MENINGKATKAN KEMAMPUAN KONEKSI DAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA SMA MELALUI PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN METODE PENEMUAN TERBIMBING.

(1)

vii DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

PERNYATAAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

UCAPAN TERIMA KASIH ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR. ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 10

E. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 10

F. Hipotesis Penelitian ... 11

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Koneksi dalam Pembelajaran Matematika ... 12

1. Pengertian Koneksi Matematis. ... 12

2. Tipe Umum dan Aspek Koneksi Matematis... 15


(2)

viii

4. Kemampuan Koneksi Matematis... 19

5. Rubrik Penyekoran Tes Koneksi Matematis. ... 21

B. Pemecahan Masalah dalam Pembelajaran Matematika ... 26

1. Pengertian dan Hakekat Pemecahan Masalah. ... 26

2. Langkah-Langkah Menyelesaikan Pemecahan Masalah Matematis . ... 31

3. Indikator Pemecahan Masalah Matematis. ... 34

4. Cara Penilaian Soal Pemecahan Masalah. ... 35

C. Pembelajaran Penemuan Terbimbing ... 40

1. Pengertian Penemuan Terbimbing... 40

2. Strategi Penemuan Terbimbing . ... 44

3. Langkah–langkah dalam Penemuan Terbimbing. ... 47

4. Keunggulan dan Kelemahan Metode Penemuan. ... 48

D. Teori Belajar yang Mendukung ... 49

E. Penelitian yang Relevan ... 54

BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian ... 57

B. Populasi dan Sampel ... 58

C. Instrumen Penelitian ... 58

1. Tes Matematika ... 58

2. Analisis Validitas Butir Soal ... 60


(3)

ix

4. Analisis Daya Pembeda. ... 64

5. Analisis Tingkat Kesukaran... 65

6. Karakteristik Soal Berdasarkan Hasil Uji Coba. ... 67

D. Analisis Data ... 69

E. Prosedur Penelitian ... 71

1. Tahap Persiapan ... 71

2. Tahap Pelaksanaan . ... 72

3. Tahap Analisis Data... 72

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Hasil Data Penelitian ... 73

B. Analisis Tes Awal Kemampuan Koneksi dan Pemecahan Masalah Matematis ... 74

C. Analisis Tes Akhir Kemampuan Koneksi dan Pemecahan Masalah Matematis ... 78

D. Perbandingan Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematis ... 82

E. Perbandingan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis. ... 84

F. Hubungan antara Kemampuan Koneksi Matematis Siswa dengan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa yang Mengikuti Pembelajaran Melalui Metode Penemuan Terbimbing. ... 87

G. Pembahasan. ... 89

1. Pembelajaran Penemuan Terbimbing. ... 89


(4)

x

3. Perbandingan Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah

Matematis. ... 93 4. Hubungan antara Kemampuan Koneksi Matematis Siswa

dengan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa yang Mengikuti Pembelajaran Melalui Metode Penemuan

Terbimbing ... 94

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan ... 95 B. Rekomendasi ... 95

DAFTAR PUSTAKA ... 98 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(5)

xi

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Rubrik Penyekoran tes Koneksi Matematis ... 22

Tabel 2.2 Rubrik Penyekoran Soal 1 ... 23

Tabel 2.3 Rubrik Penyekoran Soal 2 ... 25

Tabel 2.4 Penyekoran Pemecahan Masalah Secara Holistik ... 36

Tabel 2.5 Penyekoran Pemecahan Masalah Secara Analitik ... 37

Tabel 3.1 Pedoman Penyekoran Tes Koneksi Matematis ... 59

Tabel 3.2 Koefisien Korelasi ... 61

Tabel 3.3 Hasil Perhitungan Analisis Validitas Butir Soal Koneksi ... 62

Tabel 3.4 Hasil Perhitungan Analisis Validitas Butir Soal Pemecahan Masalah ... 62

Tabel 3.5 Reliabilitas Tes ... 63

Tabel 3.6 Klasifikasi Daya Pembeda ... 64

Tabel 3.7 Hasil Perhitungan Analisis Daya Pembeda Soal Koneksi Matematis ... 65

Tabel 3.8 Hasil Perhitungan Analisis Daya Pembeda Soal Pemecahan Masalah Matematis ... 65

Tabel 3.9 Klasifikasi Tingkat Kesukaran ... 66

Tabel 3.10 Hasil Perhitungan Tingkat Kesukaran Soal Koneksi Matematis . 67 Tabel 3.11 Hasil Perhitungan Tingkat Kesukaran Soal Pemecahan Masalah Matematis ... 67

Tabel 3.12 Karakteristik Soal Berdasarkan Hasil Uji Coba Soal Koneksi Matematis ... 68


(6)

xii

Tabel 3.13 Karakteristik Soal Berdasarkan Hasil Uji Coba Soal Pemecahan Masalah Matematis ... 68 Tabel 4.1 Rata-rata Hasil Pretes, Postes, dan Gain Ternormalisasi

Kemampuan Koneksi dan Pemecahan Masalah Matematis ... 74 Tabel 4.2 Statistik Deskriptif Skor Pretes Kelas Eksperimen dan Kelas

Kontrol. ... 74 Tabel 4.3 Uji Normalitas Pretes Koneksi Matematis ... 75 Tabel 4.4 Uji Normalitas Pretes Pemecahan Masalah Matematis. ... 75 Tabel 4.5 Hasil Uji Mann-Whitney Skor Pretes Kemampuan Koneksi

Matematis. ... 77 Tabel 4.6 Hasil Uji Mann-Whitney Skor Pretes Kemampuan Pemecahan

Masalah Matematis. ... 77 Tabel 4.7 Statistik Deskriptif Skor Postes Kelas Eksperimen dan Kelas

Kontrol ... 78 Tabel 4.8 Uji Normalitas Postes Koneksi Matematis... 79 Tabel 4.9 Uji Normalitas Postes Pemecahan Masalah Matematis ... 79 Tabel 4.10 Hasil Uji Mann-Whitney Skor Postes Kemampuan Koneksi

Matematis ... 80 Tabel 4.11 Hasil Uji Mann-Whitney Skor Postes Kemampuan Pemecahan

Masalah Matematis ... 81 Tabel 4.12 Statistik Deskriptif Skor Gain Ternormalisasi Kemampuan Koneksi

Matematis ... 82 Tabel 4.13 Uji Normalitas Skor Gain Ternormalisasi Kemampuan Koneksi


(7)

xiii

Tabel 4.14 Hasil Uji Mann-Whitney Gain Ternormalisasi Kemampuan Koneksi Matematis ... 84 Tabel 4.15 Statistik Deskriptif Skor Gain Ternormalisasi Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis ... 85 Tabel 4.16 Uji Normalisasi Skor Gain Ternormalisasi Kemampuan Pemecahan

Masalah Matematis Berdasarkan Pendekatan Pembelajaran ... 85 Tabel 4.17 Hasil Perhitungan Uji Rata-rata Gain Ternormalisasi Kemampuan

Pemecahan Masalah Matematis Berdasarkan Pendekatan

Pembelajaran ... 86 Tabel 4.18 Uji Hubungan Antara Kemampuan Koneksi Dengan Kemampuan

Pemecahan Masalah Matematis Siswa Yang Mengikuti Pembelajaran Melalui Metode Penemuan Terbimbing ... 88


(8)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 2.1 Tingkat-tingkat Kompleksitas dalam Keterampilan Intelektual . 28 Gambar 2.2 Illustrasi Soal ... 41 Gambar 2.3 Interaksi dalam Pembelajaran ... 43


(9)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A 1. Silabus

2. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran 3. Bahan Ajar

4. Lembar Kerja Siswa

Lampiran B

1. Kisi-kisi Penyusunan Tes Kemampuan Koneksi Matematis 2. Tes Kemampuan Koneksi Matematis

3. Kunci Jawaban dan Pedoman Penyekoran Tes Kemampuan Koneksi Matematis

4. Kisi-kisi Penyusunan Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis 5. Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis

6. Kunci Jawaban dan Pedoman Penyekoran Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis

Lampiran C

Tabel C.1 Skor dan Peringkat Soal Uji Coba Instrumen Aspek Koneksi Matematis

Tabel C.2 Skor dan Peringkat Soal Uji Coba Instrumen Aspek Pemecahan Masalah Matematis

Tabel C.3 s.d C.6

Uji Validitas Instrumen Aspek Koneksi Matematis Tabel

C.7 s.d C.9

Uji Validitas Instrumen Aspek Pemecahan Masalah Matematis Tabel C.10 Uji Reliabilitas Instrumen tes Aspek Koneksi Matematis

Tabel C.11 Uji Reliabilitas Instrumen tes Aspek Pemecahan Masalah Matematis


(10)

xvi Aspek Koneksi Matematis

Tabel C.13 Uji Analisis Daya Pembeda dan Tingkat Kesukaran Instrumen Aspek Pemecahan Masalah Matematis

Tabel C.14 Skor Kemampuan Koneksi Matematis Untuk Kelas Kontrol Tabel C.15 Skor Kemampuan Koneksi Matematis Untuk Kelas Eksperimen Tabel C.16 Gain Koneksi

Tabel C.17 Skor Kemampuan Pemecahan Masalah Untuk Kelas Kontrol Tabel C.18 Skor Kemampuan Pemecahan Masalah Untuk Kelas Eksperimen Tabel C.19 Gain Pemecahan Masalah

Tabel Distribusi t

Lampiran D

SK Pembimbing Penulisan Tesis

SK Permohonan Izin Melakukan Studi Lapangan Observasi SK Telah Melaksanakan Kegiatan Observasi


(11)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ada pandangan umum yang mengatakan bahwa mata pelajaran matematika kurang disukai oleh kebanyakan siswa. Menurut Wahyudin (1999), “matematika merupakan mata pelajaran yang sukar dipahami”. Pendapat tersebut memang tidak dapat dipungkiri, berdasarkan data yang telah diamati menunjukkan bahwa prestasi siswa untuk pelajaran matematika lebih rendah daripada pelajaran lain. Hal yang menyebabkan rendahnya prestasi siswa dalam matematika itu dipengaruhi oleh ketidaksenangan siswa terhadap matematika sebagai akibat sukarnya memahami pelajaran tersebut.

Banyak faktor yang menyebabkan matematika sukar dipahami oleh siswa, salah satunya karena siswa tidak dapat mengekspresikan kemampuannya sebagai akibat guru lebih banyak mendominasi proses pembelajaran . Hal ini diperkuat oleh pendapat Zamroni (dalam Hadi, 2003) yang menyatakan:

“Orientasi pendidikan di Indonesia pada umumnya mempunyai ciri-ciri cenderung memperlakukan peserta didik berstatus sebagai obyek, guru berfungsi sebagai pemegang otoritas tertinggi keilmuan dan indoktrinator, materi bersifat subject-oriented, dan manajemen bersifat sentralistis. Pendidikan yang demikian menyebabkan praktik pendidikan kita mengisolir diri dari kehidupan riil yang ada di luar sekolah, kurang relevan antara apa yang diajarkan dengan kebutuhan dalam pekerjaan, terlalu terkonsentrasi pada pengembangan intelektual yang tidak berjalan dengan pengembangan individu sebagai satu kesatuan yang utuh dan berkepribadian”.

Uraian di atas menunjukkan bahwa dalam pembelajaran di sekolah guru masih menggunakan cara-cara tradisional atau konvensional. Pada pembelajaran konvensional atau tradisional aktivitas proses pembelajaran secara umum lebih


(12)

2

banyak didominasi oleh guru. Kondisi siswa pada saat pembelajaran lebih banyak mendengarkan guru dengan seksama, dan belajar hanya dari guru atau bahan ajar, bekerja sendiri, diam adalah emas, serta hanya guru yang membuat keputusan dan siswa pasif. Tampak bahwa dalam pembelajaran guru lebih berperan sebagai subyek pembelajaran atau pembelajaran yang berpusat pada guru dan siswa sebagai obyek, serta pembelajaran tidak mengaitkan dengan kehidupan sehari-hari siswa. Akibatnya banyak siswa mampu menyajikan tingkat hapalan yang baik terhadap materi ajar yang diterimanya, tetapi pada kenyataannya mereka tidak memahaminya. Sebagian besar dari mereka tidak mampu menghubungkan antara apa yang mereka pelajari dengan bagaimana pengetahuan tersebut akan dipergunakan atau dimanfaatkan.

Sementara itu, Zamroni (dalam Hadi, 2003) mengatakan:

“Paradigma pendidikan saat ini menekankan bahwa proses pendidikan formal sistem persekolahan harus memiliki ciri-ciri berikut: pendidikan lebih menekankan pada proses pembelajaran (learning) daripada mengajar (teaching), pendidikan diorganisir dalam suatu struktur yang fleksibel, pendidikan memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus dan mandiri, dan pendidikan merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan”. Hal tersebut selaras dengan yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan nasional dan menghasilkan lulusan yang memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan, dimana Depdiknas melakukan pergeseran paradigma dalam proses pembelajaran, yaitu dari teacher active teaching menjadi student active learning, maksudnya adalah orientasi pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher centered) menjadi pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered).


(13)

3

Dalam pembelajaran yang berpusat pada siswa, guru diharapkan dapat berperan sebagai fasilitator yang akan memfasilitasi siswa dalam belajar, dan siswa sendirilah yang harus aktif belajar dari berbagai sumber belajar. Pergeseran paradigma dalam proses pembelajaran ini tampak dengan diberlakukannya kurikulum KTSP. Kegiatan pembelajaran pada KTSP ini adalah kegiatan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik, mengembangkan kreativitas, kontekstual, menantang dan menyenangkan, menyediakan pengalaman belajar yang beragam, dan belajar melalui berbuat. Hal ini menunjukkan bahwa paradigma baru pendidikan yang diberlakukan dalam KTSP, menuntut partisipasi yang tinggi dari siswa dalam kegiatan pembelajaran.

Untuk itu, guru perlu menemukan cara terbaik bagaimana menyampaikan berbagai konsep yang diajarkan di dalam mata pelajaran yang diampunya, sehingga semua siswa dapat menggunakan dan mengingatnya lebih lama konsep tersebut dan bagaimana setiap individu memahami pelajaran sebagai bagian yang saling berhubungan dan membentuk satu pemahaman yang utuh, serta bagaimana guru dapat membuka wawasan berpikir yang beragam dari siswa sehingga mereka dapat mempelajari berbagai konsep matematika dan mampu mengaitkannya dalam kehidupan nyata.

Dalam proses pembelajaran matematika, siswa diharapkan diantaranya memiliki beberapa kemampuan, diantaranya kemampuan koneksi dan pemecahan masalah matematis, NCTM (2000). Kemampuan koneksi dan pemecahan masalah matematis merupakan sebuah kompetensi yang harus dimiliki oleh siswa dan tujuan yang akan dicapai dalam pembelajaran matematika sebagaimana termuat


(14)

4

dalam KTSP. Kemampuan koneksi dan pemecahan masalah matematis bukan hanya sebagai suatu keterampilan yang harus diajarkan dan dipelajari serta digunakan dalam matematika, tetapi merupakan suatu kemampuan dan keterampilan yang akan dimanfaatkan dalam menghadapi permasalahan keseharian serta dalam situasi-situasi pengambilan keputusan dalam kehidupan individu.

Oleh karena itu melalui kemampuan koneksi diupayakan agar siswa mampu memecahkan masalah matematis yang saling terkait antara ide atau topik dalam matematika, atau matematika dengan bidang ilmu lain maupun dengan kehidupan nyata, sehingga siswa tidak memandang sempit terhadap matematika. Sedangkan melalui kemampuan pemecahan masalah dimungkinkan siswa memperoleh pengalaman menggunakan pengetahuan serta keterampilan yang sudah dimiliki untuk diterapkan dalam memecahkan persoalan-persoalan matematika yang bersifat tidak rutin.

Namun kenyataan di lapangan berdasarkan hasil observasi peneliti menunjukkan bahwa kemampuan koneksi dan pemecahan masalah matematis pada pembelajaran matematika belum dijadikan sebagai kegiatan utama. Dari beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan koneksi dan pemecahan masalah matematis siswa pada umumnya rendah. Dalam Sumarmo (1993), “kemampuan siswa SMA kelas 1 dalam menyelesaikan masalah matematika pada umumnya belum memuaskan”. Ruspiani (2000) menemukan bahwa “kemampuan siswa dalam melakukan koneksi matematika masih tergolong rendah”.


(15)

5

Untuk mengembangkan kemampuan koneksi dan pemecahan masalah matematis, Sumarmo (2001) menyatakan bahwa “pembelajaran matematika sebaiknya memenuhi empat pilar pendidikan masa datang (UNESCO), yaitu (1)

learning to know, (2) learning to do, (3) learning to be, dan (4) learning to live together in peace and harmony”. Keempat pilar ini satu sama lain saling melengkapi, namun hendaknya dalam pembelajaran di setiap jenjang pendidikan, guru dapat menciptakan suasana belajar yang membuat keempat pilar tersebut secara bersama-sama dan berlangsung seimbang.

Di samping itu, tujuan mempelajari matematika SMA (Depdiknas, 2006) agar siswa memiliki kemampuan:(1) memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah, (2) menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika, (3) memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merencanakan model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh, (4) mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah, dan (5) memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajarai matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

Dari seluruh kemampuan matematis dalam mempelajari matematika yang disampaikan oleh Depdiknas, kemampuan koneksi terangkum dalam kemampuan


(16)

6

memahami konsep matematika karena adanya keterkaitan antar konsep dalam matematika.

Telah banyak upaya yang dilakukan oleh guru untuk meningkatkan kemampuan matematis siswa yaitu dengan melakukan inovasi pembelajaran. Sebagaimana yang disarankan oleh Ausubel (dalam Ruseffendi, 2006) bahwa,

“Sebaiknya dalam pembelajaran digunakan pendekatan yang menggunakan metode pemecahan masalah, inquiry, dan metode belajar yang dapat menumbuhkan berpikir kreatif dan kritis, sehingga siswa mampu menghubungkan/mengoneksikan antara masalah matematika, pelajaran lain ataupun masalah yang berkaitan dengan kehidupan nyata”. Dengan adanya inovasi pembelajaran yang telah dilakukan, diharapkan adanya perubahan kognitif siswa ke arah yang lebih baik. Sehubungan dengan proses pembelajaran matematika yang dilakukan di dalam kelas, NCTM, Silver (dalam Dahlan, 2008), mengatakan:

“Tugas guru dalam pembelajaran matematika diharapkan mampu membuat siswa berpartisipasi aktif, dan mendorong pengembangan intelektual siswa, mengembangkan pemahaman dan keterampilan matematika, dapat menstimulus siswa, menyusun hubungan dan mengembangkan tata kerja ide matematika, mendorong untuk memformulasikan masalah, pemecahan masalah, dan penalaran matematika, memajukan komunikasi matematika, menggambarkan matematika sebagai aktifitas manusia, serta mendorong dan mengembangkan keinginan siswa mengerjakan matematika”.

Dari uraian tersebut, tugas dan peran guru mata pelajaran matematika diharapkan dapat meningkatkan kemampuan matematis siswa dalam pembelajaran sehingga akan menambah tingkat kecerdasan, kekritisan, keterampilan, dan motivasi belajar yang berdampak pada kemampuan kognitif siswa bertambah baik. Untuk mencapai harapan itu tentu saja guru memerlukan kesabaran, kecermatan, dan wawasan terhadap tugas yang diembannya.


(17)

7

Di dalam penelitian ini, peneliti memfokuskan kajian kepada dua buah jenis kemampuan matematis siswa yaitu kemampuan koneksi (conection) dan pemecahan masalah (problem solving). Dua jenis kemampuan matematis ini diduga masih lemah dimiliki oleh siswa sehingga ketika mereka berhadapan dengan persoalan yang melibatkan keterkaitan antar konsep, keterkaitan antar topik pada ruang lingkup materi ajar matematika atau lintas pelajaran menjadi sesuatu yang sulit baginya. Di samping itu, pemecahan masalah sebagai suatu persoalan yang tidak rutin atau tidak biasa (non routine) termasuk kemampuan yang sangat rendah dimiliki oleh siswa. Mereka tidak pernah kenal terhadap persoalan jenis ini, kalaupun mereka tahu apa yang ditanyakan oleh soal itu tetapi tidak mudah untuk diselesaikan. Tentu saja kendala ini jelas tidak bisa dibiarkan, sehingga dipandang perlu guru menjadi fasilitator tetapi siswa harus berperan aktif dan guru hanya memandu saja. Salah satu metode pembelajaran yang diperkirakan oleh peneliti dapat meningkatkan dua kemampuan tadi adalah metode penemuan terbimbing (guided discovery).

Metode penemuan terbimbing dianggap sebagai salah satu metode pembelajaran yang mampu meningkatkan keaktifan siswa dalam proses belajar. Sedangkan strategi yang dilakukan oleh guru hanya sebagai fasilitator atau

scaffolder (penyangga), artinya guru membimbing siswa bilamana ia diperlukan dan bersifat sementara saja. Siswa didorong untuk berfikir sendiri sehingga dapat menemukan prinsip umum berdasarkan bahan atau data yang telah disediakan guru. Seberapa jauh siswa dibimbing tergantung pada kemampuan dan materi yang dipelajari.


(18)

8

Dengan memperhatikan pembelajaran melalui metode penemuan terbimbing ini, peneliti tertarik untuk menerapkan pembelajaran tersebut pada salah satu SMA yang ada di Kabupaten Garut di mana peneliti bekerja dengan harapan mendapat respon positif dari siswa dan dapat meningkatkan prestasi belajar mereka pada mata pelajaran matematika.

Dari hasil pembelajaran yang menggunakan metode penemuan terbimbing, peneliti ingin mengetahui peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa dalam mengaitkan antar konsep pada ruang lingkup matematika SMA, atau antara matematika dengan kehidupan nyata. Pada kemampuan pemecahan masalah, peneliti ingin mengetahui sejauh mana siswa dapat menyelesaikan persoalan-persoalan yang tidak rutin yang menggunakan daya nalar yang cukup tinggi serta membutuhkan kekritisan dalam berpikir terhadap persoalan yang dihadapinya. Di samping itu pula peneliti ingin mengetahui apakah ada hubungan antara kemampuan koneksi matematis dan kemampuan masalah matematis.

Rencana penelitian yang akan peneliti lakukan di sekitar bulan April dan Mei selama tiga minggu untuk dua belas kali tatap (sudah termasuk pretes dan posttes) pada dua kelas sampel yang ditunjuk (purposive sampling) oleh guru pengajar yang bersangkutan, yaitu satu kelas sebagai kelas eksperimen dan satu kelas sebagai kelas kontrol pada jenjang SMA Kelas XI program studi IPA di salah satu SMA yang ada di Kabupaten Garut.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :


(19)

9

1. Apakah peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa yang belajar melalui pembelajaran matematika dengan metode penemuan terbimbing lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional?

2. Apakah peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang belajar melalui pembelajaran matematika dengan metode penemuan terbimbing lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional?

3. Apakah ada hubungan antara kemampuan koneksi matematis siswa dengan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang belajar melalui pembelajaran matematika dengan metode penemuan terbimbing?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan untuk:

1. Membandingkan peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa yang belajar melalui pembelajaran matematika melalui metode penemuan terbimbing dengan pembelajaran konvensional.

2. Membandingkan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang belajar melalui pembelajaran matematika melalui metode penemuan terbimbing dengan pembelajaran konvensional.


(20)

10

3. Mengetahui apakah ada hubungan antara kemampuan koneksi matematis dengan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang belajar melalui pembelajaran matematika melalui metode penemuan terbimbing.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memberikan sebuah alternatif pembelajaran yang dapat digunakan oleh guru dalam melakukan pembelajaran di dalam kelas, khususnya dalam upaya meningkatkan kemampuan koneksi dan pemecahan masalah matematis siswa SMA melalui pembelajaran matematika melalui metode penemuan terbimbing.

E. Definisi Operasional Variabel Penelitian

Agar tidak terjadi perbedaan pemahaman tentang istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini, maka beberapa istilah perlu didefinisikan secara operasional.

1. Kemampuan koneksi matematis siswa dalam penelitian ini dapat diartikan sebagai kemampuan dalam mengaitkan ide-ide matematis, yaitu mengaitkan antar konsep dalam ruang lingkup matematika atau mengaitkan antara matematika dengan situasi masalah yang berkembang di dunia nyata atau pada disiplin ilmu lain.

2. Kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dalam penelitian ini adalah kemampuan yang harus dimiliki siswa mulai dari


(21)

11

mengidentifikasi dan merumuskan permasalahan sehari-hari ke dalam model matematika, merencanakan dan membuat strategi untuk pemecahan masalah, melaksanakan strategi yang telah dibuat serta memeriksa kembali dari kebenaran jawaban yang telah diperoleh. 3. Metode penemuan terbimbing adalah metode penemuan oleh siswa

baik secara individu maupun kelompok terhadap persoalan matematika yang dihadapinya dan dipandu/dibimbing oleh guru pada proses pembelajaran, siswa didorong untuk berpikir sendiri sehingga dapat menemukan prinsip umum berdasarkan bahan yang disediakan oleh guru dan sampai seberapa jauh siswa dibimbing tergantung pada kemampuannya dan materi yang sedang dipelajari.

F. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa yang mendapat pembelajaran melalui metode penemuan terbimbing lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional.

2. Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang mendapat pembelajaran melalui metode penemuan terbimbing lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional. 3. Terdapat hubungan yang berarti antara kemampuan koneksi dan

kemampuan pemecahan masalah matematis siswa melalui pembelajaran matematika dengan metode penemuan terbimbing.


(22)

57 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan kuasi eksperimen. Pada kuasi eksperimen ini subyek tidak dikelompokkan secara acak, tetapi peneliti menerima keadaan subjek apa adanya, Ruseffendi (1994). Penggunaan desain dilakukan dengan pertimbangan bahwa, kelas yang ada telah terbentuk sebelumnya, sehingga tidak dilakukan lagi pengelompokan secara acak.

Penelitian dilakukan pada siswa dari dua kelas yang memiliki kemampuan yang setara dengan pendekatan pembelajaran yang berbeda. Kelompok pertama diberikan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan pembelajaran metode penemuan terbimbing. Kelompok pertama ini merupakan kelompok eksperimen, sedangkan kelompok kedua merupakan kelompok kontrol yang memperoleh pembelajaran konvensional. Diagram dari desain penelitian ini digambarkan sebagai berikut:

Kelompok Eksperimen: O X O Kelompok Kontrol: O - O (Frenkel, J.R, 1990: 238).

Keterangan:

O : Pretes dan postes (tes kemampuan koneksi dan pemecahan masalah matematis)


(23)

58

X: Perlakuan pembelajaran dengan menggunakan Pendekatan Pembelajaran matematika dengan Metode Penemuan Terbimbing

B. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa di salah satu SMA Negeri di Kabupaten Garut sedangkan sampel adalah siswa kelas XI IPA dengan mengambil dua kelas, satu kelas sebagai kelas kontrol dan satu kelas sebagai kelas eksperimen. Karena desain penelitian menggunakan desain “Kelompok Kontrol Non-Ekivalen”, maka penentuan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik “Purposive Sampling”, yaitu teknik pengambilan sampel berdasarkan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2005 ; 54). Penentuan kelas dua kelas XI IPA sebagai kelas eksperimen dan kontrol didasarkan pada kesesuaian topik matematika yang akan diteliti dalam pelaksanaan pembelajaran, sedangkan topik pembahasan adalah turunan fungsi pada semester genap.

C. Instrumen Penelitian

Untuk memperoleh data dalam penelitian ini, digunakan satu macam instrumen, yaitu instrumen tes. Instrumen tes berupa soal-soal matematika yang diberikan kepada dua kelas, yaitu kelas kontrol dan kelas eksperimen.

1. Tes Matematika

Instrumen tes ini digunakan untuk mengukur kemampuan koneksi dan pemecahan masalah matematis siswa pada kelas kontrol dan kelas eksperimen baik sebelum pembelajaran (pretest) maupun sesudah pembelajaran (posttest).


(24)

59

Sebelum instrumen tes penelitian diberikan kepada seluruh siswa pada dua kelompok kelas yang diteliti, terlebih dahulu dibuatkan kisi-kisi soal yang mencakup topik bahasan, kemampuan yang diukur, indikator, serta jumlah butir soal. Selanjutnya menyusun soal berdasarkan kisi-kisi soal yang telah disusun disertai kunci jawab penyelesaian dari setiap soal dan dilengkapi dengan pedoman penskoran untuk setiap soal.

Pada tes koneksi matematis, soal yang disusun sebanyak delapan butir soal bentuk uraian yang mewakili semua komponen bahasan turunan fungsi dengan pedoman penskoran tiap butir soal:

Tabel 3.1

Pedoman Penskoran Tes Koneksi Matematis No. Soal Skor Maksimum

1 3

2 3

3 5

4 3

5 6

6 3

7 4

8 3

sehingga jumlah ideal skor tes koneksi matematis sama dengan 30.

Sedangkan untuk tes pemecahan masalah matematis, soal yang diberikan pada kelas kontrol dan kelas eksperimen terdiri dari lima buah soal dengan skor maksimum setiap soal sama dengan 4, sehingga jumlah skor ideal tes pemecahan masalah matematis sama dengan 20.


(25)

60

Adapun pelaksanaan tes, untuk tes koneksi dan pemecahan masalah matematis masing-masing dilakukan dalam waktu yang berbeda untuk setiap kelas yang diteliti. Durasi waktu yang diberikan untuk kedua jenis tes pada setiap tesnya adalah 2 jam pelajaran (90 menit).

Tipe soal yang dimunculkan untuk tes koneksi dan tes pemecahan masalah matematis keduanya dihubungkan dengan disiplin ilmu lain, seperti ilmu fisika, ilmu ekonomi, ilmu kesehatan, dan lain-lain yang berkenaan dengan persoalan dalam kehidupan sehari-hari.

2. Analisis Validitas Butir Soal

Analisis validitas butir soal digunakan untuk mengetahui dukungan suatu butir soal terhadap skor total. Untuk menguji validitas setiap butir soal, skor-skor yang ada pada butir soal yang dimaksud dikorelasikan dengan skor total. Sebuah soal akan memiliki validitas yang tinggi jika skor soal tersebut memiliki dukungan yang besar terhadap skor total. Perhitungan validitas butir soal dilakukan dengan menggunakan rumus korelasi Product Moment Pearson, yaitu sebagai berikut:

(

2 2

)(

2 2

)

) ( ) ( ) )( ( y y n x x n y x xy n rxy ∑ − ∑ ∑ − ∑ ∑ ∑ − ∑

= , (Arikunto, 2001: 72)

Keterangan :

rxy = koefisien korelasi antara variabel x dan variabel y.

x = skor butir soal yang dicari validitasnya.


(26)

61

n = banyaknya siswa.

x = jumlah nilai-nilai x

y = jumlah nilai-nilai y

xy = jumlah perkalian nilai-nilai x dan y

∑ 2

x = jumlah kuadrat nilai-nilai x

∑ 2

y = jumlah kuadrat nilai-nilai y

Interpretasi besarnya koefisien korelasi berdasarkan patokan disesuaikan dari Arikunto (2001: 75) sebagai berikut:

Tabel 3.2 Koefisien Korelasi (r)

Koefisien Korelasi r) Interpretasi 0,80 < r ≤ 1,00

0,60 < r≤ 0,80 0,40 < r≤ 0,60 0,20 < r≤ 0,40

r≤ 0,20

Sangat tinggi

Tinggi Cukup

Rendah Sangat rendah

Setelah nilai korelasi rxy diperoleh, maka untuk mengetahui valid atau tidaknya butir soal yang diujikan, selanjutnya dilakukan uji-t dengan rumus berikut: 2 1 2 xy xy r N r t − −

= , (Sudjana, 1992: 380)

Apabila thitung > ttabel , maka butir soal dinyatakan valid. Nilai ttabel =


(27)

62

Proses perhitungan korelasi disajikan pada Lampiran C, sedangkan hasil perhitungan analisis validitas butir soalnya disusun dalam Tabel 3.2 dan Tabel 3.3 berikut.

Tabel 3.3

Hasil Perhitungan Analisis Validitas Butir Soal Koneksi Nomor

Butir Soal Nilai rxy t-hitung t-tabel Interpretasi

1 0,77 5,07 2,10 valid

2 0,60 3,18 2,10 valid

3 0,77 4,80 2,10 valid

4 0,70 4,17 2,10 valid

5 0,79 5,45 2,10 valid

6 0,68 3,93 2,10 valid

7 0,76 4,93 2,10 valid

8 0,74 4,73 2,10 valid

Tabel 3.4

Hasil Perhitungan Analisis Validitas Butir Soal Pemecahan Masalah Nomor

Butir Soal Nilai r t-hitung t-tabel Interpretasi

1 0,62 3,40 2,10 valid

2 0,70 4,18 2,10 valid

3 0,79 5,41 2,10 valid

4 0,71 4,30 2,10 valid


(28)

63

3. Analisis Reliabilitas Tes

Instrumen memiliki reliabilitas yang baik apabila alat ukur itu memiliki konsistensi yang handal pada tingkatan yang sama, walaupun dikerjakan oleh siapun, di manapun dan kapanpun berada. Untuk mengukur reliabilitas soal menggunakan Rumus Alpha-Cronbach yaitu:

        −       − =

2 2 11 1 1 t i n n r σ σ (Arikunto, 2001) Dimana:

r11 = reliabilitas yang dicari

∑ 2

i

σ = jumlah varians skor tiap-tiap butir soal 2

t

σ = varians skor total

n = jumlah butir soal

Hasil perhitungan koefisien reliabilitas, kemudian ditafsirkan dan diinterpretasikan mengikuti interpretasi menurut J.P. Guilford (Suherman, 2003:139), yaitu:

Tabel 3.5 Reliabilitas Tes

Interval Reliabilitas

r≤ 0,20 0,20 < r ≤ 0,40 0,40 < r≤ 0,60 0,60 < r ≤ 0,80 0,80 < r≤ 1,00

Sangat Rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi


(29)

64

Berdasarkan perhitungan (Lampiran C.) diperoleh koefisien korelasi dengan Rumus Alpha sebesar 0,86 untuk soal koneksi matematis dan 0,80 untuk soal pemecahan masalah matematis yang berarti untuk kedua jenis soal dalam tes yang diujicobakan memiliki reliabilitas sangat tinggi.

4. Analisis Daya Pembeda

Untuk menghitung daya pembeda tes adalah dengan membagi dua subjek, menjadi bagian 50%-50% setelah diurutkan menurut peringkat perolehan skor hasil tes. Dalam menentukan daya pembeda tiap butir soal menggunakan rumus (disesuaikan dari Arikunto, 2001:213)

i B A S N JS JS DP × − = 2 1 , Keterangan :

DP = daya pembeda,

JSA = jumlah skor kelompok atas yang menjawab benar,

JSB = jumlah skor kelompok bawah yang menjawab benar,

N = jumlah seluruh siswa.

Si = skor ideal

Tabel 3.6

Klasifikasi Daya Pembeda

Daya Pembeda Klasifikasi Soal DP < 0,00

0,00 ≤ DP < 0,20 0,20 ≤ DP < 0,40 0,40 ≤ DP < 0,70 0,70 ≤ DP ≤ 1,00

Sangat jelek Jelek Cukup

Baik Sangat baik


(30)

65

Perhitungan Daya Pembeda dari delapan butir soal koneksi matematis yang diujicobakan hasilnya disajikan dalam Tabel 3.6 berikut ini:

Tabel 3.7

Hasil Perhitungan Analisis Daya Pembeda Soal Koneksi Matematis Nomor Butir Soal Nilai DP Interpretasi

1 0,33 Cukup

2 0,23 Cukup

3 0,36 Cukup

4 0,33 Cukup

5 0,23 Cukup

6 0,20 Jelek

7 0,28 Cukup

8 0,30 Cukup

Sedangkan perhitungan Daya Pembeda dari lima butir soal pemecahan masalah matematis yang diujicobakan hasilnya disajikan dalam Tabel 3.7 berikut ini:

Tabel 3.8

Hasil Perhitungan Analisis Daya Pembeda Soal Pemecahan Masalah Matematis

Nomor Butir Soal Nilai DP Interpretasi

1 0,23 Cukup

2 0,25 Cukup

3 0,20 Jelek

4 0,28 Cukup

5 0,35 Cukup

5. Analisis Tingkat Kesukaran

Untuk menganalis tingkat kesukaran dari setiap item soal dihitung berdasarkan jawaban seluruh siswa yang mengikuti tes. Skor hasil tes yang


(31)

66

diperoleh siswa diklasifikasikan atas benar dan salah seperti pada analisis daya pembeda. Sedangkan rumus yang digunakan digunakan adalah :

i B A

S N

JS JS IK

× +

= , (Arikunto, 2001:208)

Keterangan:

IK = Indeks kesukaran

JSA = Jumlah skor kelompok atas yang menjawab benar

JSB = Jumlah skor kelompok bawah yang menjawab benar

N = Jumlah seluruh siswa peserta tes

Si = Skor ideal

Tabel 3.9

Klasifikasi Tingkat Kesukaran

Indeks Kesukaran Interpretasi

IK = 0,00 Sangat Sukar

0,00 < IK ≤ 0,30 Sukar 0,30 < IK ≤ 0,70 Sedang

0,70 < IK < 1,00 Mudah

IK = 1,00 Sangat Mudah

Perhitungan Tingkat Kesukaran dari delapan butir soal koneksi matematis dan lima soal pemecahan masalah matematis yang diujicobakan hasilnya disajikan dalam Tabel 3.9 berikut ini:


(32)

67

Tabel 3.10

Hasil Perhitungan Tingkat Kesukaran Soal Koneksi Matematis

Nomor Butir Soal Indeks Kesukaran Interpretsi

1 0,57 Sedang

2 0,55 Sedang

3 0,50 Sedang

4 0,53 Sedang

5 0,43 Sedang

6 0,57 Sedang

7 0,54 Sedang

8 0,52 Sedang

Tabel 3.11

Hasil Perhitungan Tingkat Kesukaran Soal Pemecahan Masalah Matematis

Nomor Butir Soal Indeks Kesukaran Interpretasi

1 0,49 Sedang

2 0,45 Sedang

3 0,55 Sedang

4 0,51 Sedang

5 0,50 Sedang

6. Karakteristik Soal Berdasarkan Hasil Uji Coba

Berdasarkan uji coba tes dan analisis hasilnya, diperoleh karakteristik butir-butir soal yang disajikan dalam Tabel 3.11 dan Tabel 3.12 berikut ini:


(33)

68

Tabel 3.12

Karakteristik Soal Berdasarkan Hasil Uji Coba Soal Koneksi Matematis

Nomor Butir

Soal

Validitas Butir Soal Daya Pembeda Tingkat Kesukaran Reliabilitas Tes Skor Interpretasi Skor Interpretasi Skor Interpretasi Skor Interpretasi

1 0,77 valid 0,33 Cukup 0,57 Sedang

0,86 Sangat Tinggi

2 0,60 valid 0,23 Cukup 0,55 Sedang

3 0,75 valid 0,36 Cukup 0,50 Sedang

4 0,70 valid 0,33 Cukup 0,53 Sedang

5 0,79 valid 0,23 Cukup 0,43 Sedang

6 0,68 valid 0,20 Jelek 0,57 Sedang

7 0,76 valid 0,28 Cukup 0,54 Sedang

8 0,74 valid 0,30 Cukup 0,52 Sedang

Tabel 3.13

Karakteristik Soal Berdasarkan Hasil Uji Coba Soal Pemecahan Masalah Matematis

Nomor Butir

Soal

Validitas Butir Soal Daya Pembeda Tingkat Kesukaran Reliabilitas Tes Skor Inter-

pretasi Skor

Inter-

pretasi Skor Interpretasi Skor Interpretasi

1 0,62 valid 0,23 Cukup 049 Sedang

0,80 Sangat Tinggi

2 0,70 valid 0,25 Cukup 0,45 Sedang

3 0,79 valid 0,20 Jelek 0,55 Sedang

4 0,71 valid 0,28 Cukup 0,51 Sedang


(34)

69

D. Analisis Data

Analisis data yang digunakan, yaitu data kuantitatif berupa hasil tes kemampuan koneksi dan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa SMA melalui pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing.

Data kuantitatif

Analisis data hasil tes dimaksudkan untuk mengetahui besarnya peningkatan kemampuan koneksi dan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Sehingga, data primer hasil tes siswa sebelum dan setelah perlakuan penerapan pembelajaran matematika siswa melalui metode penemuan terbimbing, dianalisa dengan cara membandingkan skor pretes dan postes. Hipotesis statistik yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Ho : µ1(eksperimen) = µ2(kontrol)

H1 : µ1(eksperimen) > µ2(kontrol)

Hipotesis 1 :

Ho : Tidak terdapat perbedaan peningkatan kemampuan koneksi

matematis siswa SMA melalui pembelajaran matematika dengan metode penemuan terbimbing dengan siswa yang memperoleh pembelajaran matematika secara konvensional.

H1 : Peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa SMA melalui

pembelajaran matematika dengan metode penemuan terbimbing lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran matematika secara konvensional.


(35)

70

Hipotesis 2 :

Ho : Tidak terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan

masalah matematis siswa SMA melalui pembelajaran matematika dengan metode penemuan terbimbing dengan siswa yang memperoleh pembelajaran matematika secara konvensional.

H1 : Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa

SMA melalui pembelajaran matematika dengan metode penemuan terbimbing lebih baik dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran matematika secara konvensional.

Hipotesis 3 :

H0 : Tidak terdapat hubungan antara kemampuan koneksi dengan

peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang mengikuti pembelajaran melalui metode penemuan terbimbing.

H1 : Terdapat hubungan antara kemampuan koneksi dengan

peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang mengikuti pembelajaran melalui metode penemuan terbimbing.

Untuk menguji hipotesis ke-1 dan ke-2 digunakan uji perbedaaan dua rata-rata dengan taraf signifikan α = 0,05. Dan untuk mengetahui apakah ada atau tidak adanya perbedaan, dilakukan analisis statistik pengujian perbedaan dua rata-rata, namun terlebih dahulu dilakukan uji normalitas. Dalam penelitian ini, untuk


(36)

71

analisis statistik peneliti menggunakan program SPSS versi 10. Uji normalitas digunakan uji Kolmogorov-Smirnov

Sedangkan pengujian hipotesis ke-3 untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara kemampuan koneksi matematis siswa dengan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang mengikuti pembelajaran melalui metode penemuan terbimbing, dalam penelitian ini digunakan korelasi Rank Spearman.

E. Prosedur Penelitian

Penelitian ini terdiri dari dari tiga tahap, yaitu: 1) tahap persiapan;

2) tahap pelaksanaan; dan 3) tahap analisis data.

Uraian ketiga tahap tersebut adalah: 1. Tahap Persiapan

Tahap persiapan dimulai setelah proposal diterima dalam seminar untuk ditindaklanjuti ke dalam penelitian. Selanjutnya, melakukan penelitian pada sekolah yang sudah dipilih oleh peneliti. Kemudian, menyusun kisi-kisi dan instrumen tes serta merancang pengembangan bahan ajar yang validasi isinya dilakukan oleh kedua dosen pembimbing. Berikutnya, dilakukan revisi, diujicobakan di luar subjek penelitian, dan dianalisis hasilnya.


(37)

72

2. Tahap Pelaksanaan

Tahap pelaksanaan diawali dengan memberikan pretes di kelas eksperimen dan kelas kontrol masing selama 90 menit untuk masing-masing kemampuan matematis yang sedang diteliti. Selanjutnya, pembelajaran dilakukan sesuai jadwal yang ditetapkan. Banyaknya jam pelajaran matematika adalah 6 × 45 menit per-minggu yang dibagi dalam 3 pertemuan. Saat pembelajaran berlangsung peneliti berperan sebagai guru matematika dengan pertimbangan agar tidak terjadi pembiasan dalam perlakuan terhadap masing-masing kelompok yang diteliti. Setelah pembelajaran selesai, dilakukan postes di kedua kelas dengan soal-soal yang diujikan sama dengan soal-soal pretes serta pengisian angket pendapat siswa di kelas eksperimen. Selanjutnya, semua data yang terkumpul dianalisis dan dilakukan penarikan kesimpulan.

3. Tahap Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil tes baik pretes maupun postes untuk kemampuan koneksi dan kemampuan pemecahan masalah matematis dihitung dan dianalisis menggunakan statistik SPSS versi 10.


(38)

95 BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengukuran, pengamatan, pengujian hipotesis dan pengkajian terhadap penerapan pembelajaran menggunakan metode penemuan terbimbing yang difokuskan untuk peningkatan kemampuan koneksi matematis dan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa SMA, maka terdapat beberapa hal penting yang dapat disimpulkan dari penelitian ini.

(1) Siswa yang mendapat pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing memperoleh peningkatan kemampuan koneksi matematis yang lebih baik dibanding siswa yang belajar matematika dengan pembelajaran konvensional. (2) Siswa yang mendapat pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing memperoleh peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis yang lebih baik dibanding siswa yang belajar matematika dengan pembelajaran konvensional

(3) Terdapat hubungan yang saling mempengaruhi antara kemampuan koneksi dengan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang mengikuti pembelajaran melalui metode penemuan terbimbing.

B. Rekomendasi

Penerapan pembelajaran melalui metode penemuan terbimbing, aspek koneksi matematis dan aspek pemecahan masalah matematis yang merupakan fokus perhatian dalam penelitian ini, masih perlu diteliti lebih mendalam lagi.


(39)

96

Beberapa rekomendasi yang dapat disampaikan penulis dalam laporan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Pembelajaran matematika melalui metode penemuan terbimbing sebaiknya terus dilakukan agar peran siswa dalam pembelajaran lebih dominan dari pada guru.

2. Dalam melaksanakan proses pembelajaran dengan menggunakan metode penemuan terbimbing, diskusi kelompok hendaknya diupayakan secara optimal agar siswa lebih leluasa mengeksplorasi pengetahuannya dan saling berinteraksi dalam kelompoknya untuk menemukan konsep atau menyelesaikan persoalan yang diberikan oleh guru atau dari Lembar Kegiatan Siswa.

3. Metode pembelajaran ini merupakan suatu cara untuk menyampaikan ide/gagasan melalui proses menemukan dan membiasakan peserta didiknya mampu menyelesaikan masalahnya sendiri.

4. Dalam melakukan kegiatan pembelajaran menggunakan metode penemuan terbimbing, usahakan siswa berani tampil mengemukakan pendapat atas jawaban yang ia peroleh baik secara individu maupun dari hasil kerja kelompoknya.

5. Beberapa aspek kemampuan matematis seperti kemampuan koneksi dan pemecahan masalah, penting diberikan kepada siswa agar mereka terbiasa menyelesaikan persoalan matematis dalam kehidupan sehari-hari.

6. Dalam melakukan kegiatan pembelajaran sebaiknya guru peka terhadap kemampuan dasar peserta didiknya sehingga jika siswa mengalami kesulitan


(40)

97

maka ia bertindak hanya mengarahkan saja tanpa mengurangi aktivitas menemukan oleh siswa itu sendiri.

7. Pada penelitian yang telah dilakukan terhadap siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan penemuan terbimbing diperoleh hasil bahwa untuk soal-soal tes kemampuan koneksi matematis hasilnya relatif lebih baik dari tes kemampuan pemecahan masalah. Hal tersebut terjadi karena pada soal-soal tes kemampuan masalah ada beberapa kemampuan matematis lainnya seperti berfikir tingkat tinggi, kritis, dan kreatif sehingga mereka tidak mudah menyelesaikan persoalan-persoalan yang diberikan untuk segera mendapatkan jawaban yang tepat.


(41)

98

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S (2001). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Edisi Revisi. Jakarta: Bumi Aksara.

Bruner, J. (1977). The Process of Education, London: Harvard University Press. Coxford, A. F. (1995). “The Case for Connections”, dalam P. A. House (1995),

Connecting Mathematics across the Curriculum. Yearbook. Virginia: The National Council of Teachers of Mathematics, Inc.

Cooney, T.J., Davis, E.J., Henderson, K.B. (1975). Dynamics of Teaching Secondary School Mathematics. Boston : Houghton Mifflin Company. Dahar, W. R, (1996). Teori-Teori Belajar. Erlangga. Jakarta.

Dahlan, J.A., (2008). Pendekatan Open-Ended dalam Pembelajaran Matematika. Bandung. UPI. Bandung. Makalah.

Depdiknas (2004). Peraturan Dirjen Dikdasmen No. 506/C/PP/2004 tanggal 11November 2004 tentang Penilaian Perkembangan Anak Didik Sekolah Menengah Pertama (SMP). Jakarta: Ditjen Dikdasmen Depdiknas.

Depdiknas (2006). Peraturan Peraturan Menteri Pedidikan Nasional No., 22, 23, dan 24 tahun 2006. Tentang Standar Isi untuk Pendidikan Dasar dan Menengah.Jakarta. Depdiknas.

Emenaker, C.E. (1999). “Assessing Modelling Projects in Calculus and Precalculus: Two Approach” dalam Assessment Practices in Under graduate Mathematics. Editor Gold, B; Keith, S.Z.; & Marion, W.A. New York: the Mathematical Association of America (MAA).

Firdaus, A. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika. Tersedia: http://madfirdaus.wordpress.com/2009/11/23.

Frenkel, J.R, (1990). How to Design and Evaluate Research instrument Education, McGraw Hill Publishing Coy. 1990.

Gagne, dkk. (1992). Principles of Instructional Design (4th ed.). Orlando: Holt, Rinehart and Winstone, Inc.


(42)

99

Gordah, E.K.(2009). Meningkatkan Kemampuan Koneksi dan Pemecahan Masalah Matematik Melalui Pendekatan Open Ended. Bandung: SPs UPI (Tesis tidak diterbitkan)

Hadi, S. (2003). Pendidikan Realistik: Menjadikan Pelajaran matematika Lebih Bermakna bagi Siswa. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

Hu, C. (2006). Use Web-Based Simulation to Learn Trigonometri Curves. [Online]. Tersedia: http://www.cimt.plymouth.ac.uk/journal/chunhu.pdf [2 Februari 2008]

Markaban. (2006). Model Pembelajaran Matematika Dengan Pendekatan Penemuan Terbimbing. Departeman Pendidikan Nasional, Pusat Pengembangan dan Penataran Guru Matematika, Yogyakarta.

NCTM. (1989). Standard For Grades 9-12. Virginia: NCTM.

NCTM .(2000). Principles and Standards for Schools Mathematics. Reston, VA:

NCTM.

Nasir, S. (2008). Meningkatkan Koneksi dan Pemecahan Masalah Matematik Siswa SMA yang Berkemampuan Rendah Melalui Pendekatan Kontekstual. Bandung: PPS UPI (Tesis tidak diterbitkan).

Noer, S. H. (2007). Pembelajaran Open Ended Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Kemampuan Berfikir Kreatif. Bandung:SPs UPI (Tesis tidak diterbitkan).

Polya, G.(1985). How To Solve It 2nded Princeton University Press , New Jersey Rothstein dan Pamela. (1990). Educational Psychology. Singapore: Mc Graw

Hill. Inc.

Ruseffendi. E. T. (1990). Pengajaran Matematika Modern dan Masa Kini.

Bandung. Tarsito.

Ruseffendi, E.T.(1991). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.


(43)

100

Ruseffendi, E.T.(1994). Dasar-Dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non Eksakta Lainnya. Semarang: IKIP Semarang Press.

Ruseffendi, E.T.(1998). Statistika Dasar untuk Penelitian Pendidikan. Bandung: IKIP Bandung Press.

Ruseffendi, E.T.(2006). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika Untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.

Ruspiani. (2000). Kemampuan siswa dalam Melakukan Koneksi Matematika.

Tesis PPS UPI. Bandung: tidak diterbitkan.

Setiawati, R. O. (2008). Pentingnya Pengaruh Sosial dalam Peran Pengajaran Bagi Anak. Tersedia. [Online]. www.kabarindonesia.com. [9 September 2008].

Soleh, M. (1998). Pokok-pokok Pengajaran Matematika Sekolah. Jakarta: Depdikbud.

Smith, M. K. (1999). The Encyclopedia of Informal Education.[Online]. Tersedia: http://www.infed.org/biblio/htm. [22 Januari 2005]

Sudjana. (1992). Metoda Statistika. Bandung: Tarsito.

Sudyarto, M. dkk. (2008). Matematika Jilid 2 Untuk SMA dan MA Kelas XI Program IPA. Pusat Perbukuan .Depdiknas.

Sugiatno. (2008). Mengembangkan Kemampuan Komunikasi Matematis Mahasiswa Calon Guru melalui Pembelajaran Matematika dengan Menggunakan Transactional Reading Strategy (TRS). Bandung. PPS UPI (Disertasi tidak diterbitkan).

Sugiyono. (2005). Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D). Bandung: Alfabeta.

Suherman, dkk. (2001). Common Textbook Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: Jurusan Pendidikan Matematika UPI Bandung.


(44)

101

Suherman, dkk. (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer

(Common Textbook. Bandung: JICA-Universitas Pendidikan Indonesia. Sujono. (1988). Pengajaran Matematika untuk Sekolah Menengah. Jakarta:

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Sumardyono.(2010). Beberapa Saran dan Tips dalam Penerapan Pembelajaran Problem Solving.PPPTK. Yogyakarta.

Sumarmo, U.(1993). Peranan Kemampuan Logik dan Kegiatan Belajar Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah pada Siswa SMA di Kodya Bandung.

Laporan Penelitian FPMIPA IKIP Bandung.

Sumarmo, U., Dey, E., dan Rahmat (1994). Suatu Alternatif Pengajara untuk Meningkatkan Pemecahan Masalah Matematika pada Guru dan Siswa SMA. Laporan Hasl Penelitian FPMIPA IKIP Bandung.

Sumarmo, U, (2008). Berfikir Matematik: Apa, Mengapa dan Bagaimana Cara Memvisualisasinya. Makalah disampaikan pada seminar matematik di Universitas Islam Bandung.

Suparno, P. (2008). Fislsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan. Kanisius. Yogyakarta.

Ulep, et al. (2000). High School Mathematics I & II, Source Book on Practical Work for Teacher Trainers. Quezon City:SMEMDP.

Yaniawati, P. (2001). Pembelajaran dengan Pendekatan Open-Ended dalam Upaya Meningkatkan Kemampuan Koneksi Matematika Siswa. Badung.PPS UPI (Tesis tidak diterbitkan)

Wahyudin. (1999). Kemampuan Guru Matematika, Calon Guru Matematika, dan Siswa dalam Mata Pelajaran Matematika. Bandung: Disertasi Doktor pada FPS UPI Bandung: tidak diterbitan.


(1)

Beberapa rekomendasi yang dapat disampaikan penulis dalam laporan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Pembelajaran matematika melalui metode penemuan terbimbing sebaiknya terus dilakukan agar peran siswa dalam pembelajaran lebih dominan dari pada guru.

2. Dalam melaksanakan proses pembelajaran dengan menggunakan metode penemuan terbimbing, diskusi kelompok hendaknya diupayakan secara optimal agar siswa lebih leluasa mengeksplorasi pengetahuannya dan saling berinteraksi dalam kelompoknya untuk menemukan konsep atau menyelesaikan persoalan yang diberikan oleh guru atau dari Lembar Kegiatan Siswa.

3. Metode pembelajaran ini merupakan suatu cara untuk menyampaikan ide/gagasan melalui proses menemukan dan membiasakan peserta didiknya mampu menyelesaikan masalahnya sendiri.

4. Dalam melakukan kegiatan pembelajaran menggunakan metode penemuan terbimbing, usahakan siswa berani tampil mengemukakan pendapat atas jawaban yang ia peroleh baik secara individu maupun dari hasil kerja kelompoknya.

5. Beberapa aspek kemampuan matematis seperti kemampuan koneksi dan pemecahan masalah, penting diberikan kepada siswa agar mereka terbiasa menyelesaikan persoalan matematis dalam kehidupan sehari-hari.

6. Dalam melakukan kegiatan pembelajaran sebaiknya guru peka terhadap kemampuan dasar peserta didiknya sehingga jika siswa mengalami kesulitan


(2)

maka ia bertindak hanya mengarahkan saja tanpa mengurangi aktivitas menemukan oleh siswa itu sendiri.

7. Pada penelitian yang telah dilakukan terhadap siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan penemuan terbimbing diperoleh hasil bahwa untuk soal-soal tes kemampuan koneksi matematis hasilnya relatif lebih baik dari tes kemampuan pemecahan masalah. Hal tersebut terjadi karena pada soal-soal tes kemampuan masalah ada beberapa kemampuan matematis lainnya seperti berfikir tingkat tinggi, kritis, dan kreatif sehingga mereka tidak mudah menyelesaikan persoalan-persoalan yang diberikan untuk segera mendapatkan jawaban yang tepat.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S (2001). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Edisi Revisi. Jakarta: Bumi Aksara.

Bruner, J. (1977). The Process of Education, London: Harvard University Press. Coxford, A. F. (1995). “The Case for Connections”, dalam P. A. House (1995),

Connecting Mathematics across the Curriculum. Yearbook. Virginia: The National Council of Teachers of Mathematics, Inc.

Cooney, T.J., Davis, E.J., Henderson, K.B. (1975). Dynamics of Teaching Secondary School Mathematics. Boston : Houghton Mifflin Company. Dahar, W. R, (1996). Teori-Teori Belajar. Erlangga. Jakarta.

Dahlan, J.A., (2008). Pendekatan Open-Ended dalam Pembelajaran Matematika. Bandung. UPI. Bandung. Makalah.

Depdiknas (2004). Peraturan Dirjen Dikdasmen No. 506/C/PP/2004 tanggal 11November 2004 tentang Penilaian Perkembangan Anak Didik Sekolah Menengah Pertama (SMP). Jakarta: Ditjen Dikdasmen Depdiknas.

Depdiknas (2006). Peraturan Peraturan Menteri Pedidikan Nasional No., 22, 23, dan 24 tahun 2006. Tentang Standar Isi untuk Pendidikan Dasar dan Menengah.Jakarta. Depdiknas.

Emenaker, C.E. (1999). “Assessing Modelling Projects in Calculus and

Precalculus: Two Approach” dalam Assessment Practices in Under

graduate Mathematics. Editor Gold, B; Keith, S.Z.; & Marion, W.A. New York: the Mathematical Association of America (MAA).

Firdaus, A. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika. Tersedia: http://madfirdaus.wordpress.com/2009/11/23.

Frenkel, J.R, (1990). How to Design and Evaluate Research instrument Education, McGraw Hill Publishing Coy. 1990.

Gagne, dkk. (1992). Principles of Instructional Design (4th ed.). Orlando: Holt, Rinehart and Winstone, Inc.


(4)

Gordah, E.K.(2009). Meningkatkan Kemampuan Koneksi dan Pemecahan Masalah Matematik Melalui Pendekatan Open Ended. Bandung: SPs UPI (Tesis tidak diterbitkan)

Hadi, S. (2003). Pendidikan Realistik: Menjadikan Pelajaran matematika Lebih Bermakna bagi Siswa. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

Hu, C. (2006). Use Web-Based Simulation to Learn Trigonometri Curves. [Online]. Tersedia: http://www.cimt.plymouth.ac.uk/journal/chunhu.pdf [2 Februari 2008]

Markaban. (2006). Model Pembelajaran Matematika Dengan Pendekatan Penemuan Terbimbing. Departeman Pendidikan Nasional, Pusat Pengembangan dan Penataran Guru Matematika, Yogyakarta.

NCTM. (1989). Standard For Grades 9-12. Virginia: NCTM.

NCTM .(2000). Principles and Standards for Schools Mathematics. Reston, VA: NCTM.

Nasir, S. (2008). Meningkatkan Koneksi dan Pemecahan Masalah Matematik Siswa SMA yang Berkemampuan Rendah Melalui Pendekatan Kontekstual. Bandung: PPS UPI (Tesis tidak diterbitkan).

Noer, S. H. (2007). Pembelajaran Open Ended Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Kemampuan Berfikir Kreatif. Bandung:SPs UPI (Tesis tidak diterbitkan).

Polya, G.(1985). How To Solve It 2nded Princeton University Press , New Jersey

Rothstein dan Pamela. (1990). Educational Psychology. Singapore: Mc Graw Hill. Inc.

Ruseffendi. E. T. (1990). Pengajaran Matematika Modern dan Masa Kini. Bandung. Tarsito.

Ruseffendi, E.T.(1991). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.


(5)

Ruseffendi, E.T.(1994). Dasar-Dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non Eksakta Lainnya. Semarang: IKIP Semarang Press.

Ruseffendi, E.T.(1998). Statistika Dasar untuk Penelitian Pendidikan. Bandung: IKIP Bandung Press.

Ruseffendi, E.T.(2006). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika Untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.

Ruspiani. (2000). Kemampuan siswa dalam Melakukan Koneksi Matematika. Tesis PPS UPI. Bandung: tidak diterbitkan.

Setiawati, R. O. (2008). Pentingnya Pengaruh Sosial dalam Peran Pengajaran Bagi Anak. Tersedia. [Online]. www.kabarindonesia.com. [9 September 2008].

Soleh, M. (1998). Pokok-pokok Pengajaran Matematika Sekolah. Jakarta: Depdikbud.

Smith, M. K. (1999). The Encyclopedia of Informal Education.[Online]. Tersedia: http://www.infed.org/biblio/htm. [22 Januari 2005]

Sudjana. (1992). Metoda Statistika. Bandung: Tarsito.

Sudyarto, M. dkk. (2008). Matematika Jilid 2 Untuk SMA dan MA Kelas XI Program IPA. Pusat Perbukuan .Depdiknas.

Sugiatno. (2008). Mengembangkan Kemampuan Komunikasi Matematis Mahasiswa Calon Guru melalui Pembelajaran Matematika dengan Menggunakan Transactional Reading Strategy (TRS). Bandung. PPS UPI (Disertasi tidak diterbitkan).

Sugiyono. (2005). Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D). Bandung: Alfabeta.

Suherman, dkk. (2001). Common Textbook Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: Jurusan Pendidikan Matematika UPI Bandung.


(6)

Suherman, dkk. (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer (Common Textbook. Bandung: JICA-Universitas Pendidikan Indonesia. Sujono. (1988). Pengajaran Matematika untuk Sekolah Menengah. Jakarta:

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Sumardyono.(2010). Beberapa Saran dan Tips dalam Penerapan Pembelajaran Problem Solving.PPPTK. Yogyakarta.

Sumarmo, U.(1993). Peranan Kemampuan Logik dan Kegiatan Belajar Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah pada Siswa SMA di Kodya Bandung. Laporan Penelitian FPMIPA IKIP Bandung.

Sumarmo, U., Dey, E., dan Rahmat (1994). Suatu Alternatif Pengajara untuk Meningkatkan Pemecahan Masalah Matematika pada Guru dan Siswa SMA. Laporan Hasl Penelitian FPMIPA IKIP Bandung.

Sumarmo, U, (2008). Berfikir Matematik: Apa, Mengapa dan Bagaimana Cara Memvisualisasinya. Makalah disampaikan pada seminar matematik di Universitas Islam Bandung.

Suparno, P. (2008). Fislsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan. Kanisius. Yogyakarta.

Ulep, et al. (2000). High School Mathematics I & II, Source Book on Practical Work for Teacher Trainers. Quezon City:SMEMDP.

Yaniawati, P. (2001). Pembelajaran dengan Pendekatan Open-Ended dalam Upaya Meningkatkan Kemampuan Koneksi Matematika Siswa. Badung.PPS UPI (Tesis tidak diterbitkan)

Wahyudin. (1999). Kemampuan Guru Matematika, Calon Guru Matematika, dan Siswa dalam Mata Pelajaran Matematika. Bandung: Disertasi Doktor pada FPS UPI Bandung: tidak diterbitan.