PPD 08 PPD 08 | Berbagi itu Indah

BAB VIII
PERKEMBANGAN MORAL-SPIRITUAL

TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari perkembangan moral-spiritual, mahasiswa mampu:
1. menjelaskan pengertian moral;
2. mendeskripsikan faktor perkembangan moral;
3. menjelaskan proses perkembangan moral;
4. menjelaskan pengertian perkembangan spiritual-agama;
5. mendeskripsikan faktor perkembangan spritual-agama

PEMBAHASAN
A. Perkembangan Moral
1. Pengertian Moral
Istilah moral berasal dari kata Latin “mos” (Morsis), yang berarti adat
istiadat, kebiasaan, peraturan/nilai-nilai atau tatacara kehidupan.

Sedangkan

moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilainilai atau prinsip-prinsip moral. Nilai-nilai moral itu, seperti (a) seruan untuk
berbuat baik kepada orang lain, memelihara ketertiban dan keamanan, memelihara

kebersihan dan memelihara hak orang lain, dan (b) larangan mencuri, berzina,
membunuh, meminum minuman keras dan berjudi. Seseorang dapat dikatakan
bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral yang
dijunjung tinggi oleh kelompok sosialnya.

175

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Moral
Perkembangan moral seorang anak banyak dipengaruhi oleh lingkungannya. Anak
memperoleh nilai-nilai moral dari lingkungannya, tertutama dari orangtuanya. Dia
belajar untuk mengenal nilai-nilai dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai tersebut.
Dalam mengembangkan moral anak, peranan orangtua sangatlah penting, terutama
pada waktu anak masih kecil. Beberapa sikap orangtua yang perlu diperhatikan
sehubungan dengan perkembangan moral anak, di antaranya sebagai berikut.
a.

Konsisten dalam mendidik anak dilarang
Ayah dan ibu harus memiliki sikap dan perlakuan yang sama dan melarang atau
membolehkan tingkah laku tertentu kepada anak. Suatu tingkah laku anak yang
dilarang oleh orangtua pada suatu waktu, harus juga dilarang apabila dilakukan

kembali pada waktu lain.

b. Sikap orangtua dalam keluarga
Secara tidak langsung, sikap orangtua terhadap anak, sikap ayah terhadap ibu,
atau sebaliknya, dapat mempengaruhi perkembangan moral anak, yaitu melalui
proses peniruan (imitasi). Sikap orangtua yang keras (otoriter) cenderung
melahirkan sikap disiplin semu pada anak, sedangkan sikap yang acuh tak acuh,
atau sikap masa bodoh, cenderung mengembangkan sikap kurang bertanggung
jawab dan kurang mempedulikan norma pada diri anak. Sikap yang sebaiknya
dimiliki oleh orangtua adalah sikap kasih sayang, keterbukaan, musyawarah
(dialogis), dan konsisten.
c. Penghayatan dan pengamalan agama yang dianut
Orangtua merupakan panutan (teladan) bagi anak, termasuk di sini panutan
dalam mengamalkan ajaran agama. Orangtua yang menciptakan iklim religius
(agamis), dengan cara membersihkan ajaran atau bimbingan tentang nilai-nilai
agama kepada anak, maka anak akan mengalami perkembangan moral yang
baik.

176


d. Sikap konsisten orangtua dalam menerapkan norma
Orangtua yang tidak menghendaki anaknya berbohong, atau berlaku tidak jujur,
maka mereka harus menjauhkan dirinya dari perilaku berbohong atau tidak
jujur. Apabila orangtua mengajarkan kepada anak, agar berperilaku jujur,
bertutur kata yang sopan, bertanggungjawab atau taat beragama, tetapi orangtua
sendiri menampilkan perilaku yang sebaliknya, maka anak akan mengalami
konflik

pada

dirinya,

dan

akan

menggunakan

ketidak


konsistenan

(ketidakajegan) orangtua itu sebagai alasan untuk tidak melakukan apa yang
diinginkan oleh orangtuanya, bahkan mungkin dia akan berparilaku seperti
orangtuanya.
3. Proses Perkembangan Moral
Perkembangan moral anak dapat berlangsung melalui beberapa cara, sebagai
berikut:
1. Pendidikan langsung, yaitu melalui penanaman pengertian tentang tingkah laku
yang benar dan salah, atau baik dan buruk oleh orangtua, guru atau orang
dewasa lainnya. Di samping itu, yang paling penting dalam pendidikan moral
ini, adalah keteladanan dari orangtua, guru atau orang dewasa lainnya dalam
melakukan nilai-nilai moral
2. Identifikasi, yaitu dengan cara mengidentifikasi atau meniru penampilan atau
tingkah laku moral seseorang yang menjadi idolanya (seperti orangtua, guru,
kyai, artis atau orang dewasa lainnya)
3. Proses coba-coba (trial & error), yaitu dengan cara mengembangkan tingkah
laku moral secara coba-coba. Tingkah laku yang mendatangkan pujian atau
penghargaan akan terus dikembangkan, sementara tingkah laku yang
mendatangkan hukuman atau celaan akan dihentikannya.

Dalam membahas proses perkembangan moral ini, Lawrence Kohrelg
(Ronald Duska dan Mariellen Whelan, dalam Dwija Atmaka, 1984; Abin

177

Syamsuddin M., 1999) mengklasifikasikannya ke dalam tiga tingkat, yaitu sebagai
berikut.
Tingkatan Perkembangan Moral
Tingkat (level)
I. Pra Konvensional
Pada tahap ini, anak mengenal baikburuk, benar-salah suatu perbuatan
dari sudut konsekuensi (dampak/
akibat) menyenangkan (ganjaran) atau
menyakiti (hukuman) secara fisik, atau
enak tidaknya akibat perbuatan yang
diterima.

Tahap (stages)
1.Orientasi Hukuman dan Kepatuhan
Anak menilai baik-buruk, atau benarsalah dari sudut dampak (hukuman

atau ganjaran) yang diterimanya dari
yang mempunyai otoritas (yang
membuat aturan), baik orangtua atau
orang dewasa lainnya. Di sini anak
mematuhi aturan orangtua agar
terhindari dari hukuman.
2. Orientasi relativis-Instrumental
Perubahan yang baik/benar adalah
yang berfungsi sebagai instrumen
(alat) untuk memenuhi kebutuhan atau
kepuasan diri.
Dalam hal ini
hubungan
dengan orang lain
dipandang sebagai hubungan orang di
pasar (hubungan jual-beli). Dalam
melakukan atau memberikan sesuatu
kepada orang lain, bukan rasa terima
kasih atau sebagai curahan kasih
sayang, tetapi bersifat pamrih

(keinginan mendapatkan balasan):
“Jika kau memberiku aku akan
memberimu”

II. Konvensioanal

3.Orientasi Kesepakatan antarpribadi, atau Orientai Anak Manis
Pada tingkat ini, anak memandang
(Good boy/gerl)
perbuatan itu baik/benar, atau berharga
bagi dirinya apabila dapat memenuhi
Anak memandang suatu perbuatan itu
harapan/persetujuan keluarga, kelombaik, atau berharga baginya apabila
pok, atau bangsa. Di sini berkembang
dapat menyenangkan, membantu, atau
sikap konformitas, loyalitas, atau
disetujui/diterima orang lain.
penyesuaian diri terhadap keinginan
kelompok
atau

aturan
sosial
masyarakat.

178

Tingkat (level)

Tahap (stage)

4. Orientasi Hukum dan Ketertiban
Perilaku
yang
baik
adalah
melaksanakan atau menunaikan
tugas/kewajiban
sendiri,
menghormati
otoritas,

dan
memelihara ketertiban sosial.
III. Pasca-Konvensioanal
Orientasi
Kelompok
Sosial
Pada tingkat ini ada usaha individu 5.
Legalistik
untuk mengartikan nilai-nilai atau
prinsip-prinsip moral yang dapat
Perbuatan atau tindakan yang baik
diterapkan
atau
dilaksanakan
cenderung
dirumuskan
dalam
terlepas dari otoritas kelompok,
kerangka hak-hak individual yang
pendukung, atau orang yang

umum, dan dari segi aturan atau
memegang/
menganut
prinsippatokan yang telah diuji secara kritis,
prinsip moral tersebut. Juga terlepas
serta disepakati oleh seluruh
apakah individu yang bersangkutan
masyarakat.
Dengan demikian,
kelompok itu atau tidak
perbuatan yang baik itu adalah yang
sesuai dengan perundang-undangan
yang berlaku
6.

Orientasi Prinsip Etika Universal
Kebenaran
ditentukan
oleh
keputusan kata hati, sesuai dengan

prinsip-prinsip etika yang logis,
universalitas,
dan
konsistensi.
Prinsip-prinsip etika universalitas ini
bersifat abstrak, seperti keadilan,
kesamaan hak asasi manusia, dan
penghormatan kepada martabat
manusia.

2). Lingkungan Sekolah
Sekolah merupakan lembaga pendidikan yang formal yang mempunyai program
yang sistemik dalam melaksanakan bimbingan, pengajaran dan latihan kepada anak
(siswa) agar mereka berkembang sesuai dengan potensinya.

179

Menurut Hurlock (1991) pengaruh sekolah terhadap perkembangan
kepribadian anak sangat besar, karena sekolah merupakan subsitusi dari keluarga
dan guru-guru subsitusi dari orangtua.
Dalam kaitannya dengan upaya mengembangkan fitrah beragama para
siswa, maka sekolah, terutama dalam hal ini guru agama mempunyai peranan yang
sangat penting dalam mengembangkan wawasan pemahaman, pembiasaan
mengamalkan ibadah atau akhlak mulia dan sikap aprsesiatif terhadap ajaran
agama.
Agar dapat melaksanakan tugas tersebut di atas, maka guru agama dituntut
untuk memiliki karakteristik sebagai berikut:
a)

Kepribadian yang mantap (akhlak mulia), seperti: jujur, bertanggung jawab,
berkomitmen terhadap tugas, disiplin dalam bekerja, kreatif, dan respek
terhadap siswa.

b) Menguasai disiplin ilmu dalam Bidang Studi Pendidikan Agama Islam. Guru
agama memiliki pemahaman yang memadai tentang bidang studi yang
diajarkan, minimal materi-materi yang berkandung dalam kurikulum.
c) Memahami ilmu-ilmu lain yang revelan atau menunjang kemampuannya dalam
mengelola proses belajar-mengajar, seperti psikologi pendidikan, bimbingan dan
konseling, metodologi pengajaran, administrasi pendidikan, teknik evsluasi dan
psikologi agama.
Di samping itu, perlu juga memahami ilmu-ilmu yang menunjang terhadap
perluasan wawasan dalam menjelaskan materi pelajaran kepada siswa, seperti
sosiologi, antropologi, kependudukan dan kesehatan.
Faktor lainnya yang menunjang perkembangan fitrah beragama siswa adalah:
1) Kepedulian kepala sekolah, guru-guru dan staf sekolah lainnya terhadap
pelaksanaan pendidikan agama (penanaman nilai-nilai agama) di sekolah, baik
melalui pemberian contoh dalam bertutur kata, berperilaku dan berpakaian yang

180

sesuai dengan ajaran agama Islam. Yang tidak kalah penting lagi adalah upaya
guru bidang studi umum menyisipkan nilai-nilai agama dalam mata pelajaran
yang diajarkannya.
2) Tersedianya sarana ibadah yang memadai dan memfungsikannya secara optimal.
3) Penyelenggaraan kegiatan ekstrakurikuler kerohanian bagi para siswa dan
ceramah-ceramah atau diskusi keagamaan secara rutin.

3). Lingkungan Masyarakat
Yang dimaksud lingkungan masyarakat di sini adalah situasi atau kondisi interaksi
sosial dan sosiokultural yang secara potensial berpengaruh terhadap perkembangan
fitrah beragama atau kesadaran beragama individu. Dalam masyarakat, individu
(terutama anak-anak dan remaja) akan melakukan interaksi sosial dengan teman
sebayanya atau anggota masyarakat lainnya. Apabila teman sepergaulan itu
menampilkan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai agama (berakhlak naik), maka
anak remaja pun cenderung akan berakhlak baik. Namun, apabila temannya
menampilkan perilaku yang kurang baik, amoral atau melanggar norma-norma
agama, maka anak akan cenderung terpengaruh untuk mengikuti atau mencontoh
perilaku tersebut. Hal ini akan terjadi apabila anak atau remaja kurang mendapatkan
bimbingan agama dalam keluarganya.
Mengenai dominannya pengaruh kelompok teman sepergaulan ini, Hurlock
(1991) mengemukakan, bahwa “Standar atau aturan-aturan ‘gang’ (kelompok
bermain) memberikan pengaruh terhadap moral dan tingkah laku bagi para
anggotanya”. Corak perilaku anak atau remaja merupakan cermin dari corak atau
perilaku warga masyarakat (orang dewasa) pada umumnya. Oleh karena itu, di sini
dapat dikemukakan bahwa kualitas perilaku atau pribadi orang dewasa atau warga
masyarakat.

181

Kualitas pribadi atau perilaku orang dewasa yang kondusif
bagiperkembangan kesadaran beragama anak (remaja) adalah (a) taat melaksanakan
kewajiban agama, seperti ibadah ritual, menjalin persaudaraan, saling menolong,
dan bersikap jujur; (b) menghindari diri dari sikap dan perilaku yang dilarang
agama, seperti: sikap permusuhan, saling curiga, munafik, mengambil hak orang
lain (mencuri, korupsi, dan sebagainya) dan perilaku maksiat lainnya (berzina,
berjudi, dan meminum minuman keras). Sedangkan lingkungan masyarakat yang
tidak kondusif ditandai oleh karakteristik berikut:
Gaya hidup yang materialistik dan hidonistik, yaitu mendewakan materi dan
hidupnya sangat berorientasi untuk meraih kenikmatan. Sikap hidup seperti
ini cenderung menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan atau
keinginannya.
Sikap dan perilaku warga masyarakat yang melecehkan norma agama.
Masyarakat baik yang memegang kekuasaan ataupun masyarakat biasa
bersikap acuh terhadap kemaksiatan yang merajalela dalam masyarakat,
bahkan ikut mendukung terhadap tumbuh suburnya kemaksiatan tersebut,
seperti memberi izin berdirinya tempat-tempat hiburan malam (dugem),
pabrik minuman keras, menjual minuman keras, pemasangan iklan atau
pemutaran film-film porno (baik di bioskop maupun di televisi).

C. Teori Perkembangan Moral
Ada sejumlah pandangan dari kalangan ahli psikologi pendidikan mengenai
perkembangan moral. Setidak-tidaknya dapat diperhatikan teori disequilibrium
kognitif Piaget, perkembangan moral menurut Erickson, dan gagasan Kohlberg
mengenai perkembangan moral. Pada bagian ini hanya akan dikemukakan satu cara
pandang psikologi atas perkembangan moral sebagaimana dikemukakan oleh
Lawrence Kohlberg.

182

Kohlberg mengembangkan gagasannya mengenai perkembangan moral
melalui penelitian terhadap individu-individu dari berbagai usia. Terhadap setiap
orang, ia mengajukan ceritera dan disertai dengan pertanyaan-pertanyaan terhadap
ceritera tersebut. Atas dasar jawaban orang-orang yang diteliti, Kohlberg
menyimpulkan adanya tiga tingkatan perkembangan moral manusia. Mengenai
perkembangan moral, dia yakin bahwa perkembangan yang baik terjadi manakala
perilaku manusia mengalami perubahan-perubahan dari perilaku yang dikontrol dari
luar diri (orang lain) menuju ke perilaku yang dikontrol secara internal oleh si
pelaku moral. Ketiga tingkatan tersebut adalah : Penalaran praskonvensional,
penalaran konvensional, dan penalaran postkonvensional.
Penalaran prakonvensional.

Pada tingkatan terendah ini individu tidak

menunjukkan adanya internalisasi nilai-nilai moral–penalaran moral dikendalikan
oleh faktor internal, yakni hadiah, pujian, tepukan bahu, atau sebaliknya berupa
cacian, makian, kritik, hukuman. Pada tingkatan yang paling dasar ini dipilah
menjadi dua tahap, yaitu :
Tahap 1 : punishment and obedience orientation. Pada tahap orientasi hukuman dan
kepatuhan ini pemikiran moral didasarkan pada hukuman. Sebagai contoh,
seseorang menjadi berperilaku patuh, karena takut kalau-kalau hukuman menimpa
dirinya. Agar tidak dihukum oleh ayahnya, seseorang anak atau remaja menurut
patuh terhadap perintah orang tuanya walaupun ia tidak senang.
Tahap 2 : individualism and purpose. Pada tahap individualisme dan tujuan ini
perkembangan moral lebih berdasar pada hadiah dan minat pribadi anak atau
remaja. Anak atau remaja menjadi patuh karena dia berharap akan mendapatkan
sesuatu yang menyenangkan setelah dia menjalankan perilaku patuh.
Penalaran konvensional. Pada tingkatan yang kedua ini, individu
melakukan kepatuhan berdasarkan standar pribadi yang diperoleh atau yang

183

diinternalisasi dari lingkungan atau orang lain. Misalnya anak patuh karena ia telah
menginternalisasi hukum yang berlaku atau peraturan yang dibuat orang tuanya.
Pada tingkatan kedua ini dipilah menjadi dua tahap:
Tahap 3: Interpersonal norm.

Ppada tahap norma interpersonal ini, anak

beranggapan bahwa rasa percaya, rasa kasih sayang, dan kesetiaan kepada orang
lain sebagai dasar untuk melakukan penilaian terhadap perilaku moral. Agar anak
dikatakan sebagai anak yang baik, maka anak mengambil standar moral yang
diberlakukan oleh orang tuanya. Dengan demikian, hubungan antara anak dan orang
tua tetap terjaga dalam suasana penuh kasih saying.
Tahap 4: Social system morality. Pada tahap keempat ini ukuran moralitas
didasarkan pada sistem sosial yang berlaku saat itu. Artinya, kehidupan masyarakat
didasarkan pada aturan hukum yang dibuat dengan maksud melindungi semua
warga di dalam komunitas tertentu. Jadi pada tahap ini perkembangan moral
didasarkan pada pemahaman terhadap aturan, hukum, keadilan, dan tugas sosial
kemasyarakatan.
Penalaran postkonvensional. Tingkat tertinggi dari perkembangan moral
adalah diinternalisasikannya standar moral sepenuhnya dalam diri individu tanpa
didasarkan pada standar orang lain. Seseorang tahu bahwa ada sejumlah pilihan
standar moral, kemudian dia memilih untuk diinternalisasi sebagai bagian standar
pribadi yang akan menuntun diri sendiri kearah perilaku bermoral yang
menguntungkan bagi dirinya dan tidak merugikan orang lain. Pada tingkatan
tertinggi ini dibagi menjadi dua tahap.
Tahap 5: Community rights vs individual rights. Pada tahap ini, perkembangan
moral mengarah ke pemahaman bahwa nilai dan hukum bersifat relatif. Sementara
itu nilai yang dimiliki orang satu berbeda dari orang yang lainnya.

184

Tahap 6: Universal ethical principles. Tahapan tertinggi dari perkembangan moral
adalah seseorang sudah mampu membentuk standar moral sendiri berdasar pada
hak-hak manusia yang bersifat universal. Walaupun mengandung resiko, orang pada
tahap ini berani mengambil suatu tindakan berdasar kata hatinya sendiri, bahkan
bertentangan dengan hukum sekalipun.
RANGKUMAN
Perilaku moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan,
nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral. Nilai-nilai moral itu, seperti (a) seruan untuk
berbuat baik kepada orang lain, memelihara ketertiban dan keamanan, memelihara
kebersihan dan memelihara hak orang lain, dan (b) larangan mencuri, berzina,
membunuh, meminum minuman keras dan berjudi. Seseorang dapat dikatakan
bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral yang
dijunjung tinggi oleh kelompok sosialnya.
Perkembangan moral seorang anak banyak dipengaruhi oleh lingkungannya.
Anak memperoleh nilai-nilai moral dari lingkungannya, tertutama dari orangtuanya.
Dia belajar untuk mengenal nilai-nilai dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai
tersebut. Dalam mengembangkan moral anak, peranan orangtua sangatlah penting,
terutama pada waktu anak masih kecil.
Perkembangan moral anak dapat berlangsung melalui beberapa cara, sebagai
berikut:
1) Pendidikan langsung, yaitu melalui penanaman pengertian tentang tingkah laku
yang benar dan salah, atau baik dan buruk oleh orangtua, guru atau orang
dewasa lainnya. Di samping itu, yang paling penting dalam pendidikan moral
ini, adalah keteladanan dari orangtua, guru atau orang dewasa lainnya dalam
melakukan nilai-nilai moral
2) Identifikasi, yaitu dengan cara mengidentifikasi atau meniru penampilan atau
tingkah laku moral seseorang yang menjadi idolanya (seperti orangtua, guru,
kyai, artis atau orang dewasa lainnya)

185

3) Proses coba-coba (trial & error), yaitu dengan cara mengembangkan tingkah
laku moral secara coba-coba. Tingkah laku yang mendatangkan pujian atau
penghargaan akan terus dikembangkan, sementara tingkah laku yang
mendatangkan hukuman atau celaan akan dihentikannya.
Perkembangan spiritual lebih spisifik akan dibahas manusia berkebutuhan
terhadap agama. Salah satu kelebihan manusia sebagai makhluk Allah SWT, adalah
dia dianugerahi fitrah (perasaan dan kemampuan) untuk mengenal Allah dan
melakukan ajaran-Nya. Dengan kata lain, manusia dikaruniai insting religius (naluri
beragama). Karena memiliki fitrah ini, kemudian manusia dijuluki sebagai “Homo
Devinans”, dan “Homo Religious”, yaitu makhluk yang bertuhan atau beragama.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan spiritual-keberagamaan
adalah faktor pembewaan dan faktor lingkungan, di antaranya lingkungan keluarga
(orangtua), sekolah, dan lingkungan masyarakat.
Kohlberg mengemukakan teori perkembangan moral dari yang paling dasar
menuju ke puncak moral. Pada awalnya orang mengembangkan moral berdasar
nilai-nilai orang lain. Lambat-laun moral berkembang ke arah keputusan pribadi.

PENDALAMAN
Untuk menguji pemahaman anda setelah mempelajari bab ini, maka selesaikanlah
tugas berikut dan laporkan!
1. Jelaskan pengertian perkembangan moral secara umum!
2. Definisikan pengertian moral manusia Indonesia!
3. Jelaskan perkembangan moral remaja berada pada tahap yang mana?
4. Sejauhmana perkembangan spiritual-keberagamaan para remaja sekarang?
Jelaskan dengan contoh konkrit!

186

5. Kemukakan contoh konkrit perkembangan moral atas dasar apa yang Anda
alami dalam kehidupan Anda!
DAFTAR RUJUKAN
Hurlock, Elisabeth B. 1991. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang
Rentang Kehidupan. Terjemahan oleh Istiwidayanti, dkk. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Daradjat. Z. 1970. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang.
Departemen Agama RI. 1996. Al-Quran Al-Karim dan Terjemahnya.Semarang:
Toha Putra.
Syamsuddin.A. 1997. Psikologi Kependidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Yusuf, S LN. 2000. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: Remaja
Rosdakarya.

http://kuliahpsikologi.dekrizky.com/tahap-tahap-perkembangan-moral-menurutkohlberg
http://arsy.dagdigdug.com/2009/10/18/virginia-henderson/
http://pangandaraninfo.com/2010/02/25/peranan-pendidikan-akhlak-dalampenanggulangan-kenakalan-remaja-2/

187