sejarah pemikiran modern dalam islam

MAKALAH SEJARAH PEMIKIRAN ARAB MODERN
“Dinamika Pemikiran Arab Modern dalam Menghadapi Perubahan Sosial, Politik, dan Budaya”
Dosen Pengampu : Muhammad Farhan M., S.Ag., M.Ag.
Muflihana Dwi Faiqoh
C1011031
Jurusan Sastra Arab
Fakultas Sastra dan Seni rupa
Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pendahuluan
Sebagaimana yang diyakini oleh banyak pakar, bahwa dunia ini tanpa terkecuali sedang
mengalami the grand process of modernization (Syafaq). Menurut ajaran Islam, perubahan
adalah bagian dari sunnatullâh dan merupakan salah satu sifat asasi manusia dan alam raya
secara keseluruhan. Maka suatu kewajaran, jika manusia, kelompok masyarakat dan lingkungan
hidup mengalami perubahan.
Modernisasi selalu melibatkan globalisasi dan berimplikasi pada perubahan tatanan sosial,
karena dibarengi oleh masuknya budaya impor ke dalam masyarakat tersebut. Menurut Boeke
(Syafaq), ketika budaya impor yang unsur-unsurnya lebih maju, berwatak kapitalis, berhadapan
dengan budaya lokal yang berwatak tradisional, terjadi pergulatan antara budaya luar dengan
budaya lokal. Pertarungan kedua budaya tersebut kemungkinan menjadikan salah satu unsur
tersisih dan akhirnya tidak berfungsi dan digantikan oleh unsur baru yang kemungkinan besar

dimenangkan oleh unsur impor. Biasanya, unsur lokal berangsur-angsur menurun dan tidak lagi
diminati oleh masyarakat tradisional.
Selain masuknya budaya asing, globalisasi juga tidak bisa dilepaskan dari persoalan
sekularisasi. Globalisasi dan sekularisasi seakan-akan merupakan satu paket yang terjadi di dunia
Barat dan Timur. Konsekuensinya, ajaran dan dogmatisme agama, termasuk Islam, yang semula
sakral, sedikit demi sedikit mulai dibongkar oleh pemeluknya, yang pandangannya telah
mengalami perkembangan mengikuti realitas zaman. Agama pada tataran itu pun akhirnya
menjadi profan/ tercemar/ tidak suci, sehingga sangat tepat jika munculnya modernisasi
seringkali dikaitkan dengan perubahan sosial, budaya, dan politik.

Perubahan itu berbentuk, antara lain; perubahan tatanan hubungan tradisional antara
masyarakat, pemerintah dan agama, di mana masyarakat sakral-integralis, yang sebelumnya
diatur oleh sistem-sistem religio-politik, bergerak menuju transformasi baru sebagai masyarakat
pluralis non-sakral (Syafaq).
Dari kenyataan seperti itu, dalam era modern umat Islam sering dihadapkan pada sebuah
tantangan, di antaranya adalah menjawab pertanyaan tentang di mana posisi Islam dalam
kehidupan modern, serta bentuk Islam yang bagaimana yang harus ditampilkan guna
menghadapi modernisasi dalam kehidupan publik, sosial, ekonomi, hukum, politik dan
pemikiran.
Makalah ini mencoba menelaah tentang Islam modern, apa dan bagaimana pemikiran

Islam/Arab modern, serta dinamika pemikiran Islam/Arab modern dalam menghadapi perubahan
sosial, politik, dan budaya.
Pembahasan
Definisi Pemikiran Islam modern
Kata modern diwakili dengan makna terbaru atau mutakhir, atau sikap dan cara berpikir
serta cara bertindak sesuai dengan tuntutan zaman (KBBI). Jika kata modern disebut dengan
modernisme, maka kata ini berarti gerakan yang bertujuan menafsirkan kembali doktrin
tradisional, menyesuaikannya dengan aliran-aliran modern seperti filsafat, sejarah, dan ilmu
pengetahuan (KBBI).
Islam Modern dalam hal pemikiran berarti corak pemikiran dalam Islam yang berlaku
sesuai dengan tuntutan zaman. Kata ‘modern’ erat kaitannya dengan ‘modernisasi’ yang berarti
pembaharuan atau tajdid dalam bahasa Arab. Modernisasi dalam masyarakat barat adalah
pikiran, aliran, gerakan, atau usaha untuk mengubah paham-paham, adat istiadat, institusiinstitusi lama, dan sebagainya untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern (Nasution, 1975).
Kata Tajdid atau pembaharuan adalah proses menjadikan sesuatu yang terlihat usang untuk
dijadikan baru kembali. Tajdid berakar dari kata Jaddada, diartikan dengan menjadikan baru
lagi (Munawwir, 1977). Tajdid dalam pemikiran berarti aktivitas koreksi ulang atau
konseptualisasi ulang terhadap aktivitas keislaman, dengan mengoreksi hal-hal yang bersifat
tidak sesuai dengan konteks baru.


Pemikiran Arab Modern
Pemikiran Arab modern dimulai sejak masa kebangkitan, yaitu invasi Napoleon Bonaparte
ke Mesir tahun 1798, kemudian berdirinya negeri-negeri independen dengan mengatasnamakan
nasionalisme, dan sejak runtuhnya kekhalifahan Utsmaniyyah di Istanbul, sampai sekarang.
Sejak Napoleon menduduki Mesir, umat Islam mulai merasakan dan sadar akan kelemahan
dan kemundurannya, sementara mereka juga merasa kaget dengan kemajuan yang telah dicapai
Barat. Gelombang ekspansi Barat ke negara-negara muslim yang tidak dapat dibendung itu
memaksa para pemuka Islam untuk mulai berpikir guna merebut kembali kemerdekaan yang
dirampas. Salah seorang tokoh yang pemikirannya banyak mengilhami gerakan-gerakan
kemerdekaan adalah Sayd Jamaluddin Al Afghani. Ia dilahirkan pada tahun 1839 di Afghanistan
dan meninggal di Istambul 18973. Pemikiran dan pergerakan yang dipelopori Afghani ini disebut
Pan-Islamisme, yang dalam pengertian luas berarti solidaritas antara seluruh umat muslim di
dunia internasional.Tema perjuangan yang terus menerus dikobarkan oleh Afghani dalam
kesempatan apa saja adalah semangat melawan kolonialisme dengan berpegang kepada tematema ajaran Islam sebagai stimulasinya.
Di samping Afghani, terdapat dua orang ahli pemikiran Arab lainnya yang telah
mempengaruhi hampir semua pemikiran politik Islam pada masa berikutnya. Dua pemikir itu
adalah Muhammad Abduh (1849-1905) dan Rasyid Ridha (1865-1935). Mereka sangat
dipengaruhi oleh gagasan-gagasan guru mereka yakni Afghani, dan berkat mereka berdualah
pengaruh Afghani diteruskan untuk mempengaruhi perkembangan nasionalisme Mesir. Seperti
halnya Afghani dan Abduh, Ridha percaya bahwa Islam bersifat politis, sosial dan spiritual.

Untuk membangkitkan sifat-sifat tersebut, umat Islam mesti kembali kepada Islam yang
sebenarnya sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi dan para sahabatnya atau para salafiah.
Untuk menyebarkan gagasan-gagasannya ini, Ridha menuangkannya dalam bingkai
tulisan-tulisan yang terakumulasi dalam majalah Al Manar yang dipimpinnya. Di daratan Eropa,
Syakib Arsalan selalu memonitori gerakan-gerakan guna kemerdekaan Arab. Misi Arsalan
adalah menginternasionalkan berbagai masalah pokok yang dihadapi negara-negara muslim Arab
yang berasal dari kekuasaan negara-negara Barat dan menggalang pendapat seluruh orang Islam
Arab sehingga membentuk berdasarkan ikatan keislaman, mereka dapat memperoleh
kemerdekaan dan memperbaiki tata kehidupan sosial yang lebih baik.

Meskipun pada awalnya Arsalan mengambil alih konsep-konsep Pan-Islamismenya
Afghani karena merasakan perlunya pemabaharuan dalam masyarakat, namun dalam praktiknya,
ia lebih menitikberatkan perjuanggannya pada Pan-Arabisme. Gerakan perjuangan yang
dilakukan oleh para tokoh tersebut, walaupun belum mencapai hasil yang diinginkan yakni
kemerdekaan, namun gema pemikiran Islam mereka sangat mewarnai era generasi selanjutnya,
untuk membebaskan negerinya dari masuknya kolonial Barat.
Secara garis besar, dapat digambarkan tipologi yang mewarnai pemikiran Arab modern
(Saed) sebagai berikut:
1) Tipologi Transfarmatik
Tipologi ini mewakili para pemikir Arab yang secara radikal mengajukan proses

transformasi masyarakat Arab-Muslim dari budaya tradisional-patriarkal kepada
masyarakat rasional dan ilmiah. Mereka menolak cara pandang agama dan
kecenderungan mistis yang tidak berdasarkan nalar praktis, serta menganggap agama
dan tradisi masa lalu sudah tidak relevan lagi dengan tuntutan zaman sekarang. Karena
itu, harus ditinggalkan.
2) Tipologi Reformistik
Tipologi reformistik adalah kecenderungan yang meyakini bahwa antara turats dan
modernitas kedua-duanya adalah baik. Masalahnya, bagaimana menyikapi keduanya
dengan adil dan bijak. Adalah salah memprioritaskan satu hal dan merendahkan yang
lain, karena, kalau mau jujur, kedua-duanya bukan milik kita; turats milik orang lampau
dan modernitas milik Barat. Mengambil satu dan membuang yang lain adalah gegabah,
dan membuang kedua-duanya adalah konyol. Yang adil dan bijak adalah bagaimana
mengharmonisasikan keduanya dengan tidak menyalahi akal sehat dan standar rasional,
inilah inti dari reformasi itu. Kelompok ini lebih spesifik lagi dibagi kepada dua
kecenderungan:
a. Para pemikir yang memakai metode pendekatan rekonstruktif, yaitu, melihat
tradisi dengan perspektif pembangunan kembali. Maksudnya, agar tradisi suatu
masyarakat (agama) tetap hidup dan bisa terus diterima, maka ia harus
dibangun kembali secara baru (i'adah buniyat min jadid) dengan kerangka
modern dan prasyarat rasional.


b. Penggunaan metode dekonstruktif. Metode dekonstruksi merupakan fenomena
baru untuk pemikiran Arab kontemporer. Para pemikir dekonstruktif terdiri
dari para pemikir Arab yang dipengaruhi oleh gerakan (post) strukturalis
Perancis dan beberapa tokoh post-modernisme lainnya, seperti Levi-Strauss,
Lacan, Barthes, Foucault, Derrida dan Gadamer.
Tentunya kelompok ini sangat berbeda dengan kelompok transformatik yang sangat
radikal, para pemikir dari kalangan reformistik masih percaya dan menaruh harapan
penuh kepada turats. Tradisi atau turats menurut mereka tetap relevan untuk era modern
selama ia dibaca, diinterpretasi dan dipahami dengan standar modernitas.
3) Tipologi-Ideal Totalistik
Ciri utama dari tipologi ini adalah sikap dan pandangan idealis terhadap ajaran
Islam yang bersifat totalistik. Kelompok ini sangat committed dengan aspek religius
budaya Islam. Proyek peradaban yang hendak mereka garap adalah menghidupkan
kembali Islam sebagai agama, budaya dan peradaban. Mereka menolak unsur-unsur
asing yang datang dari Barat, karena Islam sendiri sudah cukup, mencakup tatanan
sosial, politik dan ekonomi. Menurut kelompok pemikir dari tipologi ini, Islam tidak
butuh lagi kepada metode dan teori-teori import dari Barat. Mereka menyeru kepada
keaslian Islam (al-ashlah), yaitu Islam yang pernah dipraktekkan oleh Nabi dan
keempat Khalifahnya. Para pemikir yang mewakili tipologi ideal-totalistik ini, tidak

percaya baik kepada metode transformasi maupun reformasi, karena yang dituntut oleh
Islam --menurut mereka--adalah kembali kepada sumber asal (al-awdah ila al-manba)
yaitu al-Qur'an dan Hadits.
Tipologi pemikiran Arab kontemporer seperti yang diilustrasikan di atas, adalah
refleksi dari interaksi dan sikap para intelektual Arab terhadap isu di sekitar tradisi dan
modernitas. Sikap tersebut kemudian memunculkan --di samping discourse baru
menyangkut isu tradisi dan modernitas. persoalan besar yang dihadapi intelektual Arab
masih berkisar soal penentuan sikap budaya kepada dua isu besar: tradisi dan
modernitas. Dan perbedaan pengambilan sikap terhadap dua isu tersebut yang
menyebabkan terjadinya fragmentasi isu dan juga tipe pemikiran di kalangan pemikir
Arab. Latar belakang pendidikan tetap merupakan faktor penting dalam membentuk
para pemikir tersebut mengartikulasikan gagasangagasan pembaharuan mereka.

Modernisasi dan Perubahan Sosial
Dalam teori modernisasi, Tipps menyebutkan teori dikotomi. Tipe teori ini adalah adanya
proses transformasi masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern. Jadi, ada dikotomi
antara masyarakat tradisional dan modern (Saed).
Menurut Herbert Spencer (Saed), masyarakat adalah sebuah organisme –sesuatu yang
hidup-. Dengan kata lain, masyarakat selalu mengalami pertumbuhan, perkembangan dan
perubahan. Munculnya modernisasi seringkali dikaitkan dengan perubahan sosial, sebuah

perubahan penting dari struktur sosial (pola-pola perilaku dan interaksi sosial). Dan sebaiknya
kita melihat perubahan sosial sebagai sesuatu yang melekat pada sifat sesuatu, termasuk di dalam
sifat kehidupan sosial.
Ketika berbicara mengenai alam fisik, sejarah manusia atau intelektualitas manusia, kita
menemukan bahwa tidak ada yang tetap, melainkan segala sesuatu selalu bergerak, dan berubah
keadaannya. Realitas tidak statis, seperti yang diamati oleh filusuf Yunani kuno, Heraclitus,
bahwa semua makhluk senantiasa mengalir, terus-menerus berubah, terus-menerus tercipta dan
lenyap. Sebagaimana juga yang diungkap oleh Ibnu Khaldun tentang teori siklus peradaban,
bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, selalu terjadi perpindahan gaya hidup, dari nomadic ke
arah sedentary. Atau seperti yang dikatakan oleh Toynbee bahwa perpindahan (mutation) dari
masyarakat primitif ke arah masyarakat beradab (civilized), atau dari kondisi yang statis ke arah
dinamis, adalah suatu hal yang natural dalam sejarah peradaban kemanusiaan (Saed).
Perubahan itu dilalui dengan tiga proses: pertama, masa nomadic. Yaitu sebuah bentuk
kehidupan yang dialami oleh kaum nomad di padang pasir, kaum Barbar di pegunungan, atau
kaum Tartar di padang rumput. Kedua, masa pembentukan organisasi, yaitu sebuah masa untuk
membentuk suatu kekuatan dalam bentuk ikatan (organisasi). Ketiga, masa peradaban
(civilization). Sebuah masa yang penuh dengan gaya hidup yang mewah, penuh dengan seni,
pemikiran yang terbuka, bahkan sekuler, materialistik. Semua itu terjadi dengan cepat karena
arus globalisasi. Dengan globalisasi, modernisasi yang dimunculkan oleh bangsa-bangsa Barat
diserap dengan cepat oleh bangsa-bangsa Asia. Benjamin Barber (Saed) menyatakan bahwa

McWorld merupakan penjajah kultural. Ia akan menghancurkan segala bentuk kultur lokal dan
merubah menjadi tatanan pertokoan baru yang disebut dengan Mall.

Modernisasi dan Perubahan Politik
Tekanan politik Barat terhadap peradaban dan umat Islam, membuat persatuan umat Islam
terpecah, dan hal ini dimanfaatkan oleh Barat untuk menggiring pemahaman yang mendorong
umat Islam melupakan ajarannya sendiri. Kita ingat, berdirinya kerajaan Sa’ud di Arab Saudi
adalah atas jasa politik Barat (Inggris dan Amerika), sehingga sampai saat ini kedua negara
adikuasa tersebut masih kuat pengaruhnya terhadap kerajaan Arab Saudi.
Pemikiran Islam modern ini merupakan pemikiran yang memiliki kecenderungan untuk
mengambil beberapa pemikiran Barat yang modern, rasional bahkan liberal, atau menafsirkan
Islam melalui pendekatan rasional untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman.
Kelompok modernis ingin menjadikan agama sebagai landasan dalam menghadapi
modernitas. Menurutnya, agama tidak bertentangan dengan perkembangan zaman modern,
sehingga mereka ingin menginterpretasikan ajaran-ajaran agama sesuai dengan kebutuhan
modern.
Mereka menyatakan bahwa tidak ada pertentangan antara Islam dan modernitas. Menurut
mereka, hukum Islam tidak baku, tapi harus dirubah sesuai dengan situasi sosial yang sedang
berkembang.
Perubahan itu juga terjadi dalam bidang pemikiran (intelektual). Sebagai contoh bahwa

abad modern ditandai oleh kemenangan supremasi rasionalisme, empirisme, dan positivisme dari
dogmatisme agama pada abad ke-17. Metode ilmiah yang berwatak rasional dan empiris telah
mengantarkan kehidupan manusia pada suasana modernisme. Jadi, masyarakat modern secara
intelektual adalah masyarakat rasional, didasarkan pada ilmu dan teknologi yang logis dan
empiris.
Modernisasi dan Perubahan Budaya
Konsep modern lazim dipertentangkan dengan tradisi. Masyarakat erat kaitannya dengan
perubahan. Dinamika di masyarakat terjadi di beberapa aspek, salah satunya adalah budaya yang
ada di masyarakat. Perubahan budaya merupakan keniscayaan.
Adanya modernisasi menyebabkan pergeseran nilai dan sikap masyarakat yang semula
irasional

menjadi

rasional,

dan

berkembangnya


ilmu

pengetahuan

dan

teknologi

Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, masyarakat menjadi lebih mudah

dalam beraktivitas dan mendorong untuk berpikir lebih maju. Modernisasi juga menyebabkan
tingkat kehidupan yang lebih baik, karena industri yang memproduksi alat-alat komunikasi dan
transportasi yang canggih merupakan salah datu usaha mengurangi pengangguran dan
meningkatkan taraf hidup masyarakat. Namun begitu, dengan modernisasi juga menyebabkan
pola hidup konsumtif. Masyarakat mudah tertarik untuk mengonsumsi barang dengan banyak
pilihan yang ada. Selain itu, modernisasi juga menyebabkan sikap individualistic, gaya hidup
kebarat-baratan, dan kesenjangan sosial.
Memang perubahan terjadi di mana-mana dalam kehidupan sosial sepanjang masa.
Terkadang terjadi secara tiba-tiba dan cepat, yaitu ketika sistem suatu pemerintahan dihancurkan
oleh revolusi dan digantikan oleh sistem baru. Terkadang perubahan juga terjadi secara lamban,
yaitu ketika anggota masyarakat itu yang melakukannya secara perlahan.

Daftar Pustaka

Munawwir, Ahmad Warson. 1997. Al-Munawwir: Kamus Arab Indonesia. Surabaya: Pustaka
Progressif
Nasution, Harun. 1975. Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta:
Bulan Bintang
Saed,
Mujahid.
Tipologi
dan
Wacana
pemikiran
Arab
Modern.
http://saedmujahid.blogspot.com/2012/06/tipologidan-wacana-pemikiran-arab.html
(9
April 2014)
Syafaq, Hammis. Masyarakat Islam dan Tantangan Modernisasi. http://pesantreniainsa.blogspot.com/2009/02/normal-0-false-false-false.html#_ftn2 (9 April 2014)
. 1998. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia