Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kualitas Hidup Masyarakat Berhubungan dengan Bencana Asap di Desa Bukit Rawi, Palangkaraya T1 462012049 BAB II

(1)

10

TINJAUAN TEORITIS 2.1. Kualitas Hidup

Kualitas hidup yang dimiliki tiap individu berbeda tergantung dari cara individu menghadapi permasalah yang ada dalam dirinya. Seseorang ketika menghadapi permasalahan dengan positif maka akan baik pula kualitas hidupnya, tetapi lain halnya jika menghadapi masalahnya dengan negatif kualitas hidupnya pun buruk. Menurut Coons dalam Larasati (2012) kualitas hidup adalah hal yang dimaknai secara umum yang terdiri dari beberapa komponen dan dimensi dasar yang berhubungan dengan kesehatan diantaranya keadaan dan fungsi fisik, keadaan psikologis, fungsi sosial, dan penyakit, serta perawatannya.

Menurut Cohen dan Lazarus dalam Larasati (2012), kualitas hidup adalah tingkatan yang menggambarkan kelebihan seorang individu yang dapat ditunjukkan dari kehidupan mereka. Kelebihan seorang individu tersebut biasanya dapat ditentukan dari tujuan hidup yang dimiliki, hubungan interpersonal, kontrol hidupnya, intelektual, kondisi materi, danperkembangan pribadi.

Menurut Cella dan Tulsky dalam Larasati (2012) beberapa pendekatan fenomenologi dari kualitas hidup menekankan pentingnya persepsi subjektif individu dalam


(2)

memfungsikan kemampuan mereka sendiri dan membandingkannya dengan standar kemampuan internal yang mereka punya agar dapat mewujudkan sesuatu menjadi lebih ideal dan sesuai dengan apa yang mereka inginkan.

A. Aspek-Aspek Kualitas Hidup

Aspek dilihat dari seluruh kualitas hidup dan kesehatan secara umum menurut The World Health Organization Quality of Life/WHOQOL Group (1998):

1. Kesehatan fisik:mobilitas, tidur dan beristirahat, energi dan kelelahan, aktivitas sehari-hari, penyakit dan kegelisahan, ketergantungan pada obat dan bantuan medis, kapasitas pekerjaan.

2. Psikologis:berfikir; belajar; mengingat; dan konsentrasi, self-esteem, perasaan negatif, penampilan dan gambaran jasmani, perasaan positif, kepercayaan individu.

3. Hubungan sosial: hubungan pribadi, dukungan sosial, aktivitas seksual.

4. Lingkungan:lingkungan rumah, kebebasan, sumber keuangan, kesehatan dan kepedulian sosial, keselamatan fisik dan keamanan,peluang untuk mendapat keterampilan dan informasi baru,


(3)

keikutsertaan dan peluang untuk berekreasi, aktivitas di lingkungan, dan transportasi.

B. Pengukuran Kualitas Hidup

Stiglitz (2010) mengajukan ada tiga pendekatan konseptual untuk mengukur kualitas hidup, yaitu :

1. Pendekatan pertama, yang dikembangkan erat dengan riset psikologis, dipijakkan pada pemikiran tentang kesejahteraan subjektif. Pendekatan ini terkait erat dengan tradisi utilitarian, yang menyatakan bahwa mengusahakan individu agar ‘bahagia’ dan ‘puas’ dengan hidup mereka merupakan tujuan universal eksistensi manusia.

2. Pendekatan kedua berakar pada gagasan tentang kapabilitas. Pendekatan ini melihat hidup seseorang sebagai perpaduan antarberbagai macam ‘kegiatan dan kedirian’ (functionings) dan kebebasannya untuk memilih di antara kegunaan tersebut (capabilities). Dasar dari pendekatan kapabilitas ini memiliki akar kuat pada ide filosofis mengenai keadilan sosial, menunjukkan fokus pada tujuan individu dan menghargai kemampuan individu untuk mengejar dan merealisasikan tujuan yang


(4)

individu yakini, serta menjalankan prinsip-prinsip etis dalam merancang masyarakat yang ‘baik’.

3. Pendekatan ketiga, yang dalam tradisi ilmu ekonomi dikembangkan, didasarkan pada gagasan tentang alokasi yang adil. Dalam ekonomi kesejahteraan, dasar pemikirannya yang banyak ditemukan, adalah menimbang berbagai dimensi non-moneter kualitas hidup (melampaui jasa dan barang yang dijual di pasar) melalui suatu cara yang menghargai preferensi seseorang.

2.2. Bencana

Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana menyebutkan definisi bencana adalah rangkaian peristiwa atau peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan kerugian harta benda, timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungandan dampak psikologis (BNPB, 2014).

Menurut Solehudin (2005), mengelompokkan bencana menjadi 2 jenis, yaitu sebagai berikut:


(5)

 Bencana alam, yaitu kejadian-kejadian alami seperti gunung meletus,gempa bumi, badai, banjir, genangan, kekeringan, wabah, serangan serangga, dan lainnya.

 Bencana lainnya, yang meliputi kebakaran,tabrakan pesawat udara atau kendaraan, sabotase, huru-hara,ledakan, ganngguan listrik, gangguan komunikasi, gangguan transportasi, dan lainnya.

 Ancaman yang “bukan bencana”, seperti pemogokan, gangguan perangkat keras,Denial of services,gangguan perangkat lunak,virus, dan lainnya.

Menurut Santamaria (1995), ada 3 fase dalam terjadinya suatu bencana, yaitu:

- Fase pre-impact. Merupakan fase peringatan, tahap awal dari bencana. Informasi didapat dari badan satelit dan meteorologi cuaca. Pada fase inilah seharusnya segala persiapan dilakukan baik oleh pemerintah, lembaga, dan masyarakat. - Fase impact. Merupakan fase yang menjadi

puncak dari bencana. Inilah saat-saat di mana manusia sekuat tenaga mencoba untuk


(6)

mempertahankan hidup (survive). Fase impact ini terus berlangsung hingga terjadi kerusakan dan bantuan-bantuan darurat dilakukan.

- Fase post-impact. Merupakan saat untuk memulai perbaikan dan penyembuhan dari fase darurat, juga tahap di mana masyarakat mulai berusaha untuk mengembalikan fungsi komunitas normal. Secara umum, dalam fase post-impact ini para korban akan mengalami tahap respons psikologis yang dimulai dari penolakan (denial), marah (angry), tawar-menawar (bargaining), depresi (depression), hingga penerimaan (acceptance).

2.3. KebakaranHutan/Lahan

Kebakaran hutan secara alamiah adalah akibat kebakaran gas metana yang keluar dari singkapan batu bara di lahan gambut yang ada di hutan. Kebakaran hutan juga dapat terjadi akibat petir yang menyambar daerah hutan kering dan keluarnya awan panas saat gunung api berulah (Sukandarrumidi, 2010).

Pada musim kemarau, hutan semak dan serasah kering karena kekurangan air. Pada saat itulah, ada orang-orang tertentu yang tidak bertanggung jawab membakar hutan/lahan dengan tujuan lahan akan diolah untuk ditanami jenis tanaman


(7)

lain/usaha perkebunan, antara lain untuk perkebunan kelapa sawit yang biasanya memerlukan lahan hingga beratus hektar (Sukandarrumidi, 2010).

a. Tanda Terjadinya Kebakaran Hutan

Menurut Sukandarrumidi (2010), tanda-tanda kebakaran hutan yang segera tampak di lapangan antara lain sebagai berikut:

1. Udara dan angin terasa panas dan ada bau asap yang menyesakkan.

2. Arah pergerakan asap mengikuti arah angin. Asap pada pagi hari sedikit lembab sehingga relatif berat dan akan melayang bergerak dekat permukaan tanah. Paparan asap yang demikian mengakibatkan daya tembus pandang lampu mobil menjadi maksimum lima meter dan akan sangat berbahaya bagi pengguna jalan.

3. Penyulutan api dilakukan secara sporadis dalam satu kelompok sehingga menimbulkan kepulan asap yang cukup besar, tebal, dan kadang-kadang hitam kelam.

4. Udara menjadi tidak tembus pandang dan sinar matahari terhalang oleh asap sehingga suasana menjadi remang-remang.


(8)

5. Titik-titik api dapat dipantau melalui satelit. Dari kenampakan tersebut dapat dibedakan titik-titik yang terlihat merah pada layar satelit dan kadang mudah dibedakan dengan titik api akibat pembakaran oleh peladang berpindah.

b. Bahaya dan Kerusakan yang Ditimbulkan

Menurut Sukandarrumidi (2010), beberapa bahaya yang mungkin timbul dari kebakaran hutan/lahan antara lain sebagai berikut:

1. Asap panas mengakibatkan daun tanaman layu sehingga dapat menurunkan tingkat produksi pertanian.

2. Terhalangnya sinar matahari menyebabkan proses fotosintesis pada daun tanaman terganggu sehingga dapat mengakibatkan penurunan tingkat produksi pertanian.

3. Terbakarnya serasah hutan mengakibatkan semua jenis mikrobia yang hidup dalam tanah mati, pembusukan secara alami terhenti, dan akibatnya tanah menjadi gersang serta tidak subur.

4. Kerusakan tanah hutan akibat terjadi perubahan sifat fisik dan kimia tanah.


(9)

5. Kerusakan ekosistem, termasuk perubahan suhu udara di hutan dan tingkat kelembapan udara.

6. Kerusakan vegetasi. Daya tahan masing-masing pohon terhadap panas berbeda-beda. Kebakaran menyebabkan sebagian jenis tanaman akan punah. 7. Tersingkapnya tanah bagian atas yang tanpa

tumbuhan penutup membuat lapisan tananh bagian atas akan mudah tererosi.

8. Ketiadaan tumbuhan mengakibatkan air hujan tidak ada yang menahan. Akibat selanjutnya, banjir besar di sungai akan terjadi pada musim hujan dan aliran sungai akan surut pada musim kemarau.

9. Terbakarnya hutan dapat mengakibatkan berkurangnya jenis dan populasi fauna dan flora sehingga ekologi lingkungan terganggu.

10. Asap yang bergerak dekat permukaan tanah di daerah kota dan permukiman dapat mengganggu lalu lintas karena daya pandang pengendara sepeda motor/mobil terbatas.

11. Jadwal penerbangan pesawat udara dapat tertunda, landasan pacu dapat tertutup asap, daya tembus pandang pilot terlalu dekat sehingga sangat riskan bagi keselamatan penumpang.


(10)

12. Angkutan sungai yang membawa bahan pangan dan bahan bakar untuk daerah pedalaman (misalnya Sungai Kapuas di Kalimantan) pada musim kemarau tidak dapat berlangsung karena terjadi pendangkalan sungai. Akibatnya, pasokan bahan makanan terhambat sehingga terjadi kenaikan harga bahan makanan. Apabila hal ini terjadi secara bekelanjutan, sangat dimungkinkan akan terjadi musibah kelaparan.

c. Penyakit yang Ditimbulkan

Beberapa jenis penyakit yang mungkin dapat diderita oleh masyarakat yang terimbas asap hasil pembakaran antara lain sebagai berikut (Sukandarrumidi, 2010) :

1. Gangguan sesak napas akibat menghirup asap yang mengandung partikulat. Apabila hal ini berlangsung terus akan dapat mengakibatkan penyakit paru-paru. 2. Terjadi iritasi mata.

3. Dalam jangka waktu lama, kebakaran hutan mampu menghilangkan mata air dan menimbulkan banjir bandang. Akibat selanjutnya, akan terjadi penurunan tingkat sanitasi lingkungan, penurunan tingkat kesehatan masyarkat, serta timbulnya penyakit TCD (typhus, cholera, dysentry) dan penyakit kulit.


(11)

d. Mitigasi Kebakaran Hutan/Lahan

Menurut Sukandarrumidi (2010), beberapa mitigasi yang dapat dilakukan antara lain sebagai berikut:

1. Segera mematikan sumber kebakaran dengan mematikan titik-titik api.

2. Menyiram dengan air dari udara sumber kebekaran dan daerah yang sudah terlanjur terbakar, dengan memanfaatkan pesawat udara.

3. Mengulangi menyiramkan air ke sumber kebakaran melalui daratan. Hal ini dilakukan dengan pertimbangna bahwa kayu yang sudah terbakar kemungkinan masih menyala dan belum padam karena siraman air dari udara.

4. Mengenakan masker penutup mulut dan hidung. Memakai kacamata untuk melindungi mata. Sejauh memungkinkan, menghindarkan diri segera dari daerah rawan asap.

5. Masyarakat diimbau untuk membatasi diri atau tidak keluar rumah apabila asap masih tebal.

e. Kebakaran Hutan di Kalimantan Tengah

Kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah sudah masuk kategori siaga satu. Selama ini dikenal tiga kategori tahap siaga yang diawali, paling bawah yakni


(12)

siaga tiga dimana kondisitidak ada asap dan udara normal, kemudian berubah menjadi siaga dua, bila mana ada asap tapi belum mengganggu kehidupan. Tahap yang terparah adalah siaga 1 dimana kondisi asap sudah mengganggu penerbangan.Jumlah titik api sejak Januari 2015 hingga September 2015, mencapai 1.291 titik. Khusus pada bulan Agustus, jumlah titik apinya mencapai 800 titik atau naik sebesar 30% dibanding Juli 2015. Data hotspot pada bulan Agustus terdapat 800 titik tersebar di Kabupaten Pulang Pisau (109), Kotawaringin Timur ( 140 hotspot), Kapuas (94), Kotawaringin Barat (82), Seruyan (105), Katingan (61), Barito Selatan (50), Sukamara (59), Lamandau (32), Gunung Mas (18), Kota Palangkaraya (34),Barito Timur dan Murung Raya (5), Barito Utara (10). Untuk menghadapi kebakaran hutan dan lahan pemerintah melalui BNPB telah melakukan penerbangan sebanyak 32 kali dan juga melakukan pengeboman menggunakan air dari udara (waterboombing) sebanyak 1.145 kali di lokasi yang tersebar di Kabupaten Katingan,Kota Palangkarayadan Pulang Pisau (Karana dalam Tempo.co, 2015).


(1)

lain/usaha perkebunan, antara lain untuk perkebunan kelapa sawit yang biasanya memerlukan lahan hingga beratus hektar (Sukandarrumidi, 2010).

a. Tanda Terjadinya Kebakaran Hutan

Menurut Sukandarrumidi (2010), tanda-tanda kebakaran hutan yang segera tampak di lapangan antara lain sebagai berikut:

1. Udara dan angin terasa panas dan ada bau asap yang menyesakkan.

2. Arah pergerakan asap mengikuti arah angin. Asap pada pagi hari sedikit lembab sehingga relatif berat dan akan melayang bergerak dekat permukaan tanah. Paparan asap yang demikian mengakibatkan daya tembus pandang lampu mobil menjadi maksimum lima meter dan akan sangat berbahaya bagi pengguna jalan.

3. Penyulutan api dilakukan secara sporadis dalam satu kelompok sehingga menimbulkan kepulan asap yang cukup besar, tebal, dan kadang-kadang hitam kelam.

4. Udara menjadi tidak tembus pandang dan sinar matahari terhalang oleh asap sehingga suasana menjadi remang-remang.


(2)

5. Titik-titik api dapat dipantau melalui satelit. Dari kenampakan tersebut dapat dibedakan titik-titik yang terlihat merah pada layar satelit dan kadang mudah dibedakan dengan titik api akibat pembakaran oleh peladang berpindah.

b. Bahaya dan Kerusakan yang Ditimbulkan

Menurut Sukandarrumidi (2010), beberapa bahaya yang mungkin timbul dari kebakaran hutan/lahan antara lain sebagai berikut:

1. Asap panas mengakibatkan daun tanaman layu sehingga dapat menurunkan tingkat produksi pertanian.

2. Terhalangnya sinar matahari menyebabkan proses fotosintesis pada daun tanaman terganggu sehingga dapat mengakibatkan penurunan tingkat produksi pertanian.

3. Terbakarnya serasah hutan mengakibatkan semua jenis mikrobia yang hidup dalam tanah mati, pembusukan secara alami terhenti, dan akibatnya tanah menjadi gersang serta tidak subur.

4. Kerusakan tanah hutan akibat terjadi perubahan sifat fisik dan kimia tanah.


(3)

5. Kerusakan ekosistem, termasuk perubahan suhu udara di hutan dan tingkat kelembapan udara.

6. Kerusakan vegetasi. Daya tahan masing-masing pohon terhadap panas berbeda-beda. Kebakaran menyebabkan sebagian jenis tanaman akan punah. 7. Tersingkapnya tanah bagian atas yang tanpa

tumbuhan penutup membuat lapisan tananh bagian atas akan mudah tererosi.

8. Ketiadaan tumbuhan mengakibatkan air hujan tidak ada yang menahan. Akibat selanjutnya, banjir besar di sungai akan terjadi pada musim hujan dan aliran sungai akan surut pada musim kemarau.

9. Terbakarnya hutan dapat mengakibatkan berkurangnya jenis dan populasi fauna dan flora sehingga ekologi lingkungan terganggu.

10. Asap yang bergerak dekat permukaan tanah di daerah kota dan permukiman dapat mengganggu lalu lintas karena daya pandang pengendara sepeda motor/mobil terbatas.

11. Jadwal penerbangan pesawat udara dapat tertunda, landasan pacu dapat tertutup asap, daya tembus pandang pilot terlalu dekat sehingga sangat riskan bagi keselamatan penumpang.


(4)

12. Angkutan sungai yang membawa bahan pangan dan bahan bakar untuk daerah pedalaman (misalnya Sungai Kapuas di Kalimantan) pada musim kemarau tidak dapat berlangsung karena terjadi pendangkalan sungai. Akibatnya, pasokan bahan makanan terhambat sehingga terjadi kenaikan harga bahan makanan. Apabila hal ini terjadi secara bekelanjutan, sangat dimungkinkan akan terjadi musibah kelaparan.

c. Penyakit yang Ditimbulkan

Beberapa jenis penyakit yang mungkin dapat diderita oleh masyarakat yang terimbas asap hasil pembakaran antara lain sebagai berikut (Sukandarrumidi, 2010) :

1. Gangguan sesak napas akibat menghirup asap yang mengandung partikulat. Apabila hal ini berlangsung terus akan dapat mengakibatkan penyakit paru-paru. 2. Terjadi iritasi mata.

3. Dalam jangka waktu lama, kebakaran hutan mampu menghilangkan mata air dan menimbulkan banjir bandang. Akibat selanjutnya, akan terjadi penurunan tingkat sanitasi lingkungan, penurunan tingkat kesehatan masyarkat, serta timbulnya penyakit TCD (typhus, cholera, dysentry) dan penyakit kulit.


(5)

d. Mitigasi Kebakaran Hutan/Lahan

Menurut Sukandarrumidi (2010), beberapa mitigasi yang dapat dilakukan antara lain sebagai berikut:

1. Segera mematikan sumber kebakaran dengan mematikan titik-titik api.

2. Menyiram dengan air dari udara sumber kebekaran dan daerah yang sudah terlanjur terbakar, dengan memanfaatkan pesawat udara.

3. Mengulangi menyiramkan air ke sumber kebakaran melalui daratan. Hal ini dilakukan dengan pertimbangna bahwa kayu yang sudah terbakar kemungkinan masih menyala dan belum padam karena siraman air dari udara.

4. Mengenakan masker penutup mulut dan hidung. Memakai kacamata untuk melindungi mata. Sejauh memungkinkan, menghindarkan diri segera dari daerah rawan asap.

5. Masyarakat diimbau untuk membatasi diri atau tidak keluar rumah apabila asap masih tebal.

e. Kebakaran Hutan di Kalimantan Tengah

Kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah sudah masuk kategori siaga satu. Selama ini dikenal tiga kategori tahap siaga yang diawali, paling bawah yakni


(6)

siaga tiga dimana kondisitidak ada asap dan udara normal, kemudian berubah menjadi siaga dua, bila mana ada asap tapi belum mengganggu kehidupan. Tahap yang terparah adalah siaga 1 dimana kondisi asap sudah mengganggu penerbangan.Jumlah titik api sejak Januari 2015 hingga September 2015, mencapai 1.291 titik. Khusus pada bulan Agustus, jumlah titik apinya mencapai 800 titik atau naik sebesar 30% dibanding Juli 2015. Data hotspot pada bulan Agustus terdapat 800 titik tersebar di Kabupaten Pulang Pisau (109), Kotawaringin Timur ( 140 hotspot), Kapuas (94), Kotawaringin Barat (82), Seruyan (105), Katingan (61), Barito Selatan (50), Sukamara (59), Lamandau (32), Gunung Mas (18), Kota Palangkaraya (34),Barito Timur dan Murung Raya (5), Barito Utara (10). Untuk menghadapi kebakaran hutan dan lahan pemerintah melalui BNPB telah melakukan penerbangan sebanyak 32 kali dan juga melakukan pengeboman menggunakan air dari udara (waterboombing) sebanyak 1.145 kali di lokasi yang tersebar di Kabupaten Katingan,Kota Palangkarayadan Pulang Pisau (Karana dalam Tempo.co, 2015).


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kualitas Hidup Masyarakat Berhubungan dengan Bencana Asap di Desa Bukit Rawi, Palangkaraya T1 462012049 BAB I

0 0 9

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kualitas Hidup Masyarakat Berhubungan dengan Bencana Asap di Desa Bukit Rawi, Palangkaraya T1 462012049 BAB IV

0 0 31

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kualitas Hidup Masyarakat Berhubungan dengan Bencana Asap di Desa Bukit Rawi, Palangkaraya T1 462012049 BAB V

0 0 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kualitas Hidup Masyarakat Berhubungan dengan Bencana Asap di Desa Bukit Rawi, Palangkaraya

0 0 18

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kualitas Hidup Masyarakat Berhubungan dengan Bencana Asap di Desa Bukit Rawi, Palangkaraya

0 0 45

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gambaran Pengetahuan dan Perilaku Seksual pada Remaja PSK di Palangkaraya T1 462011090 BAB II

0 18 25

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Makna Tradisi Lamporan Bagi Masyarakat Desa Kunden di Kabupaten Blora T1 152009023 BAB II

0 3 19

T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Sistem Bantu Pengawasan Larangan Merokok dengan Deteksi Sensor Asap T1 BAB II

0 1 11

T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Studi Obesitas pada Masyarakat Desa Sanoba Kecamatan Sanoba Kabupaten Nabire – Papua T1 BAB II

0 1 17

T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Sistem Pengelolaan Parkir di Salatiga T1 BAB II

0 0 12