PERISTIWA 27 JUNI 1955: Kajian Tentang Hubungan Sipil dan Militer Pada Masa Demokrasi Liberal (1950-1959).

(1)

PERISTIWA 27 JUNI 1955

Kajian Tentang Hubungan Sipil Dan Militer Pada Masa Demokrasi Liberal (1950-1959)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Dari Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Jurusan Pendidikan Sejarah

Oleh Anny Wahyuni

(0806582)

JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

BANDUNG 2013


(2)

ABSTRAK

Skripsi yang berjudul “Peristiwa 27 Juni 1955: Kajian Tentang Hubungan Sipil dan Militer Pada Masa Demokrasi Liberal (1950-1959)” berisi mengenai sebab-sebab terjadinya peristiwa 27 Juni 1955. Permasalahan yang utama dalam bahasan skripsi ini adalah “ Bagaimana terjadinya Peristiwa 27 Juni 1955”. Masalah utama ini kemudian dibagi menjadi tiga pertanyaan penelitian yaitu (1) mengenai Apa yang melatarbelakangi terjadinya Peristiwa 27 Juni 1955?; (2) Bagaimana kronologis Peristiwa 27 Juni 1955?; (3) Bagaimana dampak Peristiwa 27 Juni 1955 terhadap hubungan sipil dan militer? Metode yang digunakan adalah metode historis dengan melakukan empat langkah penelitian yaitu pertama: heuristik, heuristik dimulai dengan mencari dan mengumpulkan sumber-sumber mengenai Peristiwa 27 Juni 1955. Kedua kritik, kritik terhadap sumber-sumber-sumber-sumber yang diperoleh. Ketiga menginterpretasikan data. keempat historiografi. Sedangkan untuk pengumpulan data penulis melakukan teknik studi literatur yaitu mengkaji sumber-sumber yang relevan dengan kajian penulis. Berdasarkan hasil peneitian diperoleh kesimpulan. Pertama, militer merupakan suatu organ yang penting di miliki oleh pemerintah dalam suatu negara guna mempertahankan dan memelihara keamanan bangsa, pada masa Demokrasi Liberal (19501959) militer di tempatkan dibawah supremasi sipil. Kedua, pada masa Demokrasi Liberal merupakan zaman keemasan bagi partai-partai politik dan mereka saling memperebutkan kedudukan di parlemen menyebabkan usia kabinet tidak cukup lama. Terjadinya pergantian kabinet ini menyebabkan militer tidak puas dengan sistem pemerintahan Indonesia dan mereka menunjukan sikap keras serta menentang kebijaksanaan kabinet. Ketiga, akibat dari ketidak puasaan militer terhadap pemerintahan sipil pada masa demokrasi liberal menyebabkan terjadinya peristiwa 27 Juni 1955. Militer melakukan pemboikotan ketika Bambang Utoyo diangkat menjadi KSAD. Pemboikotan ini di pimpin oleh Kolonel Zulkifli Lubis. Sehingaa Zulkifli Lubis dipecat dari jabatannya. Keempat, Peristiwa 27 Juni berdampak jatuhnya kabinet Ali dan digantikan oleh Burhanudin Harahap. Pada masa Kabinet Burhanudin Harahap di ambil kebijakan menghentikan Bambang Utoyo sebagai KSAD dan menggantikannya dengan Nasution serta mencabut pemecatan terhadap Kolonel Zulkifli Lubis. Peristiwa 27 Juni 1955 merupakan aksi protes Angkatan Darat kepada Pemerintahan Sipil Karena terlalu ikut campur dalam urusan militer. Dan mereka menganggap sistem Demokrasi Liberal itu tidak cocok dilaksanakan di Indonesia karena setiap kabinet yang berkuasa tidak pernah menjabat dalam waktu yang cukup lama disebabkan koalisi antara partai tidak berjalan cukup lama dan kuat sehingga setiap kabinet mudah jatuhnya dan AD meminta kembali kepada UUD 1945.


(3)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

UCAPAN TERIMAKASIH ... iv

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ...8

C. Tujuan Penelitian ...8

D. Metode Teknik Penelitian ……….. 8

E. Manfaat Penelitian ...11

F. Sistematika Penulisan ……….. 12

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Hubungan Sipil dan Militer ...14

B. Hubungan Sipil dan Militer Pada Masa Demokrasi Liberal ...24

C. Peristiwa 27 Juni 1955...33

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode dan Teknik Penelitian ...38

B. Persiapan Penelitian...43

C. Pelaksanaan Penelitian ………. 45

D. Penulisan Laporan Penelitian ... 55

BAB IV PEMBAHASAN A. Latar Belakang Peristiwa 27 Juni 1955 ... 58

B. Kronologis Peristiwa 27 Juni 1955... 81

C. Dampak Peristiwa 27 Juni 1955 Terhadap Hubungan Sipil dan Militer …91 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 117


(4)

DAFTAR PUSTAKA ... 123 LAMPIRAN


(5)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Militer adalah sebuah organisasi yang paling sering melayani kepentingan umum tanpa menyertakan orang-orang yang menjadi sasaran usaha-usaha organisasi. Militer merupakan salah satu organ yang penting di miliki oleh pemerintah dalam suatu Negara. Tujuan pokok adanya militer dalam satu negara seperti yang dikatakan Finer, untuk bertempur dan memenangkan peperangan. Guna mempertahankan dan memelihara eksistensi negara. Hakekat tugas militer yang sebenarnya dalam suatu negara ialah melatih diri dan menyediakan perlengkapan untuk menghadapai musuh dari luar, mereka (golongan militer) yang harus bertanggung jawab dalam berbagai bidang keamanan dan keselamatan umum terhadap ancaman musuh dari luar (Muhaimin, 2005:1)Militer merupakan suatu kelompok orang-orang yang diorganisasi dengan disiplin untuk melakukan pertempuran yang dibedakan dari orang-orang sipil (Masa demokrasi liberal berdasarkan sistem multipartai yang banyak memiliki segi positif dan juga memiliki segi negatif.

Dalam periode 1950-1959 yang disebut sebagai Demokrasi Liberal merupakan zaman keemasan kehidupan partai-partai politik di Indonesia. Suatu masa dimana dalam sejarah perjalanan partai-partai politik yang penuh kegairahan dan dinamika. Boleh dikatakan hampir dalam struktur kenegaraan diperebutkan oleh “orang orang partai” karena menganut sistem pemerintahan Parlementer. Kursi-kursi di pemerintahan diperebutkan oleh partai-partai politik yang lebih banyak memunculkan perbedaan


(6)

pendapat daripada menghasilkan rumusan-rumusan konstruktif demi kepentingan nasional. Sedangkan Soekarno lebih banyak sebagai pengendali pemerintah di atas pertentangan antar partai. Posisi golongan tentara berjajar menjadi “penonton” serta bertugas sebagai pelaksana setiap kebijaksanaan pemerintah. Agenda sidang kabinet banyak berisi tentang pertikaian kepentingan yang begitu tajam antar partai politik. Keadaan ini terjadi pada masa Demokrasi Liberal. Seringnya pergantian kabinet karena perbedaan pendapat antara partai, banyak menimbulkan kejengkelan golongan tentara, sehingga sering pula pihak tentara menunjukan sikap yang keras dan menentang kebijaksanaan kabinet. Melihat gejolak pemerintahan dalam sistem parlementer nampak bahwa tentara merasa terombang ambing oleh sikap para pemimpin sipil dari partai-partai yang boleh di bilang “kurang becus memegang kursi parlemen dan kabinet” dalam situasi yang demikian golongan tentara nampak aktif mengikuti terus jalannya politik, tetapi tidak melakukan tindakan.

Ketika revolusi berakhir dan negara harus dibangun kembali, banyak diantara perwira Angkatan Darat (AD) yang sulit menerima kenyataan bahwa mereka harus mundur di latar belakang kehidupan negara. Di samping itu, sejak tahun 1950 mereka masih meneruskan perjuangan untuk menumpas berbagai pemberontakan dan gangguan dalam negeri. Dilain pihak kekhawatiran mereka menyaksikan manajemen negara yang sangat tidak efesien oleh pemerintahan sipil yang korup dalam pemerintahan.

Menurut Lev (1996:6) dalam Nasution (2009:281) menyebutkan

“Mereka mengecam perpecahan nasional, kekacauan ideologi pertikaian politik, cara kerja yang tidak efesien birokratisme, korupsi dan kurangnya kesepakatan yang menjadi sangat nyata sejak peralihan kekuasaan; dan penataan oleh


(7)

pemerintah sipil dituduh sebagai penyebab kekurangan-kekurangan dalam tubuh AD sendiri.”

Akibatnya, muncul ketidakpuasan yang meluas antara korps perwira, dan ini membangkitkan kembali kecendrungan mereka untuk melakukan intervensi politik atau mempengaruhi proses pengambilan keputusan politik negara. Sudah menjadi rahasia umum bahwa dari awal AD menolak asas supremasi pemerintahan sipil terutama kendali dalam urusan militer, menurut Mc Vey (1971:131) dalam Nasution (2009: 281). Karena kurangnya penghargaan AD terhadap sistem parlementer yang mereka anggap sebagai hasil pemikiran Liberal-Demokrasi yang hanya dimengerti oleh orang-orang elite sipil yang berpendidikan Belanda dan sesudah revolusi mereka mengetahui bahwa pemerintahan parlementer tidak akan memberi kesempatan untuk membebaskan AD dari pengawasan sipil, menurutMc Vey (1971:132) dalam Nasution (2009: 282).

Dengan sistem multipartai ini AD mulai tidak senang, tetapi AD sendiri pada waktu itu masih mengalami kebingungan di dalam tubuhnya yaitu jiwa dan pikirannya masih membelah dua, pendiriannya belum ditentukan kearah mana akan dikembangkan pertumbuhan dan fungsinya. Sementara itu sistem pemerintahan parlementer tidak mampu membuktikan tumbuhnya stabilitas politik. Ketidak stabilan politik dibuktikan dengan jatuh bangunya kabinet-kabinetdalam waktu amat pendek. Sistem parlementer yang tidak di topang oleh sebuah partai yang menguasai suara mayoritas (mayoritas tunggal) atau sebuah koalisi yang kuat dari partai-partai pemegang suara mayoritas sehingga menghasilkan pemerintah yang tidak stabil. Keraguan tentara terhadap sistem parlementer semakin lama semakin membesar sehingga mereka mulai melakukan pencarian alternatif.


(8)

“Didalam sistem parlementer ini, kekuasaan politik dan pembuat keputusan adalah partai politik saja. Presiden dan kaum militer merupakan kekuatan politik yang sifatnya ekstra parlementer dengan kekuasaannya yang terbatas (muhaimin 1982;68). Personal dan kebijaksanaan eksekutif kurang lebih erat hubungannya dan distribusi pendapat dan kepentingan yang diwakili dalam dewan perwakilan rakyat. Bilamana pemerintahan menjalankan suatu program yang tak mendapat dukungan dari mayoritas anggota dewan, pemerintah dapat dicopot dari jabatannya dan digantikan oleh pemerintah baru yang mempunyai komitmen pada program yang berbeda (Rodee et al, 1988:80).”

Di sepanjang umurnya Indonesia selalu menghadapi kesulitan serius menempatkan militer pada posisi yang sebenarnya. Selepas kemerdekaan, republik Indonesia berhasil meletakkan militer di bawah kontrol sipil secara demokratis. Tetapi pada saat yang sama militer selalu bernafsu untuk masuk ke sektor politik dan meruntuhkan kontrol sipil terhadap militer. Konon militer menuduh sipil sangat lemah dan jengkel terhadap diplomasi sipil yang bertele-tele yang membuat militer tanpa keputusan sipil mengangkat senjata untuk menghadapi agresi Belanda. Konteks inilah yang pertama kali membuat runtuh kontrol sipil terhadap militer. Bahkan cerita sukses gerilya militer (tentara rakyat) di masa-masa revolusi (1945-1950), selalu direproduksi militer untuk melegitimasi dirinya pada masa-masa sesudahnya.

“Tingkat profesionalisme suatu pekerjaan tertentu diukur lewat pelaksanaan metode, karakter, status dan standar orang-orang yang berkecimpung didalamnya. Profesi itu sendiri adalah suatu pekerjaan yang memerlukan latihan dan pendidikan yang sempurna dalam suatu bidang terspesialisasi. Seperti halnya semua birokrasi modern lain. Militer diorganisasikan berdasarkan keahlian dan fungsi. Ia bertekad untuk melindungi dan mempertahankan integrasi dan otonomi profesionalisme militer karena ia sangat membela prinsip eksklusivitas namun begitu tentara dapat melindungi dirinya sendiri, memaksakan kehendak dan tuntutannya dan mengancam akan menggunakan cara paling keras yang tersedia bagi negara yang bersangkutan (Perlmutter, 1984: 1 dan 436).”


(9)

Pada masa Kabinet Natsir (September 1950-Maret 1951) kerjasama sipil dan militer tampak harmonis. Pada periode 1952 timbul perbedaan pandangan antara militer dan sipil pertentangan ini meruncing pada masa kabinet Wilopo yaitu dengan meletusnya peritiwa 17 Oktober 1952. Dalam peristiwa ini markas besar AD menempatkan satuan-satuan bersenjata di depan Istana Presiden sambil mengarahkan meriam mereka ke pintu istana dan mengirim delegasi korps perwira untuk bertemu dengan Presiden Soekarno dengan maksud mendesak supaya ia membubarkan parlemen dan mengambil alih pemerintahan parlementer serta digantikan dengan kabinet presidensial dibawah kepemimpinanya sendiri, menurut Feith (1962:258-260: Sundhaussen,1982:70-71) dalam Nasution (2009:282). Usaha militer untuk mengubah sistem pemerintahan dari pemerintahan parlementer menjadi sistem pemerintahan presidensial yang otoriter ini ternyata gagal karena presiden Soekarno menolak tuntutan mereka dan menegaskan bahwa ia tidak akan menjadi diktator.

Percobaan kudeta 17 Oktober 1952 serta penyelesaian masalah 17 Oktober yang berlarut-larut dan tak kunjung diselesaikan sehingga menyebabkan suasana pro dan kontra dikalangan AD, akhirnya mereka berpendapat bahwa masa krisis harus segera diselesaikan dan di akhiri. Setelah masalah ini terkatung-katung selama 28 bulan pada tanggal 21 Juni 1955 diadakan rapat-rapat angkatan darat yang di laksankaan di Yogyakarta. Rapat ini menghasilkan Piagam Yogyakarta.

Perkembangan paska piagam Yogya mengalami babak baru dengan mundurnya Kepala Staff Angkatan Darat Bambang Sugeng pada tanggal 2 mei 1955. Mundurnya Bambang Sugeng sudah lama di tunggu-tunggu oleh beberapa perwira anti-17 Oktober


(10)

mereka adalah Kolonel Bambang Supeno, Kolonel Zulkifli Lubis, Letkol Sapari dan Letkol Abimayu. Bahkan perwira tersebut sudah mengadakan pertemuan dengan menteri pertahanan dan Presiden untuk menurunkan Bambang Sugeng dari jabatannya semenjak bulan September 1954. Sejak awal pengangkatan bambang sugeng memang bersifat politis dan hanya mengandalkan dukungan dari Perdana Mentri Wilopo. Bambang Sugeng dinilai gagal dalam membina keutuhan AD dan dimata para politisi sipil tidak mempunyai wibawa sehingga mudah dilangkahi wewenangnya oleh Menteri Pertahanan. Ia juga tidak mampu melaksanakan isi Piagam Yogya. Sebenarnya ini sudah disadari semenjak tahun 1953 ketika ia mengajukan permohonan mengundurkan diri dari jabatannya untuk pertama kali. Permohonan pengunduran ini pertama kali langsung disetujui oleh pemerintah dan untuk mengisi jabatan KSAD ditunjuk pejabat sementara yaitu wakil KSAD Kolonel Zulkifli Lubis.

Seperti yang diketahui pada waktu pengangkatan Bambang Sugeng sebagai KSAD, hanya semata-mata akibat pertentangan politik yang bergejolak saat itu. Seperti kasus mosi dari Manai Sophian pada masa Kabinet Wilopo sampai meletusnya Peristiwa 17 Oktober 1952. Ketika dipilih menjadi KSAD, Bambang Sugeng adalah perwira yang netral yang tidak memihak salah satu pihak dari kelompok pro -17 Oktober maupun kontra 17 Oktober. Ternyata harapan untuk menyelesaikan masalah persatuan dalam AD ternyata tidak berhasil. Sebelum Bambang Sugeng mengundurkan diri dari jabatannya, ia telah mempersiapkan sebuah mutasi besar-besaran dalam tubuh AD tetapi rencana mutasi ini ditolak oleh Iwa Kusuma Sumantri. Ada kemungkinan


(11)

penolakan rencana mutasi ini menjadi sebab utama Bambang Sugeng mengundurkan diri dari jabatannya dan Kabinet mengabulkan permintaan Bambang Sugeng.

Pengunduran diri Bambang Sugeng kemudian menjadi suatu test case bagi kalangan politisi sipil terhadap kesediaanya untuk melepaskan campur tangannya dalam pengangkatan dan pengisian personalia pada jabatan militer yang biasa mereka dasarkan pada pertimbangan politik dan sekaligus merupakan ujian dari kalangan militer sehubungan dengan pelaksanaan Piagam Yogya.

Peristiwa 17 Oktober 1952 membawa rentetan kejadian antara lain, Kolonel Bambang Sugeng, meletakan jabatan. Sementara itu di lingkungan AD para perwira mengadakan pembicaraan untuk menentukan kriteria calon KSAD yang baru dan pemerintah juga memikirkan kriteria-kriteria sendiri untuk memilih KSAD yang baru. Pemerintah menunjuk Bambang Utoyo sebagai kepala staff AD yang baru, protes pemimpin AD sendiri terhadap pengangkatan kolonel Bambang Utoyo sebagai KSAD pada tanggal 27 Juni 1955 secara sepihak menyebabkan AD tidak dapat menerima keputusan pemerintah. Hal ini menimbulkan keputusan baru dalam tubuh TNI-AD maupun pemerintah. Implikasi dan peristiwa – peristiwa yang ada di dalam tubuh TNI-AD telah memberi pengaruh dalam kehidupan politik TNI TNI-AD dalam pemerintahan. Sehingga hal ini menarik minat penulis untuk mengkaji lebih dalam PERISTIWA 27 JUNI 1955 : Kajian Tentang Hubungan Sipil Dan Militer Pada Masa Demokrasi Liberal.


(12)

B. Rumusan dan Batasan Masalah.

Berdasarkan latar belakang diatas maka yang menjadi pokok permasalahan yang akandi angkat adalah “ Bagaimanakah Terjadinya Peristiwa 27 Juni 1955?”. Adapun untuk lebih memperjelas kajian dalam skripsi ini, maka rumusan masalah dikerucutkan dalam pertanyaan pertanyaan yang lebih rinci sebagai berikut:

1. Apa yang melatarbelakangi terjadinya Peristiwa 27 Juni 1955? 2. Bagaimana kronologis Peristiwa 27 Juni 1955?

3. Bagaimana dampak Peristiwa 27 Juni 1955 terhadap hubungan sipil dan militer?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian yang dilakukan penulis dalam skripsi yang berjudul “Peristiwa 27 Juni 1955: kajian tentang hubungan sipil dan militer pada masa Demokrasi Liberal (1950-1959)” memiliki tujuan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui alasan penyebab terjadinya peristiwa 27 juni 1955. 2. Untuk menjelaskan kronologis peristiwa 27 Juni 1955.

3. Untuk mengetahui dampak peristiwa 27 Juni 1955 terhadap hubungan sipil dan militer.

D. Metode Teknik Penelitian 1. Metode Penelitian

Dalam skripsi ini, metode yang penulis gunakan metode historis yang lazim digunakan dalam penelitian sejarah. Menurut Louis Gottschalk (1986:32) metode historis merupakan proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau. Di samping itu, metode sejarah merupakan petunjuk


(13)

pelaksanaan dan petunjuk teknik tentang bahan, kritik, interpretasi, dan penyajian sejarah. Adapun langkah-langkah penelitian ini mengacu pada proses metodologi penelitian dalam penulisan sejarah, yang mengandung empat langkah penting, diantaranya:

a. Heuristik, merupakan upaya mencari dan mengumpulkan sumber-sumber yang berkaitan dengan permasalahan yang dikaji, dalam proses mencari sumber ini penulis mendatangi berbagai perpustakaan, dan mencari sumber-sumber melalui internet.

b. Kritik, yaitu dengan melakukan penelitian terhadap sumber-sumber sejarah baik isi maupun bentuknya (internal dan eksternal). Kritik internal dilakukan penulis untuk melihat kelayakan isi dari sumber-sumber yang diperoleh tersebut untuk selanjutnya dijadikan bahan penelitian dan penulisan skripsi. Kritik eksternal dilakukan oleh penulis untuk melihat betuk dari sumber tersebut. Dalam tahap ini, penulis berusaha melakukan penelitian terhadap sumber-sumber yang di peroleh yang tentunya berkaitan dengan topik penelitian ini.

c. Interpretasi dalam hal ini penulis memberikan penafsiran terhadap sumber-sumber yang telah dikumpulkan selama penelitian berlangsung. Dalam tahap ini penulis mengerahkan seluruh kemampuan dalam membuat deskripsi, analisis kritis serta seleksi dari fakta-fakta tentang Peristiwa 27 Juni 1955 Kajian tentang hubungan sipil-dan militer pada masa demokrasi liberal, sehingga menghasilkan bentuk penulisan sejarah yang lengkap. Kegiatan


(14)

penafsiran ini dilakukan dengan cara menafsirkan fakta dan data dengan konsep yang telah di teliti penulis sebelumnya. Penulis juga melakukan pemberian makna terhadap fakta dan data yang kemudian disusun, ditafsirkan dan dihubungkan satu sama lain. Fakta dan data yang telah diseleksi selanjutnya dijadikan pokok pikiran sebagai kerangka dasar penyusunan penelitian ini. Misalnya dalam kegiatan ini penulis memberikan penekanan penafsiran terhadap fakta dan data yang berkaitan dengan penelitian ini. Penjelasan lebih lanjut tentang metode ini akan di bahas pada BAB III dalam metodologi penelitian.

d. Historiografi merupaka langkah terakhir dalam penelitian ini. Dalam hal ini penulis menyajikan hasil temuannya pada tiga tahap yang dilakukan sebelumnya dengan cara menyusunnya dalam satu tulisan yang jelas dalam bahasa yang sederhana dan menggunakan tata penulisan EYD yang baik dan benar.

2. Teknik Penelitian

Dalam mengumpulkan sumber-sumber yang di perlukan untuk penulisan skripsi ini, penulis menggunakan teknik studi literatur. Studi literatur digunakan oleh penulis untuk mengumpulkan fakta dari berbagai sumber yang relevan dengan penelitian yang dikaji, baik literatur lokal maupun asing yang semua itu dapat memberikan informasi mengenai permasalahan yang hendak dikaji. Sumber yang dapat dikumpulkan penulis hanya sumber tertulis yang merupakan sumber sekunder. Oleh karena itu penulis hanya


(15)

akan melakukan teknik studi literatur ini karena disesuaikan dengan permasalahan yang dikaji.

E. Manfaat Penelitian

Nilai suatu penelitian dapat dilihat dari besarnya manfaat yang bisa diperoleh dari penelitian tersebut. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Mengetahui dinamika hubungan sipil dan militer pada masa Demokrasi Liberal (1950-1959).

2. Mengetahui dampak peristiwa 27 Juni 1955

3. Memberikan sumbangan pengetahuan ilmiah yang berguna dalam rangka pengembangan ilmu sejarah.

4. Dengan penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi para pembaca tentang Peristiwa 27 Juni 1955.

F. Sitematika Penulisan

Sitematika penulisan dibuat dengan dua tujuan. Pertama, sebagai langkah bagi penulis untuk menyusun bab-bab yang belum terselesaikan. Kedua, untuk mempermudah pembaca dalam memahami keseluruhan bagian skripsi. Untuk mendapat gambaran yang jelas dari penelitian dan penulisan skripsi ini. Sistematika penulisan akan disusun kedalam lima bab yang terdiri dari :

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini akan membahas mengenai latar belakang masalah yang didalamnya termuat mengenai alasan dan pentingnya penelitian mengenai “peritiwa 27 Juni 1955


(16)

kajian tentang hubungan sipil dan militer pada masa Demokrasi Liberal (1950-1959)”. Pada bab ini juga membahas mengenai rumusan masalah yang disusun dalam bentuk kalimat pertanyaan untuk mempermudah peneliti mengkaji dan mengarahkan pembahasan, tujuan peneltian, metode dan teknik penelitian serta sistematika penelitian.

BAB IIKAJIAN PUSTAKA

Bab ini merupakan kajian pustaka dari berbagai referensi yang berhubungan dengan “Peristiwa 27 Juni 1955: Kajian Tentang Hubungan Sipil dan Militer Pada Masa Demokrasi Liberal (1950-1959)”. Untuk mengkaji dan memahami serta menganalisis sejauh mana pembahasan yang diteliti dalam penulisan skripsi ini.

BAB IIIMETODOLOGI PENELITIAN

Bab ini membahas tentang langkah-langkah, metode dan teknik penelitian yang digunakan oleh peneliti dalam mencari sumber-sumber, cara pengolahan sumber, analisis dan sitematika penulisannya. Semua prosedur dalam penelitian akan dibahas dalam bab ini.

BAB IVPERISTIWA 27 JUNI 1955 KAJIAN TENTANG HUBUNGAN SIPIL DAN MILITER PADA MASA DEMOKRASI LIBERAL (1950-1959).

Bab ini merupakan isi utama dari tulisan sebagai jawaban pertanyaan-pertanyaan yang terdapat pada rumusan masalah. Pada bab ini akan di jelaskan konflik antara politisi dan militer serta keadaan TNI-AD menjelang peristiwa 27 Juni 1955. Sikap


(17)

pemerintah terhadap peristiwa 27 Juni 1955. Pada bab ini juga akan dibahas mengenai dampak peristiwa 27 Juni 1955 terhadap TNI-AD dan terhadap pemerintahan.

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Bab ini mengemukakan kesimpulan dan yang merupakan jawaban dari masalah keseluruhan. Hasil terakhir ini merupakan temuan dan interpretasi dari peneliti tentang inti pembahasan.


(18)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Dalam bab ini kan menjelaskan tentang metode penelitian yang akan di pakai dalam membahas permasalahan yang berkaitan dengan skripsi yang berjudul “Peristiwa 27 Juni 1955: Kajian Tentang Hubungan Sipil Dan Militer Pada Masa Demokrasi Liberal (1950-1959)”. Metodologi yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah metode historis dan teknik penelitian berupa literatur.

Pada bagian pertama penulis akan memaparkan metode dan teknik penelitian secara teoritis sebagai acuan dalam pelaksanaan penelitian yang akan penulis lakukan. Pada bagian kedua, akan di jelaskan mengenai tahapan-tahapan persiapan dalam pembuatan skripsi yaitu penentuan dan pengajuan tema, penyusunan rancangan penelitian, dan proses bimbingan. Bagian ketiga berisi tentang pelaksanaan penelitian yang dimulai dari pengumpulan data (heuristik) baik sumber tertulis maupun sumber lisan, kritik, sumber dan interpretasi. Pada bagian akhir akan dipaparkan mengenai proses penulisan skripsi (historiografi) sebagai bentuk laporan tertulis dari penelitian sejarah yang di lakukan

A. Metode dan Teknik Penelitian 1. Metode Penelitian

Metode historis adalah rekonstruksi imajinatif tentang gambaran masa lampau peristiwa-peristiwa sejarah secara kritis dan analitis berdasarkan bukti-bukti dan data peninggalan masa lampau yang disebut sumber sejarah (Ismaun, 2005: 34). Pernyataan ini sependapat dengan Garrangan bahwa metode sejarah merupakan seperangkat aturan yang sistematis dalam mengumpulkan sumber


(19)

sejarah secara efektif, melakukan penilaian secara kritis dan mengajukan sintesis dari hasil-hasil yang dicapai dalam bentuk tulisan (Abdurrahman, 1999:43). Selain itu pengertian metode sejarah adalah suatu proses pengkajian penjelasan dan penganalisaan secara kritis terhadap rekaman serta peninggalan masa lampau (Sjamsuddin, 2007: 17-19). Abdurrahman (1999:43) metode sejarah dalam pengertian secara umum adalah penyelidikan atas sesuatu masalah dengan mengaplikasikan jalan pemecahannya dari perspektif historis.

Ciri-ciri khas metode sejarah yaitu :

1. Metode sejarah lebih banyak menggantungkan diri pada data yang diamati orang lain di masa lampau.

2. Data yang dipergunakan banyak bergantung pada data primer dibandingkan dengan data sekunder. Bobot data harus dikritik, baik secara internal maupun eksternal.

3. Metode sejarah mencari data secara lebih tuntas serta menggali informasi yang lebih tua yang tidak diterbitkan ataupun yang tidak dikutip dalam bahan acuan yang standar.

4. Sumber data harus dinyatakan secara benar, baik nama pengarang, tempat dan waktu. Sumber tersebut harus diuji kebenarannya.

Dari beberapa pengertian diatas, penulis berasumsi bahwa metode sejarah digunakan berdasarkan pertimbangan bahwa data-data yang digunakan berasal dari masa lalu sehingga perlu dianalisis terhadap tingkat kebenarannya agar kondisi pada masa lampau dapat digambarkan dengan baik. Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam penelitian sejarah, metode historis merupakan suatu


(20)

metode yang digunakan untuk mengkaji suatu peristiwa atau permasalahan pada masa lampau secara deskriptif dan analitis. Oleh sebab itu penulis menggunakan metode ini karena data dan fakta yang di butuhkan sebagai sumber penelitian skripsi ini berasal dari masa lampau. Dengan demikian, metode sejarah merupakan metode yang paling cocok dengan penelitian ini khususnya mengenai “Peristiwa 27 Juni 1955: Kajian Tentang Hubungan Sipil Dan Militer Pada Masa Demokrasi Liberal (1950-1959)”.

Mengemukakan ada enam langkah dalam metode historis (Sjamsuddin, 2007 : 89) yaitu

1. Memilih suatu topik yang sesuai.

2. Mengusut semua evidensi (bukti) yang relevan dengan topik.

3. Membuat catatan tentang apa saja yang dianggap penting dan relevan dengan topik yang ditemukan ketika penelitian sedang berlangsung. 4. Mengevaluasi secara kritis semua evidensi yang telah di kumpulkan

(kritik sumber).

5. Menyusun hasil-hasil penelitian (catatan fakta-fakta) ke dalam suatu pola yang benar berarti yaitu sistematika tertentu yang telah disiapkan sebelumnya

6. Menyajikannya dalam suatu cara yang dapat menarik perhatian dan mengkomunikasikannya kepada para pembaca sehingga dapat dimengerti sejelas mungkin.


(21)

Pendapat lain dikemukakan oleh Kuntowijoyo (2003:89) mengemukakan bahwa dalam melaksanakan penelitian sejarah terdapat lima tahapan yang harus ditempuh yaitu:

1. Pemilihan topik. 2. Pengumpulan sumber

3. Verifikasi (kritik sejarah atau keabsahan sumber). 4. Interpretasi, analisis dan sintesis.

5. Penulisan.

Sementara itu, metode sejarah menurut Ernest Bernsheim yang terdapat dalam buku Ismaun (2005:32) mengatakan bahwa ada beberapa langkah yang harus dilakukan dalam mengembangkan metode historis. Langkah yang harus di lakukan dalam melakukan penelitian historis tersebut adalah :

1. Heuristik yakni mencari, menemukan dan mengumpulkan sumber-sumber sejarah.

2. Kritik yaitu menganalisis secara kritis sumber-sumber sejarah.

3. Aumasung yakni penangkapan terhadap fakta-fakta sejarah yang dipunguti dari sumber sejarah.

4. Dahrstellung yaitu penyajian cerita yang memberikan gambaran sejarah yang terjadi pada masa lampau yang penulis wujudkan dalam bentuk skripsi yang berjudul “Peristiwa 27 Juni 1955 ; Kajian Tentang Hubungan Sipil dan

Militer Pada Masa Demokrasi Liberal (1950-1959).

Agar metode sejarah mempunyai makna yang lengkap dan komprehensif, maka dalam melaksanakan penelitian sejarah harus memperhatikan hal-hal berikut (Kartodirdjo, 1992: 236):

1. Dalam historiografi diperlukan pendekatan fenomenalogis yang didasarkan atas pengalaman dan pemahaman pelaku sendiri.


(22)

2. Pengungkapan yang bersifat reflektif, sehingga dimungkinkan tetap adanya kesadaran akan subjektivitas diri sendiri seperti kepentingan, perhatian, logika, metode dan latar belakang historisnya.

3. Bersifat komprehensif, sehingga memilki relevansi terhadap realitas sosial dari berbagai ruang lingkup.

4. Perlu memiliki relevansi terhadap kehidupan praktis.

2. Teknik Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini penulis menggunakan teknik studi kepustakaan atau literatur. Studi kepustakaan ini di lakukan dengan membaca bab mengkaji buku-buku serta artikel yang dapat membantu penulis dalam memecahkan permasalahan yang dikaji yaitu mengenai Peristiwa 27 Juni 1955. Berhubungan dengan ini, dilakukan kegiatan kunjungan pada perpustakaan-perpustakaan yang ada di Bandung serta Jakarta yang mendukung dalam penulisan ini. Setelah berbagai literatur terkumpul dan cukup relevan sebagai acuan penulisan mulai mempelajari, mengkaji dan mengidentifikasikan serta memilih sumber yang relevan dan dapat dipergunakan dalam penulisan.

Berdasarkan penjelasan diatas, penulis mencoba memaparkan beberapa langkah yang digunakan dalam melakukan penelitian sehingga menjadi karya tulis ilmiah yang sesuai dengan tuntutan keilmuan. Langkah-langkah yang dilakukan terbagi menjadi tiga tahap yaitu persiapan penelitian, pelaksanaan penelitian dan laporan penelitian.


(23)

B. Persiapan Penelitian

1. Penentuan dan Pengajuan Tema Penelitian

Tahap ini merupakan tahap yang paling awal untuk memulai suatu jalannya penelitian. Pada tahap ini penulis melakukan proses memilih dan menentukan topik yang akan dikaji kemudian penulis melakukan upaya-upaya pencarian sumber dengan membaca berbagai sumber literatur yang berhubungan dengan tema yang penulis kaji. Berdasarkan pembacaan dari literatur, penulis selanjutnya mengajukan rancangan judul penelitian kepada Tim Pertimbangan Penulisan Skripsi (TPPS) yang secara khusus menangani masalah penulisan skripsi di Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI Bandung. Setelah melakukan seminar penulisan skripsi dan bimbingan akhirnya judul proposal ini menjadi Peristiwa 27 Juni 1955 : Kajian Tentang Hubungan Sipil dan Militer Pada Masa Demokrasi Liberal (1950-1959). Setelah judul ini disetujui maka penulis menyusun suatu rancangan penelitian dalam bentuk proposal skripsi.

2. Penyusunan Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian merupakan salah satu tahapan yang harus dilakukan oleh penulis. Rancangan penelitian ini kemudian dijabarkan dalam bentuk proposal penelitian skripsi yang diajukan kembali kepada TPPS untuk di presentasikan dalam seminar 18 Maret 2013 adapaun proposal penelitian tersebut pada dasarnya berisi tentang :

1. Judul penelitian


(24)

3. Rumusan Masalah 4. Tujuan Penelitian 5. Tinjauan Kepustakaan

6. Metode dan Teknik Penelitian 7. Sistematika Penulisan

Setelah rancangan penelitian diseminarkan dan disetujui, maka pengesahan penelitian di tetapkan dengan surat keputusan bersama oleh TPPS dan ketua jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS dengan No 002/TPPS/JPS/2012 Tertanggal 16 April 2012 sekaligus menentukan pembimbing satu dan dua

3. Proses Bimbingan dan Konsultasi

Dalam melaksanakan penelitian ini penulis dibimbing oleh dua orang dosen yang kemudian disebut dengan Dosen Pembimbing I dan II pada tahap ini mulai dilakukan proses bimbingan atau konsultasi dengan H. Didin Saripudin M. Si. Ph.D selaku Dosen Pembimbing I dan Drs R. H. Achmad Iriyadi selaku pembimbing II. Proses bimbingan diperlukan agar penelitian yang berlangsung berjalan dengan baik dan tidak mengalami hambatan yang berarti. Dalam proses bimbingan ini selain menentukan teknis dari bimbingan sendiri, penulis juga menerima masukan dan arahan terhadap proses penulisan skripsi ini, baik teknis penulisan maupun terhadap isi dari skripsi ini. Setelah melakukan beberapa kali bimbingan dan konsultasi dengan Dosen Pembimbing, penulis menerima masukan tentang permasalahan-permasalahan penting yang harus di kaji dalam skripsi ini. Selain itu penulis juga menerima masukan dari segi teknis dalam penulisan skripsi


(25)

ini. Selain itu penulis juga menerima masukan dari segi teknis penulisan karya ilmiah yang baik sehingga dirasa sangat membantu dalam proses penelitian.

C. Pelaksanaan Penelitian

Tahap ini merupakan sebuah proses yang paling penting dalam suatu penelitian. Ada beberapa tahapan yang harus dilakukan penulis untuk melakukan penelitian diantaranya tahap pengumpulan sumber (Heuristik) baik sumber lisan maupun tulisan yang berhubungan dengan Peristiwa 27 Juni 1955 : Kajian Tentang Hubungan Sipil dan Militer Pada Masa Demokrasi Liberal (1950-1959). Kritik sumber dan kritik eksternal maupun internal serta yang terakhir Historiografi yang merupakan serangkaian kegiatan penulisan laporan hasil penelitian. Agar lebih jelas, penulis jabarkan mengenai pelaksanaan penelitian sebagai berikut :

1. Heuristik atau Pengumpulan Sumber

Langkah kerja sejarawan dalam mengumpulkan sumber-sumber atau bukti-bukti sejarah disebut heuristik. Heuristik dalam bahasa Jerman disebut Quellankunde merupakan sebuah kegiatan awal mencari sumber-sumber untuk mendapatkan data-data atau materi sejarah (Sjamsuddin, 2007: 86). Pada tahap ini penulis akan mencari sumber-sumber yang relevan bagi permasalah yang sedang dibahas. Sumber-sejarah berupa bahan-bahan sejarah yang memuat bukti-bukti aktifitas manusia dimasa lampau yang berbentuk tulisan atau cerita. Sumber tertulis berupa buku dan artikel yang berhubungan dengan permasalahan penulis kaji. Jenis sumber sejarah yang digunakan peneliti dalam proses penelitian berupa sumber tertulis atau literatur. Sumber tertulis yang di kumpulkan peneliti berupa


(26)

buku-buku, artikel dan majalah yang di dalamnya terdapat pembahasan tentang Peristiwa 27 Juni 1955. Sumber-sumber literatur yang peneliti dapatkan dengan cara mengunjungi perpustakaan yang sekiranya memuat sumber sumber dan data-data yang peneliti perlukan. Untuk memperoleh sumber tertulis peneliti melakukan kunjungan ke beberapa tempat seperti

a. Perpustakaan TNI-AD peneliti mendapatkan sumber-sumber berupa buku, antara lain: Politik Militer Indonesia 1945-1967 Menuju Dwi Fungsi ABRI karya Ulf Sundhaussen (1986); Indonesia Abad Ke 20 Dari Perang Kemerdekaan Pertama Sampai Pelita III karya G.Moedjanto (1998); Sistem Politik Indonesia karya Arbi Sanit (1981); Militer Dan Politik karya Amos Permutter (1984); Panggilan Tugas karya A. H. Nasution (1983); Sejarah TNI Jilid II (1950-1959) karya Markas Besar Tentara Nasional Indonesia Pusat Sejarah Dan Tradisi TNI (2000).

b. Perpustakan Gedung Sate peneliti mendapatkan satu buku yang berjudul: PRRI, PERMESTA Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis karya R. Z. Leirissa (1997).

c. Perpustakan SMAN 14 Bandung di perpustakaan ini penulis menemukan buku yang berjudul: Sejarah Indonesia Jilid 8 (Zaman Orde Lama) karya Eko Praptanto; Sang Pejuang Dalam Gejolak Sejarah (1897) karya Pusat Penelitian Kemasyarakatan Dan Kebudayaan Lembaga Penelitian Universitas Pajajaran.


(27)

d. Perpustakaan Unpad di perpustakaan ini penulis menemukan buku yang berjudul: Indonesia Merdeka Biografi Politik Mohamad Hatta karya Mavis Rose.

Selain mengunjugi perpustakaan tersebut peneliti juga memiliki koleksi buku pribadi mengenai Peristiwa 27 Juni 1955 antara lain: Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 karya M. C. Riecklefs (2008); Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI karya Marwati Djoened Poesppnegoro dan Nugroho Notosusanto (1993). Selain dari sumber diatas peneliti juga memperoleh pinjaman buku dari dosen yang berjudul: Pergolakan Politik Tentara Sebelum Dan Sesudah G 30 S/PKI karya Todiruan Dydo; Kemelut Demokrasi Liberal karya Boyd R.. Compton (1992).

2. Kritik Sumber

Setelah melakukan tahapan pengumpulan sumber, langkah selanjutnya adalah melaksanakan kritik sumber. Pada tahap ini penulis melakukan krititik terhadap sumber-sumber sejarah yang telah di peroleh, baik yang sumber utama maupun sumber penunjang lainnya. Kritik sumber ini dilakukan karena sumber-sumber yang di dapatkan tidak bisa diterima begitu saja oleh penulis sumber-sumber tersebut akan di pilah untuk dinilai dan diselidiki kebenaran sumber, keterkaitan serta keobjektifannya karena tidak semua sumber memiliki tingkat kebenaran yang sama. Fungsi kritik sumber bagi sejarawan sangat erat kaitannya dengan tujuan sejarawan itu untuk mencari kebenaran. Sejarawan selalu dihadapkan dengan kebutuhan untuk membedakan apa yang benar dan apa yang tidak benar, apa yang mungkin dan apa yang tidak meragukan atau mustahil (Sjamsuddin,


(28)

2007 :131). Dengan kritik ini maka akan memudahkan dalam penulisan karya ilmiah yang objektif tanpa rekayasa sehingga dapat di pertanggung jawabkan secara keilmuan. Adapun kritik yang di lakukan penulis sebagai berikut:

1. Kritik eksternal

Kritik ekstern adalah cara pengujian sumber terhadap aspek-aspek luar dari sumber sejarah secara terinci. Kritik eksternal merupakan suatu penelitian atas asal usul dari sumber. Suatu pemeriksaan atas catatan atau peninggalan itu sendiri untuk mendapatkan informasi yang mungkin dan untuk mengetahui apakah pada suatu waktu sejak asal mulanya sumber itu telah diubah oleh orang-orang tertentu atau tidak (Sjamsuddin, 2007:104-105). Adapun langkah penulis dalam melakukan kritik eksternal terbagi kedalam dua yaitu

a. Kategori penulis sumber b. Karakteristik sumber

Dalam melaksanakan kritik eksternal terhadap sumber tertulis berupa buku-buku penulis tidak menyeleksinya secara ketat hanya mengklasifikasikannya dari aspek latar belakang penulis buku tersebut untuk melihat konsistensinya sehubungan dengan judul tema penulisan skripsi ini tahun terbitnya karena semakin kekinian angka tahunnya maka semakin baik disebabkan setiap saat terjadi perubahan dari penerbit serta dimana tempat buku tersebut diterbitkan untuk melihat spesialisasi tema-tema buku yang dikeluarkan oleh penerbit tersebut. Selain itu popularitas penulis akan membuat tingkat kepercayaan terhadap buku itu semakin tinggi.


(29)

Kritik eksternal terhadap sumber tertulis dilakukan melihat kelayakan sumber apabila akan dijadikan bahan penelitian skripsi. Kategori penulis sumber dimaksud untuk mengetahui dari mana asal usul penulis sumber dan latar belakang penulis. Adapun kritik dalam karakteristik sumber yaitu membedakan dan mengelompokan dalam bentuk buku atau lainnya. Hal ini untuk menunjukan tingkat keobjektifitasan penulis dalam penelitian ini.

Kritik eksternal ini dilakukan terhadap buku yang berjudul “Politik Militer Indonesia 1945-1967 Menuju Dwi Fungsi ABRI” karya Ulf Sundhaussen. Buku ini sangat bermanfaat karena banyak menjelaskan tentang hubungan sipil-militer melihat dari kenyataan tidak polanya diberbagai negara di Dunia. Terutama terdapat perbedaan antara negara-negara yang sudah berkembang (khususnya negara barat) dengan negara baru yang mulai berkembang. Di dalam buku ini juga dijelaskan tanggung jawab militer terhadap negara yang tentu sangat berhubungan dengan penelitian skripsi ini yaitu konflik antara politisi dan militer. Kondisi buku ini masih bagus walaupun diterbitkan tahun 1986 dan layak di pakai oleh peneliti.

Berikutnya buku yang berjudul “Pergolakan Politik Tentara Sebelum Dan Sesudah G 30 S/PKI” karya Todiruan Dydo buku yang setebal 171 halaman banyak mendeskripsikan peranan tentara dalam kekuasaan pemerintahan selain menimbulkan antagonisme juga melahirkan konsepsi baru dalam budaya politik kenegaraan. Kekuasaan pemerintah berkecamuk dalam campur tangan orang-orang militer. Dan dalam buku ini juga mengatakan kaum militer tidak mampu mampu berdiri sendri untuk memerintah tanpa diikuti peranan sipil, selain itu buku ini juga membahas tentang sebab-sebab terjadinya peristiwa 27 Juni 1955.


(30)

Buku ini diterbitkan tahun 1989 walaupun terbitan lama tapi kondisi fisiknya masih bagus dan tidak terlalu sulit bagi peneliti untuk mendapatkannya.

Buku berikutnya adalah buku yang berjudul “Kemelut Demokrasi Liberal” karya Boyd R. Compton. Buku ini merupakan kumpulan surat-surat rahasia Compton yang di tulisnya selama masa tahun lima puluhan, dimana merupakan masa proses perwujudan Demokrasi Liberal dinegara ini. Pada masa itulah berbagai konflik internal terjadi. Dalam buku ini juga membahas tentang perdebatan-perdebatan di parlemen, demontrasi anti parlemen, reaksi reaksi dari kalangan militer dan upaya pemerintah mencapai pemecahan. Kondisi fisik buku ini masih bagus dan diterbitkan tahun 1992 sehingga masih layak digunakan oleh peneliti. Buku ini diterbitkan oleh LP3ES yang merupakan salah satu pernerbit yang terkenal dalam buku-buku sejarah.

Berikutnya buku yang berjudul “Indonesia Abad Ke 20 Dari Perang Kemerdekaan Pertama Sampai Pelita III” karya G. Moedjanto. Buku yang di terbitkan oleh Kanisius tahun 1998 dengan kondisi buku yang masih bagus dan layak digunakan oleh peneliti karena didalamnya membahas mengenai peristiwa 17 Oktober 1952 yang merupakan latar belakang dari peristiwa 27 juni 1955. Serta buku ini juga mengulas sejarah militer yang selalu menunjukan sumbangan dan peranannya yang besar dalam persoalan non militer sehingga AD menghendaki ikut serta dalam pemerintah atau lembaga non militer.

Buku berikutnya berjudul “Panggilan Tugas” karya A. H. Nasution. Buku yang terdiri dari 9 jilid, jilid ketiga yang membahas tentang masa pancaroba yang oleh Soekarno disebut masa panca krisis atau masa survival terhadap serangan


(31)

dari luar maupun dari dalam negeri sendiri. Dalam buku ini menceritakan tentang latar belakang peritiwa 27 juni 1955 tentang hubungan sipil dan militer pada masa Demokrais liberal. Buku ini diterbitkan tahun 1983 dan kondisi fisiknya yang masih sangat bagus dan mudah di dapat sehingga layak digunakan oleh peneliti.

Buku berikutnya yang berjudul “PRRI, PERMESTA Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis” karya R. Z. Leirissa buku ini di terbitkan oleh PT Pustaka Utama Grafiti tahun 1997. Dalam buku ini peneliti memperoleh informasi tentang sistem UUDS 1950 itu sangat menghambat dan dirasakan juga oleh AD. Karena AD menganggap dirinya bukan saja tentara tetapi juga Pembina rakyat. Sehingga terjadi peristiwa 27 Juni 1955. Pada buku ini juga mengatakan Iwa Kusumasumantri mencoba memaksakan calonnya sendiri tanpa menunggu usulan pihak tentara sehingga para perwira senior dalam markas AD menentang pengangkatan Bambang Utoyo sebagai KSAD. Buku ini kondisinya masih bagus dan layak untuk di pakai untuk peneliti.

Buku berikutnya berjudul “Sejarah TNI Jilid III (1950-1959)” karya Markas Besar Tentara Nasional Indonesia Pusat Sejarah dan Tradisi TNI. Buku ini secara garis besar membahas mengenai sejarah TNI pada periode 1950-1959. Dalam perjalanannya TNI menghadapai berbagai masalah yaitu masalah intern dengan adanya pertentangan dalam tubuh TNI serta berkaitan dengan peristiwa 17 Oktober 1952 sehingga berdampak munculnya kelompok pro dan kontra. Dalam buku ini memberikan gambaran bagi penulis mengenai pengangkatan Bambang Utoyo sebagai KSAD yang diboikot oleh seluruh tentara dan teritorium oleh


(32)

intruksi Kolonel Zulkifli Lubis . buku ini terbit tahun 2000, kondisi bukunya masih sangat bagus dan mudah di dapatkan oleh penulis.

c. Kritik internal

Kritik internal di lakukan penulis untuk melihat kelayakan isi dari sumber-sumber yang telah di peroleh tersebut untuk selanjutnya dijadikan penelitian dan penulisan skripsi. Kritik internal melihat dan berusaha mengkaji dari dalam realibilitas dan kreadibilitas isi dari sumber-sumber sejarah (Sjamsuddin, 2007:131). Kritik internal yang di lakukan penulis diawali ketika penulis memperoleh sumber, penulis membaca keseluruhan isi sumber kemudian dibandingkan dengan sumber-sumber lain yang telah dibaca penulis. Pokok pikiran apa saja yang terkandung dalam setiap kajian dari beberapa penulis serta apa yang menjadi fokus kajiannya. Hasil perbandingan sumber tersebut maka akan diperoleh kepastian akan sumber tersebut bisa digunakan sesuai dengan topik. Buku buku yang peneliti lakukan kritik internal diantaranya sebagai berikut:

Pertama, buku yang di tulis oleh Ulf Sundhaussen (1986) yang berjudul Politik Militer Indonesia 1945-1967 Menuju Dwi Fungsi ABRI”. Buku ini secara rinci menggambarkan ketidak puasan militer terhadap elite politik sipil yang saling jatuh menjatuhkan serta banyaknya kebijakan pemerintah sipil yang mengancam otonomi khusus dan eksklusifitas militer. Sehingga militer secara tegas memberikan ide kepada presiden Soekarno untuk kembali ke UUD 1945.


(33)

Bila dilihat dari kegunaannya buku ini sangat lengkap bagi peneliti karena tidak hanya membahas tentang ketidak puasan militer terhadap elite politik sipil akan tetapi buku ini juga membahas tentang sejarah militer dan berkembang menjadi alat pertahanan serta dilain pihak juga berkembang menjadi lembaga yang secara fungsi dan peran di luar jalur yang ikut terlibat di dalam kehidupan politik. Selain itu buku ini membahas tentang keunikan militer Indonesia dibandingkan dengan militer negara lain militer Indoensia membentuk dirinya sendiri melalui perjuangan kemerdekaan melawan penjajah. Perjuangan mendapatkan kemerdekaan membuat militer tidak hanya melakukan kegiatan bertempur secara fisik akan tetapi terlibat juga dalam penyusunan strategi pendirian bangsa. Peneliti berpendapat bahwa buku ini membahas secara rinci tentang kehidupan militer dari tahun 1945-1967. Sebagaiman yang ditulis Sundhaussen dalam buku ini ia mengatakan tentara sebagai lembaga. Secara umum buku ini membahas tentang politik Indonesia dari perspektif kaum militer, tetapi juga diimbangi dengan pandangan para pengkritik pemerintah sipil terutama para pemimpin militer.

Kedua, buku yang berjudul “Panggilan Tugas” yang di tulis oleh A. H. Nasution (1983). Dalam buku ini lebih dibahas mengenai perjalanan hidup pengalaman dan sikap politik Nasution dalam kiprahnya yang dijalankannya dalam berbagai posisi penting di Indonesia. Buku ini yang terdiri dari Sembilan jilid, jilid ketiga yang membahas peristiwa 17 Oktober 1952 yang merupakan latar belakang peristiwa 27 juni 1955. Buku ini bisa di katakana sebagai kesaksian sejarah karena hanya dapat mengurai bagaimana Nasution mengalami suatu


(34)

peristiwa sejarah berdasarkan sudut pandangnya serta ia juga mempergunakan dokumen yang ia miliki.

Ketiga , buku yang berjudul “ Sejarah TNI Jilid II (1950-1959)” yang ditulis oleh Markas Besar Tentara Nasional Indonesia Pusat Sejarag dan Tradisi TNI (2000). Pada buku ini dikatakan bahwa dalam perjalanannya TNI menghadapi berbagai masalah intern dengan adanya pertentangan dalam tubuh TNI yang berkaitan dengan peristiwa 17 Oktober 1952. Dalam buku ini mengatakan bahwa pada bulan Desember 1953 menteri pertahanan Mr. Iwa Kusumasumantri mengangkat kolonel Zulkifli Lubis sebagai wakil KSAD. Terbukti tindakan ini menimbulkan ketegangan baru karena bertentangan dengan kebijaksanaan untuk tidak mengangkat orang-orang yang terlibat dalam peristiwa 17 Oktober 1952 dalam jabatan-jabatan TNI-AD sebelum ada penyelesaian masalah. Pemerintah juga melakukan pengangkatan Bambang Utoyo sebagai KSAD tanpa bermusyawarah dulu dengan AD sehingga pelantikan ini diboikot oleh seluruh tentara dan teritorium.

Ketiga buku ini memberikan gambaran mendetail ke peneliti mengenai peristiwa 27 Juni 1955 baik mengenai latar belakang peristiwa 27 Juni 1955, bagaimana sikap pemerintah menghadapi peristiwa 27 Juni 1955, dan bagaimana dampak peristiwa 27 Juni 1955 terhadap hubungan sipil dan militer.

3. Interpretasi (Penafsiran Fakta)

Setelah melakukan kritik sumber penulis melaksanakan tahap interpretasi. Langkah-langkah yang dilakukan dalam tahap ini adalah mengolah, menyusun dan menafsirkan fakta-fakta yang telah teruji kebenarannya. Kemudian fakta yang


(35)

telah didapat tersebut dirangkai dan dihubungkan satu sama lain sehingga menjadi satu kesatuan yang selaras. Dimana peristiwa yang satu di masukkan kedalam konteks peristiwa lain yang melingkupinya (Ismaun, 1992:131).

Penafsiran di lakukan dengan cara mengolah beberapa fakta-fakta yang telah di kritisi dan menunjukkan beberapa referensi yang telah dijadikan pokok pikiran sebagai kerangka dasar dalam penyususnan skripsi ini. Berdasarkan penjelasan tersebut dalam tahap ini penulis mencoba menyusun fakta-fakta dan menafsirkan dengan cara saling dihubungan dan dirangkaikan sehingga terbentuk fakta-fakta yang kebenarannya telah teruji dan dapat menjawab masalah-masalah yang dikaji.

Setelah fakta yang satu dengan fakta yang lain dihubungkan maka akan diperoleh suatu rekontruksi sejarah yang berkaitan dengan pokok permasalahan. Dalam penelitian ini pokok permasalahan dibagi menjadi tiga yaitu latar belakang peristiwa 27 Juni 1955, sikap pemerintah terhadap peristiwa 27 Juni1955 dan dampak dari peristiwa 27 Juni 1955 terhadap hubungan sipil dan militer. Fakta yang diseleksi dan ditafsirkan selanjutnya dijadikan pokok pikiran sebagai kernagka penyususnan skripsi.

D. Penulisan Laporan Penelitian (Historiografi)

Tahap ini merupakan tahap terakhir. Laporan penelitian merupakan puncak dari suatu prosedur penelitian sejarah setelah melakukan heuristik, kritik interpretasi. Semua hasil penelitian di tuangkan dalam bentuk penulisan sejarah yang disebut historiografi. Heliaus Sjamsuddin (2007:155) menjelaskan bahwa ketika sejarawan memasuki tahap menulis, maka ia mengerahkan semua seluruh


(36)

daya pikirannya bukan saja keterampilan, teknik penggunaan kutipan dan catatan-catatan tetapi yang terutama menggunakan pikiran kritis dan analisisnya karena pada akhirnya ia harus menghasilkan suatu sintesis dari seluruh hasil penelitiannya. Hasil penelitian yang telah diperoleh tersebut disusun menjadi sebuah karya tulis ilmiah berupa skripsi dengan melakukan analisis yang menyeluruh terhadap berbagai aspek yang berkaitan dengan peristiwa 27 Juni 1955: Kajian Hubungan Sipil dan Militer Pada Masa Demokrasi Liberal (1950-1959). Laporan ini disusun dengan sistematika yang telah baku dengan menggunakan bahasa yang baik dan benar. Sistematika penulis dibagi kedalam lima bagian yang memuat pendahuluan, kajian kepustakaan, metodologi penelitian, pembahasan dan kesimpulan. Pembagian ini bertujuan untuk memudahkan dalam penulisan.

Teknik penulisan skripsi yang digunakan penulis mengacu pada sistem Harvard. Penggunaan sistem ini digunakan penulis karena disesuaikan dengan yang lazim digunakan akademisi UPI dalam penulisna karya ilmiah. Sistematika penulisan skripsi dibagi kedalam lima bab yaitu:

BAB I, merupakan bab pendahuluan dari penulis. Bab ini akan membahas mengenai latar belakang masalah yang didalamnya termuat mengenai alasan dan pentingnya penelitian mengenai “peritiwa 27 Juni 1955: kajian tentang hubungan sipil dan militer pada masa Demokrasi Liberal (1950-1959)”. Pada bab ini juga membahas mengenai rumusan masalah yang disusun dalam bentuk kalimat pertanyaan untuk mempermudah peneliti mengkaji dan mengarahkan


(37)

pembahasan, tujuan peneltian, metode dan teknik penelitian serta sistematika penelitian.

BAB II, merupakan hasil kajian pustaka dari berbagai referensi yang berhubungan dengan “Peristiwa 27 Juni 1955: Kajian Tentang Hubungan Sipil dan Militer Pada Masa Demokrasi Liberal (1950-1959)”. Untuk mengkaji dan memahami serta menganalisis sejauh mana pembahasan yang diteliti dalam penulisan skripsi ini.

BAB III, Bab ini membahas tentang langkah-langkah, metode dan teknik penelitian yang digunakan oleh peneliti dalam mencari sumber-sumber, cara pengolahan sumber, analisis dan sitematika penulisannya. Semua prosedur dalam penelitian akan dibahas dalam bab ini.

BAB IV, Bab ini merupakan isi utama dari tulisan sebagai jawaban pertanyaan-pertanyaan yang terdapat pada rumusan masalah. Pada bab ini akan di jelaskan konflik antara politisi dan militer serta keadaan TNI-AD menjelang peristiwa 27 Juni 1955. Sikap pemerintah terhadap peristiwa 27 Juni 1955. Pada bab ini juga akan dibahas mengenai dampak peristiwa 27 Juni 1955 terhadap TNI-AD dan terhadap pemerintahan.

BAB V, Bab ini mengemukakan kesimpulan dan yang merupakan jawaban dari masalah keseluruhan. Hasil terakhir ini merupakan temuan dan interpretasi dari peneliti tentang inti pembahasan. Selain itu di tambah pula berbagai atribut baku lainnya mulai dari kata pengantar, riwayat hidup penulis. Semua bagian tersebut termuat kedalam bentuk laporan utuh, setelah dilakukan koreksi dan perbaikan yang diperoleh hasil konsultasi dengan dosen pembimbing skripsi


(38)

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan.

Dinamika hubungan sipil dan militer pada masa Demokrasi Liberal (1950-1959) sangat menarik untuk dikaji. Militer adalah organ yang penting yang dimiliki oleh negara, guna mempertahankan bangsa dari ancaman baik dari luar maupun dari dalam. Pada masa Demokrasi Liberal militer berada di bawah supremasi sipil. Sistem Demokrasi Liberal menyebabkan berkembangnya partai-partai politik di Indonesia sehingga berdampak pada usia kabinet.

Pada masa Kabinet Natsir hubungan sipil dan militer berjalan dengan baik, tapi pada tahun 1952 muncul pertikaian pandangan antara sipil dan militer pada masa Kabinet Wilopo dengan meletusnya peristiwa 17 Oktober 1952. Dampak dari peristiwa 17 Oktober menyebabkan militer terbagi kedalam dua golongan yaitu golongan yang pro 17 Oktober dan anti 17 Oktober. Peristiwa 17 Oktober ini merupakan salah satu latar belakang dari peristiwa 27 Juni 1955. Peristiwa 17 Oktober merupakan aksi protes militer terhadap pemerintahan sipil terutama kepada parlemen. Peristiwa 17 Oktober salah satu penyebab jatuhnya Kabinet Wilopo. Kabinet Wilopo digantikan oleh Kabinet Ali. Yang menjabat Menteri Pertahanan pada masa Kabinet Ali adalah Iwa Kusumasumantri, pada masa Iwa Kusumasuamntri menjabat keretakan dalam tubuh militer semakin besar.

Keretakan dalam tubuh militer samakin besar kelompok pro dan anti 17 Oktober mengadakan serangkaian pertemuan untuk menciptakan kembali


(39)

kesatuan militer. Pada tanggal 17 Februari 1955 militer berhasil melaksanakan serangkaian pertemuan. Pertemuan ini berlangsung di daerah Yogyakarta, pertemuan ini berakhir pada tanggal 25 Februari 1955 dengan menghasilkan resolusi yang diterima oleh seluruh perwira yang hadir dan disahkan oleh KSAD Bambang Sugeng. Isi dari Piagam Yogyakarta adalah:

1. Menekankan bahwa korps perwira akan selalu mempertahankan persatuan dan profesionalisme di dalam tubuh TNI-AD, tidak membenarkan campur tangan politik didalam masalah militer yang didasarkan atas senioritas dan kecakapan.

2. Korps perwira TNI-AD akan mematuhi segala keputusan yang diambil oleh pemerintah bersama-sama Dwitunggal (Soekarno-Hatta).

3. Peristiwa 17 Oktober dianggap tidak pernah terjadi dan meminta kepada pemerintah sebelum peringatan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1955 pemerintah sudah menyelesaikan secara formil mengenai peristiwa tersebut.

Pada tanggal 2 Mei 1955 setelah terjadi KAA, Kolonel Bambang Sugeng mengajukan permintaan mengundurkan diri kepada Kabinet Ali dengan alasan selama tiga bulan kurang mampu melaksanakan resolusi dari piagam Yogyakarta. Kabinet menerima pengunduran Bambang Sugeng. Karena pengunduran Bambang Sugeng sebagai KSAD pemerintah akhirnya memutuskan mengangkat Kolonel Bambang Utoyo sebagai KSAD, pengangkatan Bambang Utoyo sebagai KSAD oleh pemerintahan secara sepihak menyebabkan permasalahan lagi dengan TNI-AD karena menyalahkan hasil dari resolusi Yogyakarta. Pada tanggal


(40)

27 Juni 1955 Presiden resmi melantik Bambang Utoyo sebagai KSAD. Pimpinan dari TNI-AD yang di undang melakukan pemboikotan atas perintah Zulkifli Lubis. Peristiwa 27 Juni 1955 merupakan peristiwa yang mencoreng pemerintahan militer khususnya Angkatan Darat dalam perjalanan militer Indonesia. Atas aksi Kolonel Zulkifli Lubis ia di pecat dari jabatannya. Peristiwa pemboikatan yang dilakukan oleh Kolonel Zulkifli Lubis merupakan cerminan dari kegagalan pemerintahan Kabinet Ali.

Pemerintah dan militer sama-sama mengajukan syarat untuk mengakhiri krisis yang terjadi antara sipi dan militer. Tapi kedua belah pihak tidak ada yang mau mengalah sehingga sementara waktu penyelesain tentang peristiwa 27 Juni 1955 tidak ada penyelesaian sampai Kabinet Ali jatuh. Kabinet Ali digantikan oleh Kabinet Burhanudin Harahap. Pada masa kabinet inilah diambil keputusan dan kebijakan menghentikan Bambang Utoyo sebagai KSAD dengan mengangkat Nasution sebagai KSAD yang baru serta mencabut pemecatan terhadap Kolonel Zulkifli Lubis dan menyatakan peritiwa 17 Oktober resmi telah selesai.

Kabinet Burhanudin Harahap tidak memerintah dalam waktu yang cukup lama dan digantikan oleh Kabinet Ali yang dikenal dengan kabinet Ali II. Beberapa bulan Kabinet Ali II menjalankan pemerintahan bermunculan banyak krisis baru yaitu:

1. Hasil pemelihan umum tidak sesuai dengan yang diharapkan. 2. Korupsi semakin merajalela dan Sentimen kesukuan semakin jelas. 3. Keadaan ekonomi semakin merosot.


(41)

4. Hubungan dengan Belanda semakin memburuk disebabkan penolakan Belanda menyerahkan Papua ke Indonesia.

Permasalahan-permasalah yang dihadapi pada masa Kabinet Ali II menyebabkan terjadinya protes-protes di daerah luar Jawa karena merasa terabaikan dan tidak di perhatikan. Sehinga berdampak terjadinya penyelundupan di daerah daerah luar Jawa. Pemerintah militer di daerah memberikan alasan terbuka bahwa dengan penyelundupan ini bisa mencukupi kebutuhan para perwira serta mensejahterakan daerah. Pembebasan terhadap Ruslan Abdul Gani yang dilakukan oleh Ali dan KSAD Nasution menyebabkan keretakan hubungan Nasution dengan Zulkifli Lubis, Kolonel Zulkifli Lubis menyatakan bahwa Perdana Menteri Ali serta Nasution membantu dan melindungi kejahatan dan yang dilakukan oleh Ruslan Abdul Gani.

Muchtar Lubis seorang wartawan ikut memberitakan tentang Korupsi yang dilakukan oleh Ruslan Abdul Gani disertakan bukti dokumen. Masalah-masalah yang terjadi pada masa Kabinet Ali II mendapatkan kritikan yang tajam berdampak kepada kepercayaan terhadap pemerintahan Kabinet Ali semakin menurun. Ditambah dengan pengunduran diri Mohammad Hatta dari jabatannya sebagai Wakil Presiden pada tanggal 1 Desember telah memperhebat kekecewaan dan kebencian daerah-daerah di luar Jawa, terutama Sumatera terutama pada pemerintahan pusat dan khususnya terhadap Presiden Soekarno.

Daerah akhirnya tidak mengakui lagi kabinet Ali II dan pemerintah pusat serta memutuskan hubungan dengan pemerintah pusat, pergolakan yang terjadi di daerah di tangani dengan cara gencatan senjata yang mempergunakan Angkatan


(42)

Udara. KSAD Nasution melakukan tindakan yang lebih lunak serta melakuakn kunjungan ke Sumatera dan mengadakan pertemuan (perundingan). Tindakan KSAD Nasution ini semata-mata bersifat politis dalam rangka mejalankan kebijaksanaan untuk memelihara status quo dalam hubungan sipil-militer mengingat keadaan TNI masih dalam politik yang lemah.

Kabinet Ali II sudah tidak sanggup lagi menghadapi tantangan serta tuntutan yang saling bertentangan. Pada tanggal 14 Maret 1957 sesaat sebelum Ali menyerahkan mandatnya kembali ke Presiden. Perdana Mentri menandatangani sebuah dekrit. Sesudah kabinet ali jatuh Presiden Soekarno menunjuk Suwirjo dari PNI sebagai formatur untuk pembentukan Kabinet baru sesuai keinginan Preisden tetapai Suwirjo tidak berhasil membantuk Kabinet, sehingga Presiden Soekarno menunjuk dirinya sebagai formatir dengan alasan darurat perang. Pada bulan April, Soekarno berhasil membentuk kabinet yang sesuai dengan keinginanya. Kabinet itu diberi nama Kabinet Kerja dengan perdana Menteri Ir. Djuanda Kartawidjaja yang program kerjanya dari Presiden Soekarno. Banyaknya kejadian telah menunjukan bahwa militer telah dijadikan landasan oleh pemerintah, bukan lagi partai-partai politik dan parlemen. Pembentukan Kabinet Kerja mengurangi peranan parlemen dan partai dalam perkembangannya serta naiknya peranan politik Presiden dan TNI-AD.

Dengan keadan seperti ini Nasution medapat kesempatan yang besar buat TNI untuk lebih memasuki arena perpolitikan. Nasution juga mengatakan bahwa angkatan bersenjata bukan semata-mata alat bagi pemerintahan. Nasution juga menyarankan untuk menganti sistem Demokrasi Liberal kembali ke UUD 1945


(43)

untuk kesatuan bangsa Indonesia. Pada bulan Juli 1959 secara resmi Soekarno mengembalikan negara kebawah naungan Undang-Undang Dasar 1945 dan Soekarno mengumumkan konsepsinya bahwa negara memakai sistem pemerintahan baru dengan kabinet gotong royong. Dengan berlakunya dekrit keterlibatan militer beserta wakil-wakilnya dalam politik dan lembaga politik meluas dengan cepat.

B. Rekomendasi

Berdasarkan temuan dalam skripsi yang berjudul “Peristiwa 27 Juni 1955: Kajian Tentang Hubungan Sipil Dan Militer Pada Masa Demokrasi Liberal (1950-1959)” peneliti memberikan rekomendasi bahwa skripsi peneliti memiliki Keterhubungan dengan SK yaitu Menganalisis perjuangan bangsa Indonesia sejak proklamasi hingga lahirnya orde baru dengan KD yaitu Menganalisis perkembangan politik dan ekonomi serta persatuan masyarakat di Indonesia dalam upaya mengisi serta mempertahankan kemerdekaan mata pelajaran sejarah SMA kelas XI IPA semester dua dan kelas XII IPS semester satu, fokus pada bidang politik pada masa demokrasi terpimpin.


(44)

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, D. (1999). Metodologi Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

Budiardjo, M. (1986). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia.

Bulkin, F. (1985). Analisa Kekuatan Politik Di Indonesia. Jakarta: PT Pustaka LP3ES Indonesia.

Compton, R.B. (1992). Kemelut Demokrasi Liberal. Jakarta: LP3ES.

Crouch, H. (1986). Militer dan Politik DI Indonesia. Jakarta: Pustaka Sina Harapan.

Dydo, T. (1989). Pergolakan Politik Tentara Sebelum Dan Sesudah G 30 S/ PKI. Jakarta: PT Golden Terayon Press.

Dinas Sejarah Militer TNI-AD. (1972). Sejarah Perjuangan TNI-AD. Jakarta: Fa Mahjuma.

Hartoto, E. (2012). Panglima Komando Pertempuran Merebut Ibu Kota Djogja Kembali 1949 dan Seorang Diplomat. Jakarta: Kompas.

Ismaun. (1996). Pengantar Ilmu Sejarah. Jakarta: Dirjen Dikti.

Kantaprawira, R. (2006). Sistem Politik Indonesia. Bandung: Sinar Baru Algesindo.

Karim, R.M. (1988). Peranan ABRI Dalam Politik. Jakarta: Yayasan Idayu. Karim, R.M. (1993). Perjalanan Partai Politik Di Indonesia Sebuah Potret

Pasang surut. Jakarta: PT Rajawali Pers.

Kartodirdjo, S. (1993). Pendekatan Ilmu-Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia.

Kasenda, P. (2012). Kolonel Misterius di Balik Pergolakan TNI AD. Jakarta: Kompas.

Kuntowijoyo. (1994). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya. Leirissa, R. Z. (1997). PRRI,PERMESTA, Strategi Membangun Indonesia Tanpa


(45)

Marihandono, D. (2008). Titik Balik Historiografi di Indonesia. Jakarta Selatan: Wedatama Widya Sastra.

Markas Besar Tentara Nasional Indoensia Pusat Sejarah Dan Tradisi TNI. (2000). Sejarah TNI Jilid II (1950-1959), Jakarta.

Moedjanto, G. (1998). Indonesia Abad Ke 20 Dari Perang Kemerdekaan Pertama Sampai Pelita III, Yogyakarta: Konisius.

Muhaimin, A. Y. (2005). Perekembangan Militer Dalam Politik Di Indonesia 1945-1966, Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Nasution, H.A. (1983). Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 3. Jakarta: PT Gunung Agung.

Nasution, B.A. (2009). Aspirasi Pemerintahan Konstitusional Di Indonesia. Jakarta: PT Pustaka Pratama Grafiti.

Notosusanto, N. (1974). Hubungan Sipil dan Militer dan Dwifungsi ABRI, Jakarta.

Permutter, A. (1984). Militer dan Politik. Jakarta: CV Rajawali.

Praptanto, E. (2010). Sejarah Indonesia Jilid 8. Jakarta: PT Bina Sumber Daya. Raga, R. (2001). Pengantar Sosiologi Politi. Jakarta:PT Rineka Cipta.

Rieklefs, C.M. (2008). Sejarah Indonesia Moderen 1200-2004, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.

Rizal,dkk. Hubungan Sipil-Militer Dan Transisi Demokrasi Di Indonesia Persepsi Sipil dan Militer. Jakarta: Centre for Strategic and Intenational Studies (CSIS).

Rodee, dkk. (2008). Pengantar Ilmu Politik, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Sanit, A. (1981). Sistem Politik Indonesia. Jakarta: CV Rajawali.

Said, S. (2001). Wawancara Tentara dan Politik. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Sarnata. (2003). TNI Dalam Sorotan. Jakarta: Yayasan Dian Satria.

Sigh, B (1995). Dwifungsi ABRI Asal-Usul Aktualisasi dan Implikasinya Bagi Stabilitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Sjamsuddin, H. (2007). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.


(46)

Tim Peneliti PPW-LIPI. (1998). Tentara Mendambakan Mitra. Bandung: MIZAN.

Taufik, M. (2010.). Peristiwa 27 Juni 1955.

[Online].Tersedia:http://chamad86.blogspot.com/2010/08/normal-0-false-false-false.html


(1)

122

4. Hubungan dengan Belanda semakin memburuk disebabkan penolakan Belanda menyerahkan Papua ke Indonesia.

Permasalahan-permasalah yang dihadapi pada masa Kabinet Ali II menyebabkan terjadinya protes-protes di daerah luar Jawa karena merasa terabaikan dan tidak di perhatikan. Sehinga berdampak terjadinya penyelundupan di daerah daerah luar Jawa. Pemerintah militer di daerah memberikan alasan terbuka bahwa dengan penyelundupan ini bisa mencukupi kebutuhan para perwira serta mensejahterakan daerah. Pembebasan terhadap Ruslan Abdul Gani yang dilakukan oleh Ali dan KSAD Nasution menyebabkan keretakan hubungan Nasution dengan Zulkifli Lubis, Kolonel Zulkifli Lubis menyatakan bahwa Perdana Menteri Ali serta Nasution membantu dan melindungi kejahatan dan yang dilakukan oleh Ruslan Abdul Gani.

Muchtar Lubis seorang wartawan ikut memberitakan tentang Korupsi yang dilakukan oleh Ruslan Abdul Gani disertakan bukti dokumen. Masalah-masalah yang terjadi pada masa Kabinet Ali II mendapatkan kritikan yang tajam berdampak kepada kepercayaan terhadap pemerintahan Kabinet Ali semakin menurun. Ditambah dengan pengunduran diri Mohammad Hatta dari jabatannya sebagai Wakil Presiden pada tanggal 1 Desember telah memperhebat kekecewaan dan kebencian daerah-daerah di luar Jawa, terutama Sumatera terutama pada pemerintahan pusat dan khususnya terhadap Presiden Soekarno.

Daerah akhirnya tidak mengakui lagi kabinet Ali II dan pemerintah pusat serta memutuskan hubungan dengan pemerintah pusat, pergolakan yang terjadi di daerah di tangani dengan cara gencatan senjata yang mempergunakan Angkatan


(2)

Udara. KSAD Nasution melakukan tindakan yang lebih lunak serta melakuakn kunjungan ke Sumatera dan mengadakan pertemuan (perundingan). Tindakan KSAD Nasution ini semata-mata bersifat politis dalam rangka mejalankan kebijaksanaan untuk memelihara status quo dalam hubungan sipil-militer mengingat keadaan TNI masih dalam politik yang lemah.

Kabinet Ali II sudah tidak sanggup lagi menghadapi tantangan serta tuntutan yang saling bertentangan. Pada tanggal 14 Maret 1957 sesaat sebelum Ali menyerahkan mandatnya kembali ke Presiden. Perdana Mentri menandatangani sebuah dekrit. Sesudah kabinet ali jatuh Presiden Soekarno menunjuk Suwirjo dari PNI sebagai formatur untuk pembentukan Kabinet baru sesuai keinginan Preisden tetapai Suwirjo tidak berhasil membantuk Kabinet, sehingga Presiden Soekarno menunjuk dirinya sebagai formatir dengan alasan darurat perang. Pada bulan April, Soekarno berhasil membentuk kabinet yang sesuai dengan keinginanya. Kabinet itu diberi nama Kabinet Kerja dengan perdana Menteri Ir. Djuanda Kartawidjaja yang program kerjanya dari Presiden Soekarno. Banyaknya kejadian telah menunjukan bahwa militer telah dijadikan landasan oleh pemerintah, bukan lagi partai-partai politik dan parlemen. Pembentukan Kabinet Kerja mengurangi peranan parlemen dan partai dalam perkembangannya serta naiknya peranan politik Presiden dan TNI-AD.

Dengan keadan seperti ini Nasution medapat kesempatan yang besar buat TNI untuk lebih memasuki arena perpolitikan. Nasution juga mengatakan bahwa angkatan bersenjata bukan semata-mata alat bagi pemerintahan. Nasution juga menyarankan untuk menganti sistem Demokrasi Liberal kembali ke UUD 1945


(3)

124

untuk kesatuan bangsa Indonesia. Pada bulan Juli 1959 secara resmi Soekarno mengembalikan negara kebawah naungan Undang-Undang Dasar 1945 dan Soekarno mengumumkan konsepsinya bahwa negara memakai sistem pemerintahan baru dengan kabinet gotong royong. Dengan berlakunya dekrit keterlibatan militer beserta wakil-wakilnya dalam politik dan lembaga politik meluas dengan cepat.

B. Rekomendasi

Berdasarkan temuan dalam skripsi yang berjudul “Peristiwa 27 Juni 1955: Kajian Tentang Hubungan Sipil Dan Militer Pada Masa Demokrasi Liberal (1950-1959)” peneliti memberikan rekomendasi bahwa skripsi peneliti memiliki Keterhubungan dengan SK yaitu Menganalisis perjuangan bangsa Indonesia sejak proklamasi hingga lahirnya orde baru dengan KD yaitu Menganalisis perkembangan politik dan ekonomi serta persatuan masyarakat di Indonesia dalam upaya mengisi serta mempertahankan kemerdekaan mata pelajaran sejarah SMA kelas XI IPA semester dua dan kelas XII IPS semester satu, fokus pada bidang politik pada masa demokrasi terpimpin.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, D. (1999). Metodologi Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

Budiardjo, M. (1986). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia.

Bulkin, F. (1985). Analisa Kekuatan Politik Di Indonesia. Jakarta: PT Pustaka LP3ES Indonesia.

Compton, R.B. (1992). Kemelut Demokrasi Liberal. Jakarta: LP3ES.

Crouch, H. (1986). Militer dan Politik DI Indonesia. Jakarta: Pustaka Sina Harapan.

Dydo, T. (1989). Pergolakan Politik Tentara Sebelum Dan Sesudah G 30 S/ PKI. Jakarta: PT Golden Terayon Press.

Dinas Sejarah Militer TNI-AD. (1972). Sejarah Perjuangan TNI-AD. Jakarta: Fa Mahjuma.

Hartoto, E. (2012). Panglima Komando Pertempuran Merebut Ibu Kota Djogja Kembali 1949 dan Seorang Diplomat. Jakarta: Kompas.

Ismaun. (1996). Pengantar Ilmu Sejarah. Jakarta: Dirjen Dikti.

Kantaprawira, R. (2006). Sistem Politik Indonesia. Bandung: Sinar Baru Algesindo.

Karim, R.M. (1988). Peranan ABRI Dalam Politik. Jakarta: Yayasan Idayu. Karim, R.M. (1993). Perjalanan Partai Politik Di Indonesia Sebuah Potret

Pasang surut. Jakarta: PT Rajawali Pers.

Kartodirdjo, S. (1993). Pendekatan Ilmu-Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia.

Kasenda, P. (2012). Kolonel Misterius di Balik Pergolakan TNI AD. Jakarta: Kompas.

Kuntowijoyo. (1994). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya. Leirissa, R. Z. (1997). PRRI,PERMESTA, Strategi Membangun Indonesia Tanpa


(5)

124

Marihandono, D. (2008). Titik Balik Historiografi di Indonesia. Jakarta Selatan: Wedatama Widya Sastra.

Markas Besar Tentara Nasional Indoensia Pusat Sejarah Dan Tradisi TNI. (2000). Sejarah TNI Jilid II (1950-1959), Jakarta.

Moedjanto, G. (1998). Indonesia Abad Ke 20 Dari Perang Kemerdekaan Pertama Sampai Pelita III, Yogyakarta: Konisius.

Muhaimin, A. Y. (2005). Perekembangan Militer Dalam Politik Di Indonesia 1945-1966, Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Nasution, H.A. (1983). Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 3. Jakarta: PT Gunung Agung.

Nasution, B.A. (2009). Aspirasi Pemerintahan Konstitusional Di Indonesia. Jakarta: PT Pustaka Pratama Grafiti.

Notosusanto, N. (1974). Hubungan Sipil dan Militer dan Dwifungsi ABRI, Jakarta.

Permutter, A. (1984). Militer dan Politik. Jakarta: CV Rajawali.

Praptanto, E. (2010). Sejarah Indonesia Jilid 8. Jakarta: PT Bina Sumber Daya. Raga, R. (2001). Pengantar Sosiologi Politi. Jakarta:PT Rineka Cipta.

Rieklefs, C.M. (2008). Sejarah Indonesia Moderen 1200-2004, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.

Rizal,dkk. Hubungan Sipil-Militer Dan Transisi Demokrasi Di Indonesia Persepsi Sipil dan Militer. Jakarta: Centre for Strategic and Intenational Studies (CSIS).

Rodee, dkk. (2008). Pengantar Ilmu Politik, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Sanit, A. (1981). Sistem Politik Indonesia. Jakarta: CV Rajawali.

Said, S. (2001). Wawancara Tentara dan Politik. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Sarnata. (2003). TNI Dalam Sorotan. Jakarta: Yayasan Dian Satria.

Sigh, B (1995). Dwifungsi ABRI Asal-Usul Aktualisasi dan Implikasinya Bagi Stabilitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Sjamsuddin, H. (2007). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.


(6)

Tim Peneliti PPW-LIPI. (1998). Tentara Mendambakan Mitra. Bandung: MIZAN.

Taufik, M. (2010.). Peristiwa 27 Juni 1955.

[Online].Tersedia:http://chamad86.blogspot.com/2010/08/normal-0-false-false-false.html