kajian Ika 4 id. pdf

ANALI SI S PRI VATI SASI BUMN DALAM RANGKA PEMBI AYAAN APBN

Oleh:

Syahrir I ka 1 dan Agunan P. Samosir 2

Abstraksi

Kebijakan privatisasi BUMN di Indonesia semakin menjadi bagian penting dari kebijakan ekonomi pemerintah. Privatisasi dipandang sebagai langkah untuk mengurangi intervensi pemerintah dalam bidang ekonomi yang seharusnya dilaksanakan oleh sektor swasta. Privatisasi diharapkan dapat meningkatkan daya saing dan efisiensi perusahaan yang selanjutnya mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun, privatisasi yang dilakukan pemerintah saat ini bukan dalam tujuan diantas, melainkan untuk menutup defisit APBN. Karena sektor-sektor penerimaan dan pembiayaan lainnya tidak mencukupi dalam keseimbangan anggaran yang telah ditetapkan. Dalam perjalanannya, privatisasi yang telah berjalan dan yang akan dilakukan menjadi dilematis seperti yang telah terjadi pada privatisasi Indosat baru-baru ini.

Untuk itu, tulisan ini mencoba memberikan pemikiran baru bagaimana sebenarnya privatisai harus dilakukan. Disamping itu, tujuan privatisasi ini sebenarnya ditujukan kemana, sehingga masyarakat dan DPR bisa mengerti maksud dan tujuan privatisasi saat ini. Tentunya kita berharap bahwa kedepan privatisasi tidak lagi ditujukan untuk menutup defisit APBN semata, tetapi juga mengurangi campur tangan pemerintah terhadap sektor-sektor kegiatan ekonomi yang dapat dilakukan oleh swasta dan pada akhirnya pemerintah dapat berkonsentrasi kepada bidang yang semestinya dilakukan. Sumber penerimaan dari BUMN selayaknya hanya diutamakan dari pajak yang dihasilkan oleh BUMN.

I . Latar Belakang

Selama masa pemerintahan Orde Baru, kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menganut sistem berimbang ( balanced budget ), Sejak tahun anggaran (TA) 2000, kebijakan APBN menganut sistem defisit ( deficit buidget ) direncanakan defisit sebesar Rp44,1

1 Ahli Peneliti Muda pada Pusat Statistik dan Penelitian Keuangan (PSPK), BAF, Departemen Keuangan RI.

2 Peneliti pada PSPK, BAF, Departemen Keuangan RI.

trilyun atau 4,8% terhadap PDB. Kebijakan ini ditempuh dalam rangka pemulihan ekonomi nasional. Untuk menutup defisit anggaran tersebut pemerintah mengupayakan program financing melalui pembiayaan dalam negeri dan luar negeri. Pembiayaan dalam negeri bersumber dari program privatisasi BUMN dan penjualan aset program retsrukturisasi perbankan, yang dalam TA 2000 masing-masing ditargetkan sebesar Rp6,5 trilyun dan Rp18,9 trilyun. Namun, realisasi kedua sumber financing dalam negeri ini (1 April s/d 31 Desember) hanya mencapai Rp18,9 trilyun, yang kesemuanya bersumber dari penjualan aset program restrukturisasi perbankan, sementara dari sumber privatisasi nihil. Sumber pembiayaan luar negeri (penarikan pinjaman luar negeri dikurangi pembayaran cicilan pokok utang luar negeri) ditargetkan sebesar Rp18,7 trilyun, akan tetapi realisasinya hanya mencapai Rp9,55 trilyun (51%). Dengan demikian, pada tahun anggaran 2000, pembiayaan defisit APBN yang bersumber dari privatisasi BUMN tidak mencapai target (Tabel 1-1).

Pada APBN Tahun 2001, pemerintah merencanakan kebijakan fiskal yang ekspansif, yaitu dengan manargetkan anggaran defisit sebesar Rp52,5 triliun. Defisit anggaran 2001 dibiayai dengan tiga sumber pembiayaan, yang masih sama dengan tahun 2000, masing-masing melalui privatisasi BUMN sebesar Rp6,5 triliun, penjualan aset program restrukturisasi perbankan sebesar Rp27 trilyun dan pembiayaan luar negeri ( ne o tt ) sebesar Rp19,0 triliun. Realisasi sampai dengan 31 Desember 2001 menunjukkan bahwa dari privatisasi BUMN sebesar Rp3,465 triliun, sementara dari penjualan aset program restrukturisasi perbankan dan pembiayaan luar negeri Rp29,58 triliun dan Rp20,77 triliun (lihat Tabel A-1). Dengan demikian, pembiayaan dari penjualan aset-aset program restrukturisasi perbankan dan utang luar negeri bisa melampau target APBN, akan tetapi pembiayaan yang bersumber dari program privatisasi BUMN tidak mencapai target.

Tabel 1.1 Ringkasan APBN Tahun Anggaran 2000, 2001, 2002 & 2003 ( dalam triliun rupiah)

TA 2000

TA 2001

TA 2002 TA 2003* )

Pendapatan Negara & Hibah 152.90 263.20 301.87 327.83 Belanja Negara

197.00 315.80 344.01 354.09 Surplus Defisit Diluar Pembayaran Bunga

Surplus Defisit (44.10) (52.60) (42.14) (26.26) Pembiayaan Dalam Negeri

44.10 52.60 42.14 26.26 Privatisasi BUMN

Penjualan aset program restrukturisasi

18.90 27.00 19.54 12.00 Obligasi Negara

- - 3.93 7.00 Pembiayaan Luar Negeri

18.70 19.00 18.63 9.41 Sumber : BAF, Departemen Keuangan, 2002 (diolah). *) Sebelum Direvisi

Selanjutnya pada tahun 2002, APBN direncanakan defisit sebesar Rp42,18 trilyun (2,5% dari PDB). Defisit ini akan dibiayai dari privatisasi BUMN sebesar Rp3,95 trilyun, penjualan aset program restrukurisasi perbankan dan pembiayaan luar negeri sebesar Rp19,5 trilyun dan Rp18,63 trilyun. Rencana anggaran ini sesuai dengan Program Pembangunan Nasional (Propenas) dan Rencana Pembangunan Tahunan (Repeta). Pemerintah telah mengambil kebijakan untuk menerapkan anggaran defisit mulai TA 2000 sampai dengan tahun 2004. Bahkan bila tetap mengacu pada Propenas dan Repeta, kebijakan ini akan berlanjut hingga tahun 2005 akibat dari peristiwa bom Bali.

Dalam TA 2002, sisi pembiayaan anggaran menghadapi tantangan yang makin berat. Apabila pemerintah tidak mengambil kebijakan yang tepat, maka pembiayaan luar negeri bersih dalam tahun 2002 diperkirakan akan negatif, yang berarti total penarikan pinjaman luar negeri diperkirakan tidak akan cukup untuk menutupi kebutuhan pembiayaan untuk pembayaran cicilan pokok utang luar negeri, meskipun pemerintah masih akan Dalam TA 2002, sisi pembiayaan anggaran menghadapi tantangan yang makin berat. Apabila pemerintah tidak mengambil kebijakan yang tepat, maka pembiayaan luar negeri bersih dalam tahun 2002 diperkirakan akan negatif, yang berarti total penarikan pinjaman luar negeri diperkirakan tidak akan cukup untuk menutupi kebutuhan pembiayaan untuk pembayaran cicilan pokok utang luar negeri, meskipun pemerintah masih akan

Selain itu pemerintah juga mengupayakan pembiayaan anggaran yang bersumber dari privatisasi BUMN dan penjualan aset program restrukturisasi perbankan serta menerbitkan obligasi baru untuk menutup kebutuhan

pembiayaan APBN 3 . Program privatisasi BUMN akan tetap dilanjutkan dalam TA 2003 dengan mengembangkan berbagai metode privatisasi seperti

strategic sales , ini ial public offering t (IPO) yang didukung dengan langkah- langkah sosialisasi program privatisasi, peningkatan koordinasi dengan departemen/instansi terkait dan mempelajari kemungkinan berbagai alternatif metode privatisasi. Dari gambaran perkembangan pelaksanaan APBN tahun 2000, 2001, 2002 dan 2003 di atas, dapat dilihat bahwa BUMN menjadi salah satu tumpuan harapan pemerintah untuk mengatasi kesulitan APBN.

Sebagaimana perusahaan pada umumnya, BUMN beroperasi menurut norma-norma bisnis yang tunduk pada Undang-undang Perseroan Terbatas dan berbagai aturan hukum dan perundangan lainnya yang berlaku di Indonesia. Selaku pemegang saham, pemerintah mestinya berkepentingan mendorong pengembangan usaha BUMN agar bisa memperoleh laba BUMN yang cukup besar serta kontribusi pajak yang dihasilkan. Kedua sumber pendapatan inilah yang masuk dari pintu penerimaan dalam menghitung penerimaan perpajakan dalam APBN.

3 Uraian Lengkap lihat Nota Keuangan dan UU Nomor 19 tahun 2002 Tentang RAPBN Tahun 2002, Bab IV, halaman 46-48.

Logika ini mungkin hanya “reliable ” bila perekonomian dalam keadaan nomal. Sementara dalam kondisi perekonomian yang sedang dilanda krisis, dimana ada tekanan APBN yang cukup berat yang mendorong pemerintah menetapkan anggaran defisit, maka pemerintah kemudian mengambil langkah taktis antara lain dengan cara menjual aset-aset yang dikuasai pemerintah. Secara prinsip manajemen, kebijakan privatisasi BUMN perlu dilakukan dengan tujuan meningkatkan transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan kompetitif. Sementara kebijakan privatisasi BUMN yang antara lain bertujuan menutup defisit APBN adalah konsep jangka pendek, dan misleading apabila dipaksakan untuk dijual murah di saat krisis.

1.1. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah dapat disusun sebagai berikut: Pertama , metode apa yang paling tepat dan reliable untuk melakukan privatisasi BUMN, baik dalam rangka memenuhi kebutuhan pembiayaan APBN tahun anggaran 2003 dan 2004 maupun dalam rangka meningkatkan kinerja BUMN dalam jangka panjang. Kedua , BUMN-BUMN mana saja yang berpeluang besar untuk diprivatisasikan dalam tahun anggaran 2003. Ketiga , seberapa besar perkiraan hasil privatisasi BUMN yang mungkin diperoleh pemerintah untuk tahun anggaran 2003.

1.2. Metode Penelitian

Dalam penyusunan laporan penelitian ini, penyajian materi tulisan berpedoman kepada metode penelitian descriptive analysis yang berdasarkan pada penelitian lapangan ( field research ), yaitu penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran yang benar mengenai suatu obyek. Penelitian deskriftif ini sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan/melukiskan keadaan subyek dan obyek variabel-variabel penelitian berdasarkan fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.

Sebagai penelitian deskriptif, pelaksanaan penelitian ini tidak terbatas kepada pengumpulan data semata-mata, tetapi meliputi analisis dan interpretasi data, informasi dan fakta. Adapun analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif yaitu suatu proses penyelidikan dalam menganalisis fenomena-fenomena yang terjadi dengan cara membandingkan, merefleksikan, mengkategorikan, mengklasifikasi, menyajikan dan melaksanakan verfikasi data yang secara keseluruhan bertujuan menemukan keseragaman pola dan sifat umum obyek yang diteliti.

Pengolahan data dilakukan melalui langkah-langkah yang mengandung pengertian sebagai usaha untuk menyederhanakan dan menjelaskan bagian dari keseluruhan data melalui langkah-langkah klasifikasi dan kategorisasi sehingga dapat tersusun suatu rangkaian deskripsi yang sistematis. Proses klasifikasi dan kategorisasi data dilakukan secara bertahap atas informasi para informan dan jawaban responden serta hasil observasi ketika berada di lapangan, kemudian dilakukan interpretasi data dalam kerangka teori serta pandangan konseptual yang telah ditentukan sesuai dengan rencana sebelumnya.

I I . Kerangka Analisis

Untuk memilih metode privatisasi yang paling tepat dilakukan dengan menggunakan kerangka berfikir seperti pada gambar 2.1. dan 2.2. Pengujian terhadap metode yang sudah ditempuh pemerintah terhadap tujuh BUMN terpilih secara purposive dari 24 BUMN yang dicanangkan pemerintah untuk diprivatisasi tahun 2002 yaitu: PT. Kertas Padalarang, PT. Cambrics Primisima, PT. IGLAS, PT. Cipta Niaga, PT. Angkasa Pura I, PT. Yodia Karya, dan PT. Indra Karya.

Penilaian tapat tidaknya metode privatisasi BUMN tersebut, dibutuhkan beberapa informasi penting seperti: ƒ Kontribusi saham pemerintah pada masing-masing BUMN

ƒ Nilai saham pemerintah; ƒ Nilai Ekuitas; ƒ Laba sebelum pajak; ƒ Besarnya laba ditahan; ƒ Tingkat kesehatan; ƒ Ada atau tidaknya rencana ekspansi; ƒ Status go publik, dan ƒ Rencana jumlah saham yang akan dilepas ke publik.

Sementara metode yang dipakai untuk memperkirakan angka privatisasi dalam rangka pembiayaan APBN adalah: (i) pendekatan makro ekonomi , dengan terlebih dahulu menetapkan sasaran indikatif hasil privatisasi BUMN untuk menutup defisit anggaran yaitu sebesar 0,4% dari PDB. Perhitungannya diawali dengan memperkirakan pertumbuhan PDB dalam empat tahun terakhir (2000 – 2003). (ii) menghitung persentase realisasi hasil privatisasi dalam setiap tahun anggaran dan dibandingkan dengan sasaran yang ditetapkan dalam Propenas, serta (iii) menghitung perkiraan hasil privatisasi BUMN dengan formula sebagai berikut:

Perkiraan Optimis : HP-BUMN2003 = (( PDBt-1 + PDB) *0,4))

( Propenas)

Perkiraan Konservatif : HP-BUMN2003 = (( PDBt-1 + PDB) *0,2))

( APBN)

Pendekatan Mikro. Selain pendekatan Makro (yang telah dibahas di depan), penelitian ini juga mencoba menggunakan pendekatan mikro ( analisis karakteristik industri dan fundamental perusahaan) untuk menentukan skala prioritas BUMN yang akan diprivatisasikan dan mengestimasi nilai privatisasi BUMN yang bisa diharapkan pemerintah untuk

TA 2002. Adapun model yang dipakai sebagaimana digambarkan dalam gambar 2.1. dibawah ini:

Gambar 2.1. Model Perhitungan Skala Prioritas

Pemilihan BUMN P ROA

E (1-5)

Profitabilta

A s BUMN

A ( A)

R ROE

A (1-5) N 4 3 2 1

Skala Prioritas

A+B

x 100

Sangat

Kompetitif

Skala Prioritas

Pertama : > µ + ó (80 –

R Kompetitif

Kedua : µ + ó (60 -79) M

(3) Ketiga : µ - ó (40 -59)

Keempat : < µ - σ (20 – 39) N

I Karakteristik

Industri

( B)

A Public Utilities

A level sedang N

(2) Skor ROA dan ROE (Penawaran)

N Pendekatan mikro ini memfokuskan perhatian pada kondisi berdasarkan:

SK MENEG PENDAYAGUNAAN BUMN, permintaan dan penawaran suatu unit usaha serta porsi saham pemerintah NOMOR : 215/M-PBUMN/1999,

yang akan dilepas ke publik. Ada 2 (dua) tahap yang perlu dilakukan, yaitu : Public Utilities TANGGAL : 27 SEPTEMBER 1999. level tinggi

Skor Permintaan : berdasarkan (1) mengidentifikasi posisi BUMN yang akan diprivatisasikan, dan (2) (1) kepentingan public utilities

menghitung proyeksi nilai privatisasi.

Pada tahap per ama t , tujuannya untuk mengetahui peluang keberhasilan privatisasi. Peluang ini sangat ditentukan oleh posisi penawaran yang dicerminkan oleh tingkat profitabilitas BUMN dengan posisi permintaan yang dicerminkan oleh “tingkat penyediaan barang dan jasa” (public utilities ).

Sedangkan pilihan metode privatisasi dapat dilakukan dengan mempertimbangkan faktor-faktor seperti pada tabel 2.1.

Gambar 2.2. KERANGKA BERPI KI R PEMI LI HAN METODE PRI VATI SASI

Metode Manajeman

Kinerja Keu Nilai

Jangka

Go

Privatisa

RI/SS/OT Panjang

Sudah

Belum

IPO/SS/O

Besar

Sehat

Pendek

SS/OTH

Kecil SS/OTH

Tidak Kecil Restrukturisas

Tabel 2.1. Pilihan Metode Privatisasi PI LI HAN METODE PRI VATI SASI

I NVESTOR I NDI VI DU FAKTOR- FAKTOR

I NVESTOR

PUBLI K I PO RI SS OTHERS

Nilai privatisasi • Kecil √ √ • Besar

√ Kondisi Keuangan • Sehat

√ • Tidak Sehat

√ Kinerja Manajemen BUMN • Baik

√ • Kurang baik

√ Kondisi Pasar Modal • Sudah ada pasar modal o Likuiditas memadai

√ • Belum ada pasar modal

o Likuiditas kurang

√ Waktu yang tersedia • Panjang

√ • Pendek √ √

Gambar 2.3. NI LAI PELUANG PRI VATI SASI

Saham EBT Nilai Peluang

Rata-

Besar/Ke

Pemerintah Investasi

BESA

X Rp

Rp

Rata- KECI

Setelah mengidentifikasi nama-nama BUMN menurut skala prioritas dan nilai privatisasi masing-masing BUMN tersebut, kemudian dilakukan estimasi nilai privatisasi BUMN berdasarkan “lima skenario pelepasan saham” yang kemungkinan dilakukan pemerintah, masing-masing 20%, 30%, 40%, 50% dan 60%, dengan catatan bahwa 20% merupakan estimasi pesimis, 40% merupakan estimasi moderat (konservatif) dan 60% merupakan estimasi optimis.

I I I . Tinjauan Pustaka

3.1. Aspek Ekonomi Privatisasi

Isu efisiensi kepemilikan ( ownership ) antara pemerintah di satu sisi dengan swasta di sisi yang lain pada prinsipnya berakar dari teori sistem harga pada pasar persaingan sempurna ( the theory of perfectly competi ive t price sys em t ). Efisiensi ini jabarkan dalam tiga perspektif, yaitu: (1). Efisiensi pertukaran ( efficiency in exchange ); (2). Efisiensi produksi ( efficiency in production ); (3). Eefisiensi bauran produk ( efficiency in product mix ). Efisiensi pertukaran tercapai, dalam kasus yang paling sederhana, jika tingkat substitusi marjinal (

marginal rate of substitution, MRS 4 ) antara individual pertama = dengan MRS individual kedua atau MRS 1 = MRS 2 .

Sedangkan efisiensi produksi menurut Nicholson (1985) merujuk ke tiga kaedah alokasi. Kaedah alokasi pertama mensyaratkan suatu perusahaan memiliki tingkat substitusi teknis ( rate of technical

substitution,RTS 5 ) yang sama untuk seluruh produk ( output ) yang dihasilkannya. Kaedah alokasi kedua mensyaratkan bahwa produksi marjinal

4 Ruffin (1998), misalnya, mendefinisikan MRS sebagai “ the rate at which a consumer is just willing to substitute good Y for another unit of good X, holding the

level of satisfaction constant.”

5 Ruffin (1998, loc cit). Misalnya, mendefinisikan RTS sebagai “ the rate at which a unit of capital can be substituted for a unit of labor and still keep output constant.”

TK ( marginal p oduc ivities o labor, MPL r t f 6 ) adalah sama dalam artian tingkat gaji tenaga kerja adalah sama dengan nilai marjinal produk ( marginal value product ). Kaedah alokasi ketiga mensyaratkan bahwa tingkat transformasi

produk ( 7 rate of product trans ormation, RPT f ) antara dua jenis barang adalah sama untuk seluruh perusahaan.

Nicholson (1985) menyatakan bahwa efisiensi dalam bauran produk adalah otomatis akan tercapai dalam pasar yang bersaing, dalam kaitannya antara produksi dan preferensi-preferensi. Hal ini disebabkan karena rasio- rasio harga yang dihadapi oleh konsumen adalah sama dengan yang dihadapi oleh perusahaan-perusahaan, MRS individual = RPT perusahaan .. Pembuktian secara matematis tentang efisiensi pasar persaingan sempurna umumya dilakukan dengan program optimisasi. Optimisasi ini dapat dilakukan dari dua sisi. Pertama, dilakukan dengan teori keseimbangan pasar: sisi konsumen (maksimalisasi kegunaan “ utility ”) dan sisi produsen (maksimalisasi laba atau profit ) (lihat, misalnya, Ruffin (1988). Kedua, dilakukan dengan optimisasi pertukaran. Nicholson (1985), misalnya, memaparkan proses terjadinya efisiensi pada pasar yang bersaing ( competi ive market t ). Dalam kaitannya dengan issu-issu privatisasi, pertanyaan klasik yang mendasar, yaitu, peran-peran apakah yang seharusnya dan yang tidak seharusnya dilakukan oleh pemerintah untuk mencapai efisiensi ekonomi. Jawabannya terletak pada apakah suatu barang atau jasa itu mengandung unsur eksternalitas dalam produksi dan atau konsumsi.

Dalam hal tidak ada unsur eksternalitas, maka intervensi pemerintah tidak diperlukan, efisiensi akan tercapai jika alokasi sumber-sumber

6 Ruffin (1998, op cit), misalnya, mendefinisikan MPL sebagai “

7 RPT adalah “ The rate at which one output can be traded for another in the productive process while holding the total quantities of inputs constant.” 7 RPT adalah “ The rate at which one output can be traded for another in the productive process while holding the total quantities of inputs constant.”

efisiensi. Pasar gagal untuk mencapai efisiensi ekonomi. Pemerintah perlu melakukan intervensi agar tercapainya efisiensi dalam penyediaan barang dan jasa tersebut. Intervensi ini pada waktu-waktu terdahulu banyak dimanifestasikan dengan kepemilikan pemerintah pada BUMN-BUMN ( state- owned enterprises, SOEs ). Privatisasi, sebaliknya, cenderung merupakan

respons dari kegagalan-kegagalan BUMN. (lihat, misalnya, Megginson 9 dan Netter 10 (2001).

Gambar 2.4

Kuantitas Y

Slope = -P * x * /

E Slope = -

P x /P y Y *

C Kuantitas

Penjelasan Grafik

Dengan rasio harga P x /P y perusahaan akan berproduksi X 1 ,Y 1 ; kendala anggaran masyarakat adalah C. Dengan kendala anggaran ini, individu- individu membeli ( demand )X 1 ’, dan Y 1 ’; terjadi excess demand untuk barang

8 Lihat, misalnya, Ruffin (1988).

9 William L. Megginson adalah Chair in Finance, Michael F. Price Clloge of Business, University of Oklahoma, USA.

10 Jeffry M. Netter adalah Professor di Department of Banking and Finance, Terry College of Business, University of Georgia.

X sejumlah (X 1 ’–X 1 ) dan excess supply untuk barang Y sebanyak (Y 1 –Y 1 ’). Mekanisme pasar akan mendorong harga-harga ini ke arah titik-titik

keseimbangan ( * equlibrium levels ), P x dan P y . pada tingkat harga-harga tersebut, kendala anggaran masyarakat diwakili oleh garis lurus C * , dan

supply dan

demand * akan berada pada posisi equilibrium. Kombinasi X dan Y * akan dipilih dan alokasi ini adalah efisien.

Nuansa yang sama dipaparkan oleh Shirley 11 dan Walsh 12 (sekitar 2001), “Public versus Private Ownership: The Current State of Debate,”. Kedua penulis ini mencoba menjawab tiga pertanyaan, yaitu: (i) apakah kompetisi ( competition ) lebih penting dibandingkan dengan kepemilikan ( ownership ), (ii) apakah intervensi pemerintah terhadap BUMN terkait dengan resiko penurunan kesejahteraan yang lebih tinggi dibandingkan dengan jika intervensi ke sektor swasta; dan (iii) apakah BUMN mengalami permasalahan corpora e governance t yang lebih parah dibandingkan dengan yang ada di perusahaan swasta.

Kemudian kedua penulis ini mengemukakan argumen bahwa walaupun jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah ya maka proses privatisasinya harus diperhatikan. Jika proses tersebut terdistorsi, maka kinerja perusahaan yang diprivatisasi akan jauh lebih buruk dari kinerja BUMN. Kesimpulan studi kedua penulis ini adalah bahwa perusahaan swasta akan berkinerja lebih baik dibandingkan dengan BUMN jika mereka berada dalam struktur pasar yang bersaing. Kesimpulan yang tidak konklusif terjadi jika BUMN berada di struktur pasar monopoli.

11 Mary M. Shirley adalah Reseacher (Peneliti) Bank Dunia, Washington, DC, USA.

12 Patrick Walsh adalah Research Manager dan Consultant Development Research Group Bank Dunia, Washington, DC, USA.

3.2. Makna, Tujuan, Kriteria dan Metode Privatisasi

3.2.1. Makna Privatisasi

Para ekonom dan pengambil kebijakan pada prinsipnya sependapat tentang hakekat atau makna dari privatisasi. Basri (2002) 13 , misalnya,

berpendapat bahwa hakekat atau makna privatisasi adalah mengurangi keterlibatan atau intervensi pemerintah ke ekonomi secara langsung. Pemerintah cukup melaksanakan tugas-tugas yang tidak dapat dilaksanakan oleh pasar termasuk pertahanan dan keamanan serta redistribusi pendapatan. Dalam kata-katanya “Dalam keadaan yang ideal, negara hanya bertindak sebagai pengatur, penata, penegak rule of law , dan penjamin rasa aman.”

Pendapat ini mendapat dukungan yang luas dari para pengambil kebijakan nasional. Deputi Menteri BUMN Bidang Restrukturisasi dan

Privatisasi, Mahmud Yasin (2002) 14 , berpendapat bahwa makna privatisasi adalah perubahan peran pemerintah dari pemilik dan pelaksana menjadi

sebagai regulator dan promotor. Dengan kata lain, kepemilikan pemerintah pada badan-badan usaha perlu dikurangi sampai pada posisi yang minoritas. Pelepasan kepemilikan pemerintah tersebut lebih diprioritaskan untuk BUMN- BUMN yang berada pada pasar kompetitif dan atau bukan melakukan tugas- tugas pelayanan dasar yang penting (bukan public service obligations , PSO).

13 Basri, Faisal H., (2002), “Konsep Privatisasi”, makalah yang disampaikan dalam Seminar Terbatas: Privatisasi Ditinjau dari Aspek Ekonomi Makro, yang

diselenggarakan oleh Kantor Badan Usaha Milik Negara, Graha sawala, Gedung Utama Departemen Keuangan, Jakarta, 21 Mei 2002.

14 Yasin, Mahmud (2002), “Restrukturisasi dan Privatisasi” pointers seminar/rapat koordinasi direksi/komisaris BUMN di Jakarta, 17 April 2002.

3.2.2. Tujuan Privatisasi

a. Pengalaman I nternasional

Pengalaman internasional memperlihatkan bahwa tujuan utama privatisasi ada dua, yaitu: pertama, untuk mengurangi defisit fiskal dan atau menutupi kewajiban-kewajiban (hutang-hutang) pemerintah yang jatuh tempo, dan kedua, untuk mendorong kinerja ekonomi makro atau efisiensi makro. Tujuan pertama umumnya diadopsi oleh negara-negara maju (industri) dan tujuan kedua umumnya diadopsi oleh negara-negara berkembang utamanya dalam kerangka tujuan jangka pendek

Negara-negara maju yang menggulirkan program privatisasi dengan tujuan utama adalah efisiensi makroekonomi termasuk: Inggeris (1979, 1984, dan 1997); Perancis (1986, 1988, dan 1997); dan Jepang (1980, 1987, dan 1988). State owned enterprises , SOEs , yang mereka privatisasi umumnya dimulai dari sektor telekomunikasi: British Telcom (Inggeris); French Telkom (Perancis); dan Nippon Telegraph and Telephone, NTT, (Jepang). Sedangkan negara-negara berkembang yang mengadopsi program privatisasi dengan tujuan utama untuk menutupi defisit fiskal dan atau untuk menutupi kewajiban-kewajiban (hutang-hutang) pemerintah yang jatuh tempo, termasuk: RRC (1999); Chile (Telefones de Chile) (1990); Mexico (1982, 1992); Brazil (1998); Bolivia (1998); dan Afrika Selatan (1995). Lihat,

Megginson dan Netter (2001) 15 .

b. Privatisasi di I ndonesia

Privatisasi di Indonesia pada prinsipnya tidak berbeda dengan hakekat dan tujuan privatisasi secara internasional. Pengalaman-pengalaman

15 Megginson, William L. dan Netter, Jeffry M. “From State to Market: A Survey of Empirical Studies On Privatization,” Forthcoming, Journal of Economic Literature

(June 2001), www. worldbank.org (June 2001), www. worldbank.org

3.3. Metode dan Prosedur Privatisasi

Privatisasi BUMN dapat dilaksanakan dengan memilih strategi yang paling cocok, sesuai dengan tujuan privatisasi, jenis BUMN, kondisi BUMN, serta situasi sosial politik dari suatu negara. Beberapa strategi yang dapat dipilih, antara lain public offering, private sale, new private investment, sale of assets, fragmenta ion, managemen / employee buy out, t t

kontrak manajemen, kontrak/sewa aset, atau likuidasi. 16

1. Public Offering

Pada strategi public offering , pemerintah menjual kepada publik semua atau sebagian saham yang dimiliki atas BUMN tertentu kepada publik melalui pasar modal. Umumnya, pemerintah hanya menjual sebagian dari saham yang dimiliki atas BUMN tersebut. Strategi ini akan menghasilkan suatu perusahaan yang dimiliki bersama antara pemerintah dan swasta. Proporsi kepemilikan pemerintah atas BUMN ini akan menurun.

16 Nankani, Helen, “Techniques of Privatization of State-owned Enterprises”, The

International Bank for Reconstructive and Development / The World Bank, 1989

Public offering ini cocok untuk memprivatisasi BUMN yang cukup besar, memiliki potensi keuntungan yang memadai dalam waktu dekat dapat direalisasi. BUMN harus bisa memberikan informasi lengkap tentang keuangan, manajemen, dan informasi lainnya, yang diperlukan masyarakat sebagai calon investor. Public offering ini akan dapat terealisasi apabila telah tersedia pasar modal, atau suatu badan formal yang dibentuk dalam rangka menginformasikan, menarik, dan menjaring publik. Di samping itu harus cukup tersedia likuiditas di pasar modal tersebut. Metode public offering telah dipilih dalam rangka privatisasi beberapa BUMN di Indonesia, antara lain PT. Semen Gresik, PT. Indosat, PT. Timah, PT. Telkom, PT. Aneka

Tambang, dan Bank BNI. 17

2. Private Sale

Pada strategi ini, pemerintah menjual semua atau sebagian saham yang dimiliki atas BUMN tertentu kepada satu atau sekelompok investor tertentu. Calon investor pada umumnya sudah diidentifikasi terlebih dulu, sehingga pemerintah dapat memilih investor mana yang paling cocok untuk dijadikan partner usahanya. Strategi private sale ini fleksibel, tidak harus melalui pasar modal. Cocok untuk privatisasi BUMN yang memiliki kinerja rendah, yang belum layak untuk melakukan public offering . BUMN ini memerlukan investor yang memiliki usaha di bidang industri yang sama, memiliki posisi keuangan yang kuat, dan memiliki kinerja dan teknologi yang baik. Strategi ini juga cocok untuk negara-negara yang belum memiliki pasar modal, atau belum memiliki badan formal yang mampu menjaring investor

17 Artjan, M. Faisal, “IPO Sebagai Alternatif Privatisasi BUMN”, Majalah Usahawan No.

02 Th. XXIX, Februari 2000 02 Th. XXIX, Februari 2000

3. New Private I nvestment

New private investment dapat ditempuh oleh pemerintah apabila pemerintah atau BUMN menghadapi keterbatasan untuk mengembangkan usaha BUMN tersebut. Dalam hal ini, pemerintah tidak menjual saham yang dimiliki atas BUMN, tetapi mengundang investor untuk menyertakan modal, sehingga modal BUMN akan bertambah. Penambahan modal tersebut sepenuhnya masuk ke BUMN, dan tidak ada dana yang diterima oleh pemerintah secara langsung. Kebijakan ini akan menyebabkan proporsi kepemilikan saham pemerintah atas BUMN tersebut menjadi berkurang.

New private investment cocok untuk mengembangkan BUMN, namun BUMN mengalami kekurangan dana, misalnya dalam rangka meningkatkan kapasitas produksi atau menyediakan infrastruktur dalam rangka peningkatan produksi. Jadi, sasaran utamanya bukan untuk menjual BUMN. Metode ini telah diimplementasikan oleh pemerintah Gambia untuk memprivatisasi Senegambia Hotel, dan pemerintah Zambia untuk memprivatisasi Zambia Breweries 19

4. Sale of Assets

Pada strategi ini pemerintah tidak menjual saham yang dimiliki atas saham BUMN tertentu, tetapi menjual aset BUMN secara langsung kepada pihak swasta. Alternatif lain, pemerintah tidak menjual aset BUMN secara langsung, tetapi menggunakannya sebagai kontribusi pemerintah dalam pembentukan perusahaan baru, bekerjasama dengan pihak swasta. Dalam

18 Nankani, Helen, “Techniques of Privatization of State-owned Enterprises”, The International Bank for Reconstructive and Development / The World Bank, 1989

19 ibid 19 ibid

Kebijakan penjualan aset ini lebih fleksibel dan lebih mudah dilaksanakan, dibandingkan menjual perusahaan secara keseluruhan. Kebiajakan ini cocok untuk dilaksanakan apabila menjual perusahaan secara keseluruhan merupakan target yang sulit dicapai. Pemerintah dapat menjual seluruh aset yang dimiliki BUMN, write off semua utang, dan melikuidasi BUMN tersebut.

Metode sale of assets ini dipakai oleh pemerintah Australia pada waktu memprivatisasi Bellconen Mall, pemerintah Togo pada waktu memprivatisasi Sodeto, serta pemerintah Gabon pada waktu memprivatisasi

Societe de Bois Piza. 20

5. Fragmentation

Dalam strategi fragmentation , BUMN direorganisasi atau dipecah- pecah menjadi beberapa perusahaan, atau dibuat suatu holding company dengan beberapa anak perusahaan. Salah satu atau beberapa anak cabang kemudian dijual kepada pihak swasta. Kebijakan ini akan menghasilkan beberapa pemilik baru atas satu BUMN, sehingga diharapkan dapat menciptakan suasana bisnis yang lebih kompetitif. Strategi ini cocok untuk menjual BUMN yang besar, dengan harga yang mahal. Karena mahalnya, biasanya tidak banyak calon investor yan tertarik untuk membeli. Dengan dipecah-pecah, harganya menjadi lebih murah, dan alternatif untuk seorang investor menjadi lebih banyak. Ia dapat memilih bagian mana yang paling menarik untuk dibeli.

Suatu BUMN yang besar dapat menjadi perusahaan monopoli. Dengan dipecah-pecah, BUMN bisa menjadi beberapa perusahaan yang

20 Nankani, Helen, “Techniques of Privatization of State-owned Enterprises”, The International Bank for Reconstructive and Development / The World Bank, 1989 20 Nankani, Helen, “Techniques of Privatization of State-owned Enterprises”, The International Bank for Reconstructive and Development / The World Bank, 1989

6. Management/ Employee Buy Out

Pada strategi ini, Pemerintah mengalokasikan sejumlah saham untuk dibeli oleh para manajer dan karyawan BUMN, atau koperasi karyawan BUMN. Strategi ini cocok untuk transfer kepemilikan BUMN dari pemerintah kepada para manajer dan karyawan BUMN. Dengan memiliki saham, para manajer dan karyawan BUMN diharapkan akan bekerja lebih serius, sehingga kinerja BUMN akan meningkat. Strategi ini juga cocok untuk BUMN yang akan diprivatisasi, namun belum layak untuk melakukan publik offering karena kinerjanya yang kurang baik. Daripada BUMN dilikuidasi, maka strategi ini merupakan alternatif yang lebih baik. Strategi Managemen /employee buy out t dipilih oleh pemerintah Iceland untuk memprivatisasi Icelandair. Pemerintah Inggris juga menerapkan metode yang sama untuk memprivatisasi National Bus Company dan British Ship

Builder 22 .

7. Kontrak manajemen

Dalam strategi kontrak manajemen, pemerintah mengundang perusahaan swasta untuk "mengelola" BUMN selama periode tertentu, dengan memberikan imbalan tertentu (dituangkan dalam kontrak kerjasama). Perusahaan tersebut harus bergerak dibidang yang sama,

21 ibid

22 Nankani, Helen, “Techniques of Privatization of State-owned Enterprises”, The International Bank for Reconstructive and Development / The World Bank, 1989 22 Nankani, Helen, “Techniques of Privatization of State-owned Enterprises”, The International Bank for Reconstructive and Development / The World Bank, 1989

Pemerintah Malaysia menerapkan metode kontrak manajemen dalam rangka privatisasi North Kelong Bypass dan Labuan Water Supply. Pemerintah Srilanka menerapkan metode yang sama dalam rangka memprivatisasi Airlanka dan Sugar Corporation. Sementara itu, pemerintah Fiji juga menerapkan metode ini dalam rangka privatisasi Air Pacific. 23

8. Kontrak/ sew a aset

Kontrak/sewa aset adalah strategi di mana pemerintah mengundang perusahaan swasta untuk menyewa aset atau fasilitas yang dimiliki BUMN selama periode tertentu. Pemerintah/BUMN dengan segera akan mendapatkan uang sewa dari perusahaan penyewa, tanpa melihat apakah perusahaan tersebut memperoleh keuntungan atau tidak. Perusahaan penyewa berkewajiban untuk memelihara aset atau fasilitas yang disewanya. Aset atau fasilitas yang disewa bisa termasuk SDM yang mengelola fasilitas

23 ibid 23 ibid

PT. Tambang Timah (Indonesia) telah menerapkan metode ini. Demikian pula Port Kelang dan National Park Facilities dari Malaysia, serta Port of Singapore dari Singapura. BUMN-BUMN tersebut telah menyewakan

asset yang dimiliki dalam rangka meningkatkan ROA. 24

9. Likuidasi

Likuidasi merupakan alternatif terakhir yang dapat dilakukan pemerintah terhadap BUMN. Alternatif ini dapat dipilih apabila BUMN tersebut adalah BUMN komersial, bukan BUMN public utilities atau memberikan public services , tetapi dalam kenyataannya tidak pernah mendapatkan keuntungan dan selalu menjadi beban negara.

10. I nitial Public Offering ( I PO)

Initial Public offering merupakan strategi privatisasi BUMN dengan cara menjual sebagian saham yang dikuasai pemerintah kepada investor publik untuk yang pertama kalinya. Artinya, saham BUMN tersebut belum pernah dijual melalui pasar modal pada waktu sebelumnya. Metode IPO dapat menghasilkan dana segar dalam jumlah yang besar bagi pemerintah, tanpa harus kehilangan kendali atas BUMN tersebut. Investor publik pada umumnya membeli saham untuk tujuan investasi, dengan persentase kepemilikan yang relatif kecil. Pada umumnya mereka tidak bermaksud untuk ikut serta dalam kegiatan operasional perusahaan. Dengan demikian IPO ini cocok untuk dipilih apabila nilai saham yang akan diprivatisasi jumlahnya cukup besar, BUMN memiliki kondisi keuangan yang baik, memiliki kinerja

24 Nankani, Helen, “Techniques of Privatization of State-owned Enterprises”, The International Bank for Reconstructive and Development / The World Bank, 1989 24 Nankani, Helen, “Techniques of Privatization of State-owned Enterprises”, The International Bank for Reconstructive and Development / The World Bank, 1989

11. Right I ssue ( RI )

Right Issue adalah strategi privatisasi BUMN dengan cara menjual sebagian saham yang dikuasai pemerintah kepada publik, di mana BUMN tersebut telah melakukan penjualan saham melalui pasar modal pada waktu sebelumnya. Pada dasarnya metode Right Issue tidak jauh berbeda dengan metode Ini ial Public Offering. t Metode Right Issue tidak menyebabkan pemerintah, apabila masih menjadi pemegang saham mayoritas, kehilangan kendali atas BUMN yang diprivatisasi.

Right issue cocok untuk dipilih apabila nilai saham yang akan diprivatisasi jumlahnya cukup besar, BUMN pernah melakukan penawaran saham melalui IPO, memiliki kondisi keuangan yang baik, memiliki kinerja manajemen yang baik, tersedia cukup waktu untuk melaksanakan IPO, serta tersedia likuiditas dana di pasar modal.

12. Strategic Sale ( SS)

Strategic Sale merupakan strategi privatisasi untuk menjual saham BUMN yang dikuasai pemerintah kepada investor tunggal, atau sekelompok investor tertentu. Beberapa metode yang termasuk dalam kelompok strategic sale , antara lain strategi p iva e sale, new p iva e investmen , r t r t t managemen /employee buy out t , dan frangmentation . Pada dasarnya, strategic sale dimaksudkan untuk mendatangkan dan melibatkan investor baru dalam pengelolaan BUMN. Disamping membawa dana segar, diharapkan investor baru juga membawa sesuatu yang strategis untuk meningkatkan kinerja BUMN, misalnya teknologi baru, budaya dan metode kerja yang efektif dan efisien, perluasan penguasaan pasar, dsb. Dengan demikian, pemilihan investor baru harus dilakukan dengan selektif, dikaitkan Strategic Sale merupakan strategi privatisasi untuk menjual saham BUMN yang dikuasai pemerintah kepada investor tunggal, atau sekelompok investor tertentu. Beberapa metode yang termasuk dalam kelompok strategic sale , antara lain strategi p iva e sale, new p iva e investmen , r t r t t managemen /employee buy out t , dan frangmentation . Pada dasarnya, strategic sale dimaksudkan untuk mendatangkan dan melibatkan investor baru dalam pengelolaan BUMN. Disamping membawa dana segar, diharapkan investor baru juga membawa sesuatu yang strategis untuk meningkatkan kinerja BUMN, misalnya teknologi baru, budaya dan metode kerja yang efektif dan efisien, perluasan penguasaan pasar, dsb. Dengan demikian, pemilihan investor baru harus dilakukan dengan selektif, dikaitkan

13. Other Private Offering Other private offering merupakan strategi privatisasi dengan target individual investor atau sekelompok investor tertentu, melalui strategi selain yang disebutkan dalam metode strategic sale . Beberapa metode yang dapat diterapkan dalam strategi ini antara lain metode sale of assets , management con ract t , sewa asset, dan likuidasi. Metode ini pada dasarnya tidak dimaksudkan untuk menjual saham BUMN yang dikuasai oleh pemerintah, melainkan untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya BUMN yang dinilai masih di bawah standar.

I V. Hasil Studi Lapang

4.1. Peluang Privatisasi 7 BUMN Sampel

Dalam penelitian ini, ada tujuh BUMN yang dipilih sebagai sampel untuk mengkaji apakah BUMN-BUMN tersebut memiliki peluang yang cukup besar untuk mengikuti program privatisasi dan memberikan hasil yang signifikan. Ketujuh BUMN tersebut adalah PT Kertas Padalarang, PT Primissima, PT IGLAS, PT Cipta Niaga, PT Angkasa Pura I, PT Yodyakarya, dan PT Indrakarya. Berdasarkan hasil kajian terhadap laporan tahunan tiga tahun terakhir diperoleh gambaran sebagai berikut:

1. Rata-rata kontribusi saham pemerintah pada BUMN berkisar antara 48% hingga 100%. Lebih dari 60% BUMN responden kontribusi saham pemerintahnya mencapai 100%. Artinya bila dilihat dari porsi kemeplikan saham pada BUMN, maka ada peluang yang relatif besar bagi pemerintah untuk melakukan privatisasi dengan melepaskan kepemilikan terutama pada BUMN-BUMN yang keseluruhan modalnya merupakan modal pemerintah.

2. Nilai ekuitas dari ke 7 BUMN responden tersebut ternyata relatif kecil (dibawah Rp 60 miliar) bahkan 28% BUMN mempunyai nilai ekuitas kurang dari Rp 10 milyar dan hanya 14 % BUMN yang mempunyai nilai ekuitas lebih dari Rp 1 trilyun. Data ini memberikan gambaran bahwa apabila concern pemerintah dalam kebijakan privatisasi hanya dimaksudkan untuk menutup defisit APBN maka jumlah BUMN yang bisa diprivatisasikan relatif sedikit, hanya sekitar 14 %.

3. Dari segi pendapatan bersih BUMN, laba sebelum pajak (EBT) ketujuh BUMN responden tersebut relatif kecil, dimana sekitar 77 persen BUMN tersebut memiliki EBT kurang dari Rp 20 miliar dan hanya 1 dari 7 BUMN (14%) yang memiliki EBT diatas Rp500 milyar, walaupun semua BUMN tersebut (100%) dalam kondisi sehat.

4. Dari 7 BUMN tersebut , hanya 5 BUMN (71%) yang tidak memiliki rencana untuk melakukan ekspansi, karena itu BUMN-BUMN ini belum merencanakan untuk go public . Walaupun 2 diantara BUMN tersebut memiliki rencana ekspansi akan tetapi tidak memiliki rencana untuk privatisasi. Dengan demikian apabila dalam mengambil kebijakan privatisasi, pemerintah tetap mempertimbangkan pengamanan rencana ekspansi perseroan, maka peluang privatisasi hanya sekitar 29% ( 2 dari

7 BUMN). Sebaliknya bila pemerintah memaksa BUMN untuk diprivatisasikan maka potensi konflik manajemennya diperkirakan cukup 7 BUMN). Sebaliknya bila pemerintah memaksa BUMN untuk diprivatisasikan maka potensi konflik manajemennya diperkirakan cukup

5. Dari pertimbangan-pertimbangan tesebut pada butir 1 s.d 4 di atas, maka pilihan metode privatisasi ketujuh BUMN tersebut adalah sebagai berikut:

Tabel 4.1. menunjukkan bahwa pendekatan dalam menentukan metode privatisasi yang dilakukan Kantor Meneg BUMN dan penelitian ini berbeda akan tetapi hasilnya hampir sama (khususnya dalam memilih metode SS). Hasil penelitian menunjukkan tidak ada pilihan metode IPO untuk 7 BUMN. Berbeda dengan hasil penelitian ini, Kantor Meneg BUMN memilih 2 (dua) BUMN yaitu PT Cipta Niaga dan PT Angkasa Pura I bisa melakukan SS atau IPO. Koreksi metode hasil penelitian terhadap kedua BUMN tersebut adalah pilihan metode IPO tidak memiliki arguman yang mendasar, karena pada PT Cipta Niaga, nilai peluang privatisasinya relatif kecil, sementara PT Angkasa Pura I walaupun peluang privatisasinya besar akan tetapi metode privatisasi yang lebih tepat adalah SS atau metode lainnya (others), bukan IPO karena beberapa persyaratan go public belum terpenuhi.

Tabel 4.1 Peluang Privatisasi 7 BUMN Sampel

Nama BUMN

Ukuran Peluang Pemerintah saat ini

MP yang dipilih

MP yang I deal

Privatisasi

PT Kertas SS SS/OTH Kecil Padalarang PT Primissima

Kecil PT IGLAS

SS

SS/OTH

Kecil PT Cipta Niaga

SS

SS/OTH

Kecil PT Angkasa Pura I

SS/IPO

SS/OTH

Kecil PT Yodyakarya

SS/IPO

SS/OTH

Kecil PT Indrakarya

SS/EMBO

SS/OTH

Kecil Keterangan : MP = Metode Privatisasi SS = Strategic Sale, OTH = Others (Non Strategic Sale dan Non Public Offering) IPO = Initial Public Offering, EMBO = Employee Buy Out

SS/EMBO

SS/OTH

4.2 Skala Prioritas dan Estimasi Nilai Privatisasi BUMN

4.2.1 Pendekatan Makro

1. Perkiraan Angka Privatisasi untuk APBN 2003

Dalam propenas telah ditetapkan angka perkiraan anggaran negara hingga tahun anggaran 2005, dimana perkiraan tersebut masih berupa persentase terhadap PDB. Pada tahun anggaran 2003, pembiayaan defisit yang berasal dari dalam negeri yaitu dari privatisasi BUMN diperkirakan sebesar 0,4% dari PDB, lebih rendah dari perkiraan yang ditetapkan dalam APBN 2002 (0,2% terhadap PDB) .

Untuk mengetahui perkiraan angka nominal hasil privatisasi untuk membiayai defisit APBN 2003, maka dibutuhkan angka absolut perkiraan PDB tahun tersebut. Untuk mengetahui angka absolut perkiraan PDB Tahun 2003 telah dilakukan analisis terhadap data perkembangan PDB nominal sejak tahun 1999-2001. Dari hasil analisis, terlihat bahwa rata-rata kenaikan PDB selama 3 tahun tersebut adalah sebesar 10 – 15 persen. Dengan angka pertumbuhan tersebut, maka diperkirakan angka PDB tahun 2003 berada pada kisaran Rp1.853,9 trilyun – Rp1938,2 trilyun (naik sebesar 10-15% dari PDB 2002) sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 4.2. di bawah ini.

Tabel 4.2 PDB Tahun 1999- 2000 dan Perkiraan PDB Tahun 2003 ( miliar rupiah) Tahun PDB

* Diperkirakan naik 10% dari tahun 2002 ** Diperkirakan naik 15% dari tahun 2002

2. Perkiraan Angka Privatisasi Untuk APBN 2003 Berdasarkan Propenas

Jika diasumsikan pertumbuhan PDB naik sekitar 10% per tahun atau diperkirakan menjadi Rp1.853.915,8 milyar pada tahun 2003, sedangkan proyeksi Propenas terhadap angka privatisasi sekitar 0,4% terhadap PDB, maka angka privatisasi diperkirakan sebesar Rp7.415,7 milyar (lihat tabel 4.3.).

Tabel 4.3 Proyeksi Pembiayaan Defisit Anggaran Berdasarkan Propenas Tahun 2003- 2005 ( % PDB)

Uraian Proyeksi 2003 2004 2005

1. Dalam Negeri

0,8 (0,6) - Perbankan

- - - Non Perbankan

0,8 (0,6) - Penjualan asset perbankan

1,7 - - Privatisasi

- Penerbitan obligasi

- - - Amortisasi

2. Luar Negeri (netto)

(0,5) (0,5) - Perbankan

1,4 1,1 - Non Perbankan

Tabel 4.4 Hasil Privatisasi Tahun 2000- 2002 dan Perkiraan Tahun 2003 ( miliar rupiah) Tahun Hasil Privatisasi

1) Angka PAN, 2) Angka realisasi APBN-P

3) APBN, 4) Berdasarkan proyeksi Propenas dan asumsi pertumbuhan PDB Tahun 2003 naik 10% dari tahun 2002

Dengan menggunakan perkiraan prosentase angka PDB nominal tahun 2003 sebesar 15% per tahun (Rp1.938.184,7 milyar) dan berdasarkan Dengan menggunakan perkiraan prosentase angka PDB nominal tahun 2003 sebesar 15% per tahun (Rp1.938.184,7 milyar) dan berdasarkan

Tabel 4.5 Hasil Privatisasi Tahun 2000- 2002 dan Perkiraan Tahun 2003 ( miliar rupiah) Tahun Hasil Privatisasi

Ket: 1) Angka PAN, 2) Angka realisasi APBN-P

3) APBN, 4) Berdasarkan proyeksi Propenas dan asumsi pertumbuhan PDB Tahun 2003 naik 15% dari tahun 2002

Tabel 4.6 Perkembangan Persentase Privatisasi BUMN terhadap PDB

Tahun

% tehadap PDB

Jumlah

(Milyar Rp) 2000 1)

1) APBN , 2) APBN, 3) APBN

4) Proyeksi berdasarkan PDB Nominal (Rp1.938.184,7/naik 15% dari PDB tahun 2002), 5) Proyeksi berdasarkan PDB Nominal (Rp1.853.915,8/naik 10% dari PDB tahun 2002)

3. Perkiraan Privatisasi APBN 2003 Berdasarkan Berdasarkan Persentase BUMN

Diasumsikan Privatisasi BUMN terhadap PDB pada tahun 2002 sebesar 0,2%, dengan menggunakan angka pertumbuhan PDB nominal Rp1.938,18 trilyun (naik 15% dari PDB tahun 2002) dan angka privatisasi Diasumsikan Privatisasi BUMN terhadap PDB pada tahun 2002 sebesar 0,2%, dengan menggunakan angka pertumbuhan PDB nominal Rp1.938,18 trilyun (naik 15% dari PDB tahun 2002) dan angka privatisasi

4. Realisasi Hasil Privatisasi BUMN

Realisasi hasil privatisasi BUMN dipengaruhi beberapa faktor diantaranya adalah; kondusif tidaknya pasar modal domestik dan internasional untuk melakukan initial public offering (IPO), persepsi pemodal internasional mengenai risiko negara ( country risk ), tuntutan masyarakat dalam kaitannya dengan otonomi daerah yang dapat mengganggu program privatisasi terhadap BUMN yang berlokasi di daerah tertentu, masalah internal BUMN, kecenderungan investor untuk mengejar saham BUMN yang mempunyai prospek cerah, serta kestabilan perekonomian dalam negeri. Faktor lain yang turut mempengaruhi pencapaian realisasi privatisasi BUMN adalah perkembangan situasi politik dan keamanan, perubahan tuntutan masyarakat terhadap reformasi, serta kurang cepatnya melakukan penawaran di pasar, karena BUMN yang akan diprivatisasi harus direstrukturisasi terlebih dahulu, sehingga proses privatisasi mengalami kelambatan.

Pada TA 1998/1999 pembiayaan anggaran yang bersumber dari privatisasi BUMN ditargetkan sebesar Rp15.000 milyar, dari target tersebut yang dapat direalisasikan hanya sebesar Rp1.634 milyar atau dengan nilai capaian sebesar 10,89%. Rendahnya realisasi privatisasi BUMN pada tahun 1998/1999 tersebut mengakibatkan pemerintah menurunkan target privatisasi BUMN untuk TA 1999/2000 menjadi sebesar Rp13.000 milyar, namun dalam pelaksanaannya yang dapat terealisir hanya sebesar Rp3.727,2 milyar atau dengan nilai capaian sebesar 28,67 persen.

Pada tahun anggaran 2000, target privatisasi BUMN turun sebesar 50% dari target tahun 1999/2000, menjadi Rp6.500 milyar. Dari target tersebut, tidak diperoleh realisasi. Sementara dalam APBN 2001, sumber pembiayaan dalam negeri melalui privatisasi BUMN ditargetkan sebesar Rp6,5 triliun (0,4% dari PDB), sampai dengan 31 Desember 2001 realiasasi privatisasi BUMN untuk TA 2001 sebesar Rp3,465 triliun atau 53,3% dari target yang ditetapkan. Untuk APBN 2002, target privatisasi BUMN ditetapkan sebesar Rp3,952 trilyun (0,2% dari PDB).

Secara rerata, realisasi privatisasi BUMN dari tahun anggaran 1998/1999 sampai dengan 2001 sebesar 23,22%, dengan rerata penerimaan sebesar Rp2.206,55 milyar. Apabila dilihat dari pertumbuhan target yang telah ditetapkan dari tahun anggaran 1998/1999 sampai dengan TA 2002, diperoleh rata-rata pertumbuhan yang negatif sebesar 25,6%. Dari dua indikator tersebut dapat dilihat bahwa dalam kurun waktu TA 1998/1999 sampai dengan TA 2002, target privatisasi yang ditetapkan dalam APBN terlalu optimis. Target tersebut dari tahun ke tahun telah disesuaikan, sehingga nilai capaian target menunjukkan trend yang membaik, kecuali pada TA 2000. Salah satu yang perlu mendapat perhatian untuk meningkatkan capaian target privatisasi adalah menentukan skala prioritas BUMN yang akan diprivatisasi dengan mempertimbangkan kondisi pasar ( demand ) dan kondisi kesehatan BUMN itu sendiri ( supply ).

Tabel 4.7

Target dan Realisasi Penerimaan Privatisasi BUMN

(Rp. Miliar)

TA Target Pertumbuhan Realiasasi Capaian Target ( APBN)

Rerata -25,6% 2.206,55 23,2% Sumber : NK 2001 & PSPK

* ) = sampai dengan April 2002, data belum tersedia

4.2.2 Pendekatan Mikro

Dengan menggunakan pendekatan di atas, maka berikut ini akan ditunjukkan hasil perhitungannya. Estimasi privatisasi BUMN dilakukan terhadap 145 BUMN pada meliputi bidang-bidang usaha sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 4.8. di bawah ini:

1. Pendekatan I ndeks Karateristik I ndustri

Apakah profitabilitas BUMN signifikan dilihat dari sisi karakteristik Industri ? Data diatas menunjukkan bahwa berdasarkan skor karakteristik industri berada pada kisaran 2 hingga 4 atau rata-rata 3.54. Nilai karakteristik industri 1 berarti industri bersifat public utulities level tinggi, dimana pemerintah masih memandang perlu untuk menguasai seluruh saham perusahaan-perusahaan yang berada di Industri ini mengingat adanya keharusan untuk melindungi kepentingan umum masyarakat.

Dokumen yang terkait

DESAIN MODIFIKASI KARBURATOR PADA MESIN BENSIN 4 LANGKAH BERBAHAN BAKAR ETANOL

0 79 16

PENYESUAIAN SOSIAL SISWA REGULER DENGAN ADANYA ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SD INKLUSI GUGUS 4 SUMBERSARI MALANG

64 523 26

A DISCOURSE ANALYSIS ON “SPA: REGAIN BALANCE OF YOUR INNER AND OUTER BEAUTY” IN THE JAKARTA POST ON 4 MARCH 2011

9 161 13

IMPROVING THE TENTH YEAR STUDENTS’ DESCRIPTIVE WRITING ABILITY THROUGH GENRE- BASED APPROACH AT SMA NEGERI 4 JEMBER IN THE 2009/2010 ACADEMIC YEAR

1 57 8

Hubungan religiusitas dengan kepuasan hidup pada lanjut usia yang mengikuti kajian keagamaan di yasasn wakaf paramadina pondok indah plaza

1 45 130

Implementasi pendekatan saintifik pada kurikulum 2013 Di Kelas 4 SDN Cijantung 03 pagi

6 127 0

Konsep kecerdasan ruhani guru dalam pembentukan karakter peserta didik menurut kajian tafsir Qs. 3/Ali-‘Imran: 159

9 101 103

PENGARUH PERSEPSI SISWA TENTANG KETERAMPILAN GURU DALAM MENGELOLA KELAS DAN PEMANFAATAN MEDIA PEMBELAJARAN TERHADAP HASIL BELAJAR SEJARAH SISWA KELAS XI IPS SEMESTER GANJIL SMA NEGERI 4 BANDAR LAMPUNG TAHUN PELAJARAN 2011/2012

0 32 102

PERBEDAAN HASIL BELAJAR GEOGRAFI SISWA MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE NUMBER HEADS TOGETHER (NHT) DAN STUDENT TEAM ACHIEVEMENT DIVISION (STAD) KELAS XI IPS SMAN 4 METRO TAHUN PELAJARAN 2012-2013

0 33 110

UPAYA MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR MENGGUNAKAN KARTU HURUF DAN ANGKA PADA PEMBELAJARAN TEMATIK SISWA KELAS I SDN 4 AMBARAWA PRINGSEWU TAHUN PELAJARAN 2012/2013

1 20 89