EVALUASI LAHAN DAERAH TANGKAPAN HUJAN DA

EVALUASI LAHAN DAERAH TANGKAPAN HUJAN DANAU TOBA
SEBAGAI DASAR PERENCANAAN TATA GUNA LAHAN
UNTUK PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
M A K A LA H
INGRID OVIE YOSEPHINE
12/342332/PPN/03771
ILMU TANAH

SEKOLAH PASCASARJANA
PROGRAM STUDI ILMU TANAH
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GAJAH MADA
YOGYAKARTA
2014

EVALUASI LAHAN DAERAH TANGKAPAN HUJAN DANAU TOBA
SEBAGAI DASAR PERENCANAAN TATA GUNA LAHAN
UNTUK PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

PENDAHULUAN
Danau Toba dengan luas permukaan 800 kilometer persegi merupakan

danau terluas di Asia. Dengan cepatnya pembukaan lahan untuk pertanian dan
hutan tanaman industri, berpotensi untuk terjadinya konflik penggunaan lahan.
Oleh

sebab itu diperlukan evaluasi lahan agar pengembangan lahan dan

manajemen hutan dapat berjalan dengan baik
Pengembangan lahan merupakan proses penting dalam perubahan suatu
penggunaan lahan ke penggunaan lainnya. Batasan pengembangan lahan sangat
luas karena termasuk di dalamnya beberapa kegiatan seperti konversi lahan hutan
menjadi lahan pertanian intensif dan pemukiman. Dewberry (1996) menyatakan
bahwa

desain

pengembangan

lahan

merupakan


proses

sistematik

dari

pengumpulan data, studi, ekstrapolasi data dan analisis agar didapatkan hasil yang
lebih baik.
Evaluasi lahan merupakan suatu proses analisis untuk mengetahui potensi
lahan untuk penggunaan tertentu yang berguna untuk membantu perencanaan
penggunaan dan pengelolaan lahan. Evaluasi lahan meliputi interpretasi data fisik
kimia

tanah,

potensi

penggunaan


lahan

sekarang

dan

sebelumnya

(Jones et al., 1990), yang bertujuan untuk memecahkan masalah jangka panjang
terhadap penurunan kualitas lahan yang disebabkan oleh pengunaannya saat ini,
memperhitungkan dampak penggunaan lahan, merumuskan alternatif penggunaan
lahan

dan

mendapatkan

cara

pengelolaan


yang

lebih

baik

(Sys, 1985; Rossiter, 1994).
Leuschner (1984) menyatakan bahwa pengelolaan lahan dan hutan
merupakan hasil integral dari seluruh komponen lingkungan baik fisik, kimia,

biologi sosial dan ekonomi yang mempengaruhi kepututusan perencanaan
penggunaan lahan dengan mempertimbangkan kerusakan lingkungan dan
konservasi lahan.
Konservasi lahan tidaklah bermaksud untuk tidak menggunakan lahan
tetapi memanfaatkan lahan sebaik mungkin sehingga resiko terhadap kerusakan
lahan seminimal mungkin (Margules and Pressey, 2000). Penggunaan lahan tanpa
memperhatikan faktor kerusakan lingkungan akan menyebabkan kehilangan
hutan, pertukaran iklim, erosi tanah dan banjir (Pearce, 2000).
Saat ini pembangunan berkelanjutan sudah menjadi konsep dasar untuk

pengelolaan lahan baik lahan pertanian, kehutanan dan pemukiman agar diperoleh
kualitas hidup yang lebih baik (TAG, 1988), walaupun metoda tentang
pembangunan

berkelanjutan

tersebut

belum

sepenuhnya

difahami

(Fresco et al., 1994).
Menurut Tzschupke (1998), kata berkelanjutan (Sustainability) pertama
sekali ditulis oleh seorang Jerman Hanns von Carlowiz dalam “Sylvicultura
oeconomica” pada tahun 1713 yang beberapa dekade kemudian menjadi dasar
manajemen sumberdaya alam. Sekarang ini pengertian berkelanjutan mengikuti
batasan yang dibuat oleh Bruntland Commission dalam laporannya kepada

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yaitu Pembangunan yang memenuhi
kebutuhan saat ini tanpa mengurangi kebutuhan generasi yang akan datang.

2. Perencanaan Penggunaan Lahan dan Evaluasi Lahan

Konsep lahan haruslah tidak disamakan dengan tanah. Dalam pengertian
lahan sudah termasuk tanah dengan segala sifat-sifatnya serta keadaan lingkungan
sekitarnya. Jika sifat-sifat tersebut sama dalam segala aspek dikatakan
unitlahan(Drissen and Koninj, 1992). Unit lahan ini biasanya dipetakan dengan
karakteristik yang spesifik dan merupakan dasar untuk mengevaluasi lahan
(FAO, 1976; 1983).
Tujuan utama mendefenisikan unit lahan adalah agar diperoleh hasil
maksimal dalam penilaian kesesuaian lahan untuk penggunaan tertentu dan
mendapatkan cara yang tepat dalam pengelolaannya (FAO, 1983). Untuk
mendeskripsikan unit lahan haruslah merujuk kepada karakteristik lahan seperti
kemiringan lahan, ketersediaan air dan sifat-sifat fisik dan kimia tanah
(Nasution, 1989).
Menurut FAO (1985) perencanaan penggunaan lahan merupakan penilaian
yang sistematik terhadap lahan untuk mendapatkan alternatif penggunaan lahan
dan memperoleh opsi yang terbaik dalam memanfaatkan lahan agar terpenuhi

kebutuhan manusia dengan tetap menjaga agar lahan tetap dapat digunakan pada
masa yang akan datang. Sedangkan evaluasi lahan merupakan penilaian terhadap
lahan untuk penggunaan tertentu.
2.1.Konsep Dasar dan Perkembangan Evaluasi Lahan
Dent and Young (1987) menyatakan bahwa evaluasi lahan suatu proses
untuk memprakirakan potensi lahan untuk penggunaan tertentu termasuk
didalamnya penggunaan lahan untuk tanaman pangan, perkebunan, daerah turis,
pemukiman dan daerah konservasi. Dengan demikian dalam mengevaluasi lahan
diperlukan banyak ahli dalam bidangnya masing-masing, sebagai contoh dalam

evaluasi lahan untuk pertanian memerlukan ahli dalam bidang tanah, agronomi,
hidrologi, biologi dan ekologi yang dibentuk menjadi satu tim yang akan
mengambil keputusan dalam menentukan kesesuaian lahan (Nasution, 2003).Hasil
dari evaluasi lahan merupakan dasar bagi pengambil keputusan untuk menetapkan
penggunaan lahan dan pengelolaan (management) yang dperlukan.
Kesesuaian lahan untuk penggunaan tertentu biasanya dievaluasi dengan
menggunakan karakteristik lahan atau kualitas lahan. Karakteristik lahan
merupakan kelengkapan lahan itu sendiri, yang dapat dihitung atau diperkirakan
seperti curah hujan, tekstur tanah dan ketersediaan air, sedangkan kualitas lahan
lebih merupakan sifat tanah yang lebih kompleks, seperti kesesuaian kelembaban

tanah, ketahanan terhadap erosi dan bahaya banjir (FAO, 1977).
Beberapa sistem evaluasi lahan (Klingebiel and Montgomery, 1976; Chan
et al., 1975) menyarankan klasifikasi berdasarkan jumlah dan tingkat keragaman
dan faktor penghambat produksi. The FAO Framework for Land Evaluation tidak
dimaksudkan untuk mengevaluasi lahan secara parametrik (Purnell, 1977). Hal ini
disebabkan oleh kesulitan untuk mendapatkan kesepakatan terhadap kriteria yang
akan digunakan dalam evaluasi, tetapi bukan berarti FAO Framework tidak dapat
digunakan untuk pendekatan parametriks hanya perlu pengembangan pada
parameter yang akan digunakan.
Keunggulan sistem parametriks ini tidak saja menghitung klas kesesuaian
lahan berdasarkan sifat-sifat tanah saja akan tetapi memperhitungkan seluruh
faktor iklim dan memetakannya dalam satu peta kesesuaian lahan.
Dalam penilaian parametriks, data iklim dibagi menjadi empat kelompok
yaitu karakteristik iklim yang berhubungan dengan 1) curah hujan, 2) Suhu, 3)

Kelembaban udara dan 4) Sinar mata hari. Untuk menghitung indeks iklim
digunakan persamaan:

dengan:


CI = indeks iklim
Ri = rating ke dari karakteristik iklim
k = jumlah karakteristik iklim
Π = simbol matematika untuk perkalian.

Indeks yang diperoleh dikonversikan ke dalam seluruh rating iklim dengan
persamaan empiris (Nasution, 2003): CR = 13,999 + 0,897 CI r = 0,99. Nilai
inilah yang digunakan untuk evaluasi lahan dengan menggabungkannya dengan
indeks lahan.
Metoda yang digunakan untuk mengevaluasi lahan untuk penggunaan
tertentu

telah

mengalami

perkembangan

sesuai


dengan

perkembangan

keilmuandan analisis terhadap hasil dari evaluasi itu sendiri.
Sejak tahun 1930-an Storie telah membuat penilaian terhadap lahan untuk
pengembangan pertanian (Storie, 1954). Konsep dasar dari penilaian ini
didasarkan pada perkalian karakteristik lahan yang mempengaruhi pertumbuhan
tanaman

yang

dihitung

dalam

persen.

Penilaian


(Storie Index Rating) dengan persamaan :
SIR = A x B x C

A = Karakteristik profil tanah

ini

dinamakan

SIR

B = tekstur permukaan tanah
C = faktor-faktor yang mempengaruhi (seperti drainase, kemiringan lahan
dan kemasaman tanah
Ablaiter (1937) telah mengemukakan suatu alternatif untuk mengevaluasi
lahan secara parametriks. Beliau mengelompokkan tanah menjadi 10 kelompok
berdasarkan indeks tanaman. Standar penilaian diberikan nilai 100 untuk
lahan-lahan yang sangat produktif untuk hasil tanaman tertentu. Kemudian lahan
yang dinilai didasarkan atas hasilnya dalam persen terhadap standar hasil yang
mungkin diperoleh secara maksimal.
Selanjutnya Fitzpatrick (1937) menilai tanah untuk tanaman tertentu
menurut hasil (produksi). Produksi rata-rata tahunan tertinggi diberi nilai 100 dan
yang gagal panen dinilai 0, dari sini persamaan linier sederhana digunakan untuk
mengkonversi nilai lahan yang dievalusi.
Pada tahun 1948, Storie mengemukakan suatu “Rating Chart” berdasarkan
penilainan terhadap tanah kemudian ternyata sangat penting untuk menilai
pertumbuhan kayu (timber). Sebagai tambahan penilaian ini juga telah
memperhitungkan faktor iklim (Storie and Wieslander, 1948). Selanjutnya Storie
and Harradine (1950) menilai tanah untukproduksi hutan kayu berdasarkan
produksi kayu, sedangkan untuk jenis kayu yang belum diketahui (belum ada
data) berapa produksi maksimal yang dapat diperoleh evaluasinya didasarkan atas
penilaian terhadap karakteristik tanah dan iklim dan dinilai menurut Indeks Storie.
Mitchell (1950) pertama sekali mengemukakan suatu tabulasi cara
penilaian produksi tanah pada suatu areal. Penilaian ini harus merujuk kepada
salah satu tanaman utama yang ditanam pada areal tersebut. Clarke (1950)

mengembangkan Indeks Produksi berdasarkan atas formula perkalian yang
sederhana dari data percobaan di lapangan. Formula ini dikembangkan atas dasar
asumsi ciri sifat fisik tanah yang sangat mempengaruhi produktifitas yaitu:
tekstur, ke dalam tanah dan kondisi drainase. Sedangkan Blagovidove (1960)
menghasilkan tabel evalusi produksi dimana penilaian berdasarkan penjumlahan
dari nilai sifat tanah.
Storie (1964) mengklasifikasikan lahan menurut kesesuaiannya untuk
pertanian beririgasi ke dalam 6 tingkatan (I s/d VI) dengan menggunakan Storie
Rating Index dengan menghitung 10 (sepuluh) karakteristik tanah yang terpenting
yaitu: kedalaman tanah, permeabilitasprofil tanah, tekstur, kemiringan, drainase,
kegaraman atau alkalinitas, pH, kondisi erosi, nutrisi tanah dan relif mikro.
Riquier et al.(1970) mengusulkan suatu indeks untuk produktifitas tanah
dengan hanya mempertimbangkan 9 karakteristik tanah yaitu kedalaman efektif
tanah, tekstur dan struktur tanah, kejenuhan basa, kelarutan garam-garam,
kandungan bahan organik, kapasitas tukar kation mineral liat, cadangan mineral,
drainase dan kelembaban tanah.
Riquier (1974) menekankan bahwa metoda parametriks terdiri dari tiga
komponen yaitu: 1) Evaluasi secara terpisah terhadap ciri-ciri tanah sesuai dengan
kepentingannya,

2)

Mengkombinasikan

secara

numerik

sesuai

kaedah

matematika, dengan tidak melupakan hubunganantar faktor dan 3) Indeks akhir
digunakan untuk membuat tingkatan (rank) lahan untuk tujuan penggunaannya.
Sedangkan Allgood and Gray (1978) telah menggunakan dua metoda untuk
menentukan Indeks Produksi Tanaman yaitu: 1) Model sifat tanah, yang
didasarkan atas tanggap tanaman terhadap sifat dan ciri tanah dan 2) Model

klasifikasi tanah, yang didasarkan atas diagnosa terhadap karakteristik tanah,
klasifikasi tanah dan dapat digunakan untuk memprakirakan indek produksi.
Kedua model ini telah menggunakan model “multiple regression” untuk
memprakirakan hasil atauproduksi tanaman.
Dalam sistem parametriks, kriteria diagnosa dinilai secara numerik dan
klasifikasi kesesuaian lahan didapatkan dengan perhitungan matematika
(Require and Schwarz, 1972). Bertentangan dengan pendapat Purnell, pendekatan
parametriks telah sukses digunakan untuk mengevaluasi lahan untuk pertanian
secara umum (Requer et al., 1970) termasuk pengembangannya di daerah arid dan
semi arid (Sys and Verheye, 1972) dan telah dicobakan untuk daerah tropika
(Sys nad Fankart, 1972; Sys, 1978, Nasution, 1989; Nasution 2003).
2.2.Prinsip-prinsip Evaluasi Lahan
Dasar prinsip dari kerangka kerja evalusi lahan adalah : 1) Kesesuaian
lahan dinilai dan diklasifikasikan sesuai dengan penggunaan lahan yang
direncanakan, 2) Evaluasi memerlukan suatu perbandingan antara keuntungan
yang akan diperoleh dan masukan yang diberikan terhadap lahan, 3) Pendekatan
multi disiplin 4) Evalusi dilaksanakan dengan pertimbangan berbagai faktor fisik,
kimia tanah, ekonomi dan sosial, 5) Kesesuaian telah memperhitungkan
keberlanjutan penggunaan lahan dan 6) Evaluasi meliputi berbagai pilihan
penggunaan lahan
2.3.Struktur Klasifikasi Kesesuaian Lahan
Klasifikasi terdiri dari 4 katagori (FAO, 1976): 1) Ordo kesesuian lahan,
menunjukkan kesesuaian lahan yang dinilai, 2) Klas kesesuaian lahan,

menunjukkan tingkat kesesuaian dalam ordo, 3) Sub klas kesesuaianmenunjukkan
faktor pembatas yang ada pada lahan tersebut dan merupakan faktor yang harus
dikelola dan 4) Unit kesesuaian lahan, menunjukkan perbedaan-perbedaan kecil
dalam sub klas terutama berdasakan manajemen yang diperlukan.
Ordo kesesuaian tersebut dibagi menjadi dua bagian yaitu Sesuai (S) dan
Tidak sesuai (N). Walaupun tidak ada pembatasan terhadap jumlah klas dalam
satu ordo, telah direkomendasikan hanya menggunakan tiga klas untuk “S” dan
dua klas untuk “N” (FAO, 1976; Mc Rae and Burnham, 1981; Drissen and
Koninj, 1992). Struktur klasifikasi ini seperti tertera pada Tabel 1.
S1
S (Sesuai)

S2
S3

S2m

S2e-1

S2e

S2e-2

S2me

Etc

Etc

N1m
N (Tidak Sesuai)

N1

N1e
dll

N2

Ordo S (Sesuai): satuan lahan yang menunjukkan bahwa tidak terdapat
faktor pembatas baik ringan maupun sedang dalam pemanfaatan lahan. Nilai
Indeks lahan biasanya > 25. Terdapat tiga klas untuk ordo ini yaitu S1 (Sangat

sesuai): adalah satuan lahan dengan tanpa, atau hanya tiga sampai empat faktor
pembatas ”ringan”, Indeks lahan biasanya > 75. S2 (Kesesuaian sedang): satuan
lahan dengan lebih dari empat faktor pembatas ”ringan”; dan atau lebih dari saru
sampai tiga faktor pembatas ”sedang”; Nilai Indeks lahan antara 50 dan 75. S3
(Kesesuaian marginal): Satuanlahan dengan lebih dari dua sampai tiga faktor
pembatas ”sedang” dan/atau tidak terdapat faktor pembatas ”berat” sehingga lahan
masih dapat digunakan. Nilai Indeks lahan antara 25 dan 50.
Ordo N (tidak sesuai): satuan lahan dengan beberapa faktor pembatas
”berat” dan/atau mempunyai satu faktor pembatas ”sangat berat” sehingga lahan
tidak dapat dimanfaatkan. Nilai Indeks lahan < 25. Satuan lahan ini mempunyai
dua Klas yaitu N1: satuan lahan yang masih dapat digunakan setelah perbaikan
(diberikan beberapa Input) dan N2: satuan lahan yang tidak dapat dimanfaatkan
lagi walaupun telah dilakukan perbaikan.
Tabel 2 menunjukkan Ordo, Sub Ordo dan Klas kesesuaian lahan berdasarkan
jumah dan tingkat faktor pembatas.
Ordo
S
N

Klas
S1
S2
S3
N1
N2

1
+
+
+
+
+

2
3-4
>4
+
+
+

Tingkat Pembatas
3
4
0
0
1-3
0
2-3
1
+
>1
+
>1*

+: beragam
*: tidak dapat diperbaiki

2.4. Perhitungan Indeks Lahan (Land Index)

Nilai
5
0
0
0
0
≥1*

≥75
50-