BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Psoriasis - Hubungan antara Kadar Prolaktin Serum Penderita Psoriasis Vulgaris dengan Skor Psoriasis Area and Severity Index

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Psoriasis

  Psoriasis adalah penyakit inflamasi kulit kronik yang umum dijumpai, bersifat rekuren dan melibatkan beberapa faktor misalnya; genetik, sistem imunitas, lingkungan serta hormonal. Psoriasis ditandai dengan plak eritematosa yang berbatas tegas dengan skuama berlapis berwarna keputihan. Penyakit ini umumnya mengenai daerah ekstensor ekstremitas terutama siku dan lutut, kulit kepala, lumbosakral, bokong

  1,2 dan genitalia.

2.1.1 Epidemiologi

  Walaupun psoriasis terjadi secara universal, namun prevalensinya pada tiap populasi bervariasi di berbagai belahan dunia. Studi epidemiologi dari seluruh dunia memperkirakan prevalensi psoriasis

  

2

  berkisar antara 0,6 sampai 4,8%. Prevalensi psoriasis bervariasi berdasarkan wilayah geografis serta etnis. Di Amerika Serikat, psoriasis terjadi pada kurang lebih 2% populasi dengan ditemukannya jumlah kasus baru sekitar 150,000 per tahun. Pada sebuah studi, insidensi tertinggi ditemukan di pulau Faeroe yaitu sebesar 2,8%. Insidensi yang rendah ditemukan di Asia (0,4%) misalnya Jepang dan pada ras Amerika- Afrika (1,3%). Sementara itu psoriasis tidak ditemukan pada suku

  1-3 Aborigin Australia dan Indian yang berasal dari Amerika Selatan. Terdapatnya variasi prevalensi psoriasis berdasarkan wilayah geografis dan etnis menunjukkan adanya peranan lingkungan fisik ( psoriasis lebih sering ditemukan pada daerah beriklim dingin), faktor genetik, dan pola tingkah laku atau paparan lainnya terhadap

  3 perkembangan psoriasis.

  1 Pria dan wanita memiliki kemungkinan terkena yang sama besar.

  Beberapa pengamatan terakhir menunjukkan bahwa psoriasis sedikit lebih sering terjadi pada pria dibanding wanita. Sementara pada sebuah studi yang meneliti pengaruh jenis kelamin dan usia pada prevalensi psoriasis, ditemukan bahwa pada pasien yang berusia lebih muda (<20 tahun) prevalensi psoriasis ditemukan lebih tinggi pada wanita

  3 dibandingkan pria.

  Psoriasis dapat mengenai semua usia dan telah dilaporkan terjadi saat lahir dan pada orang yang berusia lanjut. Penelitian mengenai onset usia psoriasis mengalami banyak kesulitan dalam hal keakuratan data karena biasanya ditentukan berdasarkan ingatan pasien tentang onset terjadinya dan rekam medis yang dibuat dokter saat kunjungan awal. Beberapa penelitian berskala besar telah menunjukkan bahwa usia rata- rata penderita psoriasis episode pertama yaitu berkisar sekitar 15-20

  2

  tahun, dengan usia tertinggi kedua pada 55-60 tahun. Sementara penelitian lainnya misalnya studi prevalensi psoriasis di Spanyol, Inggris dan Norwegia menunjukkan bahwa terdapat penurunan prevalensi

  3 psoriasis dengan meningkatnya usia.

2.1.2 Etiologi dan patogenesis

  Sebelumnya psoriasis dianggap sebagai suatu penyakit primer akibat gangguan keratinosit, namun saat ini psoriasis dikenal sebagai suatu penyakit yang diperantarai oleh sistem imun. Psoriasis melibatkan interaksi kompleks diantara berbagai sel pada sistem imun dan kulit, termasuk sel dendritik dermal, sel T, neutrofil dan keratinosit. Pada psoriasis, sel T CD8+ terdapat di epidermis sedangkan makrofag, sel T CD4+ dan sel-sel dendritik dermal dapat ditemukan di dermis superfisial. Sejumlah sitokin dan reseptor permukaan sel terlibat dalam jalur molekuler yang menyebabkan manifestasi klinis penyakit. Psoriasis dianggap sebagai suatu penyakit yang diperantarai oleh sistem imun yang ditandai dengan adanya sel T helper (Th)1 yang predominan pada lesi kulit dengan peningkatan kadar IFN-

  γ, tumor necrosing factor-α (TNF-

16 Baru-baru ini jalur Th17 telah dibuktikan memiliki α), IL-2 dan IL-18.

  peranan penting dalam mengatur proses inflamasi kronik. Sebagai pusat jalur ini terdapat sel T CD4+, yang pengaturannya diatur oleh IL-23 yang

  17

  disekresikan oleh sel penyaji antigen (sel dendritik dermal). Sel Th17 CD4+ mensekresikan IL-17 dan IL-22 yang berperan pada peningkatan dan pengaturan proses inflamasi dan proliferasi epidermal.

  2.1.3 Gambaran klinis

  Psoriasis merupakan penyakit papuloskuamosa dengan gambaran morfologi, distribusi, serta derajat keparahan penyakit yang bervariasi.

  Lesi klasik psoriasis biasanya berupa plak berwarna kemerahan yang berbatas tegas dengan skuama tebal berlapis yang berwarna keputihan pada permukaan lesi. Ukurannya bervariasi mulai dari papul yang berukuran kecil sampai dengan plak yang menutupi area tubuh yang luas. Lesi pada psoriasis umumnya terjadi secara simetris, walaupun dapat terjadi secara unilateral. Dibawah skuama akan tampak kulit berwarna kemerahan mengkilat dan tampak bintik-bintik perdarahan pada saat skuama diangkat. Hal ini disebut dengan tanda Auspitz. Psoriasis juga dapat timbul pada tempat terjadinya trauma, hal ini disebut dengan fenomena Koebner. Penggoresan skuama utuh dengan mengggunakan pinggir gelas objek akan menyebabkan terjadinya perubahan warna lebih

  1,2 putih seperti tetesan lilin.

  Selain dari presentasi klasik yang disebutkan diatas terdapat beberapa tipe klinis psoriasis. Psoriasis vulgaris yang merupakan tipe psoriasis yang paling sering terjadi, berupa plak kemerahan berbentuk oval atau bulat, berbatas tegas, dengan skuama berwarna keputihan. Lesi biasanya terdistribusi secara simetris pada ekstensor ekstremitas, terutama di siku dan lutut, kulit kepala, lumbosakral, bokong dan genital. Bentuk lainnya yaitu psoriasis inversa (fleksural), psoriasis gutata, psoriasis

  1 pustular, psoriasis linier, dan psoriasis eritroderma.

2.1.4 Diagnosis

  Diagnosis psoriasis biasanya ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gambaran klinis lesi kulit. Pada kasus-kasus tertentu, dibutuhkan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium darah dan 1 . biopsi histopatologi

  Pemeriksaan penunjang yang paling umum dilakukan untuk mengkonfirmasi suatu psoriasis ialah biopsi kulit dengan menggunakan pewarnaan hematoksilin-eosin. Pada umumnya akan tampak penebalan epidermis atau akantosis serta elongasi rete ridges. Terjadi diferensiasi keratinosit yang ditandai dengan hilangnya stratum granulosum. Stratum korneum juga mengalami penebalan dan terdapat retensi inti sel pada lapisan ini yang disebut dengan parakeratosis. Tampak neutrofil dan limfosit yang bermigrasi dari dermis. Sekumpulan neutrofil dapat membentuk mikroabses Munro. Pada dermis akan tampak tanda-tanda inflamasi seperti hipervaskularitas dan dilatasi serta edema papila dermis. Infiltrat dermis terdiri dari neutrofil, makrofag, limfosit dan sel

  18 mast.

  Selain biopsi kulit, abnormalitas laboratorium pada penderita psoriasis biasanya bersifat tidak spesifik dan mungkin tidak ditemukan pada semua pasien. Pada psoriasis vulgaris yang luas, psoriasis pustular generalisata, dan eritroderma tampak penurunan serum albumin yang merupakan indikator keseimbangan nitrogen negatif dengan inflamasi kronis dan hilangnya protein pada kulit. Peningkatan marker inflamasi sistemik seperti C-reactive protein, α-2 makroglobulin, dan erythrocyte

  sedimentation rate dapat terlihat pada kasus-kasus yang berat. Pada

  penderita dengan psoriasis yang luas dapat ditemukan peningkatan kadar asam urat serum. Selain daripada itu penderita psoriasis juga menunjukkan gangguan profil lipid (peningkatan high density

  lipoprotein , rasio kolesterol-trigliserida serta plasma apolipoprotein- 1,18 A1).

  Pada beberapa studi yang dilakukan akhir-akhir ini, tampak peningkatan kadar prolaktin serum pada penderita psoriasis

  11-14 dibandingkan dengan kelompok kontrol.

2.1.5 Diagnosis banding

  Gambaran klasik psoriasis biasanya mudah dibedakan dengan penyakit kulit lainnya. Namun lesi yang atipikal atau bentuk lesi selain plak yang klasik dapat menimbulkan tantangan bagi diagnosis psoriasis.

  Plak psoriasis yang kronis seringkali menyerupai dermatitis kronis dengan likenifikasi pada daerah ekstremitas. Tetapi biasanya pada dermatitis kronis lesinya tidak berbatas tegas serta skuama yang terdapat

  1 pada permukaan lesi tidak setebal pada psoriasis.

  Pada kasus psoriasis gutata, perlu dipertimbangkan diagnosis pityriasis rosea serta sifilis sekunder. Pityriasis rosea biasanya ditandai dengan makula eritematosa berbentuk oval dengan skuama tipis yang tersusun seperti pohon cemara pada daerah badan, lengan atas serta tungkai atas. Sebagian besar kasus diawali dengan lesi inisial yang disebut herald patch. Pada sifilis sekunder biasanya disertai dengan adanya keterlibatan telapak tangan dan kaki serta riwayat chancre oral

  19 atau genital yang tidak terasa nyeri. Psoriasis yang timbul pada skalp biasanya sulit dibedakan dengan dermatitis seboroik. Pasien dengan skuama keputihan yang kering serta menebal seperti mika, walaupun terdapat pada predileksi seboroik,

  

20

biasanya merupakan psoriasis skalp.

  Psoriasis inversa/fleksural harus dibedakan dengan eritrasma dan infeksi jamur. Pada eritrasma, lesi berupa makula berbatas tegas berwarna merah kecoklatan yang biasanya terdapat pada daerah aksila dan genital. Infeksi jamur oleh kandida, lesi berupa makula eritematosa berbatas tegas dengan lesi satelit disekelilingnya. Eritroderma perlu dibedakan dengan limfoma kutaneus sel T. Lesi pada limfoma kutaneus sel T biasanya berupa lesi diskoid eritematosa yang disertai skuama

  

21

dengan distribusi yang tidak simetris.

2.1.6 Pengukuran derajat keparahan psoriasis

  Mengukur derajat keparahan atau perbaikan klinis pada psoriasis tampaknya merupakan hal yang mudah, tetapi pada kenyataannya hal ini menimbulkan banyak kesulitan. Diperlukan pengukuran objektif yang terpercaya, valid, dan konsisten. Untungnya lesi pada psoriasis biasanya cukup jelas secara klinis dan oleh sebab itu relatif mudah untuk melakukan kuantifikasi tetapi sayangnya kuantifikasi sederhana pada lesi bukan merupakan suatu penilaian yang lengkap pada derajat keparahan, sebab dampak lesi psoriasis berbeda pada penderita yang satu dengan lainnya. Konsensus oleh American Academy of

  Dermatology menyatakan bahwa setiap penentuan keparahan psoriasis membutuhkan perhatian khusus pada pengaruhnya terhadap kualitas

  22

  hidup penderita. Salah satu tehnik yang digunakan untuk mengukur derajat keparahan psoriasis yaitu dengan menggunakan Psoriasis Area

  23, 24 and Severity Index (PASI).

  PASI merupakan kriteria pengukuran derajat keparahan yang paling sering digunakan. Berupa suatu rumus kompleks yang diperkenalkan pertama kali dalam studi penggunaan retinoid pada tahun 1978. PASI menggabungkan elemen pada presentasi klinis yang tampak pada kulit berupa eritema, indurasi dan skuama. Setiap elemen tersebut dinilai secara terpisah menggunakan skala 0 - 4 untuk setiap bagian tubuh: kepala dan leher, batang tubuh, ekstremitas atas dan ekstremitas bawah. Penilaian dari masing-masing tiga elemen kemudian dijumlahkan, selanjutnya hasil penjumlahan masing-masing area tubuh dikalikan dengan skor yang didapat dari skala 1 - 6 yang merepresentasikan luasnya area permukaan yang terlibat pada bagian tubuh tersebut. Skor ini kemudian dikalikan dengan faktor koreksi yang terdapat pada tiap area tubuh (0.1 untuk kepala dan leher, 0.2 untuk ekstremitas atas, 0.3 untuk batang tubuh, dan 0.4 untuk ekstremitas bawah). Akhirnya skor dari keempat area tubuh ditambahkan sehingga menghasilkan skor PASI. Kemungkinan nilai tertinggi PASI adalah 72 tetapi nilai ini secara umum dianggap hampir tidak mungkin untuk

  23

  dicapai. Berdasarkan nilai skor PASI, psoriasis dapat dibagi menjadi psoriasis ringan (skor PASI <11), sedang (skor PASI 12-16), dan berat (skor PASI >16).

  Oleh karena kompleksitas skor PASI tersebut, maka bukan merupakan suatu hal yang mengejutkan jika skor ini jarang digunakan pada praktek klinis. Skor PASI merupakan suatu sistem penilaian yang digunakan untuk tujuan penelitian. Pada uji klinis, persentase perubahan pada PASI dapat digunakan sebagai titik akhir penilaian terapi psoriasis.

  The United States Food and Drug Administration (FDA) menggunakan

  75% perbaikan pada skor PASI sebagai penilaian respon terapi pada

  22 pasien psoriasis.

  Beberapa kesulitan dalam penggunaan skor PASI diantaranya; kesulitan dalam menentukan skor serta kurangnya korelasi dengan hasil akhir yang dilaporkan oleh pasien sendiri. Pengukuran luas permukaan tubuh bersifat tidak konsisten diantara para peneliti, sehingga menyebabkan variabilitas inter observer yang signifikan. Hal terpenting lainnya, skor PASI tidak secara jelas memperkirakan dampak dari penyakit terhadap pasien. Beberapa penelitian yang menilai korelasi antara PASI dengan kualitas hidup penderita telah menunjukkan

  23 konsistensi yang rendah.

  Beberapa variasi dari PASI telah dikembangkan untuk memperbaiki kelemahan ini serta untuk mengurangi waktu dan usaha yang diperlukan dalam melakukan penilaian. Salah satu variasi yang menarik adalah meminta pasien melakukan PASI modifikasi terhadap dirinya sendiri. Penilaian ini disebut Self Administered PASI (SAPASI). SAPASI memiliki korelasi yang baik dengan PASI serta responsif terhadap terapi. SAPASI khususnya memberikan manfaat pada studi epidemiologi berskala besar dimana penilaian oleh dokter terhadap

  

23,24

semua pasien dianggap tidak praktis.

2.1.7 Terapi

  Pengobatan anti psoriasis berspektrum luas baik secara topikal maupun sistemik telah tersedia. Sebagian besar obat-obatan ini memberikan efek sebagai imunomodulator. Sebelum memilih regimen pengobatan, penting untuk menilai perluasan serta derajat keparahan

  1 psoriasis.

  Pada dasarnya, mayoritas kasus psoriasis terbagi menjadi tiga bagian besar yaitu gutata, eritrodermik/pustular, dan plak kronis yang merupakan bentuk yang paling sering ditemukan. Psoriasis gutata biasanya mengalami resolusi spontan dalam waktu 6 sampai 12 minggu. Kasus psoriasis gutata ringan seringkali tidak membutuhkan pengobatan, tetapi pada lesi yang meluas fototerapi dengan menggunakan sinar ultraviolet (UV) B serta terapi topikal dikatakan

  25

  memberikan manfaat. Psoriasis eritrodermik/pustular biasanya disertai dengan gejala sistemik, oleh karena itu diperlukan obat-obatan sistemik yang bekerja cepat. Obat yang paling sering digunakan pada psoriasis eritrodermik/pustular adalah asitretin. Pada beberapa kasus psoriasis pustular tertentu, penggunaan kortikosteroid sistemik mungkin

  26 diperlukan.

  Pada psoriasis plak yang kronis, pemberian terapi dilakukan berdasarkan perluasan penyakit. Untuk psoriasis plak yang ringan

  (<10% luas permukaan tubuh), terapi topikal lini pertama dapat digunakan emolien, glukokortikoid atau analog vitamin D3 sedangkan lini kedua dapat dilakukan fototerapi dengan menggunakan sinar UVB. Pada psoriasis plak yang sedang (>10% luas permukaan tubuh) dapat diberikan terapi lini pertama seperti pada psoriasis ringan sedangkan lini keduanya dapat berupa pengobatan sistemik misalnya metotreksat, asitretin, serta agen-agen biologi seperti alefacept dan adalimumab.

  Untuk plak psoriasis berat (>30% luas permukaan tubuh), terapi

  27 terutama menggunakan obat-obat sistemik.

2.2 Prolaktin

  Prolaktin merupakan suatu rantai polipeptida tunggal yang terdiri dari 199 asam amino dengan berat molekul 23kDa yang secara sistemik berperan sebagai hormon dan secara lokal sebagai sitokin. Prolaktin termasuk kedalam famili somatotropin karena secara struktural prolaktin

  5,7 berhubungan dengan hormon pertumbuhan dan laktogen plasenta.

  Sekresi dan sintesis prolaktin diatur oleh sistem neuroendokrin terutama melalui Prolactin Releasing Hormone (PRH) dan Prolactin

  Inhibiting Hormone (PIH). Regulasi ekspresi serta sekresi prolaktin

  hipofisis bersifat sangat kompleks dan melibatkan berbagai jenis hormon, faktor pertumbuhan, obat-obatan, peptida, dan asam amino.

  Beberapa jenis obat-obatan yang dapat mempengaruhi sekresi prolaktin oleh karena adanya efek dopaminergik diantaranya; kontrasepsi oral, antipsikotik (haloperidol, chlorpromazine, risperidone), antidepresan golongan trisiklik, opiat, amfetamin, antihipertensi (reserpine,

  verapamil , methyldopa) dan antihistamin (cimetidine). Hipofisis anterior

  merupakan tempat utama terjadinya transkripsi, translasi, dan sekresi prolaktin. Selain hipofisis anterior, prolaktin juga diekspresikan pada kulit, plasenta, uterus (endometrium), ovarium, testis, kelenjar mammae, prostat, otak, jaringan lemak, dan limfosit. Ekspresi prolaktin ekstra

  7 hipofisis ini memiliki pengaturan yang berbeda.

  Pada fetus, sintesis dan sekresi prolaktin oleh kelenjar hipofisis anterior dimulai pada beberapa minggu pertama gestasi. Kadarnya akan menurun setelah proses kelahiran dan akan mengalami peningkatan lagi selama 6 minggu pertama kehidupan. Selama masa kanak-kanak kadar

  28

  prolaktin akan terus menurun sampai dengan 5 ng/mL. Tidak terdapat perubahan kadar prolaktin yang signifikan pada anak usia 8 – 15 tahun dibandingkan dengan orang dewasa. Sementara itu, pada wanita selama masa pubertas terjadi peningkatan kadar prolaktin serum secara progresif sampai terjadi perbedaan yang signifikan dengan kadarnya pada pria.

  Kadar normal prolaktin pada serum bervariasi pada tiap individu. Variasi yang terjadi dipengaruhi oleh irama sikardian prolaktin, dimana ditemukan kadar puncak pada saat tidur (malam hari). Franz et al.

  (1978) meneliti kadar prolaktin rata-rata pada 6 orang subjek selama periode waktu lebih dari 24 jam. Didapatkan hasil bahwa kadar minimum prolaktin dicapai dalam waktu 10 jam sebelum onset tidur sementara kadar maksimum dicapai dalam waktu sekitar 4 jam setelah tidur. Selain itu kadar prolaktin juga menunjukkan variasi sesuai musim. Kadar prolaktin serum rata-rata 30% lebih tinggi selama musim semi atau panas dibanding dengan kadarnya selama musim gugur atau

  29 dingin.

  Berdasarkan berbagai penelitian, kadar prolaktin normal dalam plasma bervariasi diantara wanita yang tidak hamil (10-25 ng/mL), wanita hamil (150-200 ng/mL), wanita menyusui (300 ng/mL), dan pria

  30

  (5-10 ng/mL). Selama masa kehamilan sampai kelahiran bayi, kadar prolaktin akan meningkat secara progresif sebesar 10 sampai 20 kali

  6

  lebih tinggi dari kadar normal (tidak hamil). Kemudian akan mengalami penurunan setelah 3-4 minggu postpartum. Pada ibu yang menyusui, kadar prolaktin serum akan terpelihara pada konsentrasi yang tinggi oleh karena hisapan puting susu oleh bayi akan menstimulasi

  6,7 sekresi prolaktin.

  Semua fungsi prolaktin diperantarai oleh reseptor membran yang memiliki afinitas tinggi. Sampai saat ini terdapat enam jenis isoform reseptor prolaktin pada manusia, yang memiliki struktur, afinitas reseptor, dan kemampuan signaling yang berbeda. Prolaktin diketahui memiliki berbagai fungsi fisiologi tambahan selain peranan klasiknya pada fungsi laktasi dan reproduksi. Sampai saat ini terdapat lebih dari

  5,6 300 aktivitas biologi prolaktin yang telah diketahui.

  Terdapat hipotesis bahwa prolaktin berperan sebagai modulator neuroendokrin pada pertumbuhan epitel kulit dan sistem imun pada kulit. Paus (1991) menyatakan bahwa prolaktin membentuk sirkuit prolaktin diantara kulit dan sistem syaraf pusat. Konsep ini kemudian diintegrasikan ke dalam komunikasi neuroendokrin dengan sistem imun

  31

  melaui brain-skin axis. Dari beberapa penelitian prolaktin dan reseptor prolaktin ditemukan pada beberapa populasi sel kutaneus termasuk

  5

  keratinosit, fibroblas, kelenjar keringat dan kelenjar sebaseus. Hal ini menunjukkan bahwa prolaktin berperan dalam berbagai proses fisiologis dan patologis pada kulit.

  Beberapa peran prolaktin pada proses fisiologis kulit diantaranya sebagai termoregulasi dan osmoregulasi, meningkatkan produksi sebum melalui stimulasi proliferasi sebosit, menstimulasi proliferasi keratinosit, berperan dalam proses pertumbuhan rambut, bersama dengan hormon pertumbuhan mengatur keseimbangan adiposit dan metabolisme lemak, serta berperan dalam proses penyembuhan luka melalui peningkatan ekspresi heme oksidase 1, sintesis protein dan

  vascular endothelial growth factor (

  VEGF). Selain itu prolaktin juga

  5,6 berperan sebagai imunomodulator dalam sistem imun kulit.

  Beberapa kondisi patologis yang berkaitan dengan peningkatan kadar prolaktin (hiperprolaktinemia) diantaranya lupus eritematosus sistemik, sklerosis sistemik, sklerosis multipel, penyakit Graves, penyakit Addisons tiroiditis Hashimoto, dan psoriasis. Pada penyakit- penyakit ini, prolaktin akan menstimulasi pelepasan berbagai sitokin yang dihasilkan oleh Th1 maupun Th2, yang akhirnya mempengaruhi

  5 aktivitas penyakit.

2.3 Prolaktin dan Psoriasis

  Beberapa dekade terakhir ini terdapat hipotesis yang menyatakan bahwa prolaktin berperan dalam etiopatogenesis terjadinya psoriasis.

  Hal ini berdasarkan berbagai pengamatan yang menemukan bahwa terdapat peningkatan kadar serum prolaktin pada penderita psoriasis

  

11-14

dibandingkan dengan subjek normal.

  Giasuddin et al. (1998) meneliti kadar serum prolaktin pada 12 pasien dengan psoriasis vulgaris dan membandingkan hasilnya dengan 9 orang pasien dermatitis atopik serta 20 subjek normal, didapatkan hasil kadar serum prolaktin pada psoriasis vulgaris lebih tinggi secara

  11

  signifikan dibanding dengan kedua kelompok lainnya. Hasil yang sama juga didapatkan pada penelitian oleh Sanchez dan Millet (2000).

  Beberapa penelitian lainnya menunjukkan bahwa peran prolaktin ini terutama terjadi melalui kerja prolaktin sebagai sebuah sitokin

  8

  dengan berbagai efek imunomodulator pada sistem imun. Prolaktin akan menstimulasi sel-sel dalam sistem imun dengan cara berikatan dengan reseptor prolaktin. Peran prolaktin dalam biologi dan patologi kulit dapat dilihat pada gambar 2.1.

Gambar 2.1. Fungsi prolaktin dalam biologi dan patologi kulit*

  • dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan No. 5 Penelitian pertama yang mengamati efek prolaktin pada keratinosit manusia dilakukan oleh Girolomoni et al. (1993). Dalam penelitian ini mereka menilai efek prolaktin pada keratinosit yang dikultur dari bayi baru lahir dengan menggunakan lingkungan yang bebas serum. Didapatkan hasil bahwa prolaktin dapat menstimulasi proliferasi keratinosit yang dikultur dari manusia meskipun tanpa

  32 adanya epidermal growth factor (EGF).

  Yu-Lee (2001) menyatakan bahwa prolaktin meningkatkan proliferasi dan proteksi sel limfosit T terhadap apoptosis, sehingga akan menyebabkan peningkatan survival sel limfosit T. Selain itu prolaktin juga akan menginhibisi fungsi limfosit T-supresor yang berperan dalam

  33 perkembangan plak psoriasis. De Bellis et al. (2005) dan Biswas et al. (2006) menyatakan bahwa prolaktin meningkatkan sintesis IFN- γ dan IL-2 oleh limfosit

  Th1, induksi ekspresi molekul kostimulator misalnya major

  histocompatibility complex-II (MHC-II), cluster of differentiation 40

  (CD40), CD80 pada sel penyaji antigen serta IFN regulatory factor-1 (IRF-1), dimana hasil akhir peningkatan sitokin-sitokin ini akan

  34,35 menyebabkan hiperproliferasi keratinosit.

  Peran prolaktin sebagai imunomodulator juga tampak pada sel dendritik. Pada penelitian yang dilakukan pada sel dendritik timus yang berasal dari tikus menunjukkan bahwa prolaktin meningkatkan sejumlah

  36 sitokin proinflamasi yaitu IL-12, TNF- α, dan IL-1β. Matera et al.

  (2001) menyatakan bahwa prolaktin dalam konsentrasi fisiologis dan suprafisiologis meningkatkan reseptor granulocyte macrophage

  stimulating factor (GM-CSF) yang nantinya secara sinergis bersama

  dengan prolaktin akan menginduksi permatangan sel dendritik yang

  37 imatur.

  Prolaktin memiliki peran yang potensial dalam modulasi sel

  natural killer (NK). Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya reseptor

  prolaktin pada sel NK manusia. Prolaktin bersama dengan faktor pertumbuhan sel NK yaitu IL-12 dan IL-15 akan menstimulasi proliferasi sel NK. Sel NK memproduksi IFN-

  γ dan TNF-α yang

  38 berperan dalam proses terjadinya inflamasi pada psoriasis.

  Pada monosit/makrofag yang dikultur dari manusia, prolaktin meningkatkan produksi vascular endothelial growth factor (VEGF). Hal ini menunjukkan bahwa prolaktin mungkin berperan dalam pengaturan

  39 terjadinya angiogenesis.

  Pada lesi psoriasis ditemukan peningkatan ekspresi dan produksi CXC Ligand (CXCL)9, CXCL10, dan CXCL11 oleh keratinosit, yang memiliki fungsi kemotaktis terhadap sel Th1 ke tempat terjadinya inflamasi. Peningkatan ekspresi dan produksi ketiga kemokin ini terutama diinduksi oleh IFN-

  γ yang dihasilkan oleh sel Th1. Naoko Kanda et al. (2007) meneliti secara invitro efek prolaktin terhadap produksi CXCL9, CXCL10, dan CXCL11 oleh keratinosit manusia.

  Penelitian ini menunjukkan bahwa walaupun prolaktin sendiri tidak memberikan efek yang signifikan pada produksi ketiga kemokin ini namun prolaktin meningkatkan produksi CXCL9, CXCL10, dan CXCL11 yang diinduksi oleh IFN-

  γ melalui aktivasi faktor transkripsi

  signal transducer and activator of transcription 1 (STAT1), nuclear

  40 factor- κβ (NF- κβ), dan IRF-1. Aktivasi ketiga faktor transkripsi tersebut menggunakan jalur janus kinase 2 (JAK2) dan MEK/ERK.

  Selain itu, akhir-akhir ini jalur Th17 yang memproduksi IL-23, IL- 17, IL-22 serta TNF- α telah dibuktikan memiliki peranan penting dalam

  17

  proses inflamasi pada psoriasis. Lowes et al. (2008) menemukan adanya infiltrasi Th17 secara agresif ke dalam dermis pada lesi psoriasis. Infiltrasi Th17 yang mengekspresikan CCR6 kedalam lesi psoriasis disebabkan oleh karena efek kemotaksis dari CCL20. Naoko Kanda et al. (2009) melakukan pengamatan secara in vitro efek prolaktin terhadap produksi basal dan produksi CCL20 yang diinduksi

  

41

  oleh IL-17 pada keratinosit manusia. Pada penelitian ini ditemukan bahwa prolaktin sendiri meningkatkan sekresi CCL20 sampai dengan 9,7 kali dibandingkan dengan kontrol. Sementara IL-17 sendiri meningkatkan sekresi CCL20 sampai dengan 12,9 kali dibanding dengan kontrol serta prolaktin secara sinergis akan meningkatkan sekresi CCL20 yang diinduksi oleh IL-17. Peningkatan ini terjadi melalui aktivasi faktor transkripsi activation factor-1 (AP-1) dan NF- κβ. Hasil penelitian ini secara invitro menunjukkan gambaran in vivo yaitu; prolaktin dapat menginduksi sekresi CCL20 oleh keratinosit epidermal pada lesi psoriasis dan CCL20 yang disekresikan akan menarik sel Th17 yang mengekspresikan CCR6. Selanjutnya sel Th17 akan melepaskan IL-17 yang nantinya secara bersama-sama dengan prolaktin akan menginduksi sekresi CCL20 oleh keratinosit sehingga menyebabkan kembali penarikan sel Th17. Mekanisme umpan balik positif dari prolaktin dengan IL-17 dan CCL20 dapat memperluas inflamasi yang diperantarai oleh sel Th17 pada lesi psoriasis.

  Pada wanita hamil yang menderita psoriasis ditemukan bahwa selama kehamilan 55% penderita mengalami perbaikan, 21% tidak mengalami perubahan, dan 23% mengalami perburukan. Sementara itu saat postpartum hanya 9% mengalami perbaikan, 26% tidak mengalami perubahan, dan 65% mengalami perburukan penyakit. Hal ini menunjukkan bahwa terjadinya hiperprolaktinemia fisiologis selama

  42,43 masa postpartum (laktasi) akan menyebabkan perburukan psoriasis.

  Hal ini sejalan dengan adanya laporan bahwa psoriasis berhubungan dengan prolaktinoma. Sanchez et al. (2000) melaporkan terjadinya peningkatan derajat dan perluasan psoriasis tipe plak pada tiga kasus prolaktinoma yang terjadi pada wanita. Pada ketiga kasus ini pemberian terapi bromokriptin, sebuah agonis dopamin yang menekan sekresi

  14

  prolaktin, memberikan respon terapeutik yang baik. Pengamatan ini menunjukkan bahwa peningkatan kadar prolaktin berhubungan dengan derajat keparahan psoriasis.

  Dalam hal pengobatan psoriasis, siklosporin A merupakan salah satu pengobatan yang efektif dengan berbagai efek pada beberapa tipe sel tertentu. Salah satunya yaitu siklosporin A berperan dalam menghambat ikatan prolaktin dengan prolaktin reseptor pada limfosit T dan limfosit B manusia. Selain itu siklosporin A juga secara selektif menghambat peningkatan aktivitas ornithin dekarboksilase pada limfosit

  44

  yang distimulasi oleh prolaktin. Hal ini menunjukkan bahwa efek anti proliferasi pada obat ini dapat diperantarai oleh kemampuan antagonis terhadap prolaktin.

  Beberapa penelitian terakhir tidak hanya mengamati peran prolaktin dalam etiopatogenesis psoriasis namun juga hubungannya dengan derajat keparahan psoriasis. Maryam et al. (2009) melakukan pengukuran kadar prolaktin serum pada 30 orang pasien psoriasis vulgaris dan 30 orang subjek sehat sebagai kontrol. Ditemukan peningkatan yang cukup signifikan pada kadar prolaktin serum penderita psoriasis dibanding kelompok kontrol. Selain itu dengan menggunakan uji regresi Pearson tampak adanya hubungan positif diantara kadar prolaktin serum dengan derajat keparahan psoriasis yang

  12 dinilai dengan menggunakan skor PASI. Sementara Dilme et al.

  (2010) melakukan pengukuran kadar prolaktin serum pada 20 orang pasien dengan psoriasis tipe plak sebelum dan sesudah terapi topikal dengan tacalcitol, didapatkan hasil bahwa terdapat peningkatan yang signifikan pada kadar prolaktin serum penderita psoriasis dibanding dengan kelompok kontrol (P < 0.001) serta terdapatnya hubungan yang signifikan diantara kadar prolaktin serum sebelum pengobatan dengan

  13 derajat keparahan psoriasis.

  Berbagai penelitian yang dijelaskan sebelumnya mengindikasikan bahwa prolaktin mempunyai peranan yang penting dalam etiopatogenesis psoriasis. Namun demikian masih terdapat beberapa kontroversi mengenai hal ini. Seperti yang tampak pada sebuah studi oleh Gorpelioglu et al. (2008) yang meneliti kadar prolaktin pada 39 pasien dengan psoriasis kemudian membandingkannya dengan 36 orang kontrol.

  Pada studi ini tidak ditemukan perbedaan yang signifikan pada kadar

  1 seum prolaktin diantara pasien dan kontrol.

2.4 Kerangka Teori Meningkatkan proliferasi, proteksi terhadap apoptosis dan survival sel T. Inhibisi fungsi limfosit T supresor. Limfosit T Meningkatkan produksi IFN- γ dan IL-2 oleh Th1. Peningkatan kemokin CXCL 9, CXCL 10 dan CXCL 11 yang diinduksi oleh IFN- γ. Keratinosit Peningkatan produksi CCL20 basal dan CCL20 yang diinduksi Patogenesis oleh IL-17. psoriasis

  1. Hormonal (Prolaktin) Meningkatkan ekspresi IL-12, TNF- α, dan IL-1β.

  2. Genetik Sel

  3. Lingkungan dendritik Meningkatkan ekspresi reseptor

  4. Imunologi GM-CSF dan menginduksi maturasi sel dendritik. Sel natural Aktivasi proliferasi sel NK. killer

  Menginduksi produksi vascular Makrofag endothelial growth factor (VEGF) oleh makrofag

Gambar 2.2 Diagram kerangka teori

2.5 Kerangka Konsep

Gambar 2.3 Diagram kerangka konsep

  PSORIASIS

  Kadar prolaktin serum Skor Psoriasis Area

  and Severity Index