Konflik Agraria sebagai Ancaman Bangsa I

Konflik Agraria sebagai Ancaman Bangsa Indonesia
oleh Mei Pritangguh
Integritas masyarakat masih tertata dengan kokoh di beberapa wilayah
Indonesia. Gotong-royong serta toleransi antar suku, budaya, agama terjalin
dengan baik. Didasarkan pada rasa solidaritas, persaudaraan, kemanusiaan,
kekeluargaan dan kebangsaan. Namun pada kenyataannya masih banyak
konflik yang terjadi disebabkan berbagai faktor yang kemudian menyebabkan
disintegrasi bangsa.
Selain konflik sosial, konflik yang seringkali muncul yaitu konflik
pengelolaan sumber daya alam dalam bentuk agraria. Dalam konteks ini,
didefinisikan sebagai situasi dari kompetisi dan potensi ketidaksetujuan diantara
dua atau lebih kelompok yang berkaitan dengan penggunaan tanah atau lahan.
Di era reformasi konflik agraria di Indonesia semakin meningkat jumlahnya
(Astuti, 2011). Di era sekarang konflik agraria dalam masyarakat semakin
meningkat dan hampir di seluruh daerah di Indonesia.
Sepanjang tahun 2016 tercatat ekskalasi konflik sebanyak 450 kasus,
angka ini naik dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Warga dengan swasta
38,22%; warga dengan pemerintah 22,44%; antar warga 14,44%; warga dan
BUMN 13,56%; sedangkan sisanya lain-lain 11,34%. Dominasi tanah yang
dimanfaatkan untuk perkebunan 163, properti 117, infrastruktur 100, kehutanan
25, tambang 21, migas dan pertanian masing-masing tujuh. Selain hal-hal di

atas konflik agraria juga berdampak pada 86.745 kepala keluarga (kpa.or.id).
Perempuan menjadi salah satu pihak yang paling dirugikan dari
fenomena konflik agraria. Laporan solidaritas perempuan tahun 2017
menunjukkan jumlah rumah tangga miskin dengan kepala keluarga perempuan
mengalami kenaikan sebesar 16,12% dari 14,9% pada tahun 2014. Hilangnya
tanah sebagai sumber kehidupan untuk pemenuhan kebutuhan dasar maupun
ekonomi keluarga berdampak pada meningkatnya beban perempuan dalam
memastikan tersedianya pangan keluarga. (elsam.or.id)
Suatu bentuk ketimpangan struktural agraria yang nyata mengingkari
mandat konstitusional UUD 1945 (khususnya Pasal 33). UUPA 1960 sebagai

1

pondasi dasar pengelolaan kekayaan agraria nasional yang berkeadilan dan
sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Lahan merupakan tempat dimana
penduduk berkumpul dan hidup bersama, mereka dapat menggunakan
lingkungan

setempat


untuk

mempertahankan,

melangsungkan,

dan

mengembangkan hidupnya (Bintarto, 1977: 134). Lahan merupakan ruang
untuk manusia melakukan aktifitas, sehingga penggunaan lahan diartikan
sebagai bentuk campur tangan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan
hidupnya.
Seringkali lahan dijadikan sebagai objek rawan terhadap perselisihan
atau sengketa. Hal ini terjadi karena kebutuhan manusia akan tanah semakin
meningkat, akan tetapi persediaan tanah relatif tetap (Musnita, 2008).
Memaknai perlawanan yang dilakukan petani secara sembunyi-sembunyi
merupakan perwujudan dari penolakan mereka terhadap kebijakan atau
keputusan yang dipaksakan oleh pihak lain Scott (1993: 3). Masalah agraria
telah menjadi isu sosial-politik yang seringkali melahirkan konflik sejak proses
modernisasi dan komersialisasi merambah masuk ke pedesaan.

Pada intinya konflik agraria bermula dari tidak adanya pegangan
bersama pada tiga hal, yaitu siapa yang berhak (1) menguasai tanah dan
sumberdaya alam; (2) memanfaatkan tanah dan sumberdaya alam; (3)
mengambil keputusan atas penguasaaan tanah dan sumberdaya alam tersebut
(Malik dkk, 2003). Keidakhadiranya kesepakatan rentan menghadirkan
sengketa di saat ekspansi dan proses perluasan masih berlangsung. Maka
pentingnya keseriusan penanganan konflik agraria yang layaknya gunung es.
Dari sekian banyak konflik agraria, yang muncul di permukaan hanya beberapa
saja.
Pembahasan
Berbagai macam konflik agraria melibatkan dua kelompok atau lebih, konflik
vertikal maupun horizontal. Konflik agraria yang terjadi di pedesaan juga
berbeda dengan perkotaan. Beberapa aktor yang kerap terlibat diantaranya:
warga dengan pemerintah, warga dengan perusahaan negeri maupun swasta,
warga dengan aparat keamanan, warga dengan warga, dsb.

2

Banyak ahli telah mengkaji bahwa sejak orde baru, kebijakan pertanahan
lebih dititikberatkan kepada upaya mendukung pertumbuhan ekonomi yang

cepat — yang ditujukan untuk memenuhi kepentingan dan pembangunan
sektoral di bidang pertanian dan industri (Kusuma & Agustina, 2003). Contoh
kasus, di sektor perkebunan konflik pertanahan dalam banyak dipicu oleh
proses pengalihan dan penerbitan HGU (Hak Guna Usaha). Dalam sepuluh
tahun belakangan investasi modal di sektor perkebunan makin meluas,
sehingga konsekuensinya sektor perkebunan komersial membutuhkan lahan
sebagai modal utamanya. Negara yang diharapkan petani berpihak kepada
mereka, ternyata seringkali malah mendukung ekspansi perkebunan tersebut.
Permasalahan

pertanahan

pada

dasarnya

bukan

sekadar


persoalan

pelanggaran hukum terhadap kebijakan agraria, tetapi juga menyangkut
persoalan sosial, ekonomi dan politik. Berbagai kasus konflik tanah tidak
semata muncul karena ketidakjelasan administratif, melainkan juga dipicu
karena orientasi kebijakan pembangunan yang cenderung pro kepada teori
modernisasi.
Ketika rakyat dan petani masih berada dalam ketidakberdayaan,
berbagai tindakan pengambilalihan dan pemaksaan menjadi persoalan serius
yang meresahkan. Tetapi lain soal ketika reformasi bergulir cepat, dan sikap
kritis masyarakat tidak lagi dapat dihegemoni oleh kekuatan komersial atau
tindakan represif penguasa. Dalam lima tahun terakhir, radikalisme di kalangan
petani benar-benar membara. Gerakan perlawanan muncul di mana-mana,
dengan eskalasi yang kian radikal, sehingga jika tidak segera dicari jalan keluar
atas permasalahan ini, maka dikhawatirkan imbasnya akan berdampak kontraproduktif bagi pihak mana pun.
Berbagai kasus konflik agraria belum sepenuhnya dapat diselesaikan
secara tuntas di termasuk Provinsi DIY. Salah satunya adalah konflik antara
Petani dan PT Angkasa Pura I dalam upaya pembangunan bandara di Kulon
Progo. Ketimpangan kepentingan lahan antara kebutuhan layanan transportasi
dan pertanian, menjadikan petani terpaksa menerima hasil akhir yang

memenangkan

kepentingan

transportasi.

Sebelumnya,

berbagai

aksi

perlawanan dan diskusi turut mewarnai konflik tersebut. Demikian pula kasus

3

konflik tanah daerah wisata Gunung Kidul yang hingga kini belum terselesaikan.
Sebut saja pengelolaan wisata di objek Goa Pindul serta konflik lahan di Pantai
Watu Kodok. Konflik pertanahan sering terjadi berulang dan hingga saat ini pun
belum berhasil dirumuskan formula atau tata cara penyelesaian sengketa yang

benar-benar dapat memuaskan semua pihak.
Permasalahan agraria di areal pertanian terdapat ratusan kasus, bukan
hanya petani berhadapan dengan perkebunan negara dan swasta, tetapi juga
berhadapan dengan aparat keamanan. Kabupaten Kebumen misalnya, konflik
tanah di daerah ini sebetulnya merupakan persoalan yang telah lama ada.
Namun baru muncul ke permukaan dengan perlawanan terbuka sejak tahun
2012 hingga 2013. Perlawanan warga diwujudkan dengan memblokade jalan
serta melakukan aksi demo, namun aksinya tersebut mendapat perlawanan
sengit dari aparat TNI-AD. Sedikitnya empat warga luka berat dan 15 lainnya
luka ringan akibat bentrokan dengan TNI-AD tersebut (nasional.tempo.co).
Terdapat pula konflik tanah dalam pembangunan pabrik Semen di
Rembang Jawa Tengah yang mendapatkan penolakan keras. Walaupun
gugatan sudah dikabulkan seutuhnya, penolakan warga disinyalir bisa berlanjut
pada konflik sosial (metrotvnews.com). Terlepas dari bentuk perlawanan yang
dilakukan, tindakan petani sesungguhnya merupakan bentuk ekspresi dari
ketidakpuasan dan rasa diperlakukan tidak adil oleh berbagai kebijakan.
Penerapan UUPA yang dinilai bias hanya membela kepentingan pemilik modal
dan negara, persepsi rakyat atau petani pada khususnya bukan hanya
membuat


terjadinya

perubahan-perubahan

dalam

struktur

penguasaan,

pemilikan dan penyewaan tanah, tetapi juga perubahan-perubahan dalam
distribusi pendapatan dan status sosial.
Selama pemerintahan orde baru hingga era reformasi telah banyak
terbukti bahwa penetrasi modal ke daerah pedesaan dan pinggiran kota, bukan
hanya menyebabkan terjadinya proses infiltrasi, invasi, dan suksesi pemilikan
lahan, tetapi juga pemusatan penguasaan tanah yang berlangsung melalui dua
mekanisme utama: pasar dan intervensi negara (Hiroyoshi, 1997). Lahan yang
semula turun-temurun menjadi lahan garapan masyarakat petani, seringkali
dieksploitasi untuk kepentingan komersial. Lahan petani diambil begitu saja


4

dengan dalih untuk kepentingan negara, seperti pembangunan atau budidaya
sektor komersial. Bagi petani, arti tanah dalam konstruksi sosial mereka tentu
bukan sekedar aset produksi yang memiliki nilai ekonomi saja, tetapi juga ada
faktor keterikatan kultural, dan mekanisme survival mereka menghadapi
tekanan kemiskinan dari situasi krisis.
Kepentingan dan Ketidakadilan
Freeman (2007) menyatakan bahwa masalah absennya ketidakadilan seringkali
disebabkan bukan oleh kurangnya definisi keadilan, baik secara formal maupun
sosial. Dalam konteks demokrasi, ketidakadilan sesungguhnya produk dari
ketidakseimbangan konsep keadilan antara negara dan masyarakat. Namun
gelombang ketidakadilan lebih sering dirasakan oleh masyarakat.
Christodjoulou (Afrizal, 2006: 7) menyatakan konflik agraria tidak lepas
dari hubungan-hubungan sosial yang berkaitan dengan pengontrolan dan
penggunaan sumber-sumber agraria. Kepentingan rakyat dalam hal ini
seringkali harus berhadapan dengan kepentingan koorporasi atau bahkan
pemerintah. Benturan ini seringkali mengorbankan kepentingan rakyat, yang
diawali dengan perlawanan dan konflik sebelumnya.
Resiko terbesar yang ditimbulkan oleh konflik ini adalah rusaknya

solidaritas berbangsa maupun rusaknya ikatan persatuan dan kesatuan
bangsa. Di samping itu, kerusakan berbagai infrastruktur, fasilitas sosial dan
fasilitas umum dalam skala besar menyebabkan terganggunya kegiatan
pemerintahan,

terhambatnya

kegiatan

pelayanan

dan

penyelenggaraan

kegiatan di masyarakat. Lebih lanjut, dampak psikologis konflik menimbulkan
rasa

antipati


masyarakat

terhadap

pemerintah.

Karena

masyarakat

menganggap pemerintah tidak mampu merepresentasikan ataupun membela
kepentingan mereka. Sebagai salah satu bagian utama dari upaya pencegahan
konflik, peringatan dini menjadi langkah awal yang penting agar pihak
berwenang dapat mengetahui terlebih dahulu munculnya ancaman terhadap
perdamaian (Dorn, 2008). Lembaga pemerintah maupun non-pemerintah kini
lebih menggunakan peringatan dini sebagai langkah penting untuk pencegahan
konflik agar tidak meluas.

5

Konsep Keamanan dan Ancaman
Homberger (2009) konflik bisa ditanggulangi ketika ada kematangan konsep
perencanaan tata kota. Kematangan konsep tersebut ditandai oleh diterima dan
didukungnya kebijakan oleh masyarakat dan tersedianya resolusi konflik dalam
pelaksanaan kebijakan. Persoalan konflik yang dilahirkan dari ketimpangan
kepentingan dalam pengelolaan dan penataan sumber daya agraria menuntut
peran lebih negara dalam menyelesaikan konflik ini. Novri (2012) otonomi
daerah

secara

prosedural

telah

melembagakan

‘musyawarah

rencana

pembangunan’ dari tingkat kota sampai desa sebagai mekanisme deliberalisasi.
Sayangnya kualitas dialog dan negosiasi formulasi konsep dalam lembaga
perumusan kebijakan tersebut masih jauh dari ideal.
Faktor selanjutnya yang harus dipertimbangkan adalah pada pola
pembangunan. Pembangunan yang terlalu bertumpu pada pertumbuhan
ekonomi, sentralistik, serta
menyebabkan adanya

bersandar penuh

pada

mekanisme

ketimpangan kepemilikan sumber daya

pasar
agraria.

Ditambah sebagian besar pengelolaan konflik agraria sejauh ini hanya sebatas
pembiayaan ganti rugi, yang pada akhirnya masyarakat yang harus menerima
kekalahan. Pembayaran ganti rugi juga kadang tidak sesuai dengan tuntutan
masyarakat dan sering kali tidak sebanding dengan kerugian yang dialami
masyarakat.
Secara sosiologis masyarakat Indonesia pada dasarnya bersifat moderat
dan akomodatif. Terlihat bahwa sebagian besar masyarakat masih bersifat
terbuka untuk saling menghargai suku, agama, maupun golongan. Hal ini
menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia meskipun bersifat pluralistik tetapi
tetap mempunyai potensi dalam melaksanakan pola-pola hubungan sosial antar
kelompok. Terganggunya pola hubungan sosial masyarakat sebenarnya tidak
terlepas dengan adanya eforia demokrasi yang berlebihan yang kemudian
justru merusak semangat reformasi. Adanya tindakan yang amat impulsif dan
dangkal oleh masyarakat tersebut mempunyai implikasi terhadap kebebasan
yang tidak terkontrol sehingga mengancam kondusifitas dalam bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Di samping itu, kondisi masyarakat Indonesia yang
rentan terhadap tindakan provokasi memudahkan konflik berkembang cepat

6

dan luas, serta memungkinkan gangguan terhadap ketertiban publik yang
secara eskalatif dapat mengganggu stabilitas keamanan nasional. Struktur
masyarakat yang heterogen, tingkat pendidikan yang belum maju, serta krisis
ekonomi yang belum pulih, menjadi celah yang dapat dimanfaatkan oleh
kelompok-kelompok

yang

ingin

mengganggu

stabilitas

nasional.

Ketidakseriusan negara dalam mengatasi konflik agraria menjadikan kerugian
bagi rakyat dan negara itu sendiri. Kemiskinan struktural merupakan salah satu
kerugian yang disebabkan oleh konflik lahan. Masyarakat telah dipisahkan dari
lahannya yang semula adalah sumber penghasilan sehari-hari mereka.
Buzan dkk (1998) menyatakan bahwa keamanan merupakan hasil
konstruksi, dengan arti kata suatu isu menjadi masalah keamanan karena
adanya discourse content yang setidaknya memberikan pengaruh bagi
stabilitas keamanan. Keamanan bukan hanya sebatas dimensi militer
seperti yang diasumsikan dalam konsep keamanan. Hal ini menerangkan
bahwa adanya unsur selain militer dalam menanggapi keamanan. Dalam
spektrum

ancaman,

konflik

intensitas

rendah

dimensi

pertahanan

diperankan oleh fungsi pertahanan nir-militer dan fungsi pertahanan militer
membantu dalam pengamananya. Hal ini menunjukkan bahwa pertahanan
nir-militer dan militer memiliki ruang pelibatan pada titik damai dan perang
dalam konteks keamanan nasional.
Berdasarkan Buku Putih Pertahanan (2015) adanya ancaman nirmiliter berupa faktor berdimensi ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya,
teknologi dan informasi, dinilai mempunyai kemampuan membahayakan
kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa.
Kondisi

masyarakat

Indonesia

rentan

terhadap

tindakan

provokasi,

memudahkan konflik berkembang cepat dan meluas, serta memungkinkan
gangguan terhadap ketertiban publik yang dapat mengganggu stabilitas
keamanan nasional. Struktur masyarakat seperti inilah yang menyebabkan
kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan memanfaatkan hal tersebut
untuk mengganggu stabilitas nasional.
Perspektif pertahanan negara, unsur kekuatan nasional dikelompokkan
dalam dua pendekatan yaitu pertahanan nir-militer dan pertahanan militer,

7

sehingga ancaman yang mengganggu stabilitas keamanan dapat diatasi
dengan memaksimalkan kedua unsur yang ada tersebut. Penggunaan istilah
pertahanan nasional dan keamanan nasional seringkali dicampuradukkan dan
digeneralisasi, hal tersebut menjadi wajar karena keduanya memiliki
hubungan yang saling berkaitan. Supriyatno (2014) menyatakan perlu adanya
penataan ulang terhadap Sistem Pertahanan dan Keamanan Nasional untuk
terciptanya keamanan dalam negeri dengan penataan legalitas, kebijakan,
strategi, pola operasi, dan mekanisme dan perangkat-perangkat yang
digunakan di lapangan, sehingga pengarahannya tidak seperti masa lalu yang
melanggar hak asasi manusia serta menjunjung hukum nasional dan
internasional demi terciptanya keamanan nasional.
Kebijakan dalam segi pertahanan merujuk pada bagaimana menjaga
negara, keselamatan rakyat, dan kepentingan nasional melalui ancaman dan
penggunaan kekuatan militer. Hal ini merupakan salah satu output dari sistem
politik dengan tujuan yang lebih luas yaitu keamanan nasional. Jelas bahwa
ancaman yang mengganggu stabilitas kearnanan akan dipertahankan dengan segala
usaha agar terciptanya keamanan nasional (Hays dkk, 1997).
Indonesia masa depan sudah harus dirancang dari sekarang. Salah
satunya adalah melalui pembangunan yang terencana dan berpihak kepada
rakyat. Tata kelola yang tepat serta mempertimbangkan keberadaan
masyarakat sekitar. Konflik agraria yang terjadi juga perlu keseriusan
berbagai lembaga untuk mengantisipasinya. Memaksimalkan fungsi deteksi
dini, pencegahan secara persuasif, serta mengutamakan musyawarah
mufakat. Mengingat rakyat dalam situasi ini selalu menjadi pihak yang
termarjinalkan, maka pemerintah diharapkan hadir sebagai solusi bahkan
pihak yang berada di garda depan barisan rakyat.

8

Daftar Pustaka
Afrizal. 2006. Sosiologi Konflik Agraria Protes-protes Agraria dalam Masyarakat Indonesia
Kontemporer. Padang: Andalas University Press.
Bintarto, R. 1977. Pengantar Geografi Kota. Yogyakarta: U.P Spring.
Buzan, B., dkk. 1998. Security: A New Framework for analysis. USA: Lynne Rienner
Publisher, Inc. Colorado.
Dorn, A., W. 2004. Early and late warning by the UN Secretary-general of threars to peace.
Latham, ML: Lexington Books.
Freeman, Samuel. 2007. Justice and the Social Contract: Essays on Rawlsian Political
Philosophy. New York: Oxford University Press.
Hays, P.L., dkk. 1997. American Defense Policy: Seventh Edition. London: The John Hopkins
Press.
Hiroyoshi, Kano. 1997. Tanah dan Pajak, Hak Milik dan Sengketa Agraria: Tinjauan Sejarah
Perbandingan, dalam Tanah dan Pembangunan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Homberger, Eric. 2009. City of Collision: Jerusalem and the Principles of Conflict Urbanism.
Jurnal. International Journal of Urban and Regional Research, volume 33, issue 1,
259-261.
Kemhan. 2015. Buku Putih Pertahanan Indonesia. Jakarta: Kementerian Pertahanan Republik
Indonesia.
Kusuma, N., & Agustina, F. 2003. Gelombang Perlawanan Rakyat, Kasus-Kasus Gerakan
Sosial di Indonesia. Yogyakarta: Insist.
Malik, Ichsan, dkk. 2003. Menyeimbangkan Kekuatan: Pilihan Strategi Menyelesaikan Konflik
atas Sumber Daya Alam. Jakarta: Yayasan Kemala.
Musnita, Irin Siam. 2008. Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat Masyarakat Malamoi di
Kabupaten Sorong. Tesis. Universitas Diponegoro.
Novri Susan. 2012. Negara Gagal Mengelola Konflik. Surabaya: KoPi.
Republik Indonesia. 1960. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokokpokok Agraria. Lembaran Negara RI Tahun 1960. Sekretariat Negara. Jakarta.
Scott, C., James. 1993. Perlawanan Kaum Tani. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Supriyatno, Makmur. 2014. Tentang Ilmu Pertahanan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Artikel online
KPA. 2016. Data jumlah konflik agraria tahun 2016. Diakses pada: http://www.kpa.or.id
Dodi Sanjaya. 2017. Indonesia Darurat Agraria: Luruskan Reforma Agraria dan selesaikan
koflik-konflik agraria. Diakses pada: elsam.or.id
Astuti, Puji. 2011. Kekerasan dalam konflik agraria: kegagalan negara dalam menciptakan
keadilan di bidang pertanahan. Jurnal. Semarang: Jurnal Ilmu.
Dian Ihsan Siregar. 2017. Penolakan Pabrik Rembang, Semen Indonesia: Picu Konflik Sosial.
Diakses pada: http://metrotvnews.com
Riky Ferdianto. 2015. Konflik Lahan Urut Sewu, Ini Pemicunya. Diakses pada:
https://nasional.tempo.co.

9