Konsep Mandala dalam Dunia Urang Kanekes

nung!

Konsep Mandala dalam Dunia

Urang kanekes
Sebuah Tinjauan dari Luar*
— Rain Kamandak —

Atma Drackonia

Urang Kanekes dicemooh sekaligus dipuji. Dicemooh sebab mereka dianggap sebagai
masyarakat terbelakang yang “bodoh”. Ukuran keterbelakangan dan “kebodohan” di sini
subjektif, yakni karena menolak berbagai institusi dan produk dunia modern. Namun, mereka
juga dipuji, justru, karena prinsip hidup yang membuat mereka menolak berbagai institusi
dan produk dunia modern itu.

un jauh di pedalaman ujung baratdaya pulau jawa, tinggallah sebuah
masyarakat adat sub-etnis Sunda.
mereka tinggal di kawasan gunung
kendeng, kabupaten lebak, provinsi banten.
orang-orang mengenal mereka sebagai orang

baduy. ada juga yang menyebut mereka orang
rawayan. hanya sedikit orang yang menyebut
mereka urang kanekes (baca: kanékés). apa pun
sebutannya, yang dimaksud adalah satu komunitas
adat di banten yang masih memegang teguh
norma-norma yang diwariskan dari leluhurnya.

Three Sacred Circles

N
*

22

Jawara | Majalah Kebudayaan | No. 02 | 2016

Sebuah tinjauan hipotetis. penulis menyusunnya hanya
berdasarkan studi tangan kedua (literatur), tidak secara
langsung berinteraksi dengan komunitas yang diteliti.


Orang Baduy atau Urang
Kanekes?
■ penuliS pernah mendapat informasi
lisan bahwa komunitas tersebut enggan disebut
sebagai orang baduy—bahwa sebutan itu
diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok
masyarakat tersebut sebagai ejekan. informasi
ini juga banyak penulis temukan dalam berbagai
literatur yang membahas atau menyinggung
masyarakat adat ini.
konon, sebutan “orang baduy” berasal
dari para peneliti belanda yang, agaknya,
mempersamakan mereka dengan kelompok arab
badawi yang merupakan masyarakat nomad (tidak

Jawara | Majalah Kebudayaan | No. 02 | 2016

23

1


judistira k. garna, “orang baduy dari kanekes :
ketegaran dalam menghadapi tantangan zaman.”
makalah dalam Seminar Sehari dengan orang baduy
(museum negeri jawa barat, bandung, 1992): 2.

2

edi S. ekajati, Kebudayaan Sunda, Suatu Pendekatan
Sejarah ( jakarta: pustaka jaya, 1995): 54.

3

Syarif moeis, “konsep ruang dalam kehidupan
orang kanekes.” makalah dalam Diskusi jurusan
pendidikan Sejarah (FpipS upi, bandung, 2010),
http://file.upi.edu/Direktori/FpipS/jur._penD._
Sejarah/195903051989011-SyariF_moeiS/
makalah__1.pdf (Diakses 3 april 2016).


Kata mandala—yang
berarti “wilayah
kekuasaan lembaga
keagamaan”—diserap
dari bahasa Sanskerta
dan berarti “lingkaran
suci”.

namun, mengasalkan sebutan “orang baduy”
kepada gunung yang ada di wilayah mereka
mungkin anakronistik. bisa jadi, Sungai cibaduy
dan bukit baduy baru diberi nama demikian,
justru, setelah mereka bermukim di sana dan
sebutan sebagai “orang baduy” sudah dilekatkan
kepada mereka.
meskipun demikian, informasi bahwa mereka
lebih suka menyebut diri sebagai urang kanekes
ini dibantah oleh ayah mursid—Wakil jaro
tangtu cibeo. menurutnya, istilah baduy diambil
dari nama sungai (cibaduy) atau bukit (baduy)

yang berada di kawasan mereka, sementara
istilah kanekes adalah sebutan yang terhitung
baru dan berhubungan dengan dibentuknya jaro
pamarentah di kanekes. pernyataan tersebut
diperkuat oleh jaro Dainah—sebagai jaro
pamarentah Desa kanekes—yang mengatakan
bahwa “kanekes adalah nama desa, baduy nama
masyarakatnya.”4
‘Ala kulli hal, apa pun penyebabnya, disanggah
atau diterima, mereka “telanjur” telah dikenal
sebagai orang baduy: sebuah masyarakat adat di
banten yang memegang teguh ajaran para leluhur
untuk berperilaku selaras dan menghormati tanah
tempat mereka hidup, sesuai dengan tugas mereka.
Dalam tulisan ini, penulis akan menyebut mereka,
berdasarkan daerah tempat tinggal mereka, sebagai
urang kanekes—dengan bunyi /é/—dalam
pengertian yang serupa dengan sebutan orang
balaraja, orang kronjo, atau orang Serang.


Urang Kanekes dan Konsep
Mandala
■ tugaS urang kanekes adalah melakukan
tapa (bekerja, beraktivitas) di mandala. hal itu
karena, dalam sejarah masyarakat Sunda secara
keseluruhan, masyarakat baduy memunyai
kedudukan sebagai mandala. Sedangkan,
masyarakat Sunda lainnya—di luar mandala—
berkedudukan sebagai nagara dan semua warganya
mengemban tugas untuk melakukan tapa di

4

24

Jawara | Majalah Kebudayaan | No. 02 | 2016

asep kurnia & ahmad Sihabudin, Saatnya Baduy Bicara
( jakarta: bumi aksara, 2010): 16–8.


bahasa Sanskerta dan berarti
“lingkaran suci”.7 Dalam kerajaan
Sunda lama, mandala berarti
tempat suci untuk pusat kegiatan
keagamaan—tempat para pendeta,
murid-murid, atau bahkan
pengikut mereka hidup untuk
membaktikan seluruh hidupnya
bagi kepentingan kehidupan
beragama. ini artinya masyarakat
hanya boleh tinggal di sana
selama mematuhi seluruh aturan
yang ada. kawasan mandala juga
berarti tidak boleh didatangi oleh
sembarang orang.8
Dari prasasti banten dan naskah
Sunda kuno diketahui bahwa,
dalam masyarakat Sunda lama,
mandala disebut juga kabuyutan
dan terdiri dari dua macam:

lemah Dewasasana dan lemah
parahiyangan. lemah Dewasasana
adalah mandala untuk pemujaan
dewa bagi penganut agama hindu;
sedangkan lemah parahiyangan—
disebut juga kabuyutan jatisunda—
adalah mandala untuk pemujaan
hiyang bagi penganut yang memuja
arwah leluhur (nenek moyang).
Dari prasasti dan naskah-naskah
itu dapat diketahui beberapa buah
mandala di tanah Sunda, salah
satunya adalah kanekes.9
Dalam kosmologi urang kanekes, alam semesta
terbagi menjadi tiga tingkatan dunia. Dunia
tertinggi adalah buana nyungcung—disebut
J. Iskandar & R. Ellen, “In Situ Conservation of Rice Landraces among the
Baduy of West Java”, Journal of Ethnobiology, Summer 1999, 19(1): 100.

menetap). mereka menyebutnya badoe’i, badoej,

badoewi, urang kanekes, dan rawayan.1 istilah ini
berkonotasi kurang baik karena berkenaan dengan
kelompok pengembara padang pasir di tanah arab
yang dipandang rendah peradabannya2 atau kaum
pedalaman gurun yang menolak ajaran islam yang
dibawa muhammad rasulullah. Dari sini, besar
kemungkinan bahwa sebutan baduy merupakan
penamaan pejoratif yang berasal dari masyarakat
sekitarnya yang telah “beradab” dan telah memeluk
agama islam.3 karena itulah, mereka enggan
disebut dengan panggilan yang mencemooh itu.
mereka lebih suka menyebut diri sebagai urang
kanekes, sesuai dengan nama wilayah mereka, atau
sebutan yang mengacu kepada nama kampung
mereka, seperti urang cibeo, urang cikartawana,
atau urang cikeusik.
ada kemungkinan lain bagi sebutan “orang
baduy” itu, yakni karena adanya Sungai cibaduy
dan bukit baduy di bagian utara wilayah mereka.


nagara.5 tugas dan kedudukan masing-masing ini
mereka emban secara turun-temurun.
kata mandala—yang berarti “wilayah
kekuasaan lembaga keagamaan”6—diserap dari
5

6

Saleh Danasasmita & anis Djatisunda, Kehidupan
Masyarakat Kanekes (bandung: bagian proyek penelitian
dan pengkajian kebudayaan Sunda Depdikbud, 1986)
dalam Syarif moeis, op. cit.. Dari “amanat buyut” urang
kanekes bisa diketahui bahwa ada 33 nagara di dalam
wilayah kanekes: buyut nu dititipkeun ka pu-un, nagara
satelung puluh telu (buyut yang dititipkan kepada pu-un,
nagara tiga puluh tiga). lihat asep kurnia & ahmad
Sihabudin, op. cit.: vi.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), edisi ketiga
( jakarta: balai pustaka, 2002): 709.


7

rosita Dellios,, “Mandala: From Sacred Origins to
Sovereign Affairs in Traditional Southeast Asia”, The centre
for east-West cultural and economic Studies, research
paper no. 10. http://epublications.bond.edu.au/cewces_
papers/8 (Diakses 3 april 2016).

8

jamaludin, “makna Simbolik huma (ladang) di
masyarakat baduy,” Mozaik, 11(1), Fakultas ilmu budaya
universitas airlangga, Surabaya, 2012. http://lib.itenas.
ac.id/kti/wp-content/uploads/2012/10/ makna-Simbolikhuma-di-masyarakat-baduy.pdf (Diakses 3 april 2016).

9

Syarif moeis, ibid.
Jawara | Majalah Kebudayaan | No. 02 | 2016

25

10 Syarif moeis, ibid.
11 arca Domas berarti “800 patung”. angka 800 di sini
hendaknya dimaknai sebanai “banyak”, bukan bilangan
yang pasti. Sasaka pusaka buana berarti “pusaka
dunia yang disucikan”. lihat, robert Wessing & bart
barendregt, “tending the Spirit’s Shrine: kanekes and
pajajaran in West java”, Moussons, 2005, 8: 19.
12 Syarif moeis, ibid.
13 robert Wessing & bart barendregt, op. cit.: 6.

26

Jawara | Majalah Kebudayaan | No. 02 | 2016

■ Teras rendah Arca Domas. Di latar depan adalah sungai Ciujung.

Tiga Mandala dan Tiga Tangtu
■ aDa Semacam stratifikasi sosial dalam
masyarakat urang kanekes. berdasarkan tingkat
kemandalaannya, mereka membagi wilayah
kanekes menjadi tiga lingkaran konsentris: tangtu,
panamping, dan Dangka.
1. kawasan tangtu adalah wilayah dengan
tingkat kemandalaan tertinggi. kawasan ini
terletak paling jauh dari masyarakat luar dan
meliputi tiga kampung: cikeusik, cikartawana,
dan cibeo—karena itu, kawasan ini disebut
juga sebagai tangtu tilu. penghuninya disebut
urang tangtu atau masyarakat baduy Dalam14
dan dituntut secara penuh untuk hidup sesuai
dengan aturan kemandalaan.
14 Peraturan Desa Kanekes, nomor 01, tahun 2007, tentang
Saba budaya Dan perlindungan masyarakat adat tatar
kanekes (baduy): 4. http://web.iaincirebon.ac.id/ebook/
moon/adat-indigenous/peraturan Desa kanekes.pdf
(Diakses 4 april 2016).

W.C.B. Koolhoven, “Een en ander omstrent het land der Badoei’s (Zuid Bantam),” Mijningenieur, 1932, 13: 66 dalam
Wessing & Barendregt, “Tending the Spirit’s Shrine: Kanekes and Pajajaran in West Java”, Moussons, 2005, 8: 6.

juga buana luhur atau ambu luhur. Dunia itu
dihuni oleh para dewa dalam konsep agama hindu
(brahma, Wisnu, Syiwa, indra, yama, dll.) dengan
kekuasaan tertinggi dimiliki oleh Sang hyang
keresa (yang mahakuasa)—disebut juga nu
ngersakeun (yang menghendaki) atau batara Seda
niskala (yang gaib). Dunia menengah adalah
buana panca tengah—disebut juga buana tengah
atau ambu tengah—yang dihuni oleh manusia
dan makhluk lainnya. Dunia terendah adalah
buana larang—disebut juga buana handap atau
ambu handap—yaitu neraka.10
buana panca tengah dibedakan berdasarkan
tingkatan kesuciannya. tempat yang merupakan
pusat paling suci adalah arca Domas—disebut
juga pada ageung atau Sasaka pusaka buana.11
letaknya di bukit pamutuan, daerah hulu sungai
ciujung di ujung barat pegunungan kendeng.
tanggung jawab pemeliharaan sasaka ini berada
di tangan pu-un (pemimpin adat) cikeusik
dan hanya pu-un cikeusik dengan beberapa
orang kepercayaannya yang mengetahui lokasi
tepatnya.12
Selain itu, ada pula Sasaka Domas atau
mandala parahiyang. lokasinya di hulu sungai
ciparahiyang, jauh di dalam kompleks hutan
larangan. tanggungjawab pemeliharaannya berada
di tangan pu-un cibeo. menurut mitologi urang
kanekes, di sinilah tempat ketika batara cikal
(atau batara tunggal) turun ke bumi. batara cikal
adalah tokoh utama yang dianggap sebagai leluhur
cikal-bakal urang kanekes. Di sekitar tempat
itulah arwah para leluhur yang telah meninggal
berkumpul dengan batara cikal.13
Selanjutnya, berurutan dengan tingkat kesucian
makin menurun adalah kampung dalam, kampung
luar, banten, tanah Sunda, dan luar Sunda.

2. kawasan panamping memiliki tingkat
kemandalaan yang lebih rendah dan terletak
di luar kawasan tangtu. Wilayahnya meliputi
semua perkampungan di luar kawasan tangtu,
tetapi masih berada di dalam wilayah Desa
kanekes. penghuninya disebut sebagai urang
panamping atau masyarakat baduy luar
dan tidak terlalu dituntut untuk hidup sesuai
dengan aturan kemandalaan.

Setiap tangtu dalam tangtu tilu itu dipimpin
oleh seorang pu-un. jadi, keseluruhannya ada tiga
pu-un: Pu-un cikeusik, Pu-un cikartawana, dan
Pu-un cibeo.

3. kawasan Dangka memiliki tingkat
kemandalaan yang paling rendah dan
terletak di luar kawasan panamping.
Wilayahnya, secara administratif, berada di
luar wilayah Desa kanekes. pada umumnya,
penduduknya masih memiliki keterikatan
kekerabatan dan kosmik dengan warga
serta tata aturan dan sistem yang berlaku
di tatar kanekes,15 tetapi samasekali tidak
dituntut untuk hidup sesuai dengan aturan
kemandalaan.

masyarakat luar kanekes memisahkan urang
kanekes dari masyarakat lain dalam sistem
kepercayaan. mereka menyebut orang Sunda
di luar kanekes sebagai “urang eslam” dan
menganggap mereka sebagai urang are atau dulur
are. istilah urang are atau dulur are, kurang lebih,
berarti “orang/saudara yang berbeda keyakinan” .17
Dalam menjalankan tugas kosmiknya di
mandala, urang kanekes berpegang pada norma
leluhur yang mereka sebut sebagai pikukuh
karuhun. untuk mempertahankan pikukuh itu,
mereka memiliki aturan yang disebut buyut
(indonesia: larangan, tabu, Sunda: pamali), yaitu
norma-norma larangan yang tak boleh dilanggar
oleh urang kanekes. prinsip utama buyut adalah
konsep menerima apa adanya, tanpa perubahan

Selanjutnya, masyarakat tangtu, secara khusus,
juga terbagi ke dalam tiga kelompok sosial dengan
tugasnya masing-masing. konsep tangtu tilu
(tiga tangtu) ini serupa dengan konsep tri
tangtu sebagaimana digunakan dalam kerajaan
Sunda kuno yang merupakan kesatuan antara
tiga unsur peneguh dunia dan dilambangkan
dengan rama (dunia kesejahteraan), raja (dunia
pemerintahan), dan resi (dunia bimbingan).
a. masyarakat kampung cikeusik disebut
sebagai tangtu pada ageung dan memunyai
tugas untuk berfungsi sebagai “rama”
(sumber perilaku).

Buyut untuk Menjaga
Kemurnian Mandala
■ konsep kemandalaan yang tidak berlaku di

17 “Harti urang are ta ja dulur are. Dulur dulurna mah,
ngan Eslam, hanteu sabagi kami di dieu” (arti urang
are itu sama dengan dulur are. Saudara sih saudara,
tapi beragama islam, tidak seperti saya di sini). lihat
Wilodati, “Sistem tatanan masyarakat dan kebudayaan
orang baduy,” http://file.upi.edu/Direktori/FpipS/
m_k_D_u/196801141992032-WiloDati/jurnal_
baDuy.pdf (Diakses 4 april 2014).

b. masyarakat kampung cikartawana disebut
sebagai tangtu kadu kujang dan
memunyai tugas untuk berfungsi
sebagai “resi” (sumber
bimbingan).
c. masyarakat kampung cibeo
disebut sebagai tangtu
parahiyang dan memunyai
tugas untuk berfungsi sebagai
“raja” (sumber wibawa).16

15 Peraturan Desa Kanekes, ibid.
16 Syarif moeis, ibid.;

CikeuSik
Cibeo
TangTu

PanamPing

TangTu
PaRahiyang
“RaJa”

TangTu
Pada ageung
“Rama”

CikaRTawana
TangTu
kadu kuJang
“ReSi”

dangka

■ Tiga mandala dalam
masyarakat Urang Kanekes.

■ Pembagian kawasan
Tangtu menjadi Tangtu Tilu.
Jawara | Majalah Kebudayaan | No. 02 | 2016

27

P9050540.jpg

baduywisata.blogspot.com

5.IV.2016

3. Moal linyok moal bohong (tidak ingkar dan
tidak berbohong)

sedikit pun atau tanpa perubahan apa pun. prinsip
utama buyut tersebut disarikan dalam ungkapan:

lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang
disambung (panjang tidak boleh dipotong, pendek
tidak boleh disambung).
Buyut (tabu), dalam kehidupan urang kanekes,
terbagi menjadi tiga jenis, yaitu:
1. Buyut demi melindungi kemurnian sukma,
yaitu perlindungan terhadap roh/jiwa karena
sukma adalah roh manusia yang diturunkan
ke alam dunia dalam keadaan bersih dan suci.
jika seseorang meninggal, maka sukma yang
kembali ke asal harus tetap bersih dan suci.
2. Buyut demi melindungi kemurnian mandala,
yaitu penghormatan terhadap Desa kanekes
karena dianggap inti jagat (pusat semesta)
sebagai tempat diturunkannya nabi adam
ke dunia. Desa kanekes harus dijaga
kemurniannya melalui larangan agar tak
sembarang orang memasukinya.
3. Buyut demi melindungi kemurnian tradisi,
yaitu perlindungan terhadap adat istiadat
yang ditetapkan dan diturunkan atas
kandungan nilai kehidupan yang terbukti

28

Jawara | Majalah Kebudayaan | No. 02 | 2016

telah menyelamatkan perjalanan hidup
mereka.18
konsistensi dalam mematuhi berbagai buyut
untuk memelihara dan melestarikan pikukuh
karuhun agar tidak mengubah apa pun yang
telah diwariskan itulah yang membuat urang
kanekes bersikukuh menolak berbagai institusi
dan produk dunia modern. konsistensi itu
melekat pada diri mereka, menyatu dalam jiwa,
menjelma dalam perbuatan, dan tidak tergoyahkan
oleh perkembangan zaman di masyarakat luar.
konsistensi yang dilestarikan secara turun-temurun
dan telah bertahan selama berabad-abad.
Di antara ratusan butir buyut dalam pikukuh
karuhun, urang kanekes juga berpegang teguh
kepada sepuluh buyut yang menjadi pedoman
hidup mereka sehari-hari yang dikenal sebagai
Dasa Sila, yaitu:
1. Moal megatkeun nyowa nu lian (tidak
membunuh orang).
2. Moal mibanda pangaboga nu lian (tidak
mengambil barang orang lain)
18 Saleh Danasasmita & anis Djatisunda, op. cit. dalam
Wilodati, op. cit.

juga harus dihormati oleh masyarakat luar yang
berkunjung ke tanah ulayat20 mereka. Siapa pun,
tidak terkecuali, tak memiliki hak atau kekuasaan
4. Moal mirucaan kana inuman nu matak
untuk melanggar atau mengubah tatanan
mabok (tidak mabuk-mabukan)
kehidupan yang ada dan sudah berlangsung
5. Moal midua ati ka nu sejen (tidak menduakan
dari generasi ke generasi. para pu-un memiliki
hati pada yang lain)
kedudukan dan kewenangan untuk memelihara
6. Moal barang dahar dina waktu nu ka
keseluruhan sistem sosial budaya mereka.
kungkung ku peting (tidak makan di waktu
kedudukan dan kewenangan itu mereka dapatkan
sahur)
secara turun temurun dan sudah ditentukan oleh
7. Moal make kekemhangan jeung seuseungitan
para karuhun (leluhur) demi menyelamatkan
(tidak memakai wangi-wangian).
taneuh titipan (tanah titipan, wilayah kanekes)
8. Moal ngageunah-geunah geusan sare (tidak
yang mereka percaya sebagai inti jagat (pusat
melelapkan diri dalam tidur)
semesta). Sebab itu, jika taneuh titipan itu rusak
atau hancur, akan rusak dan hancur pula seluruh
9. Moal nyukakeun ati ku igel, gamelan, kawih,
kehidupan di dunia. adanya aturan seperti inilah
atawa tembang (tidak menyenangkan hati
yang menjadikan hutan di wilayah urang kanekes
dengan tarian, musik, atau nyanyian).
tetap terjaga, lestari, dan utuh sampai saat ini.21
10. Moal make emas atawa salaka (tidak
konsep sakralitas mandala yang berlaku di
memakai emas atau perak).19
masyarakat urang kanekes tercermin juga dalam
pengelolaan tata lingkungan
mereka. pertama, urang
kanekes membagi kawasan
Zona
tangtu menjadi tiga zona yang
Leuweung
juga merupakan tiga lingkaran
koLoT
(huTan Tua)
konsentris: zona bawah (untuk
permukiman), zona tengah
Zona
Leuweung
(untuk bercocok tanam),
Zona heuma
koLoT
(Tanah gaRaPan)
dan zona atas (untuk praktik
pemujaan).
Zona heuma

1. zona bawah atau heuma
adalah
wilayah di lembah bukit
Zona Reuma
yang relatif datar dan dekat
■ Ilustrasi pembagian zona lingkungan di wilayah Urang Kanekes
dengan sumber air (sungai atau
(tampak samping dan tampak atas)
mata air). areal ini digunakan
sebagai zona permukiman
yang terdiri dari rumah penduduk biasa,
rumah pu-un, balai pertemuan (balé kapuunan), penumbukan padi (saung lisung),
lapangan, tempat penyimpanan padi
Selain harus ditaati oleh penduduk kanekes
penduduk (leuit), sumber-sumber air minum,
sendiri, berbagai buyut pikukuh karuhun itu
Zona Reuma
(PeRmukiman)

Konsep Mandala dan Tata
Lingkungan Urang Kanekes

19 m.S. Djoewisno, Potret Kehidupan Masyarakat Baduy
( jakarta: percetakan Setia offset, 1987) dalam gunggung
Senoaji, “pemanfaatan hutan dan lingkungan oleh
masyarakat baduy di banten Selatan”, Jurnal Manusia dan
Lingkungan, 2004, Xi(3): 148.

20 kemungkinan diserap dari bahasa arab, wilāyah, melalui
bahasa persia, vilayet, yang berarti wilayah atau daerah
perwalian/perlindungan.
21 gunggung Senoaji, “masyarakat baduy, hutan, Dan
lingkungan”, Jurnal Manusia dan Lingkungan, 2010
17(2): 121.
Jawara | Majalah Kebudayaan | No. 02 | 2016

29

mck, dan pekuburan penduduk.22 hutan
di sekitar permukiman penduduk ini disebut
dukuh/leuweung lembur (hutan kampung).
2. zona tengah atau reuma adalah wilayah di
luar permukiman penduduk di zona bawah,
terletak di atas lembah-lembah yang terdiri
dari hutan sekunder atau hutan produksi
yang dibersihkan untuk dipergunakan sebagai
lahan pertanian intensif tadah hujan dengan
pola peladangan berpindah. lahan untuk
berladang tersebut digunakan selama satu
tahun. Setelah itu, lahan akan dibiarkan
hingga menjadi hutan kembali, minimal,
selama tiga tahun.23
3. zona atas atau leuweung kolot adalah
wilayah di puncak bukit yang dianggap suci
dan hutannya terlarang untuk diberdayakan
untuk kehidupan praktis. hutan di sini
22 yudistira garna, “pola kampung dan Desa, bentuk Serta
organisasi rumah masyarakat Sunda,” dalam edi S.
ekajati, Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya, ( jakarta:
giri mukti, 1980): 236-238.
23 Suparmini dkk., “pelestarian lingkungan masyarakat
baduy berbasis kearifan lokal” [laporan penelitian],
(Fakultas ilmu Sosial, universitas negeri yogyakarta,
2012): 85.

disebut leuweung kolot (hutan tua) atau
leuweung titipan (hutan titipan), berupa
hutan lindung yang diperuntukan sebagai
tempat untuk melakukan upacara keagamaan
dan harus dijaga kelestariannya. penduduk
dilarang memasuki hutan ini tanpa seizin
petinggi adat.24
kedua, berdasarkan fungsi dan lokasinya,
mereka juga membagi hutan menjadi tiga jenis,
yaitu hutan larangan, hutan dudungusan, dan
hutan garapan.
1. hutan larangan. berada di sebelah selatan
permukiman tangtu, pada lokasi yang
paling dalam dan paling tinggi di kawasan
hutan kanekes, hutan larangan adalah hutan
lindung yang tidak boleh dimasuki oleh siapa
pun, tidak diperkenankan mengusiknya,
mengambil sesuatu darinya, bahkan sehelai
daun, sepucuk ranting, atau setetes madu
pun tidak boleh diambil darinya. hutan
ini adalah hutan larangan bukan karena
angker atau keramat, melainkan karena
urang kanekes sangat menghormati dan
menghargai alam atas dasar pemahaman
24 Idem.

terhadap potensi yang dikandungnya. hanya
sekali setahun hutan larangan ini dikunjungi
dan hanya oleh enam orang, yakni pu-un
dan wakilnya dari baduy Dalam untuk
melaksanakan suatu upacara adat. Dari hutan
larangan inilah mata air Sungai ciujung dan
cisemeut berawal.25
2. hutan dungusan atau dudungusan. ini
adalah hutan lindung yang dilestarikan
karena berada di hulu sungai atau karena di
dalamnya terdapat keramat yang diyakini
sebagai tempat leluhur urang kanekes.
hutan dudungusan dilindungi demi menjaga
keberlanjutan tersedianya air sungai untuk
kebutuhan vital masyarakat sehari-hari.
hutan dudungusan ini terdapat di hulu-hulu
sungai—antara lain, dudungusan cihalang
(terletak antara kampung gajeboh dan
cicatang), dudungusan cikondang (antara
kampung gajeboh dan cicakal), dudungusan
cimambiru (dekat kampung balimbing),
dudungusan cigaru (dekat kampung
gajeboh), dudungusan jambu (dekat
kampung cicakal), dudungusan cikuya
(dekat kampung marengo), dan dudungusan
kalagian (dekat kampung cibeo).26
3. hutan garapan. tampilan fisiknya tidak sama
seperti hutan dalam pengertian konvensional
karena hutan garapan merupakan areal hutan
yang dibuka dan difungsikan sebagai ladang
atau huma.27 Di hutan ini, urang kanekes
bisa membuka dan menggarap ladangnya.

Urang Kanekes dan
Kelestarian Lingkungan

www.pianoterra.ro

5.IV.2016

konsep mandala dengan pembagian wilayah
berdasarkan tingkat kesakralannya bisa diamati
dalam tata sosial dan tata guna lahan urang
kanekes. Dalam praktiknya, konsep itu menjadi
instrumen utama bagi pengelolaan lingkungan

di wilayah mereka, ketika mereka memandang
alam dalam kemandalaan mereka sebagai warisan
leluhur yang sakral dan tak boleh berubah. Sikap
hormat mereka kepada alam itu didasarkan pada
pikukuh karuhun yang dijaga dan dilestarikan
melalui berbagai buyut yang mengatur cara hidup
mereka. Pikukuh yang mereka pegang erat itu telah
terinternalisasi demikian kuat dalam setiap jiwa
urang kanekes dan, pada gilirannya, berpengaruh
positif terhadap segala tindakan mereka menjaga
lingkungan dari kerusakan. Semua itu didukung
pula oleh keyakinan bahwa mereka adalah kaum
yang ditugaskan sebagai penjaga alam desa
kanekes yang merupakan pusat semesta (inti jagat).
bagi urang kanekes, menjaga kelestarian alam
bukanlah agenda cantik yang bisa dijual kepada
kaum kapitalis yang berkedok pencinta lingkungan.
bagi mereka, kelestarian lingkungan berarti
keberlangsungan hidup mereka karena kerusakan
lingkungan atau perubahan terhadap bentuk
lingkungan, justru, akan mengancam sumber
kehidupan mereka sendiri. karena itu, mereka
berkepentingan untuk menjaga lingkungannya
tanpa perlu mempelajari dahulu prinsip
pembangunan berkelanjutan.
tanpa dukungan dana dari funder luar negeri,
tanpa pernah berminat mendapatkan kalpataru,
tanpa mengajukan proposal ke lembaga mana
pun, urang kanekes telah melakukan berbagai
upaya konservasi alam sejak ratusan tahun yang
lalu. hal itu, di antaranya, mereka lakukan melalui
konsep pengelolaan lingkungan dengan sistem
zonasi yang sejalan dengan konsep kemandalaan
wilayah yang mereka pegang sebagai amanat
pikukuh karuhun.
Sebagaimana dikatakan pada catatan kaki
di muka, ini hanyalah sebuah tinjauan hipotetis
sebab penulis menyusunnya hanya berdasarkan
studi tangan kedua (literatur), tidak secara
langsung berinteraksi dengan komunitas yang
diteliti. karena itu, pada tempatnyalah jika
penulis mengakhiri tulisan ini dengan wallāhu
a‘lam bil-shawāb.

25 Ibid.: 90-91.

7.jpg

26 raden cecep eka permana dkk., “kearifan lokal tentang
mitigasi bencana pada masyarakat baduy”, Makara, Sosial
Humaniora, 2011, 15(1): 73.

RAIN KAMANDAK
Hana nguni, hana mangké.
Tan hana nguni, tan hana mangké.

27 Suparmini dkk., op. cit.: 92.

30

Jawara | Majalah Kebudayaan | No. 02 | 2016

Jawara | Majalah Kebudayaan | No. 02 | 2016

31