Aek Mengalir Dari Bukit Poring Ka Hitok

`

Aek Mengalir Dari Bukit Poring Ka Hitok Sampek Ka Hilek :

Sebuah Studi Ekologi Pasca Bencana Masyarakat Nek Lalau di Hulu Sungai
Embuan, Kecamatan Meliau, Sanggau, Kalimantan Barat
(Aloysius G. Dimas Bintarta R.)1
Abstrak

Masyarakat, lingkungan dan bencana merupakan hal yang tidak dapat
dipisahkan satu sama lain. Adaptasi sebagai jalan utama untuk bertahan hidup
tidak selamanya bertumpu pada kemampuan individual manusia. Mereka
memerlukan faktor-faktor lain dalam membentuk adaptasi yang sempurna. Peran
lingkungan sendiri menjadi penting dalam hal ini. Populasi manusia yang hidup
dalam sebuah wilayah ekosistem juga berpengaruh terhadap kondisi alam
lingkungan tersebut. Warga Nek Lalau yang sejak lama hidup sebagai orang
Pelaman mengalami masa-masa adaptasi dan hidup tanpa struktur dalam
komunitas bebas.
Melalui kebebasan berinteraksi dengan alam masyarakat telah peka
terhadap bencana. Tetapi dalam pemulihan bencana masyarakat masih belum
dapat melakukannya sendiri. Perlunya akses kehidupan yang layak merupakan

kebutuhan utama dalam pemulihan itu. Efek bencana yang tidak hanya
menyerang fisik dan materi tetapi juga psikologis masyarakat membuat
keberadaaan akses jalan, listrik dan sarana lain menjadi dibutuhkan untuk
daerah rawan bencana seperti Nek Lalau yang letaknya terpencil.
Maka dari itu melalui pemenuhan pemberdayaan masyarakat lokal
terdapat prasyarat yang harus dipenuhi yaitu ruang hidup yang memadai,
pengelompokan sosial, keikutsertaan dalam jaringan sosial, alokasi waktu yang
mencukupi, penguasaan informasi, peralatan produksi, keterampilan dan ang
terpenting adalah akses terhadap sumber finansial. Semua hal itu harus dipenuhi
untuk membentuk Nek Lalau menjadi dusun mandiri yang benar-benar mampu
berdiri sendiri tanpa diskriminasi atau peminggiran secara struktural.

Kata kunci: Masyarakat, lingkungan,bencana

1 Mahasiswa Jurusan Antropologi Universitas Gadjah Mada angkatan 2013.

I.

Latar Belakang


Letak dusun Nek Lalau atau Lalau Agung yang berada pada wilayah
utama sumber air Sungai Embuan menjadikan dusun ini perlu diperhatikan
lingkungannya. Hal itu juga terkait dengan keberadaan Nek Lalau sebagai dusun
pemekaran baru yang akan menjadikan wilayah ini sebagai wilayah dengan
kekuasaan otonom dalam pertumbuhan, distribusi dan komposisi penduduknya 2.
Bukit Poring yang menyimpan cadangan air untuk Sungai Embuan merupakan
ikon dusun ini. Tanggung jawab moral bagi masyarakat Nek Lalau yang notabene
adalah masyarakat hulu sungai untuk menjaga lingkungan menjadi suatu
kewajiban yang sudah pasti berpengaruh terhadap dusun-dusun yang dialiri
Sungai Embuan.
Kejadian tanah longsor tahun 2011 di Bukit Poring telah banyak merubah
kondisi hulu sungai Embuan.Bencana alam yang waktu itu dikatakan sebagai
bencana terbesar di Kabupaten Sanggau menyebabkan pendangkalan sungai yang
cukup parah di bagian hulu. Selain itu banyak pohon tumbang yang kemudian
melintang pada aliran hulu sehingga menyebabkan penghambatan aliran air
menuju dusun Nek Lalau. Saya sendiri mengamati dampak ini melalui perjalanan
susur sungai di hari minggu pertama Saya di sana. Berawal dari Suak Ng’Kawang
yang merupakan titik riam (air terjun) yang terdampak bencana longsor tersebut.
Melalui perjalanan susur sungai tersebut Saya temui pohon tumbang
yang menghambat aliran sungai bahkan membuat alirannya hanya berpusat pada

salah satu sisi sungai saja, padahal di hulu lebar sungai atau riam kira-kira 6 meter
lebih. Namun, yang teraliri air hanya sekitar 1 sampai 2 meter di sisi kiri atau
2 Hunter (2000 ; dalam; Kutanegara, 2014:21) mengatakan bahwa interaksi penduduk dengan
lingkungan dipertimbangkan dari 3 variabel kompleks yaitu kependudukan, lingkungan dan
teknologi. Variabel kependudukan meliputi jumlah dan pertumbuhan, distribusi, dan komposisi
penduduk.

kanan sungai. Pepohonan tumbang ini memiliki interval kurang lebih 5-7 meter
mulai dari bawah riam hingga rimba yang terdekat dengan pemukiman warga.
Sedangkan kondisi lain yang berubah akibat longsor adalah mengendapnya pasir
pada dasar sungai bahkan pengendapan maksimal terjadi di pemukiman warga
karena relaitf datar. Semakin ke hilir pengendapan semakin berkurang. Kondisi air
sungai sendiri terlihat jernih namun akan menjadi keruh beberapa saat ketika
hujan deras. Hal ini dipengaruhi kontur tanah Nek Lalau yang menurun ke arah
sungai sehingga ketika hujan tiba semua kotoran 3 dari arah atas turun semua ke
sungai.
Melihat kondisi ini Saya memiliki beberapa pertanyaan yang terkait
dengan kondisi Nek Lalau sebagai dusun paling yang paling dekat dengan lokasi
sumber air. Selain itu karena masyarakat Nek Lalau tinggal di kampung yang
pertama dialiri sungai Embuan maka mereka memiliki kewajiban moral untuk

menjaga sungai demi kesehatan sungai bagi masyarakat yang berada di dusundusun di bawahnya. Kondisi ini yang menarik untuk Saya teliti lebih lanjut,
bagaimana suatu dusun dengan jumlah kepala keluarga sangat sedikit dibanding
dusun-dusun lain di Desa Kunyil dapat hidup berdampingan dengan sungai dan
dekat dengan bencana.
Dalam tulisan ini Saya harap dapat menjelaskan bagaimana
kehidupan mereka dan interaksi mereka dengan alam melalui kegiatan pertanian,
perdagangan, maupun pendidikan . Hal itu juga akan mempengaruhi beberapa
bagian lain dari kehidupan masyarakat Nek Lalau baik pendidikan, ekonomi
maupun religi. Melalui latar belakang itulah Saya terinspirasi untuk mengamati
kehidupan masyarakat Nek Lalau ini.

II.

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

3 Kotoran di Lalau di dominasi oleh kotoran babi, anjing, dan ayam. Sedangkan sampah-sampah
rumah tangga biasanya dibakar di sore hari. Keberadaan kakus sendiri masih minim yaitu sekitar
5-10 rumah saja. Namun kesadaran masyarakat membentuk kebiasaan untuk membuang hajat di
daerah hilir atau di rimba bawah yang cukup jauh dari pemukiman.


Nek Lalau atau Dusun Lalau Agung merupakan dusun pemekaran baru
dari Desa Kunyil yang baru resmi menjadi dusun sejak tahun 2011. Letaknya
berada diluar garis jalan poros Desa Kunyil sehingga tidak dilalui aliran listrik.
Jarak Nek Lalau dari pusat desa sendiri sekitar 11 kilometer dengan 3 bukit dan 3
sungai serta bentangan luas kebun sawit yang menjadi jembatan antara Kunyil
dengan Nek Lalau. Nek Lalau sendiri awalnya merupakan pelaman4 yang dihuni
oleh beberapa orang dari dusun Embuan Tua. Konon Embuan Tua adalah dusun
yang tertua di Embuan.
Nek Lalau, dinamakan demikian dengan pengartian Nek berarti nenek
atau yang dituakan atau tua, sedangkan Lalau adalah jenis pohon raksasa yang
terdapat di rimba sekitar Bukit Poring. Menurut Pak Doyok 5 kepala dusun Lalau
Agung dahulu di pelaman ini terdapat banyak pohon Lalau raksasa yang konon
tingginya bisa mencapai puluhan meter dengan diameter mencapai lima peluk
tangan laki-laki dewasa. Pohon Lalau ini menjadi kegenda karena proses
penebangannya6 dibutuhkan royokng7 atau kerja seluruh kampung. Laki-laki
melakukan kegiatan penebangan sedangkan para perempuan menyiapkan
makanan untuk para laki-laki. Kegiatan ini juga harus diawali dengan upacara

4 Pelaman merupakan sebutan kampung pedalaman yang dibuka oleh beberapa orang untuk
menjaga kebun dengan rumah-rumah semi permanen.

5 Nama asli beliau adalah Rudi Hartono, dalam panggilan kekerabatan sub suku bangsa Dayak
Desa panggilan untuk seorang ayah disesuaikan dengan nama anak pertamanya.Rudi Hartono
dipanggil Pak Doyok berarti “Bapak dari Doyok”, jadi anak pertama Rudi Hartono adalah Doyok.
6 Teknik penebangan Pohon Lalau ada dua cara yaitu Julai dan Mengkarak. Julai dilakukan
dengan menggunakan tangga yang sesuai tingginya dengan ketinggian pohon lalu pohon ditebang
perlahan, teknik ini digunakan untuk pohon Lalau yang relatif lebih muda atau kecil. Mengkarak
sendiri dilakukan dengan cara membuat semacam tatanan kayu disekitar pohon Lalau yang hendak
ditebang untuk tempat duduk para penebang, hal ini dikarenakan besar pohon dan diameternya
yang lebih besar. Teknik ini dipakai untuk pohon Lalau yang sudah tua dan besar, konon
diperlukan lilin untuk menerangi bagian dalam phon ketika batangnya sudah terpotong setengah,
hal ini dikarenakan cahaya di dalam batang sangat minim.
7 Banyak kata-kata dalam bahasa Dayak Desa yang menggunakan aksen tambahan “ng”, “k”, “t”,
dan “p” untuk kata-kata berakhiran huruf konsonan.

potong babi sebagai korban dan memohon keselamatan saat dilakukannya
penebangan.
Penebangan pohon Lalau saat itu dilakukan untuk kepentingan
masyarakat umum dikarenakan dari satu pohon Lalau dapat menghasilkan banyak
balok kayu. Penebangan dilakukan berkelompok dengan pembagian kerja yang
efisien. Saat ini mayoritas penduduk Nek Lalau adalah petani ladang dan beberapa

orang menjadikan penghasilannya dalam berladang untuk membuka toko, saat ini
tercatat ada dua buah toko di Nek Lalau. Letak geografis Nek Lalau yang berada
diantara kebun sawit luas dan hutan rimba serta dikelilingi oleh beberapa bukit
membuat pertanian sistem ladang menjadi pilihan dalam bercocok tanam.
Ada dua sungai yang mengalir di dalam dusun Nek Lalau ini yaitu
Sungai Embuan dan Sungai Embuan Atap, sedangkan beberapa sungai yang
mengelilingi dusun ini antara lain Sungai Senangkau, Sungai Ng’kawang (riam),
Sungai Buluh, Sungai Kembawang, Sungai Bobotang, dan Sungai Pemande
Modai/ Batu Bapalong (riam), serta Nek Geyong (riam). Kebun sawit yang
mengelilingi Nek Lalau pada umumnya adalah milik PT BHD, sedangkan agak
jauh ke arah Senangkau terdapat hutan luas yang baru dibuka oleh PT SJAL. Sisi
timur Nek Lalau dibatasi Bukit Poring dan sebelah baratnya adalah hutan berbukit
yang konon akan tembus ke jalan poros Kunyil-Nek Ayoh (Balai Tanjung).
Kondisi jalan di Nek Lalau adalah tanah kuning kemerah-merahan
dengan kontur tidak beraturan. Mudah terjadi erosi saat hujan datang sehingga
kondisi jalan bisa dikatakan tidak bersahabat dengan kendaraan. Hal itu yang
menyebabkan pihak KUD Pang Linggan sebagai pihak yang mengangkut hasil
panen sawit hanya masuk Nek Lalau sebulan dua kali saja. Tempat ibadah sendiri
di Nek Lalau ada dua buah gereja, satu milik Protestan dan satu lagi milik Katolik.
Sarana pendidikan ada sebuah sekolah di ujung selatan dusun berjenis sekolah

kelas jauh dari Sekolah Dasar Negeri 04 Kunyil. Sekolah ini terdiri dari 4 ruang, 1
ruang untuk tempat tinggal seorang guru dan kelluarganya, dan 3 ruang untuk
kelas.

Kampung ini dibelah oleh jalan kampung tapi mayoritas rumah berdiri di
sebelah timur jalan atau mendekati hulu, sedangkan hanya ada sekitar 9 rumah
dan satu tidak berpenghuni di sisi barat jalan, termasuk rumah kepala dusun. Pada
umumnya rumah-rumah di Nek Lalau terbuat dari papan kayu, namun beberapa
rumah seperti dua toko dan rumah kepala dusun terbuat dari tembok dan sudah
berlantai porselin. Kebanyakan rumah lain masih berbentuk panggung dengan
ruang di bawahnya untuk kandang ternak. Sedangkan rumah dengan kamar mandi
hampir tidak ada, hanya ada toilet khusus untuk buang hajat yang dibuat
dibeberapa rumah bertembok tadi. Namun toilet tersebut juga tidak sepenuhnya
dipakai, biasanya hanya dipakai kalau larut malam saja, selebihnya mereka
menggunakan sungai sebagai toilet umum.
Ada beberapa titik untuk mandi masyarakat Nek Lalau baik di Sungai
Embuan maupun Sungai Embuan Atap. Di Sungai Embuan ada dua titik utama
untuk mandi dan satu titik utama untuk buang hajat. Titik utama untuk mandi
berada di ujung timur atau hulu sungai yang berbatasan langsung dengan hutan,
sedangkan satu lagi berada di dekat jembatan kampung. Titik untuk buang hajat

sendiri terletak di ujung barat atau hilir sungai. Sarana umum lain adalah makam
atau yang disebut masyarakat setempat sebagai pasar, tempat ini terletak agak
jauh di hilir.
Letak Nek Lalau yang berada pada cekungan dengan letak sungai tepat di
tengah cekungan membuat masyarakat tidak begitu khawatir dengan banjir.
Namun untuk rumah yang tepat berada di tepian sungai banjir adalah tamu yang
siap datang tiba-tiba. Letak gereja berada di sisi utara tanjakan tinggi arah keluar
dusun menuju Kunyil sedangkan sekolah dasar berada di tanjakan sebelah selatan
dusun yang mengarah ke Senangkau dan Bobotang. Hal itu menyebabkan air
hujan akan mengalir menuju sungai secara langsung dan tidak menggenang di
pemukiman warga. Bahkan ketika hujan sangat deras jalan dusun yang memisah
rumah-rumah bagian barat dan timur akan terlihat seperti sungai musiman.

Jika dibandingkan dengan dusun-dusun disekitarnya seperti Kunyil dan
Nek Ayoh maka keberadaan Nek Lalau bisa dibilang tertinggal. Hal ini
dipengaruhi oleh akses jalan sebagai faktor utama perkembangan suatu wilayah.
Letaknya yang melintang ke timur dari jalan poros membuat Nek Lalau sedikit
terasing dari lalu lintas utama desa. Kondisi jalan yang rusak parah dengan
jembatan di beberapa titik sungai hanya berupa balok-balok kayu yang ditata
membuat kendaraan tidak bisa terlalu sering menuju Nek Lalau khususnya truk

dan roda empat. Jumlah kepala keluarga yang hanya berkisar 40-an saja juga
membuat dusun ini terlihat kurang diperhitungkan. Hanya ada tiga kelas untuk
sekolah dengan satu guru juga merupakan gambaran betapa terpinggirnya dusun
ini. Namun, faktor ini juga tidak lepas dari awal mula keberadaan Nek Lalau
hanya sebagai pelaman.
Kondisi tata dusun dan keseharian masyarakat di Nek Lalau juga berbeda
dengan dusun-dusun lain. Di Nek Lalau para lelaki berpakaian hanya dengan
memakai celana di siang hari dengan alasan cuaca yang terik. Hal ini akhirnya
juga menjadi kebiasaan bagi Saya sendiri. Bahkan ketika berjalan menuju Kunyil
terlihat bagaimana warga sekitar melihat kami yang tidak berbaju dengan tatapan
aneh. Bahasa sehari-hari yang dipakai di Nek Lalau adalah bahasa Desa 8 sama
seperti yang digunakan di Kunyil, Embuan Tua, Nek Ayoh, Tabodak, Nek Sawak
dan beberapa dusun lain yang masih dekat wilayah Desa Kunyil.
Sub suku Dayak yang berada di sekitar Kunyil sendiri antara lain
Kancing Ketior dan Kualan. Sedangkan di Nek Lalau selain orang Dayak Desa
juga ada seorang Madura, Sambas, dan beberapa orang Kualan, Ta’ba dan orang
Chin9. Pernikahan di Nek Lalau selalu melibatkan orang luar dusun atau bahkan
luar desa karena pada dasarnya mereka semua di Nek Lalau adalah saudara
sedarah. Langkah itu diambil untuk menghindari inses sehingga bentuk
8 Bahasa daerah untuk sub suku Dayak Desa, bahasa antar sub suku Dayak hampir berbeda sama

sekali, teritorial per sub suku biasanya dibatasi oleh batas-batas desa.
9 Sebutan lokal untuk etnis Tionghoa, biasanya mereka berasal dari kota kecamatan Meliau atau
daerah-daerah dekat kota.

perkawinan di Nek Lalau adalah eksogami 10. Perkawinan eksogami ini juga
dilakukan lintas agama. Nek Lalau sendiri mayoritas agama masyarakat adalah
Katolik setelah itu Protestan lalu Muslim yang hanya bebeberapa orang saja.
Namun pada umumnya wanita mengikuti agama suaminya.
“Ya kalau aku ni Bang, kutanya calon istriku yatn sidak mau kah tidak
kawin dengan aku dan ikut agamaku. Mamakku Protestan Bang, aku
ndirik yang pilih Katolik, jadi istri aku yatn masuk Katolik Bang”
(Wawancara dengan Bang Aban,27 tahun, di rimba saat berburu buah, 30
Juni 2014 )
(“ Kalau Saya ini Bang, Saya tanya calon istri Saya dia mau atau tidak
menikah denganku dan ikut agamaku. Ibu Saya Protestan tapi Saya
memilih masuk Katolik, jadi istri Saya itu masuk Katolik”)
Tidak hanya Bang Aban yang menikah beda agama, banyak pasangan
yang lebih tua dan menikah beda agama. Bahkan Pak Deni menikah dengan ibu
Deni yang merupakan seorang muslim dari Madura. Mereka memiliki tiga orang
anak dengan Deni sebagai anak sulung. Ibu Deni mengaku pada Saya kalau dia
masih menunaikan shalat meski jarang, selain itu dia juga mengajari putri
ungsunya untuk shalat dan sedikit mengaji. Dia juga berusaha menjaga diri untuk
tidak sering memakan daging babi. Namun karena kondisi masyarakat di
sekitarnya dan anak-anaknya akhirnya dia juga mengikuti pola konsumsi
disekitarnya,
Dua orang lagi yang beragama muslim adalah seorang pria Lawai yang
kawin dengan perempuan Nek Lalau dan Mamak Pino. Mamak Pino sendiri
merupakan adik Pak Lala, seorang pemimpin umat Katolik di Nek Lalau. Namun
karena menikah dengan orang Chin muslim maka dia masuk Muslim. Dari semua
warga Muslim menurut pengamatan Saya keluarga Mama Pino ini yang paling
menjaga ajaran Muslim. Pino adalah anak yang paling jarang Saya lihat bermain
10 Exogamy (Eksogami) adalah aturan yang mengharuskan kawin dengan orang dari luar
kelompok atau lingkungan kerabat tertentu (Keesing , 1999:250).

di kampung, dan dia selalu terlihat bersih jika dibandingkan teman-temannya.
Mama Pino selalu menjaga anaknya agar tidak terlalu dekat bermain dengan babi.
Pada saat Saya tinggal di sana bertepatan dengan bulan puasa dan Mama Pino
beberapa kali Saya tanya dia juga menunaikannya meski tidak penuh.
Perbedaan agama ini tidak menimbulkan konflik serius antar masyarakat
Nek Lalau. Hal itu juga terlihat saat hari Minggu dua tempat ibadah di ujung
utara Nek Lalau itu juga tidak penuh. Banyak warga yang memilih pergi ke ladang
atau belanja ke pasar desa daripada beribadah. Hanya anak-anak saja yang sering
terlihat di gereja. Permasalahan yang agak serius hanyalah masalah pandangan
warga muslim atau yang mereka sebut sebagai Melayu dalam memandang orangorang Dayak yang makan babi.
“Kalau orang Lawai yatn Bang jijik lihat orang Dayak macam kamek
tog, gara-gara makan babi ja. Padahal kitu sudah menjauh, mana
pernah kamek ajak mereka” (Wawancara dengan Pak Doyok (Kepala
Dusun) dan Pak Lala (pemimpin umat Katolik, tanggal 29 Juni 2014)
(Kalau orang Lawai (Melayu/Muslim) itu Bang jijik lihat orang Dayak
seperti kami ini gara-gara makan babi. Padahal kita sudah menjauh, mana
pernah kami ajak mereka)
Kegiatan lain dari masyarakat Nek Lalau selain berkebun sawit dan
berladang adalah berburu hewan di rimba dan mencari buah saat musim buah.
Masyarakat Nek Lalau berburu dengan memadukan teknik tradisional dan
perlengkapan yang cukup modern. Teknik pembagian tugas untuk berburu hewan
besar seperti babi hutan, landak, dan trenggiling membutuhkan sekitar tiga orang.
Untuk membuat perangkap dan menembak hewan buruan baik memeakai senapan
lantak maupun senapan angin. Berbeda dengan kegiatan berburu hewan-hewan
sungai seperti labi-labi dan ikan sungai (nyolapm). Kegiatan ini masih memakai
alat sumpit untuk membunuh hewan buruan, hal ini dikarenakan meminimalisir
suara.

Beberapa orang yang rutin berburu biasanya telah membuat peralatannya
sendiri secara sederhana. Seperti merakit lampu senter yang dapat tahan air
digunakan untuk nyolapm. Selain itu juga terdapat kaca yang terbuat dari tutup
toples yang diberi lobang tengahnya lalu diberi kaca atau plastik bening untuk
menjadi kacamata saat nyolapm. Hampir seluruh masyarakat Nek Lalau bisa
berenang dan menyelam serta terbiasa dengan hutan dan sungai. Bahkan mandi
lebih dari dua kali sehari sudah menjadi hal biasa bagi masyarakat Nek Lalau.
Kehidupan di Nek Lalau dimulai sekitar pukul sempat atau setengah lima pagi.
Para penoreh gotah (karet) bersiap untuk pergi ke rimba untuk mengambil gotah
karena getah karet akan mengalir ke penampungan dengan sempurna saat
matahari belum terbit. Setelah itu dengan bantuan cuka sintas mereka
mengencarkan getah karet untuk kemudian ditampung dalam bak kayu berbentuk
balok yang biasanya diletakkan di dekat dengau.
Sistem pertanian masyarakat Nek Lalau sendiri memakai sistem ladang
(dry field). Untuk membuka lahan mereka terlebih dahulu menebangi bagian
hutan yang akan dipakai ladang lalu diberi batas tertentu untuk kemudian dibakar.
Membakar lahan ini dapat dilakukan seorang diri atau kelompok 11. Pada mulanya
pembuka lahan akan menebang pohon-pohon yang ada di area yang hendak
dibuka untuk ladang12, setelah itu pohon-pohon dan semak yang telah dibabat
dibiarkan kering sekitar tiga bulan sampai setahun (saat musim hujan). Setelah
dipastikan kering maka dilakukanlah pembakaran lahan, pembatasan lahan yang
akan dibakar dan hutan dilakukan dengan memasang pagar kayu yang relatif
basah sehingga tidak mudah tersulut api. Dalam memulai penyulutan api hanya
dilakukan pada semak-semak kering, daun dan ranting-ranting saja, lalu api
dibiarkan menjalar dengan sendirinya.

11 Upah untuk buruh ladang dalam membuka lahan atau pembakaran lahan ini berkisar rata-rata
dua puluh ribu rupiah per orang.
12 Sistem bercocoktanam semacam ini dinamakan juga shifting cultivation atau slash and burn
agriculture (swidden agriculutre). Pemakaian lahan yang sama kurang lebih 1-2 tahun, sedangkan
masa pemulihan tanah agar terpenuhi zat haranya kembali dibutuhkan waktu sekitar 10-15 tahun
(Koentjaraningrat, 1998:56).

Tanaman ladang masyarakat Dayak Desa13 di Nek Lalau saat Saya tinggal
di sana adalah padi ladang dan umbi-umbian. Jenis padi yang ditanam dan
dipanen saat Saya di sana adalah padi Ambor dan padi Munggu. Padi Ambor
merupakan padi yang ditanam pada tanah rawa dengan kadar air tinggi, cenderung
lebih berisi dan kecoklatan. Padi Munggu (Ds:Munggok) merupakan padi yang
ditanam di tanjakan atau bukit-bukit dengan mengandalkan tadah hujan sebagai
sumber airnya, warnanya cenderung lebih cerah dan kurang berisi. Sekali panen
untuk padi ladang ini hanya sekitar 500 kuintal. Dengan jumlah demikian maka
sudah dipastikan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan satu keluarga dalam
setahun14.
Komposisi penduduk Nek Lalau terdiri dari 49 kepala keluarga dengan
total jumlah penduduk 175 jiwa. Penduduk beragama Islam 7 jiwa, Katolik 111
jiwa, dan Protestan 57 jiwa. Hanya ada dua rumah ibadah di Nek Lalau, yaitu
gereja Katolik Xaverius dan gereja protestan. Seorang pendeta dari Kunyil yang
tinggal tidak menetap menjadi pemimpin agama Protestan di Nek Lalau.
Sedangkan untuk peribadatan umat Katolik dilayani oleh seorang pastor dari
Meliau yang datang sekitar tiga minggu sampai sebulan sekali, sehingga seorang
pemimpin umat dipilih untuk memimpin ibadah mingguan sederhana, pemimpin
13 Dayak Desa atau Deva merupakan bagian dari sub suku Dayak Klemantan atau Dayak Darat.
Mereka berdekatan dengan Dayak Taba, Kancing, Kuwalan, dan Ketiyur (Lontaan, 1975:56).
Namun jika diruntut dari sejarah asal Kecamatan Meliau yang dahulu merupakan kerajaan Meliau
masyarakat di wilayah ini masih keturunan orang Jawa (Lontaan, 1975:167), hal ini diperkuat
dengan tanggapan keras dari masyarakat Nek Ayoh yang menegaskan bahwa mereka bukan orang
Dayak tetapi Orang Desa, dan mereka bukan sub suku Dayak tetapi berdiri sendiri karena mereka
berasal dari nenek moyang berbeda (pengikut Putera Brawijaya). Hal itu disampaikan oleh ibu
kepala dusun Nek Ayoh (Balai Tanjung) saat perpisahan dengan kami, meski di Nek Lalau tidak
ada pendapat semacam ini tetapi Saya berasumsi bahwa hal ini tetap berhubungan.
14 Pada pengamatan ini Saya berpatokan pada hasil panen Sepo (Pak Darwin), seorang Toke
setempat yang memiliki ladang padi paling luas dan memanennya sendiri. Menurut pandangan
Saya berdasarkan pengamatan dan penuturan masyarakat Sepo bisa dibilang orang paling kaya di
Nek Lalau. Memiliki Toko, truk sawit, ladang luas, dan kebun sawit luas. Dia memiliki dua orang
anak perempuan, satu sudah menikah dan satu lagi masih menempuh pendidikan menengah
pertama. Dari perkawinan anak pertamanya dia memiliki dua orang cucu perempuan dan laki-laki.
Keduanya tinggal di Toko Sepo di Kunyil. Jadi Sepo memiliki dua buah toko dan rumah.
Penghasilan panen padi Sepo 500 kuintal untuk hidup keluarganya sendiri dalam setahun saja tidak
cukup, maka Saya berasumsi bahwa pendapatan ini yang terbesar saat itu karena keluarga lain
memanen kurang dari jumlah itu.

umat Katolik di Nek Lalau adalah Pak Lala, seorang musisi kampung yang lahir
di Kunyil dan menetap di Nek Lalau. Mayoritas penduduk bertani ladang dan
buruh kebun sawit. Mayoritas masyarakat berpendidikan sekolah dasar atau tidak
tamat, bahkan bapak kepala dusun sendiri berhenti sekolah sejak kelas satu
sekolah dasar. Hanya ada satu bangunan sekolah dengan tiga kelas yang semula
merupakan swadaya masyarakat untuk memudahkan anak-anak mereka menuntut
ilmu, sekolah dimulai pukul 12.00 WIB dan berakhir pukul 15.00 WIB. Itulah
gambaran umum lokasi penelitian Saya di Dusun Nek Lalau, Desa Kunyil,
Kecamatan Meliau , Kabupaten Sanggau.

III.

Isi

“Manusia adalah makhluk, dan seperti makhluk lainnya, harus menjaga
hubungan adaptasi dengan ekosistem mereka agar bisa bertahan hidup .
Walaupun mereka mencapai adaptasi ini pada prinsipnya melalui medium
budaya, prosesnya sangat bergantung pada hukum-hukum yang sama dari
seleksi alam yang mengatur adaptasi biologis” (Meggers, 1971:4 ; dalam
Keesing, 1999:146)

Adaptasi merupakan suatu hal penting yang menjadi tumpuan dasar
manusia untuk bisa bertahan hidup pada suatu tempat. Hal ini dipengaruhi juga
oleh budaya yang ada melingkupi tempat tersebut, budaya tidak berevolusi tapi
manusialah yang berevolusi karena manusia selalu mencari cara untuk bertahan
hidup (Vayda and Rappaport 1968:494). Oleh sebab itu budaya sebagai gagasangagasan

manusia

hidup

beriringan

dengan

hubungan

manusia

dengan

lingkungannya. Hubungan itu dipengaruhi oleh jumlah pertumbuhan, distribusi,
dan komposisi penduduk; variabel lingkungan yang di dalamnya mencakup air,

tanah dan udara; serta faktor teknologi, organisasi sosial dan faktor kultural
(Hunter, 2000; dalam Kutanegara, 2014:21).
Peran manusia dalam hubungannya dengan lingkungan tentu sudah
dijelaskan oleh Julian H. Steward dalam pengamatannya pada masyarakat Indian
Shoshone dan menemukan bahwa suatu kebudayaan memiliki cultural core atau
inti kebudayaan. Inti kebudayaan ini menurutnya terdiri dari teknologi dan
organisasi kerja atau (dalam Steward, 1955:37) disebut subsistence activities and
economic arrangements. Dalam kedua hal itu mencakup banyak hal seperti pola
sosial, pilitik, dan religi. Beberapa hal itu yang mendasari Steward yang
berasumsi bahwa cultural core menentukan corak adaptasi kebudayaan terhadap
lingkungannya. Melalui interaksi antara cultural core dengan lingkungan
sekitarnya suatu kebudayaan melakukan sebuah perubahan atau evolusi.
Steward menuturkan,
"differs from the relativistic and neo-evolutionis conceptions of culture
history, in that it introduces the local environment as the extra cultural
factor in the fruitless assumption that culture comes from culture" (1955 :
36).
Berdasarkan pendapat Steward di atas dapat kita lihat peran lingkungan
dalam proses perkembangan manusia dan pertumbuhan budaya sangat
berpengaruh. Begitu pula pengaruh sungai dan hutan terhadap masyarakat Nek
Lalau yang masih melakukan kegiatan food gahering disamping food producing
dengan teknik bercocok tanam slash and burn. Pemberian waktu pemulihan lahan
dalam rentang waktu tertentu terhadap tanah yang telah diambil zat haranya
merupakan tindakan sirkularitas antara budaya dan lingkungan yang dilakukan
oleh masyarakat Nek Lalau (Kaplan, 2002:112). Adaptasi semacam ini juga akan
membantu masayarakat Nek Lalau untuk melangsungkan reproduksi kehidupan
secara lancar.
Populasi manusia memiliki kedudukan setara dengan hal-hal lain yang
berinteraksi dengannya dalam membentuk jaringan pangan, komunitas biotik, dan

ekosistem (Vayda dan Rappaport dalam Kaplan, 2002:116). Hal itulah yang dapat
Saya asuumsikan mendasari terbentuknya Nek Lalau sebagai dusun. Dari yang
semulanya merupakan pelaman dengan beberapa dengau atau gubuk nonpermanen kini menjadi dusun resmi dengan bangunan-bangunan permanen.
Berdasarkan gambaran Vayda dan Rappaport di atas maka dapat Saya simpulkan
bahwa penghuni pelaman Nek Lalau pada awal mula telah melakukan adaptasi
secara efektif dengan ekosistem hutan dan sungai Embuan. Selain melakukan
reproduksi mereka juga menyebabkan distribusi penduduk dari luar Nek Lalau 15
menuju Nek Lalau. Distribusi penduduk kemudian berlanjut melalui sistem
perkawinan eksogami.
Pada awalnya masyarakat pelaman berbentuk sebagai komunitas kecil
yang tidak memiliki struktur (Winangun, 1990:49). Mereka tak terbedakan, samasama sebagai manusia yang bertahan hidup melalui alam, baik hasil hutan maupun
sungai. Saat itu mereka hidup dengan berlimpah hasil alam meski terasing dari
masyarakat dengan struktur sosial yang jelas. Hal itu membuat masyarakat lain
tertarik untuk masuk ke pelaman Nek Lalau mengikuti keluarganya atau kerabat
dekat. Saya berasumsi bahwa distribusi penduduk ini berawal dari keluarga karena
menyangkut pengakuan kepemilikan tanah nantinya.
Dalam memperlakukan hutan sendiri masyarakat juga memiliki caranya
sendiri. Mereka melakukan upacara Umpan Buah atau di Jawa hal itu seperti
Labuhan. Umpan Buah dilakukan sesudah musim buah. Musim buah sendiri
adalah saat dimana semua pohon yang memiliki buah di rimba mulai berbuah dan
dapat dikonsumsi oleh masyarakat secara bebas. Tidak ada batasan kepemilikan
pokok buah di rimba. Hal itu menunjukan bahwa tidak ada struktur kepemilikan
lahan yang dapat membatasi manusia secara alami dalam memenuhi
kebutuhannya yang disediakan oleh lingkungan alamnya.

15 Mula-mula penduduk yang pindah ke pelaman Nek Lalau adalah warga dusun Embuan Tua
yang berada di barat laut Nek Lalau sekarang (wawancara dengan Pak Doyok kepala dusun,
ayahnya merupakan salah satu pendiri pelaman dari Embuan Tua, bahkan Pak Doyok sendiri lahir
di Embuan Tua.

Melalui upacara Umpan Buah masyarakat menghaturkan rasa terima
kasih terhadap lingkungan alam yang telah memberi kehidupan setiap harinya.
Terima kasih tadi ditujukan kepada para ”penunggu” hutan yang telah menjaga
hutan untuk tetap berproduksi untuk masyarakat.Hal itulah yang membuat
kegiatan food gathering melalui berburu atau pun mengumpulkan hasil hutan
tetap dilakukan oleh masyarakat Nek Lalau. Selain hal-hal positif dari lingkungan
yang selalu dinikmati masyarakat terdapat pula ancaman yang akan selalu datang
yaitu bencana alam. Bencana ini terkadang tidak pernah terbayangkan
sebelumnya, tidak pernah terpikirkan bagaimana manusia yang bergantung pada
alam tiba-tiba mendapati alamnya menghancurkan kehidupan mereka. Setidaknya
hal itu pandangan awal tentang bencana dalam sudut pandang masyarakat pada
umumnya.
Namun, masyarakat Nek Lalau memiliki mitos tersendiri yang secara
turun temurun disampaikan terkait bencana alam ini. Sejak lama masyarakat Nek
Lalau sudah tahu bahwa Bukit Poring (Pring) merupakan sumber air sungai
Embuan. Bukit curam itu tentunya rawan longsor, sehingga suatu saat bisa saja
terjadi bencana itu. Jika dahulu masyarakat pelaman hidup di rimba dengan
membuat dengau dan memiliki pola rumah berpencar maka bencana seperti itu
tidak berakibat parah secara massal. Namun kondisi Nek lalau sekarang yang
rumah-rumahnya cenderung membelakangi sungai membuat kejadian bencana
berakibat lebih parah.
Muncul mitos dan cerita rakyat setempat mengenai Ular Sawak Betandok
dan Seekor Naga. Konon Naga tersebut adalah penjaga Bukit Poring dan hutan
rimba disekelilingnya. Dia memiliki lima kepala dalam satu tubuh. Menurut
masyarakat baik orang paruh baya dan anak-anak yang Saya tanya mengenai hal
ini bertutur bahwa Naga ini sepanjang hidupnya bertempur melawan Ular Sawak
Betandok dalam mempertahankan ekosistem Bukit Poring. Ular tersebut
merupakan gambaran dari iblis yang hendak menyengsarakan manusia yang
tinggal di rimba kaki Bukit Poring. Namun yang terjadi justru pada tahun 2010

lalu terjadi tanah longsor dari Bukit Poring. Bencana itu disebut-sebut sebagai
bencana terbesar di kabupaten Sanggau saat itu.
“ Tanah longsor yatn Bang seperti gunung meletus ja. Duarrrr... suaranya
jadi satu dengan suara guntur yatn. Hujan deras semalaman Bang. Warga
sudah Bapak umumkan untuk mengungsi ke atas yatn, tapi tetap ja hewan
ternak macam bebi, ayam dan harta benda hanyut lah ke aek”
(Wawancara dengan Pak Doyok, Kepala Dusun Nek Lalau (Lalau Agung),
5 Juli 2014)
Menurut cerita warga malam itu suasana mencekam. Hujan deras
semalaman dengan bunyi guntur yang menggelegar. Walaupun tidak ada korban
jiwa namun tetap saja kerugian harta benda yang menurut Pak Doyok berkisar
ratusan juta hanyut bersama lumpur. Beberapa rumah panggung yang pondasinya
berada tepat di tepi sungai ikut rubuh atau menjadi sarang lumpur yang
mengendap. Tentu saja permasalahan tidak hanya pada materi dan fisik tetapi
juga secara mental warga menjadi trauma. Trauma pertama adalah karena bencana
tanah longsor yang sedemikian rupa dan yang kedua adalah ketakutan yang dibuat
oleh cerita rakyat Bukit Poring. Asumsi-asumsi tentang rusaknya lingkungan
hutan di hulu sungai menjadi ketakutan warga karena khawatir tidak dapat
menggantungkan kehidupannya pada hasil hutan lagi.
Marvin Harris menanggapi hal semacam ini mengutarakan pendapat
yang menjadi tujuannya dalam mengembangkan materialisme budaya.
“... to strengthen the barriers against mystification and obscurantism in
contemporary social science” ( 1979:xii).

Memahami hal semacam ini secara ilmiah adalah tujuan dari materialisme budaya
dalam menengahi masalah sosial yang disangkutpautkan dengan mitos sebagai
alat kontrol perilaku. Selain itu Marvin Harris juga mengatakan bahwa,

“ Communication, including speech, serves a vital instrumental role in
coordinating infrastructural, structural, and superstructural activities”
(1979:54).

Hal itu menunjukan bahwa komunikasi melalui bahasa setempat merupakan pintu
utama dalam memahami masalah supranatural yang masuk dalam skema tripartit
struktural materialisme tersebut. Kedudukan cerita rakyat tentang Bukit Poring
sebagai kontrol perilaku agara masyarakat Nek Lalau tidak mengeksploitasi lahan
rimba secara berlebihan adalah hal supranatural yang dapat dijelaskan secara
lugas.
Selain itu pantangan-pantangan lain juga terdapat di Nek Lalau. Seperti
pantangan dilarang membakar ikan kolek atau lele serta mencampur ikan teri
dengan telor juga merupakan pantangan dalam masyarakat. Konon ada
“penunggu” hutan dan sungai yang disebut Juaran , dia dapat menghirup aroma
masakan apa saja yang terbuat dari bahan dasar yang didapat dari hutan atau
sungai.

Juaran akan marah jika manusia mencampur dua atau lebih bahan

makanan yang berasal dari dua habitat hidup berbeda, seperti telor dan ikan teri.
Hal yang sama juga berlaku untuk ikan kolek dengan alasan hewan yang hidup di
air tidak boleh langsung dimasak dengan api tanpa perantara. Jadi, membakar ikan
lele di Nek Lalau atau sekitar sungai Embuan Hulu merupakan hal yang tabu.
Bahkan sudah ada beberapa orang meninggal karena melanggar pantangan ini
seperti almarhum Kek Budu (Pak Musa).
Selain pantangan itu, ada pula pantangan dilarang membakar terasi dan
membakar kayu Kembayau. Untuk masalah terasi alasannya hampir sama karena
terasi berasal dari udang dan udang habitatnya di air. Namun untuk kayu
Kembayau ini alasannya adalah karena dapat menyebabkan kerasukan roh jahat
jika membakar kayu Kembayau ini. Hal ini menurut Saya cukup logis sebagai
pantangan karena keberadaan pohon Kembayau sendiri sudah jarang ditemui,
begitu pula dengan ikan kolek. Pantangan tadi sekali lagi berdiri sebagai alat
kontrol sosial yang dapat dipercaya masyarakat secara keseluruhan.

Keberadaan sungai Embuan sebagai akses transportasi air sendiri sudah
berhenti sejak akhir tahun 90-an. Dahulu masyarakat Nek Lalau masih
menggunakan perahu kecil bermesin Dongson untuk menuju ke Kunyil. Tapi
kemudian akses itu beralih ke akses jalan darat. Pendangkalan sungai menurut
Saya menjadi salah satu alasan juga hal ini bisa terjadi. Apalagi setelah tanah
longsor endapan pasir menjadikan sungai bagian hulu hingga pemukiman warga
menjadi lebih dangkal daripada sebelumnya. Tumbangnya pepohonan besar ke
arah sungai juga membuat aliran sungai tidak lancar dan membuat beberapa
bagian sungai tidak teraliri air. Hal ini Saya amati ketika menyusuri sungai dari
Suak Ng’Kawang tempat longsor utama di lereng Bukit Poring yang berjarak
sekitar tiga kilometer dari kampung hingga sungai perbatasan rimba dengan
kampung dan kebun sawit.
“Daripada warga ini bersihkan sungai , lebih mau mereka bersihkan
jalan tog Bang” (Wawancara dengan Pak Doyok, 5 Juli 2014)
Jawaban itulah yang Saya dapat ketika bertanya pada bapak kepala dusun
mengenai usaha masyarakat membersihkan sungai pasca longsor. Memang,
kondisi pohon tumbang yang memiliki jarak antar pohon tumbang sekitar 5-7
meter saja membuat warga menyerah. Jumlah pohon tumbang sendiri sampai
puluhan batang. Dengan ukuran beragam bahkan ada yang cukup besar dan dibuat
jembatan oleh warga untuk melintas sungai di dalam rimba. Hal ini yang membuat
perhatian Saya terhadap kehidupan warga Nek Lalau pasca bencana tanah longsor.
Kepedulian warga Nek Lalau terhadap lingkungan kini terhambat akses
dan sarana. Dengan populasi dan tata letak rumah yang lebih padat daripada awal
mula terbentuknya pelaman Nek Lalau sudah semestinya permaslahan kompleks
yang bersifat struktural akan menjadi tantangan tersendiri bagi masyarakat Nek
Lalau yang kini sudah menjadi dusun yang berdiri sendiri. Kutanegara (2014:22)
menyebut hal semacam ini sebagai produk peminggiran secara struktural.
Dikarenakan letak Nek Lalau yang menyimpang cukup jauh dari jalan poros dan
akses jalan yang kurang baik membuat penangangannya kurang maksimal.

IV.

Kesimpulan dan Saran

Dalam pemberdayaan masyarakat lokal terdapat prasyarat yang harus
dipenuhi yaitu ruang hidup yang memadai, pengelompokan sosial, keikutsertaan
dalam jaringan sosial, alokasi waktu yang mencukupi, penguasaan informasi,
peralatan produksi, keterampilan dan ang terpenting adalah akses terhadap sumber
finansial (Friedman, 1992; dalam Kutanegara, 2014:22). Masyarakat Nek Lalau
yang merupakan masyarakat terdampak dan terbayang-bayangi bencana tidak bisa
terus hidup dalam kehidupan terasing dari akses terhadap sumber finansial (dalam
hal ini jalan raya. Melalui jalan raya yang baik tentunya akses informasi juga
lancar. Hal itu juga akan memulai pembangunan aliran llistrik ke Nek Lalau yang
sampai saat ini belum teraliri listrik.
Selain itu peran pemerintah untuk membantu masyarakat dalam
normalisasi sungai juga menjadi hal penting. Melalui normalisasi itu diharapkan
berimbas pada dusun-dusun di bawah Nek Lalau yang berada lebih di hilir.
Kelancaran aliran air membuat kotoran tidak mengendap terlalu lama. Pasir-pasir
yang mengendap di dasar sungai juga perlu dikeruk untuk kemudian
mengembalikan kedalaman sungai seperti semula. Mengembalikan habitat ikanikan yang lebih besar untuk hidup di sungai Embuan Hulu. Akses jalan tadi juga
akan membantu perkembangan pendidikan di Nek Lalau yang sekarang dapat
dibilang sangat memprihatinkan.
Melalui pembentukan askses yang cukup baik maka ketakutan warga
Nek Lalau terhadap bencana dan keterasingan menjadi berkurang. Pendidikan,
listrik dan air bersih juga perlu diperjuangkan. Memudahkan pula pengangkutan
hasil panen baik sawit, karet maupun panen ladang. Pihak KUD Pang Linggan
yang biasanya hanya masuk Nek Lalau dua kali sebulan dapat lebih efektif dan
dengan itu resiko biji kelapa sawit membusuk juga dapat ditekan karena akses

jalan cepat. Penghasilan warga juga terbantu, serta akses menuju puskesmas yang
berada di pusat desa juga semakin mudah. Setidaknya hal itulah yang diperlukan
warga Nek Lalau dalam menekan resiko keterasingan dan ketakutan akan bencana
selanjutnya.

V.

Daftar Pustaka

Anonim. 2013. Data Penduduk Dusun Lalau Agung Desa Kunyil Kecamatan
Meliau Kabupaten Sanggau. Pemerintah Dusun Lalau Agung
Brewer, Anthony. 1999. Kajian Kritis Das Kapital Marx. Jakarta:Teplok Press
Darmawan, Eko.P. 2005. Agama Itu Bukan Candu: Tesis-tesis Feurbach, Marx
dan Tan Malaka. Yogyakarta:Resist Book

Hall, Derek. 2012. Rethinking Primitive Accumulation: Theoretical Tensions and
Rural Southeast Asian Complexities. Antipode Vol. 44 No. 4 2012 ISSN 00664812, pp 1188–1208
James, Scott. 1993. Perlawanan Kaum Tani. Jakarta:Yayasan Obor
Malaka, Tan. 1974. Madilog:Materialisme, Dialektika, Logika. Jakarta:LPPM Tan
Malaka
Scheltema, A.M.P.A. 1985. Bagi Hasil di Hindia Belanda. Jakarta:Yayasan Obor
Geertz, Clifford. 1992. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius
Geertz, Clifford.2000. Negara Teater. Yogyakarta:Bentang Budaya
Harris, Marvin. 1968. The Rise of Anthropological Theory:A History of Theory of
Culture. New York:Harper & Row (e-book)
Harris, Marvin. 1979. Cultural Materialism:The Struggle for a Science of Culture.
New York:Random House

Kaplan, David. 2002. Teori Budaya. Yogyakarta:Pustaka Pelajar
Keesing, R.M. dan Gunawan, S. 1999. Antropologi Budaya:Suatu Perspektif
Kontemporer. Jakarta:Erlangga
Koentjaraningrat. 1998. Pengantar Antropologi II:Pokok-pokok Etnografi.
Jakarta:Rineka Cipta
Kutanegara, Pande Made. 2014. Manusia, Lingkungan, dan Sungai:
Traansformasi Sosial Kehidupan Masyarakat Sempadan Sungai Code.
Yogyakarta:Ombak
Lontaan, J.U. 1975. Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat.
Pemerintah Daerah Tingkat I Kalimantan Barat
Steward, Julian H. 1955. Theory of Culture Change: The Methodology of
Multilinear Evolution. Illinois: University of Illinois Press
Winangun, Y.W. Wartaya. 1990. Masyarakat Bebas Struktur:Liminalitas dan
Komunitas Menurut Victor Turner. Yogyakarta:Kanisius

VI.

Daftar Laman

Anonim.2010. http://issuu.com/ptkpost/docs/01102010/32 (diunduh tanggal 27
Januari 2015 pukul 23.32 WIB)
Syahyuti. 2004. Perbaikan Sistem Bagi Hasil Sebagai Strategi Prospektif
Reforma Agraria. http://pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/ART02-2b.pdf
(diunduh tanggal 3 Januari 2015 pukl 17.57 WIB)