Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Makna Tradisi Lamporan Bagi Masyarakat Desa Kunden di Kabupaten Blora T1 152009023 BAB II

(1)

7 BAB II

KAJIAN TEORI

A. Kajian Pustaka 1. Kebudayaan

Kebudayaan mencakup pengertian sangat luas. Kebudayaan merupakan keseluruhan hasil kreativitas manusia yang sangat komplek. Di dalamnya berisi struktur-skurtur yang saling berhubungan, sehingga merupakan kesatuan yang berfungsi sebagai pedoman kehidupan.

Anthopolog Indonesia Koentjaraningrat dalam bukunya Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan yang mengemukakan bahwa budaya manusia itu mempunyai paling sedikit tiga wujud yaitu:

1) Wujud kebudayaan yang sebagai suatu komplek dan ide-ide, gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma peraturan dan sebagainya; wujud ini berada pada alam pikiran dari warga masyarakat atau dapat pula berupa tulisan-tulisan, karangan-karangan warga masyarakat yang bersangkutan. 2) Wujud kebudayaan sebagai suatu komplek aktivitas kelakuan berpola dari

manusia dalam masyarakat, wujud ini berupa sistem sosial dalam masyarakat yang bersangkutan.

3) Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia, ia berupa kebudayaan fisik yang berbentuk nyata yang merupakan hasil karya masyarakat yang bersangkutan.


(2)

8 Konsepsi ahli Antropolog, Alfred Ktoeber dan Clyde Kluckhohn, yaitu “kebudayaan terdiri dari pola-pola yang nyata maupun tersembunyi, dari dan untuk perilaku yang diperoleh dan dipindahkan dengan simbol-simbol, yang menjadi hasil-hasil yang tegas dari kelompok-kelompok menusia; termasuk perwujudannya dalam barang-barang buatan manusia; inti yang pokok dari kebudayaan terdiri dari gagasan-gagasan tradisional (yaitu yang diperoleh dan dipilih secara historis) dan khususnya nilai-nilainya yang tergabung; di satu pihak, sistem-sistem kebudayaan dapat dianggap sebagai hasil-hasil tindakan, di pihak lainnya sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi tindakan selanjutnya”, hal ini sesuai dengan keyakinan para filsuf yang cenderung untuk menganggap gagasan-gagasan, siombol-simbol dan nilai sebagai inti kebudayaan.

Seorang Antrhopolog, yaitu E.B. Tylor dalam tahun 19871 pernah memberikan definisi mengenai kebudayaan sebagai berikut (terjemahannay) :

Kebudayaan adalah komplek yang mencangkup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat”. Dengan ini, perkataan kebudayaan mencakup kesemuanya yang didapatkan atau dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan terdiri dari segala sesuatu yang dipelajari dari pola-pola perikelakuan yang normatif, yaitu mencakup segala cara-cara atau pola-pola berpikir, merasakan dan bertindak. (Soerjono Soekamto, 1969: 40).

Adanya kait mengait diantara unsur-unsur kebudayaan dapat dikatakan bahwa kebudayaan adalah sebagai sistem. Artinya, kebudayaan merupakan


(3)

9 kesatuan organisasi dari rangkaian gejala, wujud, dan unsur-unsur yang berkaitan satu dengan yang lainnya. (Tri Widiarto dkk, 2000: 10).

Manusia sebagai makhluk berbudaya karena akal dan kebebasannya, kehendaknya yang membedakannya dari binatang, karena manusia mampu berbicara, berbahasa dan bekerja. Dengan demikian, kebudayaan adalah dari manusia, hasil karyanya serta dipersembahkan bagi sesamanya. (Mudji Sutrisno,1993: 24). Konsep filosofi kebudayaan biasanya berangkat dari perbedaan antara manusia dan binatang. Binatang dipahami sebagai gejala alamiah. Dalam pendekatan sosiologi, konsep kebudayaan dikaitkan dengan masyarakat. Disini kebudayaan dapat dirumuskan sebagai cara hidup suatu masyarakat. Kebudayaan sebagai cara hidup yang dianut oleh warga masyarakat itu pada umumnya cara hidup yang dianut bersama dalam masyarakat inilah kebudayaan. Jadi subyek kebudayaan bukan manusia individual, melainkan masyarakat. (Pamerdi Giri Wiloso dkk, 1990:14-15).

Pada hakekatnya unsur kebudayaan yang disebut religi adalah amat komplek, dan berkembang atas berbagai tempat di dunia. Semua manusia tahu bahwa akan adanya suatu alam dunia yang tak nampak, yang ada di luar batas pancaindranya dan diluar batas akal. Dunia supranatural menurut kepercayaan manusia adalah dunia gaib yang memiliki kekuatan yang sehingga ditakuti manusia. ( Koentjaraningrat, 1977: 228-229). Menurut Bakker SJ, (1984:42) kesosiaalan sebagai sifat, unsur, asas dan alat yang erat hubungannya dengan kebudayaan.


(4)

10 Pertanyaan yang sering muncul dalam masyarakat adalah “Apakah sebenarnya yang mencangkup dalam konsep kebudayaan itu?”. Banyak orang yang mengartikan konsep itu dalam arti yang terbatas, ialah pikiran, karya, dan hasil karya manusia yang memenuhi hasratnya akan keindahan. Dengan singkat: kebudayaan adalah kesenian. Dalam arti seperti itu konsep itu memang terlampau sempit. Sebaliknya, banyak para ahli ilmu sosial mengartikan konsep kebudayaan itu dalam arti yang amat luas yaitu seluruh total dari pemikiran, karya, dan hasil karya manusia yang tidak berakar kepada nalurinya dan yang karena itu hanya bisa dicetuskan oleh manusia sesudah suatu proses belajar. (Koentjaraningrat,1974: 11).

Koenjtaraningrat (1974: 19) mendefinisikan kebudayaan sebuah keseluruahan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Kata belajar memberi pengertian bahwa amat sedikit tindakan kehidupan manusia ditengah-tengah masyarakat yang tidak dilakukan dengan belajar. Memang ”kebudayaan” dan “ tindakan kebudayaan” adalah segala perbuatan yang harus dilakukan oleh manusia dengan belajar.

Pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan didasarkan pada penalaran, kesengajaan dan pandangan hidup orangnya. Kebudayaan memiliki sifat-sifat dan gejala-gejala dinamik, karena kebudayaan peka terhadap perubahan. Kebudayaan memang berubah-ubah dari generasi kegenerasi. Kebudayaan generasi nenek moyang berbagi dengan kebudayaan kita sekarang. Kebudayaan dapat diwariskan


(5)

11 dari generasi kegenerasi, tapi proses pewarisan itu berlangsung dalam bentuk pendidikan, pelajaran baik dilakukan secara formal, non formal maupun informal.

Kebudayaan dapat dianggap sebagai way of life atau suatu sikap hidup dengan segala aspeknya. Segala sikap hidup dan pandangan hidup itu tidak diperlihatkan oleh perorangan, tetapi nampak pada kelompok masyarakat tertentu. Manusia adalah makhluk individu sekaligus makhluk sosial yang hidup di dalam lingkungan alam. Dalam kaitannya dengan pembicaran tentang kebudayaan manusia dipandang sebagai makhluk sosial.

Demikianlah maka kebudayaan merupakan suatu sistem atau nilai masyarakat. Sistem nilai itulah yang membentuk sikap mental atau pola berpikir manusia dalam masyarakat sebagaimana terpantul dalam pola sikap dan tingkah laku sehari-hari dalam berbagai kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan lain sebagainya. Dari situ muncullah apa yang disebut sistem keagamaan, sistem politik, sistem ekonomi, dan lain sebagainya yang ada dalam kehidupan masyarakat. (Suwaji Bostami, 1992: 4-5).

2. Tradisi

Tradisi adalah adat kebiasaan yang dilakukan turun temurun dan masih terus dilakukan di masyarakat disetiap tempat atau suku yang berbeda-beda. (Badudu, J.S., Zain, Sutan Mohammad. 1994: 1531). (Tradisi dalam bahasa latin Traditio, “diteruskan” atau kebiasaan, dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu Negara, kebudayaan,


(6)

12 waktu, atau agama yang sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun lisan, karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah.

Menurut Bostami (1989:1) upacara tradisi adalah kegiatan yang melibatkan warga masyarakat dalam usaha bersama-sama untuk mencapai tujuan keselamatan bersama. Berdasarkan dua pengertian di atas maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

a. Upacara tradisi bertujuan untuk menciptakan suasana yang tenang serta menghindarkan dari bahaya yang akan mengancam di kemudian hari.

b. Upacara tradisi merupakan suatu kegiatan yang didalamnya mengandung makna bahwa upacara tersebut harus diikuti dan dilaksanakan seluruh warga masyarakat tanpa ada rasa terpaksa.

c. Dalam upacara tradisi ini banyak larangan yang tidak boleh dilanggar oleh masyarakat, karena kalau dilanggar bisa berakibat kematian.

d. Upacara tradisional tumbuh dan menyebar melalui berbagai sikap perbuatan manusia terhadap peristiwa tertentu.

Adapun tradisi dapat diterjemahkan dengan pewarisan atau penerusan unsur-unsur, adat istiadat, kaidah-kaidah, pewarisan harta kekayaan. Baik adat maupun tradisi bukanlah sesuatu yang tak dapat berubah. Tradisi justru terpadu dengan aneka ragam perbuatan manusia dan diangkat dalam keseluruhannya. (Suwaji Bostami, 1992: 12).

3. Upacara Tradisional


(7)

13 warga masyarakat pendukungnya dalam usaha bersama untuk mencapai tujuan keselamatan, yang mengandung aturan-aturan yang wajib dipenuhi dan dilaksanakan oleh warga masyarakat”. (Depdikbud, 1984; 1).

Tradisional adalah suatu tradisi atau adat istiadat yang sudah menjadikan kebiasaan dan tetap dilakukan secara turun temurun dari dahulu hingga sekarang. (Badudu, J.S., Zain, Sutan Mohammad. 1994: 1531-1532). Upacara tradisional merupakan salah satu wujud peninggalan kebudayaan. Kebudayaan adalah warisan sosial yang hanya dapat dimiliki oleh warga masyarakat pendukungnya dengan jalan mempelajarinya. Ada cara-cara atau mekanisme tertentu dalam tiap masyarakat untuk mamaksa tiap warganya mempelajari kebudayaan yang di dalamnya terkandung norma-norma serta nilai-nilai kehidupan yang bersangkutan. Mematuhi norma serta menunjang nilai-nilai itu penting bagi warga masyarakat demi kelesterian hidup bermasyarakat. (Purwadi, 2005: 1).

Dari beberapa pengertian di atas, terdapat beberapa hal yang penting yaitu: a. Upacara tradisional sebagai suatu kegiatan sosial yang dilakukan oleh sekelompok warga masyarakat, dimana warga masyarakat tersebut memiliki keyakinan bahwa hal tersebut sebagai sarana untuk mencapai tujuan.

b. Upacara tradisional dalam pelaksanaannya mengandung aturan-aturan yang harus dipenuhi dan dilaksanakan oleh warga pendukungnya.

c. Upacara tradisional dilakukan menurut tradisi atau adat istiadat atau sudah menjadi kebiasaan dan tetap dilakukan secara turun temurun dari dahulu hingga sekarang.


(8)

14 4. Komponen-Komponen Upacara Tradisional

Tiap upacara keagamaan terdapat empat komponen, ialah: (Koentjaraningrat, 1977: 241-245).

a. Tempat upacara

Tempat upacara yang keramat adalah biasanya suatu tempat yang dikhususkan dan yang tidak boleh didatangi orang yang tak berkepentingan. Malahan meraka yang mempunyai kepentingan pun tidak boleh sembarangan di suatu tempat upacara. Mereka harus berhati-hati dan memperhatikan berbagai macam larangan dan pantangan. Tempat upacara biasanya terletak di kuburan karena merupakan suatu tempat keramat yang dipakai sebagai tempat upacara keagamaan. Hal ini mudah dapat dimengerti karena kuburan dibanyangkan sebagai tempat dimana orang dapat paling mudah berhubungan dengan ruh-ruh nenek moyang yang meninggal. Penghormatan kuburan nenek moyang adalah memang suatu adat yang kita kenal tidak hanya di Indonesia saja, tetapi di hampir seluruh dunia. Selain itu tempat keramat ada juga di pusat desa, makam/ kuburan,laut, hutan, batu, ladang/ sawah dan lain sebagainya.

b. Prosesi upacara

Ritual upacara biasanya dirasakan sebagai saat-saat yang genting dan gawat, dan yang penuh dengan bahaya gaib. Hal itu biasanya yang berulang tetap, sejajar dengan irama gerak alam semesta. Misalnya dalam jangka waktu kehidupan tiap individu dalam masyarakat ada pada saat yang dianggap saat genting atau krisis. Saat-saat itu adalah misalanya waktu hamil,


(9)

15 waktu kelahiran, waktu pertama bayi dipotong rambutnya, waktu pertama-tama bayi menginjak tanah, waktu anak ditusuk telinganya dan lain sebagainya.

c. Benda-benda dan alat-alat upacara

Benda-benda upacara merupakan alat-alat yang dipakai dalam hal menjalankan upacara-upacara keagamaan. Alat-alat itu bisa berupa alat-alat seperti wadah untuk tempat sesaji, alat kecil seperti sendok, pisau dan lain sebagainya. Alat upacara yang amat lazim dimana-mana adalah patung-patung yang mempunyai fungsi sebagai lambang dewa atau ruh nenek moyang tujuan dari upacara. Serupa dengan itu topeng juga merupakan benda upacara yang penting dari religi berbagai suku bangsa di dunia. Topeng-topeng itu juga melambangkan dewa-dewa dan ruh-ruh nenek moyang, dan dipakai dalam upacara-upacara keagamaan yang berupa tarian atau permainan seni drama yang keramat.

d. Orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara

Dalam pelaksanaan upacara tradisional dibutuhkan masyarakat pendukung untuk melakukan serangkaian kegiatan dengan aturan-aturan tertentu untuk membina kerukunan. Dibutuhkan pula orang-orang yang berperan penting dalam pelaksanaan upacara, yaitu Modin, seorang pemuka agama yang termasuk kategori religius dalam masyarakat Jawa.

5. Unsur-Unsur Upacara Tradisoanal


(10)

16 dapat diterangkan lagi alasan atau asal mulanya. Perbuatan-perbuatan itu dilakukan oleh orang-orang secara spontan dengan tak dipikirkan lagi gunanya. Suatu upacara keagamaan yang komplek seringkali dapat dikupas ke dalam beberapa unsur perbuatan yang khusus, yang terpenting diantaranya adalah: (Koentjaraningrat, 1977: 251-253).

a. Bersaji

Bersaji meliputi perbuatan-perbuatan upacara yang biasanya diterangkan sebagai perbuatan-perbuatan untuk menyajikan makanan, benda-benda, atau lain sebagainya kepada dewa-dewa, ruh-ruh nenek moyang, atau makhluk halus lain, tetapi yang di dalam praktek jauh lebih komplek dari pada itu. b. Berdoa

Berdoa adalah suatu unsur yang banyak terdapat dalam berbagai upacara keagamaan di dunia. Doa pada mula-mulanya adalah rupa-rupanya suatu upacara dari keinginan yang diminta dari para leluhur dan juga upacara-upacara hormat dan pujian kepada leluhur itu.

c. Makan Bersama

Makan bersama juga merupakan suatu unsur perbuatan yang amat penting dalam banyak upacara religi dan agama di dunia. Dasar pemikiran di belakang perbuatan itu adalah rupa-rupanya mencari hubungan dengan dewa-dewa dengan cara mengundang dewa-dewa-dewa-dewa pada suatu pertemuan makan bersama. Juga arti dari ucapan makan bersama dalam kenyataan sering sudah kabur dan tercampur dengan unsur-unsur lain. Dalam kehidupan beberapa suku bangssa di Indonesia yang beragama Islam, upacara kenduri atau


(11)

17 selametan merupakan suatu unsur yang amat penting dalam banyak upacara keagmaan.

6. Tujuan Upacara Tradisional

Upacara tradisional adat Jawa dilakukan demi mencapai ketrentaman hidup lahir dan batin. Dengan mengadakan upacara tradisional itu, orang Jawa memenuhi kebutuhan spiritualnya, eling marang purwa duksina. Kehidupan rohani orang Jawa memang bersumber dari ajaran agama yang berisi hiasan budaya lokal. Oleh karena itu, orientasi kehidupan beragama orang Jawa senantiasa memperhatikan nilai-nilai luhur yang telah diwariskan oleh nenek moyangnya.

Di samping itu, upacara tradisional dilakukan orang Jawa dengan tujuan memperoleh solidaritas sosial, lila lan legawa kanggo mulyaning negara. Upacara tradisional juga menumbuhkan etos kolektif, yang tercermin dalam ungkapan gotong-royong nyambut gawe. (Purwadi, 2005).

7. Pengertian Simbol

Kata simbol berasal dari kata Yunani symbolos yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia susunan W. J. S. Poerwadarminta simbol atau lambang ialah sesuatu seperti : lukisan, perkataan, lencana dan sebagainya, yang menyatakan sesuatu hal atau mengandung makna tertentu, misalnya warna putih ialah lambang kesucian, gambar padi sebagai lambang kemakmuran; atau berarti juga tanda


(12)

18 pengenal yang tetap yang mengatakan sifat, keadaan dan sebagainya, misalnya tutup kepala peci merupakan tanda pengenal tutup kelapa nasional Negara. (Budiono Herusatoto, 2008: 17-18).

Simbol atau lambang adalah sesuatu hal atau keadaan yang merupakan pengantar pemahaman terhadap obyek. Untuk mempertegas pengertian simbol atau lambang ini dibedakan antara pengertian-pengertian isyarat, tanda dan simbol atau lambang:

a) Isyarat ialah sesuatu hal atau keadaan yang diberitahukan oleh si subyek kepada obyek, artinya subyek selalu berbuat sesuatu untuk memberitahukan kepada si obyek yang diberi isyarat agar si obyek mengetahuinya pada saat itu juga.

b) Tanda ialah sesuatu hal atau keadaan yang menerangkan atau memberitahukan obyek kepada si subyek.

c) Simbol atau lambang ialah sesuatu hal atau keadaan yang memimpin pemahaman si subyek kepada obyek.

8. Simbolisme Dalam Budaya Manusia

Mitos dan magi berasal dari zaman prasejarah, dimana orang-orang Jawa masih menganut paham mitologi animisme dinamisme. Mitos dan magi tetap lekat dalam pribadi-pribadi Jawa walaupaun ajaran-ajaran religi atau agama yang murni ataupun yang mengambil jalan mistik dan filsafat telah diterima selama berabad-abad lamanya.


(13)

19 Bentuk-bentuk sombolisme dalam budaya Jawa sangat dominan dalam segala hal dan dalam segala bidang. Hal ini terlihat dalam tindakan sehari-hari orang Jawa, sebagai realisasi dari pandangan dan sikap hidupnya yang berganda. (Budiono Herusatoto, 2008: 154).

Manusia adalah makhluk budaya, dan budaya manusia penuh dengan simbol-simbol, sehingga dapat dikatakan bahwa budaya manusia penuh diwarnai dengan simbolisme, yaitu suatu tata pemikiran atau paham yang menekanakan atau mengikuti pola-pola yang mendasarkan diri kepada simbol-simbol. Sepanjang sejarah budaya manusia, simbolisme telah mewarnai tindakan-tindakan manusia baik tingkah laku, bahasa, ilmu pengetahuan maupun religi. Simbolisme sangat menonjol peranannya pertama-tama dalam religi. Cara-cara berdoa manusia dari dulu hingga sekarang selalu diikuti dengan tingkah laku simbolis yaitu mengucapkan doa sambil mengadahkan kedua telapak tangan ke atas dan kadang-kadang dengan mendongakkan kepala ke atas seolah-olah siap menerima sesuatu dari Tuhan yang dianggap tinggal di langit.

Pada dasarnya segala bentuk religius ataupun upacara-upacara peringatan apapun oleh manusia adalah bentuk simbolisme. Makna dan maksud upacara itulah yang menjadi tujuan manusia untuk memperingatinya.

Hal yang kedua dimana simbolisme sangat menonjol peranannya adalah dalam tradisi atau adat istiadat. Simbolisme ini kentara sekali dalam upacara-upacara adat yang merupakan warisan turun-temurun dari generasi yang tua ke generasi berikutnya yang lebih mudah.


(14)

20 Segala bentuk dan macam kegiatan simbolik dalam masyarakat tradisional itu merupakan upacara pendekatan manusia kepada Tuhannya, yang menciptakan, menurunkannya ke dunia, memelihara hidup dan menentukan kematian manusia. Dengan demikian simbolik dalam masyarakat tradisional di samping membawakan pesan-pesan kepada generasi-generasi berikutnya juga selalu dilaksanankan dalam kaitannya dengan religi.

Bentuk-bentuk simbolisme dalam budaya Jawa sangat dominan dalam segala hal dan dalam segala bidang. Hal ini terlihat dalam tindakan sehari-hari orang Jawa, sebagai realisasi dari pandangan dan sikap hidupnya. (Budiono Herusatoto, 2008: 46-64).

9. Makna Simbolik Sesaji Ritual a). Negosiasi Spritual

Simbol-simbol ritual ada juga yang berupa sesaji, tumbal, dan umbarape. Sesaji merupakan aktualisasi dari pikiran, keinginan, dan prasaan pelaku untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Upaya pendekatan diri melalui sesaji sesungguhnya bentuk akumulasi budaya yang bersifat abstrak.

Sesaji juga merupakan wacana simbol yang digunakan sebagai sarana „negosiasi‟ spiritual kepada hal-hal gaib. Hal ini dilakukan agar makhluk-makhluk halus di atas kekuatan manusia tidak menggangu. Dengan pemberian makan secara simbol kepada roh halus, diharapkan roh tersebut akan jinak, dan mau membantu hidup manusia.


(15)

21 Kepercayaan terhadap roh halus, khusunya dhanyang (roh pelindung) sering diwujudkan dalam bentuk slametan. Salah satu bentuk slametan adalah tumbal, yaitu upaya persembahan untuk penolak bala. Tumbal Spiritual tadi mengandung pengaruh sinkretisme Hindu – Jawa dan Islam – Jawa yang menyatu padu dalam wawancara kultural mistik. Sinkretisme juga terlihat pada saat pelaku mistik meyakini bahwa dengan membakar kemenyan, pada saat ritual mistik merupakan perwujudan persembahan kepada Tuhan. Kukus (asap) dupa dari kemenyan yang membubung ke atas, tegak lurus, tidak mobat – mabit ke kanan ke kiri, merupakan tanda bahwa sesajinya dapat diterima. Sebagai ujud agar sesajinya dikabulkan, penganut mistik berniat: “Niat ingsun ngobong menyan menyan talining iman, urubing cahya kumata, kukuse ngambah swarga, ingkang nampi dzat ingkang maha kuwasa”. Artinya, saya berniat membakar kemenyan sebagai pengikat iman. Nyala kemenyan merupakan cahaya kumara, asapnya diharapkan sampai surga, dan dapat diterima oleh Tuhan.

Berbagai sesaji yang digunakan dalam ritual, di samping kemenyan juga menggunakan tumpeng dan ubarampe-nya. Sesaji tersebut dimaksudkan sebagai sarana wilujengan (keselametan). Semua wilujengan, sebelum dikeluarkan dan diletakkan didekat gong, diletakkan pada suatu ruang khusus untuk diujud-kan. Ujub dari slametan itu menurut tradisi Jawa berupa mantra. Mantra yang dimaksud, hanya singkat saja yaitu: “Lemah sangar kayu aeng ronge landhak guwane


(16)

22 wong lwmah miring aja nganggu ewang-ewangana karepku”. Maksudnya, tanah yang gawat, pohon yang aneh, lubang landak, rumahnya manusia, tanah miring jangan mengganggu, bantulah keinginanku. Ujub semacam ini lama-kelamaan bergeser dan bercampur dengan doa Islam. (Suwadi Endraswara, 2006: 247-250).

b). Mencapai Kemulyaan Sejati

Ubarampe sesisir pisang yang dipakai sesaji adalah pisang raja sepasang, yaitu raja biasa dan raja pulut. Pisang ini termasuk sesaji yang utama. Pemakaian pisang raja biasa dimaksudkan agar yang melakukan mistik kejawen berhasil seperti hal manusia raja. Yakni menjadi manusia „raja‟ yang bersikap mahambeg adil pamarta berbudi bawa leksana. Artinya, raja yang berwatak adil, berbudi luhur, dan tepat janji. Sedangkan pisang raja pulut, dimaksudkan agar pelaku mistik dapat pulut (terjadi hiperkorek dengan kata luput (bebas) dari marabahaya.

Setalah selametan tadi selesai, pisang tadi oleh pelaku mistik diphotel (diambil) pada bagian tengah sisiran. Pelaku tidak mau mengambil pisang bagian tepi (sangkal), kerena meraka yakin bahwa hidup yang sedang dijalani berada di zaman madya (tengah). Mereka tidak hidup di zaman wusuna (akhir), karenanya tidak berani mengambil pisang bagian tepi (pinggir) yang dianalogikan sebagai zaman akhir. Jika mengambil pisang sangkal, berarti mereka telah nggere mangsa (mendahului takdir Tuhan).


(17)

23 Tindakan simbolik semacam itu, kemungkinan yang mempengaruhi masyarakat Jawa mempunyai gugon tuhon: “Aja mangan gedhang sangkal, ora ilok!” (Jangan makan pisang pinggir, tidak pantas atau dilarang). Sesaji lain yakni jajan pasar lengkap berisi: kelapa, padi, pala kepnedhem, rujak degan, asem, cam, nanas, kopi dan lain-lain. Kelengkapan sesaji ini merupakan seratan winadi yang tersembunyi, yakni sebagai suguhan (sajian) kepada dhayang penyenyengan, yang baureksa (menjaga) tempat mistik, agar tidak diganggu.

Jajanan pasar merupakan lambang sesrawungan (hubungan). Jajanan pasar adalah lambang kemakmuran. Hal ini diasosiakan bahwa pasar adalah tempat bermacam-macam barang, seperti dalam jajan pasar ada buah-buahan, makanan anak-anak, sekar setaman, kinang, dan rokok. Dalam jajanan pasar juga ada uangnya berjumlah seratus rupiah. Maksudnya, satus berarti lambang bahwa manusia telah bersih dari dosa.

Sesaji lain yang paling penting adalah tumpeng. Dalam ritual budaya Jawa memang banyak macam-macam tumpeng, seperti tumpeng sangga langit, arga dumilah, tumpeng robyong, tumpeng megono, dan lain-lain. Khusus ritual mistik kejawen menggunakan menggunakan tumpeng robyong yang telah dimodofikasi dengan gaya estetis. Wujudnya adalah seperti kerucut atau gunung. Puncak tumpeng diberi lombok merah, di bawahnya brambang dua butir, dan di bawahnya lagi diberi hiasan daun-daunan dan sayuran kacang panjang, adapun dasar


(18)

24 tumpengan berisi berbagai uban-rampe, antara lain: ikan ayam, telur, toge, kacang panjang, dan gudangan.

Tumpeng robyong merpakan gambaran kesuburan dan kesejahteraan. Puncak tumpeng merupakan lambang puncak keinginan manusia, yakni untuk mencapai kemulyaan sejati. Titik puncak juga merupakan gambaran kekuasaan Tuhan yang bersifat transendental. Tumpeng yang menyerupai gunung (meru) melukiskan kemakmuran sejati. Ubarampe tumpeng bermacam-macam, yang masing-masing merupakan simbol budaya. Simbol-simbol itu dibuat didasarkan pada analogi (otak-atik mathuk) dan olah nalar pelaku mistik. (Suwadi Endraswara, 2006: 251-255).

B. Penelitian Yang Relevan

Hasil penelitian Septia Irnawati (152006001) dengan judul “Makna Upacara Tradisi Kembang Kuningan Dalam Membina Kerukunan Masyarakat Di Desa Polobogo Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang”, menjelaskan bahwa Upacara Kembang Kuningan merupakan tradisi masyarakat Polobogo Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang, yang biasanya dilaksakan pada bulan Rejeb. Pelaksanaan upacara Kembang Kuningan tersebut jatuh pada tanggal 13 Agustus 2009. Upacara Kembang Kuningan dilakukan untuk mengirim doa kepada Kyai Sugeng, yang dipercaya sebagai cikal bakal masyarakat Polobogo, Karang Ombo, Krasak dan Gompyong.


(19)

25 Sedangkan penelitian yang ditulis Penulis menjelaskan tentang tradisi Lamporan di Desa Kunden. Tradisi Lamporan ini dilaksanakan pada bulan Suro yang di identikan atau sebagai simbolis bagi kalangan masyarakat sebagai bulan yang sakral. Tradisi Lamporan dilaksanakan pada tangal 22 November 2012, tepatnya pada hari Kamis Legi, malam Jum‟at Pahing. Pelaksanaannya pada malam hari seusai Shalat Mahgrib yang diawali dengan keliling Desa Kunden (kirap budaya) yang diikuti kalangan petani dan peternak (cah angon) yang membawa obor dan pecut, selain itu barongan yang merupakan kesenian khas Desa Kunden juga diikut sertakan. Tujuannya sebagai tolak bala agar desa dan masyarakatnya terhindar dari malapetaka dan gangguan roh-roh jahat baik nampak seperti hama tanaman dan masa pageblug serta yang tidak nampak seperti gendruwon/ makhluk halus. Perkembangan jaman membuat tradisi ini bergeser, hal ini terbukti dengan adanya kesenian barong yang diikut sertakan. Selain itu juga wujud ritual tradisi Lamporan yang tadinya untuk memuja dan meminta kepada leluhur berubah menjadi penghormatan dan mendoakan para leluhur hal ini karena masyarakat sudah mengenal agama.


(1)

20 Segala bentuk dan macam kegiatan simbolik dalam masyarakat tradisional itu merupakan upacara pendekatan manusia kepada Tuhannya, yang menciptakan, menurunkannya ke dunia, memelihara hidup dan menentukan kematian manusia. Dengan demikian simbolik dalam masyarakat tradisional di samping membawakan pesan-pesan kepada generasi-generasi berikutnya juga selalu dilaksanankan dalam kaitannya dengan religi.

Bentuk-bentuk simbolisme dalam budaya Jawa sangat dominan dalam segala hal dan dalam segala bidang. Hal ini terlihat dalam tindakan sehari-hari orang Jawa, sebagai realisasi dari pandangan dan sikap hidupnya. (Budiono Herusatoto, 2008: 46-64).

9. Makna Simbolik Sesaji Ritual a). Negosiasi Spritual

Simbol-simbol ritual ada juga yang berupa sesaji, tumbal, dan umbarape. Sesaji merupakan aktualisasi dari pikiran, keinginan, dan prasaan pelaku untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Upaya pendekatan diri melalui sesaji sesungguhnya bentuk akumulasi budaya yang bersifat abstrak.

Sesaji juga merupakan wacana simbol yang digunakan sebagai sarana „negosiasi‟ spiritual kepada hal-hal gaib. Hal ini dilakukan agar makhluk-makhluk halus di atas kekuatan manusia tidak menggangu. Dengan pemberian makan secara simbol kepada roh halus, diharapkan roh tersebut akan jinak, dan mau membantu hidup manusia.


(2)

21 Kepercayaan terhadap roh halus, khusunya dhanyang (roh pelindung) sering diwujudkan dalam bentuk slametan. Salah satu bentuk slametan adalah tumbal, yaitu upaya persembahan untuk penolak bala. Tumbal Spiritual tadi mengandung pengaruh sinkretisme Hindu – Jawa dan Islam – Jawa yang menyatu padu dalam wawancara kultural mistik. Sinkretisme juga terlihat pada saat pelaku mistik meyakini bahwa dengan membakar kemenyan, pada saat ritual mistik merupakan perwujudan persembahan kepada Tuhan. Kukus (asap) dupa dari kemenyan yang membubung ke atas, tegak lurus, tidak mobat – mabit ke kanan ke kiri, merupakan tanda bahwa sesajinya dapat diterima. Sebagai ujud agar sesajinya dikabulkan, penganut mistik berniat: “Niat ingsun ngobong menyan menyan talining iman, urubing cahya kumata, kukuse ngambah swarga, ingkang nampi dzat ingkang maha kuwasa”. Artinya, saya berniat membakar kemenyan sebagai pengikat iman. Nyala kemenyan merupakan cahaya kumara, asapnya diharapkan sampai surga, dan dapat diterima oleh Tuhan.

Berbagai sesaji yang digunakan dalam ritual, di samping kemenyan juga menggunakan tumpeng dan ubarampe-nya. Sesaji tersebut dimaksudkan sebagai sarana wilujengan (keselametan). Semua wilujengan, sebelum dikeluarkan dan diletakkan didekat gong, diletakkan pada suatu ruang khusus untuk diujud-kan. Ujub dari slametan itu menurut tradisi Jawa berupa mantra. Mantra yang dimaksud, hanya singkat saja yaitu: “Lemah sangar kayu aeng ronge landhak guwane


(3)

22 wong lwmah miring aja nganggu ewang-ewangana karepku”. Maksudnya, tanah yang gawat, pohon yang aneh, lubang landak, rumahnya manusia, tanah miring jangan mengganggu, bantulah keinginanku. Ujub semacam ini lama-kelamaan bergeser dan bercampur dengan doa Islam. (Suwadi Endraswara, 2006: 247-250).

b). Mencapai Kemulyaan Sejati

Ubarampe sesisir pisang yang dipakai sesaji adalah pisang raja sepasang, yaitu raja biasa dan raja pulut. Pisang ini termasuk sesaji yang utama. Pemakaian pisang raja biasa dimaksudkan agar yang melakukan mistik kejawen berhasil seperti hal manusia raja. Yakni menjadi manusia „raja‟ yang bersikap mahambeg adil pamarta berbudi bawa leksana. Artinya, raja yang berwatak adil, berbudi luhur, dan tepat janji. Sedangkan pisang raja pulut, dimaksudkan agar pelaku mistik dapat pulut (terjadi hiperkorek dengan kata luput (bebas) dari marabahaya.

Setalah selametan tadi selesai, pisang tadi oleh pelaku mistik diphotel (diambil) pada bagian tengah sisiran. Pelaku tidak mau mengambil pisang bagian tepi (sangkal), kerena meraka yakin bahwa hidup yang sedang dijalani berada di zaman madya (tengah). Mereka tidak hidup di zaman wusuna (akhir), karenanya tidak berani mengambil pisang bagian tepi (pinggir) yang dianalogikan sebagai zaman akhir. Jika mengambil pisang sangkal, berarti mereka telah nggere mangsa (mendahului takdir Tuhan).


(4)

23 Tindakan simbolik semacam itu, kemungkinan yang mempengaruhi masyarakat Jawa mempunyai gugon tuhon: “Aja mangan gedhang sangkal, ora ilok!” (Jangan makan pisang pinggir, tidak pantas atau dilarang). Sesaji lain yakni jajan pasar lengkap berisi: kelapa, padi, pala kepnedhem, rujak degan, asem, cam, nanas, kopi dan lain-lain. Kelengkapan sesaji ini merupakan seratan winadi yang tersembunyi, yakni sebagai suguhan (sajian) kepada dhayang penyenyengan, yang baureksa (menjaga) tempat mistik, agar tidak diganggu.

Jajanan pasar merupakan lambang sesrawungan (hubungan). Jajanan pasar adalah lambang kemakmuran. Hal ini diasosiakan bahwa pasar adalah tempat bermacam-macam barang, seperti dalam jajan pasar ada buah-buahan, makanan anak-anak, sekar setaman, kinang, dan rokok. Dalam jajanan pasar juga ada uangnya berjumlah seratus rupiah. Maksudnya, satus berarti lambang bahwa manusia telah bersih dari dosa.

Sesaji lain yang paling penting adalah tumpeng. Dalam ritual budaya Jawa memang banyak macam-macam tumpeng, seperti tumpeng sangga langit, arga dumilah, tumpeng robyong, tumpeng megono, dan lain-lain. Khusus ritual mistik kejawen menggunakan menggunakan tumpeng robyong yang telah dimodofikasi dengan gaya estetis. Wujudnya adalah seperti kerucut atau gunung. Puncak tumpeng diberi lombok merah, di bawahnya brambang dua butir, dan di bawahnya lagi diberi hiasan daun-daunan dan sayuran kacang panjang, adapun dasar


(5)

24 tumpengan berisi berbagai uban-rampe, antara lain: ikan ayam, telur, toge, kacang panjang, dan gudangan.

Tumpeng robyong merpakan gambaran kesuburan dan kesejahteraan. Puncak tumpeng merupakan lambang puncak keinginan manusia, yakni untuk mencapai kemulyaan sejati. Titik puncak juga merupakan gambaran kekuasaan Tuhan yang bersifat transendental. Tumpeng yang menyerupai gunung (meru) melukiskan kemakmuran sejati. Ubarampe tumpeng bermacam-macam, yang masing-masing merupakan simbol budaya. Simbol-simbol itu dibuat didasarkan pada analogi (otak-atik mathuk) dan olah nalar pelaku mistik. (Suwadi Endraswara, 2006: 251-255).

B. Penelitian Yang Relevan

Hasil penelitian Septia Irnawati (152006001) dengan judul “Makna Upacara Tradisi Kembang Kuningan Dalam Membina Kerukunan Masyarakat Di Desa Polobogo Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang”, menjelaskan bahwa Upacara Kembang Kuningan merupakan tradisi masyarakat Polobogo Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang, yang biasanya dilaksakan pada bulan Rejeb. Pelaksanaan upacara Kembang Kuningan tersebut jatuh pada tanggal 13 Agustus 2009. Upacara Kembang Kuningan dilakukan untuk mengirim doa kepada Kyai Sugeng, yang dipercaya sebagai cikal bakal masyarakat Polobogo, Karang Ombo, Krasak dan Gompyong.


(6)

25 Sedangkan penelitian yang ditulis Penulis menjelaskan tentang tradisi Lamporan di Desa Kunden. Tradisi Lamporan ini dilaksanakan pada bulan Suro yang di identikan atau sebagai simbolis bagi kalangan masyarakat sebagai bulan yang sakral. Tradisi Lamporan dilaksanakan pada tangal 22 November 2012, tepatnya pada hari Kamis Legi, malam Jum‟at Pahing. Pelaksanaannya pada malam hari seusai Shalat Mahgrib yang diawali dengan keliling Desa Kunden (kirap budaya) yang diikuti kalangan petani dan peternak (cah angon) yang membawa obor dan pecut, selain itu barongan yang merupakan kesenian khas Desa Kunden juga diikut sertakan. Tujuannya sebagai tolak bala agar desa dan masyarakatnya terhindar dari malapetaka dan gangguan roh-roh jahat baik nampak seperti hama tanaman dan masa pageblug serta yang tidak nampak seperti gendruwon/ makhluk halus. Perkembangan jaman membuat tradisi ini bergeser, hal ini terbukti dengan adanya kesenian barong yang diikut sertakan. Selain itu juga wujud ritual tradisi Lamporan yang tadinya untuk memuja dan meminta kepada leluhur berubah menjadi penghormatan dan mendoakan para leluhur hal ini karena masyarakat sudah mengenal agama.