Bab 32 perbaikan pengelolaan sumberdaya

Draft 12 Desember 2004

BAB 32

PERBAIKAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA
ALAM
DAN PELESTARIAN FUNGSI LINGKUNGAN
HIDUP
A. PERMASALAHAN
Sumber daya alam harus dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat dengan tetap memperhatikan kelestarian
fungsi lingkungan hidupnya sehingga sumber daya alam senantiasa
memiliki peran ganda, yang acapkali dilematik, yaitu sebagai modal
pertumbuhan ekonomi (resource based economy) dan sekaligus
sebagai penopang sistem kehidupan (life support system).
Sumber daya alam sangat berperan sebagai tulang punggung
perekonomian nasional, dan masih akan diandalkan dalam jangka
menengah. Hasil hutan, hasil laut, perikanan, pertambangan, dan
pertanian memberikan kontribusi 24,8 persen dari produk domestik
bruto (PDB) nasional pada tahun 2002, dan menyerap 45 persen
tenaga kerja dari total angkatan kerja yang ada. Namun di lain

pihak, peran penyerapan tenaga kerja ini telah memicu pola
produksi dan konsumsi yang agresif, eksploitatif, dan ekspansif
sehingga fungsi lingkungan hidupnya semakin menurun, bahkan
mengarah pada kondisi yang mengkhawatirkan. Kekhawatiran
tersebut dapat digambarkan dalam beberapa permasalahan pokok
di bawah ini:
Terus menurunnya kondisi hutan Indonesia. Hutan
merupakan salah satu sumber daya yang penting, tidak hanya
dalam menunjang perekonomian nasional tetapi juta dalam menjaga
daya dukung lingkungan terhadap keseimbangan ekosistem dunia.
Indonesia merupakan negara dengan luas hutan terbesar dibanding
dengan negara ASEAN lainnya. Namun, bersama Philipina,
Indonesia memiliki laju deforestasi tertinggi. Laju deforestasi yang
pada periode 1985-1997 adalah 1,6 juta hektar per tahun meningkat
menjadi 2,1 juta hektar per tahun pada periode 1997-2001. Salah
satu akibatnya jumlah satwa Indonesia yang terancam punah
tertinggi dibandingkan negara ASEAN lainnya.
Kerusakan DAS (Daerah Aliran Sungai). Praktik penebangan
liar dan konversi lahan menimbulkan dampak yang luas, yaitu
kerusakan ekosistem dalam tatanan DAS. Akibatnya, DAS

Bagian IV.32 – 1

Draft 12 Desember 2004
berkondisi kritis meningkat dari yang semula 22 DAS pada tahun
1984 menjadi berturut-turut sebesar 39 dan 62 DAS pada tahun
1992 dan 1998. Pada saat ini diperkirakan lebih dari 100 DAS dalam
kondisi kritis. Hal ini akan mengancam keseimbangan ekosistem
secara luas, khususnya cadangan dan pasokan air yang sangat
dibutuhkan untuk irigasi, pertanian, industri, dan konsumsi rumah
tangga.
Ekosistem pesisir dan laut semakin rusak. Pencemaran
lingkungan maupun kerusakan ekosistem di pesisir dan laut
semakin meningkat, khususnya di wilayah padat kegiatan seperti
pantai utara Pulau Jawa dan pantai timur Pulau Sumatera.
Rusaknya ekosistem pesisir (mangrove, terumbu karang, padang
lamun) telah mengakibatkan erosi dan degradasi pantai dan
berkurangnya
nilai
keanekaragaman
hayati

(biodiversity).
Penyebabnya adalah praktik penangkapan ikan yang merusak,
penambangan karang dan pasir laut, sedimentasi, pencemaran
limbah dari daratan, konversi lahan, tumpahan minyak, dan
kegiatan lainnya yang bersifat menutup pantai dan perairannya.
Citra pertambangan yang merusak lingkungan. Sifat usaha
pertambangan, khususnya tambang terbuka (open pit mining),
selalu merubah bentang alam sehingga mempengaruhi ekosistem
dan habitat aslinya. Dalam skala besar akan mengganggu
keseimbangan fungsi lingkungan hidup dan berdampak buruk bagi
kehidupan manusia. Dengan citra semacam ini usaha pertambangan
cenderung ditolak masyarakat. Citra ini diperburuk oleh banyaknya
pertambangan tanpa ijin (PETI) yang sangat merusak lingkungan.
Tingginya ancaman terhadap keanekaragaman hayati
(biodiversity). Sampai saat ini 90 jenis flora dan 176 fauna di
Pulau Sumatera terancam punah. Populasi orang-utan di
Kalimantan menyusut tajam, dari 315.000 ekor di tahun 1900
menjadi 20.000 ekor di tahun 2002. Hutan bakau di Jawa dan
Kalimantan menyusut tajam, disertai rusaknya berbagai ekosistem.
Gambaran tersebut menempatkan Indonesia pada posisi kritis

berdasarkan Red Data Book IUCN (International Union for the
Conservation of Nature). Di sisi lain, pelestarian plasma nutfah asli
Indonesia belum berjalan baik. Kerusakan ekosistem dan perburuan
liar, yang dilatarbelakangi rendahnya kesadaran masyarakat,
menjadi ancaman utama bagi keanekaragaman hayati di Indonesia.
Pencemaran air semakin meningkat. Penelitian di 20 sungai
Jawa Barat pada tahun 2000 menunjukkan bahwa angka BOD
(Biochemical Oxygen Demand) dan COD (Chemical Oxygen
Demand)-nya melebihi ambang batas. Indikasi serupa terjadi pula di
DAS Brantas, ditambah dengan tingginya kandungan amoniak.
Bagian IV.32 – 2

Draft 12 Desember 2004
Limbah industri maupun rumah tangga merupakan penyumbang
terbesar dari pencemaran air tersebut. Kualitas air permukaan
danau
maupun
situ
juga
menunjukkan

kondisi
yang
memprihatinkan.
Umumnya
disebabkan
karena
tumbuhnya
phitoplankton secara berlebihan (blooming) karena adanya
timbunan senyawa phospat. Matinya ikan di Danau Singkarak
(1999), Danau Maninjau (2003) serta lenyapnya beberapa situ di
Jabodetabek menunjukkan tingginya sedimentasi dan pencemaran
air permukaan. Kondisi air tanah, khususnya di perkotaan, juga
mengkhawatirkan karena banyak ditemukan bakteri Escherichia
coli dan logam berat yang melebihi ambang batas.
Kualitas udara, khususnya di kota-kota besar, semakin
menurun. Kualitas udara di 10 kota besar Indonesia cukup
mengkhawatirkan, dan di enam kota diantaranya, yaitu Jakarta,
Surabaya, Bandung, Medan, Jambi, dan Pekan Baru dalam satu
tahun hanya dinikmati udara bersih selama 22 sampai 62 hari saja.
Senyawa yang perlu mendapat perhatian serius adalah partikulat

(PM10), karbon monoksida (CO), dan nitrogen oksida (NOx).
Pencemaran udara utamanya disebabkan oleh gas buang kendaraan
dan industri, kebakaran hutan, dan kurangnya tutupan hijau di
perkotaan. Hal ini juga diperburuk oleh kualitas atmosfer global
yang menurun karena rusaknya lapisan ozon di stratosfer akibat
akumulasi senyawa kimia seperti chlorofluorocarbons (CFCs),
halon, carbon tetrachloride, methyl bromide yang biasa digunakan
sebagai refrigerant mesin penyejuk udara, lemari es, spray, dan
foam. Senyawa-senyawa tersebut merupakan bahan perusak ozon
atau ODS (ozone depleting substances). Indonesia terikat Montreal
Protocol untuk ikut serta mengurangi penggunaan ODS tersebut,
namun demikian sulit dilaksanakan karena bahan penggantinya
masih langka dan harganya relatif mahal.
Namun demikian, potensi sumber daya alam yang tersisa masih
dapat dikembangkan dan harus dimanfaatkan secara optimal
dengan tetap memperhatikan daya dukung dan keberlanjutan fungsi
lingkungan hidupnya. Kuncinya, antara lain dengan mengatasi
kelemahan dan menjawab tantangan di bawah ini:
Sistem pengelolaan hutan diperbaiki. Sejak tahun 1970-an
hutan telah dimanfaatkan sebagai mesin ekonomi melalui ekspor log

maupun industri berbasis kehutanan. Sistem pengelolaan hutan
didominasi oleh pemberian hak pengelolaan hutan (HPH) kepada
pihak-pihak
tertentu
secara
tidak
transparan
tanpa
mengikutsertakan masyarakat setempat, masyarakat adat, maupun
pemerintah daerah. Saat ini sekitar 28 juta hektar hutan produksi
pengelolaannya dikuasai oleh 267 perusahaan HPH atau rata-rata
105.000 hektar per HPH. Kontrol sosial tidak berjalan, kasus KKN
Bagian IV.32 – 3

Draft 12 Desember 2004
marak, dan pelaku cenderung mengejar keuntungan jangka pendek
sebesar-besarnya. Pada masa yang akan datang, sistem pengelolaan
hutan harus bersifat lestari dan berkelanjutan (sustainable forest
management) yang memperhatikan aspek ekonomi – sosial –
lingkungan secara bersamaan.

Pembagian wewenang dan tanggung jawab pengelolaan
hutan jelas. Otonomi daerah telah merubah pola hubungan pusat–
daerah.
Titik
berat
otonomi
daerah
di
Kabupaten/Kota
mengakibatkan
pola
hubungan
Pemerintah
Pusat–Propinsi–
Kabupaten/Kota berubah, dan karena kurang diatur dalam
peraturan
perundang-undangan,
menjadi
berbeda-beda
penafsirannya. Akibatnya kondisi hutan cenderung tertekan karena

belum ada kesepahaman antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah dalam pengelolaan sumber daya alam. Misalnya, UNDANGUNDANG Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan lebih
menitikberatkan pada aspek-aspek pengelolaan hutan secara ideal,
sementara
aspek
kewenangan
pengelolaan
hutan
tidak
terakomodasi secara jelas. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah yang merupakan revisi Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999, walaupun sudah menegaskan hubungan
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam hal kewenangan,
tanggung jawab, pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian, bagi
hasil, penyerasian lingkungan dan tata ruang, masih memerlukan
peraturan perundang-undangan lebih lanjut.
Penegakan
hukum
terhadap
illegal

logging
dan
penyelundupan kayu dilaksanakan. Tingginya biaya pengelolaan
hutan,
lemahnya
pengawasan
dan
penegakan
hukum
mengakibatkan perencanaan kehutanan kurang efektif atau bahkan
tidak berjalan. Kasus tebang berlebih (over cutting), pembalakan
liar (illegal logging), penyelundupan kayu ke luar negeri, dan
tindakan illegal lainnya banyak terjadi. Diperkirakan kegiatankegiatan illegal tersebut saja telah menyebabkan hilangnya hutan
seluas 1,2 juta hektar per tahun, melebihi luas hutan yang ditebang
berdasarkan ijin Departemen Kehutanan. Selain penegakan hukum
yang lemah, juga disebabkan oleh aspek penguasaan lahan (land
tenure) yang sarat masalah, praktik pengelolaan hutan yang tidak
lestari, dan terhambatnya akses masyarakat terhadap sumber daya
hutan.
Kapasitas pengelola kehutanan ditingkatkan. Sumber daya

manusia, pendanaan, sarana-prasarana, kelembagaan, serta insentif
bagi pengelola kehutanan sangat terbatas bila dibandingkan dengan
cakupan luas kawasan yang harus dikelolanya. Hal ini mempersulit
penanggulangan masalah kehutanan seperti pencurian kayu,
kebakaran hutan, pemantapan kawasan hutan, dan lain-lain.
Bagian IV.32 – 4

Draft 12 Desember 2004
Sebagai contoh, jumlah polisi hutan secara nasional adalah 8.108
orang. Hal ini berarti satu orang polisi hutan harus menjaga sekitar
14.000 hektar hutan. Dengan pendanaan, sarana dan prasarana
yang terbatas, jumlah tersebut jelas tidak memadai karena kondisi
yang ideal satu polisi hutan seharusnya menangani 100 hektar
(untuk kawasan konservasi di Jawa), sementara untuk kawasan
konservasi di luar Jawa sekitar 5.000 hektar. Di samping itu,
partisipasi masyarakat untuk ikut serta mengamankan hutan juga
sangat rendah.
Hasil hutan non-kayu dan jasa-lingkungan dihargai. Hasil
hutan non-kayu dan jasa-lingkungan dari ekosistem hutan, seperti
nilai hutan sebagai sumber air, keanekaragaman hayati, udara
bersih, keseimbangan iklim, keindahan alam, dan kapasitas
asimilasi lingkungan yang memiliki manfaat besar sebagai
penyangga sistem kehidupan, dan memiliki potensi ekonomi, belum
berkembang seperti yang diharapkan. Berdasarkan hasil penelitian,
nilai jasa ekosistem hutan jauh lebih besar dari nilai produk
kayunya. Diperkirakan nilai hasil hutan kayu hanya sekitar 5 persen
dari total nilai ekonomi hutan, sisanya adalah hasil hutan non-kayu
dan jasa lingkungan. Dewasa ini permintaan terhadap jasa
lingkungan mulai meningkat, khususnya untuk air minum kemasan,
obyek penelitian, wisata alam, dan sebagainya. Permasalahannya
adalah sampai saat ini sistem pemanfaatannya belum berkembang
secara maksimal.
Batas wilayah laut dengan negara tetangga segera
diselesaikan. Wilayah laut ZEE (Zona Ekonomi Ekslusif) yang
belum diselesaikan meliputi perbatasan dengan Malaysia, Philipina,
Palau, Papua New Guinea, Timor Leste, India, Singapura, dan
Thailand. Sedangkan batas laut teritorial yang belum disepakati
meliputi perbatasan dengan Singapura (bagian barat dan timur),
Malaysia, dan Timor Leste. Penyebabnya karena Indonesia belum
mempunyai undang-undang tentang batas wilayah negara termasuk
lembaga yang memiliki otorita mengatur batas wilayah.
Potensi dan wawasan kelautan digarap secara optimal.
Sektor kelautan menyumbang sekitar 20 persen dari PDB nasional
(2002). Kontribusi terbesar berasal dari migas, diikuti industri
maritim, perikanan, jasa angkutan laut, wisata bahari, bangunan
laut, dan jasa-jasa lainnya. Namun demikian, bila dibandingkan
dengan potensinya, sumber daya laut masih belum tergarap secara
optimal. Kebijakan pembangunan nasional selama ini cenderung
terlalu berorientasi ke wilayah daratan.
Pencurian ikan dan pola penangkapan ikan yang merusak
diberantas. Pencurian ikan (illegal fishing), baik oleh kapal-kapal
Bagian IV.32 – 5

Draft 12 Desember 2004
domestik dengan atau tanpa ijin maupun kapal-kapal asing di
perairan teritorial maupun di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)
Indonesia, menyebabkan hilangnya sumber daya ikan sekitar 1-1,5
juta ton per tahun dengan nilai kerugian negara sekitar US$ 2
milyar. Hal ini diperburuk oleh pengendalian dan pengawasan yang
belum optimal akibat kurangnya sarana dan alat penegakan hukum
di laut. Selain itu, jumlah dan kapasitas petugas pengawas, sistem
pengawasan, partisipasi masyarakat, dan koordinasi antar instansi
terkait juga masih lemah. Sementara itu, penangkapan ikan yang
merusak (destructive fishing) seperti penggunaan bahan peledak
dan racun (pothasium) masih banyak terjadi, yang dipicu oleh
meningkatnya permintaan ikan karang dari luar negeri dengan
harga yang cukup tinggi. Kegiatan ini menyebabkan rusaknya
ekosistem terumbu karang yang merupakan habitat ikan yang
sangat penting.
Pulau-pulau kecil dikembangkan secara optimal. Indonesia
memiliki banyak sekali pulau-pulau kecil, tetapi umumnya belum
dikembangkan secara menyeluruh dan terencana. Pulau kecil, yang
didefinisikan sebagai pulau yang luasnya kurang dari 10.000 km²
dan jumlah penduduknya kurang dari 200.000 jiwa, sangat rentan
terhadap perubahan alam karena daya dukung lingkungannya
sangat terbatas dan cenderung mempunyai spesies endemik yang
tinggi. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan pembangunan yang
berbeda dengan pulau-pulau besar lainnya. Pada saat ini telah
tersusun rancangan Kebijakan dan Strategi Nasional (Jakstranas)
yang integratif untuk dasar pengembangannya.
Kontribusi migas dan hasil tambang ditingkatkan.
Penerimaan migas pada tahun 1996 pernah mencapai 43 persen
dari APBN, dan pada tahun 2003 menurun menjadi 22,9 persen.
Penurunan ini tampaknya akan terus terjadi. Cadangan minyak
bumi dewasa ini sekitar 9,2 miliar barel dengan tingkat produksi
450 juta barel per tahun. Apabila cadangan baru tidak ditemukan
dan tingkat pengurasan (recovery rate) tidak bertambah, maka
sembilan tahun lagi cadangan minyak kita akan habis. Cadangan
gas-bumi-terbukti tahun 2002 sebesar 90,3 TCF (trillion cubic feet)
baru dimanfaatkan setiap tahun 3,0 TCF saja. Rendahnya tingkat
pemanfaatan ini karena kurangnya daya saing Indonesia dalam hal
suplai. Berbeda dengan Malaysia dan Australia yang selalu siap
dengan produksinya, ladang gas di Indonesia baru dikembangkan
setelah ada kepastian kontrak dengan pembeli, sehingga dari sisi
supply readiness Indonesia kurang bersaing. Pertambangan mineral
seperti timah, nikel, bauksit, tembaga, perak, emas, dan batubara
tetap memberikan kontribusi walaupun penerimaannya cenderung
menurun. Penerimaan negara dari pertambangan pada tahun 2001

Bagian IV.32 – 6

Draft 12 Desember 2004
sebesar Rp2,3 triliun, tahun 2002 menjadi Rp1,4 triliun, dan tahun
2003 Rp1,5 triliun.
Ketidakpastian hukum di bidang pertambangan diatasi.
Hal ini terjadi akibat belum selesainya pembahasan RUU
Pertambangan sebagai pengganti Undang-undang Nomor 11 Tahun
1967 tentang Pokok-pokok Pertambangan. Selain itu, otonomi
daerah juga menambah ketidakpastian berusaha karena banyaknya
peraturan daerah yang menghambat iklim investasi, seperti
retribusi, pembagian saham, serta peraturan lainnya yang
memperpanjang rantai perijinan usaha pertambangan yang harus
dilalui.
Limbah padat dikelola secara sistematis. Meningkatnya
pendapatan dan perubahan gaya hidup masyarakat perkotaan
berdampak pada peningkatan limbah padat dan sampah domestik
secara signifikan, yang akhirnya membebani sistem pengelolaan
sampah, khususnya tempat pembuangan akhir sampah (TPA).
Sebagai gambaran, di Jabodetabek umur operasi TPA rata-rata
tinggal 3-5 tahun lagi, sementara potensi lahan sangat terbatas.
Selain itu, sampah juga belum diolah dan dikelola secara sistematis,
hanya ditimbun begitu saja, sehingga mencemari tanah maupun air,
menimbulkan genangan leacheate, dan mengancam kesehatan
masyarakat. Selain itu, limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun)
yang berasal dari rumah sakit, industri, pertambangan, dan
permukiman juga belum dikelola secara serius. Walaupun Indonesia
telah meratifikasi Basel Convention saat ini hanya ada satu fasilitas
pengolahan limbah B3 yang dikelola swasta di Cibinong. Tingginya
biaya, rumitnya pengelolaan B3, serta rendahnya pemahaman
masyarakat menjadi kendala tersendiri dalam upaya mengurangi
paparan limbah padat dan B3 terhadap lingkungan.
Perubahan iklim (climate change) dan pemanasan global
(global warming) dicermati. Fenomena kekeringan (El Niño) dan
banjir (La Niña) yang terjadi secara luas sejak tahun 1990-an
membuktikan adanya perubahan iklim global. Dibandingkan 150
tahun lalu, suhu rata-rata permukaan bumi kini meningkat 0,6°C
akibat emisi gas rumah kaca (greenhouse gases) seperti CO2, CH4,
dan NOx dari negara-negara industri maju. Sampai tahun 2100
mendatang suhu rata-rata permukaan bumi diperkirakan akan naik
lagi sebesar 1,4-5,8 °C. Keseimbangan lingkungan global terganggu,
glacier dan lapisan es di kutub mencair, permukaan laut naik, dan
iklim global berubah. Indonesia, sebagai negara kepulauan di
daerah tropis, pasti terkena dampaknya. Oleh karena itu adaptasi
terhadap perubahan iklim tersebut mutlak dilakukan, khususnya
yang terkait dengan strategi pembangunan sektor kesehatan,
pertanian, permukiman, dan tata-ruang. Di lain pihak, isu
Bagian IV.32 – 7

Draft 12 Desember 2004
perubahan iklim memberi peluang tersendiri bagi Indonesia, yang
telah meratifikasi Kyoto Protocol, di mana negara-negara industri
maju dapat ‘menurunkan emisinya’ melalui kompensasi berupa
investasi proyek CDM (Clean Development Mechanism) di negara
berkembang seperti Indonesia.
Alternatif pendanaan lingkungan dikembangkan. Alokasi
dana pemerintah untuk sektor lingkungan hidup sangat tidak
memadai. Dari total alokasi dana pembangunan, sektor lingkungan
hidup hanya menerima sekitar 1 persen setiap tahunnya. Dengan
terbatasnya keuangan negara, maka upaya pendanaan alternatif
harus diperjuangkan terus menerus sesuai dengan amanat Undangundang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup, antara
lain melalui skema DNS (debt for nature swap), CDM (Clean
Development Mechanism), Trust Fund Mechanism, dan green tax.
Upaya ke arah itu masih tersendat karena sistem dan aturan
keuangan negara sangat kaku dan tidak fleksibel untuk
mengantisipasi berbagai skema pembiayaan inovatif.
Isu lingkungan global dipahami dan diterapkan dalam
pembangunan nasional dan daerah. Tumbuhnya kesadaran
global tentang kondisi lingkungan dan sumber daya alam yang
semakin buruk, telah mendesak seluruh negara untuk merubah
paradigma pembangunannya, dari ekonomi-konvensional menjadi
ekonomi-ekologis. Untuk itu telah dihasilkan 154 perjanjian
internasional dan multilateral agreement yang terkait langsung
maupun tidak langsung dengan isu lingkungan global. Indonesia
telah
meratifikasi
12
konvensi,
tetapi
sosialisasi
dan
pemanfaatannya untuk kepentingan nasional belum maksimal.
Selain itu, masukan Indonesia untuk memperjuangkan kepentingan
nasional di berbagai konvensi internasional juga masih terbatas
mengingat lemahnya kapasitas institusi, sumber daya manusia,
serta sistem perwakilan Indonesia di berbagai konvensi tersebut.
Kesadaran masyarakat ditingkatkan. Masyarakat umumnya
menganggap bahwa sumber daya alam akan tersedia selamanya
dalam jumlah yang tidak terbatas, secara cuma-cuma. Air, udara,
iklim, serta kekayaan alam lainnya dianggap sebagai anugerah
Tuhan yang tidak akan pernah habis. Demikian pula pandangan
bahwa lingkungan hidup akan selalu mampu memulihkan daya
dukung dan kelestarian fungsinya sendiri. Pandangan demikian
sangat menyesatkan, akibatnya masyarakat tidak termotivasi untuk
ikut serta memelihara sumber daya alam dan lingkungan hidup di
sekitarnya. Hal ini dipersulit dengan adanya berbagai masalah
mendasar seperti kemiskinan, kebodohan, dan keserakahan.

B.SASARAN
Bagian IV.32 – 8

Draft 12 Desember 2004
Dengan permasalahan, kelemahan, dan tantangan seperti di atas,
sasaran pembangunan yang ingin dicapai adalah membaiknya
sistem pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
Tujuannya
untuk
mencapai
keseimbangan
antara
aspek
pemanfaatan sumber daya alam sebagai modal pertumbuhan
ekonomi (kontribusi sektor perikanan, kehutanan, pertambangan
dan mineral terhadap PDB) dengan aspek perlindungan terhadap
kelestarian fungsi lingkungan hidup sebagai penopang sistem
kehidupan secara luas. Adanya keseimbangan tersebut berarti
menjamin
keberlanjutan
pembangunan.
Untuk
itu,
pengarusutamaan (mainstreaming) prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan (sustainable development) di seluruh sektor, baik di
pusat maupun di daerah, menjadi suatu keharusan. Yang dimaksud
dengan sustainable development adalah upaya memenuhi
kebutuhan generasi masa kini tanpa mengorbankan kepentingan
generasi yang akan datang. Seluruh kegiatannya harus dilandasi
tiga pilar pembangunan secara seimbang, yaitu menguntungkan
secara ekonomi (economically viable), diterima secara sosial
(socially acceptable) dan ramah lingkungan (environmentally
sound). Prinsip tersebut harus dijabarkan dalam bentuk instrumen
kebijakan maupun investasi pembangunan jangka menengah (20052009) di seluruh sektor dan bidang yang terkait dengan sasaran
pembangunan sumber daya alam dan lingkungan hidup, seperti di
bawah ini:
Sasaran pembangunan kehutanan adalah: (1) Tegaknya hukum,
khususnya dalam pemberantasan illegal loging dan penyelundupan
kayu; (2) Pengukuhan kawasan hutan dalam tata-ruang seluruh
propinsi di Indonesia, setidaknya 30 persen dari luas hutan yang
telah ditata-batas; (3) Optimalisasi nilai tambah dan manfaat hasil
hutan kayu; (4) Meningkatnya hasil hutan non-kayu sebesar 30
persen dari produksi tahun 2004; (5) Bertambahnya hutan tanaman
industri (HTI), seluas 3 juta hektar, sebagai basis pengembangan
ekonomi-hutan; (6) Konservasi hutan dan rehabilitasi lahan di 141
DAS prioritas untuk menjamin pasokan air dan sistem penopang
kehidupan lainnya; (7) Desentralisasi kehutanan melalui pembagian
wewenang dan tanggung jawab yang disepakati oleh Pusat dan
Daerah; (8) Berkembangnya kemitraan antara pemerintah,
pengusaha, dan masyarakat dalam pengelolaan hutan lestari; dan
(9) Penerapan iptek yang inovatif pada sektor kehutanan.
Sasaran pembangunan kelautan adalah: (1) Berkurangnya
pelanggaran dan perusakan sumber daya kelautan; (2) Membaiknya
pengelolaan ekosistem pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil secara
terpadu; (3) Selesainya batas laut dengan negara tetangga; dan (4)
Serasinya peraturan perundangan di bidang kelautan.
Bagian IV.32 – 9

Draft 12 Desember 2004
Sasaran pembangunan pertambangan dan sumber daya
mineral adalah: (1) Optimalisasi peran migas dalam penerimaan
negara guna menunjang pertumbuhan ekonomi; (2) Meningkatnya
cadangan, produksi, dan ekspor migas; (3) Terjaminnya pasokan
migas dan produk-produknya untuk memenuhi kebutuhan dalam
negeri; (4) Terselesaikannya Undang-Undang Pertambangan
sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang
Pokok-pokok
Pertambangan;
(5)
Meningkatnya
investasi
pertambangan dengan perluasan lapangan kerja dan kesempatan
berusaha; (6) Meningkatnya produksi dan nilai tambah produk
pertambangan; (7) Terjadinya alih teknologi dan kompetensi tenaga
kerja; (8) Meningkatnya kualitas industri hilir yang berbasis sumber
daya mineral; (9) Meningkatnya keselamatan dan kesehatan kerja
pertambangan; dan (10) Berkurangnya kegiatan pertambangan
tanpa ijin (PETI).
Sasaran pembangunan lingkungan hidup adalah: (1)
Meningkatnya kualitas air sungai khususnya di seluruh DAS kritis
disertai pengendalian dan pemantauan secara kontinyu; (2)
Terjaganya danau dan situ, khususnya di Jabodetabek, dengan
kualitas air yang memenuhi syarat; (3) Berkurangnya pencemaran
air dan tanah di kota-kota besar disertai pengendalian dan
pemantauan terpadu antar sektor; (4) Terkendalinya kualitas air
laut melalui pendekatan terpadu antara kebijakan konservasi
wilayah darat dan laut; (5) Membaiknya kualitas udara perkotaan
khususnya di Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Medan, didukung
oleh perbaikan manajemen dan sistem transportasi kota yang ramah
lingkungan; (6) Berkurangnya penggunaan bahan perusak ozon
(ODS/Ozone Depleting Substances) secara bertahap dan sama
sekali hapus pada tahun 2010; (7) Berkembangnya kemampuan
adaptasi terhadap perubahan iklim global; (8) Pemanfaatan
keanekaragaman hayati secara berkelanjutan sesuai pedoman
IBSAP 2003-2020 (Indonesian Biodiversity Strategy and Action
Plan); (9) Meningkatnya upaya 3R (Reduce, Reuse, Recycle) dalam
manajemen persampahan untuk mengurangi beban TPA; (10)
Regionalisasi
pengelolaan
TPA
secara
profesional
untuk
mengantisipasi keterbatasan lahan di Jabodetabek dan kota-kota
besar lainnya; (11) Mengupayakan berdirinya satu fasilitas
pengelolaan limbah B3 yang baru di sekitar pusat kegiatan industri;
(12) Tersusunnya aturan pendanaan-lingkungan yang inovatif
sebagai terobosan untuk mengatasi kecilnya pembiayaan sektor
lingkungan hidup; (13) Sosialisasi berbagai perjanjian-internasional
kepada para pengambil keputusan di tingkat pusat dan daerah; (14)
Membaiknya sistem perwakilan Indonesia di berbagai konvensi
internasional untuk memperjuangkan kepentingan nasional; dan

Bagian IV.32 – 10

Draft 12 Desember 2004
(15) Meningkatnya kesadaran masyarakat akan
memelihara sumber daya alam dan lingkungan hidup.

pentingnya

C. ARAH KEBIJAKAN
Untuk mencapai sasaran tersebut di atas, arah kebijakan yang
akan ditempuh meliputi perbaikan manajemen dan sistem
pengelolaan sumber daya alam, optimalisasi manfaat ekonomi dari
sumber daya alam termasuk jasa lingkungannya, penegakan hukum,
rehabilitasi dan pemulihan cadangan sumber daya alam, dan
pengendalian
pencemaran
lingkungan
hidup.
Sasaran
pembangunan di atas dibuat agar sumber daya alam dapat tetap
mendukung
perekonomian
nasional
dan
meningkatkan
kesejahteraan masyarakat tanpa mengorbankan daya dukung dan
fungsi lingkungan hidupnya, agar kelak tetap dapat dinikmati oleh
generasi mendatang.
Pembangunan kehutanan diarahkan untuk:
1. Memperbaiki sistem pengelolaan hutan termasuk pengawasan
dan penegakan hukumnya;
2. Mencapai kesepakatan antar tingkat pemerintahan dalam hal
pembagian wewenang dan tanggung jawab pengelolaan
hutan;
3. Mengefektifkan
sumber
daya
yang
tersedia
dalam
pengelolaan hutan;
4. Memanfaatkan hasil hutan non-kayu dan jasa lingkungannya
secara optimal.
Pembangunan kelautan diarahkan untuk:
1. Mengelola sumber daya kelautan, termasuk pulau-pulau kecil,
secara lestari;
2. Membangun sistem pengendalian dan pengawasan;
3. Meningkatkan upaya konservasi laut, pesisir, dan pulau-pulau
kecil serta merehabilitasi ekosistem yang rusak;
4. Membangun pulau-pulau kecil secara berkelanjutan dan
berbasis masyarakat;
5. Mengendalikan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup
di wilayah pesisir, laut, perairan tawar, dan pulau-pulau kecil;
6. Menjalin kerja sama regional dan internasional untuk
menyelesaikan batas laut dengan negara tetangga;
7. Memperkuat instrumen pendukung pembangunan yang
meliputi kapasitas kelembagaan dan peraturan perundangan;
dan
8. Meningkatkan peran aktif masyarakat dan swasta dalam
pengelolaan sumber daya kelautan.

Bagian IV.32 – 11

Draft 12 Desember 2004
Pembangunan pertambangan dan sumber daya mineral
diarahkan untuk:
1. Meningkatkan eksplorasi dalam upaya menambah cadangan
migas dan sumber daya mineral lainnya;
2. Meningkatkan eksploitasi dengan selalu memperhatikan
aspek lingkungan hidup;
3. Meningkatkan peluang usaha pertambangan skala kecil di
wilayah terpencil dengan memperhatikan aspek sosial dan
lingkungan hidup;
4. Meningkatkan nilai tambah dan diversifikasi produk
pertambangan;
5. Menerapkan good mining practice di lokasi tambang yang
sudah ada;
6. Merehabilitasi kawasan bekas pertambangan terbuka; dan
7. Menjamin kepastian hukum melalui penyerasian aturan dan
penegakan hukum secara konsekuen.
Pembangunan lingkungan hidup diarahkan untuk:
1. Mengarusutamakan
(mainstreaming)
prinsip-prinsip
pembangunan berkelanjutan ke seluruh bidang pembangunan;
2. Koordinasi pengelolaan lingkungan hidup di tingkat nasional
dan daerah;
3. Meningkatkan upaya penegakan hukum secara konsisten
kepada pencemar lingkungan;
4. Meningkatkan kapasitas lembaga pengelola lingkungan hidup
baik di tingkat nasional maupun daerah; dan
5. Membangun kesadaran masyarakat agar peduli pada isu
lingkungan hidup dan berperan aktif sebagai kontrol-sosial
dalam memantau kualitas lingkungan hidup.

D.

PROGRAM-PROGRAM PEMBANGUNAN

Untuk menterjemahkan sasaran pembangunan dan arah
kebijakan di atas, maka pembangunan sumber daya alam dan
lingkungan hidup jangka menengah 2004–2009 akan mencakup
program-program sebagai berikut.
1. PROGRAM PEMANTAPAN
DAYA HUTAN

DAN

PEMANFAATAN POTENSI SUMBER

Program ini bertujuan untuk memanfaatkan potensi hutan secara
lebih efisien, optimal, adil, dan berkelanjutan dengan mewujudkan
unit-unit pengelolaan hutan produksi lestari dan memenuhi kaidah
sustainable forest management (SFM) serta didukung oleh industri
kehutanan yang kompetitif.
Kegiatan pokok yang tercakup dalam program ini meliputi:
Bagian IV.32 – 12

Draft 12 Desember 2004
1. Pengukuhan kawasan hutan;
2. Penyusunan
data
potensi
sumberdaya
hutan
dan
pembangunan basis-data kehutanan;
3. Penatagunaan hutan dan pengendalian alih fungsi dan status
kawasan hutan;
4. Pengembangan hutan kemasyarakatan dan usaha perhutanan
rakyat;
5. Pembinaan kelembagaan hutan produksi;
6. Pengembangan hutan tanaman industri;
7. Pemasaran dan pengendalian peredaran hasil hutan;
8. Pembinaan industri kehutanan primer;
9. Pengembangan hasil hutan non-kayu dan jasa lingkungannya;
10.
Peningkatan nilai tambah dan kualitas hasil hutan; dan
11.
Penelitian dan pengembangan yang berkaitan dengan
peningkatan nilai ekonomi sumberdaya hutan dan hasil hutan.
2. PROGRAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA KELAUTAN
Program ini bertujuan untuk mengelola potensi sumber daya
kelautan secara optimal agar dapat dimanfaatkan secara adil dan
berkelanjutan.
Kegiatan pokoknya antara lain:
1. Pengembangan sistem MCS (monitoring, controlling, and
surveilance);
2. Pemberdayaan masyarakat dalam rangka pengawasan dan
pengendalian sumber daya kelautan;
3. Penegakan hukum;
4. Perumusan kebijakan dan penyusunan aturan tentang
pengelolaan sumber daya laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil;
5. Pengelolaan sumber daya pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil;
6. Peningkatan kapasitas kelembagaan; dan
7. Pengembangan riset dan teknologi kelautan serta riset
sumber daya non hayati lainnya.
3. PROGRAM PEMBINAAN USAHA PERTAMBANGAN MIGAS
Program ini bertujuan untuk mengelola kegiatan usaha migas
agar tetap berperan sebagai sumber penerimaan negara yang
penting, meningkatkan investasi di bidang usaha hulu dan hilir,
mengembangkan potensi migas secara optimal, dan meningkatkan
kualitas sumber daya manusia bidang migas.
Kegiatan pokok yang akan dilakukan adalah:
1. Pembinaan usaha di bidang migas;
2. Perumusan kebijakan harga BBG dan BBM;
3. Pembinaan usaha penunjang migas;
Bagian IV.32 – 13

Draft 12 Desember 2004
4. Peningkatan kandungan lokal;
5. Peningkatan keselamatan dan kesehatan kerja bidang migas;
6. Pembinaan masyarakat (community development) di wilayah
sekitar pertambangan migas;
7. Pengelolaan sumur-sumur minyak;
8. Pembinaan teknis instalasi dan peralatan kegiatan usaha
migas;
9. Penyusunan dan evaluasi kegiatan eksplorasi;
10.
Pengawasan/monitoring POD (Plan of Development)
lapangan;
11.
Pengawasan jenis, standar, dan mutu BBM, BBG, gas
bumi, bahan bakar lain, serta hasil olahan lainnya termasuk
pelumas;
12.
Pendidikan dan pelatihan bidang migas;
13.
Penyiapan wilayah kerja;
14.
Promosi dan penawaran wilayah kerja;
15.
Eksplorasi pencarian cadangan migas baru;
16.
Peningkatan manfaat gas bumi;
17.
Optimalisasi lapangan migas;
18.
Pengelolaan sumber daya alam migas pusat dan daerah;
19.
Pengelolaan data dan informasi migas;
20.
Pemasaran LNG (liquified natural gas) dan CNG
(compressed natural gas);
21.
Penghapusan subsidi BBM;
22.
Pengembangan iklim usaha dan niaga migas; dan
23.
Penelitian dan pengembangan migas.
4. PROGRAM PEMBINAAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL
BATUBARA

DAN

Program ini bertujuan untuk mencapai optimalisasi pemanfaatan
sumber daya mineral dan batubara melalui usaha pertambangan
dengan prinsip good mining practice.
Kegiatan pokoknya antara lain:
1. Penyusunan
regulasi,
pedoman
teknis,
dan
standar
pertambangan mineral dan batubara;
2. Pembinaan dan pengawasan kegiatan penambangan;
3. Pengawasan produksi, pemasaran, dan pengelolaan mineral
dan batubara;
4. Evaluasi perencanaan produksi dan pemasaran mineral dan
batubara;
5. Evaluasi pelaksanaan kebijakan program pengembangan
masyarakat di wilayah pertambangan;
6. Evaluasi, pengawasan, dan penertiban pertambangan tanpa
ijin (PETI);
7. Bimbingan teknis pertambangan;
Bagian IV.32 – 14

Draft 12 Desember 2004
8. Pengelolaan data dan informasi mineral dan batubara;
9. Sosialisasi kebijakan dan regulasi bidang pertambangan;
10.
Peningkatan penggunaan produksi dalam negeri;
11.
Peningkatan nilai tambah hasil pertambangan;
12.
Penelitian dan pengembangan geologi, mineral dan
batubara; serta
13.
Pendidikan dan Pelatihan bidang geologi, teknologi
mineral dan batubara.
5. PROGRAM PERLINDUNGAN

DAN

KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM

Program ini bertujuan untuk melindungi sumber daya alam dari
kerusakan dan mengelola kawasan konservasi yang sudah ada
untuk menjamin kualitas ekosistem agar fungsinya sebagai
penyangga sistem kehidupan dapat terjaga dengan baik.
Kegiatan pokoknya antara lain:
1. Pengkajian kembali kebijakan perlindungan dan konservasi
sumber daya alam;
2. Perlindungan sumber daya alam dari pemanfaatan yang
eksploitatif dan tidak terkendali terutama di kawasan
konservasi dan kawasan lain yang rentan terhadap kerusakan;
3. Pengelolaan dan perlindungan keanekaragaman hayati dari
ancaman kepunahan;
4. Pengembangan sistem insentif dan disinsentif dalam
perlindungan dan konservasi sumber daya alam;
5. Perumusan
mekanisme
pendanaan
bagi
kegiatan
perlindungan dan konservasi sumber daya alam;
6. Pengembangan kemitraan dengan masyarakat setempat, LSM,
dan dunia usaha dalam perlindungan dan pelestarian sumber
daya alam;
7. Pengembangan sistem perlindungan tanaman dan hewan
melalui pengendalian hama, penyakit, dan gulma secara
terpadu yang ramah lingkungan;
8. Peningkatan partisipasi masyarakat dan dunia usaha dalam
perlindungan sumber daya alam;
9. Penyusunan tata-ruang dan zonasi untuk perlindungan
sumber daya alam; dan
10.
Pengembangan hak-paten jenis-jenis keanekaragaman
hayati asli Indonesia dan sertifikasi jenis impor.
6. PROGRAM REHABILITASI
DAYA ALAM

DAN

PEMULIHAN CADANGAN SUMBER

Program ini bertujuan untuk merehabilitasi alam yang telah
rusak dan mempercepat pemulihan cadangan sumber daya alam,

Bagian IV.32 – 15

Draft 12 Desember 2004
sehingga selain berfungsi sebagai penyangga sistem kehidupan juga
memiliki potensi untuk dimanfaatkan secara berkelanjutan.
Kegiatan pokok yang akan dilaksanakan meliputi:
1. Penetapan wilayah prioritas rehabilitasi hutan dan lahan;
2. Peningkatan kapasitas kelembagaan, sarana, dan prasarana
rehabilitasi hutan dan lahan;
3. Perencanaan dan evaluasi pengelolaan DAS prioritas untuk
direhabilitasi;
4. Pengembangan pembibitan bersama masyarakat;
5. Peningkatan efektivitas reboisasi dan penghijauan secara
terpadu;
6. Rehabilitasi ekosistem dan habitat yang rusak di kawasan
hutan, pesisir, perairan, bekas kawasan pertambangan,
disertai pengembangan sistem manajemen pengelolaannya;
7. Pengkayaan atau restocking sumber daya pertanian, kelautan,
dan perikanan;
8. Rehabilitasi daerah hulu untuk menjamin pasokan air irigasi
untuk pertanian; dan
9. Perbaikan dan revitalisasi situ-situ, khususnya di Jabodetabek.
7. PROGRAM PENGEMBANGAN KAPASITAS PENGELOLAAN SUMBER
DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP
Program
ini
bertujuan
untuk
meningkatkan
kapasitas
pengelolaan sumber daya alam dan fungsi lingkungan hidup melalui
tata kelola yang baik (good environmental government)
berdasarkan prinsip transparansi, partisipasi dan akuntabilitas.
Kegiatan pokoknya meliputi:
1. Pengkajian dan analisis instrumen pemanfaatan sumber daya
alam secara berkelanjutan;
2. Peningkatan kapasitas kelembagaan serta aparatur pengelola
sumber daya alam dan lingkungan hidup di pusat dan daerah;
3. Peningkatan peran serta masyarakat dalam pola kemitraan;
4. Pengembangan sistem pengendalian dan pengawasan sumber
daya alam;
5. Pengembangan sistem pendanaan alternatif untuk lingkungan
hidup;
6. Peningkatan koordinasi antar lembaga baik di pusat maupun
di daerah;
7. Penegakan hukum terpadu dan penyelesaian hukum atas
kasus perusakan sumber daya alam dan lingkungan hidup;
8. Penerapan perjanjian internasional yang telah disepakati;
9. Upaya
pembentukan
Komisi
Nasional
Pembangunan
Berkelanjutan;

Bagian IV.32 – 16

Draft 12 Desember 2004
10.
Pendirian
Komisi
Keanekaragaman
Hayati
yang
didahului dengan pendirian sekretariat bersama tim terpadu
keanekaragaman hayati nasional; dan
11.
Penyempurnaan prosedur dan sistem perwakilan
Indonesia dalam berbagai konvensi internasional bidang
lingkungan hidup.
8. PROGRAM PENINGKATAN KUALITAS DAN AKSES
SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP

INFORMASI

Program ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan akses
informasi sumber daya alam dan lingkungan hidup dalam rangka
mendukung perencanaan pemanfaatan sumber daya alam dan
perlindungan fungsi lingkungan hidup.
Kegiatan pokok yang tercakup dalam program ini meliputi:
1. Penyusunan data sumber daya alam baik data potensi maupun
data daya dukung kawasan ekosistem, termasuk di pulaupulau kecil;
2. Pengembangan valuasi sumber daya alam meliputi hutan, air,
pesisir, dan cadangan mineral;
3. Penyusunan neraca sumber daya alam nasional dan neraca
lingkungan hidup;
4. Penyusunan dan penerapan produk domestik bruto hijau (PDB
Hijau);
5. Penyusunan neraca sumber daya hutan (NSDH),
6. Pendataan dan penyelesaian tata-batas hutan dan kawasan
perbatasan dengan negara tetangga;
7. Penyusunan indikator keberhasilan pengelolaan sumber daya
alam dan lingkungan hidup;
8. Penyebaran dan peningkatan akses informasi kepada
masyarakat;
9. Pengembangan sistem informasi dini yang berkaitan dengan
dinamika global dan perubahan kondisi alam, seperti banjir
dan kekeringan;
10.
Pengembangan sistem informasi terpadu antara sistem
jaringan pemantauan kualitas lingkungan hidup nasional dan
daerah; dan
11.
Sosialisasi
hasil
konvensi
internasional
bidang
lingkungan kepada para pengambil keputusan di tingkat
nasional dan daerah.
9. PROGRAM PENGENDALIAN PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP
Program ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas lingkungan
hidup dalam upaya mencegah perusakan dan/atau pencemaran
lingkungan hidup baik di darat, perairan tawar dan laut, maupun
Bagian IV.32 – 17

Draft 12 Desember 2004
udara sehingga masyarakat memperoleh kualitas lingkungan hidup
yang bersih dan sehat.
Kegiatan pokok yang tercakup dalam program ini meliputi:
1. Pemantauan kualitas udara dan badan air secara kontinyu dan
terkoordinasi antar daerah dan antar sektor;
2. Peningkatan fasilitas laboratorium lingkungan di tingkat
propinsi;
3. Penyelesaian kasus pencemaran lingkungan secara hukum;
4. Penggunaan bahan bakar ramah lingkungan di sektor
transportasi dan energi dalam upaya mengurangi polusi udara
perkotaan;
5. Sosialisasi penggunaan teknologi bersih dan eko-efisiensi di
berbagai kegiatan manufaktur dan transportasi;
6. Perbaikan sistem perdagangan dan impor bahan perusak ozon
(ODS) hingga akhir tahun 2007 dan menghapuskan ODS pada
tahun 2010;
7. Pengkajian mendalam terhadap dampak perubahan iklim
global pada sektor-sektor tertentu;
8. Adaptasi dampak perubahan iklim pada rencana strategis
sektor maupun rencana pembangunan daerah;
9. Peningkatan produksi dan penggunaan pupuk kompos yang
berasal dari sampah perkotaan;
10.
Peningkatan peran sektor informal khususnya pemulung
dan lapak dalam upaya pemisahan sampah dan 3R;
11.
Pengkajian pendirian perusahaan TPA regional di
beberapa kota besar, khususnya Jabodetabek dan Bandung;
12.
Upaya pendirian satu fasilitas pengelola B3 baru;
13.
Pengembangan sistem insentif dan disinsentif terhadap
kegiatan-kegiatan yang berpotensi mencemari lingkungan
seperti industri dan pertambangan;
14.
Penetapan dana alokasi khusus (DAK) sebagai
kompensasi daerah yang memiliki dan menjaga kawasan
lindung;
15.
Pengintegrasian biaya-biaya lingkungan ke dalam biaya
produksi termasuk pengembangan pajak-progesif dalam
pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup;
16.
Pengembangan teknologi yang berwawasan lingkungan,
termasuk teknologi tradisional dalam pengelolaan sumber
daya alam, pengelolaan limbah, dan teknologi industri yang
ramah lingkungan; serta
17.
Perumusan aturan dan mekanisme pelaksanaan tentang
alternatif pendanaan lingkungan seperti DNS (debt for nature
swap), CDM (Clean Development Mechanism), retribusi
lingkungan, dan sebagainya.

Bagian IV.32 – 18