akan bermanfaat sebagai ajang latihan untuk mempersiapkan dirinya dalam menghadapi kehidupan nyata yang penuh tantangan.


(26)

2. Bagi dosen, memberikan alternatif model pembelajaran yang dapat memberi peluang kepada mahasiswa dalam mengembangkan berbagai potensi melalui pembelajaran matematika.

3. Bagi peneliti, memberikan pengalaman dalam meningkatkan kualitas pendidikan matematika.

E. Definisi Operasional

Agar tidak terjadi kesalahan pemahaman terhadap istilah yang digunakan dalam penelitian ini, maka dirasa perlu untuk memberikan definisi operasional terhadap beberapa istilah berikut:

1. Kemampuan komunikasi matematis yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan mahasiswa dalam: (1) menjelaskan ide-ide, situasi-situasi dan relasi-relasi dalam matematika dengan berbagai bentuk yang berbeda; (2) membaca dengan pemahaman suatu informasi/representasi matematis yang diberikan; (3) membuat konjektur, menyusun argumen secara logis, dan merumuskan generalisasi; (4) mengungkapkan kembali suatu uraian atau paragraf matematika ke dalam bahasa sendiri.

2. Kemampuan penalaran matematis yang dicermati adalah kemampuan mahasiswa dalam (1) menganalisis situasi secara matematika melalui proses analogi dengan memperhatikan kesamaan dan/atau perbedaan; (2) melakukan proses generalisasi; (3) mencermati hubungan sebab akibat; (4) mengkonstruksi argument secara logis dan; (5) membuat keputusan, serta menguji hipotesis dan penyelidikan ilmiah.


(27)

3. Kecerdasan emosional dimaknai sebagai kemampuan untuk (1) mengenali dan mengendalikan emosi pribadi; (2) mengenali emosi orang lain dan; (3) memasukkan emosi dalam kegiatan-kegiatan intelektual.

4. Pembelajaran berbasis masalah (PBL) adalah pembelajaran yang berlandaskan pada pendekatan konstruktivisme dengan langkah-langkah pengajuan masalah, pengenalan masalah, membuat dugaan, melakukan penyelidikan, membuat penyelesaian, dan membuat kesimpulan terhadap jawaban yang telah dibuat (melakukan refleksi).


(28)

BAB III

METODE PENELITIAN A. Disain Penelitian

Penelitian ini tergolong pada penelitian Kuasi–Eksperimen.Untuk kelas eksperimen diberikan Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL), sedangkan pada kelas kontrol dilaksanakan pembelajaran biasa yang dalam hal ini disebut sebagai pembelajaran konvensional (PKV).

Disain yang digunakan adalah Nonequivalent Control Group Design (Sugiyono, 2010: 116) yaitu

O X O O O Dimana:

O: pre-tes /post-tes

X: Pembelajaran Bebasis masalah

Penelitian ini melibatkan tiga jenis variabel yaitu variabel bebas, variabel terikat dan variabel kontrol. Sebagai variabel bebas adalah pembelajaran berbasis masalah dan pembelajaran konvensional, sedangkan variabel terikatnya adalah penalaran matematis, komunikasi matematis dan kecerdasan emosional. Selain itu dalam penelitian ini juga memperhatikan level PT (tinggi dan sedang) dan kemampuan awal matematis (KAM) yang ditetapkan sebagai variabel kontrol. Berdasarkan variabel yang terlibat dalam penelitian, maka disain penelitian ini adalah disain faktorial 3 × 2 × 2 yaitu tiga kategori untuk kemampuan awal matematik (tinggi, sedang, rendah), dua pendekatan pembelajaran (PBL, Konvensional), dan dua level perguruan tinggi (tinggi, sedang).


(29)

Melalui penelitian ini dicermati pengaruh faktor pendekatan dalam pembelajaran terhadap kemampuan penalaran matematis, komunikasi matematis dan kecerdasan emosional mahasiswa. Pengkajian dilakukan dengan mempertimbangkan Kemampuan Awal Matematis (KAM) dan pelevelan Perguruan Tinggi.

Kaitan antara variabel bebas, variabel terikat dan variabel kontrol disajikan dalam tabel berikut:

Tabel 3.1: Kaitan Antara Variabel Bebas, Variabel Terikat dan Variabel Kontrol

Kategori KAM

Kemampuan Penalaran Matematis Pembelajaran Berbasis Masalah

(PBL)

Pembelajaran Konvensional (PKV)

PT Tinggi

PT

Sedang Total

PT Tinggi

PT

Sedang Total Tinggi

Sedang Rendah Total

Keterangan : kaitan antara variabel bebas dan variabel kontrol dengan variabel terikat lainnya yaitu kemampuan komunikasi matematis dan kecerdasan emosional adalah sama

B. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa Jurusan Matematika yang sedang mengambil matakuliah matematika diskrit saat penelitian dilakukan. Matakuliah Matematika Diskrit diberikan kepada mahasiswa yang telah pernah mengikuti matakuliah Pengantar Dasar matematika dan matakuliah Statistika Elementer. Biasanya matakuliah matematika diskrit diikuti oleh mahasiswa pada semester lima. Umumnya mahasiswa semester lima sudah mulai beradaptasi


(30)

dengan cara belajar di perguruan tinggi, yaitu belajar dengan banyak tugas dan tanggung jawab. Pemilihan mata kuliah ini dilakukan dengan pertimbangan karena materi-materi dalam matakuliah matematika diskrit sarat dengan analisis serta permasalahan yang dibahas cukup beragam.

Penelitian dilakukan pada dua kelompok mahasiswa Jurusan Matematika, dari dua perguruan tinggi yang dikelompokkan menjadi level tinggi dan sedang. Pengkajian ini dilakukan untuk melihat apakah PBL dapat diterapkan pada setiap kelompok mahasiswa. Penelitian dilakukan di Jurusan matematika UNP, dan jurusan Matematika STKIP PGRI Sumbar. Pemilihan ini didasarkan pada pertimbangan proses penerimaan mahasiswa dan keketatan persaingan dalam penerimaan. Penerimaan mahasiswa UNP dilakukan melalui jalur SPMB dan ujian sendiri yang pelaksanaan tesnya dilakukan lebih dulu dari pada pelaksanaan ujian di STKIP PGRI. Mengacu pada hal tersebut, diprediksi keketatan persaingan mahasiswa UNP lebih tinggi dibandingkan dengan mahasiswa STKIP PGRI.

Berdasarkan data yang diperoleh dari ketua Jurusan Matematika STKIP PGRI Sumbar dalam dua tahun terakhir keketatan persaingan antara mahasiswa yang diterima dan mahasiswa yang mendaftar pada jurusan matematika berturut tutut adalah 0,74 tahun 2008, dan 0,82 tahun 2009. Sedangkan pada Jurusan Matematika UNP adalah 0,11 untuk tahun 2008 dan 0,04 untuk tahun 2009. Dari data ini terlihat bahwa keketatan persaingan calon mahasiswa Jurusan Matematika UNP lebih tinggi dibandingkan calon mahasiswa Jurusan Matematika STKIP PGRI Sumbar. Selanjutnya pada Jurusan Matematika UNP dan STKIP PGRI masing-masing dipilih dua kelas sebagai sampel yang dijadikan kelas eksperimen


(31)

dan kelas kontrol. Mahasiswa dari Jurusan Matematika UNP dikelompokkan sebagai mahasiswa PT level tinggi dan mahasiswa dari jurusan matematika STKIP PGRI sebagai mahasiswa PT level sedang.

Langkah yang dilakukan dalam penentuan sampel adalah mendata mahasiswa yang mengambil mata kuliah matematika diskrit pada semester Juli– Desember 2010, memberikan tes kemampuan awal matematika kepada semua mahasiswa yang akan mengikuti kuliah. Untuk mahasiswa UNP pengelompokan mahasiswa didasarkan pada hasil tes kemampuan awal. Berdasarkan hasil tes ini, mahasiswa dibagi kedalam dua kelompok yang sama, dan secara acak salah satu kelas ditetapkan sebagai kelas eksperimen dan kelas lainnya sebagai kelas kontrol. Sedangkan untuk mahasiswa STKIP PGRI pengelompokan hanya didasarkan pada kelas-kelas yang sudah ada, namun tetap memperhatikan kesetaraan berdasarkan hasil tes kemampuan awal.

Jumlah mahasiswa yang dijadikan sampel pada masing-masing kelompok diberikan dalam tabel berikut:

Tabel 3.2: Subyek Penelitian

Subjek PKV PBL Jumlah

Mahasiswa PT level Tinggi 37 35 72

Mahasiswa PT level Sedang 23 24 46

Jumlah 60 59 119

C. Pengembangan Instrumen

Instrumen penelitian diperlukan untuk mendapatkan data guna menjawab permasalahan penelitian. Dalam penelitian ini diperlukan tiga perangkat tes dan satu perangkat non tes. Perangkat tes yang dirancang yaitu tes untuk


(32)

mendapatkan data tentang kemampuan awal matematis (KAM), penalaran matematis dan tes untuk mendapatkan data tentang kemampuan komunikasi matematis. Untuk masing-masing kemampuan dirancang satu perangkat tes. Tes KAM digunakan untuk mencermati pengetahuan matematik mahasiswa sebelum mengikuti mata kuliah matematika diskrit. Tes kemampuan penalaran matematis dan tes kemampuan komunikasi matematis digunakan untuk keperluan pre-tes dan post-tes. Pre-tes dan post-tes menggunakan perangkat soal yang sama, hal ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan kemampuan penalaran dan peningkatan kemampuan komunikasi matematis mahasiswa yang menjadi subjek penelitian. Untuk mendapatkan tes yang baik, maka dilakukan beberapa langkah dalam penyusunan tes, yaitu (a) merancang kisi-kisi tes, (b) menyusun item tes, (c) melakukan validasi kepada pakar, (d) melakukan revisi jika diperlukan.

Sehubungan dengan penelitian ini validasi yang dilakukan adalah validisi isi yang bertujuan untuk melihat kesesuaian isi tes yang disusun dengan aspek-aspek kemampuan penalaran matematis, dan kemapuan komunikasi matematis yang hendak dikembangkan. Untuk keperluan ini lembar tes telah divalidasikan kepada 1 orang dosen pendidikan matematika yang berkualifikasi doktor, 2 orang dosen yang sedang menempuh pendidikan doktor matematika dan 2 orang dosen yang mengajar mata kuliah matematika diskrit. Berdasarkan pertimbangan dan rekomendasi dari validator dan promotor selanjutnya dilakukan revisi. Revisi yang direkomendasikan umumnya berkaitan dengan bahasa dan tata tulis soal.

Soal yang telah direvisi diuji cobakan kepada sejumlah mahasiswa yang telah mengambil mata kuliah matematika diskrit. Kegiatan ini dilakukan untuk


(33)

mengetahui apakah tes yang dirancang memenuhi kriteria soal yang baik. Hasil uji coba dianalisis untuk mengetahui reliabelitas soal, daya beda, dan tingkat kesukaran soal. Untuk keperluan tersebut, maka dilakukan uji berikut :

a) Reliabilitas tes

Reliabilitas tes adalah suatu ukuran apakah tes tersebut layak digunakan. Untuk menentukan reliabilitas tes dipakai rumus Alpha yang dikemukakan oleh Arikunto (2002:109), yaitu:

        −       −

=

2

2 11 1 1 t b k k r σ σ

Dimana : r11 = reliabilitas Instrumen

k = banyaknya butir soal atau butir pertanyaan σb2 = variansi butir soal

σt2 = variansi total

Hasil perhitungan dibandingkan dengan kriteria tingkat reliabelitas Tabel 3.3: Kriteria Tingkat Reliabilitas

Nilai rp Tingkat reliabilitas

rp≤ 0,2 Kecil

0,2 < rp ≤ 0,4 Rendah 0,4 < rp ≤ 0,7 Sedang

0,7 < rp≤ 0,9 Tinggi 0,9 < rp ≤ 1,0 Sangat tinggi

b) Daya pembeda

Daya pembeda soal ditentukan dengan mencari indeks pembeda soal. Indeks pembeda soal adalah angka yang menujukkan perbedaan kelompok tinggi dan kelompok rendah. Langkah yang dilakukan dalam menentukan daya pembeda soal adalah: (1) mengurutkan skor testee berdasarkan perolehan skor


(34)

totalnya, yaitu dari urutan skor tertinggi ke skor terendah, (2) berdasarkan urutan tersebut 27 % testee urutan tertatas dikelompokkan sebagai kelompok atas, dan 27 % testee urutan terbawah sebagai kelompok bawah, (3) hitung total skor seluruh testee kelompok atas ( hasil ini disebut BA), dan hitung total skor seluruh testee

kelompok bawah (hasil ini disebut BB) untuk soal yang akan ditentukan daya bedanya, (4) hitung PA =

A A

J B

, dan PB= B B

J B

, dengan JA: jumlah skor

maksimum untuk seluruh peserta kelompok atas, dan JB: jumlah skor maksimum

untuk seluruh peserta kelompok bawah, selanjutnya tentukan (5) Daya pembeda soal (D) = PA- PB.

Tabel 3.4: Kategori Daya Pembeda soal Daya pembeda (D) Kategori D = 0,00

0,00 < D ≤ 0,20 0,20 < D ≤ 0,40 0,40 < D ≤ 0,70 0,70 < D ≤ 1,00

Sangat Jelek Jelek

Sedang Baik

Sangat Baik c) Indeks kesukaran

Untuk mengetahui indeks kesukaran digunakan rumus hasil modifikasi perhitungan indek kesukaran dari Suharsimi (Djamilah, 2010: p.10) yaitu:

Ik =

JS B

,

Dimana Ik = indeks kesukaran,

B = total skor yang dicapai seluruh mahasiswa untuk nomor soal tersebut, JS = total skor maksimum yang mungkin dicapai oleh seluruh mahasiswa.


(35)

Penetapan indek kesukaran soal menggunakan kriteria berikut: Tabel 3.5: Kategori Indeks Kesukaran Soal

Nilai Ik Kategori

Ik≤ 0,30 Sukar

0,30 < Ik≤ 0,70 Sedang

Ik > 0,70 Mudah

Dalam penelitian ini juga dirancang satu perangkat non tes berupa skala kecerdasan emosional. Pada bagian berikut akan dibahas pengembangan masing-masing perangkat tes.

1. Tes Kemampuan Awal Matematis (KAM)

Tes ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan matematik mahasiswa berkaitan dengan konsep-konsep dasar yang telah mereka ketahui. Konsep-konsep yang diujikan meliputi konsep aljabar dalam sistem bilangan riel,himpunan, logika dan fungsi. Untuk masing-masing konsep diberikan dua soal bentuk uraian sehingga terdapat 8 butir soal tes kemampuan awal, dengan alokasi waktu pengerjaan 50 menit.

Sebelum soal diujikan diminta pertimbangan dari tiga orang teman sejawat dan tiga promotor berkaitan dengan validitas isi. Semua penimbang merekomendasikan bahwa soal dapat digunakan dengan beberapa revisi berkaitan dengan penggunaan bahasa dan notasi matematis yang tepat. Setelah direvisi soal dapat digunakan untuk mengetahui kemampuan awal matematis mahasiswa yang menjadi sampel penelitian. Selanjutnya soal diujicobakan untuk mengetahui validitas, reliabelitas, tingkat kesukaran dan daya beda. Berdasarkan hasil uji


(36)

coba ada dua soal yang tidak valid, maka soal ini dikeluarkan dari tes. Dari 6 soal yang dipakai satu soal tergolong mudah dan lima soal lainnya tergolong sedang. Reliabelitas soal adalah 0.620 tergolong sedang.

Selain menggunakan hasil tes KAM untuk mengetahui kemampuan awal mahasiswa juga dipertimbangkan nilai dua matakuliah yang memuat materi-materi matematika dasar, yaitu matakuliah Kalkulus I dan mata kuliah Pengantar Dasar matematika. Rata-rata tes KAM dan nilai dari dua mata kuliah tersebut dijadikan dasar untuk pengelompokan mahasiswa berdasarkan KAM. Dalam peraturan akademik UNP tahun 2004 pasal 53 ayat 5, hubungan antara Nilai Angka(NA), Nilai Mutu (NM), Angka Mutu (AM) dan Sebutan Mutu (SB) adalah sebagai berikut:

Table 3.6: Aturan Akademik tentang Penilaian UNP Nilai Angka

(NA)

Nilai Mutu (NM)

Angka Mutu (AM)

Sebutan Mutu (SB)

81 s.d. 100 A 4 Sangat baik

66 s.d. 80 B 3 Baik

56 s.d. 65 C 2 Cukup

41 s.d. 55 D 1 Kurang

0 s.d. 40 E 0 Gagal

Dengan sedikit modifikasi terhadap aturan tersebut maka dalam penelitian ini selanjutnya KAM mahasiswa dikategorikan berdasarkan table 3.7 berikut.

Tabel 3.7: Kriteria Kategori Kemampuan Awal Matematis (KAM) Skor Kemampuan Awal Matematis (KAM) Kategori

KAM ≥ 70% skor Tinggi

55% skor < KAM < 70% skor Sedang

KAM ≤ 55% skor Rendah


(37)

Berikut diberikan distribusi pengelompokan mahasiswa berdasarkan kategori KAM, Pendekatan Pembelajaran dan level PT.

Tabel 3.8: Distribusi Mahasiswa berdasarkan kategori KAM, Pendekatan Pembelajaran dan level PT

Pembelajaran PBL Konvensional

Level PT Tinggi Sedang Total Tinggi Sedang Total Kategori

KAM

Tinggi 14 2 16 12 2 14

Sedang 13 9 22 15 9 24

Rendah 8 13 21 10 12 22

Total 35 24 59 37 23 60

Setelah diperoleh dua kelompok sampel pada masing-masing level PT, selanjutnya dilakukan uji perbedaan kedua kelompok sampel. Untuk keperluan ini digunakan uji t, dengan hipotesis yang diuji adalah

H0 : 1 = 2

H1 : 1 2

Hasil analisis diberikan pada table berikut:

Tabel 3.9: Uji Kesetaraan Data KAM berdasarkan Pembelajaran Level PT Pembelajaran N Rata-

rata

Beda

Rata-rata t DF p-value H0 Tinggi PBM 35 64,2 0,8005 0,27 68 0,790 Diterima

PKV 37 63,4

Sedang PBM 24 54,8 1,1842 0,33 44 0,746 Diterima PKV 23 53,6

Total PBM 59 60,4 0,7268 0,30 116 0,767 Diterima PKV 60 59,7

Dari tabel terlihat bahwa untuk setiap level PT dan gabungan, H0 diterima.

Ini berarti tidak terdapat berbedaan KAM,pada masing-masing kelompok mahasiswa yang dikenakan PBL dan mahasiswa yang akan dikenakan PKV.


(38)

Selanjutnya dilakukan uji perbedaan untuk ke dua kelompok sampel dari dua level PT. Hasil analisis data diberikan pada table berikut:

Tabel 3.10: Uji Perbedaan KAM Berdasarkan Level PT Level PT N Rata-

rata

Beda

Rata-rata t DF p-value H0 Tinggi 72 63,8

9,5852 4,11 100 0,000 Ditolak Sedang 47 54,2

Dari table terlihat bahwa H0 ditolak, artinya terdapat perbedaan rata-rata KAM

mahasiswa level PT tinggi dengan PT level sedang. 2. Tes Kemampuan Penalaran Matematis (KPM)

Penyusunan tes penalaran matematis diawali dengan menentukan karakteristik kemampuan penalaran matematis berdasarkan kajian teori yang telah dilakukan. Karakteristik yang digunakan yaitu (1) kemampuan mahasiswa dalam

menganalisa situasi secara matematika melalui proses analogi dengan memperhatikan kesamaan dan/atau perbedaan, (2) melakukan proses generalisasi, (3) mencermati hubungan sebab akibat (4) kemampuan untuk mengkonstruksi argument secara logis, dan (5) kemampuan membuat keputusan serta menguji hipotesis dan melakukan penyelidikan ilmiah. Berdasarkan karakteristik ini disusun indikator ketercapaian yang selanjutnya dituangkan dalam kisi-kisi soal.

Soal untuk tes kemampuan penalaran matematis berkaitan dengan materi matematika diskrit yang diberikan selama penelitian yaitu prinsip induksi matematik, prinsip inklusi-eksklusi, prinsip sarang merpati dan fungsi pembangkit. Soal terdiri dari 6 butir tes bentuk uraian, dengan alokasi waktu 120 menit. Berdasarkan pertimbangan ahli dan promotor soal dapat dipakai dengan


(39)

revisi pada penggunaan bahasa dan notasi matematik. Sebelum digunakan soal ini diujicobakan kepada sejumlah mahasiswa yang telah mengambil matakuliah matematika diskrit.

Berdasarkan hasil analisis data uji coba seluruh soal dinyatakan valid, dengan koefisien reliabeltas tes 0.729 dikategorikan tinggi. Untuk indek kesukaran dua soal tergolong sedang yaitu soal 1 dan 4, dan empat soal tergolong sukar yaitu soal 2, 3, 5 dan soal 6. Berdasarkan daya beda ada empat soal yang dikategorikan mempunyai daya beda sedang yaitu soal 1, 2, 5 dan soal 6, dua soal lainnya yaitu soal 3 dan 4 dikategorikan mempunyai daya beda baik. Dari hasil ini maka disimpulkan semua soal dapat digunakan untuk mengukur kemampuan penalaran matematis mahasiswa setelah pembelajaran.

3. Tes Kemampuan Komunikasi Matematis (KKM)

Untuk kemampuan komunikasi matematis karektiristik yang digunakan adalah (1) kemampuan mahasiswa dalam menjelaskan ide-ide, situasi-situasi dan relasi-relasi dalam matematika dengan berbagai bentuk yang berbeda, (2) kemampuan mahasiswa membaca dengan pemahaman suatu informasi/representasi matematis yang diberikan, (3) kemampuan mahasiswa dalam membuat konjektur, menyusun argumen secara logis dan merumuskan generalisasi, (4) kemampuan mahasiswa mengungkapkan kembali suatu uraian atau paragraf matematika ke dalam bahasa sendiri.

Materi yang diujikan untuk tes kemampuan komunikasi matematis sama dengan materi yang diujikan untuk kemampuan penalaran. Soal terdiri dari 5 butir


(40)

tes bentuk uraian dengan alokasi waktu 100 menit. Sebelum diujicoba dimintakan pertimbangan ahli dan promotor berkaitan dengan validitas isi tes. Setelah direvisi sesuai pertimbangan validator soal diujicobakan. Berdasarkan hasil analisis data uji coba (Armiati,2010) semua soal dinyatakan valid, dengan koefisien reliabelitas tes sebesar 0.613 yang dikategorikan sedang. Berdasarkan indek kesukaran terdapat satu soal tergolong mudah yaitu soal 1, tiga soal tergolong sedang yaitu soal 2,3,4 dan satu soal tergong sukar yaitu soal 5. Untuk daya beda 2 soal terkategori mempunyai daya beda baik yaitu soal 1 dan 3, tiga soal dikategorikan mempunyai daya beda sedang yaitu soal 2, 4 dan 5. Berdasarkan hasil ini ke lima soal dapat digunakan untuk mengukur kemampuan komunikasi matematis mahasiswa.

4. Skala Kecerdasan Emosional (KE)

Skala kecerdasan emosional digunakan untuk menjaring data mengenai kecerdasan emosional mahasiswa. Penyusunan skala ini berpedoman pada teori kecerdasan emosional yang dikembangkan Daniel Goleman dan Makmun Mubayidh dengan memperhatikan kriteria untuk kecerdasan emosional mahasiswa yang meliputi 1) kemampuan untuk mengenali dan mengendalikan emosi pribadi, 2) kemampuan untuk mengenali emosi orang lain, dan 3) kemampuan untuk memasukkan emosi dalam kegiatan-kegiatan intelektual. Berdasarkan kriteria disusun indikator yang selanjutnya dirancang item-item skala kecerdasan emosional. Beberapa item yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan item yang telah dipakai oleh peneliti sebelumnya (Albania). Hal ini


(41)

dilakukan dengan pertimbangan kesesuaian pernyataan tersebut dengan kebutuhan dalam penelitian ini.

Selanjutnya item-item yang telah dirancang divalidasikan kepada ahli, untuk mengetahui apakah item yang dibuat sudah sesuai atau valid. Untuk keperluan penelitian ini telah disusun 66 item pernyataan, yang kemudian divalidasikan kepada tiga orang ahli dalam bidang psikologi, satu orang berkualifikasi doktor, satu orang S2 psikologi yang sedang menempuh pendidikan S3 dan satu orang praktisi Bimbingan Konseling di sekolah. Empat item dinyatakan tidak valid oleh dua penilai, selanjutnya item ini tidak dipakai

Setelah dilakukan revisi berdasarkan pertimbangan para ahli, 62 item skala kecerdasan emosional diujicobakan kepada sekelompok mahasiswa. Hasil uji coba digunakan untuk melakukan penskalan terhadap kategori respon yang disediakan. Penskalaan ini dilakukan dengan pendekatan yang berorientasi respon, yaitu penskalaan yang menggunakan data respon untuk menempatkan kategori-kategori respon pada suatu titik di sepanjang kontinum. Salah satu metode dari pendekatan yang berorientasi respon adalah metode penjumlahan rating (method of summated rating).

Pada Tabel 3.11 dan Tabel 3.12 diberikan contoh perhitungan skala untuk penyataan negatif item 1 dan pernyataan positif item 12. Selanjutnya hasil penskalaan ini digunakan untuk menghitung validitas dan reliabelitas masing-masing pernyataan. Dari hasil uji coba diketahui ada 10 item yang tidak valid, sehingga skala kecerdasan emosional yang digunakan memuat 52 item skala kecerdasan emosional yang valid. Skor untuk setiap pernyataan yang valid dari


(42)

skala kecerdasan emosional disajikan dalam lampiran A-5 , skor setiap item kecerdasan emosional bervariasi dari 1 sampai dengan 7. Skor ideal untuk skala kecerdasan emosional adalah 228.

Tabel 3.11: Proses Perhitungan Skor Skala Kecerdasan Emosional Mahasiswa untuk Pernyataan Negatif Nomor 1

Proses Perhitungan SS S KK HTP TP

Frekuensi (f) 0 9 23 10 3

Proporsi (p) = f/n 0.00 0.20 0.51 0.22 0.07 Proporsi Kumulatif (pk) 0.00 0.20 0.71 0.93 1.00

pk tengah 0 0.10 0.46 0.82 0.97

z -3.09 -1.28 -0.11 0.92 1.83

z* = z + 1 2.81 3.98 5.01 5.92

Skor skala (z*dibulatkan) 1 3 4 5 6 Tabel 3.12: Proses Perhitungan Skor Skala Kecerdasan Emosional

Mahasiswa untuk Pernyataan Positif Nomor 12

Proses Perhitungan SS S KK HTP TP

Frekuensi (f) 2 15 23 5 0

Proporsi (p) = f/n 0.04 0.33 0.51 0.11 0 Proporsi Kumulatif (pk) 1.00 0.96 0.62 0.11 0

pk tengah 0.98 0.79 0.37 0.06 0

z 2.01 0.80 -0.34 -1.59 -3.09

z* = z + 6.10 4.89 3.75 2.50 1

Skor skala (z* dibulatkan) 6 5 4 3 1

Skor ideal akan digunakan sebagai pertimbangan dalam menentukan kategori kecerdasan emosional. Kriteria pengkategorian data kecerdasan emosional diberikan dalam tabel berikut:

Tabel 3.13: Kriteria Kategori Kecerdasan Emosional Kecerdasan Emosional

Skor Kategori

Skor < 60% Sangat Rendah 60% Skor < 70% Rendah 70% Skor < 80% Sedang 80% Skor < 90% Tinggi


(43)

D. Pengembangan Perangkat Pembelajaran

Selain instrument, komponen penting yang juga harus dipersiapkan dalam rangka pengumpulan data adalah perangkat pembelajaran. Perangkat pembelajaran ini meliputi rancangan Pelaksanaan Perkuliahan (RPP), dan Lembaran Kerja mahasiswa (LKM). Seperti telah disebutkan dalam penelitian ini yang menjadi subjek penelitian adalah mahasiswa yang sedang mengambil matakuliah matematika diskrit saat penelitian berlangsung. Maka perangkat yang harus dipersiapkan adalah perangkat pembelajaran untuk matakuliah matematika diskrit. Perangkat yang dirancang memperhatikan komponen-komponen dalam pembelajaran berbasis masalah.

Rencana pelaksanaan Perkuliahan yang dirancang untuk keperluan penelitian ini meliputi empat pokok bahasan: prinsip induksi matematik, prinsip inklusi-eksklusi, prinsip sarang merpati dan materi fungsi pembangkit. Untuk setiap materi juga dipersiapkan Lembar Kerja Mahasiswa yaitu satu LKM untuk materi prinsip induksi matematik, satu LKM untuk prinsip inklusi-eksklusi, satu LKM untuk prinsip sarang merpati dan tiga LKM untuk materi fungsi pembangkit. Banyak LKM disesuaikan dengan alokasi waktu untuk menyajikan masing-masing materi. Untuk mendapatkan perangkat yang valid dan layak pakai, maka diperlukan pertimbangan ahli dan praktisi guna mengetahui validasi perangkat yang telah dirancang. Tabel 3.14 menyajikan objek validasi, metode dan instrument yang diperlukan untuk mendapatkan pertimbangan ahli sehubungan dengan perangkat.


(44)

Tabel 3.14: Objek Validasi dan Metode Validasi Perangkat Pembelajaran Objek yang divalidasi Metode

pengumpulan data

Instrumen

1.Apakah perangkat pembelajaran yang disusun sudah memadai untuk digunakan ditinjau dari segi isi dan konstruk ?

a. Apakah isi perangkat yang disusun sudah sesuai dengan sinopsis/deskripsi matakuliah yang dipilih?

b. Apakah memiliki potensi untuk mengembangkan kemampuan komunikasi matemastis mahasiswa?

c. apakah berpotensi memotivasi dan mengembangkan

kecerdasan emosional mahasiswa?

d.apakah dapat mengembangkan aktifitas kreatif mahasiswa dalam belajar?

2. Apakah penyusunan perangkat pembelajaran sudah sesuai dengan prinsip-prinsip penyusunan bahan ajar yang baik ?

3. Dan lain-lain

Diskusi dengan pakar pendidikan matematika dan praktisi (dosen matakuliah) Penuntun diskusi dan lembar validasi

Sebelum perangkat digunakan, dimintakan pertimbangan ahli untuk mengetahui kelayakan perangkat tersebut dalam pembelajaran sesuai tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian. Hasil pertimbangan ahli dan praktisi disajikan dalam Tabel 3.15.


(45)

Tabel 3.15: Hasil Validasi Pakar dan Praktisi terhadap Perangkat Objek yang divalidasi Pendapat

Pakar

Pendapat Praktisi 1. materi ajar sudah memadai ditinjau dari segi isi

dan konstruk

2. materi ajar sudah sesuai dengan sinopsis matakuliah

3. permasalah yang disajikan dalam materi berpotensi mengembangkan kemampuan komunikasi matematis mahasiswa 4. permasalah yang disajikan dalam materi

berpotensi mengembangkan kecerdasan emosional mahasiswa

5.langkah-langkah dalam rencana pelaksanaan perkuliahan dapat memicu tumbuhnya

kemampuan komunikasi matematis mahasiswa 6. langkah-langkah dalam rencana pelaksanaan

perkuliahan dapat memicu tumbuhnya kecerdasan emosional mahasiswa

baik baik baik baik baik baik baik baik baik baik baik baik

Selanjutnya dilakukan uji coba pada kalangan terbatas, dengan tujuan mengetahui keterbacaan perangkat, berkaitan dengan pemahaman mahasiswa terhadap bahasa yang dituangkan dalam LKM, serta langkah-langkah dalam rancangan pembelajaran. Kegiatan ini dilakukan kepada 5 orang mahasiswa yang sebelumnya telah mengambil matakuliah matematika diskrit. Berdasarkan hasil uji coba dilakukan revisi untuk masalah-masalah yang dirasa sulit dipahami, sampai diperoleh perangkat yang dapat dipahami oleh mahasiswa.

E. Prosedur Penelitian

Penelitian ini dibagi dalam tiga tahap, yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan dan tahap penyelesaian. Berikut akan diberikan daftar kegiatan yang akan dilakukan pada setiap tahap.


(46)

1. Tahap Persiapan

Kegiatan yang dilakukan pada tahap persiapan meliputi,

a. merancang perangkat pembelajaran berupa Rencana Pelaksanaan Perkuliahan (RPP) dan lembar kerja mahasiswa (LKM);

b. merancang instrumen penelitian yang terdiri dari tes kemampuan awal matematis (KAM), kemampuan komunikasi matematis (KKM), kemampuan penalaran matematis (KPM), dan skala kecerdasan emosional;

c. melakukan kegiatan bimbingan (konsultasi dengan pembimbing); d. menentukan tempat penelitian dan sampel penelitian;

e. mengurus izin penelitian;

f. uji coba instrument dan analisis hasil uji coba.

2. Tahap Pelaksanaan

Pada tahap pelaksanaan kegiatan yang dilakukan adalah a. Melakukan tes kemampuan awal matematis;

b. Melakukan pre-tes pada kelas eksperimen dan kelas control;

c. Melaksanakan pembelajaran berbasis masalah dikelas eksperimen dan pembelajaran biasa di kelas control pada kedua level sekolah;

d. Melakukan pengamatan selama kegiatan pembelajaran di kelas sampel; e. Melakukan post-tes diakhir percobaan pada kelas sampel;

f. Memberikan skala psikologi untuk kecerdasan emosional pada kelas sampel sebelum dan sesudah pembelajaran.


(47)

3. Tahap Penyelesaian

Pada tahap penyelesaian kegiatan yang dilakukan adalah a. Melakukan analisis dan interpretasi data hasil penelitian b. Membuat laporan hasil penelitian

Semua kegiatan dalam penelitian ini dapat dirangkum dalam tabel berikut: Tabel 3.16: Jadwal Pelaksanaan Penelitian

No Kegiatan Waktu

1 Persiapan Maret – Juni 2010

2 Uji coba Perangkat Juni – Juli 2010

3 Pelaksanaan penelitian Agustus – Desember 2010 4 Analisis data dan pembahasan Desember 2010 – Maret 2011 5 Penyusunan laporan Februari – April 2011

F. Teknik Analisis Data

Analisis data dilakukan untuk dapat menarik kesimpulan berkaitan dengan masalah yang ingin dipecahkan dalam penelitian. Data yang diperoleh terdiri dari data tentang kemampuan komunikasi matematis, data tentang kemampuan penalaran matematis dan data tentang kecerdasan emosional mahasiswa. Langkah yang dilakukan dalam analisis data adalah:

a. Menghitung statistik deskriptif, untuk mengetahui nilai maksimum, nilai minimum, rata-rata dan deviasi standar dari KPM, KKM, berdasarkan pre-tes dan pospre-tes dan menghitung skor KE awal dan KE akhir pada masing-masing kelas yang menjadi sampel penelitian. Perhitungan dilakukan dengan bantuan program exel dan software Minitab.


(48)

b. Untuk mengetahui peningkatan kemampuan komunikasi, penalaran matematis, dan kecerdasan emosional mahasiswa setelah pembelajaran digunakan uji gain ternormalisasi, dengan rumus sebagai berikut:

G =

, (Meltzer, 2002)

Selanjutnya nilai G ini disebut N-Gain yaitu gain ternormalisasi. Hasil perhitungan N-Gain kemudian diinterpretasikan dengan menggunakan klasifikasi dari Hake (1999: 1) yaitu:

Table 3.17: Klasifikasi N-Gain

Besarnya nilai N-Gain Klasifikasi

G > 0,7 tinggi

0,3 < G 0,7 sedang

G 0,3 rendah

c. Melakukan uji normalitas dan uji homogenitas untuk masing-masing data hasil dari pre-tes (awal), postes (akhir) maupun N-Gain. Untuk uji normalitas akan digunakan uji Kolmogorov Smirnov, sedangkan untuk uji homogenitas digunakan uji Levene. Perhitungan dilakukan dengan bantuan software Minitab. Data yang berdistribusi normal dianalisis menggunakan statistik parametrik, dan untuk data yang tidak berdistribusi normal digunakan statistik nonparametrik

d. Berdasarkan disain penelitian yaitu disain faktorial 3 × 2 × 2, maka untuk mengetahui ada atau tidak pengaruh dan interaksi faktor pendekatan pembelajaran, faktor KAM dan faktor level perguruan tinggi terhadap KPM, dan KKM, analisis yang digunakan adalah ANOVA General Linear Model. Berikutnya dilakukan uji beda lanjut pasangan kelompok data (post


(49)

hoc) dengan menggunakan uji Tukey-HSD. Untuk data yang tidak berdistribusi normal, perbedaan dianalisis menggunakan statistik nonparametrik Mann-Withney W tes. Semua analisis dilakukan dengan menggunakan software Minitab.


(50)

BAB V

SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI

A. Simpulan

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah diuraikan pada BAB 4, maka secara umum dapat disimpulkan bahwa pembelajaran berbasis masalah dapat mengambangkan kemampuan penalaran matematis dan kemampuan komunikasi matematematis lebih baik bila dibandingkan dengan pembelajaran konvensional. Untuk kecerdasan emosional mahasiswa pembelajaran berbasis masalah dan pembelajaran konvensional memberikan hasil yang tidak berbeda. Secara rinci dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Berdasarkan hasil analisis data diketahui kualitas peningkatan KPM mahasiswa yang belajar dengan PBL maupun PKV secara keseluruhan terkategori rendah. Pada PT level tinggi mahasiswa yang belajar menggunakan PBL dengan KAM tinggi dan sedang memiliki peningkatan KPM yang terkategori sedang, sementara mahasiswa KAM rendah memiliki peningkatan KPM terkategori rendah. Sama halnya mahasiswa yang belajar dengan PKV untuk KAM tinggi dan sedang juga memiki peningkatan KPM yang terkategori sedang, dan mahasiswa KAM rendah memiliki kualitas peningkatan KPM terkategori rendah. Untuk PT level sedang mahasiswa yang belajar dengan PBL maupun PKV secara keseluruhan memiliki peningkatan KPM terkategori rendah untuk semua kategori KAM.


(51)

2. KAM berpengaruh dalam mengembangkan KPM mahasiswa baik pada PT level tinggi, PT level sedang maupun gabungan ke dua level PT. Pada PT level tinggi peningkatan KPM mahasiswa dengan KAM tinggi dan KAM sedang lebih baik dibandingkan peningkatan KPM mahasiswa dengan KAM rendah. Sedangkan untuk mahasiswa dengan KAM tinggi dan KAM sedang tidak memberikan perbedaan yang berarti. Hal yang sama juga terjadi pada PT level sedang dan gabungan ke dua level PT. 3. Secara deskriptif umumnya peningkatan KPM mahasiswa yang belajar

melalui PBL lebih baik dari peningkatan KPM mahasiswa yang belajar menggunakan PKV. Namun secara statistik, pada gabungan kedua level PT peningkatan KPM mahasiswa yang belajar dengan PBL tidak berbeda secara signifikan dengan peningkatan KPM mahasiswa yang belajar dengan PKV. Hal yang sama juga terjadi pada PT level sedang tidak terdapat perbedaan peningkatan KPM mahasiswa yang belajar dengan PBL dan PKV. Pada PT level tinggi peningkatan KPM mahasiswa yang belajar menggunakan PBL lebih baik dari peningkatan KPM mahasiswa yang belajar menggunakan PKV.

4. Peningkatan KPM mahasiswa PT level tinggi lebih baik bila dibandingkan peningkatan KPM mahasiswa pada PT level sedang

5. Tidak terdapat interaksi antara KAM dan pembelajaran dalam meningkatkan KPM mahasiswa

6. Tidak terdapat interaksi anatara KAM dan level PT dalam meningkatkan KPM mahasiswa


(52)

7. Tidak terdapat interaksi antara pembelajaran dan level PT dalam meningkatkan KPM mahasiswa

8. Tidak terdapat interaksi antara KAM, pembelajaran dan level PT terhadap peningkatan KPM mahasiswa

9. Dikaitkan dengan level penalaran menurut Biggs dan Collis, mahasiswa PT level tinggi yang belajar dengan PBL cenderung memiliki level penalaran multistruktural menuju relational. Sedangkan mahasiswa yang belajar dengan PKV sebagian besar masih berada pada level prestructural. Pada PT level sedang mahasiswa yang belajar dengan PBL cenderung memiliki level penalaran unistructural mendekati multistructural. Sementara mahasiswa yang belajar dengan PKV, sebagian besar masih berada pada level prestructural.

10. Kualitas peningkatan KKM mahasiswa yang belajar menggunakan PBL secara keseluruhan terkategori sedang, sementara mahasiswa yang belajar dengan PKV terkategori rendah. Pada PT level tinggi peningkatan KKM mahasiswa yang belajar dengan PBL untuk KAM tinggi dan sedang terkategori sedang, sementara mahasiswa KAM rendah memiliki peningkatan KKM terkategori rendah. Untuk mahasiswa yang belajar dengan PKV peningkatan KKM mahasiswa KAM tinggi terkategori sedang, sementara mahasiswa dengan KAM sedang dan KAM rendah memiliki peningkatan KKM tergolong rendah. Pada PT level sedang peningkatan KKM mahasiswa yang belajar menggunakan PBL dengan KAM tinggi terkategori sedang, mahasiswa


(53)

KAM sedang dan KAM tinggi memiliki peningkatan KKM terkategori rendah. Sementara mahasiswa yang belajar dengan PKV memiliki peningkatan KKM terkategori rendah untuk semua kategori KAM. 11. Secara keseluruhan dan pada PT level tinggi KAM berpengaruh dalam

meningkatan KKM mahasiswa, tetapi pada PT level sedang KAM tidak berpengaruh terhadap peningkatan KKM. Berdasarkan uji lanjut secara keseluruhan maupun pada PT level tinggi mahasiswa KAM tinggi dan KAM sedang memiliki peningkatan KKM yang lebih tinggi dibandingkan mahasiswa dengan KAM rendah. Sementara mahasiswa KAM tinggi dan KAM sedang memiliki peningkatan KKM yang perberbedaannya tidak berarti pada taraf kepercayaan yang ditetapkan (95%).

12. Peningkatan KKM mahasiswa yang belajar dengan PBL baik secara keseluruhan, pada PT level tinggi, dan pada PT level sedang lebih baik dibandingkan peningkatan KKM mahasiswa yang belajar dengan PKV. 13. Peningkatan KKM mahasiswa pada PT level tinggi lebih baik

dibandingkan peningkatan KKM mahasiswa pada PT level sedang. 14. Tidak terdapat interaksi antara KAM dan pembelajaran dalam

meningkatan KKM mahasiswa

15. Tidak terdapat interaksi antara KAM dan level PT dalam meningkatan KKM mahasiswa

16. Tidak terdapat interaksi antara pembelajaran dan level PT dalam meningkatan KKM mahasiswa


(1)

Copi, Irving M. (1978). Introduction to Logic. New York: Mcmillan Publishing Co, Inc.

Dahlan, J.A.(2004). Meningkatkan Kemampuan penalaran dan Pemahaman Siswa SLTPMelalui Pendekatan Pembelajaran Open-Ended. Bandung: Disertasi SPS UPI

.

Dasari, Dadan. (2009). Meningkatkan Kemampuan Penalaran Statistis Mahasiswa Melalui Pembelajaran Model PACE. Desertasi, SPs UPI Bandung

Darwis, M. (2006). Model Pembelajaran Matematika dengan Mempertimbangkan Kecerdasan Emosional Guru dan Siswa (disingkat Model KEGS). Disertasi PPs UNESA Surabaya

Delisle, R.(1997). How to Use Problem-Based Learning in the Classroom. Alexandrian VA: Association for Supervision and Curriculum Development (ASCD)

Dewanto, Stanley P. (2007). Meningkatkan Kemampuan Representasi Multipel Matematis Mahasiswa Melalui Belajar Berbasis masalah. Desertasi. SPs UPI Bandung

Duch, B.J., Groh, S.E., dan Allen, D.E. (2001). Why Problem-Based Learning: A Case Study of Institutional Change in Undergraduate Education. Dalam B.J.Duch, S.E. Groh, dan D.E. Allen (Eds): The Power of Problem-Based Learning. Virginia: Stylus publishing.

English, Lyn D. (1997). Analogies, Metaphora, and Images: Vihicles for Mathematical Reasoning. In Mathematical Reasoning Analogies, Metaphor and Images edited by English, Lyn D: Lawrence Erlbaum Associates, Inc Foganty, Robin. (1997). Problem-Based Learning and other Curriculum Models for

the Multiple Intelegences Classroom. Hawker Brownlow Education. Melbourn

Gie, The Liang. (1991). Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty.

Gray, E. & Tall, D.: 1994, ‘Duality, ambiguity and flexibility: A proceptual view of simple arithmetic’, Journal for Research in Mathematics Education, v.26, 115-141.


(2)

Greenes, C. & Schulman, L. (1996). Communication Prosesses in Mathematical Explorations and Investigation. In P.C Elliot, and M.J. Kenney (eds). 1996 Yearbook. Communication in Mathematics, K-12 and Beyond. USA: NCTM Goleman, Daniel. (2006). Kecerdasan Emosional. Edisi Bahasa Indonesia terjemahan

T. Hermaya. Jakarta: PT SUN

Hake, R. R. (1999). Analyzing Change/Gain Scores. Woodland Hills: Dept. of Physics, Indiana University. [Online]. Tersedia: http://www.physics. indiana.du/~sdi/ AnalyzingChange-Gain.pdf [19 Maret 2009].

Hakim, Herna. (2008). Meningkatkan Pemahaman Matematik Siswa SMP yang BErkemampuan Rendah Melalui Pembelajaran Berbasais Masalah yang Menekankan pada Representasi Mateamatik. Tesis. SPs UPI Bandung

Harlen, W. (1990). The Teaching of Science Studies in Primary Education. London: David Furton Publisher

Hasratuddin. (2010). Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kecerdasan Emosional Siswa SMP Melalui Pendekatan Realistik. Disertasi. SPs UPI Bandung

Hendriana, Heris. (2009). Pembelajaran dengan Pendekatan Metaphorical Thinking untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Matematik, Komunikasi Matematikl dan Kepercayaan Diri Siswa Sekolah Menengah Pertama. Disertasi. SPs UPI Bandung

Herman, Suherman. 2001. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Malang: JICA.

Herman, Tatang. (20006). Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi Siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP). Disertasi SPs UPI Bandung

Hung, D. (2002). Situated Cognition and Problem-Based Learning: Implications for Learning and Instruction with Technology. Journal of interactive learning Research (2002) 13(4). [online]. Tersedia: http://www.eric.ed. gov/ERICWeb Portal/ recordDetail? accno=EJ664833

Ibrahim, M dan Nur, M. (2000). Pengajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya. University Press


(3)

Krismiati, Atik. (2009). Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Berpikir Kreatif Geometri Siswa SMP Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah Berbantuan Program Cabri Geometri II. Tesis. SPs UPI Bandung Lindquist, Mary M.,& Elliot, Portia C.(1996). Communication an Imperative for

Change: A Conversation with Mary Lindquist. In P.C Elliot, and M.J. Kenney (eds). 1996 Yearbook. Communication in Mathematics, K-12 and Beyond. USA: NCTM

Maesarah, Siti. (2007). Meningkatkan Kemampuan Penalaran matematis Siswa SMA Melalui Pembelajaran Penemuan Terbimbing dengan Menggunakan Tugas Bentuk Superitem. Tesis. SPs UPI. Tidak diterbitkan

Mahmudi, Ali. (2010). Pengaruh Pembelajaran Dengan Strategi MHM Berbasis Masalah Terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif, Kemampuan Pemecahan Masalah, dan Disposisi Matematis, serta Persepsi Terhadap Kreativitas. Disertasi SPs UPI Bandung

Marques, Teresa. (2001). Escola EB 2, 3 Maria Alberta Meneres Portugal. Reflecting to Improve the Communication in the Mathematics Classroom. Tersedia:

http://pisahandbook. pdtr.eu/pages/1.4 Teresa5 20 Maques % 20_PT_

%20/85_ final. pdf

Marzano, Robert. J and Pollock, Jane. E. (2001). Standart- Based Thinking and Reasoning Skill. In Developing Minds a Resource Book For Teaching Thinking. Edited by Arthur L. Costa. USA. ASCD

Masingila, J.O., & Wisniowska, E.P. (1996). Developing and Assesing Mathematical Understanding in Calculus Through writing. In P.C Elliot, and M.J. Kenney (eds). 1996 Yearbook. Communication in Mathematics, K-12 and Beyond. USA: NCTM

Matlin, Margaret W. (2003). Cognition. USA: John Wiley and Sons

Meltzer, D. E. (2002). The Relationship between Mathematics Preparation and Conceptual Learning Gains in Physics: a Possible “Hidden Variable” in Diagnostic Pretest Scores. Ames, Iowa: Department of Physics and Astronomy.[Online].Tersedia:http://www.physics.iastate.edu/per/docs/

Addendum_on_normalized_gain. pdf [19 Maret 2009].

Ministry of Education, Secondary Mathematics Syllabuses Singapore.Year of Implementation: from (2007). Curriculum Planning and Development Division


(4)

Mubayidh, Makmun. (2006). Kecerdasan dan Kesehatan Emosional Anak. Referensi Penting bagi Para Pendidik & Orang Tua. Edisi Bahasa Indonesia terjemahan Muhamad Muchson Anasy. Jakarta: Pustaka Al- Kautsar

NCTM. (2000). Principles and Standards for School Mathematics. Reston, Virginia: The National Council of Teachers of Mathematics, Inc.

Peng, Guohua. (2002).Mathematical College Sichuan University Chengdu 610064 People’s Republic of China.Two Student-Centred Teaching Methods in Mathematics.Tersedia:http://science.Universe.edu.au/pubs/china/vol1/peng.pdf Pirie, E.B. Susan. (1996). Is Anybody Listening ?. In P.C Elliotand M.J Kenney (Eds).

1996 Yearbook. Comunication in Mathematics, K-12 and Beyond. NCTM

Prasetyono, Dwi Sunar. (2010). Tes IQ dan EQ Plus! Mengukur Tingkat Kesuksessan Anda dengan Menguji Potensi dan Bakat Serta Kecerdasan Emosi. Jogyakarta: Buku Biru

Priatna, N. (2003). Kemampuan Penalaran dan Pemahaman Matematika Siswa Kelas III SLTP di Kota Bandung. Disertasi pada PPS UPI: tidak diterbitkan

Ratnaningsih, Nani. (2007). Pengaruh Pembelajaran Kontekstual Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Matematik serta kemamndirian Belajar Siswa SMA. Disertasi SPs UPI Bandung

Peressini, Dominic., & Bassett, Judy. (1996). Mathematical Communication in Student Responses to a Performance-Assessment Task. In P.C Elliotand M.J Kenney (Eds). 1996 Yearbook. Comunication in Mathematics, K-12 and Beyond. NCTM

Ruseffendi, E.T. (2006). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya Dalam Pengajaran Matematika Untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito

Rustamam, Nuryani. (1990). Pengembangan Keterampilan Proses dan Strategi Belajar Mengajar. Bandung, FPIPS IKIP Bandung Tidak Dipublikasikan Sabri. (2003). Prospective Secondary School Teachers’ Conceptions of Mathematical

Proof in Indonesia. Tesis magister pada Universitas Curtin

Sardiman (2001). Interaksi dan Motivasi Belajar mengajar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada


(5)

Schliemeann, Analucia.D, Tufts University & Carraher, David. W, TERC. (2002). The Evolution of Mathematical Reasoning: Everyday versus Idealized Understandings. Development Reviuew 22, 242 – 266.

Setiawan, Andri. (2008). Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi dan Pemecahan Masalah Matematika Siswa SMP. Tesis SPs UPI Bandung

Siegel, Marjorie. (1996). Using Reading to Construct Mathematical Meaning. In P.C Elliot, and M.J. Kenney (eds). 1996 Yearbook. Communication in Mathematics, K-12 and Beyond. NCTM

Simon, M.A. (1996). Beyond Inductive and deductive Reasoning: the Search for a sense of Knowing, educational Sutdies in mathematics, V. 30, 197-210

Sipka, T. (1989). Writing in Mathematics: A Plethora of Possibilities. Using Writing to Teach Mathematics. (ed) Andrew Sterrett. Mathematical Association of America (MAA Notes Series)

Soedjadi, R. (2000). Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia, Jakarta: Dirjen Dikti Depdiknas

Sofyan, Deddy. (2008). Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa SMP (Eksperimen terhadap Siswa Kelas VII di Satu SMPN di Kabupaten Garut). Tesis SPs UPI Bandung

Stien, J., Steven., Book, E. Howard., 2000. The EI Edge: Emotional Intellegence and Your Success (Ledakan EI). Bandung: Kaifa

Subakti, Jani. (2009). Meningkatkan emampuan Penalaran dan Pemecahan Masalah Matematik Siswa SMU Melalui Pendekatan Pembelajaran Berbasis masalah (Studi Eksperimen pada Siswa SMU Negeri di Kabupaten Bandung). Tesis SPs UPI Bandung

Sudjana, Nana. (2002). Media Pengajaran. Bandung: Sinar Baru Algesindo

Sugiatno (2008). Mengembangkan Kemampuan Komunikasi Matematis Mahasiswa Calon Guru Melalui Pembelajaran Matematika dengan Menggunakan Transactional Reading Strategi (TRS). Desertasi. SPs UPI Bandung

Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Penerbit Alberta


(6)

Sullivan,P. (1992). Content SpecificOpen-Ended Questions: AProblem Solving Aproach to Teaching and Learning Mathematics. In M.Horne & M.Supple (eds). Mathematics: Meeting the challenge. Victoria: The Mathematics Association of Victoria Clivelen.

Sumarmo, Utari. (1987). Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematika Siswa Dikaitkan dengan Kemampuan Penalaran Logik Siswa dan Beberapa Unsur Proses Belajar Mengajar. Desertasi: FPS IKIP Bandung

Sumarmo, Utari.(2005). Pembelajaran Matematika Untuk Mendukung Pelaksanaan Kurikulum Sekolah Menengah Tahun 2002 Sekolah Menengah. Makalah pada Seminar Pendidikan Matematika di FMIPA Unv. Negeri Gorontalo

Sumarmo, Utari. (2006). Berpikir Matematika Tingkat Tinggi Apa, Mengapa dan Bagaimana Dikembangkan pada Siswa Sekolah Menengah dan Mahasiswa Calon Guru. Makalah pada Seminar Pendidikan Matematika di FMIPA Universitas Pajajaran Tahun 2006. Bandung

Suryadi, Didi. (2005). Penggunaan Pendekatan Tidak langsung Serta Pendekatan Gabungan Langsung Tidak langsung Dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematik Tingkat Tinggi Siswa SLTP.Disertasi: SPs UPI Bandung

Tan, Oon-Seng. (2004). Enhancing Thingking through Problem-Based Learning Approaches. Singapura: Thomson Learning

Tinggi, E. (1972). Pengertian Matematika. Yogyakarta: Karya

Tucker, Alan. (1984). Applied Combinatorics. Second Edition. John Willey & Son; Inc: Canada

Widodo, Ari. (1998). Hubungan Antara Kemampuan Berkomunikasi dengan Tingkat Berpikir. Laporan Penelitian Tidak Dipublikasikan

Whimbey, Arthur,. Lochhead, Jack,. Linden, Myra J,. Wels, Carol. (2001). What is Write for thinking. In Developing Minds a Resource Book For Teaching Thinking. Edited by Arthur L. Costa. ASCD

Wycoff, Joyce (terjemahan oleh Rina S. Marzuki). (2002). Menjadi Super Kreatif Melalui Metode Pemetaan Berpikir. Bandung: Penerbit Kaifa