HUKUM YANG DISKRIMINATIF TERHADAP HOMOSEKSUAL.

(1)

SKRIPSI

HUKUM YANG DISKRIMINATIF TERHADAP

HOMOSEKSUAL

M. NAJIB NIM. 1203005175

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

SKRIPSI

HUKUM YANG DISKRIMINATIF TERHADAP

HOMOSEKSUAL

M. Najib NIM. 1203005175

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(3)

SKRIPSI

HUKUM YANG DISKRIMINATIF TERHADAP

HOMOSEKSUAL

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

M. Najib NIM. 1203005175

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA


(4)

Lembar Persetujuan Pembimbing

SKRIPSI INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 11 MEI 2016


(5)

SKRIPSI INI TELAH DIUJI PADA TANGGAL 23 JUNI 2016

Panitia Penguji Skripsi

Berdasarkan Surat Keputusan Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana Nomor : 212/UN14.1.11/PP.05.02/2016 Tanggal 6 Juni 2016


(6)

KATA PENGANTAR

Skripsi ini disusun berdasarkan latar belakang maraknya diskriminasi terhadap kelompok homoseksual, tidak hanya oleh masyarakat umum, namun juga oleh pejabat publik yang kemudian diimplementasikan kedalam peraturan perundang-undangan. Berdasarkan latar belakang tersebut, dibuatlah skripsi ini yang akan menganalisa berbagai peraturan perundang-undangan yang dianggap diskriminatif terhadap kelompok homoseksual.

Penulis menyadari bahwa penyusunan dan penyelesaian skripsi ini dapat dapat terselesaikan berkat bimbingan, arahan, saran dan dukungan dari berbagai pihak dalam penyusunan skripsi ini. Untuk itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH.,M.Hum,Dekan Fakultas Hukum

Universitas Udayana.

2. Bapak Dr. Gde Made Swardhana, SH.,MH., Pembantu Dekan I Fakultas Hukum

Universitas Udayana.

3. Ibu Dr. Ni Ketut Sri Utari, SH., MH., Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Udayana, sekaligus sebagai Dosen Pembimbing I yang atas kebijaksanaan dan bimbingannya telah memberikan arahan, kritik, saran dan petunjuk dalam penyusunan skripsi ini.


(7)

4. Dr. I Gede Yusa, S.H.,M.H., Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Udayana.

5. Ibu Ni Made Ari Yuliartini Griadhi, S.H.,M.H., selaku Dosen Pembimbing IIyang dengan sabar memberikan arahan, kritik dan saran dalam penyusunan skripsi ini.

6. Ibu Ni Luh Gede Astariyani, SH.,MH selaku Dosen Pembimbing Akademik penulis yang senantiasa memberikan penulis nasehat dalam bidang akademik selama ini.

7. Segenap Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah mendidik, membimbing, dan membagi ilmu pengetahuan serta pengalaman selama penulis mengikuti perkuliahan.

8. Seluruh staff administrasi dan pegawai di lingkungan Fakultas Hukum

Universitas Udayana.

9. Bapak Wahyu Budi Nugroho, S.Sos.,M.Si., yang telah memberikan masukan serta bacaan-bacaan untuk keperluan penyelesaian skripsi ini.

10. Kedua orangtua penulis, Sya’roni dan Khutipah, adik penulis Akhid dan Lisa, serta seluruh keluarga yang selalu memberikan dukungan moril maupun materiil yang menjadi motivasi utama penulis dalam menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

11. Rekan-rekan seperjuangan penulis yang selalu menemani penulis sejak awal hingga akhir menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum, Anti, Dien, Debby, Beby, Tenry, Sari, Desak, Ayu, Padma, Ngurah Surya, Keanu, Indra, Hari, Prilla,


(8)

Nanang, Gung An dan Bahrul. Sertaseluruh Rekan-rekan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana angkatan 2012 yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

12. Kawan-kawan penulis, kak Susi, kak Rahma, Ika, Irna, Vani, Octa, Purna, Roshi, Isma, Tiara, Inggrid, Yeni, Kartika, Aniek, dan Arifin yang telah memberikan pengalaman tak terlupakan, bantuan dan dukungan kepada penulis selama masa perkuliahan maupun penyusunan skripsi.

13. Seluruh rekan-rekan maupun pihak-pihak yang selalu memberi dukungan serta semangat kepada penulis selama mengikuti proses perkuliahan dan penyusunan skripsi.

Penulis menyadari bahwapenyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna, baik dari penyajian maupun penyusunannya. Oleh karena itu, penulis dengan kerendahan hati senantiasa mengharapkan bantuan serta masukan berupa kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kesempurnaan skripsi ini.

Denpasar, 11 Mei 2016


(9)

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN

Dengan ini penulis menyatakan bahwa Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis, tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di perguruan tinggi manapun, dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh penulis lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila Skripsi ini terbukti merupakan duplikasi ataupun plagiasi dari hasil karya penulis lain dan/atau dengan sengaja mengajukan karya atau pendapat yang merupakan hasil karya penulis lain, maka penulis bersedia menerima sanksi akademik dan/atau sanksi hukum yang berlaku.

Demikian surat pernyataan ini saya buat sebagai pertanggungjawaban ilmiah tanpa ada paksaan maupun tekanan dari pihak manapun.


(10)

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DEPAN ... i

HALAMAN SAMPUL DALAM ... ii

HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... iv

HALAMAN PENGESAHAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

HALAMAN SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... ix

DAFTAR ISI ... x

ABSTRAK ... xv

ABSTRACT ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Ruang Lingkup Masalah ... 4

1.4Orisinalitas Penelitian ... 4

1.5Tujuan Penulisan ... 6

a. Tujuan Umum ... 6


(11)

1.5 Manfaat Hasil Penulisan ... 6

c. Manfaat Teoritis ... 6

d. Manfaat Praktis ... 7

1.7 Landasan Teoritis ... 7

1.8 Metode Penelitian ... 12

a. Jenis Penelitian ... 12

b.Jenis Pendekatan ... 12

c. Sumber Bahan Hukum ... 13

d. Teknik Pengupulan Bahan Hukum ... 16

e. Teknik Analisis ... 16

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM YANG DISKRIMINATIF TERHADAP HOMOSEKSUAL ... 18

2.1Konsep Hukum ... 18

2.2Prinsip Dasar Hak Asasi Manusia ... 20

2.2.1 Konsep Hak Asasi Manusia ... 20

2.2.2 Perkembangan Hak Asasi Manusia... 21

2.2.3Prinsip Kesetaraan dan Nondiskriminasi ... 23

2.2.4 Diskriminasi atas Jenis Kelamin ... 25

2.3Pengertian Homoseksual ... 26


(12)

BAB III KEDUDUKAN HOMOSEKSUAL DALAM PERSPEKTIF HAM ... 29

3.1 Pandangan-Pandangan Negatif Terhadap Homoseksual ... 29

3.1.1Homoseksual Adalah Hal yang Tidak Normal ... 29

3.1.2Homoseksual Adalah Penyimpangan Seksual ... 30

3.1.3 Homoseksual Melawan Kodrat Alam ... 31

3.1.4 Homoseksual Bertentangan dengan Semua Ajaran Agama ... 33

3.1.5 Homoseksual Adalah Budaya Barat ... 38

3.1.6 Homoseksual Adalah Gangguan Jiwa ... 41

3.1.7 Homoseksual Adalah Penyebar Penyakit AIDS ... 43

3.1.8 Homoseksual Adalah Psikopat ... 44

3.2 Instrumen Pengaturan Hak-Hak Bagi Kelompok Homoseksual ... 46

3.2.1 Instrumen-Instrumen Hukum HAM Umum ... 46

3.2.1.1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ... 46

3.2.1.2 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) atau Universal Declaration of Human Rights ... 48

3.2.1.3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia ... 50 3.2.1.4 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi

Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi


(13)

Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women (CEDAW) ... 51 3.2.1.5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi

Konvensi Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Convention on Economic, Cultural, and Social Rights) ... 53 3.2.1.6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi

Konvensi Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (International Convemtion on Civil and Political Rights) . .54 3.2.2 Instrumen-Instrumen yang Melarang Diskriminasi Atas Dasar Orientasi Seksual ... 55 3.2.2.1 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia

Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia ... 55 3.2.2.2 Surat Edaran Kepolisan Negara Republik Indonesia Nomor

SE/06/X/2015 tentang Penganan Ujaran Kebencian (Hate Speech) ... 56 3.2.2.3 Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Nomor


(14)

3.2.2.4 Resolusi Dewan HAM PBB Nomor 17/19 Hak Asasi Manusia, Orientasi Seksual dan Identitas Geder (17/19 Human Righta,

Sexual Orientation and Gender Identity) Tahun 2011 ... 57

3.2.2.5 Prinsip-Prinsip Yogyakarta... 57

3.3 Perlindungan Hak-Hak Kelompok Homoseksual di Beberapa Negara ... 59

3.3.1 Belanda ... 59

3.3.2 Afrika Selatan ... 60

3.3.3 Israel ... 62

3.3.4 Australia ... 63

BAB IV ATURAN HUKUM YANG DISKRIMINATIF TERHADAP HOMOSEKSUAL... 67

4.1 Bentuk-Bentuk Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia ... 67

4.2 Aturan-Aturan Hukum yang Diskriminatif Terhadap Homoseksual ... 69

4.2.1 Diskriminasi dalam Hukum Keluarga ... 69

4.2.2 Diskriminasi dalam Hak Atas Pekerjaan ... 76

4.2.3Diskriminasi dalam Hak atas Kebebasan Berserikat dan Berkumpul 78 4.2.4 Stigmatisasi Homoseksual ... 80

BAB V PENUTUP ... 84

5.1 Kesimpulan ... 84

5.2 Saran ... 85 DAFTAR PUSTAKA


(15)

ABSTRAK

Skripsi ini akan membahas mengenai kedudukan kelompok homoseksual dalam perspektif HAM, serta menganalisa aturan-aturan hukum yang dianggap mendiskriminasi homoseksual. penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan, pendekatan konseptual, dan pendekatan perbandingan.

Kesimpulan yang dapat diambil dari skripsi ini adalah bahwa sebagai manusia, homoseksual berhak menikmati hak-hak seperti kelompok lain yang telah dijamin dalam berbagai instrumen hukum HAM.

Kata Kunci: Homoseksual, Diskriminasi, Hukum.

ABSTRACT

This thesis will describe the position of homosexual on human rights perspective, and to analyze the discriminatory laws against homosexual. It applies normative legal research method combined with statutory, conceptual and comparative approach.

The draw through this thesis are as human being, homosexual people has right to enjoy human rights as equal as other people wich is confimed in human rights legal instruments.


(16)

i BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah

Pada akhir Januari 2016, Menteri Riset, Teknologi dan Perguruan Tinggi RI dalam akun twitternya menyatakan bahwa Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) dilarang masuk ke Perguruan Tinggi, karena dianggap merusak moral bangsa. Pernyataan ini dinilai sangat diskriminatif yang kemudian menimbulkan polemik di masyarakat sehingga muncul petisi online meminta Menristek mencabut pernyataan dikriminatif tersebut.

Diskriminasi terhadap kelompok homoseksual telah menjadi isu global, PBB bahkan telah menyerukan penghapusan diskriminasi terhadap kelompok homoseksual sejak tahun 2007.1 Perjuangan kelompok homoseksual untuk memperoleh kesetaraan hak dimulai sejak revolusi sosial di Inggris tahun 1897 oleh sebuah komunitas homoseksual bernama Order of Cheronea,2 dan secara internasional perjuangan kelompok homoseksual menjadi semakin besar setelah homoseksual tidak lagi dkategorikan sebagai penyakit atau gangguan kejiwaan oleh WHO sejak 1993. Di Indonesia, para pria homoseksual mendirikan Lambda Indonesia pada tahun 1982, dan pada tahun 1986 para lesbian mendirikan Persatuan Lesbian Indonesia (Perlesin). Saat ini tercatat ada 119 organisasi

1 Hendri Yulius, 2015, Coming Out, Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Jakarta, h. 50.


(17)

ii

homoseksual di seluruh Indonesia, organisasi ini selain menampung kelompok homoseksual, biasanya juga menampung kelompok biseksual dan transgender.3

Organisasi-organisasi tersebut didirikan sebagai wadah bagi kelompok homoseksual untuk memperjuangkan pengakuan eksistensi mereka guna mendapatkan kesetaraan hak dengan kelompok lain serta menghapus diskriminasi yang selama ini mereka alami. Diskriminasi yang dialami kelompok homoseksual diantaranya4:

1. Diskriminasi sosial, seperti stigmatisasi, cemoohan, pelecehan, dan pengucilan;

2. Diskriminasi hukum, berupa perlakuan hukum yang berbeda bagi

homoseksual;

3. Diskriminasi ekonomi, yakni pelanggaran hak atas pekerjaan;

4. Diskriminasi kebudayaan, contohnya adalah upaya penghilangan nilai-nilai budaya yang ramah terhadap kelompok homoseksual.

Diskriminasi terhadap homoseksual tidak hanya dilakukan oleh masyarakat, negara juga turut mengembangkan diskriminasi ini, baik dalam kebijakan maupun aturan hukumnya, misalnya dalam acara-acara yang diselenggarakan oleh kelompok homoseksual, baik berupa konferensi, pendidikan, ataupun hiburan hampir selalu mendapat paksaan penghentian dari kelompok-kelompok yang memusuhi, dan dalam hampir semua kasus, kepolisian sebagai organ negara, bukannya melindungi kelompok homoseksual yang terancam, malah lebih memilih untuk tidak menjamin keamanan peserta, atau bahkan memerintahkan agar acara dihentikan.5

3 LGBT Nasional Indonesia, 2014, Hidup sebagai LGBT di Asia: Laporan nasional Indonesia, Tinjauan dan

Analisa Partisipatif tentang Lingkungan Hukum dan Sosial bagi Orang dan Masyarakat Madani, Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT), USAID dan UNDP, Jakarta, h. 57.

4 Ariyanto dan Rido Triawan, 2008, Diskriminasi terhadap LGBT, Citra Grafika, Jakarta, h. 28.


(18)

iii

Keberadaan homoseksual juga seolah ditutupi oleh pemerintah, misalnya

penarikan komik “Why Puberty” atas usul Komisi Perlindungan Anak Indonesia

(KPAI) akibat salah satu dialognya yang berbunyi “setiap orang punya hak untuk

mencintai dan dicintai, dan bila mereka mencintai sesama jenis, itu adalah pilihan.

Jika boleh memilih, tentu saja mereka ingin memilih mencintai lawan jenisnya”.6

Undang-Undang Perkawinan Indonesia secara tegas menyatakan bahwa perkawinan hanya bisa dilakukan oleh pasangan beda jenis kelamin, yakni antara seorang pria dengan seorang wanita, sehingga seringkali pasangan sejenis melakukan pemalsuan identitas agar dapat melangsungkan perkawinan, contohnya ialah pada tahun 2011 di Jawa Tengah, seorang transgender pria (priawan) bernama Rega dijebloskan ke penjara atas laporan keluarga pasangannya dengan tuduhan melakukan penipuan karena Rega diketahui berjenis kelamin perempuan. Dia hendak menikahi pasangannya yang juga berkelamin perempuan.7

Hal tersebut menunjukkan bahwa negara membiarkan bahkan melegalkan diskriminasi terhadap homoseksual. Padahal salah satu fungsi negara ialah memenuhi kepentingan warga negara sekaligus melindungi kepentingan warga negara yang lain.8 Disini terlihat negara hanya memenuhi kepentingan kelompok yang anti homoseksual yang kemudian dilegitimasi menjadi aturan hukum dan sama sekali tidak mencerminkan kepentingan dan bahkan mendiskriminasi homoseksual, padahal kelompok homoseksual juga merupakan warga negara yang wajib dilindungi.

6 Hendri, Op.Cit, h. 146.

7 LGBT Indonesia, Op.Cit, h. 24-25.


(19)

iv

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, penulis tertarik untuk mengkaji

permasalahan dalam usulan penelitian dengan judul “HUKUM YANG

DISKRIMINATIF TERHADAP HOMOSEKSUAL”.

1.2.Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah kedudukan homoseksual dalam perspektif HAM?

2. Apakah ada aturan hukum yang diskrimitif terhadap homoseksual? 1.3.Ruang Lingkup Masalah

Agar uraian sistematis dan tidak menyimpang dari permasalahan yang akan dibahas, maka diadakan pembatasan ruang lingkup masalah, yang mencakup:

1. Untuk pemasalahan pertama akan dibahas mengenai bagaimana homoseksual

di Indonesia serta bagaimana kedudukan mereka dalam perspektif HAM.

2. Untuk permasalahan kedua akan dibahas mengenai aturan-aturan hukum yang

dianggap diskriminatif terhadap kelompok homoseksual. 1.4.Orisinalitas Penelitian

Penulis menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penelitian dengan judul

“Hukum Yang Diskriminatif Terhadap Homoseksual” adalah hasil penelitian, pemikiran dan pemaparan asli penulis. Jika terdapat referensi karya orang lain, maka ditulis sumber dengan jelas. Beberapa penelitian dengan jenis yang sama

yang ada dalam internet atau perpustakaan skripsi diantaranya “Negara dan Hak

Asasi Kelompok Minoritas Seksual Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender/ Transeksual, Interseks dan Queer” dan “Homoseksual dalam Perspektif Hukum Pidana dan Hukum Islam. Suatu Studi Komparatif Normatif”. Kedua penelitian tersebut terdapat perbedaan dengan penelitian ini karena penelitian ini berfokus


(20)

v

pada aturan-aturan hukum yang diskriminatif terhadap homoseksual. Berikut terlampir matrik perbedaan penelitian yang telah ada dengan penelitian ini:

TABEL I

Nomor Peneliti Judul Rumusan Masalah

1 Windy

Warna Irawan

0705160628 Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya,

Program Studi Ilmu Filsafat, Universitas Indonesia Tahun 2010,

judul “Negara dan Hak

Asasi Kelompok Minoritas Seksual Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender/transeksual,

Interseks dan Queer”

1. Bagaimana Kelompok

Seksual LGBTIQ dapat dikenali sebagai subjek Hak?

2. Bagaimana keragaman

seksualitas dapat mengubah konsep HAM secara

mendasar?

3. Bagaimana sistem negara demokrasi dapat menjamin hak kelompok minoritas seksual LGBTIQ sebagai warga negara dan

menghomati meka sebagai subjek hak serta memberikan perlindungan dan pemenuhan terhadap

kepentingan-kepentingan mereka?

2 Abd.

Aziz Ramad hani

111 O5 734 Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

Tahun 2012, judul

“Homoseksual dalam

Perspektif Hukum Pidana dan Hukum Islam. Suatu

Studi Komparatif

1. Bagaimanakah perbedaan

pandangan terhadap

homoseksual antara Hukum Islam dan Hukum Pidana? 2. Bagaimanakah bentuk sanksi

yang diberikan terhadap pelaku homoseksual menurut Hukum Islam dan Hukum


(21)

vi

Normatif” Pidana?

1.5.Tujuan Penelitian

a. Tujuan Umum

Tujuan penulisan usulan penelitian ini secara umum adalah untuk melaksanakan Tri Dharma perguruan Tinggi, serta memberikan sumbangan ilmu pengetahuan hukum terutama yang berkaitan dengan hak asasi manusia. b. Tujuan Khusus

1) untuk mengetahui kedudukan homoseksual dalam perspektif HAM;

2) untuk mengungkap aturan-aturan hukum yang dianggap diskriminatif

terhadap kelompok homoseksual. 1.6.Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dan masukan terhadap perkembangan Ilmu Pengetahuan Hukum, terutama berkaitan dengan perlindungan dan penegakkan Hak Asasi Manusia.


(22)

vii b. Manfaat Praktis

1) penelitian ini diaharapkan bisa menjadi masukan atau bahan pertimbangan bagi pemerintah, khususnya dalam upaya penegakkan dan perlindungan HAM di Indonesia, terutama bagi kelompok homoseksual.

2) penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan atau memberikan informasi yang konstruktif kepada masyarakat yang diharapkan turut serta berperan dalam upaya penegakkan dan perlindungan HAM di Indonesia. 1.7.Landasan Teoritis

a. Teori Negara Hukum

Indonesia merupakan negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa “Indonesia adalah

negara hukum”. Konsep negara hukum ini terkait dengan konsep

perlindungan hukum, sebab konsep ini tidak lepas dari gagasan untuk

memberi pengakuan dan perlindungan HAM bagi warga negara.9

Negara hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu Rechtstaat yang bertumpu pada civil law dengan mengutamakan prinsip wetmatigheid dan The Rule of Law yang dikembangkan di negara-negara tradisi Anglo Saxon

dengan mengutamakan prinsip equality before the law, keduanya memang memiliki latar belakang dan pelembagaan yang berbeda, namun pada intinya sama-sama menginginkan perlindungan HAM melalui pelembagaan peradilan yang bebas dan tidak memihak.10


(23)

viii

F.J. Stahl mengungkapkan terdapat empat unsur pokok negara hukum

Rechtstaat yakni11:

1) Perlindungan Hak Asasi Manusia;

2) Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu;

3) Pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan; 4) Peradilan administrasi dalam perselisihan.

Sedangkan dalam negara The Rule of Law, menurut A.C. Dicey terdapat tiga unsur fundamental pada konsep ini, yakni12:

1) Supremasi aturan hukum;

2) Kedudukan yang sama dalam hukum;

3) Terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh undang-undang maupun

keputusan-keputusan pengadilan.

Dengan demikian, setiap negara hukum baik yang berbentuk Rechtstaat

maupun The Rule of Law, keduanya menempatkan HAM sebagai salah satu unsur fundamentalnya dan adanya hukum serta pemisahan atau pembagian kekuasaan adalah untuk menjamin hak-hak tersebut.

b. Prinsip-Prinsip Hak Asasi Manusia

Dalam UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia disebutkan:

“Hak asasi manusia merupakan seperangkat hak yang melekat pada

hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi

kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.”

Menurut N. Flowers, terdapat 7 Prinsip utama hak asasi manusia, meliputi13: 1) prinsip universalitas;

2) pemartabatan terhadap manusia (human dignity);

10Ibid h.126-127.

11 Majda El-Muhtaj, 2012, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia: dari UUD 1945 sampai dengan

Amandemen UUD 1945 Tahun 2002, Cet. IV, Kencana, Jakarta, h. 28. 12Ibid, h.7.


(24)

ix 3) nondiskriminasi;

4) persamaan;

5) indivisibility, maksudnya suatu hak tidak bisa dipisah-pisahkan antara yang satu dengan yang lainnya;

6) interdependency (saling ketergantungan);

7) inalienability. Pemahaman prinsip atas hak yang tidak bisa dipindahkan, tidak bisa dirampas atau dipertukarkan dengan hal tertentu;

8) responsibilitas atau pertanggungjawaban.

Dari sekian prinsip-prinsip utama HAM tersebut, yang berkaitan erat dengan penelitian ini adalah prinsip nondiskriminasi, prinsip ini merupakan salah satu prinsip utama HAM, karena seluruh instrumen HAM mengandung klausul nondiskriminasi, misalnya Pasal 2 DUHAM menyatakan bahwa setiap individu berhak untuk menikmati seluruh hak dan kebebasan yang diatur dalam DUHAM tanpa adanya pembedaan apapun. Begitu pula Pasal 2 (1) ICCPR dan Pasal 2 (2) ICESR. Namun demikian, sampai saat ini hanya Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskrimiasi terhadap Perempuan (CEDAW) yang secara internasional memberikan definisi yang spesifik mengenai pengertian diskriminasi.

Dalam CEDAW, diskriminasi terhadap perempuan diartikan sebagai setiap pembedaan, pengucilan, atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya bagi kaum perempuan terlepas dari status pekawinan mereka atas dasar persamaan laki-laki dan perempuan.


(25)

x

Jika mengacu pada definisi diskriminasi dalam CEDAW, maka yang dimaksud diskriminasi adalah pembedaan, pengucilan atau pembatasan terhadap orang atau sekelompok orang yang bertujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan, atau penggunaan hak asasi manusia yang didasarkan pada suatu hal dalam diri seseorang, dan diskriminasi yang dialami oleh homoseksual adalah karena orientasi seksual mereka.

Dengan adanya prinsip nondiskriminasi, maka negara dalam segala aturan hukumnya wajib menghormati, menjunjung tinggi dan melindungi HAM terhadap semua orang tanpa terkecuali termasuk bagi kelompok homoseksual. c. Teori Penafsiran Hukum

Dalam beberapa hal, undang-undang tidak menjelaskan secara rinci mengenai suatu permasalahan. Untuk itu perlu dilakukan penafsiran hukum. Penafsiran hukum memiliki beberapa jenis, yaitu14:

1) Penafsiran tata bahasa (gramatikal), artinya ketentuan yang terdapat pada peraturan perundang-undangan ditafsirkan dengan berpedoman pada arti perkataan menurut tata bahasa atau menurut kebiasaan.

2) Penafsiran sahih (autentik/resmi), yakni penafsiran yang dilakukan

berdasarkan pengertian yang ditentukan oleh pembentuk undnag-undang. 3) Penafsiran historis, penafsiran dilakukan berdasarkan:

a. Sejarah hukum, yaitu berdasarkan sejarah terjadinya hukum tersebut.

b. Sejarah undang-undang, yaitu dengan maksud pembentuk undang-undang

pada saat membentuk undang-undang tersebut.


(26)

xi

4) Penafsiran sistematis, dilakukan dengan meninjau susunan yang berhubungan dengan pasal-pasal lainnya, baik dalam undang-undang yang sama maupun dengan undang-undang yang lain.

5) Penafsiran nasional, merupakan penafsiran yang didasarkan pada kesesuaian dengan sistem hukum yang berlaku.

6) Penafsiran teologis (sosiologis), penafsiran ini dilakukan karena terdapat perubahan di masyarakat, sedangkan bunyi undang-undang tidak berubah. 7) Penafsiran ekstensif, penafsiran ini dilakukan dengan memperluas arti

kata-kata yang terdapat dalam suatu peraturan perundang-undangan.

8) Penafsiran restrikstif, penafsiran ini dilakukan dengan mempersempit arti kata-kata yang terdapat dalam suatu peraturan perundang-undangan.

9) penafsiran analogis, penafsiran analogis dilakukan dengan memberikan suatu kiasan ibarat pada kata-kata sesuai dengan asas hukumnya.

10) Penafsiran a contrario, adalah penafsiran yang didasarkan pada perlawanan antara masalah yang dihadapi dengan masalah yang diatur dalam undang-undang.

Dalam penilitian ini akan digunakan penafsiran gramatikal, sejarah hukum, penafsiran sistematis, penafsiran nasional, penafsiran teologis, dan penafsiran ekstensif. Metode-metode penafsiran hukum tersebut dipakai untuk membahas mengenai aturan hukum yang berkaitan dengan HAM maupun aturan hukum yang diskriminatif terhadap homoseksual.

1.8. Metode Penelitian a. Jenis Penelitian


(27)

xii

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini ialah penelitian hukum normatif dengan menguraikan permasalah-permasalahan mengenai kedudukan homoseksual dalam perspektif HAM serta aturan-aturan hukum yang diskriminatif terhadap homoseksual. Permasalahan-permasalahan tersebut dibahas dengan kajian yang berdasarkan pada teori-teori hukum yang kemudian dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.15

b. Jenis Pendekatan

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum ini meliputi:

1) Pendekatan Perundang-undangan. yakni dengan menelaah aturan-aturan yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani,16 yakni yang berkaitan dengan hak asasi manusia dan homoseksual, pendekatan ini diperlukan untuk membahas kedua rumusan masalah, baik aturan-aturan hukum mengenai kedudukan maupun hak-hak homoseksual, serta aturan-aturan hukum yang diskriminatif terhadap homoseksual.

2) Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan

doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum.17 Pendekatan ini dipakai untuk membahas mengenai konsep hukum dan konsep hak asasi manusia terutama kedudukan homoseksual dalam HAM.

15 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1995, Penulisan Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT. Grafindo

Persada, Jakarta, h.13.

16 Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum. Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 93.


(28)

xiii

3) Pendekatan perbandingan, yakni dengan membandingkan satu

instrumen hukum dengan instrumen hukum lain terkait aturan-aturan hukum terhadap homoseksual di Indonesia maupun aturan negara lain, yakni Belanda, Afrika Selatan, Israel, dan Australia. Hal ini untuk membahas kedudukan homoseksual dalam perspektif HAM serta aturan-aturan hukum yang diskriminatif terhadap homoseksual.

c. Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum yang dipakai dalam penelitian ini dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) jenis meliputi :

a) Bahan hukum primer, berupa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Sumber bahan hukum primer yang dipakai dalam penetian ini antara lain:

-Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

-Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Tahun 1949;

-Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

-Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;

-Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on The Elimination of all Forms of Discrimination Against Women);


(29)

xiv

-Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Konvensi International Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Convention on Economic, Cultural and Social Rights);

-Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Konvensi International Hak-Hak Sipil dan Politik (International Convention on Civil and Political Rights);

-Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi;

-Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;

-Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak;

-Peraturan Daerah Kabupaten Banjar Nomor 10 Tahun 2007 tentang Ketertiban Masyarakat;

-Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 08 Tahun 2012 tentang Pedoman Pendataan dan Pengelolaan Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial dan Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial;

-Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia;

-Peraturan Jaksa Agung RI Nomor: Per-048/A/J.A/12/2011 tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil Kejaksaan Republik Indonesia;


(30)

xv

-Surat Edaran Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor

SE/06/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech);

-Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Nomor

01/P/KPI/03/2012 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran; dan

-Resolusi Dewan HAM PBB Nomor 17/19 Hak Asasi Manusia,

Orientasi Seksual dan Identitas Gender (17/19 Human Rights, Sexual Orientation and Gender Identity) Tahun 2011.

b) Bahan hukum sekunder, berupa bahan-bahan yang memberikan

penjelasan terhadap bahan hukum primer yang terdiri dari buku-buku dan artikel-artikel hasil penelitian atau pendapat pakar.

c) Bahan hukum tersier, berupa bahan-bahan hukum yang dapat

memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer

maupun bahan hukum sekunder seperti kamus hukum.18

d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Pada penelitian ini, teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah teknik studi dokumen, yaitu dengan mencari bahan-bahan dalam buku-buku terkait permasalah mengenai kedudukan homoseksual dalam aturan hukum dan HAM untuk kemudian dikutip bagian-bagian penting dan selanjutnya disusun secara sistematis sesuai dengan pembahasan dalam penelitian ini.19

e. Teknik Analisis

18Ibid.


(31)

xvi

Bahan-bahan hukum yang sudah terkumpul kemudian dianalisis dengan teknik deskriptif analisis dengan menggunakan metode interprestatif dan metode argumentatif. Teknik deskriptif analisis adalah penjabaran data yang diperoleh dalam bentuk uraian yang nantinya akan menjawab permasalahan. Metode interpretatif adalah metode yang menafsirkan peraturan perundang-undangan dihubungkan dengan peraturan hukum lain atau dengan keseluruhan sistem hukum.20 Sedangkan Metode argumentatif adalah alasan berupa penjelasan yang diuraikan secara jelas, berupa serangkaian pernyataan secara logis untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendirian atau gagasan, berkaitan dengan asas hukum, norma hukum dan peraturan hukum konkret, serta sistem hukum dan penemuan hukum, yang berkaitan kedudukan homoseksual dalam hukum dan hak asasi manusia serta aturan-aturan hukum yang diskriminatif terhadap kelompok homoseksual.


(32)

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM YANG DISKRIMINATIF TERHADAP HOMOSEKSUAL

2.1. Konsep Hukum

Secara umum, hukum diartikan sebagai undang-undang atau hukum tertulis yang diciptakan oleh penguasa yang berwenang, aturan-aturan selain yang dibuat atau ditetapkan oleh pihak yang berwenang tidak dianggap sebagai hukum, termasuk pula aturan-aturan adat dan agama, meskipun keduanya mengikat secara moral, namun tidak mengikat secara yuridis, aturan adat dan aturan agama baru dapat mengikat secara yuridis apabila ada undang-undang yang mengakui keberadaan aturan agama atau aturan adat tersebut ataupun apabila aturan-aturan tersebut diundangkan kedalam peraturan perundang-undangan. Hal ini sesuai dengan teori positivisme hukum yang menyatakan bahwa undang-undang adalah satu-satunya sumber hukum, diluar undang-undang bukanlah hukum. Teori ini juga mengakui adanya norma hukum yang bertentangan dengan nilai moral.1

Pada dasarnya, hukum diciptakan untuk mencapai suatu tujuan, yaitu untuk mengatasi konflik. Dengan adanya hukum, konflik akan dipecahkan berdasarkan aturan yang berorientasi pada nilai-nilai objektif dengan tidak membedakan antara yang kuat dan lemah.2 Agar bersifat objektif, maka oleh Reinhold Zippelius dikatakan bahwa hukum harus merealisasikan tiga nilai dasar, yaitu3:

1 Muhamad Erwin, 2011, Filsafat Hukum: Refleksi Kritis terhadap Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, h. 154.

2Ibid, h. 123.


(33)

1) Nilai kesamaan

Dihadapan hukum semua pihak harus dipandang sama, sebab hukum menjamin kedudukan yang sama bagi setiap anggota masyarakat, aturan hukum harus berisi kriteria objektif yang berlaku bagi semua pihak karena hukum berlaku umum. Nilai kesamaan inilah yang dalam etika politik disebut keadilan.

2) Nilai kebebasan

Hukum mencegah pihak yang kuat mencampuri pihak yang lemah, sebab pada dasarnya hukum melindungi kebebasan manusia. Inti dari kebebasan ialah bahwa setiap orang atau sekelompok orang berhak untuk mengurus dirinya sendiri lepas dari dominasi pihak lain yang dipaksakan secara sewenang-wenang.

3) Nilai kebersamaan

Hukum adalah institusional dari kebersamaan manusia, sebagai makhluk sosial, manusia selalu hidup bersama, pengakuan terhadap solidaritas ini mengharuskan tatanan hukum untuk menjamin sikap senasib dan sepenanggungan. Sehingga dalam tatanan hukum tidak boleh ada pihak yang dibiarkan menderita apalagi dikorbankan demi kepentingan orang lain.

Ketiga nilai tersebut harus terkandung dalam setiap instrumen hukum agar tujuan hukum dapat tercapai.

2.2 Prinsip Dasar Hak Asasi Manusia


(34)

Hak asasi manusia (HAM) ialah hak yang melekat pada setiap individu sejak lahir yang diberikan oleh Tuhan, sehingga tidak boleh ada orang, institusi sosial, budaya atau bahkan negara yang boleh melanggar hak-hak individu tersebut.4 John Locke menyatakan dalam teori hukum alam bahwa negara bukanlah pencipta hak individu, namun bertanggungjawab atas pelaksanaannya,5 dan fungsi negara hanyalah menciptakan kondisi agar HAM dapat dinikmati oleh setiap orang dan negara tidak berwenang mencabut HAM seseorang.6 Namun menurut Jeremy Bentham, hak adalah anak dari hukum, hak nyata berasal dari hukum yang nyata (undang-undang), sebaliknya, hukum imajiner (hukum alam) menimbulkan hak yang imajiner, artinya hak tersebut tidak memiliki arti apa-apa jika tidak diatur oleh undang-undang.7

Pendapat Jeremy Bentham ini sesuai dengan aliran positivisme hukum dan digunakan dalam praktik hukum HAM saat ini, sebab sesuatu hal tidak mungkin diakui dan dilindungi sebagai hak jika tidak ada aturan hukum yang mengatur dan mengakuinya sebagai hak, selain itu HAM juga diinpretasikan berbeda di setiap negara, misalnya hak atas perkawinan, di beberapa negara perkawinan dianggap sebagai hak setiap individu tanpa terkecuali, termasuk bagi pasangan sejenis, namun di negara lain hanya pasangan beda jenis kelamin yang dapat

4 Tony Evans, 2011, Human Rights in the Global Political Economy, Critical Processes, Lynne Riener Publishers,

Inc., Boulder, Colorado, h. 31.

5 Masykuri Abdillah, 2015, Islam dan Demokrasi, Respons Intelektual Muslim Terhadap Konsep Demokrasi

1966-1993 Edisi Revisi, Prenadamedia Group, Jakarta, h. 91.

6 M. Said Nasar, 2006, Kewarganegaraan (Pemahaman dalam Konteks Sejarah, Teori dan Praktik), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta, h. 63.


(35)

melangsungkan perkawinan. Atas dasar inilah, maka dalam hukum HAM dikenal dua istilah hak, yaitu8:

a. Hak alam (natural rights), yaitu hak yang diperoleh seseorang karena ia manusia dan bersifat universal; dan

b. Hak hukum (positive rights), yaitu hak yang diperoleh seseorang karena menjadi warga negara, hak ini bersifat domestik.

Dalam praktiknya, hanya hak hukum yang diakui oleh negara, namun tidak dapat dipungkiri bahwa hak hukum adalah hak alam yang diundangkan, artinya bukan hukum yang menciptakan hak, melainkan hak yang memaksa adanya hukum.9 Karena itulah hukum HAM terus berkembang sesuai tuntutan hak masyarakatnya.

2.2 Perkembangan Hak Asasi manusia

HAM berkembang sebagai bentuk perlawanan terhadap diskriminasi sosial yang diciptakan oleh kekuatan politik, ekonomi dan keagamaan yang mendominasi masyarakat.10 Isi atau subtansinya juga berkembang seiring timbulnya kesadaran individu atau kelompok atas hak-hak mereka, diawali oleh kesadaran hak para bangsawan Inggris yang melahirkan Magna Charta, kemudian rakyat juga menyadari hak-hak mereka sehingga tercipta Deklarasi Kemerdekaan di Amerika Serikat dan Deklarasai Hak Asasi Manusia dan Warga Negara di

8 M. Said, Op.Cit, h. 62.

9 Peter, Op.Cit, h. 172.

10 Thomas Meyer, 2003, Demokrasi, Sebuah Pengantar untuk Penerapan, Cet. II, Friedrich-Ebert-Stiftung


(36)

Perancis, dan yang berlaku diseluruh dunia ialah Deklarasi Universal Hak Asasi

Manusia (DUHAM). 11

DUHAM sesungguhnya bukanlah konseptualisasi HAM paling akhir, sebab sesudah DUHAM, muncul berbagai instrumen HAM yang merupakan penjabaran dari DUHAM terkait sifat HAM yang universal, setara dan nondiskriminasi. Adapun pengaruh dari hal tersebut ialah munculnya kesadaran kelompok-kelompok minoritas serta kelompok-kelompok-kelompok-kelompok yang selama ini mengalami diskriminasi akan hak-hak mereka, seperti kaum wanita, orang-orang disabilitas serta kelompok homoseksual. Mereka mendesak agar mendapatkan hak yang setara dengan kelompok lain.

Akibat adanya desakan-desakan tersebut, dibentuklah berbagai instrumen yang mengatur secara khusus mengenai hak-hak kelompok ini, misalnya Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan Tahun 1979, Konvensi Internasional tentang Hak-hak Penyandang cacat Tahun 2006 dan bagi kelompok homoseksual diatur dalam Resolusi Dewan HAM PBB 17/19 tentang HAM, Orientasi Seksual dan Identitas Gender pada tahun 2011.

Hal tersebut menunjukkan bahwa HAM bersifat dinamis, sekalipun HAM dasar sudah diakui, tidak ada halangan bagi perluasan penafsiran HAM atau


(37)

diterimanya hak-hak tambahan.12 Hal ini bertujuan agar HAM dapat dinikmati semua orang.

12 Julie Mertus, 2001, Hak Asasi Manusia Kaum Perempuan: Langkah Demi Langkah, Pustaka Sinar Harapan,


(38)

2.2.3 Prinsip Kesetaraan dan Nondiskriminasi

Prinsip kesetaraan sering kali digambarkan sebagai jiwa dari HAM karena hal yang fundametal dari lahirnya ide HAM adalah meletakkan setiap individu dalam posisi yang sederajat dalam hubungannya satu sama lain.13

Kesetaraan tidak berarti bahwa semua manusia adalah sama. Manusia secara alamiah berbeda satu sama lain, seperti agama, budaya, jenis kelamin, keinginan dan sebagainya. Istilah kesetaraan digunakan karena maknanya memperhitungkan semua perbedaan ini, dan tidak bertujuan menghapus perbedaan alamiah tersebut, makna dari kesetaraan menekankan bahwa ada hak-hak yang tidak dapat dicabut dari setiap orang bukan karena ia menganut agama tertentu, ras atau jenis kelamin tertentu, melainkan karena ia adalah manusia. Kesetaraan berarti bahwa tidak ada orang yang harus dikorbanan untuk kebaikan orang lain. Dan prinsip kesetaraan maknanya adalah bahwa setiap orang adalah sama dihadapan hukum, tidak ada hukum yang ditujukan untuk beberapa orang, sementara hukum yang berbeda ditujukan bagi orang lain.14

Larangan diskriminasi adalah bagian tak terpisahkan dari prinsip kesetaraan. Jika semua orang setara, maka seharusnya tidak ada perlakuan diskriminatif selain tindakan yang dilakukan untuk mencapai kesetaraan.15 Prinsip nondiskriminasi pada hakikatnya terkandung dalam seluruh instrumen HAM. Dalam kamus hukum oxford, diskriminasi dimaknai sebagai:

“Discrimination: n. Treating a person less favourably than others and grounds un related to merit, usually because he or she belongs to a

13 Hesti, Op.Cit, h. 89. 14 Hesti, Loc.Cit.


(39)

particular group or category. As well as direct discrimination, this may involve indirect discrimination, victimization, or harassment. It is unlawful to discriminate on racial grounds, on grounds of sex (including gender reassignment), sexual orientation, religion or belief, disability or age.” 16

Definisi tersebut menyatakan bahwa diskriminasi terjadi bukan karena orang tersebut malakukan suatu hal yang tidak patut sehingga dapat diperlakukan berbeda, misalnya menghukum orang karena mencuri. Diskriminasi terjadi karena seseorang termasuk atau dikaitkan dengan suatu kelompok sosial tertentu, misalnya jenis kelamin, orientasi seksual maupun agama. Diskriminasi dibagi menjadi dua, yaitu17:

a) diskriminasi langsung, yakni ketika seseorang baik secara langsung maupun tidak langsung diperlakukan berbeda.

b) diskriminasi tidak langsung, yakni ketika dampak praktis dari hukum merupakan bentuk diskriminasi meskipun hal itu tidak ditujukan untuk tujuan diskriminasi.

Prinsip kesetaraan dan nondiskriminasi merupakan ciri khas HAM yang saling berkaitan erat, hukum diciptakan untuk menjamin HAM, oleh sebab itu hukum harus berlaku setara dan nondiskriminasi, sebab semua instrumen HAM diciptakan tidak lain adalah untuk menjamin terlaksananya kedua prinsip ini.

16 Elizabeth A. Martin, 2007, OxfordDictonary of law, seventh Edition, Oxford University Press Inc. New York,

h. 175.

17 Eko Riyadi et. al, 2012, Vulnerable groups: Kajian dan Mekanisme Perlindungannya, Pusat Studi Hak Asasi


(40)

2.2.4 Diskriminasi atas Jenis Kelamin

Diskriminasi yang dialami oleh kelompok homoseksual tidak dapat dipisahkan dengan diskriminasi atas jenis kelamin, diskriminasi ini terjadi akibat adanya konsep peran gender dalam masyarakat, yakni tatanan sosial yang melekatkan jenis kelamin lahir seseorang pada beberapa hal, mulai dari nama, pakaian, gaya rambut, cara bicara, bahasa tubuh, minat, karakter, perilaku, kedudukan, dan tujuan hidup.18 Dalam konsep peran gender ini, wanita dianggap lemah, tidak memiliki kemampuan apa-apa, serta menggantungkan hidup dan nasibnya pada pria,19 wanita hanya bertugas mengasuh anak, memasak, membersihkan rumah dan melayani suami serta melakukan pekerjaan domestik lainnya.20 Sedangkan pria dilekatkan dengan maskulinitas, mewajibkan pria berperilaku jantan, kuat, tidak cengeng dan bekerja diluar rumah untuk menafkahi keluarga.21 Hal ini menimbulkan anggapan bahwa pria memiliki kedudukan lebih unggul dibanding wanita atau biasa disebut patriarki.

Budaya patriarki ini membentuk wanita bergantung pada pria, wanita tidak mampu mengambil keputusan bahkan untuk dirinya sendiri.22 Diskriminasi ini juga dibenarkan oleh tradisi dan ajaran agama, sebab pada umumnya tradisi dan agama meletakkan norma hanya pada perspektif pria.23 Hal ini kemudian dilegitimasi ke dalam aturan-aturan hukum dan kebijakan negara yang bias

18 Curtis O. Byer et. al., 2002, Dimension of Human Sexuality, Sixth Edition, McGraw-Hill Higher Education, New York, h. 288.

19 Free Hearty, 2015, Keadilan Jender: Perspektif Feminis Muslim dalam Sastra Timur Tengah, Yayasan Pustaka

Obor Indonesia, Jakarta, h. 80. 20Ibid,h. 141.

21 Hendri, Op.Cit, h. 25. 22 Free, Op.Cit, h. 138.


(41)

gender. Para wanita kemudian menyuarakan hak-haknya dan memperjuangkan kesetaraan dengan pria, gerakan menuntut kesetaraan hak dengan pria ini biasanya dikenal dengan istilah feminisme. Salah satu bentuk kesetaraan yang dituntut dalam gerakan ini adalah hak untuk memilih pasangan, sebab selama ini wanita hanya dijadikan objek seks pria, wanita tidak benar-benar dapat memilih pasangannya sendiri.

Diskriminasi terhadap homoseksual kemudian dianggap sebagai salah satu bentuk dari diskriminasi gender yang didasarkan pada budaya patriarki, sebab menurut budaya ini wanita menggantungkan hidup pada pria, dengan demikian hubungan yang dijalin oleh pasangan jenis kelamin terutama sesama wanita tidak mungkin dapat dilakukan karena wanita dianggap lemah, sehingga butuh pria sebagai pelindung dan pemimpin.

2.3. Pengertian Homoseksual

Homoseksual dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti keadaan tertarik terhadap orang dengan jenis kelamin sama,24 dan dalam Pedoman Penggolongan Diagnosa Gangguan Jiwa jilid II, homoseksual diartikan sebagai rasa ketertarikan perasaan (kasih sayang, hubungan emosional, dan/atau secara erotik), secara eksklusif terhadap orang yang berjenis kelamin sama, dengan atau tanpa hubungan fisik.25

24 Departemen Pendidikan Nasional, 2015, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat, Gramedia Pustaka

Utama, Jakarta, h. 506.

25 Argyo Dematoro, 2013, Seks, Gender, Seksualitas dan Lesbian, URL :


(42)

Homoseksual sendiri merupakan salah satu varian dari orientasi seksual manusia selain heteroseksual (ketertarikan terhadap lawan jenis) dan biseksual (ketertarikan terhadap lawan jenis dan sesama jenis). Orientasi seksual dapat diartikan sebagai rasa ketertarikan secara seksual maupun emosional terhadap jenis kelamin tertentu, orientasi seksual ini dapat diikuti dengan adanya perilaku seksual atau tidak.26 Orientasi seksual berbeda dengan perilaku seksual, sebab orientasi seksual bukan semata ketertarikan seks secara jasmani, namun juga menjangkau hubungan batin dan merupakan pola berkelanjutan, sedangkan perilaku seksual dimaknai sebagai perilaku yang menggambarkan hadirnya erotisme. Erotisme sendiri ialah kemampuan secara sadar dalam mengalami hasrat akan dorongan seks, orgasme atau hal-hal lain yang berkaitan dengan hubungan seksual.27

Istilah homoseksual diperkenalkan oleh Anne Fausto-Sterling pada tahun 1869 dalam buku Sex/Gender, namun baru pada tahun 1892 istilah homoseksual merujuk pada orientasi seksual sesama jenis, sebelumnya penggunaan istilah homoseksual merujuk pada pria yang bersifat feminin.28 Anggapan ini masih sering berlaku sampai saat ini, dimana homoseksual identik dengan pria feminin atau wanita maskulin. Padahal orientasi seksual berbeda dengan identitas gender. Istilah lain untuk homoseksual adalah gay dan khusus untuk homoseksual wanita disebut lesbian.

26Ibid.

27 Sinyo, Op.Cit, h. 2-4.


(43)

1.4.Pengertian Heteronormatitas

Heteronormativitas adalah suatu tatanan sosial yang menganggap bahwa orientasi heteroseksual adalah suatu norma yang ideal dan sebagai sesuatu yang normal,29 artinya setiap orang harus berpasangan dengan orang yang jenis kelaminnya berbeda. Mereka yang tidak berperilaku berdasarkan norma sosial ini akan dianggap menyimpang atau tidak normal karena tidak sesuai tatanan sosial. Hal ini terkait erat dengan fungsi reproduksi serta konsep peran gender dalam masyarakat.

Kondisi ini kemudian mengakibatkan terbentuknya perilaku yang disebut

homophobia, yakni sikap atau perasaan negatif, tidak suka terhadap homoseksual secara umum, atau penolakan terhadap orang-orang yang dianggap homoseksual dan semua yang diasosiasikan dengan mereka.30 Homophobia inilah yang kemudian memunculkan diskriminasi terhadap kelompok homoseksual.

29 Hendri, Op.Cit,h. 13.

30 Moh. Yasir Alimi, 2004, Dekonstruksi Seksualitas Poskolonial: Dari Wacana Bangsa Hingga Wacana Agama,


(1)

2.2.3 Prinsip Kesetaraan dan Nondiskriminasi

Prinsip kesetaraan sering kali digambarkan sebagai jiwa dari HAM karena hal yang fundametal dari lahirnya ide HAM adalah meletakkan setiap individu

dalam posisi yang sederajat dalam hubungannya satu sama lain.13

Kesetaraan tidak berarti bahwa semua manusia adalah sama. Manusia secara alamiah berbeda satu sama lain, seperti agama, budaya, jenis kelamin, keinginan dan sebagainya. Istilah kesetaraan digunakan karena maknanya memperhitungkan semua perbedaan ini, dan tidak bertujuan menghapus perbedaan alamiah tersebut, makna dari kesetaraan menekankan bahwa ada hak-hak yang tidak dapat dicabut dari setiap orang bukan karena ia menganut agama tertentu, ras atau jenis kelamin tertentu, melainkan karena ia adalah manusia. Kesetaraan berarti bahwa tidak ada orang yang harus dikorbanan untuk kebaikan orang lain. Dan prinsip kesetaraan maknanya adalah bahwa setiap orang adalah sama dihadapan hukum, tidak ada hukum yang ditujukan untuk beberapa orang, sementara hukum yang berbeda ditujukan bagi orang lain.14

Larangan diskriminasi adalah bagian tak terpisahkan dari prinsip kesetaraan. Jika semua orang setara, maka seharusnya tidak ada perlakuan diskriminatif selain

tindakan yang dilakukan untuk mencapai kesetaraan.15 Prinsip nondiskriminasi

pada hakikatnya terkandung dalam seluruh instrumen HAM. Dalam kamus hukum oxford, diskriminasi dimaknai sebagai:

“Discrimination: n. Treating a person less favourably than others and grounds un related to merit, usually because he or she belongs to a

13 Hesti, Op.Cit, h. 89. 14 Hesti, Loc.Cit.


(2)

particular group or category. As well as direct discrimination, this may involve indirect discrimination, victimization, or harassment. It is unlawful to discriminate on racial grounds, on grounds of sex (including gender

reassignment), sexual orientation, religion or belief, disability or age.” 16

Definisi tersebut menyatakan bahwa diskriminasi terjadi bukan karena orang tersebut malakukan suatu hal yang tidak patut sehingga dapat diperlakukan berbeda, misalnya menghukum orang karena mencuri. Diskriminasi terjadi karena seseorang termasuk atau dikaitkan dengan suatu kelompok sosial tertentu, misalnya jenis kelamin, orientasi seksual maupun agama. Diskriminasi dibagi menjadi dua, yaitu17:

a) diskriminasi langsung, yakni ketika seseorang baik secara langsung maupun

tidak langsung diperlakukan berbeda.

b) diskriminasi tidak langsung, yakni ketika dampak praktis dari hukum

merupakan bentuk diskriminasi meskipun hal itu tidak ditujukan untuk tujuan diskriminasi.

Prinsip kesetaraan dan nondiskriminasi merupakan ciri khas HAM yang saling berkaitan erat, hukum diciptakan untuk menjamin HAM, oleh sebab itu hukum harus berlaku setara dan nondiskriminasi, sebab semua instrumen HAM diciptakan tidak lain adalah untuk menjamin terlaksananya kedua prinsip ini.

16 Elizabeth A. Martin, 2007, Oxford Dictonary of law, seventh Edition, Oxford University Press Inc. New York,

h. 175.

17 Eko Riyadi et. al, 2012, Vulnerable groups: Kajian dan Mekanisme Perlindungannya, Pusat Studi Hak Asasi


(3)

2.2.4 Diskriminasi atas Jenis Kelamin

Diskriminasi yang dialami oleh kelompok homoseksual tidak dapat dipisahkan dengan diskriminasi atas jenis kelamin, diskriminasi ini terjadi akibat adanya konsep peran gender dalam masyarakat, yakni tatanan sosial yang melekatkan jenis kelamin lahir seseorang pada beberapa hal, mulai dari nama, pakaian, gaya rambut, cara bicara, bahasa tubuh, minat, karakter, perilaku,

kedudukan, dan tujuan hidup.18 Dalam konsep peran gender ini, wanita dianggap

lemah, tidak memiliki kemampuan apa-apa, serta menggantungkan hidup dan

nasibnya pada pria,19 wanita hanya bertugas mengasuh anak, memasak,

membersihkan rumah dan melayani suami serta melakukan pekerjaan domestik

lainnya.20 Sedangkan pria dilekatkan dengan maskulinitas, mewajibkan pria

berperilaku jantan, kuat, tidak cengeng dan bekerja diluar rumah untuk menafkahi

keluarga.21 Hal ini menimbulkan anggapan bahwa pria memiliki kedudukan lebih

unggul dibanding wanita atau biasa disebut patriarki.

Budaya patriarki ini membentuk wanita bergantung pada pria, wanita tidak

mampu mengambil keputusan bahkan untuk dirinya sendiri.22 Diskriminasi ini

juga dibenarkan oleh tradisi dan ajaran agama, sebab pada umumnya tradisi dan

agama meletakkan norma hanya pada perspektif pria.23 Hal ini kemudian

dilegitimasi ke dalam aturan-aturan hukum dan kebijakan negara yang bias

18 Curtis O. Byer et. al., 2002, Dimension of Human Sexuality, Sixth Edition, McGraw-Hill Higher Education, New York, h. 288.

19 Free Hearty, 2015, Keadilan Jender: Perspektif Feminis Muslim dalam Sastra Timur Tengah, Yayasan Pustaka

Obor Indonesia, Jakarta, h. 80. 20 Ibid, h. 141.

21 Hendri, Op.Cit, h. 25. 22 Free, Op.Cit, h. 138.


(4)

gender. Para wanita kemudian menyuarakan hak-haknya dan memperjuangkan kesetaraan dengan pria, gerakan menuntut kesetaraan hak dengan pria ini biasanya dikenal dengan istilah feminisme. Salah satu bentuk kesetaraan yang dituntut dalam gerakan ini adalah hak untuk memilih pasangan, sebab selama ini wanita hanya dijadikan objek seks pria, wanita tidak benar-benar dapat memilih pasangannya sendiri.

Diskriminasi terhadap homoseksual kemudian dianggap sebagai salah satu bentuk dari diskriminasi gender yang didasarkan pada budaya patriarki, sebab menurut budaya ini wanita menggantungkan hidup pada pria, dengan demikian hubungan yang dijalin oleh pasangan jenis kelamin terutama sesama wanita tidak mungkin dapat dilakukan karena wanita dianggap lemah, sehingga butuh pria sebagai pelindung dan pemimpin.

2.3. Pengertian Homoseksual

Homoseksual dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti keadaan tertarik

terhadap orang dengan jenis kelamin sama,24 dan dalam Pedoman Penggolongan

Diagnosa Gangguan Jiwa jilid II, homoseksual diartikan sebagai rasa ketertarikan perasaan (kasih sayang, hubungan emosional, dan/atau secara erotik), secara eksklusif terhadap orang yang berjenis kelamin sama, dengan atau tanpa

hubungan fisik.25

24 Departemen Pendidikan Nasional, 2015, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat, Gramedia Pustaka

Utama, Jakarta, h. 506.

25 Argyo Dematoro, 2013, Seks, Gender, Seksualitas dan Lesbian, URL :


(5)

Homoseksual sendiri merupakan salah satu varian dari orientasi seksual manusia selain heteroseksual (ketertarikan terhadap lawan jenis) dan biseksual (ketertarikan terhadap lawan jenis dan sesama jenis). Orientasi seksual dapat diartikan sebagai rasa ketertarikan secara seksual maupun emosional terhadap jenis kelamin tertentu, orientasi seksual ini dapat diikuti dengan adanya perilaku seksual atau tidak.26 Orientasi seksual berbeda dengan perilaku seksual, sebab orientasi seksual bukan semata ketertarikan seks secara jasmani, namun juga menjangkau hubungan batin dan merupakan pola berkelanjutan, sedangkan perilaku seksual dimaknai sebagai perilaku yang menggambarkan hadirnya erotisme. Erotisme sendiri ialah kemampuan secara sadar dalam mengalami hasrat akan dorongan seks, orgasme atau hal-hal lain yang berkaitan dengan hubungan seksual.27

Istilah homoseksual diperkenalkan oleh Anne Fausto-Sterling pada tahun 1869 dalam buku Sex/Gender, namun baru pada tahun 1892 istilah homoseksual merujuk pada orientasi seksual sesama jenis, sebelumnya penggunaan istilah

homoseksual merujuk pada pria yang bersifat feminin.28 Anggapan ini masih

sering berlaku sampai saat ini, dimana homoseksual identik dengan pria feminin atau wanita maskulin. Padahal orientasi seksual berbeda dengan identitas gender. Istilah lain untuk homoseksual adalah gay dan khusus untuk homoseksual wanita disebut lesbian.

26 Ibid.

27 Sinyo, Op.Cit, h. 2-4.


(6)

1.4.Pengertian Heteronormatitas

Heteronormativitas adalah suatu tatanan sosial yang menganggap bahwa orientasi heteroseksual adalah suatu norma yang ideal dan sebagai sesuatu yang

normal,29 artinya setiap orang harus berpasangan dengan orang yang jenis

kelaminnya berbeda. Mereka yang tidak berperilaku berdasarkan norma sosial ini akan dianggap menyimpang atau tidak normal karena tidak sesuai tatanan sosial. Hal ini terkait erat dengan fungsi reproduksi serta konsep peran gender dalam masyarakat.

Kondisi ini kemudian mengakibatkan terbentuknya perilaku yang disebut

homophobia, yakni sikap atau perasaan negatif, tidak suka terhadap homoseksual secara umum, atau penolakan terhadap orang-orang yang dianggap homoseksual

dan semua yang diasosiasikan dengan mereka.30 Homophobia inilah yang

kemudian memunculkan diskriminasi terhadap kelompok homoseksual.

29 Hendri, Op.Cit, h. 13.

30 Moh. Yasir Alimi, 2004, Dekonstruksi Seksualitas Poskolonial: Dari Wacana Bangsa Hingga Wacana Agama,