Hubungan antara Kadar Prolaktin Serum Penderita Psoriasis Vulgaris dengan Skor Psoriasis Area and Severity Index

(1)

HUBUNGAN ANTARA KADAR PROLAKTIN SERUM PENDERITA PSORIASIS VULGARIS DENGAN SKOR PSORIASIS AREA AND

SEVERITY INDEX

TESIS

OLIVITI NATALI

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

HUBUNGAN ANTARA KADAR PROLAKTIN SERUM PENDERITA PSORIASIS VULGARIS DENGAN SKOR PSORIASIS AREA AND

SEVERITY INDEX

TESIS

Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Persyaratan Memperoleh Keahlian dalam Bidang

Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

OLIVITI NATALI

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N 2013


(3)

HALAMAN PERSETUJUAN

Judul Tesis : Hubungan antara Kadar Prolaktin Serum Penderita Psoriasis Vulgaris dengan Skor Psoriasis Area and Severity Index

Nama : Oliviti Natali Nomor Induk : 087105015

Program Studi : Pendidikan Dokter Spesialis Konsentrasi : Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

Menyetujui:

(dr. Chairiyah Tanjung, SpKK (K)) (dr. Kristo A Nababan,SpKK)

Pembimbing I Pembimbing II

Ketua Program Studi, Kepala Departemen,

(dr. Chairiyah Tanjung, SpKK (K)) (Prof. DR. dr. Irma D. Roesyanto-Mahadi, SpKK(K))


(4)

Hubungan antara Kadar Prolaktin Serum Penderita Psoriasis Vulgaris dengan Skor Psoriasis Area and Severity Index

Oliviti Natali, Chairiyah Tanjung, Kristo A. Nababan Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / RSUP. H. Adam Malik Medan

Abstrak

Latar belakang

Psoriasis merupakan suatu penyakit inflamasi kulit kronik yang ditandai dengan terjadinya hiperproliferasi keratinosit. Etiologi psoriasis belum dimengerti sepenuhnya, namun tampaknya faktor genetik, defek imun, lingkungan, dan hormonal berperan pada terjadinya penyakit ini. Terdapat hipotesis yang menyatakan bahwa prolaktin dapat memodulasi sistem imun kulit dan mungkin terlibat dalam patogenesis psoriasis.

Tujuan

Untuk mengetahui hubungan antara kadar prolaktin serum pada penderita psoriasis vulgaris dengan skor Psoriasis Area and Severity Index (PASI).

Metode

Tiga puluh orang penderita psoriasis vulgaris yang berobat ke Poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP Haji Adam Malik Medan turut serta dalam penelitian ini. Dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik secara menyeluruh. Derajat keparahan psoriasis diukur dengan menggunakan skor PASI. Pemeriksaan prolaktin serum dilakukan dengan menggunakan metode chemiluminescent microparticle immunoassay (CMIA).

Hasil

Terdapat korelasi positif yang signifikan (kuat) diantara kadar prolaktin serum dengan skor PASI (r = 0,73; P < 0,05).

Kesimpulan

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa tampaknya prolaktin memiliki peranan dalam etiopatogenesis psoriasis serta dapat dijadikan penanda biologik untuk memantau aktivitas penyakit.

Kata kunci


(5)

Correlation Between Serum Prolactin Levels in Psoriasis Vulgaris with Psoriasis Area and Severity Index Score

Oliviti Natali, Chairiyah Tanjung, Kristo A. Nababan Dermatology and Venereology Department

Faculty of Medicine, University of Sumatera Utara/ RSUP. H. Adam Malik Medan

Abstract Background

Psoriasis is a common chronic and inflammatory skin disease characterized by hyperproliferation of keratinocytes. Its etiology is not completely known. However it seems that genetic, immune defect, environmental and hormonal play a role in this disease. It has been hypothesized that prolactin may modulate the skin immune system and may be involved in the pathogenesis of psoriasis.

Aim

To evaluate the correlation between serum prolactin levels and Psoriasis Area and Severity Index (PASI) score.

Methods

This study included 30 patients with psoriasis vulgaris, attending the outpatient clinic of Dermatology and Venereology Department in RSUP H. Adam Malik. Full history taking and clinical examination was done. Clinical severity of psoriasis were assessed by using the PASI score. Serum prolactin levels were measured with chemiluminescent microparticle immunoassay(CMIA) methods. Results

A significant positive correlation was found between prolactin serum levels and PASI score (r = 0,73; P < 0,05).

Conclusions

These results indicate that prolactin seems to have a role in the pathogenesis of psoriasis and it may serve as a biological marker of psoriatic disease activity. Keywords


(6)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Dengan mengucap Alhamdulillah, saya panjatkan puji dan syukur yang tak terhingga kehadirat Allah SWT karena hanya atas rahmat dan hidayahNya saya dapat menyelesaikan tesis ini yang merupakan persyaratan untuk memperoleh gelar keahlian dalam bidang Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin.

Dalam menjalani pendidikan spesialis ini, berbagai pihak telah turut berperan serta sehingga terlaksananya seluruh rangkaian pendidikan ini. Pada kesempatan yang berbahagia ini, saya sampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Yang Terhormat :

1. dr. Chairiyah Tanjung, Sp.KK(K), selaku pembimbing utama tesis ini dan juga sebagai Ketua Program Studi Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, yang telah bersedia meluangkan waktu, pikiran dan tenaga serta dengan penuh kesabaran selalu membimbing, memberikan nasehat, masukan, koreksi dan motivasi kepada saya selama proses penyusunan tesis ini.

2. dr. Kristo A. Nababan, SpKK, selaku pembimbing kedua tesis ini, yang juga telah membimbing dan memberikan masukan-masukan yang sangat bermanfaat selama penyusunan tesis ini.

3. Prof. Dr. dr. Irma D. Roesyanto-Mahadi, SpKK (K), sebagai Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan juga sebagai guru besar yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti pendidikan


(7)

spesialis dibidang Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara serta sebagai tim penguji tesis ini yang telah banyak membantu dan senantiasa memberikan dorongan dalam penyelesaian tesis ini maupun selama menjalani pendidikan sehari-hari. 4. Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. DR. Syahril Pasaribu,

SpA(K), DTM&H, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk dapat melaksanakan studi pada Universitas yang Bapak pimpin.

5. Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Prof. dr. Gontar A. Siregar, SpPD-KGEH, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis di Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

6. dr. Remenda Siregar, SpKK, dan dr. Sri Wahyuni Purnama, SpKK sebagai anggota tim penguji, yang telah memberikan bimbingan dan koreksi untuk penyempurnaan tesis ini.

7. Para Guru Besar, Prof. dr. Diana Nasution, SpKK (K), Prof. Dr. dr. Marwali Harahap, SpKK (K), Prof. dr. Mansur A. Nasution, SpKK (K), serta seluruh staf pengajar di Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK USU, RSUP. H. Adam Malik Medan dan RSU Dr. Pirngadi Medan yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, yang telah membantu dan membimbing saya selama mengikuti pendidikan ini.

8. Bapak Direktur RSUP. H. Adam Malik Medan dan Direktur RSU Dr. Pirngadi Medan yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada


(8)

9. dr. Surya Dharma, MPH, selaku staf pengajar Fakultas Kesehatan Masyarakat USU, yang telah banyak membantu saya dalam metodologi penelitian dan pengolahan statistik penelitian saya ini.

10.Seluruh staf/pegawai dan perawat di Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, baik di RSUP. H. Adam Malik Medan, RSU Dr. Pirngadi Medan, atas bantuan, dukungan, dan kerjasama yang baik selama ini. 11.Kedua orang tua saya yang tersayang, Alm. Ali Dulam dan Ethika Ashari,

tidak ada kata yang mampu menggantikan rasa terima kasih saya untuk semua pengorbanan, jerih payah dan kasih sayang Papa dan Mami untuk saya selama ini, terima kasih yang tak terhingga saya ucapkan dan betapa bersyukurnya saya mempunyai kedua orang tua seperti Papa dan Mami. Semoga Allah SWT membalas segalanya.

12.Kepada Om Iswahyudi Ashari atas segala kasih sayang, doa serta dukungan selama masa pendidikan saya.

13.Kepada kedua mertua saya yang tersayang, Prof. Dr. Ir. Roesyanto, MScE dan Prof. Dr. dr. Irma D. Roesyanto-Mahadi, SpKK(K) yang telah banyak membantu untuk senantiasa ikut mendukung dalam masa pendidikan saya. 14.Suami saya tercinta, dr. Iman Dwi Winanto terima kasih yang setulus-tulusnya atas segala pengorbanan, kesabaran dan pengertiannya serta untuk selalu memberikan dukungan, doa, semangat, bantuan disetiap saat hingga saya dapat menyelesaikan pendidikan ini.

15.Abangku, kakakku, adikku dan keponakanku, dr. Malvin Emeraldi, SpOG, dr. Dianing Amalia, Uke Setiadi SE, Angga Andhika Dulam, Indah Arifiyanti Roesyanto SE, Agung Adhiguna Putra Dulam, si kecil Diandra


(9)

dan Mayoshi. Terima kasih atas doa dan dukungan yang telah diberikan kepada saya selama ini.

16.Teman seangkatan saya yang tercinta, dr. Zikri Adriman, dr. Erlinta Sembiring, dr. Nancy Sitohang, dr. Surya Nola, dr. T. Sy Dessi Indah AS, dan dr. Cut Yunita terima kasih untuk kerja sama, kebersamaan, waktu dan kenangan yang tidak akan pernah terlupakan selama menjalani pendidikan ini.

17.Sahabat-sahabat saya tercinta, Nurul Syahvitri, Siti Mayang Sari Ray, Rere Harahap, Malayana Rahmita Nasution dan Ra Dwi Pujiastuti yang telah menjadi teman berbagi cerita suka dan duka selama menjalani masa pendidikan dan penyelesaian tesis ini.

18.Semua teman-teman PPDS Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan, dukungan, dan kerjasama kepada saya selama menjalani masa pendidikan dan penyelesaian tesis ini, saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Saya menyadari bahwa tesis ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan tesis ini. Kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.


(10)

Akhir kata, dengan penuh kerendahan hati, izinkanlah saya untuk menyampaikan permohonan maaf yang setulus-tulusnya atas segala kesalahan, kekhilafan dan kekurangan yang telah saya lakukan selama proses penyusunan tesis dan selama saya menjalani pendidikan. Semoga segala bantuan, dorongan dan petunjuk yang telah diberikan kepada saya selama mengikuti pendidikan, kiranya mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Amin ya Rabbal Alamin.

Medan, April 2013 Penulis


(11)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

DAFTAR SINGKATAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Hipotesis ... 4

1.4 Tujuan Penelitian ... 5

1.4.1 Tujuan Umum ... 5

1.4.2 Tujuan Khusus ... 5

1.5 Manfaat Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Psoriasis ... 7

2.1.1 Epidemiologi ... 7

2.1.2 Etiologi dan patogenesis ... 8

2.1.3 Gambaran klinis ... 8

2.1.4 Diagnosis ... 9

2.1.5 Diagnosis Banding ... 11

2.1.6 Pengukuran derajat keparahan psoriasis ... 12

2.1.7 Terapi ... 15

2.2 Prolaktin ... 16

2.3 Prolaktin dan Psoriasis ... 19

2.4 Kerangka Teori ... 27

2.5 Kerangka Konsep ... 28

BAB III METODE PENELITIAN ... 29

3.1 Desain Penelitian ... 29

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian ... 29

3.2.1 Waktu penelitian ... 29

3.2.2 Tempat penelitian ... 29

3.3 Populasi Penelitian ... 29

3.3.1 Populasi target... 29

3.3.2 Populasi terjangkau ... 30

3.3.3 Sampel ... 30

3.4 Besar Sampel ... 30


(12)

3.7.1 Kriteria inklusi ... 32

3.7.2 Kriteria eksklusi ... 32

3.8 Alat, bahan dan cara kerja... 33

3.8.1 Alat dan bahan untuk pengambilan sampel ... 33

3.8.2 Cara Kerja ... 34

3.9 Definisi Operasional ... 37

3.10 Kerangka Operasional... 41

3.11 Pengolahan dan Analisis Data ... 42

3.12 Ethical clearance ... 42

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 43

4.1 Karakteristik Subyek penelitian ... 43

4.2 Hubungan antara Kadar Prolaktin dalam Serum dengan Skor PASI ... 47

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 52

5.2 Saran ... 52


(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Karakteristik subyek penelitian berdasarkan jenis kelamin ... 43 Tabel 4.2 Karakteristik subyek penelitian berdasarkan kelompok usia ... 45 Tabel 4.3 Nilai rerata skor PASI dan nilai rerata prolaktin ... 35 Tabel 4.4 Hubungan antara kadar prolaktin dalam serum dengan skor PASI . 47


(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Fungsi prolaktin dalam biologi dan patologi kulit ... 20

Gambar 2.2 Diagram kerangka teori ... 27

Gambar 2.3 Diagram kerangka konsep ... 28

Gambar 3.1 Diagram kerangka operasional ... 41

Gambar 4.1 Diagram tebar (scatter plot) hubungan antara kadar prolaktin serum dengan skor PASI ... 48


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Naskah penjelasan kepada calon subjek penelitian / orangtua / keluarga calon subjek penelitian

Lampiran 2. Persetujuan setelah penjelasan dalam penelitian Lampiran 3. Status penelitian

Lampiran 4. Lembar penilaian skor Psoriasis Area and Severity Index (PASI) Lampiran 5. Skor keparahan psoriasis

Lampiran 6. Komite etik Lampiran 7. Data Penelitian Lampiran 8. Hasil analisis statistik Lampiran 9. Daftar riwayat hidup


(16)

DAFTAR SINGKATAN DAN TANDA AP-1 : Activation factor-1

CD : Cluster of differentiation

CMIA : Chemiluminescent microparticle immunoassay

CXCL- : CXC ligand

IFNγ : Interferon-γ

IRF-1 : IFN regulatory factor-1

GM-CSF : Granulocyte macrophage stimulating factor

IL- : Interleukin

JAK : Janus kinase

MHC : Major histocompatibility complex NF-κβ : Nuclear factor- κβ

NK : Natural killer

PASI : Psoriasis Area and Severity Index PIH : Prolactin inhibiting hormone PRH : Prolactin releasing hormone

STAT1 : Signal transducer and activation of transcription 1.

Th : T helper

TNFα : Tumor necrosing factor-α


(17)

Hubungan antara Kadar Prolaktin Serum Penderita Psoriasis Vulgaris dengan Skor Psoriasis Area and Severity Index

Oliviti Natali, Chairiyah Tanjung, Kristo A. Nababan Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / RSUP. H. Adam Malik Medan

Abstrak

Latar belakang

Psoriasis merupakan suatu penyakit inflamasi kulit kronik yang ditandai dengan terjadinya hiperproliferasi keratinosit. Etiologi psoriasis belum dimengerti sepenuhnya, namun tampaknya faktor genetik, defek imun, lingkungan, dan hormonal berperan pada terjadinya penyakit ini. Terdapat hipotesis yang menyatakan bahwa prolaktin dapat memodulasi sistem imun kulit dan mungkin terlibat dalam patogenesis psoriasis.

Tujuan

Untuk mengetahui hubungan antara kadar prolaktin serum pada penderita psoriasis vulgaris dengan skor Psoriasis Area and Severity Index (PASI).

Metode

Tiga puluh orang penderita psoriasis vulgaris yang berobat ke Poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP Haji Adam Malik Medan turut serta dalam penelitian ini. Dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik secara menyeluruh. Derajat keparahan psoriasis diukur dengan menggunakan skor PASI. Pemeriksaan prolaktin serum dilakukan dengan menggunakan metode chemiluminescent microparticle immunoassay (CMIA).

Hasil

Terdapat korelasi positif yang signifikan (kuat) diantara kadar prolaktin serum dengan skor PASI (r = 0,73; P < 0,05).

Kesimpulan

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa tampaknya prolaktin memiliki peranan dalam etiopatogenesis psoriasis serta dapat dijadikan penanda biologik untuk memantau aktivitas penyakit.

Kata kunci


(18)

Correlation Between Serum Prolactin Levels in Psoriasis Vulgaris with Psoriasis Area and Severity Index Score

Oliviti Natali, Chairiyah Tanjung, Kristo A. Nababan Dermatology and Venereology Department

Faculty of Medicine, University of Sumatera Utara/ RSUP. H. Adam Malik Medan

Abstract Background

Psoriasis is a common chronic and inflammatory skin disease characterized by hyperproliferation of keratinocytes. Its etiology is not completely known. However it seems that genetic, immune defect, environmental and hormonal play a role in this disease. It has been hypothesized that prolactin may modulate the skin immune system and may be involved in the pathogenesis of psoriasis.

Aim

To evaluate the correlation between serum prolactin levels and Psoriasis Area and Severity Index (PASI) score.

Methods

This study included 30 patients with psoriasis vulgaris, attending the outpatient clinic of Dermatology and Venereology Department in RSUP H. Adam Malik. Full history taking and clinical examination was done. Clinical severity of psoriasis were assessed by using the PASI score. Serum prolactin levels were measured with chemiluminescent microparticle immunoassay(CMIA) methods. Results

A significant positive correlation was found between prolactin serum levels and PASI score (r = 0,73; P < 0,05).

Conclusions

These results indicate that prolactin seems to have a role in the pathogenesis of psoriasis and it may serve as a biological marker of psoriatic disease activity. Keywords


(19)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Psoriasis adalah suatu penyakit inflamasi kulit kronis yang umum dan kompleks yang dapat mengenai semua usia. Penyakit ini ditandai dengan plak berbatas tegas yang disertai dengan skuama tebal berwarna keputihan. Lesi psoriasis terdistribusi secara simetris dengan predileksi utama di daerah ekstensor ekstremitas terutama siku dan lutut, kulit kepala, lumbosakral, bokong dan genitalia.1,2

Beberapa studi epidemiologi memperkirakan prevalensi psoriasis di dunia berkisar antara 0,6 sampai 4,8%.2 Di Amerika serikat sekitar 2% populasi menderita penyakit ini. Sementara pada kelompok etnis tertentu misalnya Jepang, Aborigin Australia, dan Indian Amerika prevalensinya lebih rendah.2,3 Di Indonesia belum ada data pasti mengenai jumlah penderita psoriasis. Di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) H. Adam Malik Medan, berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medis selama periode Januari - Desember 2010, dari total 3.230 orang yang berobat ke Poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, 34 pasien (1,05%) diantaranya merupakan pasien dengan diagnosis psoriasis. Dari jumlah tersebut 16 pasien (47%) berjenis kelamin pria dan 18 pasien (52,9%) berjenis kelamin wanita.


(20)

Psoriasis merupakan suatu penyakit yang tidak hanya menyebabkan gangguan fisik tetapi juga memberikan dampak psikologis pada penderitanya yaitu rasa malu, rendah diri dan depresi. Hal ini menyebabkan percobaan bunuh diri pada lebih dari 5% penderita psoriasis.1-3

Etiopatogenesis psoriasis bersifat kompleks dan belum dimengerti sepenuhnya. Penyakit ini dikaitkan dengan faktor genetik, defek sistem imun, lingkungan dan faktor hormonal, salah satunya prolaktin.4,5 Prolaktin merupakan suatu neuropeptida yang disekresikan oleh hipofisis anterior. Prolaktin memiliki berbagai efek fisiologis, diantaranya sebagai suatu imunomodulator yang memiliki efek stimulasi proliferasi keratinosit epidermal pada manusia.5-8

Dalam beberapa penelitian sebelumnya, hormon prolaktin dianggap berperan dalam etiopatogenesis psoriasis dan berhubungan dengan derajat keparahan psoriasis. Penelitian yang dilakukan oleh Paus (1991); Girolomoni et al. (1993); DeBellis et al. (2005); Biswas et al. (2006) menyatakan bahwa prolaktin memberikan kontribusi pada patogenesis psoriasis dengan cara menstimulasi proliferasi keratinosit, produksi Interferon-γ (IFN-γ) dan menyebabkan terjadinya angiogenesis.5 Weber et al. (1985) menunjukkan bahwa bromokriptin (sebuah inhibitor dopaminergik poten) yang menghambat sekresi prolaktin dapat menginduksi remisi lesi psoriasis epidermal dan bahkan psoriasis arthritis.9 Sementara itu Dunna dan Finlay (1989) menyatakan bahwa selama masa kehamilan, psoriasis cenderung lebih


(21)

stabil pada mayoritas penderita psoriasis wanita dan kemudian memburuk pada periode postpartum. Hal ini menunjukkan terdapatnya peranan dari kadar prolaktin yang meningkat selama masa laktasi.10

Sejumlah laporan menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kadar prolaktin serum pada pasien dengan psoriasis dibandingkan dengan populasi normal. Meskipun demikian hasil berbagai penelitian mengenai kadar prolaktin pada penderita psoriasis masih bersifat kontroversial. Penelitian yang dilakukan oleh Giasuddin et al. (1998) menunjukkan ditemukannya peningkatan kadar prolaktin yang signifikan pada pasien dengan psoriasis vulgaris dibandingkan dengan pasien dermatitis atopik dan subjek yang normal.11 Hasil yang sama juga tampak pada penelitian yang dilakukan oleh Maryam et al. (2009) serta Dilme et al. (2010) yang melaporkan adanya peningkatan kadar prolaktin yang signifikan pada kelompok psoriasis dibandingkan dengan kelompok kontrol serta tampak adanya hubungan yang positif diantara kadar prolaktin serum dengan derajat keparahan psoriasis yang dinilai dengan menggunakan skor Psoriasis Area Severity Index (PASI).12,13 Sanchez et al. (2000) melaporkan tiga kasus psoriasis tipe plak yang mengalami peningkatan derajat keparahan dengan adanya prolaktinoma.14 Gorpelioglu et al. (2008) meneliti kadar prolaktin pada 39 pasien dengan psoriasis kemudian membandingkannya dengan 36 orang kontrol. Pada studi ini tidak ditemukan perbedaan yang signifikan pada kadar serum prolaktin diantara pasien dan kontrol.15


(22)

Dari paparan diatas maka dapat disimpulkan bahwa penelitian mengenai kadar prolaktin pada penderita psoriasis serta hubungannya dengan derajat keparahan psoriasis belum menunjukkan hasil yang konsisten. Oleh karena itu peneliti berminat untuk melakukan penelitian mengenai kadar prolaktin dan hubungannya dengan derajat keparahan psoriasis.

1.2 Rumusan Masalah

Dengan memperhatikan latar belakang diatas, dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu; apakah terdapat hubungan antara kadar prolaktin serum dengan skor Psoriasis Area and Severity Index?

1.3 Hipotesis

Ada hubungan antara kadar prolaktin serum dengan skor Psoriasis Area and Severity Index.

1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan umum

Untuk mengetahui hubungan antara kadar prolaktin serum dengan skor Psoriasis Area and Severity Index. 1.4.2 Tujuan khusus

a. Untuk mengetahui kadar prolaktin serum pada penderita psoriasis vulgaris


(23)

b. Untuk mengetahui nilai skor Psoriasis Area and Severity index pada penderita psoriasis vulgaris.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat dalam bidang akademik : untuk membuka wawasan mengenai etiopatogenesis psoriasis terutama hubungannya dengan kadar prolaktin dalam serum. 1.5.2 Manfaat dalam pelayanan masyarakat : menjadi

landasan untuk pendekatan terapi psoriasis di masa yang akan datang, terutama mengenai penggunaan preparat antiprolaktin oral.

1.5.3 Manfaat bagi pengembangan penelitian: menjadi landasan teori bagi penelitian-penelitian selanjutnya.


(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Psoriasis

Psoriasis adalah penyakit inflamasi kulit kronik yang umum dijumpai, bersifat rekuren dan melibatkan beberapa faktor misalnya; genetik, sistem imunitas, lingkungan serta hormonal. Psoriasis ditandai dengan plak eritematosa yang berbatas tegas dengan skuama berlapis berwarna keputihan. Penyakit ini umumnya mengenai daerah ekstensor ekstremitas terutama siku dan lutut, kulit kepala, lumbosakral, bokong dan genitalia.1,2

2.1.1 Epidemiologi

Walaupun psoriasis terjadi secara universal, namun prevalensinya pada tiap populasi bervariasi di berbagai belahan dunia. Studi epidemiologi dari seluruh dunia memperkirakan prevalensi psoriasis berkisar antara 0,6 sampai 4,8%.2 Prevalensi psoriasis bervariasi berdasarkan wilayah geografis serta etnis. Di Amerika Serikat, psoriasis terjadi pada kurang lebih 2% populasi dengan ditemukannya jumlah kasus baru sekitar 150,000 per tahun. Pada sebuah studi, insidensi tertinggi ditemukan di pulau Faeroe yaitu sebesar 2,8%. Insidensi yang rendah ditemukan di Asia (0,4%) misalnya Jepang dan pada ras Amerika-Afrika (1,3%). Sementara itu psoriasis tidak ditemukan pada suku Aborigin Australia dan Indian yang berasal dari Amerika Selatan.1-3


(25)

Terdapatnya variasi prevalensi psoriasis berdasarkan wilayah geografis dan etnis menunjukkan adanya peranan lingkungan fisik ( psoriasis lebih sering ditemukan pada daerah beriklim dingin), faktor genetik, dan pola tingkah laku atau paparan lainnya terhadap perkembangan psoriasis.3

Pria dan wanita memiliki kemungkinan terkena yang sama besar.1 Beberapa pengamatan terakhir menunjukkan bahwa psoriasis sedikit lebih sering terjadi pada pria dibanding wanita. Sementara pada sebuah studi yang meneliti pengaruh jenis kelamin dan usia pada prevalensi psoriasis, ditemukan bahwa pada pasien yang berusia lebih muda (<20 tahun) prevalensi psoriasis ditemukan lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria.3

Psoriasis dapat mengenai semua usia dan telah dilaporkan terjadi saat lahir dan pada orang yang berusia lanjut. Penelitian mengenai onset usia psoriasis mengalami banyak kesulitan dalam hal keakuratan data karena biasanya ditentukan berdasarkan ingatan pasien tentang onset terjadinya dan rekam medis yang dibuat dokter saat kunjungan awal. Beberapa penelitian berskala besar telah menunjukkan bahwa usia rata-rata penderita psoriasis episode pertama yaitu berkisar sekitar 15-20 tahun, dengan usia tertinggi kedua pada 55-60 tahun.2 Sementara penelitian lainnya misalnya studi prevalensi psoriasis di Spanyol, Inggris dan Norwegia menunjukkan bahwa terdapat penurunan prevalensi psoriasis dengan meningkatnya usia.3


(26)

2.1.2 Etiologi dan patogenesis

Sebelumnya psoriasis dianggap sebagai suatu penyakit primer akibat gangguan keratinosit, namun saat ini psoriasis dikenal sebagai suatu penyakit yang diperantarai oleh sistem imun. Psoriasis melibatkan interaksi kompleks diantara berbagai sel pada sistem imun dan kulit, termasuk sel dendritik dermal, sel T, neutrofil dan keratinosit. Pada psoriasis, sel T CD8+ terdapat di epidermis sedangkan makrofag, sel T CD4+ dan sel-sel dendritik dermal dapat ditemukan di dermis superfisial. Sejumlah sitokin dan reseptor permukaan sel terlibat dalam jalur molekuler yang menyebabkan manifestasi klinis penyakit. Psoriasis dianggap sebagai suatu penyakit yang diperantarai oleh sistem imun yang ditandai dengan adanya sel T helper (Th)1 yang predominan pada lesi kulit dengan peningkatan kadar IFN-γ, tumor necrosing factor-α (TNF-α), IL-2 dan IL-18.16 Baru-baru ini jalur Th17 telah dibuktikan memiliki peranan penting dalam mengatur proses inflamasi kronik. Sebagai pusat jalur ini terdapat sel T CD4+, yang pengaturannya diatur oleh IL-23 yang disekresikan oleh sel penyaji antigen (sel dendritik dermal).17 Sel Th17 CD4+ mensekresikan IL-17 dan IL-22 yang berperan pada peningkatan dan pengaturan proses inflamasi dan proliferasi epidermal.

2.1.3 Gambaran klinis

Psoriasis merupakan penyakit papuloskuamosa dengan gambaran morfologi, distribusi, serta derajat keparahan penyakit yang bervariasi. Lesi klasik psoriasis biasanya berupa plak berwarna kemerahan yang


(27)

berbatas tegas dengan skuama tebal berlapis yang berwarna keputihan pada permukaan lesi. Ukurannya bervariasi mulai dari papul yang berukuran kecil sampai dengan plak yang menutupi area tubuh yang luas. Lesi pada psoriasis umumnya terjadi secara simetris, walaupun dapat terjadi secara unilateral. Dibawah skuama akan tampak kulit berwarna kemerahan mengkilat dan tampak bintik-bintik perdarahan pada saat skuama diangkat. Hal ini disebut dengan tanda Auspitz. Psoriasis juga dapat timbul pada tempat terjadinya trauma, hal ini disebut dengan fenomena Koebner. Penggoresan skuama utuh dengan mengggunakan pinggir gelas objek akan menyebabkan terjadinya perubahan warna lebih putih seperti tetesan lilin.1,2

Selain dari presentasi klasik yang disebutkan diatas terdapat beberapa tipe klinis psoriasis. Psoriasis vulgaris yang merupakan tipe psoriasis yang paling sering terjadi, berupa plak kemerahan berbentuk oval atau bulat, berbatas tegas, dengan skuama berwarna keputihan. Lesi biasanya terdistribusi secara simetris pada ekstensor ekstremitas, terutama di siku dan lutut, kulit kepala, lumbosakral, bokong dan genital.Bentuk lainnya yaitu psoriasis inversa (fleksural), psoriasis gutata, psoriasis pustular, psoriasis linier, dan psoriasis eritroderma.1

2.1.4 Diagnosis

Diagnosis psoriasis biasanya ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gambaran klinis lesi kulit. Pada kasus-kasus tertentu, dibutuhkan


(28)

pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium darah dan biopsi histopatologi.1

Pemeriksaan penunjang yang paling umum dilakukan untuk mengkonfirmasi suatu psoriasis ialah biopsi kulit dengan menggunakan pewarnaan hematoksilin-eosin. Pada umumnya akan tampak penebalan epidermis atau akantosis serta elongasi rete ridges. Terjadi diferensiasi keratinosit yang ditandai dengan hilangnya stratum granulosum. Stratum korneum juga mengalami penebalan dan terdapat retensi inti sel pada lapisan ini yang disebut dengan parakeratosis. Tampak neutrofil dan limfosit yang bermigrasi dari dermis. Sekumpulan neutrofil dapat membentuk mikroabses Munro. Pada dermis akan tampak tanda-tanda inflamasi seperti hipervaskularitas dan dilatasi serta edema papila dermis. Infiltrat dermis terdiri dari neutrofil, makrofag, limfosit dan sel mast.18

Selain biopsi kulit, abnormalitas laboratorium pada penderita psoriasis biasanya bersifat tidak spesifik dan mungkin tidak ditemukan pada semua pasien. Pada psoriasis vulgaris yang luas, psoriasis pustular generalisata, dan eritroderma tampak penurunan serum albumin yang merupakan indikator keseimbangan nitrogen negatif dengan inflamasi kronis dan hilangnya protein pada kulit. Peningkatan marker inflamasi sistemik seperti C-reactive protein, α-2 makroglobulin, dan erythrocyte sedimentation rate dapat terlihat pada kasus-kasus yang berat. Pada penderita dengan psoriasis yang luas dapat ditemukan peningkatan kadar asam urat serum. Selain daripada itu penderita psoriasis juga


(29)

menunjukkan gangguan profil lipid (peningkatan high density lipoprotein, rasio kolesterol-trigliserida serta plasma apolipoprotein-A1).1,18

Pada beberapa studi yang dilakukan akhir-akhir ini, tampak peningkatan kadar prolaktin serum pada penderita psoriasis dibandingkan dengan kelompok kontrol.11-14

2.1.5 Diagnosis banding

Gambaran klasik psoriasis biasanya mudah dibedakan dengan penyakit kulit lainnya. Namun lesi yang atipikal atau bentuk lesi selain plak yang klasik dapat menimbulkan tantangan bagi diagnosis psoriasis. Plak psoriasis yang kronis seringkali menyerupai dermatitis kronis dengan likenifikasi pada daerah ekstremitas. Tetapi biasanya pada dermatitis kronis lesinya tidak berbatas tegas serta skuama yang terdapat pada permukaan lesi tidak setebal pada psoriasis.1

Pada kasus psoriasis gutata, perlu dipertimbangkan diagnosis pityriasis rosea serta sifilis sekunder. Pityriasis rosea biasanya ditandai dengan makula eritematosa berbentuk oval dengan skuama tipis yang tersusun seperti pohon cemara pada daerah badan, lengan atas serta tungkai atas. Sebagian besar kasus diawali dengan lesi inisial yang disebut herald patch. Pada sifilis sekunder biasanya disertai dengan adanya keterlibatan telapak tangan dan kaki serta riwayat chancre oral atau genital yang tidak terasa nyeri.19


(30)

Psoriasis yang timbul pada skalp biasanya sulit dibedakan dengan dermatitis seboroik. Pasien dengan skuama keputihan yang kering serta menebal seperti mika, walaupun terdapat pada predileksi seboroik, biasanya merupakan psoriasis skalp.20

Psoriasis inversa/fleksural harus dibedakan dengan eritrasma dan infeksi jamur. Pada eritrasma, lesi berupa makula berbatas tegas berwarna merah kecoklatan yang biasanya terdapat pada daerah aksila dan genital. Infeksi jamur oleh kandida, lesi berupa makula eritematosa berbatas tegas dengan lesi satelit disekelilingnya. Eritroderma perlu dibedakan dengan limfoma kutaneus sel T. Lesi pada limfoma kutaneus sel T biasanya berupa lesi diskoid eritematosa yang disertai skuama dengan distribusi yang tidak simetris.21

2.1.6 Pengukuran derajat keparahan psoriasis

Mengukur derajat keparahan atau perbaikan klinis pada psoriasis tampaknya merupakan hal yang mudah, tetapi pada kenyataannya hal ini menimbulkan banyak kesulitan. Diperlukan pengukuran objektif yang terpercaya, valid, dan konsisten. Untungnya lesi pada psoriasis biasanya cukup jelas secara klinis dan oleh sebab itu relatif mudah untuk melakukan kuantifikasi tetapi sayangnya kuantifikasi sederhana pada lesi bukan merupakan suatu penilaian yang lengkap pada derajat keparahan, sebab dampak lesi psoriasis berbeda pada penderita yang satu dengan lainnya. Konsensus oleh American Academy of Dermatology menyatakan bahwa setiap penentuan keparahan psoriasis


(31)

membutuhkan perhatian khusus pada pengaruhnya terhadap kualitas hidup penderita.22 Salah satu tehnik yang digunakan untuk mengukur derajat keparahan psoriasis yaitu dengan menggunakan Psoriasis Area and Severity Index (PASI).23, 24

PASI merupakan kriteria pengukuran derajat keparahan yang paling sering digunakan. Berupa suatu rumus kompleks yang diperkenalkan pertama kali dalam studi penggunaan retinoid pada tahun 1978. PASI menggabungkan elemen pada presentasi klinis yang tampak pada kulit berupa eritema, indurasi dan skuama. Setiap elemen tersebut dinilai secara terpisah menggunakan skala 0 - 4 untuk setiap bagian tubuh: kepala dan leher, batang tubuh, ekstremitas atas dan ekstremitas bawah. Penilaian dari masing-masing tiga elemen kemudian dijumlahkan, selanjutnya hasil penjumlahan masing-masing area tubuh dikalikan dengan skor yang didapat dari skala 1 - 6 yang merepresentasikan luasnya area permukaan yang terlibat pada bagian tubuh tersebut. Skor ini kemudian dikalikan dengan faktor koreksi yang terdapat pada tiap area tubuh (0.1 untuk kepala dan leher, 0.2 untuk ekstremitas atas, 0.3 untuk batang tubuh, dan 0.4 untuk ekstremitas bawah). Akhirnya skor dari keempat area tubuh ditambahkan sehingga menghasilkan skor PASI. Kemungkinan nilai tertinggi PASI adalah 72 tetapi nilai ini secara umum dianggap hampir tidak mungkin untuk dicapai.23 Berdasarkan nilai skor PASI, psoriasis dapat dibagi menjadi psoriasis ringan (skor PASI <11), sedang (skor PASI 12-16), dan berat


(32)

Oleh karena kompleksitas skor PASI tersebut, maka bukan merupakan suatu hal yang mengejutkan jika skor ini jarang digunakan pada praktek klinis. Skor PASI merupakan suatu sistem penilaian yang digunakan untuk tujuan penelitian. Pada uji klinis, persentase perubahan pada PASI dapat digunakan sebagai titik akhir penilaian terapi psoriasis. The United States Food and DrugAdministration (FDA) menggunakan 75% perbaikan pada skor PASI sebagai penilaian respon terapi pada pasien psoriasis.22

Beberapa kesulitan dalam penggunaan skor PASI diantaranya; kesulitan dalam menentukan skor serta kurangnya korelasi dengan hasil akhir yang dilaporkan oleh pasien sendiri. Pengukuran luas permukaan tubuh bersifat tidak konsisten diantara para peneliti, sehingga menyebabkan variabilitas inter observer yang signifikan. Hal terpenting lainnya, skor PASI tidak secara jelas memperkirakan dampak dari penyakit terhadap pasien. Beberapa penelitian yang menilai korelasi antara PASI dengan kualitas hidup penderita telah menunjukkan konsistensi yang rendah.23

Beberapa variasi dari PASI telah dikembangkan untuk memperbaiki kelemahan ini serta untuk mengurangi waktu dan usaha yang diperlukan dalam melakukan penilaian. Salah satu variasi yang menarik adalah meminta pasien melakukan PASI modifikasi terhadap dirinya sendiri. Penilaian ini disebut Self Administered PASI (SAPASI). SAPASI memiliki korelasi yang baik dengan PASI serta responsif terhadap terapi. SAPASI khususnya memberikan manfaat pada studi


(33)

epidemiologi berskala besar dimana penilaian oleh dokter terhadap semua pasien dianggap tidak praktis.23,24

2.1.7 Terapi

Pengobatan anti psoriasis berspektrum luas baik secara topikal maupun sistemik telah tersedia. Sebagian besar obat-obatan ini memberikan efek sebagai imunomodulator. Sebelum memilih regimen pengobatan, penting untuk menilai perluasan serta derajat keparahan psoriasis.1

Pada dasarnya, mayoritas kasus psoriasis terbagi menjadi tiga bagian besar yaitu gutata, eritrodermik/pustular, dan plak kronis yang merupakan bentuk yang paling sering ditemukan. Psoriasis gutata biasanya mengalami resolusi spontan dalam waktu 6 sampai 12 minggu. Kasus psoriasis gutata ringan seringkali tidak membutuhkan pengobatan, tetapi pada lesi yang meluas fototerapi dengan menggunakan sinar ultraviolet (UV) B serta terapi topikal dikatakan memberikan manfaat.25 Psoriasis eritrodermik/pustular biasanya disertai dengan gejala sistemik, oleh karena itu diperlukan obat-obatan sistemik yang bekerja cepat. Obat yang paling sering digunakan pada psoriasis eritrodermik/pustular adalah asitretin. Pada beberapa kasus psoriasis pustular tertentu, penggunaan kortikosteroid sistemik mungkin diperlukan.26


(34)

(<10% luas permukaan tubuh), terapi topikal lini pertama dapat digunakan emolien, glukokortikoid atau analog vitamin D3 sedangkan lini kedua dapat dilakukan fototerapi dengan menggunakan sinar UVB. Pada psoriasis plak yang sedang (>10% luas permukaan tubuh) dapat diberikan terapi lini pertama seperti pada psoriasis ringan sedangkan lini keduanya dapat berupa pengobatan sistemik misalnya metotreksat, asitretin, serta agen-agen biologi seperti alefacept dan adalimumab. Untuk plak psoriasis berat (>30% luas permukaan tubuh), terapi terutama menggunakan obat-obat sistemik.27

2.2 Prolaktin

Prolaktin merupakan suatu rantai polipeptida tunggal yang terdiri dari 199 asam amino dengan berat molekul 23kDa yang secara sistemik berperan sebagai hormon dan secara lokal sebagai sitokin. Prolaktin termasuk kedalam famili somatotropin karena secara struktural prolaktin berhubungan dengan hormon pertumbuhan dan laktogen plasenta.5,7

Sekresi dan sintesis prolaktin diatur oleh sistem neuroendokrin terutama melalui Prolactin Releasing Hormone (PRH) dan Prolactin Inhibiting Hormone (PIH). Regulasi ekspresi serta sekresi prolaktin hipofisis bersifat sangat kompleks dan melibatkan berbagai jenis hormon, faktor pertumbuhan, obat-obatan, peptida, dan asam amino. Beberapa jenis obat-obatan yang dapat mempengaruhi sekresi prolaktin oleh karena adanya efek dopaminergik diantaranya; kontrasepsi oral, antipsikotik (haloperidol, chlorpromazine, risperidone), antidepresan


(35)

golongan trisiklik, opiat, amfetamin, antihipertensi (reserpine, verapamil, methyldopa) dan antihistamin (cimetidine). Hipofisis anterior merupakan tempat utama terjadinya transkripsi, translasi, dan sekresi prolaktin. Selain hipofisis anterior, prolaktin juga diekspresikan pada kulit, plasenta, uterus (endometrium), ovarium, testis, kelenjar mammae, prostat, otak, jaringan lemak, dan limfosit. Ekspresi prolaktin ekstra hipofisis ini memiliki pengaturan yang berbeda.7

Pada fetus, sintesis dan sekresi prolaktin oleh kelenjar hipofisis anterior dimulai pada beberapa minggu pertama gestasi. Kadarnya akan menurun setelah proses kelahiran dan akan mengalami peningkatan lagi selama 6 minggu pertama kehidupan. Selama masa kanak-kanak kadar prolaktin akan terus menurun sampai dengan 5 ng/mL.28 Tidak terdapat perubahan kadar prolaktin yang signifikan pada anak usia 8 – 15 tahun dibandingkan dengan orang dewasa. Sementara itu, pada wanita selama masa pubertas terjadi peningkatan kadar prolaktin serum secara progresif sampai terjadi perbedaan yang signifikan dengan kadarnya pada pria.

Kadar normal prolaktin pada serum bervariasi pada tiap individu. Variasi yang terjadi dipengaruhi oleh irama sikardian prolaktin, dimana ditemukan kadar puncak pada saat tidur (malam hari). Franz et al. (1978) meneliti kadar prolaktin rata-rata pada 6 orang subjek selama periode waktu lebih dari 24 jam. Didapatkan hasil bahwa kadar minimum prolaktin dicapai dalam waktu 10 jam sebelum onset tidur


(36)

tidur.Selain itu kadar prolaktin juga menunjukkan variasi sesuai musim. Kadar prolaktin serum rata-rata 30% lebih tinggi selama musim semi atau panas dibanding dengan kadarnya selama musim gugur atau dingin.29

Berdasarkan berbagai penelitian, kadar prolaktin normal dalam plasma bervariasi diantara wanita yang tidak hamil (10-25 ng/mL),

wanita hamil (150-200 ng/mL), wanita menyusui (300 ng/mL), dan pria (5-10 ng/mL).30 Selama masa kehamilan sampai kelahiran bayi, kadar

prolaktin akan meningkat secara progresif sebesar 10 sampai 20 kali lebih tinggi dari kadar normal (tidak hamil).6 Kemudian akan mengalami penurunan setelah 3-4 minggu postpartum. Pada ibu yang menyusui, kadar prolaktin serum akan terpelihara pada konsentrasi yang tinggi oleh karena hisapan puting susu oleh bayi akan menstimulasi sekresi prolaktin.6,7

Semua fungsi prolaktin diperantarai oleh reseptor membran yang memiliki afinitas tinggi. Sampai saat ini terdapat enam jenis isoform reseptor prolaktin pada manusia, yang memiliki struktur, afinitas reseptor, dan kemampuan signaling yang berbeda. Prolaktin diketahui memiliki berbagai fungsi fisiologi tambahan selain peranan klasiknya pada fungsi laktasi dan reproduksi. Sampai saat ini terdapat lebih dari 300 aktivitas biologi prolaktin yang telah diketahui.5,6

Terdapat hipotesis bahwa prolaktin berperan sebagai modulator neuroendokrin pada pertumbuhan epitel kulit dan sistem imun pada kulit. Paus (1991) menyatakan bahwa prolaktin membentuk sirkuit


(37)

prolaktin diantara kulit dan sistem syaraf pusat. Konsep ini kemudian diintegrasikan ke dalam komunikasi neuroendokrin dengan sistem imun melaui brain-skin axis.31 Dari beberapa penelitian prolaktin dan reseptor prolaktin ditemukan pada beberapa populasi sel kutaneus termasuk keratinosit, fibroblas, kelenjar keringat dan kelenjar sebaseus.5 Hal ini menunjukkan bahwa prolaktin berperan dalam berbagai proses fisiologis dan patologis pada kulit.

Beberapa peran prolaktin pada proses fisiologis kulit diantaranya sebagai termoregulasi dan osmoregulasi, meningkatkan produksi sebum melalui stimulasi proliferasi sebosit, menstimulasi proliferasi keratinosit, berperan dalam proses pertumbuhan rambut, bersama dengan hormon pertumbuhan mengatur keseimbangan adiposit dan metabolisme lemak, serta berperan dalam proses penyembuhan luka melalui peningkatan ekspresi heme oksidase 1, sintesis protein dan vascular endothelial growth factor (VEGF). Selain itu prolaktin juga berperan sebagai imunomodulator dalam sistem imun kulit.5,6

Beberapa kondisi patologis yang berkaitan dengan peningkatan kadar prolaktin (hiperprolaktinemia) diantaranya lupus eritematosus sistemik, sklerosis sistemik, sklerosis multipel, penyakit Graves, penyakit Addisons tiroiditis Hashimoto, dan psoriasis. Pada penyakit-penyakit ini, prolaktin akan menstimulasi pelepasan berbagai sitokin yang dihasilkan oleh Th1 maupun Th2, yang akhirnya mempengaruhi aktivitas penyakit.5


(38)

2.3 Prolaktin dan Psoriasis

Beberapa dekade terakhir ini terdapat hipotesis yang menyatakan bahwa prolaktin berperan dalam etiopatogenesis terjadinya psoriasis. Hal ini berdasarkan berbagai pengamatan yang menemukan bahwa terdapat peningkatan kadar serum prolaktin pada penderita psoriasis dibandingkan dengan subjek normal.11-14

Giasuddin et al. (1998) meneliti kadar serum prolaktin pada 12 pasien dengan psoriasis vulgaris dan membandingkan hasilnya dengan 9 orang pasien dermatitis atopik serta 20 subjek normal, didapatkan hasil kadar serum prolaktin pada psoriasis vulgaris lebih tinggi secara signifikan dibanding dengan kedua kelompok lainnya.11 Hasil yang sama juga didapatkan pada penelitian oleh Sanchez dan Millet (2000).

Beberapa penelitian lainnya menunjukkan bahwa peran prolaktin ini terutama terjadi melalui kerja prolaktin sebagai sebuah sitokin dengan berbagai efek imunomodulator pada sistem imun.8 Prolaktin akan menstimulasi sel-sel dalam sistem imun dengan cara berikatan dengan reseptor prolaktin. Peran prolaktin dalam biologi dan patologi kulit dapat dilihat pada gambar 2.1.


(39)

Gambar 2.1. Fungsi prolaktin dalam biologi dan patologi kulit* *dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan No. 5

Penelitian pertama yang mengamati efek prolaktin pada keratinosit manusia dilakukan oleh Girolomoni et al. (1993). Dalam penelitian ini mereka menilai efek prolaktin pada keratinosit yang dikultur dari bayi baru lahir dengan menggunakan lingkungan yang bebas serum. Didapatkan hasil bahwa prolaktin dapat menstimulasi proliferasi keratinosit yang dikultur dari manusia meskipun tanpa adanya epidermal growth factor (EGF).32

Yu-Lee (2001) menyatakan bahwa prolaktin meningkatkan proliferasi dan proteksi sel limfosit T terhadap apoptosis, sehingga akan menyebabkan peningkatan survival sel limfosit T. Selain itu prolaktin juga akan menginhibisi fungsi limfosit T-supresor yang berperan dalam perkembangan plak psoriasis.33


(40)

De Bellis et al. (2005) dan Biswas et al. (2006) menyatakan bahwa prolaktin meningkatkan sintesis IFN-γ dan IL-2 oleh limfosit Th1, induksi ekspresi molekul kostimulator misalnya major histocompatibility complex-II (MHC-II), cluster of differentiation 40 (CD40), CD80 pada sel penyaji antigen serta IFN regulatory factor-1 (IRF-1), dimana hasil akhir peningkatan sitokin-sitokin ini akan menyebabkan hiperproliferasi keratinosit.34,35

Peran prolaktin sebagai imunomodulator juga tampak pada sel dendritik. Pada penelitian yang dilakukan pada sel dendritik timus yang berasal dari tikus menunjukkan bahwa prolaktin meningkatkan sejumlah sitokin proinflamasi yaitu IL-12, TNF-α, dan IL-1β.36 Matera et al. (2001) menyatakan bahwa prolaktin dalam konsentrasi fisiologis dan suprafisiologis meningkatkan reseptor granulocyte macrophage stimulating factor (GM-CSF) yang nantinya secara sinergis bersama dengan prolaktin akan menginduksi permatangan sel dendritik yang imatur.37

Prolaktin memiliki peran yang potensial dalam modulasi sel natural killer (NK). Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya reseptor prolaktin pada sel NK manusia. Prolaktin bersama dengan faktor pertumbuhan sel NK yaitu IL-12 dan IL-15 akan menstimulasi proliferasi sel NK. Sel NK memproduksi IFN-γ dan TNF-α yang berperan dalam proses terjadinya inflamasi pada psoriasis.38

Pada monosit/makrofag yang dikultur dari manusia, prolaktin meningkatkan produksi vascular endothelial growth factor (VEGF). Hal


(41)

ini menunjukkan bahwa prolaktin mungkin berperan dalam pengaturan terjadinya angiogenesis.39

Pada lesi psoriasis ditemukan peningkatan ekspresi dan produksi CXC Ligand (CXCL)9, CXCL10, dan CXCL11 oleh keratinosit, yang memiliki fungsi kemotaktis terhadap sel Th1 ke tempat terjadinya inflamasi. Peningkatan ekspresi dan produksi ketiga kemokin ini terutama diinduksi oleh IFN-γ yang dihasilkan oleh sel Th1. Naoko Kanda et al. (2007) meneliti secara invitro efek prolaktin terhadap produksi CXCL9, CXCL10, dan CXCL11 oleh keratinosit manusia. Penelitian ini menunjukkan bahwa walaupun prolaktin sendiri tidak memberikan efek yang signifikan pada produksi ketiga kemokin ini namun prolaktin meningkatkan produksi CXCL9, CXCL10, dan CXCL11 yang diinduksi oleh IFN-γ melalui aktivasi faktor transkripsi signal transducer and activator of transcription 1 (STAT1), nuclear factor-κβ (NF- κβ), dan IRF-1.40 Aktivasi ketiga faktor transkripsi tersebut menggunakan jalur janus kinase 2 (JAK2) dan MEK/ERK.

Selain itu, akhir-akhir ini jalur Th17 yang memproduksi 23, IL-17, IL-22 serta TNF-α telah dibuktikan memiliki peranan penting dalam proses inflamasi pada psoriasis.17 Lowes et al. (2008) menemukan adanya infiltrasi Th17 secara agresif ke dalam dermis pada lesi psoriasis. Infiltrasi Th17 yang mengekspresikan CCR6 kedalam lesi psoriasis disebabkan oleh karena efek kemotaksis dari CCL20. Naoko Kanda et al. (2009) melakukan pengamatan secara in vitro efek


(42)

oleh IL-17 pada keratinosit manusia.41 Pada penelitian ini ditemukan bahwa prolaktin sendiri meningkatkan sekresi CCL20 sampai dengan 9,7 kali dibandingkan dengan kontrol. Sementara IL-17 sendiri meningkatkan sekresi CCL20 sampai dengan 12,9 kali dibanding dengan kontrol serta prolaktin secara sinergis akan meningkatkan sekresi CCL20 yang diinduksi oleh IL-17. Peningkatan ini terjadi melalui aktivasi faktor transkripsi activation factor-1 (AP-1) dan NF-κβ. Hasil penelitian ini secara invitro menunjukkan gambaran in vivo yaitu; prolaktin dapat menginduksi sekresi CCL20 oleh keratinosit epidermal pada lesi psoriasis dan CCL20 yang disekresikan akan menarik sel Th17 yang mengekspresikan CCR6. Selanjutnya sel Th17 akan melepaskan IL-17 yang nantinya secara bersama-sama dengan prolaktin akan menginduksi sekresi CCL20 oleh keratinosit sehingga menyebabkan kembali penarikan sel Th17. Mekanisme umpan balik positif dari prolaktin dengan IL-17 dan CCL20 dapat memperluas inflamasi yang diperantarai oleh sel Th17 pada lesi psoriasis.

Pada wanita hamil yang menderita psoriasis ditemukan bahwa selama kehamilan 55% penderita mengalami perbaikan, 21% tidak mengalami perubahan, dan 23% mengalami perburukan. Sementara itu saat postpartum hanya 9% mengalami perbaikan, 26% tidak mengalami perubahan, dan 65% mengalami perburukan penyakit. Hal ini menunjukkan bahwa terjadinya hiperprolaktinemia fisiologis selama masa postpartum (laktasi) akan menyebabkan perburukan psoriasis.42,43 Hal ini sejalan dengan adanya laporan bahwa psoriasis berhubungan


(43)

dengan prolaktinoma. Sanchez et al. (2000) melaporkan terjadinya peningkatan derajat dan perluasan psoriasis tipe plak pada tiga kasus prolaktinoma yang terjadi pada wanita. Pada ketiga kasus ini pemberian terapi bromokriptin, sebuah agonis dopamin yang menekan sekresi prolaktin, memberikan respon terapeutik yang baik.14 Pengamatan ini menunjukkan bahwa peningkatan kadar prolaktin berhubungan dengan derajat keparahan psoriasis.

Dalam hal pengobatan psoriasis, siklosporin A merupakan salah satu pengobatan yang efektif dengan berbagai efek pada beberapa tipe sel tertentu. Salah satunya yaitu siklosporin A berperan dalam menghambat ikatan prolaktin dengan prolaktin reseptor pada limfosit T dan limfosit B manusia. Selain itu siklosporin A juga secara selektif menghambat peningkatan aktivitas ornithin dekarboksilase pada limfosit yang distimulasi oleh prolaktin.44 Hal ini menunjukkan bahwa efek anti proliferasi pada obat ini dapat diperantarai oleh kemampuan antagonis terhadap prolaktin.

Beberapa penelitian terakhir tidak hanya mengamati peran prolaktin dalam etiopatogenesis psoriasis namun juga hubungannya dengan derajat keparahan psoriasis. Maryam et al. (2009) melakukan pengukuran kadar prolaktin serum pada 30 orang pasien psoriasis vulgaris dan 30 orang subjek sehat sebagai kontrol. Ditemukan peningkatan yang cukup signifikan pada kadar prolaktin serum penderita psoriasis dibanding kelompok kontrol. Selain itu dengan


(44)

diantara kadar prolaktin serum dengan derajat keparahan psoriasis yang dinilai dengan menggunakan skor PASI.12 Sementara Dilme et al. (2010) melakukan pengukuran kadar prolaktin serum pada 20 orang pasien dengan psoriasis tipe plak sebelum dan sesudah terapi topikal dengan tacalcitol, didapatkan hasil bahwa terdapat peningkatan yang signifikan pada kadar prolaktin serum penderita psoriasis dibanding dengan kelompok kontrol (P < 0.001) serta terdapatnya hubungan yang signifikan diantara kadar prolaktin serum sebelum pengobatan dengan derajat keparahan psoriasis.13

Berbagai penelitian yang dijelaskan sebelumnya mengindikasikan bahwa prolaktin mempunyai peranan yang penting dalam etiopatogenesis psoriasis. Namun demikian masih terdapat beberapa kontroversi mengenai hal ini. Seperti yang tampak pada sebuah studi oleh Gorpelioglu et al. (2008) yang meneliti kadar prolaktin pada 39 pasien dengan psoriasis kemudian membandingkannya dengan 36 orang kontrol. Pada studi ini tidak ditemukan perbedaan yang signifikan pada kadar seum prolaktin diantara pasien dan kontrol.1


(45)

2.4 Kerangka Teori

Gambar 2.2 Diagram kerangka teori

Meningkatkan proliferasi, proteksi terhadap apoptosis dan survival sel T.

Inhibisi fungsi limfosit T supresor.

Limfosit T

Meningkatkan produksi IFN- γ dan IL-2 oleh Th1.

Peningkatan kemokin CXCL 9, CXCL 10 dan CXCL 11 yang diinduksi oleh IFN-γ.

Peningkatan produksi CCL20 basal dan CCL20 yang diinduksi oleh IL-17. Keratinosit Patogenesis psoriasis 1. Hormonal (Prolaktin)

Meningkatkan ekspresi IL-12, TNF-α, dan IL-1β.

Sel dendritik

Meningkatkan ekspresi reseptor GM-CSF dan menginduksi maturasi sel dendritik.

Aktivasi proliferasi sel NK.

Sel natural killer

Menginduksi produksi vascular endothelial growth factor

(VEGF) oleh makrofag

Makrofag 2. Genetik

3. Lingkungan 4. Imunologi


(46)

2.5 Kerangka Konsep

Gambar 2.3 Diagram kerangka konsep

PSORIASIS

Kadar prolaktin serum

Skor Psoriasis Area and Severity Index


(47)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan suatu studi analitik rancangan potong lintang (cross sectional).

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2.1 Waktu penelitian

Penelitian dilaksanakan mulai bulan Januari 2012 sampai dengan Desember 2012, bertempat di Poliklinik IK Kulit dan Kelamin RSUP. H. Adam Malik Medan

3.2.2 Tempat penelitian

Pengambilan sampel darah dilakukan di Poliklinik IK Kulit dan Kelamin RSUP. H. Adam Malik Medan, untuk selanjutnya akan dikirim ke Laboratorium Klinik Pramita Jl. Diponegoro Medan.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian 3.3.1 Populasi target


(48)

3.3.2 Populasi terjangkau

Pasien-pasien yang menderita psoriasis vulgaris yang berobat ke Poliklinik IK Kulit dan Kelamin RSUP. H. Adam Malik Medan sejak Januari 2012.

3.3.3 Sampel

Pasien-pasien yang menderita psoriasis vulgaris yang berobat ke Polikilinik IK Kulit dan Kelamin RSUP. H. Adam Malik Medan mulai bulan Januari 2012 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

3.4 Besar Sampel

Untuk menghitung besarnya sampel penelitian, maka digunakan rumus sebagai berikut:45

Rumus : n = Jumlah sampel = (Zα + Zβ) 2 + 3 0,5 ln [(1+r) / (1-r)]

Kesalahan tipe I (α) = 5 %, hipotesis dua arah, maka Zα = 1,960

Kesalahan tipe II (β) = 20 %, maka Zβ = 0,842 *r = Koefisien korelasi = 0,52


(49)

Maka : n = 1,960+0,842 2 + 3 0,5 ln [(1 + 0,52)/ (1 - 0,52)]

= 26,59 ≈ 27 orang

Jumlah sampel penderita psoriasis yang diikutsertakan dalam penelitian ini sebanyak 30 orang.

3.5 Cara Pengambilan Sampel Penelitian

Cara pengambilan sampel penelitian dilakukan dengan metode consecutive sampling.

3.6 Identifikasi Variabel

a. Variabel bebas : kadar prolaktin serum

b. Variabel terikat : skor Psoriasis Area and Severity Index

c. Variabel kendali : pemeriksaan kadar prolaktin serum

3.7 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Pasien psoriasis vulgaris yang berobat ke Poliklinik IK Kulit dan Kelamin RSUP. H. Adam Malik Medan.


(50)

3.7.1 Kriteria inklusi

a. Subyek yang didiagnosis secara anamnesis dan klinis sebagai psoriasis vulgaris.

b. Berjenis kelamin perempuan atau laki-laki. c. Berusia 15 – 55 tahun

d. Tidak menggunakan obat-obatan untuk mengobati psoriasis; topikal minimal 2 minggu sebelum dilakukan penelitian dan obat sistemik minimal 6 minggu sebelum dilakukan penelitian.

e. Bersedia ikut dalam penelitian dengan menandatangani informed consent.

3.7.2 Kriteria eksklusi

a. Subyek wanita hamil, menyusui atau menderita gangguan siklus haid.

b. Subyek yang sedang mengkonsumsi obat-obatan yang mempengaruhi kadar serum prolaktin seperti; estrogen (kontrasepsi oral), antipsikotik (haloperidol, chlorpromazine, risperidone), antidepresan golongan trisiklik, opiat, amfetamin, antihipertensi (reserpine, verapamil, methyldopa) dan antihistamin (cimetidine).


(51)

c. Subyek dengan penyakit autoimun lainnya; lupus eritematosus sistemik, sklerosis sistemik, sklerosis multipel, penyakit Graves, penyakit Addisons, serta tiroiditis Hashimoto.

d. Subyek dengan prolaktinoma.

3.8 Alat, Bahan, dan Cara Kerja 3.8.1 Alat dan bahan

a. Pemeriksaan kadar prolaktin dilakukan dengan tehnik chemiluminescent microparticle immunoassay (CMIA). b. Untuk pengambilan masing-masing sampel darah :

a) Satu pasang sarung tangan.

b) Satu buah alat ikat pembendungan (torniquet). c) Satu buah spuit disposable 10 cc.

d) Satu buah vacutainer (tabung pengumpul darah steril) 5 cc yang mengandung heparin.

e) Satu buah plester luka f) Kapas

g) Povidon iodine

3.8.2 Cara kerja

a. Pencatatan data dasar

a) Pencatatan data dasar dilakukan oleh peneliti di Poliklinik IK Kulit dan Kelamin RSUP H. Adam


(52)

b) Pencatatan data dasar meliputi identitas penderita, anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan dermatologis, pemeriksaan penunjang yang meliputi pemeriksaan fenomena tetesan lilin dan tanda Auspitz sesuai formulir catatan medis terlampir. c) Diagnosis klinis ditegakkan oleh peneliti bersama

dengan pembimbing di Poliklinik IK Kulit dan Kelamin RSUP H. Adam Malik Medan.

b. Pemeriksaan derajat keparahan psoriasis dengan menggunakan skor Psoriasis Area and Severity Index (PASI) pada pasien psoriasis. Penilaian skor PASI dilakukan oleh peneliti di bawah pengawasan pembimbing.

Cara menentukan skor PASI:

a) Pertama bagi tubuh menjadi 4 area : kepala, ekstremitas atas (lengan), batang tubuh sampai inguinal, dan ekstremitas bawah (kaki kearah bokong bagian atas).

b) Tentukan penilaian skor untuk eritema, ketebalan lesi, dan skuama pada tiap area tadi. (0 = absen, 1 = ringan , 2 = sedang, 3 = berat, 4 = sangat berat) c) Jumlahkan skor eritema, ketebalan lesi, dan skuama


(53)

d) Tentukan persentase kulit yang terkena psoriasis pada tiap area tadi dengan menggunakan skala 0-6

(0= 0%, 1= <10%, 2= 10 - <30%, 3= 30 - <50%, 4= 50 - < 70%, 5= 70 - < 90%, 6= 90 – 100%).

e) Kalikan skor (c) dengan (d) diatas untuk tiap area dan kemudian hasilnya dikalikan dengan 0.1 untuk kepala, 0.2 untuk lengan, 0.3 untuk batang tubuh, dan 0.4 untuk kaki.

f) Penjumlahan dari total skor tiap area diatas merupakan skor PASI.

c. Pemeriksaan kadar prolaktin serum pada penderita psoriasis. a) Pemeriksaan kadar prolaktin serum dilakukan di

Laboratorium Klinik Pramita Medan.

b) Pengambilan sampel dilakukan oleh peneliti sementara pemeriksaan sampel dilakukan oleh petugas laboratorium. Dengan ketentuan sebagai berikut;

i. Sampel darah diambil pada pagi hari sekitar pukul 08.00 – 10.00 wib.

ii. Untuk menghindari terjadinya bias maka 1 - 2 jam sebelum dilakukan pengambilan sampel, pasien tidak diperbolehkan untuk berolah raga,


(54)

mengkonsumsi alkohol, melakukan hubungan seksual serta dalam keadaan berpuasa

d. Cara pengambilan darah :

a) Darah diambil secara punksi vena pada vena mediana cubiti, di lipatan siku.

b) Torniquet diikatkan diatas lipatan siku, kemudian tangan dikepal.

c) Pada daerah yang akan dipunksi dilakukan desinfeksi dengan larutan povidon iodine 10% dan alkohol 70 %.

d) Tusukkan jarum dengan kedalaman 1,25 inci dengan sudut 450 terhadap permukaan lengan.

e) Ambil darah hingga volume yang dibutuhkan (0.5 ml) kemudian genggaman dilepaskan.

f) Lepaskan tourniquet dan daerah punksi ditekan dengan kapas beralkohol 70%.

g) Daerah punksi ditutup dengan plester.

h) Darah dimasukkan kedalam tabung berisi antikoagulan.

e. Cara pemeriksaan kadar prolaktin

Kadar prolaktin serum dihitung menggunakan metode chemiluminescent microparticle immunoassay (CMIA).


(55)

f. Kadar prolaktin serum pada penderita psoriasis vulgaris dihubungkan secara statistik dengan skor PASI.

3.9 Definisi Operasional 1. Usia :

Usia subjek saat pengambilan sampel dihitung dari tanggal lahir, bila lebih dari 6 bulan, usia dibulatkan keatas; bila kurang dari 6 bulan, usia dibulatkan kebawah.

2. Diagnosis klinis psoriasis :

Plak eritematosa yang ditutupi skuama tebal berwarna putih keperakan dengan predileksi pada daerah kulit kepala, garis perbatasan kepala dan rambut, ekstremitas ekstensor, batang tubuh dan lumbosakral disertai hasil pemeriksaan fenomena tetesan lilin dan tanda Auspitz yang menunjukkan hasil positif.

• Pemeriksaan fenomena tetesan lilin :

Dilakukan penggoresan pada lesi dengan skuama yang utuh dengan menggunakan pinggir kaca objek secara perlahan. Intepretasi positif apabila terjadi perubahan warna menjadi lebih putih seperti tetesan lilin.

• Tanda Auspitz :

Dilakukan penggoresan skuama dengan menggunakan kaca objek sampai skuama terbuang habis dan tampak bintik-bintik perdarahan.


(56)

Merupakan salah satu metode yang digunakan untuk menilai derajat keparahan psoriasis berdasarkan eritema, ketebalan lesi, skuama, area dan luas area tubuh yang terlibat.

4. Prolaktin :

Sebuah neuropeptida yang disekresikan oleh hipofisis anterior yang memiliki berbagai efek, salah satunya yaitu stimulasi proliferasi keratinosit.

5. Menstruasi (haid normal) :

Lamanya siklus berlangsung antara 21-35 hari, lama perdarahan 3-7 hari, volume perdarahan kurang lebih 20-80 cc persiklus, tidak disertai rasa nyeri yang berlebihan hingga membatasi aktivitas normal, darah berwarna merah segar dan tidak menggumpal, serta darah / cairan /bau dari vagina tidak berbau busuk.

6. Lupus eritematosus sistemik:

Merupakan suatu penyakit autoimun sistemik yang dapat mengenai seluruh bagian tubuh. Diagnosis ditegakkan dengan menggunakan kriteria American College of Rheumatology yaitu adanya ruam malar (butterfly rash), ruam diskoid, serositis, ulkus oral, arthritis, fotosensitivitas, kelainan hematologi misalnya anemia hemolitik, leukopenia, limfopenia, trombositopenia, kelainan ginjal, uji antinuclear antibody positif, gangguan imunologik berupa anti-smith, anti-ds DNA, antiphospholipid antibody positif dan atau hasil positif palsu uji serologis sifilis. 7. Sklerosis sistemik:


(57)

Merupakan suatu penyakit jaringan ikat sistemik yang ditandai dengan adanya gangguan vasomotor, atrofi kulit, jaringan subkutan, otot, dan organ dalam (paru-paru, jantung, jantung, ginjal dan susunan syaraf pusat) serta ganguan imunologik.

8. Sklerosis multipel

Merupakan penyakit inflamasi akibat demielinisasi susunan syaraf pusat yang ditandai dengan kelemahan satu atau lebih anggota gerak, optik neuritis serta gejala sensoris.

9. Penyakit Graves

Merupakan suatu jenis penyakit hipertiroid yang ditandai dengan iritabilitas, fatigue atau kelemahan otot, intoleransi terhadap panas, gangguan tidur, tremor, diare, denyut jantung yang cepat dan ireguler, penurunan berat badan serta pembesaran kelenjar tiroid. 10.Penyakit Addisons

Merupakan kelainan endokrin kronis akibat gangguan pada kelenjar adrenal yang jarang terjadi. Ditandai dengan fatigue, kelemahan otot, demam, penurunan berat badan, mual, muntah, diare, nyeri otot dan sendi, hipotensi ortostatik. Sebagian besar penderita akan mengalami hiperpigmentasi kulit meskipun pada daerah yang tidak terpapar sinar ultraviolet.

11. Tiroiditis Hashimoto

Merupakan suatu penyakit tiroid autoimun yang ditandai dengan peningkatan berat badan, depresi, mania, sensitivitas terhadap


(58)

kolesterol tinggi, konstipasi, kelemahan otot, infertilitas serta gangguan memori.

12. Prolaktinoma

Merupakan tumor jinak kelenjar hipofisis yang ditandai dengan amenorrhea, galactorrhea, hipogonadisme, ginekomastia, vertigo, mual dan muntah.

13.Kontrasepsi oral

Merupakan obat –obat yang dikonsumsi secara oral yang bertujuan untuk mencegah terjadinya konsepsi.

14. Antipsikotik

Merupakan obat – obatan psikiatri yang terutama digunakan untuk mengobati psikosis.

15. Antidepresan

Merupakan obat – obatan yang digunakan untuk mengobati depresi.

16. Antihipertensi

Merupakan kelompok obat – obatan yang digunakan untuk mengobati hipertensi.

17. Antihistamin

Merupakan obat – obatan atau komponen tertentu yang dapat menginhibisi efek fisiologis dari histamin.


(59)

3.10 Kerangka Operasional

Gambar 3.1 Diagram kerangka operasional

3.11 Pengolahan dan Analisis data

a. Data-data yang terkumpul kemudian dianalisis dan selanjutnya disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi.

b. Analisis statistik yang digunakan untuk menilai hubungan antara kadar prolaktin serum dengan skor PASI adalah uji korelasi.

c. Batas uji kemaknaan (p) yang digunakan dalam penelitian ini adalah 0,05. Dikatakan bermakna jika nilai p <0,05 dan tidak bermakna jika nilai p> 0,05.

Kelompok penderita psoriasis vulgaris

Pengukuran kadar prolaktin Penilaian skor

PASI


(60)

3. 12 Ethical Clearance

Penelitian ini dilakukan setelah memperoleh ethical clearance dari komite etik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.


(61)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada penelitian ini telah dilakukan pemeriksaan kadar prolaktin serum terhadap 30 orang subyek psoriasis vulgaris dengan berbagai skor PASI yang dimulai dari bulan Januari 2012 hingga Bulan Desember 2012. Pada semua subyek penelitian telah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pengukuran nilai skor PASI, dan selanjutnya telah diambil sampel darah dari 30 orang subyek penelitian.

4.1 Karakteristik Subyek Penelitian

Karakteristik subyek pada penelitian ini ditampilkan berdasarkan distribusi jenis kelamin dan kelompok usia.

Distribusi subyek penelitian berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 4.1

Tabel 4.1. Karakteristik subyek penelitian berdasarkan jenis kelamin Jenis kelamin Subyek penelitian

n %

Laki-laki 17 56,7

Perempuan 13 43,3


(62)

Berdasarkan tabel 4.1 dari total 30 subyek penelitian didapatkan 17 orang (56,7%) adalah laki-laki dan 13 orang (43,3%) adalah perempuan. Hal ini memperlihatkan bahwa jumlah pasien psoriasis vulgaris berjenis kelamin laki-laki lebih banyak dari perempuan.

Berbagai penelitian yang telah dilakukan menunjukkan hasil yang sama, bahwa psoriasis sedikit lebih sering dijumpai pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Suite (2006) dalam sebuah studi retrospektif pada klinik dermatologi di Trinidad dan Tobago melaporkan bahwa psoriasis lebih sering dijumpai pada laki-laki dibandingkan perempuan dengan perbandingan 1,5:1.46

Demikian juga Naldi et al. (2004) dalam penelitiannya melaporkan bahwa prevalensi terjadinya psoriasis pada populasi umum relatif tinggi yaitu berkisar antara 0,6% - 4,8% dengan predominasi jenis kelamin laki-laki.47

Fatani (2002) dalam penelitiannya terhadap 263 orang pasien psoriasis dewasa di Saudi Arabia, mendapatkan hasil bahwa penyakit ini lebih banyak terjadi pada laki-laki daripada perempuan, dengan perbandingan 1,4:1.48

Kaur (1997) melaporkan penelitiannya terhadap 1220 orang pasien psoriasis di India, bahwa psoriasis lebih sering terjadi pada laki-laki (67%) dibandingkan dengan perempuan (33%) dengan perbandingan 2,03:1.49


(63)

Bedi (1995) melakukan penelitian terhadap 530 orang pasien psoriasis di India utara, mendapatkan bahwa prevalensi terjadinya psoriasis diantara pasien rawat jalan pada klinik dermatologi yaitu sebesar 2,8% dengan perbandingan jumlah pasien psoriasis laki-laki lebih banyak daripada perempuan yaitu sebesar 2,4:1.49

Distribusi subyek penelitian berdasarkan kelompok usia dapat dilihat pada tabel 4.2

Tabel 4.2. Karakteristik subyek penelitian berdasarkan kelompok usia

Usia Subyek penelitian

n %

15-30 7 23,3

31-45 17 56,7

46-60 6 20

Total 30 100

Berdasarkan tabel 4.2 dari total 30 orang subyek penelitian didapati bahwa subyek terbanyak berusia antara 31-45 tahun yang berjumlah 17 orang (56,7%).

Psoriasis dapat terjadi pada semua usia, penyakit ini pernah dilaporkan terjadi pada saat lahir serta pada orang yang berusia lebih lanjut. Penentuan yang akurat mengenai onset terjadinya psoriasis sampai dengan saat ini masih menjadi permasalahan, oleh karena beberapa penelitian yang dilakukan hanya berdasarkan ingatan pasien


(64)

Dogra (2010) dalam sebuah penelitian epidemiologi melaporkan bahwa psoriasis dua kali lebih sering dijumpai pada laki-laki dibanding perempuan dan sebagian besar pasien berada pada dekade ke-3 atau ke-4 kehidupannya.49

Kaur (1997) melakukan penelitian pada 1220 orang pasien psoriasis vulgaris di India, melaporkan bahwa psoriasis vulgaris dapat terjadi pada bayi sampai dengan dekade ke-8 kehidupan dengan usia rerata sekitar 33,6 tahun. Pada perempuan didapati usia rerata yang lebih rendah yaitu 27,6 tahun dibandingkan dengan laki-laki yaitu 30,9 tahun.49

Nevitt (1996) dalam penelitiannya melaporkan bahwa usia rerata penderita psoriasis ialah 33 tahun dan 75% kasus psoriasis terjadi sebelum usia 46 tahun.25

4.2 Hubungan antara Kadar Prolaktin dalam Serum dengan Skor PASI

Nilai rerata skor PASI dan nilai rerata kadar prolaktin dalam serum dapat dilihat pada tabel 4.3.

Tabel 4.3 Nilai rerata skor PASI dan nilai rerata prolaktin

Rerata n

Skor PASI Kadar prolaktin

12,69 12,49

30 30


(65)

Berdasarkan tabel 4.3 tampak bahwa nilai rerata skor PASI yaitu 12,69 dan nilai rerata kadar prolaktin yaitu 12,49 ng/mL.

Hubungan antara kadar prolaktin dalam serum penderita psoriasis vulgaris dengan skor PASI dapat dilihat pada tabel 4.4

Tabel 4.4 Hubungan kadar prolaktin dalam serum dengan skor PASI

Variabel n r P

value Hubungan antara

kadar prolaktin dalam serum dengan skor PASI

30 0,73* .000

* r = koefisien korelasi Pearson

Pada tabel 4.4 ditampilkan analisis statistik hubungan antara kadar prolaktin dalam serum dengan skor PASI. Analisis korelasi Pearson menunjukkan terdapat hubungan positif yang kuat antara kadar prolaktin dalam serum penderita psoriasis vulgaris dengan skor PASI, dengan nilai r sebesar 0,73.

Pada gambar 4.1 ditunjukkan pola hubungan antara kadar prolaktin dalam serum pasien psoriasis vulgaris dengan skor PASI yang membentuk garis linier.


(66)

Gambar 4.1 Diagram tebar (Scatter Plot) hubungan antara kadar prolaktin dalam serum dengan skor PASI

Dari hasil penelitian ini maka dapat ditentukan nilai koefisien determinasi (r2) sebesar 53% yang berarti 53% keragaman skor PASI dapat dijelaskan oleh tinggi rendahnya nilai prolaktin serum sementara sisanya sebesar 47% mungkin disebabkan oleh faktor-faktor lain.

Dari nilai koefisien korelasi r diatas maka dapat dianalisis lebih lanjut bagaimana ketergantungan antar variabel, untuk itu dapat dilakukan analisis regresi linier. Secara matematis didapatkan persamaan linier y = 1,035x – 0.254. Persamaan linier tersebut dapat dilihat pada gambar 4.2.


(67)

Gambar 4.2 Diagram scatter plot dengan garis regresi linier

Hasil penelitian ini sesuai dengan beberapa penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara kadar prolaktin dalam serum penderita psoriasis vulgaris dengan skor PASI. Penelitian yang dilakukan oleh Kato et al. (2011) pada 30 orang pasien psoriasis vulgaris generalisata dan 10 orang subyek sehat sebagai kontrol, menyatakan bahwa kadar prolaktin serum pada penderita psoriasis lebih tinggi (31,5 – 80,6 ng/mL) dibandingkan dengan subyek sehat (7 – 20 ng/mL) dan terdapat hubungan positif yang signifikan antara kadar prolaktin serum dengan skor PASI (r = 0,92).50

y = 1.035x - 0.254

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45


(68)

Dua penelitian lainnya menyatakan hal yang sama. Dilme et al. (2010) melakukan pengukuran kadar prolaktin serum pada 20 orang pasien dengan psoriasis tipe plak sebelum dan sesudah terapi topikal dengan tacalcitol, didapatkan hasil bahwa terdapat peningkatan yang signifikan pada kadar prolaktin serum penderita psoriasis dibanding dengan kelompok kontrol (P < 0,001) serta terdapatnya hubungan yang signifikan diantara kadar prolaktin serum sebelum dan setelah pengobatan dengan derajat keparahan psoriasis (r = 0,33).13

Sementara Maryam et al. (2009) melakukan pengukuran kadar prolaktin serum pada 30 orang pasien psoriasis vulgaris dan 30 orang subyek sehat sebagai kontrol. Ditemukan peningkatan yang cukup signifikan pada kadar prolaktin serum penderita psoriasis dibanding kelompok kontrol. Selain itu dengan menggunakan uji regresi Pearson tampak adanya hubungan positif diantara kadar prolaktin serum dengan derajat keparahan psoriasis yang dinilai dengan menggunakan skor PASI (r = 0.52).12

Hasil dari penelitian ini dan beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa prolaktin tampaknya berperan penting dalam etiopatogenesis terjadinya psoriasis. Hal ini dapat dijelaskan melalui berbagai mekanisme kerja prolaktin terhadap fungsi biologi dan patologi kulit.50 Prolaktin merupakan suatu neuropeptida yang memiliki efek imunomodulator terhadap sistem imunitas kulit. Berbagai sitokin yang distimulasi atau diinhibisi oleh prolaktin akan


(69)

sel – sel keratinosit dan proses angiogenesis.34-39 Selain itu prolaktin juga dapat secara langsung menyebabkan proliferasi sel – sel keratinosit dengan cara berikatan melalui suatu reseptor yang spesifik.32 Dengan ditemukannya hubungan antara kadar prolaktin serum dengan skor PASI maka prolaktin juga dapat dijadikan penanda biologik terhadap perkembangan aktivitas penyakit.


(70)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Terdapat hubungan positif yang kuat antara kadar prolaktin dalam serum penderita psoriasis vulgaris dengan skor PASI (nilai koefisien korelasi r = 0,73). Sehingga hipotesis yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara kadar prolaktin dalam serum dengan skor PASI dapat diterima. 2. Secara umum nilai rerata kadar prolaktin dalam serum

penderita psoriasis vulgaris adalah 12,49 ng/mL.

3. Secara umum nilai rerata skor PASI pada penderita psoriasis vulgaris adalah 12,69.

5.2 Saran

1. Penelitian ini dapat dilanjutkan dengan melakukan penelitian mengenai efikasi preparat antiprolaktin oral sebagai pendekatan terapi tambahan pada psoriasis vulgaris di masa yang akan datang.

2. Perlu dilakukan pemeriksaan kadar prolaktin serum pada penderita psoriasis vulgaris dengan nilai skor PASI yang tinggi.


(71)

DAFTAR PUSTAKA

1. Gudjonsson JE, Elder JT. Psoriasis. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Edisi ke-7. New York. McGraw-Hill;2008. h.169-193.

2. Langley R, Krueger G, Griffiths C. Psoriasis: epidemiology, clinical features, and quality of life. Ann Rheum Dis. 2005;64:ii18-ii23.

3. Neimann A, Porter S, Gelfand J. The epidemiology of psoriasis. Expert Rev. Dermatol. 2006;1(1), 63-75.

4.

psoriasis. Pol Merkur Lekarski. 2007;22(127):75-8.

5. Foitzik K, Langan E, Paus R. Prolactin and the skin: A dermatological perspective on an ancient pleiotropic peptide hormone. Journal of investigative dermatology 2009;129:1071-87. 6. Guyton A, Hall J. Hormon-hormon hipofisis dan pengaturannya

oleh hipotalamus. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi ke-11. Indonesia. EGC;2006. h.964-991.

7. Freeman E, Kanyicska B, Lerant A. Prolactin: structure, function, and regulation of secretion. Physiological reviews 2000;80:4. 8. Yuan L, Lee Y. Prolactin modulation of immune and inflammatory

response.Endocrinology 2002;57:435-55.

9. Weber G, Neidhardt M, Frey H, Galle K, Geiger A. Treatment of psoriasis with bromocriptin. Arch Dermatol Res. 1981;271:437–9 10.Dunna SF, Finlay AY. Psoriasis, improvement during and

worsening after pregnancy. Br J Dermatol.1989;120:584

11.Giasuddin AS, El-Sherif AI, El-Ojali SI. Prolactin: does it have a role in the pathogenesis of psoriasis?. Dermatology 1998;197:119– 22

12.Azzizadeh M, Malek M, Amiri M. Does prolactin indicate severity of psoriasis?. Iranian journal of dermatology 2009;12:3.

13.Dilme E, Martin G, Regana M. Serum prolactin levels ini psoriasis and correlation with cutaneous disease activity. Clinical and experimental dermatology 2010;36:29-32.

14.Sanchez RM, Umbert MP. Psoriasis in association with prolactinoma: three cases. Br J Dermatol. 2000;143:864–7

15.Gorpeligolu C, Gungor E, Alli N. Is prolactin involved in etiopathogenesis of psoriasis? J Eur Acad Dermatol Venereol. 2008;22:1135-6.

16.Das R, Jain A, Ramesh V. Current concepts in pathogenesis of psoriasis. Indian JDermatol. 2009;54(1):7-12.

17.Blauvelt A. New concept in the pathogenesis and treatment of β


(72)

18.Bettina M, Vavricka P, Guitart J. Diagnostic evaluation. Psoriatis and Psoriatic Arthritis- An Integrated Approach. Edisi ke-1. New York. Springer;2005. h.83-91.

19.Lisi P. Differential diagnosis of psoriasis. Reumatismo 2007;59:56–60.

20.Lionel F. Differential diagnosis. An Atlas of Psoriasis. Edisi ke-2. London. Taylor & Francis;2004. h.67-69.

21.Meier M, Sheth P. Clinical spectrum and severity of psoriasis.Curr Probl Dermatol. Basel. 2009;38:1–20.

22.Feldman S, Krueger G. Psoriasis assesment tools in clinical trial. Ann Rheum. Dis. 2005;64:ii65-ii68.

23.Kenneth B. Clinical outcome measurements. Psoriatis and Psoriatic Arthritis- An Integrated Approach. Edisi ke-1. New York. Springer;2005. h.125-128.

24.Bonifati C, Berardesca E. Clinical outcome measures of psoriasis. Reumatismo 2007;59 :64-67.

25.Traub M, Marshall K. Psoriasis pathophysiology, conventional and alternative approaches to treatment. Alternative Medicine Review 2007;12:319-30.

26.Reich K, Mrowietz U. Treatment goal in psoriasis. JDDG. 2007;5:566–574.

27.Sullivan J. Treatment for severe psoriasis. Aust Prescr. 2009;32:14–18.

28.Harvey J, Guyda, Friesen H. Serum prolactin levels in humans from birth to adult life. Pediat. Res.1973;7:534-40.

29.Frantz AG. Prolactin. N Engl J Med. 1978;298: 201–207.

30.Franklin Scientific Projects Ltd. Normal and pathological prolactin levels. Clear Perspectives 1996;3:1-4.

31.Paus R, Theoharides TC, Arck PC. Neuroimmunoendocrine circuitry of the ‘‘brain–skin connection’’. Trends Immunol. 2006;27:32–9.

32.Girolomoni G, Phillips JT, Bergstresser PR. Prolactin stimulates proliferation of cultured human keratinocytes. J Invest Dermatol. 1993;101:275–9.

33.Yu-Lee L. Stimulation of interferon regulatory factor-1 by prolactin. Lupus 2001;10:691–9.

34.De Bellis A, Bizzarro A, Pivonello R, Lombardi G, Bellastella A. Prolactin and autoimmunity. Pituitary 2005;8:25–30.

35.Biswas R, Roy T, Chattopadhyay U. Prolactin induced reversal of glucocorticoid mediated apoptosis of immature cortical thymocytes is abrogated by induction of tumor. J Neuroimmunol. 2006;171:120–34.

36.Carreno PC, Jimenez E, Sacedon R, Vicente A, Zapata AG. Prolactin stimulates maturation and function of rat thymic dendritic cells. J Neuroimmunol. 2004;153:83–90.

37.Matera L, Mori M, Galetto A. Effect of prolactin on the antigen presenting function of monocyte-derived dendritic cells. Lupus 2001;10:728–34.


(1)

LAMPIRAN 4

Lembar Penilaian

Psoriasis Area and Severity Index

(PASI)

Nama pasien :

Tanggal:

No. Rekam Medis:

Skor lesi

Eritema (E)

Indurasi (I)

Skuama (S)

Tidak a

Ringan

Sedan

Berat

Sangat be

skor

0

1

2

3

4

Skor area

Area

1-9%

10-29

30-49

50-69

70-89

90-100%

Sko

1

2

3

4

5

6

Skor lesi

Kepala

(a)

Badan

(b)

Ekstremita

Atas (c)

Ekstremit

Bawah (d

Eritema (E)

Indurasi (I)

Skuama (S)

Jlh: E+I+S

% area yg terkena

Skor area

Subtotal: Jlh x skor

Area tubuh : subto

...

x 0.1

x 0.3

x 0.2

x 0.4


(2)

(3)

(4)

1 A 55 tahun L 31.2 12.07 SMA jawa berat

2 B 38 tahun L 10.9 12.3 SMA batak ringan

3 D 25 tahun L 4.5 4.94 SMA jawa ringan

4 E 37 tahun P 4.2 6.15 SMA batak ringan

5 E 38 tahun P 14.6 18.33 SMA batak sedang

6 J 17 tahun L 10.8 11.7 SMA batak ringan

7 K 51 tahun L 6.2 8.43 S1 batak ringan

8 M 17 tahun L 12.3 17.29 SMA padang sedang

9 M 55 tahun L 14.4 13.1 SMA padang sedang

10 M 40 tahun L 15.2 14.32 SMA jawa sedang

11 N 45 tahun P 15.6 12.01 S1 jawa sedang

12 Y 43 tahun P 12.7 20.65 SMA jawa sedang

13 R 31 tahun P 6.3 8.7 SMA jawa ringan

14 R 15 tahun L 16.5 17.47 SMA batak berat

15 R 40 tahun P 10.4 10.2 SMA jawa ringan

16 R 50 tahun P 42 21.54 SMA jawa berat

17 R 35 tahun L 3.9 3.7 S1 batak ringan

18 U 18 tahun P 18.2 20.13 SMA batak berat

19 Y 50 tahun L 4.1 4.3 S1 batal ringan

20 Y 44 tahun L 15.5 16.2 SMA jawa sedang

21 F 17 tahun P 12 10.93 SMA jawa sedang

22 S 45 tahun L 13.4 14.4 SMA jawa sedang

23 N 35 tahun P 13.1 17.14 SMA jawa sedang

24 A 31 tahun L 19.8 21.45 SMA batak berat

25 M 41 tahun L 3.4 4.2 S1 batak ringan

26 S 54 tahun L 6.8 6.2 SMA jawa ringan

27 N 42 tahun P 4.8 5.4 SMA batak ringan

28 S 38 tahun L 3.2 3.9 SMA batak ringan

29 S 35 tahun P 16.6 18.63 SMA melayu berat


(5)

LAMPIRAN 8

HASIL ANALISIS STATISTIK

Korelasi Pearson

Skor PASI Nilai Prolaktin

Skor PASI Pearson Correlation 1 .729**

Sig. (2-tailed) .000

N 30 30

Nilai Prolaktin Pearson Correlation .729** 1

Sig. (2-tailed) .000

N 30 30

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).


(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Data Pribadi

1.

Nama

: dr. Oliviti Natali

2.

Tempat & Tanggal Lahir : Medan, 18 Desember 1983

3.

Usia

: 29 tahun

4.

Jenis Kelamin

: Perempuan

5.

Status

: Menikah

6.

Pendidikan

: S1 Kedokteran

7.

Agama

: Islam

8.

Kebangsaan

: Indonesia

9.

Alamat

: JL. Bahagia no. 15 Medan

10.

Telp.

: 0811655750

Pendidikan Formal

1.

SD

: SD Harapan I Medan

2.

SMP

: SLTP Negeri 1 Medan

3.

SMA

: SMU Negeri 1 Medan