MAKNA PARIWISATA YANG TAK TERLUPAKAN SEB

#4 Best Paper
Lomba Karya Tulis Pariwisata (2012)
Sekolah Pasca Sarjana UGM dan PT. Taman Wisata Candi Prambanan Ratu Boko dan Borobudur

 
Tema 
“PENINGKATAN KUNJUNGAN WISATAWAN MANCANEGARA DAN NUSANTARA KE DIY” 

Makna “Pariwisata Yang Tak Terlupakan” Sebagai Strategi 
Mendatangkan Wisatawan Ke Jogjakarta 
Oleh: Erda Rindrasih 
ABSTRAK.  
Pengalaman  berwisata  telah  menjadi vocal  point dalam  berbagai  penelitian  pariwisata  dan 
manajemen. Ketika para akademisi sibuk menghitung jumlah kunjungan wisatawan dan mencari 
cara  supaya  memperbanyak  jumlah  kunjungan  wisatawan,  tulisan  ini  mengupas  tentang 
bagaimana  supaya  wisatawan  memiliki  pengalaman  berwisata  yang  tak  terlupakan,  spesial, 
spektakuler,  pas,  dan  selalu  terkenang.  Tentu  saja  hal  ini  akan  membuat  mereka  bercerita 
kepada orang lain pengalaman mereka yang tak terlupakan tersebut. Tulisan ini didasarkan pada 
penelusuran  kepustakaan,  catatan  pribadi,  kliping  dan  hasil  interview  dengan  respondent  yang 
terbatas. 
Kata Kunci: tak terlupakan, pengalaman, pariwisata, intimasi 

 
 
PENDAHULUAN 
 
Pariwisata  telah  diakui  secara  internasional  sebagai  sektor  penting  dalam  ekonomi,  sosial  dan 
politik  sebuah  bangsa.  Keberhasilan  sektor  pariwisata  kerap  kali  diukur  dari  jumlah  kunjungan 
wisatawan, lama tinggal wisatawan dan biaya yang dibelanjakan selama mengunjungi destinasi. 
Sehingga perencanaan pariwisata selama ini beramai ramai menyoroti tentang target target yang 
bersifat material dan terukur dengan nominal. Hal ini digunakan untuk memenuhi kepentingan 
ekonomi maupun sosial. 
 
Tinjauan  tentang  aspek  kualitas  pelayanan  pariwisata  masih  terbatas.  Berbagai  perencanaan 
tentang  pariwisata  selalu  diarahkan  untuk  memberikan  dampak  yang  positif  bagi  lingkungan, 
sosial  dan  ekonomi.  Namun  kadang  kala  kita  lupa  tentang  dampak  bagi  wisatawan  yang 
mengunjungi  destinasi  wisata  itu  sendiri.  Penelitian  tentang  destinasi,  tentang  pasar,  tentang 
industri dan segala elemen pariwisata telah banyak dihasilkan oleh ahli ahli pariwisata di Negara 
ini.  Namun,  Indonesia  masih  tertinggal  dalam  pengembangan  pariwisata  dibandingkan  dengan 
negara  tetangga.  Peneliti,  praktisi,  pemerintah  biasanya  menjelaskan  ketertinggalan 
kepariwisataan  Indonesia  disebabkan  oleh  buruknya  manajemen  destinasi,  rendahnya  kualitas 
pemasaran dan promosi, dukungan infrastruktur dan fasilitas yang miskin, kurangnya dukungan 

dari pemerintah lokal atau masyarakat. Sehingga tinjauan tentang kualitas pelayanan itu sendiri 
masih terbatas. 
 
Indonesia mampu menyusun tujuh resep ampuh dalam pengembangan pariwisata yang disebut 
dengan Sapta Pesona. Sapta Pesona terdiri atas aman, tertib, bersih, sejuk, indah, ramah tamah 
dan  kenangan.  Point  Sapta  Pesona  dari  satu  sampai  empat  merupakan  hasil  pengejawantahan 
indikator fisik destinasi. Namun point lima dan enam (ramah tamah dan kenangan) merupakah 
dua  dari  tujuh  pesona  yang  belum  banyak  dibahas  oleh  para  ahli  dan  perencana  pariwisata. 
Padahal kedua point tersebut sama penting dan bahkan menjadi point terpenting sebagai alasan 
wisatawan kembali ke destinasi. 

 



#4 Best Paper
Lomba Karya Tulis Pariwisata (2012)
Sekolah Pasca Sarjana UGM dan PT. Taman Wisata Candi Prambanan Ratu Boko dan Borobudur

 

Yogyakarta  sebagai  salah  satu  destinasi  penting  di  Indonesia  harus  mampu  mengambil  peran 
menjadi  destinasi  yang  tak  terlupakan  bagi  wisatawan.  Berdasarkan  uraian  dari  Badan  Statistik 
(2012) menunjukkan bahwa Tingkat Penghunian Kamar (TPK) hotel bintang di Provinsi DIY secara 
rata rata bulan Oktober 2012 sebesar 62,43 persen. Rata rata lama menginap wisatawan di hotel 
bintang  di  Provinsi  DIY  pada  bulan  Oktober  2012  sebesar  1,79  malam  atau  mengalami 
peningkatan  0,04  malam  dari  rata  rata  lama  menginap  bulan  sebelumnya.  Fakta  ini  dapat 
dikategorikan rendah dibandingkan dengan rata rata lama tinggal wisatawan di Indonesia yaitu 
2,8 hari. Dimana sebagai perbandingan rata rata lama tinggal tertinggi di dunia adalah India yaitu 
31,2 hari . 
 
Tulisan  singkat  ini  bermaksud  untuk  mengulas  dengan  pendekatan  essay  bebas  tentang 
bagaimana membuat wisatawan merasa nyaman di suatu tempat wisata, dan memiliki kenangan 
untuk kembali dan membawa serta keluarga dan handai tolannya ke Indonesia pada umumnya 
dan  Jogjakarta  pada  khususnya.  Bagaimana  menemukan  cara  supaya  wisatawan  lebih  betah 
berlama  lama  di  sebuah  obyek  wisata.  Untuk  memenuhi  data  data  dan  analisis  penulis 
melakukan  penelusuran  kepustakaan,  koran,  catatan  pengalaman  pribadi  selama  mengunjungi 
negara negara lain dan hasil wawancara tak terstruktur dengan wisatawan asing yang datang ke 
Jogjakarta. 
 
TINJAUAN PUSTAKA 

 
Pengalaman  pariwisata  di  artikan  bermacam  macam  oleh  para  ahli  pariwisata.  Ritchie  (2011) 
menuliskan  bahwa  pengalaman  berwisata  adalah  evaluasi  subjektif  dari  individu  terhadap 
kejadian yang berhubungan dengan kegiatan pariwisata pada dirinya mulai dari persiapan untuk 
bepergian,  selama  ada  didestinasi  dan  setelah  selesai  perjalanan.  Oleh  karena  itu  maka 
perencana  pariwisata  mestinya  memfasilitasi  pengembangan  sebuah  lingkungan  dari  destinasi 
yang  meningkatkan  daya  pikat  terhadap  turis  untuk  membuat  pengalaman  berwisata  yang  tak 
terlupakan dalam arti positif. 
 
Merencanakan  sebuah  destinasi  dengan  daya  pikat  yang  tinggi  untuk  wisatawan  merupakan 
pekerjaan  yang  rumit.  Seorang  manager  atau  pengelola  destinasi  tidak  dapat  sepenuhnya 
memberikan pengalaman berwisata yang tak terlupakan bagi wisatawan secara langsung. Hal ini 
karena setiap pengalaman itu unik dan sangat subjektif meskipun seorang perencana pariwisata 
telah  berusaha  memberikan  pelayanan  yang  baik,  event  yang  menarik  dan  beragam  aktivitas. 
Lalu  bagaimana  cara  untuk  memberikan  pengalaman  yang  tak  terlupakan  tersebut? 
Kegiatan  wisata  yang  tak  terlupakan  memiliki  keterkaitan  erat  dengan  ilmu  psikologi  dan 
antropologi. Oleh karena itu dalam tinjauan pustaka ini, kita perlu menyimak beberapa pendapat 
dari  para  pakar  pariwisata  berbasis  psikologi  dan  antropologi  tentang  maksud  dan  makna 
pariwisata  yang  tak  terlupakan (Memorable  Experiences  in  hospitality  and  tourism).  Gunter 
(1978)  mengidentifikasi  ragam  terminologi  untuk  membahas  tentang  pengalaman  berwisata 

berdasarkan  tingkat  mudah  diingat  atau  tidak  diingat.  Selain  itu  Woodside  Caldwell,  &  Albers‐
Miller,  2004  pernah  melakukan  penelitian  tentang  kesan  yang  positif  terhadap  sebuah  obyek 
wisata  merupakan  alasan  utama  wisatawan  kembali  mengunjungi  destinasi  dan 
melakukan gethok  tular terhadap  orang  lain.  Selaras  dengan  pendapat  sebelumnya,  Ritchie  & 
Crouch,  2003  melihat  dari  sisi  manajerial,  pengelola  destinasi  yang  baik  adalah  ketika  mereka 
mempertimbangkan  aspek  kenangan  yang  tak  terlupakan  tersebut  dalam  perencanaan 
pariwisata.  Inilah  yang  menjadi  keunggulan  bagi  sebuah  destinasi  dibandingkan  destinasi  yang 
lain. 
 
 
 
 

 



#4 Best Paper
Lomba Karya Tulis Pariwisata (2012)
Sekolah Pasca Sarjana UGM dan PT. Taman Wisata Candi Prambanan Ratu Boko dan Borobudur


 
Pengalaman yang memuaskan 
 
Pengalaman yang memuaskan dapat dimaknai sebagai harmonisasi dari kebutuhan dan keadaan, 
sedangkan ketidakpuasan diartikan sebagai jarak antara harapan dan pengalaman (Ryan, 1997). 
Oleh  karena  itu  seorang  perencana  pariwisata  mestinya  dapat  menggunakan  pertimbangan 
kepuasan wisatawan. Sehingga perencana perlu menetapkan kebijakan untuk mengurangi resiko 
resiko berkurangnya kepuasan wisatawan. Kendati demikian, perencana pariwisata kadang kala 
mengalami  kesulitan  dalam  mengimplementasikan  kebijakan  pengurangan  ketidakpuasan 
wisatawan.  Hal  ini  terjadi  karena  begitu  rumitnya  memahami  kepuasan  wisatawan.  Jika  Noe 
(1987)  menganalisis  bahwa  ekspresi  dari  wisatawan  misalnya:  tertawa  bahagia  merupakan 
indikator kepuasan wisatawan namun Pearce (2005) mengatakan bahwa kepuasaan merupakan 
sebuah atitude dimana menyangkut affective, cognitive dan elemen kebiasaan. Oleh karenanya 
setiap  orang  memiliki  indikator  yang  berbeda  untuk  menunjukkan  kepuasan.  Otto  &  Richie, 
(1995)  memberikan  pendapat  bahwa  kepuasan  sebuah  pelayanan  pariwisata  merupakan  level 
dari  subjektivitas,  emosional  dan  respon  dari  pelayanan  yang  diberikan.  Jadi  sungguh  rumit 
memahami kepuasan wisatawan. Hasil penelitian yang lebih mendekati adalah dari Arnould dan 
Price (1993) yang meneliti tentang pengalaman melakukan rafting, menuliskan bahwa wisatawan 
menyebutkan tiga dimensi kepuasannya yaitu; hubungan dengan alam, interaksi dengan teman, 

keluarga atau orang baru, dan pengembangan diri. 
 

 
Gambar 1. Wisatawan belajar berselancar 
Mengelola Pengalaman yang tak terlupakan 
 
Dari sisi manajerial Pine dan Gilmore (1998) merubah arah target sebuah paradigma manajemen 
yaitu  dari  manajemen  yang  menekankan  pada  pelayanan  ke  arah  arah  manajemen  yang 
membangun pengalaman. Hal ini didorong oleh kesadaran bahwa pengalaman adalah subjective 
yang  hanya  dialami  oleh  perorangan  yang  melibatkan  emosional,  interaksi  fisik,  spiritual  dan 
level  intelektual.  Ia  mendefinisikan  empat  domain  dari  pengalaman  yaitu  hiburan,  pendidikan, 
estetika  dan  petualangan.  Pine  dan  Gilmore  (1998)  menuliskan  bahwa  pengalaman  seorang 
petualang  (escapist)  melibatkan  perasaan  dari  costumer  baik  partisipasi  aktif 
maupunimmersion ada  dalam  konsep  alur  pengalaman  yang  dituliskan  oleh  Cary’s  (2004) 
tentang  serendipiti  memiliki  sedikit  atau  tidak  ada  dampak  dari  pengalaman  mereka 
sebagaimana seorang wisatawan yang melihat Grand Canyon dari atas jurang, seorang escapist 
akan  mentransformasikan  ke  dalam  pengalaman  estetik  (Pine  dan  Gilmore,  1998). 
Pine  dan  Gilmore  (1998)  menyusun  lima  point  dimana  mereka  menyebutnya  dengan  sebuah 
prinsip  desain  pengalaman  yaitu  terdiri  atas;  tema  dari  pengalaman,  impresi  harmonis  dengan 

kesan positif, mengurangi kesan negatif, penggabungan dalam ingatan dengan melibatkan lima 

 



#4 Best Paper
Lomba Karya Tulis Pariwisata (2012)
Sekolah Pasca Sarjana UGM dan PT. Taman Wisata Candi Prambanan Ratu Boko dan Borobudur

indra. Pendapat mereka banyak digunakan oleh para peneliti pariwisata di berbagai negara yang 
telah maju pariwisatanya. 
 
Ingatan dan Pengalaman 
 
Selanjutnya kita akan mencoba memahami hubungan antara ingatan dan pengalaman. Biasanya 
interpretasi  dari  pengalaman  adalah  melalui  konsep  naratif.  Naratif  didefinisikan  sebagai 
pengetahuan struktur yang terdiri atas urutan tematik dan sementara yang berhubungan dengan 
kejadian  peristiwa.  Pengalaman  kemudian  disampaikan  dalam story‐telling yang  kemudian 
menjadi populer untuk menganalisis ingatan dan pengalaman dari wisatawan (Woodside, 2010). 

Schank  (1999)  menyebutkan  bahwa  ingatan  manusia  berpola  dasar  seperti  naskah,  dan  tiap 
individu  biasanya  menggunakan  interpretasinya  sendiri  berdasarkan  pengalaman  menjadi 
sebuah  cerita.  Di  dalam  literatur  pariwisata, storytellingtelah  digunakan  untuk  menganalisis 
cerita  dan  tema  di  dalam  setting  interpretative  (Moscardo,  2010).  Contohnya  peneliti  biasanya 
meminta  partisipan  untuk  menyebut  tipe  spesifik  dari  pengalaman  misalnya,  backpaking  untuk 
mengetahui  dampak  perjalanannya  terhadap  identitas  dirinya  (Desforger,  2000),  atau  dalam 
fungsi dari pengembangan pariwisata seperti kualitas pelayanan (Obenour, Patternson, Pederson 
& Pearce, 2006). 
 
Pentingnya  storytelling  di  dalam  memahami  pengalaman  berwisata  dapat  dipengaruhi  oleh 
beberapa  faktor.  Berdasarkan  pada  Moscardo  (2010),  wisatawan  membuat  cerita  selama 
perjalanan  mereka.  Kemudian  cerita  disampaikan  oleh  mereka  menjadi  efek  dari  keseluruhan 
brand destinasi. Oleh karena itu menajemen destinasi harus didukung oleh desain dan kreasi dari 
konsistensi  antara  pengalaman  dari  apa  yang  didengar  dengan  tema  destinasi  (Pine  &Gilmore, 
1998). Kemudian, storytelling tersebut membentuk ingatan impresi terhadap kejadian sepanjang 
masa  (McGregor  &  Holmes,  1999).  Cerita  biasanya  akan  tersimpan  di  dalam  ingatan  dan 
kapanpun dapat dibuka ketika terdapat klue baik dari individual yang terlibat dalam pengalaman 
tersebut maupun lokasi yang dikunjungi. 
 
Cara Kerja Ingatan 

 
Sejak 1980an, penelitian pariwisata mengalami kebuntuan karena terbatasnya metodologi yang 
bisa  digunakan  untuk  penelitian  pariwisata  sehingga  banyak  digunakan  pendekatan  penelitian 
tradisional.  Penelitian  tradisional  biasanya  melakukan  studi  survey  lapangan,  diary  perjalanan, 
interview baik terstruktur maupun tidak terstruktur, dan mengobservasi tingkat partisipasi (Volo, 
2010). Namun saat ini kita mestinya bergerak ke arah penelitian yang berbasis metode sampling 
dan cara kerja memori. 
 
Namun  hal  ini  bukan  berarti  tanpa  tantangan  karena  analisis  terhadap  memori  biasanya 
merupakan  ekspresi  yang  cepat.  Biasanya,  ada  batasan  generalisasi  ketika  ingatan  partisipan 
dibentuk oleh lingkungan sosial dan arahan. Selain itu analisis ingatan harus didukung oleh waktu 
yang banyak dan komitmen yang kuat baik dari peneliti maupun dari responden karena analisis 
memori memerlukan waktu yang panjang mulai dari analisis memori sebelum kunjungan, ketika 
kunjungan dan sesudah kunjungan. 
 
Kepedulian dan Ketidakpedulian 
 
Konsep  ketidakpedulian  (midlesness)  adalah  salah  satu  obyek  utama  dalam  teori  kognisi  sosial 
yang telah diaplikasikan dalam penelitian pariwisata (Moscardo & Pearce 1986). Ketidakpedulian 
merupakan  sebuah  cara  berfikir  yang  berdasarkan  pada  informasi  tanpa  dilengkapi  dengan 

kesadaran  terhadap  tindakan  alternatif  yang  harus  dilakukan  terkait  dengan  informasi  (Langer, 
Hatem, Joss & Howell, 1989). Jika seorang individu tidak paham maka ia akan berperilaku sesuai 
dengan apa yang ia dapatkan di masa lalu tentang informasi yang baru dari pada saat informasi 

 



#4 Best Paper
Lomba Karya Tulis Pariwisata (2012)
Sekolah Pasca Sarjana UGM dan PT. Taman Wisata Candi Prambanan Ratu Boko dan Borobudur

sekarang  ada.  Oleh  karenanya  seorang  yang  cuek  cenderung  tidak  perduli  dengan  situasi  yang 
ada disekitarnya sebagai sebuah sumber informasi yang baru. Kebalikan dari cuek adalah peduli, 
yaitu  ketika  seseorang  mendapatkan  informasi  yang  baru  kemudian  menyusun  perbedaan, 
memeriksa  informasi  dari  perspectiv  yang  baru  dan  lebih  sensitif  terhadap  konteks  yang 
dipasang dalam informasi baru. Seseorang yang peduli menjalankan fungsi novelty, terkejut atau 
lainnya  dan  memberikan  kekuatan  pribadi  untuk  menjalankan  kebiasaannya  khususnya  dalam 
situasi  dimana  mereka  merasa  bahwa  mereka  memiliki  kesempatan  untuk  belajar,  mengontrol 
dan bahkan mempengaruhi (Langer& Piper, 1988). 
 
Dalam  studi  tentang  pariwisata  banyak  peneliti  yang  menyarankan  menggunakan  tingkat 
kepedulian  sebagai  alat  untuk  mengelola  pengalaman  wisatawan  di  destinasi.  Contohnya, 
sebuah emosi kepedulian yang pernah ada di tulisa oleh Moscardo (1988) yang mengobservasi 
bahwa  seseorang  akan  bertahan  lebih  lama  di  dalam  ruang  pameran  apabila  mereka  memiliki 
keterikatan  emosi  terhadap  obyek  yang  didisplay.  Selain  itu  seseorang  yang  peduli  berasosiasi 
dengan pembelajaran yang lebih besar dan kepuasan yang lebih besar dalam kegiatan rekreasi. 
Misalnya  seorang  wisatawan  akan  lebih  merasa  puas  terhadap  pengalaman  mendidik  jika 
mereka dipaparkan pada informasi (Moscardo, 1999). Oleh karena itu maka seluruh objek yang 
memberikan  sumber  informasi  kepada  pengunjung/wisatawan  misalnya:  tanda,  brosur,  displai 
dan  pamlet  haruslah  di  siapkan  sesuai  dengan  situasi  yang  terintegrasi.  Hal  ini  penting  untuk 
meng‐induce pengalaman kepedulian (Langer & Moldoveanu, 2000). Jika situasi lingkungan tidak 
menyediakan  pengalaman  tentang  kepedulian,  maka  kemungkinan  besar  pengunjung  tidak 
terikat  pada  lokasi  dan  merasa  tidak  perlu  melakukan  sesuatu  terhadap  destinasi  yang  dituju 
(Langer, 1989). 
 
Memory Formation and Retention (Pembentukan memori dan penekanan kembali) 
 
Autobiografi  memori  didefinsikan  sebagai  pengalaman  mengoleksi  kembali  dari  kehidupannya 
sendiri  (Piolino,  Desgranges,  Benali  &  Eutache,  2002).  Terdapat  perbedaan  yang  kuat  antara 
klasifikasi  umum,  episode  memori  dan  biografi  dari  memori.  Autobiografi  memory 
mempertimbangkan sebuah spesialisasi subset dari episode memori tergantung jumlah referensi 
personal yang terlibat. Oleh karena itu, episode memori dapat memiliki proporsi yang besar dari 
keikutsertaan hal lainnya, ingatan autobiografi khususnya konsen terhadap pengetahuan diri di 
masa lalu (Baumgartner, Sujan & Bettman, 1992). 
 
Autobiografi memori telah banyak diteliti dalam beberapa fungsi area misalnya dalam psikologi 
seperti kognitif, sosial, pengembangan dan neuro psikologi. Salah satu dari model yang penting 
dideskripsikan  dalam  fitur  memori  autobiografi  di  sarankan  oleh  Conway  dan  Pleydell‐Pearce 
(2000). Dalam model ini ingatan autobiografi terdiri atas tiga komponen pokok; periode lifetime, 
event  umum  dan  pengetahuan  even  spesifik.  Periode  hidup  membentuk  dasar  dari  waktu 
dengan  mengidentifikasi  permulaan  dan  akhir  dari  periode  dari  pada  discrete.  Sebagai  contoh, 
seseorang mungkin akan merefleksikan ingatan seperti ini “ketika saya berumur lima tahun” atau 
“saat  saya  berada  di  Indonesia”.  Kejadian  yang  umum  memberikan  kesan  baik  sekali  ataupun 
berulang  kali.  Hal  ini  akan  membetuk  sebuah  cerita  singkat  dari  kegiatan,  biasanya  satu  cerita 
bisa membuat seseorang teringat pada cerita lainnya yang memiliki tema bersentuhan. 
 
PEMBAHASAN 
Ketika  memahami  kegiatan  pariwisata  kita  mestinya  tidak  hanya  melihat  ketika  pariwisata 
berlangsung.  Melainkan  kita  perlu  melihat  bahwa  sebenarnya  kegiatan  pariwisata  menyangkut 
dimensi sebelum kegiatan, selama kegiatan dan sesudah kegiatan. Kelihatannya dimensi dimensi 
tersebut memang di luar jangkauan dari industri pariwisata, namun perencana pariwisata masih 
dapat  membangun  sebuah  kebijakan  destinasi  yang  didesain  untuk  mendapatkan  hasil  yang 
diharapkan. 

 



#4 Best Paper
Lomba Karya Tulis Pariwisata (2012)
Sekolah Pasca Sarjana UGM dan PT. Taman Wisata Candi Prambanan Ratu Boko dan Borobudur

Pariwisata bermuara kenangan indah 
 
Kegiatan  pariwisata  yang  bermuara  pada  kenangan  indah  harus  direncanakan  dengan 
komprehensif  process,  yaitu  dimulai  dari  sebelum  berwisata,  ketika  berwisata  dan  sesudah 
berwisata. Pertama sebelum berwisata, perencana pariwisata DIY perlu mengelola sebuah basis 
perencanaan  dimulai  dari  sebelum  kegiatan  pariwisata  itu  berlangsung  dengan  memahami  apa 
sebenarnya yang diperlukan oleh wisatawan. Misalnya, sebelum berangkat diperlukan semacam 
survey  awal  untuk  mengetahui  apa  ekspektasi  yang  ingin  dicapai  oleh  wisatawan.  Seorang 
perencana  pariwisata  dapat  mempengaruhi  emosi  yang  dirasakan  oleh  wisatawan  selama 
berwisata  dan  juga  pengaruh  dari  emosi  tersebut  terhadap  kualtias  pengalaman.  Perencana 
dapat menggunakan promosi “branding” untuk menyampaikan janji dari tipe pengalaman yang 
tak  terlupakan  yang  ditawarkan  oleh  destinasi.  Hal  ini  akan  membantu  calon  wisatawan  untuk 
menyusun  ekspektasi  mereka  sehingga  pengalaman  berwisata  menjadi  mungkin  lebih  tak 
terlupakan. 
 
Kedua  adalah  saat  berwisata.  Nah,  dalam  pariwisata  fungsi  cerita  yang  dibentuk  oleh 
seorangtour  guide akan  membentuk  sebuah  bangunan/struktur  cerita  yang  memberikan 
keutuhan autobiografi dari seseorang. Bentuk dari ingatan autobiografi biasanya melalui proses 
yang  berbeda  yang  dipengaruhi  oleh  latar  belakang  demografi  dari  tiap  orang.  Pillemer,  Wink, 
DiDonato dan Sanborn (2003) meneliti dan menyimpulkan bahwa perempuan cenderung mampu 
mengingat  episode  hidup  yang  lebih  spesifik  dan  detail  daripada  laki  laki.  Dalam  tataran  usia 
(Hamond dan Fivush, 1991) melakukan riset membandingkan antara anak anak dan dewasa yang 
mengunjungi  disneyland.  Hasilnya  adalah  anak  anak  lebih  banyak  menyerap  pengalaman  dari 
pada  dewasa.  Kemudian  dari  sisi  lifesyle,  Falk  dan  Dierking  (1990)  meneliti  bahwa  remaja 
biasanya  mengingat  perjalanan  dari  dimensi  sosial  misalnya  pergi  bersama  siapa,  apa  yang 
mereka lakukan bersama, sebagai aspek yang tak terlupakan dalam perjalanan wisata. 
 
Ketiga  adalah  sesudah  berwisata.  Perencana  pariwisata  perlu  didorong  untuk  menyiapkan 
destinasi  seperti  harapan  wisatawan.  Saat  ini  wisatawan  selalu  berburu  kejutan  di  destinasi 
wisata  yang  mereka  kunjungi.  Sebuah  kejutan  akan  memberikan  kenangan  pada  tiap 
pengalaman  berwisata.  Praktisi  industri  mungkin  dapat  menyampaikannya  adanya  kejutan 
kejutan tersebut baik di dalam brosur maupun di luar brosur secara lisan. Untuk meningkatkan 
memori  seorang  perencana  harus  mempromosikan  kekuatan  kenangan  pada  setiap  saat  pada 
destinasi  yang  dikelola,  sebagaimana  mengajak  wisatawan  berfikir  bahwa  Yogyakarta  adalah 
destinasi  yang  harus  dikunjungi.  Kenangan  ini  akan  menarik  wisatawan  untuk  membeli  barang 
barang  kenangan  seperti  souvenir  atau  hadiah.  Secara  psikologis,  pembelian  barang  barang 
souvenir  ini  akan  meningkatkan  ingatan  memori  terhadap  destinasi.  Selain  itu  foto  dan  video 
juga menjadi salah satu pengingat memori. 
Tujuan  dari  hal  tersebut  adalah  untuk  mengumpulkan  dan  mengkompilasi  ingatan  melalui 
pengalaman  sehingga  wisatawan  dapat  membangun  ingatan  secara  utuh  untuk  disampaikan 
pada  keluarga  dan  teman  temannya.  Singkatnya  aspek  pengalaman  dan  memori  yang  tak 
terlupakan  perlu  di  tangkap  oleh  praktisi  wisata  dengan  memfokuskan  pada  proses  belanja  di 
akhir kegiatan wisata. Melalui teknik branding dan pemasaran yang efektif, perencana pariwisata 
dapat  mengirim  semacam  kartupos  baik  online  maupun  langsung  yang  diupdate  secara  rutin 
untuk  mengulang  ulang  memori  yang  ada  pada  wisatawan.  Bahkan  akan  lebih  baik  jika 
wisatawan diberikan tempat untuk menulis ekspresi mereka terhadap pengalaman berwisata di 
tempat tersebut. 
Perencana  pariwisata  Jogjakarta  dituntut  untuk  mampu  menawarkan  beberapa extra 
mileskepada  wisatawan  atau  calon  wisatawan.  Diantaranya  adalah,  pertama 
bangunlah image danbranding yang menarik. Image dan branding perlu dibangun di awal sebuah 

 



#4 Best Paper
Lomba Karya Tulis Pariwisata (2012)
Sekolah Pasca Sarjana UGM dan PT. Taman Wisata Candi Prambanan Ratu Boko dan Borobudur

perencanaan  kegiatan  pariwisata.  Hal  ini  bukanlah  sekedar  tugas  dari  pemerintah,  namun  juga 
pengelola sebuah destinasi. Konsistensi dari apa yang ditawarkan dan apa yang ada di lapangan 
harus tetap dijaga. Usahakan jangan ada bias yang terlalu besar dari branding yang dibangun dan 
apa  yang  dirasakan  oleh  wisatawan.  Karena  wisatawan  itu  mampu  menilai,  dengan  penilaian 
yang sangat sensitive. Mereka punya banyak pilihan untuk berwisata dan Jogjakarta bukan satu 
satunya  pilihan.  Sehingga  menjaga  konsistensi  antara  brand  yang  dibangun  dan  apa  yang 
disajikan menjadi sangat penting. 
 
Kedua  adakan story  telling secara  naratif  yang  komunikatif  dengan  wisatawan.  Seorang 
wisatawan  memiliki  subjektivitas  kepuasan  yang  berbeda.  Namun  pada  dasarnya  mereka 
memiliki kebutuhan yang sama terhadap informasi yang benar terhadap sebuah destinasi wisata. 
Untuk  itu  pengelola  harus  mampu  memenuhi  kebutuhan  akan  informasi  ini.  Informasi  dapat 
disajikan  melalui  website,  brosur,  spanduk,  leaflet  maupun  buku.  Informasi  akan  membangun 
sebuah pemahaman akan kesan di tiap tiap kepala yang datang di destinasi. Bangunan yang utuh 
akan  lebih  baik  dari  pada  bangunan  informasi  yang  setengah  setengah.  Untuk  itu  detail  dari 
sebuah informasi harus disajikan. Persoalan apakah informasi tersebut akan dibaca atau tidak hal 
tersebut  adalah  sesuai  dengan  level  kebutuhan  dari  setiap  wisatawan.  Namun,  tugas  dari 
seorang perencana adalah membuat informasi tersebut lengkap dan mudah untuk diakses. 
 
Ketiga,  wisatawan  diberikan  ruang  untuk  menuliskan  kesan  terhadap  destinasi  baik  secara 
manual maupun virtual. Wisatawan perlu diajak untuk melakukan sesuatu aksi nyata di daerah 
wisata.  Ketika  seorang  wisatawan  diberikan value (nilai)  dalam  setiap  kedatangannya  maka  ia 
akan terkenang dan akan menyebarkan value tersebut ke tempat asalnya nanti. Misalnya: ketika 
wisatawan  mendatangi  Kawasan  Lereng  Merapi  yang  merupakan  bekas  bencana  gunung 
meletus,  maka  ajak  wisatawan  untuk  menanam  pohon  perindang  sebagai  bagian  dari 
kontribusinya untuk masyarakat. Apa yang mereka lakukan selain memiliki nilai sosial juga akan 
membuat wisatawan memiliki ikatan terhadap destinasi yang dikunjungi. 
 
Keempat, wisatawan diajak untuk memiliki barang kenangan atau souvenir. Pengelola pariwisata 
dituntut lebik aktif dalam menyasar kunjungan ulang dapat pula dengan menyampaikan bahwa 
“kunjungan berikutnya tidak akan sama indahnya dengan kunjungan yang pertama, karena akan 
lebih  indah.  DMO  mestinya  terus  meningkatkan  promosi  destinasi  dengan  menawarkan 
pengalaman baru bagi wisatawan. Pembelian barang kenangan dan souvenir akan memberikan 
sebentuk  fisik  barang  untuk  dikenang.  Hal  ini  akan  menjadi  ‘clue’  bagi  memori  seorang 
wisatawan terhadap suatu tempat dan suatu waktu. 
 
KESIMPULAN 
 
Melalui uraian tentang pentingnya memberikan penajaman terhadap pariwisata yang tak 
terlupakan, penulis menyimpulkan sebagai berikut: 
• Perencana pariwisata Jogjakarta perlu merubah paradigm dari jumlah kunjunga wisata 
yang tinggi menjadi kunjunga wisata yang berkualitas yaitu yang tak terlupakan. 
• Pariwisata yang tak terlupakan dapat diukur menggunakan pertimbangan kepuasan 
wisatawan. Sehingga perencana perlu menetapkan kebijakan untuk mengurangi resiko 
resiko berkurangnya kepuasan wisatawan. 
• Perencana pariwisata Jogjakarta dituntut untuk mampu menawarkan beberapa extra 
miles kepada wisatawan atau calon wisatawan. Diantaranya adalah, pertama bangunlah 
image dan branding yang menarik. Kedua adakan story telling secara naratif yang 
komunikatif dengan wisatawan dan preventif. Ketiga, wisatawan diberikan ruang untuk 
menuliskan kesan terhadap destinasi baik secara manual maupun virtual. Wisatawan 
perlu diajak untuk melakukan sesuatu aksi nyata di daerah wisata. Keempat, wisatawan 
diajak untuk memiliki barang kenangan atau souvenir. Pengelola pariwisata dituntut 
lebik aktif dalam menyasar kunjungan ulang dapat pula dengan menyampaikan bahwa 

 



#4 Best Paper
Lomba Karya Tulis Pariwisata (2012)
Sekolah Pasca Sarjana UGM dan PT. Taman Wisata Candi Prambanan Ratu Boko dan Borobudur

“kunjungan berikutnya tidak akan sama indahnya dengan kunjungan yang pertama, 
karena akan lebih indah. 
 
 
DAFTAR PUSTAKA 
Arnould, E., & Price, L. (1993). River magic: Extraordinary experience and the extended service 
encounter. Journal of Consumer Research, 20(1), 24–45. 
Baumgartner, H., Sujan, M., & Bettman, J. (1992). Autobiographical memories: Affect and 
consumer information processing. Journal of Consumer Psychology, 1(1), 53–82 
Cary, S. H. (2004). The tourist moment. Annals of Tourism Research, 31(1), 61–77. 
Conway, M., & Pleydell‐Pearce, C. (2000). The construction of autobiographical memories in the 
self‐memory system. Psychological Review, 107(2), 261–288. 
Desforges, L. (2000). Travelling the world: Identity and world biography. Annals of Tourism 
Research, 27(4), 926–945. 
Falk, J., & Dierking, L. (1990). The relationship between visitation frequency and long‐term 
recollection. In S. Bitgood, A. Benefield, & D. Patterson (Eds.), Visitor studies: Theory, 
research and practice (pp. 17–22). Jacksonville, AL: Center for Social Design. 
Gunter, B. G. (1987). The leisure experience. Selected properties. Journal of LeisureResearch, 
19(2), 115–130. 
Hamond, N., & Fivush, R. (1991). Memories of Mickey Mouse: Young children recount their trip 
to Disneyworld. Cognitive Development, 6(4), 433–448. 
Langer, E. J., & Piper, A. (1988). Television from a mindful/mindless perspective.Applied Social 
Psychology Annual, 8, 247–260. 
Langer, E. J., Hatem, M., Joss, J., & Howell, M. (1989). Conditional teaching and mindful learning: 
The role of uncertainty in education. Creativity Research Journal, 2, 139–150. 
McGregor, I., & Holmes, J. G. (1999). How storytelling shapes memory and impression of 
relationship events over time. Journal of Personality and Social Psychology, 76(3), 403–419. 
Moscardo, G. M., & Pearce, P. L. (1986). Visitor centres and environmental interpretation. 
Journal of Environmental Psychology, 6, 89–108. 
Moscardo, G. M. (1988). Visitor studies at the Gallipoli and Sinai galleries, Australian War 
Memorial. Townsville: Department of Behavioural Sciences, James Cook University. 
Moscardo, G. M. (1999). Making visitors mindful: Principles for creating sustainable visitor 
experiences through effective communication. Champaign, IL: Sagamore. Langer, E. J., & 
Moldoveanu, M. (2000). The construct of mindfulness. Journal of Social Issues, 56(1), 1–9. 
Moscardo, G. M. (2010). The shaping of tourist experience. The importance of stories and 
themes. In M. Morgan, P. Lugosi, & J. R. B. Ritchie (Eds.), The tourism and leisure 
experience. Consumer and managerial perspectives (pp. 43–58). Bristol, UK: Channel View 
Publications. 
Noe, F. P. (1987). Measurement specification and leisure satisfaction. Leisure Sciences, 9(3), 163–
172. 
Obenour, W., Pattenson, M., Pedersen, P., & Pearson, L. (2006). Conceptualization of a meaning 
based research approach for tourism service experiences. Tourism Management, 27, 34–41. 
Otto,  J.,  &  Richie,  J.  (1995).  Exploring  the  quality  of  the  service  experience.  A  theoretical  and 
empirical analysis. Advances in Services Marketing and Management, 4, 37–61. 
Pearce,  P.  L.  (2005).  Tourist  behaviour:  Themes  and  conceptual  schemes.  Clevedon:  Channel 
View Publications. 
Pillemer, D., Wink, P., DiDonato, T., & Sanborn, R. (2003). Gender differences in autobiographical 
memory styles of older adults. Memory, 11(6), 525–532. 
Pine, J., & Gilmore, J. H. (1998). Welcome to the experience economy. Harvard Business Review, 
97–107. 
Piolino,  P.,  Desgranges,  B.,  Benali,  K.,  &  Eustache,  F.  (2002).  Episodic  and  semantic  remote 
autobiographical memory in ageing. Memory, 10(4), 239–257. Baumgartner, H., Sujan, M., 

 



#4 Best Paper
Lomba Karya Tulis Pariwisata (2012)
Sekolah Pasca Sarjana UGM dan PT. Taman Wisata Candi Prambanan Ratu Boko dan Borobudur

&  Bettman,  J.  (1992).  Autobiographical  memories:  Affect  and  consumer  information 
processing. Journal of Consumer Psychology, 1(1), 53–82. 
Ritchie, J. R. B., & Crouch, G. (2003). The competitive destination: A sustainable tourism 
perspective. Cambridge, MA: CABI Publishing. 
Ryan, C. (1997). The tourist experience. A new introduction. London: Cassell. 
Schank, R. C. (1999). Dynamic memory revisited. Cambridge, UK: Cambridge University Press. 
Volo, S. (2010). Bloggers’ reported tourist experiences: Their utility as a tourism data source and 
their effect on prospective tourists. Journal of Vacation Marketing, 16(4), 297–311. 
Woodside,  A.,  Caldwell,  M.,  &  Albers‐Miller,  N.  (2004).  Broadening  the  study  of  tourism: 
Introduction  to  the  special  issue  on  the  consumer  psychology  of  travel/tourism  behavior. 
Journal of Travel and Tourism Marketing, 17(1), 1–7. 
Woodside,  A.  (2010).  Brand‐consumer  storytelling  theory  and  research:  Introduction  to  a 
psychology & marketing special issue. Psychology & Marketing, 27(6), 531–540.