LATAR BELAKANG KEBIJAKAN AMERIKA SERIKAT (1)

LATAR BELAKANG KEBIJAKAN AMERIKA SERIKAT
MENDUKUNG PROGRAM NUKLIR INDIA
MELALUI U.S.-INDIA CIVIL NUCLEAR COOPERATION INITIATIVE TAHUN 2006
Ziauddin Muslim Khalifa
NIM. 0811243099
Dosen Pembimbing : Dian Mutmainah, S.IP., M.A.
Abstract
This research aims to analyze the background of United States policy in supporting
India’s nuclear program with U.S.-India Civil Nuclear Cooperation Initiative in 2006. This
nuclear cooperation is US strategic alliance to defend its hegemony in Asia. This issue is worth
to learn because US policy towards India is break the international laws about Nuclear nonProliferation Treaty. US as one of the legitimate nuclear states (Nuclear Weapon States) is not
allowed to supporting nuclear program of non-NPT states like India. Based on the Balance of
Threat theory, the author wants to analyze the motives behind US-India alliance. The author
finds that the emerging China in Asia is the main reason which could threaten US hegemony in
Asia. So that it will also find the reason in choosing India as the proper state alliance to prevent
the rising China which has the chance to be a new hegemon in Asia.
Keywords : Alliance, Hegemony, Balance of Threat Theory
Pendahuluan
Efek perang dingin dalam hal kepemilikan kekuatan nuklir masih menjadi domain konstelasi
politik internasional. Bedanya, saat ini tujuan pengembangan kekuatan nuklir tidak hanya di
dominasi oleh keinginan memperkuat kekuatan militer tapi lebih pada kerangka tujuan sipil

(damai), seperti pemenuhan kebutuhan energi suatu negara sebagai alternatif dari bahan bakar
gas dan minyak. Walaupun tak dapat dipungkiri bahwa pembangunan instalasi nuklir memiliki
sifat ganda, yaitu bahwa tujuan sipil tersebut dapat berkembang atau ditransformasi ke dalam
tujuan militer. Tak heran jika pengembangan program nuklir suatu negara sering diklaim oleh
negara lain sebagai perkembangan yang dapat membahayakan sistem internasional. Namun, tak
jarang pula perkembangan program nuklir tersebut disambut dengan dukungan dan kerjasama
pengembangan program nuklir antar negara.
Nuklir dipercaya memiliki kemampuan untuk menciptakan perang. Maka untuk
mencegah bahaya atas proliferasi nuklir yang kemungkinan besar akan terus berkembang seiring
dengan pesatnya arus globalisasi diciptakan suatu perjanjian di antara negara-negara dunia yang
membatasi kepemilikan senjata nuklir. Perjanjian ini dikenal dengan istilah Perjanjian NonProliferasi Nuklir (Nuclear Non-Proliferation Treaty/NPT). NPT mulai diberlakukan pada
tanggal 5 Maret 1970. Pada dasarnya perjanjian ini memiliki tiga pokok utama, yaitu nonproliferasi, pelucutan, dan hak penggunaan teknologi nuklir untuk kepentingan damai. Aspek
pertama yaitu non-proliferasi menyatakan bahwa hanya ada lima negara awal pemilik nuklir
1

yang sah yaitu AS, Inggris, China, Perancis, dan Rusia. Lima negara pemilik senjata nuklir
(Nuclear Weapon States/NWS) ini sepakat untuk tidak mentransfer teknologi senjata nuklir ke
negara non-NWS, dan negara-negara non-NWS sepakat untuk tidak meneliti dan
mengembangkan senjata nuklir.
India sebagai rising state di Asia memiliki sejarah kepemilikan nuklir yang kontroversial. Hal

ini mengacu pada status India sebagai negara pemilik nuklir namun bukan merupakan negara
penandatangan NPT. Meskipun awalnya program nuklir India merupakan program nonproliferasi dengan konsep Atom for Peace pada tahun 1950-an, namun tes nuklir pertama kali
India pada 18 Mei 1974 menunjukkan bahwa teknologi nuklir untuk tujuan perdamaian tidak
bisa dipungkiri dapat ditransformasi menjadi kepentingan militer (www.globalsecurity.org,
2005). Menanggapi program nuklir India yang rentan terhadap proliferasi, Amerika Serikat
sebagai salah satu negara sah NWS berusaha untuk merangkul India. Pada tanggal 18 Juli 2005
Amerika Serikat menjalin aliansi strategis dengan India melalui perjanjian kerjasama nuklir yang
bertajuk U.S.-India Civil Nuclear Cooperation Initiative atau lebih dikenal 123 agreement.
Traktat nuklir senilai 27 miliar USD ini berisikan bahwa AS akan membangun 18 sampai 20
reaktor nuklir di India hingga tahun 2020. Tim pengawas internasional berhak untuk memeriksa
instalasi nuklir sipil India, sedangkan instalasi nuklir militer India tetap tertutup bagi tim
pengawas internasional (IAEA). Selain itu, India akan mendapatkan akses terhadap bahan bakar
nuklir dari AS dan pemasok lainnya yakni dari Nuclear Suppliers Group (NSG). India kemudian
dapat bertransaksi untuk pembelian dual-use teknologi nuklir dari AS, termasuk material dan
peralatan yang digunakan untuk memperkaya uranium atau memproses plutonium dan berpotensi
membentuk material bom nuklir selain dapat menambah pasokan gas untuk reaktor nuklirnya
(www.cfr.org, 2010).
Perjanjian ini juga akan memberikan dampak yang buruk bagi NPT. Hal ini bertolak
belakang dengan kondisi bahwa India merupakan salah satu negara yang menolak
menandatangani perjanjian proliferasi nuklir. Sikap umum AS dalam menyikapi program nuklir

suatu negara non-NPT adalah penolakan dan kecaman. Contohnya seperti penolakan dan
kecaman AS terhadap program nuklir Pakistan dan Korea Utara yang bukan merupakan negara
penandatangan NPT. Namun menyikapi program nuklir India, AS mengalami perubahan
kebijakan dimana dulunya AS mengecam program nuklir India hingga memberikan berbagai
macam sanksi internasional dan embargo ekonomi sedangkan sekarang justru berbalik
mendukung program nuklir India. Kesepakatan kerjasama pemanfaatan energi nuklir AS-India
merupakan kebijakan luar negeri AS yang sarat kontroversi mengacu pada inkonsistensi dengan
aturan-aturan internasional yang telah ada.
Untuk menjelaskan dan membatasi penelitian, maka penulis ingin mengetahui apa alasan
pembuatan kebijakan Amerika Serikat yang mendukung pengembangan nuklir India melalui USIndia Civil Nuclear Cooperation Initiative meskipun India bukan termasuk negara anggota
perjanjian non-Proliferasi Nuklir. Untuk menjelaskan permasalahan diatas, maka penulis
menggunakan teori Balance of Threat sebagai kerangka analisis utama dari penelitian ini. Teori
Balance of Threat pertama kali diungkapkan oleh Stephen M. Walt dalam artikelnya yang
2

berjudul “Alliance Formation and The Balance of World Power” pada tahun 1985 yang
kemudian dikembangkan dan dibukukan dengan judul “The Origins of Alliances” pada tahun
1987. Teori Balance of Threat atau BOT merupakan sebuah teori modifikasi dari perspektif
realisme yang merupakan salah satu teori tradisional yakni Teori Balance of Power atau BOP.
Modifikasi atau pengembangan yang dilakukan oleh Walt disebabkan karena kekuatan militer

saja tidak cukup untuk membuat suatu negara bereaksi pada power negara lainnya. Dalam BOP
ada satu sisi yang tidak begitu diperhatikan yang sangat penting dalam menganalisa perilaku
suatu negara yakni ‘ancaman’. Dalam BOT sisi inilah yang begitu diperhitungkan dan menjadi
fokus perhatian utama.
Keberlangsungan aliansi bergantung pada beberapa hal. Pertama, anggapan terhadap
keberlangsungan threat. Aliansi biasanya dibentuk berdasarkan rasa takut beberapa negara atas
ancaman satu kekuatan tertentu, oleh karenanya mereka beraliansi agar mempunyai power yang
sama besar untuk kemudian dapat bertahan atau melawan kekuatan tersebut. Kedua, kesamaan
sistem politik dan ideologi negara-negara anggota aliansi. Ketiga, keberadaan negara besar yang
menghegemoni. Dalam BOT terdapat dua pemikiran atau konsep mengenai alliance suatu negara
dalam menghadapi threat eksternal yakni balancing dan bandwagoning. Balancing merupakan
sebuah model perilaku negara yang lebih memilih untuk melakukan aliansi dengan negara lain
sebagai perimbangan terhadap negara yang melakukan ancaman. Negara-negara yang memilih
untuk melakukan balancing biasanya merupakan negara-negara yang memiliki kapabilitas
militer atau actual power yang kuat dan memiliki potensi untuk mengimbangi lawan. Waltz
menambahkan, aliansi dilakukan dengan dua alasan yakni alasan pertama ialah untuk untuk
menghentikan ancaman negara lain yang berpotensi untuk mejadi hegemon. Sedangkan alasan
yang kedua yakni aliansi merupakan instrumen negara yang lebih kuat untuk memberikan
pengaruh pada negara yang lebih lemah karena negara yang lemah sangat membutuhkan
perlindungan dari negara yang lebih kuat. Negara-negara cenderung memilih balancing saat

threat memiliki potensi untuk menjadi negara hegemon. Karena threat dianggap sudah terlalu
kuat untuk dihadapi sendirian. Oleh karena itu balancing lebih umum digunakan sebagai pola
aliansi antar negara dalam sistem internasional (Walt, 1987).
Berdasarkan atas penjelasan di atas maka menurut penulis, AS akan menggunakan strategi
balancing sebagai alliance terhadap potensi hegemon yang ada dalam kawasan Asia. Karena AS
memilih untuk melakukan aliansi dengan India melalui perjanjian program pengembangan nuklir
yang diharapkan mampu menjaga stabilitas keamanan di Asia. Dengan demikian maka pola
alliance yang tepat dalam menghadapi potensi threat yang ada berupa balancing. Menurut Walt
dalam pola interaksi aliansi terhadap ancaman, balancing merupakan common choice karena
akan membuat negara lebih secure. Logikanya threatening state akan melemah jika menghadapi
aliansi negara-negara. Sedangkan bandwagoning hanya akan membuat negara semakin insecure
karena threatening state akan semakin besar dan kuat dengan bergabungnya lebih banyak sekutu
(Walt, 1987).
Pasca Perang Dingin, Amerika Serikat berdiri menjadi satu-satunya negara adidaya di dunia
dengan runtuhnya Uni Soviet. Kondisi ini menyebabkan semakin meluasnya hegemoni AS ke
3

berbagai penjuru dunia. Asia sebagai salah satu kawasan yang cukup potensial bagi kepentingan
tata dunia AS juga tak luput dari upaya dominasi AS. Hegemoni Amerika Serikat di Asia
berawal pada Perang Dunia II dimana AS gencar mengampanyekan perang terhadap komunisme.

Namun pada milenium baru hegemoni Amerika Serikat di Asia terbentuk melalui penyebaran
ide-ide demokrasi liberal dan perang terhadap terorisme. Ekspansi militer Amerika Serikat di
Asia juga secara signifikan mendukung dominasi dan hegemoni AS di kawasan tersebut.
Fenomena kebangkitan China berpotensi untuk menimbulkan dominasi single power di Asia dan
bukan tidak mungkin mampu menggusur posisi Amerika Serikat sebagai negara hegemon.
Negara-negara besar Asia lainnya juga berusaha untuk menjaga keseimbangan keamanan di Asia
dengan berbagai cara. Salah satunya yaitu India yang menjalin aliansi strategis dengan Amerika
Serikat melalui perjanjian kerjasama nuklir yang bertajuk U.S.-India Civil Nuclear Cooperation
Initiative atau lebih dikenal 123 agreement. Melalui aliansi nuklir dengan India ini Amerika
Serikat berharap akan mampu mengimbangi pengaruh China yang semakin besar dimana
berpotensi untuk menghadirkan negara hegemon baru dalam kawasan Asia.
Pembahasan
China sebagai Hegemon Potensial bagi Hegemoni Amerika Serikat di Asia Tahun 2006
Pada awal abad ke-21, proses pergeseran kekuatan global ditandai oleh fenomena kebangkitan
China yang begitu pesat. Fenomena ini serta merta menjadi fokus utama Amerika Serikat untuk
dalam menerapkan kebijakan-kebijakannya untuk mengantisipasi agresivitas negara China
terhadap ancaman hegemoninya. Hadirnya China sebagai potensi ancaman bagi hegemoni
Amerika Serikat merupakan isu yang signifikan bagi masa depan Amerika Serikat dalam
percaturan politik internasional. Isu ini secara tidak langsung akan memberikan tantangan
tersendiri bagi Amerika Serikat bagaimana menanggapi dan mengakomodasi kebangkitan China

ini sehingga dapat menjadi aktor dan mitra yang baik dalam menjamin stabilitas kawasan dan
sekaligus tidak menjadi tantangan dalam hegemoni Amerika Serikat. Dalam hal ini, Amerika
Serikat sepertinya masih dalam proses pencarian format kebijakan dan strategi yang tepat.
Amerika Serikat tentunya masih sulit memaknai fenomena kebangkitan China terhadap
kepentingan nasionalnya, apakah nantinya China akan menjadi mitra kerjasama, pesaing
strategis, atau bahkan musuh bagi Amerika Serikat di masa depan.
John J. Mearsheimer dalam penelitiannya yang berjudul “China’s Unpeaceful Rise”
menyatakan bahwa kebangkitan China dalam bidang militer, ekonomi, dan politik di kawasan
Asia berpotensi untuk menimbulkan kompetisi keamanan dengan negara hegemon saat ini yaitu
Amerika Serikat. Bahkan jika peningkatan kapabilitas militer China akan terus berlangsung
dengan tiadanya kontrol dari AS sebagai negara hegemon dan negara-negara tetangga di
kawasan Asia maka dinamika hubungan keduanya berpotensi untuk menimbulkan perang.
Ekspansi militer China yang begitu pesat di kawasan Asia merupakan fokus kajian keamanan
dan ancaman baru bagi dominasi Amerika Serikat di Asia. Anggaran belanja militer China yang
semakin meningkat dalam beberapa tahun terakhir juga menciptakan kecemasan internasional

4

tentang intensi utama China perihal besarnya anggaran belanja militer mereka (Mearsheimer,
2006).

Menyikapi fenomena kebangkitan China, Amerika Serikat perlu untuk menerapkan
kebijakan yang strategis bagi kepentingan hegemoninya di Asia. Di kawasan Asia, Amerika
Serikat telah memiliki kebijakan-kebijakan terdahulu melalui pengadaan kerjasama dengan
negara-negara maju lainnya seperti Jepang dan Korea Selatan. Kemudian sekitar tahun 2005–
2006, Amerika Serikat membuat publik internasional fokus terhadap aliansinya dengan India
melalui perjanjian kerjasama nuklir. Melalui kebijakan nuklir dengan India, Amerika Serikat
ingin membentuk aliansi strategis yang menguntungkan dengan India, sekaligus mengantisipasi
kebangkitan China. Karena Amerika Serikat memandang bahwa India merupakan negara
strategis untuk menerapkan strategi ganda.
Amerika Serikat mengharapkan terciptanya kondisi yang membuat China merevisi tatanan
global dan regional yang berlaku. India memiliki deterrence yang tinggi di Asia, terutama bagi
China. Karena India juga merupakan salah satu negara yang mengalami kemajuan sangat pesat di
Asia. Sehingga kemudian akan berguna untuk membuat China berpikir ulang untuk mengambil
sikap yang positif. Sebaliknya, keterlibatan Amerika Serikat dalam program pengembangan
nuklir India, dapat mengangkat posisi India untuk mengimbangi kebangkitan China. Meskipun
persepsi mengenai ancaman militer China mulai menurun, kepentingan untuk mengimbangi
kekuatan China tetap menjadi prioritas utama dalam strategi India di kawasan Asia.
Munculnya China sebagai hegemon potensial menjadi ancaman tersendiri bagi hegemoni
Amerika Serikat di Asia. AS tentunya tidak ingin hegemoninya di Asia yang dibangun sejak era
Perang Dingin serta merta ditandingi China yang mulai membangun hegemoninya sejak tahun

1990-an.
Keunggulan Aggregate Power China
China sebagai the rising state pada abad 21 menjadi fokus perhatian masyarakat
internasional ketika pada awal tahun 1990-an mulai mengalami peningkatan yang signifikan
dalam aggregate power. Pada awal tahun 1950-an fokus kebijakan pemerintahan China di bawah
kepemimpinan Mao Zedong yaitu mengenai program pengembangan senjata nuklir. Kemudian
pada masa pemerintahan Deng Xiaoping pada awal tahun 1980-an China fokus terhadap
beberapa pertumbuhan ekonomi. Dan yang membuat kecemasan masyarakat internasional
terutama Amerika Serikat sebagai negara hegemon yaitu perubahan fokus kebijakan
pemerintahan China pada awal tahun 1990-an hingga saat ini, yaitu program modernisasi militer
dan ekonomi yang gencar dilakukan oleh China dengan menggunakan AS sebagai role model.
Melalui program modernisasi militer dan ekonomi China yang secara nyata menimbulkan
peningkatan yang sangat pesat terhadap anggaran militer dan GDP China, meskipun bertajuk
‘Peaceful Rise’ akan menimbulkan reaksi yang berbeda-beda dalam sistem internasional.
Amerika Serikat sebagai negara hegemon di Asia menganggap fenomena tersebut sebagai
ancaman yang nyata terhadap stabilitas keamanan kawasan. Begitu pula halnya dengan negaranegara tetangga di Asia yang merasa insecure karena memiliki kedekatan secara geografis. AS

5

sebagai negara hegemon, merasa perlu untuk mengambil kebijakan-kebijakan yang strategis

untuk mengatasi fenomena kebangkitan China di Asia.
Pengaruh Proximate Power China di Asia
Status China sebagai negara dengan basis militer paling besar di kawasan Asia menimbulkan
ancaman bagi Amerika Serikat melalui negara-negara aliansi militernya yang secara geografis
berdekatan dengan China. AS memiliki banyak sekutu dan menjalin kerjasama pertahanan
dengan beberapa negara di Asia demi mempertahankan hegemoninya, yaitu India, Jepang, Korea
Selatan, Thailand, Filipina, dan Taiwan. Bahkan negara-negara aliansi militer AS tersebut
sengaja digunakan untuk meredam power China yang semakin besar. Secara geografis letak
India, Jepang, Korea Selatan, Thailand, Filipina, dan Taiwan sebagai negara aliansi AS di Asia
berada di sekeliling negara China. Aliansi militer AS-India terjalin melalui kerjasama nuklir
pada tahun 2006 yang kemudian berkembang ke arah transfer senjata dan jalinan pasukan
gabungan. Aliansi militer AS-Jepang terjalin melalui Japanese Treaty pada tanggal 19 Januari
1960. Kerjasama pertahanan ini semakin berkembang luas demi merespon kekuatan 2 negara
komunis di Asia yaitu China dan Korea Utara. AS membangun pangkalan militernya di Jepang
dan melaksanakan patroli laut untuk menjaga perairan Jepang. Demikian pula dengan anggaran
militer Jepang yang besar selalu didukung oleh AS (The New York Times, 2013). Korea Selatan
juga merupakan salah satu negara aliansi militer AS yang penting di Asia. Selain untuk
mengepung China, Korsel juga digunakan AS untuk meredam agresifitas Korea Utara.
Kerjasama pertahanan AS-Korsel telah terjalin sejak tahun 1953 dimana AS merupakan
produsen tetap senjata dan pesawat militer bagi Korsel. Kedua negara juga secara rutin

menggelar latihan militer gabungan baik darat maupun laut (Manyin, 2011).
Selain menjalin aliansi dengan negara-negara maju, AS juga menjalin aliansi militer dengan
beberapa negara berkembang di Asia yaitu Thailand, Filipina, dan Taiwan. Kerjasama
pertahanan ini terjalin melalui Southeast Asia Treaty pada tanggal 8 September 1954 dan secara
khusus Philippine Treaty pada tanggal 30 Agustus 1951 (www.state.gov, 2006). Jalinan aliansi
tersebut memperbolehkan AS untuk melakukan ekspansi militer dengan membangun pangkalan
militernya di masing-masing negara. AS juga berhak untuk menggelar latihan pasukan gabungan
dan menjadi produsen tetap transfer senjata antar negara (Asia Pacific Defense, 2014).
Namun meskipun AS memiliki banyak aliansi militer di sekitar China tetap saja AS merasa
terancam oleh kebangkitan China. Hal ini dikarenakan basis militer China yang begitu besar jauh
mengungguli India dan Jepang sebagai aliansi militer terkuat AS di Asia. Kapasitas angkatan
bersenjata (darat, laut, dan udara), kapabilitas senjata-senjata berteknologi tinggi, dan
kepemilikan energi nuklir menjadikan status militer China unchallenged di Asia. Kondisi ini
diperkuat dengan fakta bahwa China menjalin hubungan kerjasama bilateral yang harmonis
dengan Rusia dan Korea Utara sebagai negara penganut komunis-sosialis. Kedekatan secara
geografis antara China, Korut, dan Rusia semakin meningkatkan tensi ancaman bagi hegemoni
AS di Asia (Asia Times, 2013).
Secara militer China didukung penuh oleh Rusia terkait transfer persenjataan dan latihan
pasukan gabungan. Sementara Korut memiliki hubungan ketergantungan terhadap China dalam
6

segala bidang. China mendukung penuh atas besarnya pasukan militer dan program
pengembangan nuklir Korut. Selain itu China juga merupakan importir utama Korut melalui
perdagangan dan bantuan asing. Secara diplomatik hubungan kedua negara juga semakin erat
dan harmonis. Kondisi ini menjadi ancaman serius dimana Rusia dan Korut merupakan aktor
antagonis bagi Amerika Serikat. Bahkan Korut secara terang-terangan menyatakan bahwa
negaranya siap jika terjadi perang nuklir dengan AS. Kapabilitas nuklir eksplosif Korut dengan
mudah mampu menghancurkan semua pangkalan militer AS beserta negara-negara aliansinya di
Asia yang secara geografis berdekatan (Asia Times, 2013).
Besarnya Offensive Capability China melalui Senjata Nuklir
China merupakan salah satu negara pemilik senjata nuklir terbesar di dunia. Saat ini China
memiliki 20 reaktor nuklir aktif dan 28 reaktor dalam perbaikan. Status China sebagai salah satu
negara pemilik nuklir menjadi ancaman bagi keamanan dan stabilitas internasional karena
kebijakan pengembangan nuklirnya yang tertutup bagi masyarakat internasional. Tidak adanya
transparansi dari program pengembangan nuklir China yang semakin berkembang membuat
gerah negara-negara tetangga di Asia dan Amerika Serikat sebagai negara hegemon (World
Nuclear Association, 2014).
Program senjata nuklir China semakin dianggap berbahaya karena China terbukti melakukan
transfer teknologi nuklir ke beberapa negara di dunia. Ekspor rudal nuklir China telah menjadi
perhatian masyarakat internasional sejak tahun 1980-an. China mentransfer rudal jarak
menengah 36 DF-3 ke Arab Saudi pada tahun 1988, dan menyediakan suplai rudal jarak pendek
34 DF-11 ke Pakistan pada tahun 1992. China juga mentransfer ilmu dan teknologi pada
beberapa program nuklir negara-negara yang diduga mengembangkan program WMD (Weapon
Mass Destruction) termasuk Iran, Irak, Libya, Korea Utara, dan Syria (NTI, 2013).
Dengan program senjata nuklir China yang dianggap tidak koperatif terhadap rezim nonproliferasi, Amerika Serikat merasa perlu untuk mengecam China agar menekan perkembangan
program nuklirnya. Jika kondisi ini terus berlangsung, AS meyakini bahwa proliferasi nuklir
akan semakin meluas dan tentunya dapat menimbulkan kekacauan pada sistem internasional.
Merupakan agenda nasional Amerika Serikat sebagai negara hegemon dan penjaga stabilitas
keamanan global untuk mengambil sikap yang tepat melalui kebijakan-kebijakan strategis seperti
aliansi nuklir dengan India dalam upayanya mengatasi program nuklir China yang dianggap
berbahaya bagi kawasan Asia bahkan dunia.
Agresivitas Militer China (Offensive Intentions)
China dikenal sebagai negara yang cinta damai merujuk pada setiap tajuk-tajuk kebijakannya
seperti ‘Peaceful Rise’ dan Misi Perdamaian. Namun China juga dikenal sebagai negara yang
agresif merujuk pada setiap tindakan-tindakan kontroversialnya seperti uji coba nuklir dan
latihan pasukan gabungan militer. Kondisi ini menimbulkan insekuritas dalam kawasan Asia
terutama negara-negara yang berdekatan secara geografis dimana dapat meluas dan
menimbulkan instabilitas keamanan. Agresivitas China yang bertolak belakang dengan konsep
kebijakan awal yaitu perdamaian menjadi ancaman tersendiri bagi Amerika Serikat sebagai
negara hegemon untuk menjaga stabilitas keamanan kawasan.
7

Rusia merupakan pemasok senjata militer terbesar di China. Begitu pula China merupakan
pelanggan utama dalam industri militer Rusia. Terhitung sudah triliunan dollar senjata diekspor
Rusia ke Cina. Yang terbaru China menyepakati kerangka perjanjian untuk membeli 24 jet
tempur Su-35 dan empat kapal selam konvensional Lada-class. Antara tahun 1991 hingga tahun
1996, Rusia menjual senjata ke China senilai $1 miliar per tahun. Antara tahun 1996 hingga
tahun 2001, penjualan tersebut meningkat dua kali lipat menjadi $2 miliar per tahun. Dilaporkan
bahwa kedua negara telah menandatangani paket perdagangan militer pada tahun 1999 bahwa
antara tahun 2000 hingga tahun 2004 penjualan tersebut akan bernilai $20 billion (The Heritage
Foundation, 2001).
Kerjasama militer China-Rusia terus berlanjut dan semakin harmonis hingga pada tahun 2005
membentuk pasukan gabungan “Misi Perdamaian”. Pada tanggal 22 April 2005, China dan Rusia
meluncurkan latihan gabungan angkatan laut mereka yang pertama kalinya. Latihan gabungan ini
diselenggarakan selama enam hari berturut-turut di laut kuning selepas pantai timur China yang
bertajuk operasi anti pembajakan dan terorisme dengan menggunakan kapal selam dan kapal
tempur.
Upaya Balancing Alliance Amerika Serikat dengan India Tahun 2006
Pada abad ke-21, munculnya India sebagai negara kuat, stabil, demokratik, dan menjadi
berpengaruh bagi kepentingan global memiliki potensi untuk meningkatkan efektifitas keamanan
dalam sistem internasional (Steinberg, 2009). Perkembangan India yang pesat sebagai rising
superpower state menjadi pertimbangan tersendiri bagi pemerintah Amerika Serikat sebagai
negara hegemon saat ini.
India muncul sebagai kekuatan baru di Asia yang telah mengubah konfigurasi kekuatankekuatan militer, politik, dan ekonomi di Asia. Pasca perang dingin, kekuatan militer India
menjelma menjadi kekuatan militer yang relatif kuat dan besar, hal tersebut dapat dilihat dari
jumlah anggotanya yang mencapai satu juta personil dan dilengkapi dengan peralatan modern
dengan industri pendukung, serta anggaran militer yang sangat besar, militer India merupakan
salah satu yang terkuat di dunia. Pertumbuhan ekonomi India yang terus meningkat 7% tiap
tahunnya dengan GDP US$ 3,61 trilyun menuntut dilakukannya penyesuaian-penyesuaian
kebijakan oleh Amerika Serikat terhadap India di Asia (Ayres & Mohan, 2009).
Perkembangan India sebagai rising state memberikan peluang bagi Amerika Serikat untuk
bekerjasama membentuk suatu tatanan kawasan yang terus memberi peluang warganya untuk
mengejar tujuan-tujuan global seperti perdamaian, stabilitas, dan kemakmuran. Sebagai negara
hegemon yang memiliki jangkauan kebijakan luar negeri yang sangat luas dan memiliki
jangkauan kekuatan militer yang sangat besar sejak Perang Dunia II, AS selalu ‘hadir’ di Asia
(Tellis, 2005). Dengan demikian seiring perkembangan pesat India, Amerika Serikat tentu
memerlukan penyesuaian-penyesuaian kebijakan ekonomi, politik, maupun militernya di
kawasan ini.
Sebagai negara aliansi India, Amerika Serikat terus menjalin hubungan baik dalam segala
bidang. Dalam bidang ekonomi, Amerika Serikat telah menjadi negara investor terbesar bagi
8

India sekaligus menjadi mitra dagang terbesar India. Pada bulan Juli 2005, Presiden AS, George
W. Bush dan Perdana Menteri India Dr. Manmohan Singh membuat program baru yang disebut
Forum Kebijakan Perdagangan. Tujuan dari program ini adalah untuk meningkatkan
perdagangan bilateral dan aliran investasi. Demikian pula dalam bidang militer, AS menjadi
salah satu pemasok senjata terbesar bagi India. Hingga pada bulan Maret 2009, pemerintah
Obama menjual sebesar US $ 2,1 miliar berupa delapan P-8 Poseidons ke India. Angka ini
merupakan kesepakatan militer terbesar antara kedua negara (www.state.gov, 2006).
Aliansi strategis AS-India mencapai puncaknya ketika Presiden Bush dan Perdana Menteri
India Manmohan Singh pada tanggal 18 Juli 2005 membuat kesepakatan mengenai moratorium
perjanjian nuklir AS-India. Kunjungan tersebut bertujuan untuk menandatangani perjanjian yang
cukup kontroversial yaitu kesediaan Amerika Serikat dalam penyediaan teknologi
pengembangan program energi nuklir untuk India, sebuah negara yang tidak pernah berkeinginan
untuk menandatangani Nuclear non-Proliferation Treaty (NPT). Majalah The Economist
menjuluki perjanjian tersebut sebagai “Dr. Strangedeal”. Pendekatan AS kepada India
merupakan tindak lanjut dari laporan CIA yang mengidentifikasi India sebagai the key swing
state di abad ke-21. Dalam konteks tersebut, Amerika Serikat bermaksud untuk memperkuat
India sebagai bentuk balancing terhadap pengaruh China di Asia dan negara dunia lainnya
(Virmani, 2005).
Kedua, penggunaan India sebagai negara sekutu di kawasan Asia. Dengan jalinan kerjasama
nuklir dengan India, AS mengharapkan terciptanya stabilitas keamanan di Asia. Bagi Amerika
Serikat, India menjadi tujuan ketiga dari penetapan kebijakan politik luar negeri di Asia setelah
Jepang dan Korea Selatan. Upaya ini juga tidak terlepas dari kepentingan Amerika Serikat untuk
menandingi dominasi China. Hal ini dikaitkan dengan kepentingan China dalam
mengembangkan pengaruhnya seperti kekuatan dan hubungan diplomatik di kawasan lain
termasuk di antaranya adalah wilayah Asia.
Selain itu, kepentingan militer yang dijalankan oleh pemerintah Amerika Serikat berupaya
untuk mewujudkan kepentingan politik yaitu antara lain: Amerika Serikat harus terlibat dalam
memimpin dunia, Amerika Serikat harus terus mempertahankan dan memperkuat hubungan
kerjasama dengan negara-negara terkuat di dunia, penting bagi Amerika Serikat untuk
membangun aliansi strategis yang mempromosikan keamanan dan kemakmuran melalui
demokrasi dan HAM sebagai alasan untuk menjadi alat kepentingan Amerika Serikat.
Demikian pula kepentingan tata dunia Amerika Serikat di wilayah Asia. Melalui kerjasama
dengan India, AS berharap dapat membendung kekuatan China dalam mempengaruhi politik di
kawasan Asia. Dominasi China di wilayah Asia tersebut dilakukan dengan melakukan kerjasama
dengan Rusia. Kedekatan China dan Rusia dapat dilihat dari panjangnya kedekatan historis yang
telah terjalin. Disebutkan bahwa China, Rusia, dan Pakistan akan melaksanakan berbagai bentuk
kerjasama dan dilakukan dalam berbagai bidang, termasuk di antaranya adalah bidang militer
khususnya perkembangan teknologi nuklir (Ayres & Mohan, 2009).
India secara tradisional adalah aktor antagonis bagi China. India yang mulai mengembangkan
teknologinya sejak tahun 1974 digunakan untuk merespon kapabilitas nuklir China. India juga
9

memiliki sejarah konfliktual dengan China dalam isu Kashmir. India juga pada saat ini
merupakan salah satu negara yang pertumbuhan perekonomiannya sangat pesat mendekati
China, ditambah lagi lingkungan geostrategic India yang memang berbatasan langsung
membuatnya menjadi salah satu kawan terbaik AS dalam upaya balancing China (Mearsheimer,
2010).
Amerika Serikat memegang prinsip bahwa untuk didengar di kancah perpolitikan dunia,
maka negara itu harus memiliki kekuatan militer yang kuat. Karena itu negara tersebut kemudian
memperkuat angkatan bersenjatanya. Maka menjadi jelas dari penelaahan singkat atas realitas
yang terjadi pada saat ini bahwa keberpihakkan di dunia telah terbagi. Amerika Serikat sebagai
negara yang kembali memperoleh kekuatan posisi tawar di mata internasional, seiring dengan
perbaikan ekonomi, berusaha mengembangkan kembali kekuatan terutama untuk mengimbangi
negara-negara tertentu yang dianggap mengganggu stabilitas hegemoni Amerika Serikat dengan
menjalin aliansi terhadap negara yang dianggap potensial sebagai mitra strategis baru.
Untuk membangun aliansi yang bermanfaat bagi stabilitas hegemoni Amerika Serikat, maka
perlu bagi AS untuk membuka hubungan intensif dengan negara India. Upaya menciptakan
lingkungan regional yang kondusif dapat terwujud dengan memaksimalkan peran India untuk
dapat berdialog dengan menyamakan persepsi tentang pengembangan keamanan. Banyak
akademisi melihat bahwa cara ini merupakan salah satu jalan yang paling efektif dan efisien
untuk meyakinkan stabilitas yang tercipta antara India dan Amerika Serikat.
Dalam perkembangannya, aliansi AS-India juga merambah pada bidang-bidang politik
keamanan yang bertujuan memberikan konstribusi pada keamanan dan perdamaian global.
Amerika Serikat ingin menanamkan dominasi di India. Kepentingan militer yang dibangun oleh
Amerika Serikat terhadap India sebenarnya tidak terlepas dari kepentingan ekonomi Amerika
Serikat sendiri. Kebutuhan Amerika Serikat terhadap minyak yang makin bertambah serta
ketersediaan minyak bumi di wilayah India menjadi satu alasan kuat bagi Amerika Serikat
mendesak Rusia menghormati kedaulatan negara India serta mendesak pemerintah Rusia untuk
menarik pasukan militer (Tellis, 2005).
Terdapat pula kepentingan politik Amerika Serikat terhadap pengembangan program nuklir
India yang akan diuraikan dibawah ini. Secara resmi tujuan politik luar negeri Amerika Serikat,
adalah untuk menciptakan kondisi yang lebih menjamin mengamankan pelaksanaan demokrasi
dan kemakmuran dunia demi kepentingan warga AS khususnya dan masyarakat internasional
pada umumnya. Seiring dengan agenda politik luar negeri maka Amerika Serikat juga berupaya
menanamkan nilai-nilai demokrasi dan pluralisme di kawasan Asia. Di kawasan Asia AS
memulainya dengan India. Dengan demikian AS dan India dipersatukan oleh nilai-nilai yang
sangat kuat. Harapan ke depan maka India menjadi negara demokrasi yang melindungi kepastian
hukum dan dapat mempertanggungjawabkan kepada setiap warga negaranya dan merupakan
sebuah negara yang memberikan kebutuhan bagi warga negaranya untuk berpendapat dan
keberagaman. Harapan ini tentu sejalan dengan nilai dasar yang dianut oleh AS, yaitu
penyebaran nilai-nilai demokrasi di dunia, yang secara teoritik diyakini dapat menciptakan
perdamaian dunia (Tellis, 2005).
10

Oleh karena itu, menjadi sebuah pertanyaan besar mengapa India dipilih Amerika Serikat
sebagai negara aliansinya di Asia. Karena untuk menjadi balancing alliance yang berpengaruh
dalam kawasan terutama untuk menandingi dominasi China dibutuhkan alliance power yang
kuat. India sebagai negara aliansi Amerika Serikat memiliki alliance power yang relatif kuat dan
dapat disejajarkan dengan China dalam kawasan Asia. Dalam bidang militer India mengeluarkan
anggaran pertahanan sebesar US$ 32,5 miliar pada tahun 2005. Meningkat 40 persen dari dua
tahun sebelumnya. Besarnya kapabilitas militer India ditopang oleh 40 pabrik senjata dan 8
Defence Public Sector Undertakings (DPSUs) sebagai organisasi yang bekerja di bawah kontrol
Menteri Pertahanan India Pertumbuhan ekonomi India juga meningkat pesat yang
dilatarbelakangi oleh adanya liberalisasi ekonomi sejak tahun 1984. Pemerintahan India
menerapkan enam program revolusi ekonomi untuk mengentaskan kemiskinan, yaitu revolusi
demografi, pengalihdayaan (outsourcing), globalisasi, keuangan, aspirasi, dan reformasi bagi
kaum miskin. Dengan adanya liberalisasi ekonomi pada tahun 1991 maka perekonomian India
mengalami peningkatan yang lebih signifikan. Hingga dalam 7 tahun terakhir GDP India
meningkat hingga sekitar 8,6 persen. Berdasarkan atas tren peningkatan perekonomian India
melalui GDP negara, saat ini India merupakan negara dengan perekonomian terbesar keempat di
dunia setelah Amerika Serikat, China, dan Jepang.
Adanya hubungan dan sejarah rivalitas antara India dan China juga menjadi landasan yang
kuat bagi Amerika Serikat dalam memilih India sebagai negara aliansi. India saat ini telah
muncul sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat kedua di dunia yang hanya bisa
disaingi oleh China. Pertumbuhan ekonomi kian pesat, terutama sejak 2002, membuat India
disejajarkan dengan China, sebagai dua negara adidaya ekonomi Asia. Bukan hal mustahil
apabila India dan China kelak akan muncul sebagai dua ekonomi terbesar di dunia, seperti pada
abad ke-15. Selain itu, India secara tradisional adalah aktor antagonis bagi China. India yang
mulai mengembangkan teknologi nuklirnya dimulai sejak tahun 1950-an digunakan untuk
merespon kapabilitas nuklir China yang juga mulai dikembangkan tahun 1950-an. India juga
memiliki sejarah konfliktual dengan China dalam isu Kashmir, ditambah lagi lingkungan
geostrategic India yang memang berbatasan langsung membuatnya menjadi salah satu kawan
terbaik AS dalam upaya balancing China. Dalam bidang militer India dan China sama-sama
mengalami perkembangan. Jika India menempati peringkat ketiga dunia dalam peningkatan
anggaran militer, maka China menempati peringkat kedua setelah Amerika Serikat. Hal ini
menunjukkan indikasi adanya persaingan senjata antara India dan China di Asia. Kepemilikan
dan uji coba senjata nuklir India juga mampu menjadi alat deterrence yang ampuh untuk
meredam agresivitas China. Hingga tahun 2005, India memiliki kurang lebih 100 hulu ledak
nuklir, 75-110 senjata dan 22 reaktor nuklir serta 17 nuclear power plants yang dapat
menghasilkan energi sebesar 4.120 MW (Mega Watt). Disamping adanya dukungan khusus dari
Amerika Serikat terhadap program nuklir India. Selain itu, AS menjadi salah satu pemasok
senjata terbesar bagi India. Hingga pada bulan Maret 2009, pemerintahan Obama menjual
sebesar US$ 2,1 miliar berupa delapan Poseidons ke India. Angka ini merupakan kesepakatan

11

militer terbesar antara kedua negara. Patroli gabungan dari jalur-jalur laut di Samudera Hindia
juga telah berlangsung di bawah naungan joint forces armada laut.
Simpulan
Modernisasi militer dan ekonomi China merupakan salah satu faktor yang mendasari
besarnya potensi ancaman terhadap hegemoni AS. Militer China semakin kuat dengan anggaran
belanja pertahanan yang semakin meningkat tiap tahunnya. Kapasitas militer China didukung
oleh perekonomiannya yang terus berkembang pesat hingga menjadi negara dengan
pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia. Status China sebagai single power di Asia semakin
memperkuat pengaruhnya dalam kawasan. Kepemilikan energi dan senjata nuklir China juga
berpotensi untuk menimbulkan instabilitas keamanan di Asia. Begitu pula aliansi khusus antara
China dengan Rusia juga menimbulkan kekhawatiran bagi Amerika Serikat sebagai negara
hegemon di Asia.
Fenomena China sebagai hegemon potensial di Asia ini mencapai puncaknya pada awal
tahun 2000-an. Dimana anggaran belanja militer dan perekonomian China semakin meningkat
pesat. Tren peningkatan ini diprediksi akan menyalip Amerika Serikat dalam beberapa tahun ke
depan. Begitu pula ketika aliansi militer China-Rusia semakin harmonis dan membentuk pasukan
gabungan “Misi Perdamaian” pada tahun 2005. Pada tanggal 22 April 2005, China dan Rusia
meluncurkan latihan gabungan militer mereka yang pertama kalinya. Bahkan saat ini China dan
Rusia telah berpartisipasi dalam empat latihan militer gabungan sejak tahun 2005.
Oleh karena itu Amerika Serikat kemudian mencari aliansi strategis demi kepentingan
hegemoninya di Asia yang terancam atas kemunculan China sebagai hegemon potensial. India
dipilih sebagai negara aliansi melalui perjanjian nuklir pada tahun 2006 karena memiliki
kemampuan untuk menandingi dominasi China di Asia. Seperti halnya China, India juga
merupakan rising state saat ini di Asia. Melalui variabel-variabel seperti alliance power, foreign
aid, dan political penetration, penulis menemukan fakta-fakta dan kesimpulan bahwa India
merupakan negara aliansi yang tepat bagi Amerika Serikat untuk mengimbangi China dan
mempertahankan hegemoninya di Asia. India memenuhi semua kualifikasi sebagai negara aliansi
AS di Asia. Selain memiliki kapabilitas militer yang besar serta perekonomian yang stabil dan
terus berkembang, India juga memiliki program senjata nuklir yang masih aktif. Apalagi dengan
dukungan dan kerjasama dari Amerika Serikat sebagai negara NWS yang sah. Kerjasama militer
antara India dan Amerika Serikat yang semakin erat melalui perdagangan senjata dan pasukan
gabungan juga mampu meningkatkan level kekuatan India sebagai negara aliansi. Selain itu,
pemilihan India sebagai negara aliansi juga merupakan rational choice, dimana India memiliki
rivalitas yang historis dengan China dalam kawasan Asia terkait upaya mereka untuk menjadi
single power di Asia.
Dalam penelitian ini, penulis juga menemukan kesimpulan baru bahwa strategi balancing
alliance AS-India menjadi semakin kuat karena didukung oleh dua variabel berikut dalam BOT,
yaitu foreign aid dan political penetration. Foreign aid dan political penetration merupakan
variabel-variabel dalam konsep balancing alliance yang digunakan untuk memperkuat aliansi
12

secara internal. Jika alliance power merupakan variabel yang secara langsung berdampak pada
hegemon potensial, maka foreign aid dan political penetration berdampak pada alliance power
itu sendiri. Intensitas foreign aid Amerika Serikat terhadap India yang begitu tinggi akan
semakin memperkuat power India sebagai negara aliansi. Hubungan bilateral yang terjalin akan
berdampak pada semakin kuatnya kapasitas militer dan ekonomi India. Begitu pula dengan
intensitas political penetration Amerika Serikat terhadap India yang begitu tinggi. Adanya
perbedaan ideologi antara India dengan China dan kesamaan ideologi antara India dengan
Amerika Serikat menjadi alasan mendasar atas terjalinnya aliansi tersebut. Karena dengan
adanya shared values dan shared ideology antara AS-India akan semakin memperkuat
keterikatan dan ketergantungan antar kedua negara. Penetrasi politik Amerika Serikat terhadap
India yang sudah terjalin sejak masa Perang Dingin semakin mempermudah kontrol AS terhadap
India sebagai negara aliansinya.
Melalui indikator-indikator yang menjelaskan besarnya level ancaman emerging China
terhadap hegemoninya membuat AS melakukan strategi balancing dalam kerangka BOT sebagai
reaksi atas hegemon potensial. Indikator-indikator yang diharapkan mampu membendung dan
mengimbangi emerging China yaitu menjalin aliansi melalui kerjasama nuklir dengan India.
Selain faktor nuklir yang dianggap sebagai alat deterrence paling ampuh, konsiderasi pemilihan
India sebagai negara aliansi merupakan rational choice. Mengingat modernisasi militer dan
ekonomi India yang sangat pesat mampu menandingi modernisasi militer dan ekonomi China di
Asia. Begitu pula status India sebagai rival utama bagi China di Asia terkait pengaruhnya
melalui militer dan ekonomi. Ideologi yang berseberangan antara India dan China menjadikan
mereka sebagai saingan yang sepadan terkait dengan hubungan bilateral masing-masing dengan
AS dan Rusia. Ditambah lagi kepemilikan energi dan senjata nuklir oleh India dan kerjasama
militer dengan AS membuat India memiliki bargaining position yang cukup tinggi di Asia
sebagai penghalang dominasi China.
Referensi
Buku :
Ayres, Alyssa and C. Raja Mohan. 2009. Power Realignments in Asia: China, India and the
United States. New Delhi: Sage Publications.
Baumann, Florian. 2008. Energy Security as Multidimentional Concept. C.A.P Policy Analysis.
Baylis, John and Steve Smith. 2003. The Globalization of World Politics: An Introduction to
International Relations, Second Edition. London: Oxford University Press.
Behera, Laxman Kumar. 2009. India’s Defence Public Sector Undertakings: A Performance
Analysis. New Delhi: Institute of Defence Studies and Analyses.
Cohen, Stephen Philip. 2001. India : Emerging Power. Washington, D.C: Brookings Institution
Press.
David, Charles-Philippe and David Grondin. 2006. Hegemony or Empire? The Redefinition of
U.S. Power Under George W. Bush. Hampshire: Ashgate Publishing Limited.
Ganguly, Sumit. 2003. India as an Emerging Power. Great Britain: Frank Cass Publishers.
13

Haryono, Endi dan Saptopo B. Ilkobar. 2005. Menulis Skripsi: Panduan untuk Mahasiswa Ilmu
Hubungan Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Jacques, Martin. 2009. When China Rules The World: The End of the Western World and the
Birth of a New Global Order. London: Penguin Books.
Karnad, Bharat. 2008. India’s Nuclear Policy. London: Praeger Security International.
Khan, Saira. 2010. Iran and Nuclear Weapons: Protracted Conflict and Proliferation. London and
New York: Routledge.
Mas’oed, Mochtar. 1990. Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi. Jakarta:
LP3ES.
Mearsheimer, John J. 2006. China’s Unpeaceful Rise. London: Oxford University Press.
--------------------------. 2010. China’s Challenge to US Power in Asia. London: Oxford
University Press.
Peerenboom, Randall. 2007. China Modernizes: Threat to the West or Model to the Rest?. New
York: Oxford University Press.
Program Studi Hubungan Internasional. 2008. Panduan Penulisan Skripsi. Jakarta: Universitas
Budi Luhur.
Rozman, Gilbert. 2007. Strategic Thinking about the Korean Nuclear Crisis: Four Parties Caught
between North Korea and the United States. New York: Palgrave Macmillan.
Silalahi, Ulber. 2009. Metode Penelitian Sosial. Bandung: Refika Adhitama.
Stein, Charles. 2003. The Rise of China Inc. Boston: Boston Globe.
Tow, William T. and Amitav Acharya. 2007. Obstinate or Obsolete? The US Alliance Structure
in the Asia–Pacific. Canberra: Australian National University.
Walt, Stephen M. 1987. Origins of Alliances. Ithaca and London: Cornell University Press.
Jurnal :
Bellacqua, James A. 2010. The Future of China-Russia Relations. The University Press of
Kentucky.
Cirincione, Joseph. 2006. Bomb Scare The History and Future of Nuclear Weapon, 123
Agreement Chart: Issue in US-India Nuclear Cooperation. Carnegie Endowment for
International Peace.
Goh, Evelyn. 2005. Great Powers and Southeast Asian Regional Security Strategies: OmniEnmeshment, Balancing and Hierarchical Order. Singapore: IDSS.
Lieber, Keir A. and Daryl G. Press. 2007. U.S. Nuclear Primacy and the Future of the Chinese
Deterrent. China: World Security Institute.
Manyin, Mark E. 2011. U.S.-South Korea Relations. Congressional Research Service.
Pan, Esther & Jayshree Bajoria. 2008. The U.S.-India Nuclear Deal. Council on Foreign
Relations.
Squassoni, S and Parillo J. 2006. US-India Nuclear Cooperation: A Side-By-Side Comparison of
Current Legislation. CRS Report for Congress.

14

Tellis, Ashley J. 2005. India As A New Global Power: An Action Agenda For The United States.
Carnegie Endowment for International Peace.
--------------------. 2006. Atoms for War? U.S.-Indian Civilian Nuclear Cooperation and India’s
Nuclear Arsenal. Washington D.C.: Carnegie Endowment for International Peace.
USAID. 2009. India - U.S. Foreign Assistance Performance Publication Fiscal Year. United
States Department of State.
Virmani, Arvind. 2005. A Tripolar Country: USA, China and India. Indian Council: Research on
International Economic Relations.
Website :
Asia Pacific Defence, India - China Top List of Global-Arms Importers,
http://apdforum.com/zh/article/rmiap/articles/online/features/2013/04/29/india-chinaweapons.
-----------------------------, India Welcomes U.S. Partnership On Defense Cooperation,
http://apdforum.com/zh/article/rmiap/articles/online/features/2013/10/09/us-indiadefense.
-----------------------------, Perspektif Kawasan atas Penyeimbangan Kembali A.S.,
http://apdforum.com/id/article/rmiap/articles/print/features/2014/01/01/feature-pr-7.
Asia Times, America: Hooked On Hegemony, http://www.atimes.com/atimes/World/WOR-01080114.html.
------------------------,
China
and
North
Korea's
Pit
Bull
Alliance,
http://www.atimes.com/atimes/China/CHIN-03-150313.html.
BBC
News,
China
Lands
J-15
Jet
On
Liaoning
Aircraft
Carrier,
http://www.bbc.co.uk/news/world-asia-china-20483716.
Chinafolio, Population Power: China’s Shifting Masses, http://www.chinafolio.com/populationpower/.
Council on Foreign Relations, The U.S.-India Nuclear Deal, http://www.cfr.org/india/us-indianuclear-deal/p9663.
Economic Times, Indo-US N-deal smacks of double standards: Chinese scholar,
http://articles.economictimes.indiatimes.com/2010-0416/news/28457137_1_international-atomic-energy-agency-nuclear-deal-nuclear-fuel.
Global Fire Power, China Military Strength, http://www.globalfirepower.com/Country-MilitaryStrength-Detail.Asp?Country_Id=China.
Global
Security,
Asia;
Chinese
Arms
Threaten
Asia,
http://www.globalsecurity.org/org/news/2005/050604-china-asia.htm.
-------------------------,
China's
Defense
Budget,
http://www.globalsecurity.org/military/world/china/budget.htm.
Hoover Institution, Power and Population in Asia, http://www.hoover.org/publications/policyreview/article/6298.

15

Huffington
Post,
China
Lands
First
Jet
On
Its
Aircraft
Carrier,
http://www.huffingtonpost.com/2012/11/25/China-Jet-Aircraft-Carrier_N_2187767.html.
Japan
Times,
New
Ships
Give
China's
Navy
A
Stronger
Punch,
http://www.japantimes.co.jp/text/eo20120912mr.html.
Knowledge,
Upstart:
China’s
Emergence
in
Technology
and
Innovation,
http://knowledge.insead.edu/world/china/upstart-chinas-emergence-in-technology-andinnovation-1180.
Maps of World, Asia Map, http://www.mapsofworld.com/asia/.
Nuclear Threat Initiative, China, http://www.nti.org/country-profiles/china/.
Republika, India Siap Uji Coba Kapal Selam Nuklir Pertama di Laut Terbuka,
http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/13/08/10/mrbjij-india-siap-ujicoba-kapal-selam-nuklir-pertama-di-laut-terbuka.
Reuters,
Putin
Says
to
Push
Military
Ties
with
China,
http://www.reuters.com/article/2012/06/06/us-china-russia-militaryidUSBRE8550BG20120606.
Security
&
Defence
Agenda,
China-Russia
Military
Cooperation,
http://www.securitydefenceagenda.org/Contentnavigation/Library/Libraryoverview/tabid/
1299/articleType/ArchiveView/year/2008/Default.aspx.
SIPRI, China's Technological Development and the Implications for the Rest of the World,
http://www.sipri.org/research/security/china/research/technology.
Tempo,
India
Uji
Coba
Rudal
Berkemampuan
Nuklir
Agni-V,
http://www.tempo.co/read/news/2013/09/15/118513515/India-Uji-Coba-RudalBerkemampuan-Nuklir-Agni-V.
The
Economist,
China
Military
Rise:
The
Dragon’s
New
Teeth,
http://www.economist.com/Node/21552193.
The Heritage Foundation, The Russia-China Friendship and Cooperation Treaty: A Strategic
Shift in Eurasia?, http://www.heritage.org/research/reports/2001/07/the-russia-chinafriendship-and-cooperation-treaty.
The New York Times, U.S. and Japan Agree to Broaden Military Alliance,
http://www.nytimes.com/2013/10/04/world/asia/japan-and-us-agree-to-broaden-militaryalliance.html?_r=0.
The
Times
of
India,
http://articles.timesofindia.indiatimes.com/2012-0828/china/33449060_1_test-fires-ballistic-missile-agni-v.
The Washington Post, U.S., India Reach Deal On Nuclear Cooperation,
http://www.washingtonpost.com/wpdyn/content/article/2006/03/02/AR2006030200183.html.
The World Bank, China Overview, http://www.worldbank.org/en/country/china.
U.S. Department of State, India, http://www.state.gov/outofdate/bgn/india/74167.htm.
------------------------------------, India and the United States: A Strategic Economic Partnership
for the 21st Century, http://www.state.gov/r/pa/ei/rls/dos/3797.htm.
16

,-----------------------------------, Taking Stock of the U.S.-India Nuclear Deal,
http://www.state.gov/p/sca/rls/rmks/2011/174883.htm.
------------------------------------, Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons (NPT),
http://www.state.gov/t/isn/trty/16281.htm.
------------------------------------,
U.S.
Collective
Defense
Arrangements,
http://www.state.gov/s/l/treaty/collectivedefense/.
World
Nuclear
Association,
Nuclear
Po