Perpajakan pada Masa Jawa Kuno dan Penja

PERPAJAKAN PADA MASA
JAWA KUNO DAN MASA
PENJAJAHAN

LUH TAMI ASTINI
1417051141

AKUNTANSI PROGRAM S1
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
2015

KATA PENGANTAR
Atas berkat Tuhan Yang Maha Esa, akhirnya penulis dapat
menyelesaikan paper dengan judul “Perpajakan pada Masa Jawa Kuno dan
Masa Penjajan” ini tepat pada waktunya.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah
membantu penyelesaian paper ini. Paper ini dibuat untuk melengkapi tugas mata
kuliah Hukum Pajak.
Penulis menyadari bahwa paper ini masih jauh dari kata sempurna.
Untuk itu kritik dan saran sangat diharapkan baik dari dosen pengampu mata
kuliah Hukum Pajak maupun dari pembaca lainnya, guna penyempurnaan paper

ini.
Singaraja, 19 Maret 2015

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………….……………i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………..ii
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………….…..1
1.1

LATAR BELAKANG…………………………………………....1

BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………....2
2.1

SISTEM PERPAJAKAN PADA MASA JAWA KUNO……...2

2.2


PERKEMBANGAN PAJAK PADA MASA PENJAJAHAN…4
2.2.1

Sejarah

Pajak

Bumi

dan

Bangunan

dan

Perkembangannya……………………………………….5
2.2.2

Sejarah Pajak Penghasilan dan Perkembangannya…..6


2.1.1

Sejarah Pajak Perseroan dan Perkembangannya……..9

BAB III PENUTUP……………………..………………………………………11
3.1

KESIMPULAN………………………………………………….11

DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1

LATAR BELAKANG
Pajak merupakan kewajiban yang harus dibayarkan oleh individu
maupun organisasi dalam bentuk pungutan yang bersifat memaksa yang

diatur dalam sebuah undang-undang.
Sejarah umat manusia, sangat kental dengan masalah perpajakan.
Konon, sejarah pajak tercipta karena kebutuhan manusia untuk hidup
berkelompok karena ketergantungan satu sama lain. Cara hidup seperti ini
menciptakan negara dan karenanya dibutuhkan sumber-sumber untuk
membiayai pengeluaran bersama terutama perang dan kepentingan umum
lainnya.
Sejarah perpajakan telah ada sejak zaman kerajaan. Pada awalnya,
pajak tidak merupakan suatu pungutan, melainkan hanya merupakan
pemberian sukarela oleh rakyat kepada raja dalam memelihara
kepentingan Negara, seperti menjaga keamanan negara terhadap serangan
musuh dari luar, membuat jalan untuk umum, membiayai pegawai
kerajaan dan sebagainya. Bagi penduduk yang tidak melakukan
penyetoran dalam bentuk natura, maka ia diwajibkan melakukan
pekerjaan-pekerjaan untuk kepentingan umum untuk beberapa hari dalam
satu tahun. Orang-orang yang memiliki status sosial tinggi dapat
membebaskan diri dari kewajiban tersebut dengan cara membayar uang
ganti rugi. Besarnya pembayaran ganti rugi ini ditetapkan sesuai dengan
jumlah uang yang diperlukan untuk membayar orang lain yang
menggantikan pekerjaannya.

Berikut akan dibahas mengenai perpajakan pada masa Jawa Kuno
dan masa penjajahan.

BAB II
PEMBAHASAN

2.3

SISTEM PERPAJAKAN PADA MASA JAWA KUNO
Pada masa Jawa Kuno, pajak merupakan salah satu sumber
pemasukan kerajaan. Pajak yang dipungut pada masa Jawa Kuno dapat
dikelompokkan menjadi tiga, yaitu pajak bumi, pajak profesi dan pajak
orang asing. Pajak bumi adalah pajak yang berkaitan dengan usaha
pengelolaan tanah. Pajak profesi adalah pajak yang berkaitan dengan
ppekerjaan seseorang. Sedangkan pajak orang asing adalah pajak yang
dikenakan kepada orang-orang dari luar negeri yang menetap di Jawa, yang
bukan merupakan tamu kerajaan.
Pajak Bumi
Pajak bumi merupakan pajak yang dipungut dari masyarakat atas
pengelolaan tanah. Pengelolaan tanah yang umum adalah pertanian. Pajak

ini merupakan konsekuensi dari konsep Dewa-Raja dan kosmologinya yang
berlaku pada masa itu. Dalam konsep Dewa-Raja, raja merupakan
penjelmaan Dewa, yang menjadi pemilik dari semua benda yang ada dalam
lingkaran kosmologinya.
Dirinya, istana, hingga kerajaan merupakan isi dari linggkaran
kosmologinya. Manusia-manusia dan tanah yang ada di wilayah
kekuaasaannya adalah milik raja. Oleh karena itu, masyarakat hanya
dianggap menggarap tanah milik raja. Pajak bumi yang harus diberikan
kepada raja adalah sebagian dari hasil usaha pengelolaan tanahnya.
Usaha pengelolaan tanah yang paling sering disebut dalam beberapa
prasasti adalah sawah. Beberapa prasasti menyebutkan adanya usaha untuk
mengkonservasi hutan menjadi sawah (Prasasti Ramwi. 822 M), dan juga
tegalan tegalan yang diubah menjadi sawah (Prasasti Kwak II, 879 M).
lahan tidur yang ditumbuhi halalang (rumput hilalang) pernah juga diubah

menjadi sawah (Prasasti Ratawun I, 881 M). Konversi beberapa bentuk
lahan menjadi sawah kemungkinan karena intensifnya usaha pertanian padi
yang lebih menguntungkan..
Pajak Profesi
Pada masa Jawa Kuna, profesi yang terkena pajak antara lain

profesi pedagang, profesi pengrajin, profesi seniman/penghibur. Kecuali
profesi seniman/pengibur, tidak ada keterangan jelas dari sumber sejarah
mengapa profesi pedagang dan pengrajin terkena pajak.
Profesi seniman sering disebut dalam prasasti penetapan sima.
Profesi seniman yang dimaksud adalah mapadahi (penabuh gendang),
kicaka (penari), terimba, awayang (dalang), atapukan (penari topeng) dan
abanol (pelawak). Pada upacara penetapan sima, para seniman inilah yang
menghibur seluruh tamu dan masyarakat yang hadir (Prasasti Wataruka 902
M, Prasasti Panggumulan 902 M). Para seniman penghibur ini
mendapatkan upah atas pekerjaan mereka. Besar kemungkinan penghasilan
mereka dipotong untuk membayar pajak.
Pajak pedagang tergantung dari jenis barang yang dijual. Pada
prasasti Linggasutan (829 M) menyebutkan bahwa para pedagang ternak
termasuk profesi yang terkena pajak. Jumlah pajak yang dibayarkan
tergantung dari jumlah ternak yang terjual, namun jumlah penjualan kurang
dari jumlah tertentu bebas dari pajak. Pedagang ternak akan terbebas dari
pajak jika menjual kerbau kurang dari 30 ekor, atau sapi kurang dari 40
ekor.
Untuk pengrajin, tidak disebutkan dengan jelas pengrajin apa yang
harus membayar pajak. Pada masa Jawa Kuna, telah berkembang banyak

profesi pengrajin. Bentuk kerajinan yang paling sering disebut dalam
prasasti upacara penetapan sima adalah keranjang untuk menyusun
karangan bunga.Profesi lain yang terkena pajak antara lain sena mukha atau
prajurit (terutama pemimpin prajurit), hawang dan warahan. Belum
diketahui jenis profesi seperti apakah hawang dan warahan tersebut.
Keberadaan sena mukha justru menarik karena pada masa Jawa Kuna

mungkin sekali telah dikenal prajurit partikelir. Pada masa Jawa Kuna
prajurit tetap yang dibayar dengan kas kerajaan adalah prajurit pengawal
raja. Pada masa perang barulah terjadi perekrutan tentara sesuai kebutuhan.
Pemimpin prajurit rekrutan inilah yang terkena pajak.
Pajak Orang Asing
Warga kilalan adalah istilah untuk menyebut orang asing, yang
berasal dari luar kerajaan (dalam hal ini di luar daerah kosmologi raja).
Orang asing yang pernah disebutkan dalam prasati berasal dari kling,
aryya, pandikira, drawida (keempatnya dari India), singhala (Sri Langka),
campa (Vietnam) dan kmir (Khmer = Kamboja).
Pada masa kerajaan Majapahit, terdapat posisi pengawal kerajaan
yang disebut juru kling dan juru cina. Mungkin pada masa kerajaan
Majapahit orang asing dari India dan Cina memiliki jumlah yang sangat

signifikan sehingga kerajaan perlu untuk membuat birokrasi khusus untuk
mengurus mereka.
2.4

PERKEMBANGAN PAJAK PADA MASA PENJAJAHAN
Pada masa penjajahan Belanda, mereka menerapkan sistem
Landrent dengan nama Landrente. Pada perkembangannya, Belanda
berjanji bahwa sistem ini mengarah pada keadilan dan kepentingan rakyat
Indonesia. Namun pada akhirnya Landrente menyengsarakan rakyat dan
mengarah pada keuntungan penguasa dan kelompok penjajah.
Lalu, pada masa pemerintahan Jepang sistem Landrente berubah
nama menjadi pajak tanah. Pada masa kemerdekaan, pajak tanah lebih
dikenal dengan pajak bumi. Memang bukan hanya namanya saja yang
berganti melainkan dari sistem perpajakan itu sendiri. Sistem perpajakan
yang sebelumnya diperbaharui sesuai dengan keperluan si pembuat sistem
perpajakan tersebut. Adapun pajak penghasilan yang mulai dikenal di
Indonesia sebelum tahun 1920. Pada masa itu sistem pajak ini diberlakukan
dengan membedakan orang pribumi, orang asing Asia dan orang asing

Eropa. Tentu saja perbedaan dalam pajak tersebut menguntungkan orang

asing terutama orang Eropa dan sangat merugikan orang pribumi.
Mulai tahun 1920 perbedaan pajak yang didasarkan pada keturunan
tersebut dihapuskan dan mulai dibuatnya peraturan yang lebih jelas dan
lebih konkrit. Sistem pajak penghasilan ini berubah pada tahun 1944
dengan sistem pajak penghasilan yang dibuat oleh pemerintahan Hindia
Belanda di Australia dengan nama Oorlogsbelasting atau pajak perang.
Sistem ini dibuat dengan tergesa-gesa karena keadaan perang dunia II. Pada
1 Januari 1946, Oorlogbelasting diubah menjadi Overbelasting atau pajak
peralihan yang merupakan penyempurnaan dari Oorlogbelasting. Pada
perkembangannya sistem tersebut kembali diganti namanya dengan
“Ordinansi Pajak Pendapatan 1944” pada 1957.
Kemudian yang terakhir adalah pajak perseroan. Pajak perseroan
adalah pajak yang berkaitan dengan pajak pendapatan atau penghasilan.
Pajak ini diberlakukan pertama kali di Indonesia pada 1878 yang mencakup
pada pajak atas pendapatan atau laba dengan nama Patentrecht. Pajak ini
hanya berlaku pada penduduk orang Eropa dan orang yang disamakan
dengan orang Eropa. Sistem pajak ini terus berkembang sehingga pajak ini
kini dikenakan bagi badan usaha.
Pada masa penjajahan, penjajah lebih menekankan pada fungsi
budgeted yaitu pemasukan keuangan untuk keperluan pemerintah penjajah.

Pada 1945 Indonesia menggunakan sistem pajak self assessment system
yang memberikan kewenangan sepenuhnya kepada wajib pajak untuk
menghitung, memperhitungakan, menyetor dan melaporkan pajak yang
terutang.
2.4.1

Sejarah Pajak Bumi dan Bangunan dan Perkembangannya
Pajak pertama kalinya di Indonesia di awali dengan Pajak
Bumi dan Bangunan atau lebih kita kenal dengan PBB. Pada waktu
itu lebih dikenal sebagai pajak pertanahan. Pungutan ini
diberlakukan kepada tanah atau lahan yang dimiliki oleh rakyat.

Pajak atas tanah ini dimulai sejak VOC masuk dan menduduki
Hindia Belanda.
Pada masa pemerintaha Inspektur Liefrinch dari VOC, ia
mengadakan survey atau penelitian di daerah Parahyangan. Hasil
dari penelitian tersebut membuat VOC memutuskan untuk
memberlakukan pajak pertanahan yang disebut dengan landrente.
Rakyat setuju atas keputusan Pemerintah Hindia Belanda ini.
Rakyat harus membayar uang sebesar 80% dari harga besaran
tanah atau hasil lahan yang dimilikinya. Daendels, seorang Jendral
yang terkenal akan kekejamannya menyatakan bahwa tanah di
Hindia

Belanda

adalah

milik

dari

Belanda.

Pada masa kependudukan Inggris yang dipimpin oleh Raffles
kebijakan landrente berubah. Raffles mengenakan tarif sebesar
2,5% untuk golongan pribumi dan tarif 5% untuk tanah yang
dimiliki oleh bangsa lain. Selain itu, Raffles juga mengeluarkan
Surat Tanah sebagai suatu Sertifikat Tanah Internasional bagi
penduduk yang dikenal dengan nama girik dalam bahasa Jawa.
2.4.2

Sejarah Pajak Penghasilan dan Perkembangannya
Sejarah pengenaan Pajak Penghasilan di Indonesia
dimulai dengan adanya tenement tax (huistaks) pada tahun 1816.
Pada periode sampai dengan tuhun 1908 terdapat perbedaan
perlakuan perpajakan antara penduduk pribumi dengan orang Asia
dan orang Eropa. Dapat dikatakan bahwa terdapat banyak
perbedaan dan tidak ada uniformitas dalam perlakuan perpajakan
Tercatat beberapa jenis pajak yang hanya diperlakukan kepada
orang Eropa seperti "patent duty". Sebaliknya business tax atau
bedrijfsbelasting untuk orang pribumi. Di samping itu, sejak tahun
1882 sampai tahun 1916 dikenal adanya Poll Tax yang
pengenaannya berdasarkan status pribadi, pemilikan rumah dan
tanah.

Pada tahun 1908 terdapat Ordonansi Pajak Pendapatan
yang diperlakukan untuk orang Eropa, dan badan-badan yang
melakukan

usaha

bisnis

tanpa

memperhatikan

kebangsaan

pemegang sahamnya. Dasar pengenaan pajaknya penghasilan yang
berasal dari barang bergerak maupun barang tak gerak, penghasilan
dari

usaha,

penghasilan

pejabat

pemerintah,

pensiun

dan

pembayaran berkala. Tarifnya bersifat proporsional dari 1%, 2%
dan 3% atas dasar kriteria tertentu.
Selanjutnya,

tahun

1920

dianggap

sebagai

tahun

unifikasi, dimana dualistik yang selama ini ada, dihilangkan
dengan diperkenalkannya General Income Tax yakni Ordonansi
Pajak Pendapatan Yang Dibaharui tahun 1920 (Ordonantie op de
Herziene Inkomstenbelasting 1920, Staatsblad 1920 1921, No.312)
yang berlaku baik bagi penduduk pribumi, orang Asia maupun
orang Eropa. Dalam Ordonansi Pajak Pendapatan ini telah
diterapkan asas-asas pajak penghasilan yakni asas keadilan
domisili dan asas sumber. Karena desakan kebutuhan dengan
makin banyaknya perusahaan yang didirikan di Indonesia seperti
perkebunan-perkebunan

(ondememing),

pada

tahun

1925

ditetapkanlah Ordonansi Pajak Perseroan tahun 1925 (Ordonantie
op de Vennootschapbelasting) yakni pajak yang dikenakan
terhadap laba perseroan, yang terkenal dengan nama PPs (Pajak
Perseroan).
Ordonansi ini telah mengalami beberapa kali perubahan
dan penyempurnaan antara lain dengan UU No. 8 tahun 1967
tentang Penyempurnaan Tatacara Pcmungutan Pajak Pendapatan
1944, Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan tahun 1925 yang
dalam praktik lebih dikenal dengan UU MPO dan MPS. Perubahan
penting lainnya adalah dengan UU No. 8 tahun 1970 dimana fungsi
pajak mengatur/regulerend dimasukkan ke dalam Ordonansi PPs
1925., khususnya tentang ketentuan "tax holiday".

Diadakannya tax reform, Pada awal tahun 1925-an yakni
dengan mulai berlakunya Ordonansi Pajak Perseroan 1925 dan
dengan perkembangan pajak pendapatan di Negeri Belanda, maka
timbul kebutuhan untuk merevisi Ordonansi Pajak Pendapatan
1920, yakni dengan ditetapkannnya Ordonasi Pajak Pendapatan
tahun 1932 (Ordonantie op de Incomstenbelasting

1932,

Staatsblad 1932, No.111) yang dikenakan kepada orang pribadi
(Personal Income Tax). Dengan makin banyak perusahaanperusahaan di Indonesia, maka kebutuhan akan pengenaan pajak
terhadap pendapatan karyawan perusahaan muncul. Maka pada
tahun

1935

ditetapkanlah

Ordonansi

Pajak

Pajak

Upah

(loonbelasting) yang memberi kewajiban kepada majikan untuk
memotong Pajak Upah/gaji pegawai yang mempunyai tarif
progresif dari 0% sampai dengan 15%.
Pada

zaman

Perang

Dunia

II

diperlakukan

Oorlogsbelasting (Pajak Perang) menggantikan ordonansi yang ada
dan pada tahun 1946 diganti dengan nama Overgangsbelasting
(Pajak Peralihan). Dengan UU Nomor 21 tahun 1957 nama Pajak
Peralihan diganti dengan nama Pajak Pendapatan tahun 1944 yang
disingkat dengan Ord. PPd. 1944.
Pajak Pendapatan sendiri disingkat dengan PPd. PPd
1944 setelah beberapa kali mengalami perubahan terutama dengan
perubahan tahun 1968 yakni dengan adanya UU No. 8 tahun 1968
tentang Perubahan dan Penyempurnaan Tatacara Pemungutan
Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan
1925, yang lebih terkenal dengan "UU MPO dan MPS". Perubahan
lainnya adalah dengan UU No. 9 tahun 1970 yang berlaku sampai
dengan tanggal 31 Desember 1983, yakni dengan diadakannya tax
reform di Indonesia.

2.4.3

Sejarah Pajak Perseroan dan Perkembangannya
Pajak perseroan (PPs) berkaitan dengan pajak pendapatan
atau pajak penghasilan. Pajak atas pendapatan dan laba pertama
kali

dilakukan

di

Indonesia

tahun

1878

dengan

nama

“Patentrecht” suatu pungutan pajak yang sederhana. Pungutan
pajak atas pendapatan dan laba berdasarkan pada ketentuan yang
lebih teratur dan terinci baru pada tahun 1908 sejak ordonansi
pajak pendapatan 1908 (ordonantie op de Inkornstenbelasting
1908). Seperti halnya “Patentrecht”, ordonasi pajak pendapatan
1908 hanya berlaku terhadap golongan penduduk orang-orang
Eropa dan orang-orang yang disamakan dengan orang Eropa,
demikian pula terhadap badan-badan usaha yang dimilikinya.
Untuk orang-orang pribumi dan lainnya terkena jenis pajak yang
lebih

sederhana

seperti

“Landrente”

atau

landrent

dan

“Hoofdelijke Belasting”.
Ketika

pecah

perang

Dunia

ke

I

(1914-1918),

menyebabkan Hindia belanda terlepas dari negeri Belanda. Untuk
menggalang persatuan maka diberlakukan asas unifikasi yaitu
suatu asas yang menyatakan bahwa semua golongan penduduk
mempunyai

kedudukan

yang

sama

dihadapan

hukum.

Pelaksanaan asas unifikasi di bidang perpajakan berdampak pada
digantinya Ordonansi Pajak pendapatan 1908 (yang hanya berlaku
untuk golongan penduduk tertentu), dengan ordonansi pajak
pendapatan 1920 (yang berlaku untuk semua golongan penduduk),
yang

memajaki

baik

orang

maupun

badan.

Peningkatnya jumlah penanaman modal asing di Indonesia sejak
tahun 1920 menimbulkan berbagai problema dalam bidang Yuridis
fiskal yang mendorong segera dikeluarkan ketentuan tersendiri
guna dapat memungut pajak dari badan usaha.
Tahun

1925,

semua

ketentuan

yang

menyangkut

pengenaan pajak badan usaha yang terdapat dalam ordonansi pajak

pendapatan 1920 dikeluarkan untuk kemudian disusun kembali
dalam suatu ordonansi baru yang diberi nama Ordonansi pajak
perseroan 1925 (Ordonantie op deVennootschapsblasting 1925).
Ordonansi Pajak Perseroan 1925 setelah diadakan perubahan dan
penambahan menjadi Undang-Undang Nomor 8 tahun 1970.
Setelah masa Tax Reform tahun 1983, maka Pajak
Perseroaan ini digabung dengan Pajak Pendapatan dan aturannya
menjadi satu yaitu Undang-Undang Pajak Penghasilan.

BAB III
PENUTUP

3.1

KESIMPULAN
Awalnya, pajak tidak merupakan suatu pungutan, melainkan hanya
merupakan pemberian sukarela oleh rakyat kepada raja dalam memelihara
kepentingan Negara, seperti menjaga keamanan negara terhadap serangan
musuh dari luar, membuat jalan untuk umum, membiayai pegawai kerajaan
dan sebagainya. Pada masa Jawa Kuno, pajak merupakan salah satu sumber
pemasukan kerajaan. Pajak yang dipungut pada masa Jawa Kuno dapat
dikelompokkan menjadi tiga, yaitu pajak bumi, pajak profesi dan pajak
orang asing.
Pada masa penjajahan Belanda, mereka menerapkan sistem
Landrent dengan nama Landrente. Lalu, pada masa pemerintahan Jepang
sistem Landrente berubah nama menjadi pajak tanah. Pada masa
kemerdekaan, pajak tanah lebih dikenal dengan pajak bumi. Pada masa ini
sistem pajak diberlakukan dengan membedakan orang pribumi, orang asing
Asia dan orang asing Eropa.
Mulai tahun 1920 perbedaan pajak yang didasarkan pada keturunan
tersebut dihapuskan dan mulai dibuatnya peraturan yang lebih jelas dan
lebih konkrit.
Pada masa penjajahan, penjajah lebih menekankan pada fungsi
budgeted. Pada 1945 Indonesia menggunakan sistem pajak self assessment
system yang memberikan kewenangan sepenuhnya kepada wajib pajak
untuk menghitung, memperhitungakan, menyetor dan melaporkan pajak
yang terutang.

DAFTAR PUSTAKA

Normandy,

Yogi.

2013.

”Sejarah

Pajak

di

Indonesia”.

http://yogi-

normandy.blogspot.com/2013/06/sejarah-pajak-di-indonesia.html. Diunduh
pada 19 Maret 2015
Rakhman,

Basuki.

2013.

”Mengenal

Sejarah

Perpajakan”.

http://hamudunia.blogspot.com/2013/08/mengenal-sejarah-perpajakandi.html. Diunduh pada 19 Maret 2015
“Sistem Perpajakan Pada Masa Jawa Kuno”. http://bimbie.com/pajak.html.
Diunduh pada 19 Maret 2015

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

SENSUALITAS DALAM FILM HOROR DI INDONESIA(Analisis Isi pada Film Tali Pocong Perawan karya Arie Azis)

33 290 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24