MAKNA PARIWISATA YANG TAK TERLUPAKAN SEB
#4 Best Paper
Lomba Karya Tulis Pariwisata (2012)
Sekolah Pasca Sarjana UGM dan PT. Taman Wisata Candi Prambanan Ratu Boko dan Borobudur
Tema
“PENINGKATAN KUNJUNGAN WISATAWAN MANCANEGARA DAN NUSANTARA KE DIY”
Makna “Pariwisata Yang Tak Terlupakan” Sebagai Strategi
Mendatangkan Wisatawan Ke Jogjakarta
Oleh: Erda Rindrasih
ABSTRAK.
Pengalaman berwisata telah menjadi vocal point dalam berbagai penelitian pariwisata dan
manajemen. Ketika para akademisi sibuk menghitung jumlah kunjungan wisatawan dan mencari
cara supaya memperbanyak jumlah kunjungan wisatawan, tulisan ini mengupas tentang
bagaimana supaya wisatawan memiliki pengalaman berwisata yang tak terlupakan, spesial,
spektakuler, pas, dan selalu terkenang. Tentu saja hal ini akan membuat mereka bercerita
kepada orang lain pengalaman mereka yang tak terlupakan tersebut. Tulisan ini didasarkan pada
penelusuran kepustakaan, catatan pribadi, kliping dan hasil interview dengan respondent yang
terbatas.
Kata Kunci: tak terlupakan, pengalaman, pariwisata, intimasi
PENDAHULUAN
Pariwisata telah diakui secara internasional sebagai sektor penting dalam ekonomi, sosial dan
politik sebuah bangsa. Keberhasilan sektor pariwisata kerap kali diukur dari jumlah kunjungan
wisatawan, lama tinggal wisatawan dan biaya yang dibelanjakan selama mengunjungi destinasi.
Sehingga perencanaan pariwisata selama ini beramai ramai menyoroti tentang target target yang
bersifat material dan terukur dengan nominal. Hal ini digunakan untuk memenuhi kepentingan
ekonomi maupun sosial.
Tinjauan tentang aspek kualitas pelayanan pariwisata masih terbatas. Berbagai perencanaan
tentang pariwisata selalu diarahkan untuk memberikan dampak yang positif bagi lingkungan,
sosial dan ekonomi. Namun kadang kala kita lupa tentang dampak bagi wisatawan yang
mengunjungi destinasi wisata itu sendiri. Penelitian tentang destinasi, tentang pasar, tentang
industri dan segala elemen pariwisata telah banyak dihasilkan oleh ahli ahli pariwisata di Negara
ini. Namun, Indonesia masih tertinggal dalam pengembangan pariwisata dibandingkan dengan
negara tetangga. Peneliti, praktisi, pemerintah biasanya menjelaskan ketertinggalan
kepariwisataan Indonesia disebabkan oleh buruknya manajemen destinasi, rendahnya kualitas
pemasaran dan promosi, dukungan infrastruktur dan fasilitas yang miskin, kurangnya dukungan
dari pemerintah lokal atau masyarakat. Sehingga tinjauan tentang kualitas pelayanan itu sendiri
masih terbatas.
Indonesia mampu menyusun tujuh resep ampuh dalam pengembangan pariwisata yang disebut
dengan Sapta Pesona. Sapta Pesona terdiri atas aman, tertib, bersih, sejuk, indah, ramah tamah
dan kenangan. Point Sapta Pesona dari satu sampai empat merupakan hasil pengejawantahan
indikator fisik destinasi. Namun point lima dan enam (ramah tamah dan kenangan) merupakah
dua dari tujuh pesona yang belum banyak dibahas oleh para ahli dan perencana pariwisata.
Padahal kedua point tersebut sama penting dan bahkan menjadi point terpenting sebagai alasan
wisatawan kembali ke destinasi.
1
#4 Best Paper
Lomba Karya Tulis Pariwisata (2012)
Sekolah Pasca Sarjana UGM dan PT. Taman Wisata Candi Prambanan Ratu Boko dan Borobudur
Yogyakarta sebagai salah satu destinasi penting di Indonesia harus mampu mengambil peran
menjadi destinasi yang tak terlupakan bagi wisatawan. Berdasarkan uraian dari Badan Statistik
(2012) menunjukkan bahwa Tingkat Penghunian Kamar (TPK) hotel bintang di Provinsi DIY secara
rata rata bulan Oktober 2012 sebesar 62,43 persen. Rata rata lama menginap wisatawan di hotel
bintang di Provinsi DIY pada bulan Oktober 2012 sebesar 1,79 malam atau mengalami
peningkatan 0,04 malam dari rata rata lama menginap bulan sebelumnya. Fakta ini dapat
dikategorikan rendah dibandingkan dengan rata rata lama tinggal wisatawan di Indonesia yaitu
2,8 hari. Dimana sebagai perbandingan rata rata lama tinggal tertinggi di dunia adalah India yaitu
31,2 hari .
Tulisan singkat ini bermaksud untuk mengulas dengan pendekatan essay bebas tentang
bagaimana membuat wisatawan merasa nyaman di suatu tempat wisata, dan memiliki kenangan
untuk kembali dan membawa serta keluarga dan handai tolannya ke Indonesia pada umumnya
dan Jogjakarta pada khususnya. Bagaimana menemukan cara supaya wisatawan lebih betah
berlama lama di sebuah obyek wisata. Untuk memenuhi data data dan analisis penulis
melakukan penelusuran kepustakaan, koran, catatan pengalaman pribadi selama mengunjungi
negara negara lain dan hasil wawancara tak terstruktur dengan wisatawan asing yang datang ke
Jogjakarta.
TINJAUAN PUSTAKA
Pengalaman pariwisata di artikan bermacam macam oleh para ahli pariwisata. Ritchie (2011)
menuliskan bahwa pengalaman berwisata adalah evaluasi subjektif dari individu terhadap
kejadian yang berhubungan dengan kegiatan pariwisata pada dirinya mulai dari persiapan untuk
bepergian, selama ada didestinasi dan setelah selesai perjalanan. Oleh karena itu maka
perencana pariwisata mestinya memfasilitasi pengembangan sebuah lingkungan dari destinasi
yang meningkatkan daya pikat terhadap turis untuk membuat pengalaman berwisata yang tak
terlupakan dalam arti positif.
Merencanakan sebuah destinasi dengan daya pikat yang tinggi untuk wisatawan merupakan
pekerjaan yang rumit. Seorang manager atau pengelola destinasi tidak dapat sepenuhnya
memberikan pengalaman berwisata yang tak terlupakan bagi wisatawan secara langsung. Hal ini
karena setiap pengalaman itu unik dan sangat subjektif meskipun seorang perencana pariwisata
telah berusaha memberikan pelayanan yang baik, event yang menarik dan beragam aktivitas.
Lalu bagaimana cara untuk memberikan pengalaman yang tak terlupakan tersebut?
Kegiatan wisata yang tak terlupakan memiliki keterkaitan erat dengan ilmu psikologi dan
antropologi. Oleh karena itu dalam tinjauan pustaka ini, kita perlu menyimak beberapa pendapat
dari para pakar pariwisata berbasis psikologi dan antropologi tentang maksud dan makna
pariwisata yang tak terlupakan (Memorable Experiences in hospitality and tourism). Gunter
(1978) mengidentifikasi ragam terminologi untuk membahas tentang pengalaman berwisata
berdasarkan tingkat mudah diingat atau tidak diingat. Selain itu Woodside Caldwell, & Albers‐
Miller, 2004 pernah melakukan penelitian tentang kesan yang positif terhadap sebuah obyek
wisata merupakan alasan utama wisatawan kembali mengunjungi destinasi dan
melakukan gethok tular terhadap orang lain. Selaras dengan pendapat sebelumnya, Ritchie &
Crouch, 2003 melihat dari sisi manajerial, pengelola destinasi yang baik adalah ketika mereka
mempertimbangkan aspek kenangan yang tak terlupakan tersebut dalam perencanaan
pariwisata. Inilah yang menjadi keunggulan bagi sebuah destinasi dibandingkan destinasi yang
lain.
2
#4 Best Paper
Lomba Karya Tulis Pariwisata (2012)
Sekolah Pasca Sarjana UGM dan PT. Taman Wisata Candi Prambanan Ratu Boko dan Borobudur
Pengalaman yang memuaskan
Pengalaman yang memuaskan dapat dimaknai sebagai harmonisasi dari kebutuhan dan keadaan,
sedangkan ketidakpuasan diartikan sebagai jarak antara harapan dan pengalaman (Ryan, 1997).
Oleh karena itu seorang perencana pariwisata mestinya dapat menggunakan pertimbangan
kepuasan wisatawan. Sehingga perencana perlu menetapkan kebijakan untuk mengurangi resiko
resiko berkurangnya kepuasan wisatawan. Kendati demikian, perencana pariwisata kadang kala
mengalami kesulitan dalam mengimplementasikan kebijakan pengurangan ketidakpuasan
wisatawan. Hal ini terjadi karena begitu rumitnya memahami kepuasan wisatawan. Jika Noe
(1987) menganalisis bahwa ekspresi dari wisatawan misalnya: tertawa bahagia merupakan
indikator kepuasan wisatawan namun Pearce (2005) mengatakan bahwa kepuasaan merupakan
sebuah atitude dimana menyangkut affective, cognitive dan elemen kebiasaan. Oleh karenanya
setiap orang memiliki indikator yang berbeda untuk menunjukkan kepuasan. Otto & Richie,
(1995) memberikan pendapat bahwa kepuasan sebuah pelayanan pariwisata merupakan level
dari subjektivitas, emosional dan respon dari pelayanan yang diberikan. Jadi sungguh rumit
memahami kepuasan wisatawan. Hasil penelitian yang lebih mendekati adalah dari Arnould dan
Price (1993) yang meneliti tentang pengalaman melakukan rafting, menuliskan bahwa wisatawan
menyebutkan tiga dimensi kepuasannya yaitu; hubungan dengan alam, interaksi dengan teman,
keluarga atau orang baru, dan pengembangan diri.
Gambar 1. Wisatawan belajar berselancar
Mengelola Pengalaman yang tak terlupakan
Dari sisi manajerial Pine dan Gilmore (1998) merubah arah target sebuah paradigma manajemen
yaitu dari manajemen yang menekankan pada pelayanan ke arah arah manajemen yang
membangun pengalaman. Hal ini didorong oleh kesadaran bahwa pengalaman adalah subjective
yang hanya dialami oleh perorangan yang melibatkan emosional, interaksi fisik, spiritual dan
level intelektual. Ia mendefinisikan empat domain dari pengalaman yaitu hiburan, pendidikan,
estetika dan petualangan. Pine dan Gilmore (1998) menuliskan bahwa pengalaman seorang
petualang (escapist) melibatkan perasaan dari costumer baik partisipasi aktif
maupunimmersion ada dalam konsep alur pengalaman yang dituliskan oleh Cary’s (2004)
tentang serendipiti memiliki sedikit atau tidak ada dampak dari pengalaman mereka
sebagaimana seorang wisatawan yang melihat Grand Canyon dari atas jurang, seorang escapist
akan mentransformasikan ke dalam pengalaman estetik (Pine dan Gilmore, 1998).
Pine dan Gilmore (1998) menyusun lima point dimana mereka menyebutnya dengan sebuah
prinsip desain pengalaman yaitu terdiri atas; tema dari pengalaman, impresi harmonis dengan
kesan positif, mengurangi kesan negatif, penggabungan dalam ingatan dengan melibatkan lima
3
#4 Best Paper
Lomba Karya Tulis Pariwisata (2012)
Sekolah Pasca Sarjana UGM dan PT. Taman Wisata Candi Prambanan Ratu Boko dan Borobudur
indra. Pendapat mereka banyak digunakan oleh para peneliti pariwisata di berbagai negara yang
telah maju pariwisatanya.
Ingatan dan Pengalaman
Selanjutnya kita akan mencoba memahami hubungan antara ingatan dan pengalaman. Biasanya
interpretasi dari pengalaman adalah melalui konsep naratif. Naratif didefinisikan sebagai
pengetahuan struktur yang terdiri atas urutan tematik dan sementara yang berhubungan dengan
kejadian peristiwa. Pengalaman kemudian disampaikan dalam story‐telling yang kemudian
menjadi populer untuk menganalisis ingatan dan pengalaman dari wisatawan (Woodside, 2010).
Schank (1999) menyebutkan bahwa ingatan manusia berpola dasar seperti naskah, dan tiap
individu biasanya menggunakan interpretasinya sendiri berdasarkan pengalaman menjadi
sebuah cerita. Di dalam literatur pariwisata, storytellingtelah digunakan untuk menganalisis
cerita dan tema di dalam setting interpretative (Moscardo, 2010). Contohnya peneliti biasanya
meminta partisipan untuk menyebut tipe spesifik dari pengalaman misalnya, backpaking untuk
mengetahui dampak perjalanannya terhadap identitas dirinya (Desforger, 2000), atau dalam
fungsi dari pengembangan pariwisata seperti kualitas pelayanan (Obenour, Patternson, Pederson
& Pearce, 2006).
Pentingnya storytelling di dalam memahami pengalaman berwisata dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor. Berdasarkan pada Moscardo (2010), wisatawan membuat cerita selama
perjalanan mereka. Kemudian cerita disampaikan oleh mereka menjadi efek dari keseluruhan
brand destinasi. Oleh karena itu menajemen destinasi harus didukung oleh desain dan kreasi dari
konsistensi antara pengalaman dari apa yang didengar dengan tema destinasi (Pine &Gilmore,
1998). Kemudian, storytelling tersebut membentuk ingatan impresi terhadap kejadian sepanjang
masa (McGregor & Holmes, 1999). Cerita biasanya akan tersimpan di dalam ingatan dan
kapanpun dapat dibuka ketika terdapat klue baik dari individual yang terlibat dalam pengalaman
tersebut maupun lokasi yang dikunjungi.
Cara Kerja Ingatan
Sejak 1980an, penelitian pariwisata mengalami kebuntuan karena terbatasnya metodologi yang
bisa digunakan untuk penelitian pariwisata sehingga banyak digunakan pendekatan penelitian
tradisional. Penelitian tradisional biasanya melakukan studi survey lapangan, diary perjalanan,
interview baik terstruktur maupun tidak terstruktur, dan mengobservasi tingkat partisipasi (Volo,
2010). Namun saat ini kita mestinya bergerak ke arah penelitian yang berbasis metode sampling
dan cara kerja memori.
Namun hal ini bukan berarti tanpa tantangan karena analisis terhadap memori biasanya
merupakan ekspresi yang cepat. Biasanya, ada batasan generalisasi ketika ingatan partisipan
dibentuk oleh lingkungan sosial dan arahan. Selain itu analisis ingatan harus didukung oleh waktu
yang banyak dan komitmen yang kuat baik dari peneliti maupun dari responden karena analisis
memori memerlukan waktu yang panjang mulai dari analisis memori sebelum kunjungan, ketika
kunjungan dan sesudah kunjungan.
Kepedulian dan Ketidakpedulian
Konsep ketidakpedulian (midlesness) adalah salah satu obyek utama dalam teori kognisi sosial
yang telah diaplikasikan dalam penelitian pariwisata (Moscardo & Pearce 1986). Ketidakpedulian
merupakan sebuah cara berfikir yang berdasarkan pada informasi tanpa dilengkapi dengan
kesadaran terhadap tindakan alternatif yang harus dilakukan terkait dengan informasi (Langer,
Hatem, Joss & Howell, 1989). Jika seorang individu tidak paham maka ia akan berperilaku sesuai
dengan apa yang ia dapatkan di masa lalu tentang informasi yang baru dari pada saat informasi
4
#4 Best Paper
Lomba Karya Tulis Pariwisata (2012)
Sekolah Pasca Sarjana UGM dan PT. Taman Wisata Candi Prambanan Ratu Boko dan Borobudur
sekarang ada. Oleh karenanya seorang yang cuek cenderung tidak perduli dengan situasi yang
ada disekitarnya sebagai sebuah sumber informasi yang baru. Kebalikan dari cuek adalah peduli,
yaitu ketika seseorang mendapatkan informasi yang baru kemudian menyusun perbedaan,
memeriksa informasi dari perspectiv yang baru dan lebih sensitif terhadap konteks yang
dipasang dalam informasi baru. Seseorang yang peduli menjalankan fungsi novelty, terkejut atau
lainnya dan memberikan kekuatan pribadi untuk menjalankan kebiasaannya khususnya dalam
situasi dimana mereka merasa bahwa mereka memiliki kesempatan untuk belajar, mengontrol
dan bahkan mempengaruhi (Langer& Piper, 1988).
Dalam studi tentang pariwisata banyak peneliti yang menyarankan menggunakan tingkat
kepedulian sebagai alat untuk mengelola pengalaman wisatawan di destinasi. Contohnya,
sebuah emosi kepedulian yang pernah ada di tulisa oleh Moscardo (1988) yang mengobservasi
bahwa seseorang akan bertahan lebih lama di dalam ruang pameran apabila mereka memiliki
keterikatan emosi terhadap obyek yang didisplay. Selain itu seseorang yang peduli berasosiasi
dengan pembelajaran yang lebih besar dan kepuasan yang lebih besar dalam kegiatan rekreasi.
Misalnya seorang wisatawan akan lebih merasa puas terhadap pengalaman mendidik jika
mereka dipaparkan pada informasi (Moscardo, 1999). Oleh karena itu maka seluruh objek yang
memberikan sumber informasi kepada pengunjung/wisatawan misalnya: tanda, brosur, displai
dan pamlet haruslah di siapkan sesuai dengan situasi yang terintegrasi. Hal ini penting untuk
meng‐induce pengalaman kepedulian (Langer & Moldoveanu, 2000). Jika situasi lingkungan tidak
menyediakan pengalaman tentang kepedulian, maka kemungkinan besar pengunjung tidak
terikat pada lokasi dan merasa tidak perlu melakukan sesuatu terhadap destinasi yang dituju
(Langer, 1989).
Memory Formation and Retention (Pembentukan memori dan penekanan kembali)
Autobiografi memori didefinsikan sebagai pengalaman mengoleksi kembali dari kehidupannya
sendiri (Piolino, Desgranges, Benali & Eutache, 2002). Terdapat perbedaan yang kuat antara
klasifikasi umum, episode memori dan biografi dari memori. Autobiografi memory
mempertimbangkan sebuah spesialisasi subset dari episode memori tergantung jumlah referensi
personal yang terlibat. Oleh karena itu, episode memori dapat memiliki proporsi yang besar dari
keikutsertaan hal lainnya, ingatan autobiografi khususnya konsen terhadap pengetahuan diri di
masa lalu (Baumgartner, Sujan & Bettman, 1992).
Autobiografi memori telah banyak diteliti dalam beberapa fungsi area misalnya dalam psikologi
seperti kognitif, sosial, pengembangan dan neuro psikologi. Salah satu dari model yang penting
dideskripsikan dalam fitur memori autobiografi di sarankan oleh Conway dan Pleydell‐Pearce
(2000). Dalam model ini ingatan autobiografi terdiri atas tiga komponen pokok; periode lifetime,
event umum dan pengetahuan even spesifik. Periode hidup membentuk dasar dari waktu
dengan mengidentifikasi permulaan dan akhir dari periode dari pada discrete. Sebagai contoh,
seseorang mungkin akan merefleksikan ingatan seperti ini “ketika saya berumur lima tahun” atau
“saat saya berada di Indonesia”. Kejadian yang umum memberikan kesan baik sekali ataupun
berulang kali. Hal ini akan membetuk sebuah cerita singkat dari kegiatan, biasanya satu cerita
bisa membuat seseorang teringat pada cerita lainnya yang memiliki tema bersentuhan.
PEMBAHASAN
Ketika memahami kegiatan pariwisata kita mestinya tidak hanya melihat ketika pariwisata
berlangsung. Melainkan kita perlu melihat bahwa sebenarnya kegiatan pariwisata menyangkut
dimensi sebelum kegiatan, selama kegiatan dan sesudah kegiatan. Kelihatannya dimensi dimensi
tersebut memang di luar jangkauan dari industri pariwisata, namun perencana pariwisata masih
dapat membangun sebuah kebijakan destinasi yang didesain untuk mendapatkan hasil yang
diharapkan.
5
#4 Best Paper
Lomba Karya Tulis Pariwisata (2012)
Sekolah Pasca Sarjana UGM dan PT. Taman Wisata Candi Prambanan Ratu Boko dan Borobudur
Pariwisata bermuara kenangan indah
Kegiatan pariwisata yang bermuara pada kenangan indah harus direncanakan dengan
komprehensif process, yaitu dimulai dari sebelum berwisata, ketika berwisata dan sesudah
berwisata. Pertama sebelum berwisata, perencana pariwisata DIY perlu mengelola sebuah basis
perencanaan dimulai dari sebelum kegiatan pariwisata itu berlangsung dengan memahami apa
sebenarnya yang diperlukan oleh wisatawan. Misalnya, sebelum berangkat diperlukan semacam
survey awal untuk mengetahui apa ekspektasi yang ingin dicapai oleh wisatawan. Seorang
perencana pariwisata dapat mempengaruhi emosi yang dirasakan oleh wisatawan selama
berwisata dan juga pengaruh dari emosi tersebut terhadap kualtias pengalaman. Perencana
dapat menggunakan promosi “branding” untuk menyampaikan janji dari tipe pengalaman yang
tak terlupakan yang ditawarkan oleh destinasi. Hal ini akan membantu calon wisatawan untuk
menyusun ekspektasi mereka sehingga pengalaman berwisata menjadi mungkin lebih tak
terlupakan.
Kedua adalah saat berwisata. Nah, dalam pariwisata fungsi cerita yang dibentuk oleh
seorangtour guide akan membentuk sebuah bangunan/struktur cerita yang memberikan
keutuhan autobiografi dari seseorang. Bentuk dari ingatan autobiografi biasanya melalui proses
yang berbeda yang dipengaruhi oleh latar belakang demografi dari tiap orang. Pillemer, Wink,
DiDonato dan Sanborn (2003) meneliti dan menyimpulkan bahwa perempuan cenderung mampu
mengingat episode hidup yang lebih spesifik dan detail daripada laki laki. Dalam tataran usia
(Hamond dan Fivush, 1991) melakukan riset membandingkan antara anak anak dan dewasa yang
mengunjungi disneyland. Hasilnya adalah anak anak lebih banyak menyerap pengalaman dari
pada dewasa. Kemudian dari sisi lifesyle, Falk dan Dierking (1990) meneliti bahwa remaja
biasanya mengingat perjalanan dari dimensi sosial misalnya pergi bersama siapa, apa yang
mereka lakukan bersama, sebagai aspek yang tak terlupakan dalam perjalanan wisata.
Ketiga adalah sesudah berwisata. Perencana pariwisata perlu didorong untuk menyiapkan
destinasi seperti harapan wisatawan. Saat ini wisatawan selalu berburu kejutan di destinasi
wisata yang mereka kunjungi. Sebuah kejutan akan memberikan kenangan pada tiap
pengalaman berwisata. Praktisi industri mungkin dapat menyampaikannya adanya kejutan
kejutan tersebut baik di dalam brosur maupun di luar brosur secara lisan. Untuk meningkatkan
memori seorang perencana harus mempromosikan kekuatan kenangan pada setiap saat pada
destinasi yang dikelola, sebagaimana mengajak wisatawan berfikir bahwa Yogyakarta adalah
destinasi yang harus dikunjungi. Kenangan ini akan menarik wisatawan untuk membeli barang
barang kenangan seperti souvenir atau hadiah. Secara psikologis, pembelian barang barang
souvenir ini akan meningkatkan ingatan memori terhadap destinasi. Selain itu foto dan video
juga menjadi salah satu pengingat memori.
Tujuan dari hal tersebut adalah untuk mengumpulkan dan mengkompilasi ingatan melalui
pengalaman sehingga wisatawan dapat membangun ingatan secara utuh untuk disampaikan
pada keluarga dan teman temannya. Singkatnya aspek pengalaman dan memori yang tak
terlupakan perlu di tangkap oleh praktisi wisata dengan memfokuskan pada proses belanja di
akhir kegiatan wisata. Melalui teknik branding dan pemasaran yang efektif, perencana pariwisata
dapat mengirim semacam kartupos baik online maupun langsung yang diupdate secara rutin
untuk mengulang ulang memori yang ada pada wisatawan. Bahkan akan lebih baik jika
wisatawan diberikan tempat untuk menulis ekspresi mereka terhadap pengalaman berwisata di
tempat tersebut.
Perencana pariwisata Jogjakarta dituntut untuk mampu menawarkan beberapa extra
mileskepada wisatawan atau calon wisatawan. Diantaranya adalah, pertama
bangunlah image danbranding yang menarik. Image dan branding perlu dibangun di awal sebuah
6
#4 Best Paper
Lomba Karya Tulis Pariwisata (2012)
Sekolah Pasca Sarjana UGM dan PT. Taman Wisata Candi Prambanan Ratu Boko dan Borobudur
perencanaan kegiatan pariwisata. Hal ini bukanlah sekedar tugas dari pemerintah, namun juga
pengelola sebuah destinasi. Konsistensi dari apa yang ditawarkan dan apa yang ada di lapangan
harus tetap dijaga. Usahakan jangan ada bias yang terlalu besar dari branding yang dibangun dan
apa yang dirasakan oleh wisatawan. Karena wisatawan itu mampu menilai, dengan penilaian
yang sangat sensitive. Mereka punya banyak pilihan untuk berwisata dan Jogjakarta bukan satu
satunya pilihan. Sehingga menjaga konsistensi antara brand yang dibangun dan apa yang
disajikan menjadi sangat penting.
Kedua adakan story telling secara naratif yang komunikatif dengan wisatawan. Seorang
wisatawan memiliki subjektivitas kepuasan yang berbeda. Namun pada dasarnya mereka
memiliki kebutuhan yang sama terhadap informasi yang benar terhadap sebuah destinasi wisata.
Untuk itu pengelola harus mampu memenuhi kebutuhan akan informasi ini. Informasi dapat
disajikan melalui website, brosur, spanduk, leaflet maupun buku. Informasi akan membangun
sebuah pemahaman akan kesan di tiap tiap kepala yang datang di destinasi. Bangunan yang utuh
akan lebih baik dari pada bangunan informasi yang setengah setengah. Untuk itu detail dari
sebuah informasi harus disajikan. Persoalan apakah informasi tersebut akan dibaca atau tidak hal
tersebut adalah sesuai dengan level kebutuhan dari setiap wisatawan. Namun, tugas dari
seorang perencana adalah membuat informasi tersebut lengkap dan mudah untuk diakses.
Ketiga, wisatawan diberikan ruang untuk menuliskan kesan terhadap destinasi baik secara
manual maupun virtual. Wisatawan perlu diajak untuk melakukan sesuatu aksi nyata di daerah
wisata. Ketika seorang wisatawan diberikan value (nilai) dalam setiap kedatangannya maka ia
akan terkenang dan akan menyebarkan value tersebut ke tempat asalnya nanti. Misalnya: ketika
wisatawan mendatangi Kawasan Lereng Merapi yang merupakan bekas bencana gunung
meletus, maka ajak wisatawan untuk menanam pohon perindang sebagai bagian dari
kontribusinya untuk masyarakat. Apa yang mereka lakukan selain memiliki nilai sosial juga akan
membuat wisatawan memiliki ikatan terhadap destinasi yang dikunjungi.
Keempat, wisatawan diajak untuk memiliki barang kenangan atau souvenir. Pengelola pariwisata
dituntut lebik aktif dalam menyasar kunjungan ulang dapat pula dengan menyampaikan bahwa
“kunjungan berikutnya tidak akan sama indahnya dengan kunjungan yang pertama, karena akan
lebih indah. DMO mestinya terus meningkatkan promosi destinasi dengan menawarkan
pengalaman baru bagi wisatawan. Pembelian barang kenangan dan souvenir akan memberikan
sebentuk fisik barang untuk dikenang. Hal ini akan menjadi ‘clue’ bagi memori seorang
wisatawan terhadap suatu tempat dan suatu waktu.
KESIMPULAN
Melalui uraian tentang pentingnya memberikan penajaman terhadap pariwisata yang tak
terlupakan, penulis menyimpulkan sebagai berikut:
• Perencana pariwisata Jogjakarta perlu merubah paradigm dari jumlah kunjunga wisata
yang tinggi menjadi kunjunga wisata yang berkualitas yaitu yang tak terlupakan.
• Pariwisata yang tak terlupakan dapat diukur menggunakan pertimbangan kepuasan
wisatawan. Sehingga perencana perlu menetapkan kebijakan untuk mengurangi resiko
resiko berkurangnya kepuasan wisatawan.
• Perencana pariwisata Jogjakarta dituntut untuk mampu menawarkan beberapa extra
miles kepada wisatawan atau calon wisatawan. Diantaranya adalah, pertama bangunlah
image dan branding yang menarik. Kedua adakan story telling secara naratif yang
komunikatif dengan wisatawan dan preventif. Ketiga, wisatawan diberikan ruang untuk
menuliskan kesan terhadap destinasi baik secara manual maupun virtual. Wisatawan
perlu diajak untuk melakukan sesuatu aksi nyata di daerah wisata. Keempat, wisatawan
diajak untuk memiliki barang kenangan atau souvenir. Pengelola pariwisata dituntut
lebik aktif dalam menyasar kunjungan ulang dapat pula dengan menyampaikan bahwa
7
#4 Best Paper
Lomba Karya Tulis Pariwisata (2012)
Sekolah Pasca Sarjana UGM dan PT. Taman Wisata Candi Prambanan Ratu Boko dan Borobudur
“kunjungan berikutnya tidak akan sama indahnya dengan kunjungan yang pertama,
karena akan lebih indah.
DAFTAR PUSTAKA
Arnould, E., & Price, L. (1993). River magic: Extraordinary experience and the extended service
encounter. Journal of Consumer Research, 20(1), 24–45.
Baumgartner, H., Sujan, M., & Bettman, J. (1992). Autobiographical memories: Affect and
consumer information processing. Journal of Consumer Psychology, 1(1), 53–82
Cary, S. H. (2004). The tourist moment. Annals of Tourism Research, 31(1), 61–77.
Conway, M., & Pleydell‐Pearce, C. (2000). The construction of autobiographical memories in the
self‐memory system. Psychological Review, 107(2), 261–288.
Desforges, L. (2000). Travelling the world: Identity and world biography. Annals of Tourism
Research, 27(4), 926–945.
Falk, J., & Dierking, L. (1990). The relationship between visitation frequency and long‐term
recollection. In S. Bitgood, A. Benefield, & D. Patterson (Eds.), Visitor studies: Theory,
research and practice (pp. 17–22). Jacksonville, AL: Center for Social Design.
Gunter, B. G. (1987). The leisure experience. Selected properties. Journal of LeisureResearch,
19(2), 115–130.
Hamond, N., & Fivush, R. (1991). Memories of Mickey Mouse: Young children recount their trip
to Disneyworld. Cognitive Development, 6(4), 433–448.
Langer, E. J., & Piper, A. (1988). Television from a mindful/mindless perspective.Applied Social
Psychology Annual, 8, 247–260.
Langer, E. J., Hatem, M., Joss, J., & Howell, M. (1989). Conditional teaching and mindful learning:
The role of uncertainty in education. Creativity Research Journal, 2, 139–150.
McGregor, I., & Holmes, J. G. (1999). How storytelling shapes memory and impression of
relationship events over time. Journal of Personality and Social Psychology, 76(3), 403–419.
Moscardo, G. M., & Pearce, P. L. (1986). Visitor centres and environmental interpretation.
Journal of Environmental Psychology, 6, 89–108.
Moscardo, G. M. (1988). Visitor studies at the Gallipoli and Sinai galleries, Australian War
Memorial. Townsville: Department of Behavioural Sciences, James Cook University.
Moscardo, G. M. (1999). Making visitors mindful: Principles for creating sustainable visitor
experiences through effective communication. Champaign, IL: Sagamore. Langer, E. J., &
Moldoveanu, M. (2000). The construct of mindfulness. Journal of Social Issues, 56(1), 1–9.
Moscardo, G. M. (2010). The shaping of tourist experience. The importance of stories and
themes. In M. Morgan, P. Lugosi, & J. R. B. Ritchie (Eds.), The tourism and leisure
experience. Consumer and managerial perspectives (pp. 43–58). Bristol, UK: Channel View
Publications.
Noe, F. P. (1987). Measurement specification and leisure satisfaction. Leisure Sciences, 9(3), 163–
172.
Obenour, W., Pattenson, M., Pedersen, P., & Pearson, L. (2006). Conceptualization of a meaning
based research approach for tourism service experiences. Tourism Management, 27, 34–41.
Otto, J., & Richie, J. (1995). Exploring the quality of the service experience. A theoretical and
empirical analysis. Advances in Services Marketing and Management, 4, 37–61.
Pearce, P. L. (2005). Tourist behaviour: Themes and conceptual schemes. Clevedon: Channel
View Publications.
Pillemer, D., Wink, P., DiDonato, T., & Sanborn, R. (2003). Gender differences in autobiographical
memory styles of older adults. Memory, 11(6), 525–532.
Pine, J., & Gilmore, J. H. (1998). Welcome to the experience economy. Harvard Business Review,
97–107.
Piolino, P., Desgranges, B., Benali, K., & Eustache, F. (2002). Episodic and semantic remote
autobiographical memory in ageing. Memory, 10(4), 239–257. Baumgartner, H., Sujan, M.,
8
#4 Best Paper
Lomba Karya Tulis Pariwisata (2012)
Sekolah Pasca Sarjana UGM dan PT. Taman Wisata Candi Prambanan Ratu Boko dan Borobudur
& Bettman, J. (1992). Autobiographical memories: Affect and consumer information
processing. Journal of Consumer Psychology, 1(1), 53–82.
Ritchie, J. R. B., & Crouch, G. (2003). The competitive destination: A sustainable tourism
perspective. Cambridge, MA: CABI Publishing.
Ryan, C. (1997). The tourist experience. A new introduction. London: Cassell.
Schank, R. C. (1999). Dynamic memory revisited. Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Volo, S. (2010). Bloggers’ reported tourist experiences: Their utility as a tourism data source and
their effect on prospective tourists. Journal of Vacation Marketing, 16(4), 297–311.
Woodside, A., Caldwell, M., & Albers‐Miller, N. (2004). Broadening the study of tourism:
Introduction to the special issue on the consumer psychology of travel/tourism behavior.
Journal of Travel and Tourism Marketing, 17(1), 1–7.
Woodside, A. (2010). Brand‐consumer storytelling theory and research: Introduction to a
psychology & marketing special issue. Psychology & Marketing, 27(6), 531–540.
9
Lomba Karya Tulis Pariwisata (2012)
Sekolah Pasca Sarjana UGM dan PT. Taman Wisata Candi Prambanan Ratu Boko dan Borobudur
Tema
“PENINGKATAN KUNJUNGAN WISATAWAN MANCANEGARA DAN NUSANTARA KE DIY”
Makna “Pariwisata Yang Tak Terlupakan” Sebagai Strategi
Mendatangkan Wisatawan Ke Jogjakarta
Oleh: Erda Rindrasih
ABSTRAK.
Pengalaman berwisata telah menjadi vocal point dalam berbagai penelitian pariwisata dan
manajemen. Ketika para akademisi sibuk menghitung jumlah kunjungan wisatawan dan mencari
cara supaya memperbanyak jumlah kunjungan wisatawan, tulisan ini mengupas tentang
bagaimana supaya wisatawan memiliki pengalaman berwisata yang tak terlupakan, spesial,
spektakuler, pas, dan selalu terkenang. Tentu saja hal ini akan membuat mereka bercerita
kepada orang lain pengalaman mereka yang tak terlupakan tersebut. Tulisan ini didasarkan pada
penelusuran kepustakaan, catatan pribadi, kliping dan hasil interview dengan respondent yang
terbatas.
Kata Kunci: tak terlupakan, pengalaman, pariwisata, intimasi
PENDAHULUAN
Pariwisata telah diakui secara internasional sebagai sektor penting dalam ekonomi, sosial dan
politik sebuah bangsa. Keberhasilan sektor pariwisata kerap kali diukur dari jumlah kunjungan
wisatawan, lama tinggal wisatawan dan biaya yang dibelanjakan selama mengunjungi destinasi.
Sehingga perencanaan pariwisata selama ini beramai ramai menyoroti tentang target target yang
bersifat material dan terukur dengan nominal. Hal ini digunakan untuk memenuhi kepentingan
ekonomi maupun sosial.
Tinjauan tentang aspek kualitas pelayanan pariwisata masih terbatas. Berbagai perencanaan
tentang pariwisata selalu diarahkan untuk memberikan dampak yang positif bagi lingkungan,
sosial dan ekonomi. Namun kadang kala kita lupa tentang dampak bagi wisatawan yang
mengunjungi destinasi wisata itu sendiri. Penelitian tentang destinasi, tentang pasar, tentang
industri dan segala elemen pariwisata telah banyak dihasilkan oleh ahli ahli pariwisata di Negara
ini. Namun, Indonesia masih tertinggal dalam pengembangan pariwisata dibandingkan dengan
negara tetangga. Peneliti, praktisi, pemerintah biasanya menjelaskan ketertinggalan
kepariwisataan Indonesia disebabkan oleh buruknya manajemen destinasi, rendahnya kualitas
pemasaran dan promosi, dukungan infrastruktur dan fasilitas yang miskin, kurangnya dukungan
dari pemerintah lokal atau masyarakat. Sehingga tinjauan tentang kualitas pelayanan itu sendiri
masih terbatas.
Indonesia mampu menyusun tujuh resep ampuh dalam pengembangan pariwisata yang disebut
dengan Sapta Pesona. Sapta Pesona terdiri atas aman, tertib, bersih, sejuk, indah, ramah tamah
dan kenangan. Point Sapta Pesona dari satu sampai empat merupakan hasil pengejawantahan
indikator fisik destinasi. Namun point lima dan enam (ramah tamah dan kenangan) merupakah
dua dari tujuh pesona yang belum banyak dibahas oleh para ahli dan perencana pariwisata.
Padahal kedua point tersebut sama penting dan bahkan menjadi point terpenting sebagai alasan
wisatawan kembali ke destinasi.
1
#4 Best Paper
Lomba Karya Tulis Pariwisata (2012)
Sekolah Pasca Sarjana UGM dan PT. Taman Wisata Candi Prambanan Ratu Boko dan Borobudur
Yogyakarta sebagai salah satu destinasi penting di Indonesia harus mampu mengambil peran
menjadi destinasi yang tak terlupakan bagi wisatawan. Berdasarkan uraian dari Badan Statistik
(2012) menunjukkan bahwa Tingkat Penghunian Kamar (TPK) hotel bintang di Provinsi DIY secara
rata rata bulan Oktober 2012 sebesar 62,43 persen. Rata rata lama menginap wisatawan di hotel
bintang di Provinsi DIY pada bulan Oktober 2012 sebesar 1,79 malam atau mengalami
peningkatan 0,04 malam dari rata rata lama menginap bulan sebelumnya. Fakta ini dapat
dikategorikan rendah dibandingkan dengan rata rata lama tinggal wisatawan di Indonesia yaitu
2,8 hari. Dimana sebagai perbandingan rata rata lama tinggal tertinggi di dunia adalah India yaitu
31,2 hari .
Tulisan singkat ini bermaksud untuk mengulas dengan pendekatan essay bebas tentang
bagaimana membuat wisatawan merasa nyaman di suatu tempat wisata, dan memiliki kenangan
untuk kembali dan membawa serta keluarga dan handai tolannya ke Indonesia pada umumnya
dan Jogjakarta pada khususnya. Bagaimana menemukan cara supaya wisatawan lebih betah
berlama lama di sebuah obyek wisata. Untuk memenuhi data data dan analisis penulis
melakukan penelusuran kepustakaan, koran, catatan pengalaman pribadi selama mengunjungi
negara negara lain dan hasil wawancara tak terstruktur dengan wisatawan asing yang datang ke
Jogjakarta.
TINJAUAN PUSTAKA
Pengalaman pariwisata di artikan bermacam macam oleh para ahli pariwisata. Ritchie (2011)
menuliskan bahwa pengalaman berwisata adalah evaluasi subjektif dari individu terhadap
kejadian yang berhubungan dengan kegiatan pariwisata pada dirinya mulai dari persiapan untuk
bepergian, selama ada didestinasi dan setelah selesai perjalanan. Oleh karena itu maka
perencana pariwisata mestinya memfasilitasi pengembangan sebuah lingkungan dari destinasi
yang meningkatkan daya pikat terhadap turis untuk membuat pengalaman berwisata yang tak
terlupakan dalam arti positif.
Merencanakan sebuah destinasi dengan daya pikat yang tinggi untuk wisatawan merupakan
pekerjaan yang rumit. Seorang manager atau pengelola destinasi tidak dapat sepenuhnya
memberikan pengalaman berwisata yang tak terlupakan bagi wisatawan secara langsung. Hal ini
karena setiap pengalaman itu unik dan sangat subjektif meskipun seorang perencana pariwisata
telah berusaha memberikan pelayanan yang baik, event yang menarik dan beragam aktivitas.
Lalu bagaimana cara untuk memberikan pengalaman yang tak terlupakan tersebut?
Kegiatan wisata yang tak terlupakan memiliki keterkaitan erat dengan ilmu psikologi dan
antropologi. Oleh karena itu dalam tinjauan pustaka ini, kita perlu menyimak beberapa pendapat
dari para pakar pariwisata berbasis psikologi dan antropologi tentang maksud dan makna
pariwisata yang tak terlupakan (Memorable Experiences in hospitality and tourism). Gunter
(1978) mengidentifikasi ragam terminologi untuk membahas tentang pengalaman berwisata
berdasarkan tingkat mudah diingat atau tidak diingat. Selain itu Woodside Caldwell, & Albers‐
Miller, 2004 pernah melakukan penelitian tentang kesan yang positif terhadap sebuah obyek
wisata merupakan alasan utama wisatawan kembali mengunjungi destinasi dan
melakukan gethok tular terhadap orang lain. Selaras dengan pendapat sebelumnya, Ritchie &
Crouch, 2003 melihat dari sisi manajerial, pengelola destinasi yang baik adalah ketika mereka
mempertimbangkan aspek kenangan yang tak terlupakan tersebut dalam perencanaan
pariwisata. Inilah yang menjadi keunggulan bagi sebuah destinasi dibandingkan destinasi yang
lain.
2
#4 Best Paper
Lomba Karya Tulis Pariwisata (2012)
Sekolah Pasca Sarjana UGM dan PT. Taman Wisata Candi Prambanan Ratu Boko dan Borobudur
Pengalaman yang memuaskan
Pengalaman yang memuaskan dapat dimaknai sebagai harmonisasi dari kebutuhan dan keadaan,
sedangkan ketidakpuasan diartikan sebagai jarak antara harapan dan pengalaman (Ryan, 1997).
Oleh karena itu seorang perencana pariwisata mestinya dapat menggunakan pertimbangan
kepuasan wisatawan. Sehingga perencana perlu menetapkan kebijakan untuk mengurangi resiko
resiko berkurangnya kepuasan wisatawan. Kendati demikian, perencana pariwisata kadang kala
mengalami kesulitan dalam mengimplementasikan kebijakan pengurangan ketidakpuasan
wisatawan. Hal ini terjadi karena begitu rumitnya memahami kepuasan wisatawan. Jika Noe
(1987) menganalisis bahwa ekspresi dari wisatawan misalnya: tertawa bahagia merupakan
indikator kepuasan wisatawan namun Pearce (2005) mengatakan bahwa kepuasaan merupakan
sebuah atitude dimana menyangkut affective, cognitive dan elemen kebiasaan. Oleh karenanya
setiap orang memiliki indikator yang berbeda untuk menunjukkan kepuasan. Otto & Richie,
(1995) memberikan pendapat bahwa kepuasan sebuah pelayanan pariwisata merupakan level
dari subjektivitas, emosional dan respon dari pelayanan yang diberikan. Jadi sungguh rumit
memahami kepuasan wisatawan. Hasil penelitian yang lebih mendekati adalah dari Arnould dan
Price (1993) yang meneliti tentang pengalaman melakukan rafting, menuliskan bahwa wisatawan
menyebutkan tiga dimensi kepuasannya yaitu; hubungan dengan alam, interaksi dengan teman,
keluarga atau orang baru, dan pengembangan diri.
Gambar 1. Wisatawan belajar berselancar
Mengelola Pengalaman yang tak terlupakan
Dari sisi manajerial Pine dan Gilmore (1998) merubah arah target sebuah paradigma manajemen
yaitu dari manajemen yang menekankan pada pelayanan ke arah arah manajemen yang
membangun pengalaman. Hal ini didorong oleh kesadaran bahwa pengalaman adalah subjective
yang hanya dialami oleh perorangan yang melibatkan emosional, interaksi fisik, spiritual dan
level intelektual. Ia mendefinisikan empat domain dari pengalaman yaitu hiburan, pendidikan,
estetika dan petualangan. Pine dan Gilmore (1998) menuliskan bahwa pengalaman seorang
petualang (escapist) melibatkan perasaan dari costumer baik partisipasi aktif
maupunimmersion ada dalam konsep alur pengalaman yang dituliskan oleh Cary’s (2004)
tentang serendipiti memiliki sedikit atau tidak ada dampak dari pengalaman mereka
sebagaimana seorang wisatawan yang melihat Grand Canyon dari atas jurang, seorang escapist
akan mentransformasikan ke dalam pengalaman estetik (Pine dan Gilmore, 1998).
Pine dan Gilmore (1998) menyusun lima point dimana mereka menyebutnya dengan sebuah
prinsip desain pengalaman yaitu terdiri atas; tema dari pengalaman, impresi harmonis dengan
kesan positif, mengurangi kesan negatif, penggabungan dalam ingatan dengan melibatkan lima
3
#4 Best Paper
Lomba Karya Tulis Pariwisata (2012)
Sekolah Pasca Sarjana UGM dan PT. Taman Wisata Candi Prambanan Ratu Boko dan Borobudur
indra. Pendapat mereka banyak digunakan oleh para peneliti pariwisata di berbagai negara yang
telah maju pariwisatanya.
Ingatan dan Pengalaman
Selanjutnya kita akan mencoba memahami hubungan antara ingatan dan pengalaman. Biasanya
interpretasi dari pengalaman adalah melalui konsep naratif. Naratif didefinisikan sebagai
pengetahuan struktur yang terdiri atas urutan tematik dan sementara yang berhubungan dengan
kejadian peristiwa. Pengalaman kemudian disampaikan dalam story‐telling yang kemudian
menjadi populer untuk menganalisis ingatan dan pengalaman dari wisatawan (Woodside, 2010).
Schank (1999) menyebutkan bahwa ingatan manusia berpola dasar seperti naskah, dan tiap
individu biasanya menggunakan interpretasinya sendiri berdasarkan pengalaman menjadi
sebuah cerita. Di dalam literatur pariwisata, storytellingtelah digunakan untuk menganalisis
cerita dan tema di dalam setting interpretative (Moscardo, 2010). Contohnya peneliti biasanya
meminta partisipan untuk menyebut tipe spesifik dari pengalaman misalnya, backpaking untuk
mengetahui dampak perjalanannya terhadap identitas dirinya (Desforger, 2000), atau dalam
fungsi dari pengembangan pariwisata seperti kualitas pelayanan (Obenour, Patternson, Pederson
& Pearce, 2006).
Pentingnya storytelling di dalam memahami pengalaman berwisata dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor. Berdasarkan pada Moscardo (2010), wisatawan membuat cerita selama
perjalanan mereka. Kemudian cerita disampaikan oleh mereka menjadi efek dari keseluruhan
brand destinasi. Oleh karena itu menajemen destinasi harus didukung oleh desain dan kreasi dari
konsistensi antara pengalaman dari apa yang didengar dengan tema destinasi (Pine &Gilmore,
1998). Kemudian, storytelling tersebut membentuk ingatan impresi terhadap kejadian sepanjang
masa (McGregor & Holmes, 1999). Cerita biasanya akan tersimpan di dalam ingatan dan
kapanpun dapat dibuka ketika terdapat klue baik dari individual yang terlibat dalam pengalaman
tersebut maupun lokasi yang dikunjungi.
Cara Kerja Ingatan
Sejak 1980an, penelitian pariwisata mengalami kebuntuan karena terbatasnya metodologi yang
bisa digunakan untuk penelitian pariwisata sehingga banyak digunakan pendekatan penelitian
tradisional. Penelitian tradisional biasanya melakukan studi survey lapangan, diary perjalanan,
interview baik terstruktur maupun tidak terstruktur, dan mengobservasi tingkat partisipasi (Volo,
2010). Namun saat ini kita mestinya bergerak ke arah penelitian yang berbasis metode sampling
dan cara kerja memori.
Namun hal ini bukan berarti tanpa tantangan karena analisis terhadap memori biasanya
merupakan ekspresi yang cepat. Biasanya, ada batasan generalisasi ketika ingatan partisipan
dibentuk oleh lingkungan sosial dan arahan. Selain itu analisis ingatan harus didukung oleh waktu
yang banyak dan komitmen yang kuat baik dari peneliti maupun dari responden karena analisis
memori memerlukan waktu yang panjang mulai dari analisis memori sebelum kunjungan, ketika
kunjungan dan sesudah kunjungan.
Kepedulian dan Ketidakpedulian
Konsep ketidakpedulian (midlesness) adalah salah satu obyek utama dalam teori kognisi sosial
yang telah diaplikasikan dalam penelitian pariwisata (Moscardo & Pearce 1986). Ketidakpedulian
merupakan sebuah cara berfikir yang berdasarkan pada informasi tanpa dilengkapi dengan
kesadaran terhadap tindakan alternatif yang harus dilakukan terkait dengan informasi (Langer,
Hatem, Joss & Howell, 1989). Jika seorang individu tidak paham maka ia akan berperilaku sesuai
dengan apa yang ia dapatkan di masa lalu tentang informasi yang baru dari pada saat informasi
4
#4 Best Paper
Lomba Karya Tulis Pariwisata (2012)
Sekolah Pasca Sarjana UGM dan PT. Taman Wisata Candi Prambanan Ratu Boko dan Borobudur
sekarang ada. Oleh karenanya seorang yang cuek cenderung tidak perduli dengan situasi yang
ada disekitarnya sebagai sebuah sumber informasi yang baru. Kebalikan dari cuek adalah peduli,
yaitu ketika seseorang mendapatkan informasi yang baru kemudian menyusun perbedaan,
memeriksa informasi dari perspectiv yang baru dan lebih sensitif terhadap konteks yang
dipasang dalam informasi baru. Seseorang yang peduli menjalankan fungsi novelty, terkejut atau
lainnya dan memberikan kekuatan pribadi untuk menjalankan kebiasaannya khususnya dalam
situasi dimana mereka merasa bahwa mereka memiliki kesempatan untuk belajar, mengontrol
dan bahkan mempengaruhi (Langer& Piper, 1988).
Dalam studi tentang pariwisata banyak peneliti yang menyarankan menggunakan tingkat
kepedulian sebagai alat untuk mengelola pengalaman wisatawan di destinasi. Contohnya,
sebuah emosi kepedulian yang pernah ada di tulisa oleh Moscardo (1988) yang mengobservasi
bahwa seseorang akan bertahan lebih lama di dalam ruang pameran apabila mereka memiliki
keterikatan emosi terhadap obyek yang didisplay. Selain itu seseorang yang peduli berasosiasi
dengan pembelajaran yang lebih besar dan kepuasan yang lebih besar dalam kegiatan rekreasi.
Misalnya seorang wisatawan akan lebih merasa puas terhadap pengalaman mendidik jika
mereka dipaparkan pada informasi (Moscardo, 1999). Oleh karena itu maka seluruh objek yang
memberikan sumber informasi kepada pengunjung/wisatawan misalnya: tanda, brosur, displai
dan pamlet haruslah di siapkan sesuai dengan situasi yang terintegrasi. Hal ini penting untuk
meng‐induce pengalaman kepedulian (Langer & Moldoveanu, 2000). Jika situasi lingkungan tidak
menyediakan pengalaman tentang kepedulian, maka kemungkinan besar pengunjung tidak
terikat pada lokasi dan merasa tidak perlu melakukan sesuatu terhadap destinasi yang dituju
(Langer, 1989).
Memory Formation and Retention (Pembentukan memori dan penekanan kembali)
Autobiografi memori didefinsikan sebagai pengalaman mengoleksi kembali dari kehidupannya
sendiri (Piolino, Desgranges, Benali & Eutache, 2002). Terdapat perbedaan yang kuat antara
klasifikasi umum, episode memori dan biografi dari memori. Autobiografi memory
mempertimbangkan sebuah spesialisasi subset dari episode memori tergantung jumlah referensi
personal yang terlibat. Oleh karena itu, episode memori dapat memiliki proporsi yang besar dari
keikutsertaan hal lainnya, ingatan autobiografi khususnya konsen terhadap pengetahuan diri di
masa lalu (Baumgartner, Sujan & Bettman, 1992).
Autobiografi memori telah banyak diteliti dalam beberapa fungsi area misalnya dalam psikologi
seperti kognitif, sosial, pengembangan dan neuro psikologi. Salah satu dari model yang penting
dideskripsikan dalam fitur memori autobiografi di sarankan oleh Conway dan Pleydell‐Pearce
(2000). Dalam model ini ingatan autobiografi terdiri atas tiga komponen pokok; periode lifetime,
event umum dan pengetahuan even spesifik. Periode hidup membentuk dasar dari waktu
dengan mengidentifikasi permulaan dan akhir dari periode dari pada discrete. Sebagai contoh,
seseorang mungkin akan merefleksikan ingatan seperti ini “ketika saya berumur lima tahun” atau
“saat saya berada di Indonesia”. Kejadian yang umum memberikan kesan baik sekali ataupun
berulang kali. Hal ini akan membetuk sebuah cerita singkat dari kegiatan, biasanya satu cerita
bisa membuat seseorang teringat pada cerita lainnya yang memiliki tema bersentuhan.
PEMBAHASAN
Ketika memahami kegiatan pariwisata kita mestinya tidak hanya melihat ketika pariwisata
berlangsung. Melainkan kita perlu melihat bahwa sebenarnya kegiatan pariwisata menyangkut
dimensi sebelum kegiatan, selama kegiatan dan sesudah kegiatan. Kelihatannya dimensi dimensi
tersebut memang di luar jangkauan dari industri pariwisata, namun perencana pariwisata masih
dapat membangun sebuah kebijakan destinasi yang didesain untuk mendapatkan hasil yang
diharapkan.
5
#4 Best Paper
Lomba Karya Tulis Pariwisata (2012)
Sekolah Pasca Sarjana UGM dan PT. Taman Wisata Candi Prambanan Ratu Boko dan Borobudur
Pariwisata bermuara kenangan indah
Kegiatan pariwisata yang bermuara pada kenangan indah harus direncanakan dengan
komprehensif process, yaitu dimulai dari sebelum berwisata, ketika berwisata dan sesudah
berwisata. Pertama sebelum berwisata, perencana pariwisata DIY perlu mengelola sebuah basis
perencanaan dimulai dari sebelum kegiatan pariwisata itu berlangsung dengan memahami apa
sebenarnya yang diperlukan oleh wisatawan. Misalnya, sebelum berangkat diperlukan semacam
survey awal untuk mengetahui apa ekspektasi yang ingin dicapai oleh wisatawan. Seorang
perencana pariwisata dapat mempengaruhi emosi yang dirasakan oleh wisatawan selama
berwisata dan juga pengaruh dari emosi tersebut terhadap kualtias pengalaman. Perencana
dapat menggunakan promosi “branding” untuk menyampaikan janji dari tipe pengalaman yang
tak terlupakan yang ditawarkan oleh destinasi. Hal ini akan membantu calon wisatawan untuk
menyusun ekspektasi mereka sehingga pengalaman berwisata menjadi mungkin lebih tak
terlupakan.
Kedua adalah saat berwisata. Nah, dalam pariwisata fungsi cerita yang dibentuk oleh
seorangtour guide akan membentuk sebuah bangunan/struktur cerita yang memberikan
keutuhan autobiografi dari seseorang. Bentuk dari ingatan autobiografi biasanya melalui proses
yang berbeda yang dipengaruhi oleh latar belakang demografi dari tiap orang. Pillemer, Wink,
DiDonato dan Sanborn (2003) meneliti dan menyimpulkan bahwa perempuan cenderung mampu
mengingat episode hidup yang lebih spesifik dan detail daripada laki laki. Dalam tataran usia
(Hamond dan Fivush, 1991) melakukan riset membandingkan antara anak anak dan dewasa yang
mengunjungi disneyland. Hasilnya adalah anak anak lebih banyak menyerap pengalaman dari
pada dewasa. Kemudian dari sisi lifesyle, Falk dan Dierking (1990) meneliti bahwa remaja
biasanya mengingat perjalanan dari dimensi sosial misalnya pergi bersama siapa, apa yang
mereka lakukan bersama, sebagai aspek yang tak terlupakan dalam perjalanan wisata.
Ketiga adalah sesudah berwisata. Perencana pariwisata perlu didorong untuk menyiapkan
destinasi seperti harapan wisatawan. Saat ini wisatawan selalu berburu kejutan di destinasi
wisata yang mereka kunjungi. Sebuah kejutan akan memberikan kenangan pada tiap
pengalaman berwisata. Praktisi industri mungkin dapat menyampaikannya adanya kejutan
kejutan tersebut baik di dalam brosur maupun di luar brosur secara lisan. Untuk meningkatkan
memori seorang perencana harus mempromosikan kekuatan kenangan pada setiap saat pada
destinasi yang dikelola, sebagaimana mengajak wisatawan berfikir bahwa Yogyakarta adalah
destinasi yang harus dikunjungi. Kenangan ini akan menarik wisatawan untuk membeli barang
barang kenangan seperti souvenir atau hadiah. Secara psikologis, pembelian barang barang
souvenir ini akan meningkatkan ingatan memori terhadap destinasi. Selain itu foto dan video
juga menjadi salah satu pengingat memori.
Tujuan dari hal tersebut adalah untuk mengumpulkan dan mengkompilasi ingatan melalui
pengalaman sehingga wisatawan dapat membangun ingatan secara utuh untuk disampaikan
pada keluarga dan teman temannya. Singkatnya aspek pengalaman dan memori yang tak
terlupakan perlu di tangkap oleh praktisi wisata dengan memfokuskan pada proses belanja di
akhir kegiatan wisata. Melalui teknik branding dan pemasaran yang efektif, perencana pariwisata
dapat mengirim semacam kartupos baik online maupun langsung yang diupdate secara rutin
untuk mengulang ulang memori yang ada pada wisatawan. Bahkan akan lebih baik jika
wisatawan diberikan tempat untuk menulis ekspresi mereka terhadap pengalaman berwisata di
tempat tersebut.
Perencana pariwisata Jogjakarta dituntut untuk mampu menawarkan beberapa extra
mileskepada wisatawan atau calon wisatawan. Diantaranya adalah, pertama
bangunlah image danbranding yang menarik. Image dan branding perlu dibangun di awal sebuah
6
#4 Best Paper
Lomba Karya Tulis Pariwisata (2012)
Sekolah Pasca Sarjana UGM dan PT. Taman Wisata Candi Prambanan Ratu Boko dan Borobudur
perencanaan kegiatan pariwisata. Hal ini bukanlah sekedar tugas dari pemerintah, namun juga
pengelola sebuah destinasi. Konsistensi dari apa yang ditawarkan dan apa yang ada di lapangan
harus tetap dijaga. Usahakan jangan ada bias yang terlalu besar dari branding yang dibangun dan
apa yang dirasakan oleh wisatawan. Karena wisatawan itu mampu menilai, dengan penilaian
yang sangat sensitive. Mereka punya banyak pilihan untuk berwisata dan Jogjakarta bukan satu
satunya pilihan. Sehingga menjaga konsistensi antara brand yang dibangun dan apa yang
disajikan menjadi sangat penting.
Kedua adakan story telling secara naratif yang komunikatif dengan wisatawan. Seorang
wisatawan memiliki subjektivitas kepuasan yang berbeda. Namun pada dasarnya mereka
memiliki kebutuhan yang sama terhadap informasi yang benar terhadap sebuah destinasi wisata.
Untuk itu pengelola harus mampu memenuhi kebutuhan akan informasi ini. Informasi dapat
disajikan melalui website, brosur, spanduk, leaflet maupun buku. Informasi akan membangun
sebuah pemahaman akan kesan di tiap tiap kepala yang datang di destinasi. Bangunan yang utuh
akan lebih baik dari pada bangunan informasi yang setengah setengah. Untuk itu detail dari
sebuah informasi harus disajikan. Persoalan apakah informasi tersebut akan dibaca atau tidak hal
tersebut adalah sesuai dengan level kebutuhan dari setiap wisatawan. Namun, tugas dari
seorang perencana adalah membuat informasi tersebut lengkap dan mudah untuk diakses.
Ketiga, wisatawan diberikan ruang untuk menuliskan kesan terhadap destinasi baik secara
manual maupun virtual. Wisatawan perlu diajak untuk melakukan sesuatu aksi nyata di daerah
wisata. Ketika seorang wisatawan diberikan value (nilai) dalam setiap kedatangannya maka ia
akan terkenang dan akan menyebarkan value tersebut ke tempat asalnya nanti. Misalnya: ketika
wisatawan mendatangi Kawasan Lereng Merapi yang merupakan bekas bencana gunung
meletus, maka ajak wisatawan untuk menanam pohon perindang sebagai bagian dari
kontribusinya untuk masyarakat. Apa yang mereka lakukan selain memiliki nilai sosial juga akan
membuat wisatawan memiliki ikatan terhadap destinasi yang dikunjungi.
Keempat, wisatawan diajak untuk memiliki barang kenangan atau souvenir. Pengelola pariwisata
dituntut lebik aktif dalam menyasar kunjungan ulang dapat pula dengan menyampaikan bahwa
“kunjungan berikutnya tidak akan sama indahnya dengan kunjungan yang pertama, karena akan
lebih indah. DMO mestinya terus meningkatkan promosi destinasi dengan menawarkan
pengalaman baru bagi wisatawan. Pembelian barang kenangan dan souvenir akan memberikan
sebentuk fisik barang untuk dikenang. Hal ini akan menjadi ‘clue’ bagi memori seorang
wisatawan terhadap suatu tempat dan suatu waktu.
KESIMPULAN
Melalui uraian tentang pentingnya memberikan penajaman terhadap pariwisata yang tak
terlupakan, penulis menyimpulkan sebagai berikut:
• Perencana pariwisata Jogjakarta perlu merubah paradigm dari jumlah kunjunga wisata
yang tinggi menjadi kunjunga wisata yang berkualitas yaitu yang tak terlupakan.
• Pariwisata yang tak terlupakan dapat diukur menggunakan pertimbangan kepuasan
wisatawan. Sehingga perencana perlu menetapkan kebijakan untuk mengurangi resiko
resiko berkurangnya kepuasan wisatawan.
• Perencana pariwisata Jogjakarta dituntut untuk mampu menawarkan beberapa extra
miles kepada wisatawan atau calon wisatawan. Diantaranya adalah, pertama bangunlah
image dan branding yang menarik. Kedua adakan story telling secara naratif yang
komunikatif dengan wisatawan dan preventif. Ketiga, wisatawan diberikan ruang untuk
menuliskan kesan terhadap destinasi baik secara manual maupun virtual. Wisatawan
perlu diajak untuk melakukan sesuatu aksi nyata di daerah wisata. Keempat, wisatawan
diajak untuk memiliki barang kenangan atau souvenir. Pengelola pariwisata dituntut
lebik aktif dalam menyasar kunjungan ulang dapat pula dengan menyampaikan bahwa
7
#4 Best Paper
Lomba Karya Tulis Pariwisata (2012)
Sekolah Pasca Sarjana UGM dan PT. Taman Wisata Candi Prambanan Ratu Boko dan Borobudur
“kunjungan berikutnya tidak akan sama indahnya dengan kunjungan yang pertama,
karena akan lebih indah.
DAFTAR PUSTAKA
Arnould, E., & Price, L. (1993). River magic: Extraordinary experience and the extended service
encounter. Journal of Consumer Research, 20(1), 24–45.
Baumgartner, H., Sujan, M., & Bettman, J. (1992). Autobiographical memories: Affect and
consumer information processing. Journal of Consumer Psychology, 1(1), 53–82
Cary, S. H. (2004). The tourist moment. Annals of Tourism Research, 31(1), 61–77.
Conway, M., & Pleydell‐Pearce, C. (2000). The construction of autobiographical memories in the
self‐memory system. Psychological Review, 107(2), 261–288.
Desforges, L. (2000). Travelling the world: Identity and world biography. Annals of Tourism
Research, 27(4), 926–945.
Falk, J., & Dierking, L. (1990). The relationship between visitation frequency and long‐term
recollection. In S. Bitgood, A. Benefield, & D. Patterson (Eds.), Visitor studies: Theory,
research and practice (pp. 17–22). Jacksonville, AL: Center for Social Design.
Gunter, B. G. (1987). The leisure experience. Selected properties. Journal of LeisureResearch,
19(2), 115–130.
Hamond, N., & Fivush, R. (1991). Memories of Mickey Mouse: Young children recount their trip
to Disneyworld. Cognitive Development, 6(4), 433–448.
Langer, E. J., & Piper, A. (1988). Television from a mindful/mindless perspective.Applied Social
Psychology Annual, 8, 247–260.
Langer, E. J., Hatem, M., Joss, J., & Howell, M. (1989). Conditional teaching and mindful learning:
The role of uncertainty in education. Creativity Research Journal, 2, 139–150.
McGregor, I., & Holmes, J. G. (1999). How storytelling shapes memory and impression of
relationship events over time. Journal of Personality and Social Psychology, 76(3), 403–419.
Moscardo, G. M., & Pearce, P. L. (1986). Visitor centres and environmental interpretation.
Journal of Environmental Psychology, 6, 89–108.
Moscardo, G. M. (1988). Visitor studies at the Gallipoli and Sinai galleries, Australian War
Memorial. Townsville: Department of Behavioural Sciences, James Cook University.
Moscardo, G. M. (1999). Making visitors mindful: Principles for creating sustainable visitor
experiences through effective communication. Champaign, IL: Sagamore. Langer, E. J., &
Moldoveanu, M. (2000). The construct of mindfulness. Journal of Social Issues, 56(1), 1–9.
Moscardo, G. M. (2010). The shaping of tourist experience. The importance of stories and
themes. In M. Morgan, P. Lugosi, & J. R. B. Ritchie (Eds.), The tourism and leisure
experience. Consumer and managerial perspectives (pp. 43–58). Bristol, UK: Channel View
Publications.
Noe, F. P. (1987). Measurement specification and leisure satisfaction. Leisure Sciences, 9(3), 163–
172.
Obenour, W., Pattenson, M., Pedersen, P., & Pearson, L. (2006). Conceptualization of a meaning
based research approach for tourism service experiences. Tourism Management, 27, 34–41.
Otto, J., & Richie, J. (1995). Exploring the quality of the service experience. A theoretical and
empirical analysis. Advances in Services Marketing and Management, 4, 37–61.
Pearce, P. L. (2005). Tourist behaviour: Themes and conceptual schemes. Clevedon: Channel
View Publications.
Pillemer, D., Wink, P., DiDonato, T., & Sanborn, R. (2003). Gender differences in autobiographical
memory styles of older adults. Memory, 11(6), 525–532.
Pine, J., & Gilmore, J. H. (1998). Welcome to the experience economy. Harvard Business Review,
97–107.
Piolino, P., Desgranges, B., Benali, K., & Eustache, F. (2002). Episodic and semantic remote
autobiographical memory in ageing. Memory, 10(4), 239–257. Baumgartner, H., Sujan, M.,
8
#4 Best Paper
Lomba Karya Tulis Pariwisata (2012)
Sekolah Pasca Sarjana UGM dan PT. Taman Wisata Candi Prambanan Ratu Boko dan Borobudur
& Bettman, J. (1992). Autobiographical memories: Affect and consumer information
processing. Journal of Consumer Psychology, 1(1), 53–82.
Ritchie, J. R. B., & Crouch, G. (2003). The competitive destination: A sustainable tourism
perspective. Cambridge, MA: CABI Publishing.
Ryan, C. (1997). The tourist experience. A new introduction. London: Cassell.
Schank, R. C. (1999). Dynamic memory revisited. Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Volo, S. (2010). Bloggers’ reported tourist experiences: Their utility as a tourism data source and
their effect on prospective tourists. Journal of Vacation Marketing, 16(4), 297–311.
Woodside, A., Caldwell, M., & Albers‐Miller, N. (2004). Broadening the study of tourism:
Introduction to the special issue on the consumer psychology of travel/tourism behavior.
Journal of Travel and Tourism Marketing, 17(1), 1–7.
Woodside, A. (2010). Brand‐consumer storytelling theory and research: Introduction to a
psychology & marketing special issue. Psychology & Marketing, 27(6), 531–540.
9