PENGARUH CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP PENGUNGKAPAN INTELLECTUAL CAPITAL

PENGARUH CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP PENGUNGKAPAN INTELLECTUAL CAPITAL

( Study Empiris pada Sektor Perbankan yang Tercatat

di Bursa Efek Indonesia)

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh: ANANTO PRABOWO F1307520 FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

PENGARUH CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP PENGUNGKAPAN INTELLECTUAL CAPITAL

( Study Empiris pada Sektor Perbankan yang Tercatat

di Bursa Efek Indonesia)

ABSTRAKSI ANANTO PRABOWO F1307520

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan bukti empiris mengenai pengaruh corporate governance terhadap pengungkapan intellectual capital dalam annual report yang dikeluarkan oleh sektor perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Penelitian dilakukan dengan menguji pengaruh corporate governance (ukuran dewan komisaris, komisaris independen, struktur kepemilikan, dan kepemilikan manajemen) sebagai variabel independen, terhadap pengungkapan intellectual capital sebagai variabel dependen, dengan karakteristik perusahaan (total assets, ROE, leverage, growth, umur perusahaan dan tipe auditor) sebagai variabel kontrol.

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 36 annual report perusahaan yang terdaftar di BEI dari tahun 2004-2008. Sampel ini dipilih dengan menggunakan metode purposive sampling. Pengungkapan intellectual capital diukur menggunakan weighted coding disclosure score dan sebanyak 4 hipotesis diuji dalam penelitian ini menggunakan analisis multiple regression.

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa rata-rata informasi mengenai intellectual capital yang diungkap oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia hanya sebesar 35,7%. Ukuran dewan komisaris, komisaris independen dan struktur kepemilikan tidak berpengaruh terhadap pengungkapan intellectual capital, sedangkan adanya kepemilikan manajemen merupakan variabel yang memiliki pengaruh signifikan negatif terhadap pengungkapan struktur internal capital. Implikasinya dengan adanya kepemilikan manajemen dalam suatu perusahaan maka

manajemen akan cenderung menyimpan informasi dan tidak mengungkapkannya kepada pihak luar (Ho dan Wong, 2001). Pengungkapan intellectual capital semestinya dapat dijadikan suatu pendekatan untuk menilai kelangsungan perusahaan namun mekanisme corporate governance di Indonesia belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan, dengan adanya penelitian ini semoga bisa menjadi tambahan bahan kajian untuk regulator, analis investasi, dan peserta pasar modal.

Kata kunci: pengungkapan intellectual capital, corporate governance, annual report, Indonesia

ii

PENGARUH CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP PENGUNGKAPAN INTELLECTUAL CAPITAL

( Study Empiris pada Sektor Perbankan yang Tercatat

di Bursa Efek Indonesia)

ABSTRACT ANANTO PRABOWO F1307520

The objective of this research to provide empirical evidence about the effect of corporate governance on the disclosure of intellectual capital in annual reports issued by the banking sector on IDX. This research examine the influence of corporate governance (board size, independent commissioners, ownership structure, and management ownership) as independent variables, on the disclosure of intellectual capital as the dependent variable, with firm characteristics (total assets, ROE, leverage, growth, age of firm and auditor type) as control variables.

This research used 36 annual report of listed companies on the Stock Exchange from 2004 to 2008. Sample in this research was selected using purposive sampling method. Disclosure of intellectual capital measured using a weighted coding, as much as four hypotheses tested in this study using multiple regression analysis.

The result statistical analysis showed that the average information about the intellectual capital that is expressed by companies in Indonesia amounted to only 35.7%. Board size, independent directors and ownership structure does not affect the intellectual capital disclosure, while the existence of management ownership is a significant variable that has a negative effect on the disclosure of the internal structure of the capital. The implication with the ownership management in a company, the management will tend to keep information and not disclose to outsiders (Ho and Wong, 2001). Intellectual capital disclosure should be used as an approach to assess the sustainability of the company but the mechanisms of corporate governance in Indonesia has not run as expected, with the existence of this research may be additional study materials to regulators, investment analysts, and capital market participants.

Keyword: intellectual capital disclosure, corporate governance, annual report, Indonesia

iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi dengan judul

PENGARUH CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP PENGUNGKAPAN INTELLECTUAL CAPITAL

( Study Empiris pada Sektor Perbankan yang Tercatat

di Bursa Efek Indonesia)

Telah disetujui dan diterima oleh pembimbing untuk diajukan kepada tim penguji skripsi.

Surakarta, 25 Mei 2010

Disetujui dan diterima oleh Pembimbing

Dra. Falikhatun, M.Si, Ak. NIP 196811171994032002

HALAMAN PENGESAHAN

Telah disetujui dan diterima dengan baik oleh tim penguji skripsi Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret guna melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Akuntansi.

Surakarta, 28 Juni 2010

Tim Penguji Skripsi

1. Dra. Y. Anni Aryani, M.Prof Acc., Ph.D., Ak.

(………………..) NIP 196509181992032002

Ketua

2. Dra. Falikhatun, M.Si., Ak Pembimbing (………………..) NIP 196811171994032002

3. Drs. Hanung Triatmoko, M.Si., Ak.

(………………..) NIP 196610281992031001

Anggota

MOTTO

Berilah jawaban yang cerdas termasuk kepada perlakuan hidup yang tidak cerdas

(Lao-Tze) dan jawaban itu adalah usaha terbaik (penulis)

Usaha yang tanpa henti adalah kunci membuka gembok potensi diri, bukan kekuatan atau kecerdasan (Winston Churchill), kekuatan atau kecerdasan ibarat

peluang, sedangkan usaha tanpa henti ibarat banyak percobaan, sehingga frekwensi harapan adalah peluang dikalikan banyak percobaan, dan jangan sampai

kedua hal tersebut bernilai nol kalau harapan ingin terwujud (penulis)

Bukan ucapan atau tindakanmu yang gagah perkasa, tetapi spirit di dalam dirimu yang mendorong tindakan dan ucapanmu (Ching-Ning Chu), semua ini tentang

sampai sejauh mana ucapan dan tindakan akan bertahan jika tanpa spirit di dalamnya (penulis)

Keberanian memulai adalah bagian paling penting dari pekerjaan (Plato), berusaha memberikan yang terbaik tetapi takut memulai karena takut mengecewakan dan gagal, lalu kapan hal yang terbaik itu akan diberikan? Jika kecewa dan gagal adalah nilai mati untuk kehidupan (penulis)

PERSEMBAHAN

Penulis persembahkan kepada:

 Ayah dan ibuku yang tercinta  Adik dan kerabatku  Teman-temanku  Almamaterku  dan Solo kotaku

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, karunia, segala nikmat, dan kekuatan, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “PENGARUH CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP PENGUNGKAPAN INTELLECTUAL CAPITAL: Study Empiris pada Sektor Perbankan yang Tercatat di Bursa Efek Indonesia ”, sebagai tugas akhir guna memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Akuntansi Universitas Sebelas Maret.

Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan skripsi ini tidak terlepas dari dorongan dan bantuan banyak pihak. Oleh karenanya, penulis dengan ini mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Bambang Sutopo, M.Com., Ak., selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret.

2. Drs. Jaka Winarna M.Si., Ak., selaku Ketua Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret.

3. Ibu Dra. Falikhatun, M.Si, Ak. selaku pembimbing skripsi atas semua kritik, saran, dan perhatianya yang sangat membantu penulis untuk mencapai hasil yang terbaik.

4. Bapak-bapak dan ibu-ibu dosen, serta karyawan FE UNS, terimakasih-ku ucapkan atas semua ilmu yang telah dibagi.

5. Keluargaku yang selalu memberikan dukungan, kepercayaan, dan doa-doa yang selalu terpanjatkan di setiap amal dan ibadahnya.

6. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.

Penulis menyadari bahwa karya ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak, penulis harapkan demi perbaikan yang berkelanjutan.

Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan di kemudian hari. Terima kasih.

Alhamdulillahirobbil’alamin.

Surakarta, Juni 2010

Ananto Prabowo

DAFTAR GAMBAR

GAMBAR Halaman

21

II.1 Kerangka Pemikiran ......................................................

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Kerangka Intellectual Capital Lampiran 2

Jumlah Annual Report Lampiran 3

Sampel yang digunakan Lampiran 4

Statistik Deskriptif Lampiran 5

Uji Normalitas Lampiran 6

Analisis Data Lampiran 7

Uji Hipotesis

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Jatuhnya industri perbankan Indonesia secara garis besar adalah karena dikeluarkannya Paket Deregulasi Sektor Keuangan 27 Oktober 1988 (PAKTO 88), dan krisis moneter hanya merupakan pencetus yang mempercepat jatuhnya sektor perbankan. Sejak saat itu perkembangan dunia usaha telah memacu perbankan Indonesia untuk secara bertahap melakukan penyesuaian dalam strategi dan pola operasionalnya, sehingga tetap dapat berkembang secara sehat dan mampu berperan aktif dalam pembangunan perekonomian Indonesia. Dalam penyesuaian dengan strategi dan pola operasional muncul berbagai pemahaman baru mengenai proses pelayanan perbankan, peran nasabah dan juga pandangan perusahaan terhadap peran penting sumber daya manusia yang memiliki dampak pada pelaporan keuangan. Pelaporan keuangan yang fokusnya pada kinerja keuangan perusahaan sering dirasa kurang memadai sebagai suatu pelaporan kinerja perusahaan perbankan. Hal ini telah menjadi vexed issue, dimana beberapa penulis telah memastikan bahwa manajemen dan sistem pelaporan yang telah mapan selama ini secara berkelanjutan kehilangan relevansinya karena tidak mampu menyajikan informasi yang esensial bagi eksekutif untuk mengelola proses yang berbasis pengetahuan (knowledge-based processes) dan intangible resources (Bornemann dan Leitner, 2002). Oleh karena itu ada sesuatu yang lain yang perlu disampaikan kepada pengguna pelaporan keuangan perbankan yang bisa menjelaskan nilai lebih yang dimiliki perusahaan perbankan seperti inovasi, penemuan sistem, pengetahuan dan keterampilan sumber daya manusia, relasi dengan konsumen dan sebagainya yang sering diistilahkan Jatuhnya industri perbankan Indonesia secara garis besar adalah karena dikeluarkannya Paket Deregulasi Sektor Keuangan 27 Oktober 1988 (PAKTO 88), dan krisis moneter hanya merupakan pencetus yang mempercepat jatuhnya sektor perbankan. Sejak saat itu perkembangan dunia usaha telah memacu perbankan Indonesia untuk secara bertahap melakukan penyesuaian dalam strategi dan pola operasionalnya, sehingga tetap dapat berkembang secara sehat dan mampu berperan aktif dalam pembangunan perekonomian Indonesia. Dalam penyesuaian dengan strategi dan pola operasional muncul berbagai pemahaman baru mengenai proses pelayanan perbankan, peran nasabah dan juga pandangan perusahaan terhadap peran penting sumber daya manusia yang memiliki dampak pada pelaporan keuangan. Pelaporan keuangan yang fokusnya pada kinerja keuangan perusahaan sering dirasa kurang memadai sebagai suatu pelaporan kinerja perusahaan perbankan. Hal ini telah menjadi vexed issue, dimana beberapa penulis telah memastikan bahwa manajemen dan sistem pelaporan yang telah mapan selama ini secara berkelanjutan kehilangan relevansinya karena tidak mampu menyajikan informasi yang esensial bagi eksekutif untuk mengelola proses yang berbasis pengetahuan (knowledge-based processes) dan intangible resources (Bornemann dan Leitner, 2002). Oleh karena itu ada sesuatu yang lain yang perlu disampaikan kepada pengguna pelaporan keuangan perbankan yang bisa menjelaskan nilai lebih yang dimiliki perusahaan perbankan seperti inovasi, penemuan sistem, pengetahuan dan keterampilan sumber daya manusia, relasi dengan konsumen dan sebagainya yang sering diistilahkan

Kajian tentang intellectual capital sendiri pun mulai menarik dan banyak dibicarakan sejak tahun 1990-an (Harrison and Sullivan, 2000). Intellectual capital sekarang ini dianggap sebagai faktor kesuksesan bagi suatu organisasi dan karenanya akan semakin menjadi perhatian dalam kajian strategi organisasi dan strategi pembangunan. Di abad ini, komunitas bisnis seluruh dunia sepakat bahwa knowledge asset menjadi sangat penting dalam pengkreasian nilai perusahaan daripada faktor produksi fisik (Saleh et al., 2007). Intellectual capital merupakan salah satu aset industri perbankan yang sangat signifikan, meliputi human capital, structural capital, dan relational capital (Li, Pike, dan Haniffa, 2008).

Perkembangan industri perbankan yang sangat pesat umumnya disertai dengan semakin kompleksnya kegiatan usaha bank yang mengakibatkan peningkatan eksposur risiko bank. Dalam rangka meningkatkan kinerja bank, melindungi kepentingan stakeholders dan meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan serta nilai-nilai etika yang berlaku secara umum pada industri perbankan, bank wajib melaksanakan kegiatan usahanya dengan berpedoman pada prinsip-prinsip good corporate governance (Peraturan Bank Indonesia No. 8/4/PBI/2006). Penerapan corporate governance membentuk perusahaan untuk lebih transparan, bertanggungjawab,

dan independen serta meningkatkan akuntabilitas perusahaan (Pedoman Umum Corporate Governance).

Transparansi sebagai salah satu aspek corporate governance menuntut organisasi untuk melakukan pengungkapan, baik yang bersifat wajib (mandatory) maupun sukarela (voluntary). Pengungkapan yang bersifat sukarela bergantung kepada keputusan manajemen untuk memasukkannya ke dalam laporan keuangan atau tidak (Zhou dan Panbuyuen, 2008). Berdasarkan struktur perusahaan, manajemen diawasi oleh dewan direksi atau yang lebih kita kenal dengan dewan komisaris, maka daripada itu dewan komisaris dapat mempengaruhi tindakan manajemen.

Variasi bentuk dalam pengungkapan intellectual capital merupakan informasi yang bernilai bagi investor, yang dapat membantu mereka mengurangi ketidakpastian mengenai prospek ke depan dan memfasilitasi ketepatan penilaian terhadap perusahaan (Bukh, 2003). Laporan keuangan gagal dalam menggambarkan cakupan luas pengkreasian nilai intangible asset (Lev dan Zarowin, 1999), memunculkan peningkatan informasi asimetri antara perusahaan dengan pengguna (Healy dan Palepu, 2001), dan menciptakan ketidakefisienan dalam proses alokasi sumber daya dalam pasar modal (Li, Pike, dan Haniffa, 2008).

Sejumlah penelitian akademis (contoh: Lev, 2001; Mouritsen, Larsen, dan Bukh, 2001) menawarkan untuk pengungkapan yang lebih besar atas investasi indicator non- financial dalam intangible asset. (Canibano, Garcia-Ayuso dan Sanchez, 2000) memperdebatkan kos diasosiasikan dengan perubahan radikal dalam sistem akuntansi yang tidak dapat membuat intellectual capital intensive firm‟s lebih bernilai dan bahwa pendekatan yang pantas digunakan untuk meningkatkan kualitas laporan keuangan adalah dengan mendorong pengungkapan sukarela informasi yang terkait dengan intellectual capital. (Budiyanawati, 2009; Li et al., 2008; Cerbioni dan Parbonetti, 2007) Sejumlah penelitian akademis (contoh: Lev, 2001; Mouritsen, Larsen, dan Bukh, 2001) menawarkan untuk pengungkapan yang lebih besar atas investasi indicator non- financial dalam intangible asset. (Canibano, Garcia-Ayuso dan Sanchez, 2000) memperdebatkan kos diasosiasikan dengan perubahan radikal dalam sistem akuntansi yang tidak dapat membuat intellectual capital intensive firm‟s lebih bernilai dan bahwa pendekatan yang pantas digunakan untuk meningkatkan kualitas laporan keuangan adalah dengan mendorong pengungkapan sukarela informasi yang terkait dengan intellectual capital. (Budiyanawati, 2009; Li et al., 2008; Cerbioni dan Parbonetti, 2007)

Pada penelitian-penelitian sebelumnya pengungkapan intellectual capital banyak diukur dengan jumlah dan detail informasi non-mandatory pada annual report. Karena pengungkapan tidak bisa dipertimbangkan sebagai sebuah referensi yang sederhana pada kuantitas informasi yang diungkapkan (Beattie, 2000; Beretta dan Bozzolan, 2004), penulis menggunakan kandungan arti (semantic properties) dari informasi seperti economic sign dan outlook oriented sebagai proksi kualitas pengungkapan intellectual capital (Cerbioni dan Parbonetti, 2007).

Mengacu pada Guthrie et al., (2008) dan Cerbioni dan Parbonetti, (2007) penulis meregresikan 8 (delapan) index pengungkapan pada corporate governance. Corporate governance dalam penelitian ini diproksikan dengan empat variabel yaitu ukuran dewan komisaris, komisaris independen, struktur kepemilikan, dan kepemilikan manajemen dengan mempertimbangkan variabel-variabel kontrol yang digunakan untuk menjelaskan tingkat pengungkapan pada perusahaan (Total Asset, Return on Equity, Leverage, Growth, Umur Perusahaan dan Tipe Auditor).

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah apakah corporate governance (ukuran dewan komisaris, komisaris independen, struktur kepemilikan, dan kepemilikan manajemen) berpengaruh terhadap pengungkapan intellectual capital ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah memberikan bukti empiris mengenai pengaruh corporate governance (ukuran dewan komisaris, komisaris independen, struktur kepemilikan, dan kepemilikan manajemen) terhadap pengungkapan intellectual capital.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi industri perbankan

a. Memberikan pengetahuan tentang praktik pengungkapan intellectual capital pada masing-masing bank konvensional di Indonesia yang dijadikan sampel, sehingga bank dapat membandingkan praktik pengungkapan intellectual capital, serta dapat digunakan untuk bahan pertimbangan manajemen dalam praktik pengungkapan intellectual capital.

b. Departemen Research and Development (R&D) tiap bank konvensional di Indonesia dapat menggunakan penelitian ini untuk dikembangkan dalam penelitian lembaga masing-masing bank untuk tujuan kepentingan stakeholder- nya.

2. Bagi penulis, penelitian ini bermanfaat untuk membandingkan teori yang didapat selama perkuliahan, terutama dalam bidang akuntansi pengungkapan intellectual capital, dengan kondisi sebenarnya yang dipraktikkan oleh sektor perbankan di Indonesia.

3. Bagi perguruan tinggi, penelitian ini dapat dijadikan pelengkap materi perkuliahan dengan memberikan gambaran tentang pengungkapan intellectual capital pada laporan tahunan sektor perbankan di Indonesia.

4. Bagi regulator

a. Menteri keuangan di negara ASEAN (khususnya) bekerja sama dengan bursa efek dan bank sentral dapat melakukan penelitian lebih lanjut dari hasil penelitian ini untuk mengetahui praktik pengungkapan intellectual capital terhadap variabel lain yang dapat digunakan untuk mengambil kebijakan.

b. Menetapkan kebijakan dan regulasi ataupun standar pengungkapan untuk baik bank konvensional di Indonesia maupun sektor lainnya dalam hal praktik pengungkapan intellectual capital.

E. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan adalah sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini meliputi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

Bab ini membahas landasan teori yang diantaranya berupa tinjauan pustaka, kerangka teoritis, dan dilanjutkan dengan penelitian terdahulu yang dikembangkan (hipotesis).

BAB III : METODOLOGI PENELITIAN

Bab ini berisi desain penelitian; populasi, sample, dan teknik sampling; pengukuran variable; instrument penelitian; sumber data; metode pengumpulan data; serta metode analisis data.

BAB IV : ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

Bab ini membahas mengenai data yang digunakan, pengolahan data tersebut dengan alat analisis yang diperlukan dan hasil dari analisis data.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini berisi kesimpulan yang diperoleh dari hasil analisis data yang telah dilakukan, saran-saran yang diajukan dari hasil penelitian, dan rekomendasi bagi penelitian selanjutnya.

BAB II TELAAH PUSTAKA

A. Pengungkapan Intellectual Capital

Sejak tahun 1990-an, perhatian terhadap praktek pengelolaan aset tidak berwujud (intangible assest) telah meningkat secara dramatis (Harrison dan Sullivan, 2000). Salah satu pendekatan yang digunakan dalam penilaian dan pengukuran intangible assest tersebut adalah pengungkapan intellectual capital yang telah menjadi fokus perhatian dalam berbagai bidang, baik manajemen, teknologi informasi, sosiologi, maupun akuntansi (Petty dan Guthrie, 2000; Sullivan dan Sullivan, 2000).

Munculnya “new economy”, yang secara prinsip didorong oleh perkembangan teknologi informasi dan ilmu pengetahuan juga memicu tumbuhnya interest dalam intellectual capital (Petty and Guthrie, 2000; Bontis, 2001). Salah satu area yang menarik

perhatian baik akademisi maupun praktisi adalah yang terkait dengan kegunaan intellectual capital sebagai salah satu instrumen untuk menentukan nilai perusahaan

(Stewart, 1997; Edvinsson dan Malone, 1997; Sveiby, 2001). Hal ini telah menjadi vexed issue, dimana beberapa penulis telah memastikan bahwa manajemen dan sistem pelaporan yang telah mapan selama ini secara berkelanjutan kehilangan relevansinya karena tidak mampu menyajikan informasi yang esensial bagi eksekutif untuk mengelola proses yang berbasis pengetahuan (knowledge-based processes) dan intangible resources (Bornemann and Leitner, 2002).

Dalam kajian tentang intellectual capital, banyak definisi yang diajukan oleh para peneliti. Brooking (1996) misalnya mendefinisikan intellectual capital sebagai berikut:

“Intellectual capital is the term given to the combined intangible assets of market, intellectual property, human-centred and infrastructure – which enable the company to function ”

Roos et al. (1997) menyatakan bahwa:

“Intellectual capital includes all the processes and the assets which are not normally shown on the balance-sheet and all the intangible assets

(trademarks, patent and brands) which modern accounting methods consider…” Stewart (1997) menyebut bahwa:

“Intellectual capital is intellectual material–knowledge, information, intellectual property, experience –that can be put to use to create wealth”

Bontis (1998) mengakui bahwa: “Intellectual capital is elusive, but once it is discovered and exploited, it

may provide an organisation with a new resource-base from which to compete and win ”

Sedangkan CIMA (2001) menyebutkan bahwa:

“possession of knowledge and experience, professional knowledge and skill, good relationship, and technological capacities, which when applied will give organization competitive advantage ”

Memang banyak model intellectual capital yang digunakan para peneliti, namun secara umum para peneliti mengidentifikasi tiga konstruk utama dari intellectual capital, yaitu: human capital, structural capital, dan customer capital. Secara sederhana, human capital merupakan pengetahuan, skill, dan pengalaman yang dibawa pegawai ketika meninggalkan perusahaan (Starovic dan Marr, 2004) yang meliputi pengetahuan individu Memang banyak model intellectual capital yang digunakan para peneliti, namun secara umum para peneliti mengidentifikasi tiga konstruk utama dari intellectual capital, yaitu: human capital, structural capital, dan customer capital. Secara sederhana, human capital merupakan pengetahuan, skill, dan pengalaman yang dibawa pegawai ketika meninggalkan perusahaan (Starovic dan Marr, 2004) yang meliputi pengetahuan individu

Structural capital digambarkan sebagai apa yang tersisa dalam perusahaan pada saat pegawai pulang di malam hari (Petrash, 1996). Structural capital merupakan pengetahuan yang akan tetap berada dalam perusahaan terdiri dari rutinitas organisasi, prosedur-prosedur, sistem, budaya dan database. Beberapa diantara structural capital dilindungi hukum dan menjadi intellectual property right, yang secara legal dimiliki oleh perusahaan (Starovic dan Marr, 2004).

Sedangkan tema utama dari customer capital adalah pengetahuan yang melekat dalam marketing channels dan customer relationship dimana suatu organisasi mengembangkannya melalui jalannya bisnis (Bontis et al., 2000). Customer capital adalah pengetahuan yang dibentuk dalam marketing channels dan hubungan konsumen bahwa organisasi berkembang dengan menjalankan bisnis. Sebagai contoh adalah image, loyalitas konsumen, kepuasan konsumen, hubungan dengan suplier, kekuatan komersial, kapasitas negosiasi dengan entitas keuangan dan lingkungan aktivitas (Starovic dan Marr, 2004).

Mengacu kepada penelitian Cerbioni dan Parbonetti (2007), pengungkapan intellectual capital merupakan suatu konsep yang kompleks dan multidimensional, Mengacu kepada penelitian Cerbioni dan Parbonetti (2007), pengungkapan intellectual capital merupakan suatu konsep yang kompleks dan multidimensional,

Tabel II.1 Model-model Intellectual Capital

No

Peneliti

Model Intellectual Capital yang digunakan

1. Brooking, 1996 (UK) Human-centred assets, Infrastructure assets, Market assets, dan Intellectual property

2. Roos, Roos & Edvinsson, 1997 Human Capital, Organitational capital, (UK)

Relational capital, dan Renewal and development capital

3. Stewart, 1997 (US) Human capital, Structured capital, dan Customer capital

4. Sveiby, 1997 (Sweden) Human capital, internal capital, dan External capital

5. Edvinsson and Malone, 1997 Human capital, Process capital, Customer (Denmark)

capital, dan Innovation capital

6. Allee, 2000 (US) Human capital, Corporate identity, External relationship, dan Internal Structure

7. Bontis et al., 2000 (Canada) Human capital, Structured capital, Relational capital, dan Intellectual property

8. New Guidline, 2003 Employees, Processes, Customers, dan (Denmark)

Technologies

Sumber: Hunter et al., 2005

B. Corporate Governance

Corporate governance timbul karena kepentingan perusahaan untuk memastikan kepada pihak penyandang dana (principal/investor) bahwa dana yang ditanamkan digunakan secara tepat dan efisien. Selain itu dengan corporate governance, perusahaan memberikan kepastian bahwa manajemen (agent) bertindak yang terbaik demi kepentingan perusahaan. Forum for Corporate Governance in Indonesia (2001) mendefinisikan corporate governance sebagai seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, sehingga menciptakan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan (stakeholder). Nilai tambah yang dimaksud adalah corporate governance memberikan perlindungan efektif terhadap investor dalam memperoleh kembali investasinya dengan wajar dan bernilai tinggi. Wardhani (2006) menyatakan bahwa corporate governance merupakan tata kelola perusahaan yang menjelaskan hubungan antara berbagai partisipan dalam perusahaan yang menentukan arah dan kinerja perusahaan.

Salah satu prinsip corporate governance menurut Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) adalah menyangkut peranan dewan komisaris. Bentuk dewan komisaris tergantung pada sistem hukum yang dianut. Terdapat dua sistem yang berbeda, yaitu Anglo Saxon dan Kontinental Eropa (FCGI, 2001). Dalam sistem hukum Anglo Saxon, sistem yang dianut adalah sistem satu tingkat atau one tier system. Pada sistem satu tingkat, perusahaan mempunyai satu dewan direksi yang merupakan kombinasi antara manajer atau pengurus senior (direktur eksekutif) dan direktur Salah satu prinsip corporate governance menurut Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) adalah menyangkut peranan dewan komisaris. Bentuk dewan komisaris tergantung pada sistem hukum yang dianut. Terdapat dua sistem yang berbeda, yaitu Anglo Saxon dan Kontinental Eropa (FCGI, 2001). Dalam sistem hukum Anglo Saxon, sistem yang dianut adalah sistem satu tingkat atau one tier system. Pada sistem satu tingkat, perusahaan mempunyai satu dewan direksi yang merupakan kombinasi antara manajer atau pengurus senior (direktur eksekutif) dan direktur

pemilik dan manajer (Hastuti, 2005). Corporate governance pada dasarnya berisi prinsip tata kelola perusahaan yang baik. Prinsip-prinsip tersebut antara lain :

1. Keadilan (fairness) yang meliputi:

a. Perlindungan bagi seluruh hak pemegang saham

b. Perlakuan yang sama bagi para pemegang saham

2. Transparansi (transparancy) yang meliputi:

a. Pengungkapan informasi yang bersifat penting

b. Informasi harus disiapkan, diaudit dan diungkapkan sejalan dengan pembukuan yang berkualitas

c. Penyebaran informasi harus bersifat adil, tepat waktu dan efisien

3. Dapat dipertanggungjawabkan (accountability) yang meliputi pengertian bahwa:

a. Anggota dewan direksi harus bertindak mewakili kepentingan perusahaan dan para pemegang saham

b. Penilaian yang bersifat independen terlepas dari manajemen

c. Adanya akses terhadap informasi yang akurat, relevan dan tepat waktu

4. Pertanggungjawaban (responsibility) meliputi:

a. Menjamin dihormatinya segala hak pihak-pihak yang berkepentingan

b. Para pihak yang berkepentingan harus mempunyai kesempatan untuk mendapatkan ganti rugi yang efektif atas pelanggaran hak-hak mereka

c. Dibukanya mekanisme pengembangan prestasi bagi keikutsertaan pihak yang berkepentingan

d. Jika diperlukan, para pihak yang berkepentingan harus mempunyai akses terhadap informasi yang relevan

Iskander dan Chamlou (2000) menyatakan bahwa salah satu elemen corporate governance yang penting adalah transparansi (transparency) atau keterbukaan.

Keterbukaan adalah suatu tindakan untuk menjelaskan segala sesuatu yang dilakukan oleh manajemen perusahaan kepada publik. Keterbukaan tidak mudah dilakukan jika manajemen memiliki kepentingan dan informasi privat yang mendukung kepentingannya. Kondisi seperti ini dapat terjadi jika dalam perusahaan terdapat manajemen yang memiliki andil sebagai pemilik (managerial ownership). Semakin besar prosentase kepemilikan manajerial, maka kemungkinan untuk melakukan keterbukaan semakin kecil, sehingga perusahaan akan lebih memiliki risiko.

Nasution dan Setiawan (2007) menyatakan bahwa corporate governance merupakan konsep yang diajukan demi peningkatan kinerja perusahaan melalui supervisi atau monitoring kinerja manajemen dan menjamin akuntabilitas manajemen terhadap stakeholder dengan mendasarkan pada kerangka peraturan. Konsep corporate governance diajukan demi tercapainya pengelolaan perusahaan yang lebih transparan

bagi semua pengguna laporan keuangan. Bila konsep ini diterapkan dengan baik maka diharapkan pertumbuhan ekonomi akan terus menanjak seiring dengan transparansi pengelolaan perusahaan yang makin baik dan nantinya menguntungkan banyak pihak. Sistem corporate governance memberikan perlindungan efektif bagi pemegang saham dan kreditor sehingga mereka yakin akan memperoleh return atas investasinya dengan benar.

Rachmawati dan Triatmoko (2007) menyatakan ada empat mekanisme Corporate governance yang sering dipakai dalam berbagai penelitian mengenai Corporate governance yang bertujuan untuk mengurangi konflik keagenan, yaitu komite audit, komisaris independen, kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial.

Cerbioni dan Parbonetti (2007) menyatakan bahwa perusahaan akan berupaya untuk mengurangi biaya keagenan yang dikeluarkannya dengan cara melakukan pengawasan secata lebih efektif terutama berkaiatan dengan corporate governance dan pengungkapan sukarela. Pada kenyataannya antara corporate governance dan pengungkapan sularela adalah dua hal yang mengingkatkan perlindungan terhadap kepentingan investor yang akan membuat pasar menjadi semakin efisien. Mekanisme corporate governance yang ada dalam perusahaan diharapkan mampu meningkatkan Cerbioni dan Parbonetti (2007) menyatakan bahwa perusahaan akan berupaya untuk mengurangi biaya keagenan yang dikeluarkannya dengan cara melakukan pengawasan secata lebih efektif terutama berkaiatan dengan corporate governance dan pengungkapan sukarela. Pada kenyataannya antara corporate governance dan pengungkapan sularela adalah dua hal yang mengingkatkan perlindungan terhadap kepentingan investor yang akan membuat pasar menjadi semakin efisien. Mekanisme corporate governance yang ada dalam perusahaan diharapkan mampu meningkatkan

C. Ukuran Dewan Komisaris dan Pengungkapan Intellectual Capital

Jumlah anggota dewan komisaris perusahaan bisa mempengaruhi tingkat pengungkapan karena tingkat pengungkapan adalah keputusan strategik yang dibuat oleh dewan komisaris perusahaan. Sebagai bagian dari manajemen tingkat atas, dewan komisaris perusahaan bertugas memformulasikan strategi dan kebijakan perusahaan yang akan diikuti oleh para manajer. Dan hal ini masih dipertanyakan, apakah dengan semakin banyaknya dewan komisaris perusahaan dapat mengurangi asimetri informasi (Chen dan Jaggi, 2000). Jumlah anggota dewan komisaris yang lebih banyak dengan berbagai macam latar belakang pendidikan dan keahlian memiliki kemampuan yang lebih baik untuk mendistribusikan beban kerja (Klein, 2006; Anderson, Mansi, dan Reeb, 2004), lebih baik dalam berpendapat (Hermalin dan Weisbach, 2003), dapat meningkatkan kualitas pembuatan keputusan, lebih mewakili kepentingan stakeholder, dan menghilangkan dominasi CEO (Zhou dan Chen, 2004).

Fakta empiris menemukan ketika dewan komisaris dengan jumlah anggota sedikit maka kualitas pengawasan akan lebih baik (Yermack, 1996) karena masalah keagenan akan meningkat sesuai dengan jumlah dewan komisaris perusahaan (Conger et al., 1998). Yermack (1996) menemukan bahwa terdapat hubungan negatif antara market value dan jumlah anggota dewan komisaris. Jensen (1993) berpendapat bahwa ketika dewan komisaris terdiri dari tujuh atau delapan orang, maka mereka akan berfungsi kurang efektif dan lebih mudah bagi CEO untuk mengendalikan. Menurut Conger, Finegold, dan

Lawler (1998) untuk menjadi “empowered board” dewan komisaris harus cukup kecil untuk menciptakan kelompok yang kohesif.

H 1 : Jumlah dewan komisaris perusahaan berpengaruh negatif terhadap tingkat pengungkapan intellectual capital.

D. Komisaris Independen dan Pengungkapan Intellectual Capital

Tricker (1984) dalam Haniffa dan Cooke (2005) menyatakan bahwa proporsi komisaris independen merupakan sebuah mekanisme pengawasan dan keseimbangan, bukan hanya dalam memastikan tindakan perusahaan untuk kepentingan pemilik, tetapi juga stakeholder lainnya dengan memberikan gambaran yang lebih luas mengenai aktivitas dan kinerja perusahaan. Seperti yang diungkapkan oleh Eng dan Mak (2003), komisaris independen dapat lebih mempengaruhi perusahaan untuk mengungkapkan informasi yang lebih luas kepada outside investors. Berdasarkan agency theory, komisaris independen dapat meningkatkan keefektifan dewan komisaris (Jensen dan Meckling, 1976).

Bursa Efek Jakarta mengeluarkan Kep-339/BEJ/07-2001 yang mensyaratkan bagi perusahaan yang tercatat di BEJ menunjuk komisaris independen. Dalam peraturan ini, persyaratan jumlah minimal komisaris independen adalah 30% dari seluruh anggota dewan komisaris. Beberapa kriteria lainnya tentang komisaris independen adalah sebagai berikut.

1) Komisaris independen tidak memiliki hubungan afiliasi dengan pemegang saham mayoritas atau pemegang saham pengendali (controlling shareholders) perusahaan tercatat yang bersangkutan.

2) Komisaris independen tidak memiliki hubungan dengan direktur dan atau komisaris lainnya perusahaan tercatat yang bersangkutan.

3) Komisaris independen tidak memiliki kedudukan rangkap pada perusahaan lainnya yang terafiliasi dengan perusahaan tercatat yang bersangkutan.

4) Komisaris independen harus mengerti peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.

5) Komisaris independen diusulkan dan dipilih oleh pemegang saham minoritas yang bukan merupakan pemegang saham pengendali (bukan controlling shareholders) dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

Secara umum dewan komisaris ditugaskan dan diberi tanggungjawab atas pengawasan kualitas informasi yang terkandung dalam laporan keuangan. Dewan komisaris juga mewakili mekanisme internal untuk mengontrol perilaku oportunis manajemen sehingga dapat menyelaraskan kepentingan pemegang saham dan manajer (Kusumawati dan Riyanto, 2005). Menurut Boediono (2005), komposisi dewan komisaris merupakan salah satu karakteristik dewan yang berhubungan dengan kandungan informasi laba. Melalui perannya dalam menjalankan fungsi pengawasan, komposisi dewan dapat mempengaruhi pihak manajemen dalam menyusun laporan keuangan sehingga dapat diperoleh suatu laporan laba yang berkualitas. Adanya komisaris independen diharapkan mampu meningkatkan peran dewan komisaris sehingga tercipta corporate governance di dalam perusahaan.

Penelitian yang dilakukan Haniffa dan Cooke (2005) serta Hossain (2008) menunjukkan adanya hubungan subtitusi antara pengungkapan informasi dengan komisaris independen. Nasir dan Abdullah (2004) serta Lim, Matolcsy, dan Chow (2007) Penelitian yang dilakukan Haniffa dan Cooke (2005) serta Hossain (2008) menunjukkan adanya hubungan subtitusi antara pengungkapan informasi dengan komisaris independen. Nasir dan Abdullah (2004) serta Lim, Matolcsy, dan Chow (2007)

H 2 : Proporsi komisaris independen berpengaruh positif terhadap pengungkapan intellectual capital.

E. Struktur Kepemilikan dan Pengungkapan Intellectual Capital

Struktur kepemilikan adalah persentase kepemilkan saham perusahaan yang dimiliki oleh sebuah institusi. Meningkatnya kepemilikikan oleh institusi lain akan menyebabkan adanya permintaan pengawasan terhadap manajemen perusahaan dan berkurangnya kemungkinan manajemen untuk mengungkapkan informasi hanya dari sisi manajemen saja. Pengungkapan informasi kemungkinan besar akan meningkat pada perusahaan dengan kepemilikan yang dipecah-pecah (Hossain et al., 1994). Sudut pandang ini menunjukkan adanya hubungan positif antara kepemilikan saham oleh institusi lain dengan tingkat pengungkapan intellectual capital.

H 3 : Struktur kepemilikan berpengaruh positif terhadap pengungkapan intellectual capital.

F. Kepemilikan Manajemen dan Pengungkapan Intellectual Capital

Kepemilikan manajemen adalah ada tidaknya saham yang dimiiki oleh manajemen dalam perusahaan. Tingkat pengungkapan informasi akan berkurang bila Kepemilikan manajemen adalah ada tidaknya saham yang dimiiki oleh manajemen dalam perusahaan. Tingkat pengungkapan informasi akan berkurang bila

Kepemilikan oleh pihak manajemen perusahaan sebagai variabel corporate governance sangatlah signifikan dengan fakta-fakta bahwa skenario investasi di Asia Timur adalah dimiliki dan dikendalikan oleh pihak yang sama (La-Porta, Lopez-de- Silanes, Shleifer dan Vishny, 2000; Tan, 2000; Ho dan Wang, 2001).

Menurut Ho dan Wong (2001) seseorang yang memegang dua peranan sekaligus akan cenderung menyimpan informasi dan tidak mengungkapkannya kepada pihak luar. Fama dan Jensen (1983) berpendapat bahwa ketika seseorang berkedudukan sebagai seorang chairman dan CEO, maka dapat dipastikan akan cenderung memihak kepada manajemen daripada stockholder.

Penelitian yang dilakukan oleh Ho dan Wong (2001) menemukan hubungan negatif, tetapi tidak signifikan antara dominant personality dengan pengungkapan secara voluntary.

H 4 : Kepemilikan manajemen berpengaruh negatif terhadap pengungkapan intellectual capital.

G. Kerangka Pemikiran

Berdasarkan dari tinjauan pustaka di atas, penulis mencoba menguji kembali corporate governace (ukuran dewan komisaris, komisaris independen, struktur kepemilikan, dan kepemilikan manajemen) terhadap pengungkapan intellectual capital pada sektor perbankan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia.

Corporate Governance

 ukuran dewan komisaris 

proporsi komisaris Pengungkapan

independen  Intellectual Capital

struktur kepemilikan 

kepemilikan manajemen

Variabel Kontrol  Total Asset

Return On Equity

Leverage  Growth 

Umur Perusahaan

Tipe Auditor

Gambar II.1 Kerangka Pemikiran

BAB III METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian hypotheses testing yang bertujuan untuk menguji hipotesis yang diajukan yaitu apakah terdapat pengaruh yang signifikan antara karakteristik perusahaan (ukuran dewan komisaris, komisaris independen, struktur kepemilikan, dan kepemilikan manajemen) terhadap pengungkapan intellectual capital sektor perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Hypotheses testing biasanya menjelaskan mengenai beberapa hubungan dan pengaruh antar variabel, memahami perbedaan antar kelompok, dan independensi antarvariabel dalam suatu situasi (Sekaran, 2003).

B. Populasi, Sampel, dan Teknik Sampling

Populasi mengacu pada sekelompok orang, kejadian (event), atau sesuatu yang menarik perhatian peneliti untuk melakukan investigasi (Sekaran, 2003). Populasi dalam penelitian ini adalah sektor perbankan di Bursa Efek Indonesia. Penggunaan sektor perbankan yang terdaftar di BEI sebagai populasi karena perusahaan perbankan mempunyai kewajiban untuk menyampaikan laporan tahunan kepada pihak luar perusahaan, sehingga memungkinkan data laporan tahunan tersebut diperoleh dalam penelitian ini.

Sampel adalah bagian dari populasi yang terdiri dari elemen-elemen yang diharapkan memiliki karakteristik yang mewakili populasinya (Sekaran, 2003). Teknik pengambilan sampel (sampling) yang digunakan adalah purposive sampling. Teknik purposive sampling adalah pengambilan sampel yang dilakukan dengan mengambil sampel berdasarkan kriteria tertentu sesuai dengan tujuan penelitian (Hartono, 2004). Adapun kriteria purposive sampling dalam penelitian ini adalah:

a. Sektor perbankan yang terdaftar dalam Bursa Efek Indonesia (BEI),

b. Menerbitkan laporan tahunan (annual report) antara tahun 2004 sampai dengan 2008 pada website Bursa Efek Indonesia (BEI),

c. Perusahaan tidak terlibat kasus hukum perbankan saat awal dimulainya penelitian,

d. Annual report yang diperoleh tidak dalam kondisi rusak (tidak bisa dibaca dan diolah),

e. Annual report memberikan informasi lengkap yang sesuai dengan variabel yang terdapat dalam penelitian ini.

Tahun 2008 dijadikan batas terakhir karena melihat ketersediaan annual report terakhir pada saat penelitian ini dimulai awal Tahun 2010, sedangkan untuk kriteria tidak terlibat kasus hukum dan masih terdaftar pada Bursa Efek Indonesia (BEI) hingga awal dimulainya penelitian karena penulis beranggapan bahwa annual report pada perusahaan yang terlibat kasus hukum kebenaran data-data dalam annual report sebelum kasus tersebut terungkap sangat dipertanyakan.

C. Pengukuran Variabel

1. Variabel Dependen

a. Ukuran Dewan Komisaris

Ukuran dewan komisaris, merupakan banyaknya anggota yang duduk pada dewan komisaris. Penggunaan board size mengacu pada Yermack (1996), Conger et al. (1998), serta Zhou dan Chen (2004) yang telah meneliti menggunakannya sebagai variabel independen dari atribut good corporate governance, sebagai karakteristik dewan komisaris.

b. Komisaris independen

Komisaris independen merupakan salah satu proksi dari corporate governance. Variabel ini diukur dengan perbandingan antara jumlah komisaris independen dengan banyaknya komisaris pada perusahaan (Cerbioni dan Parbonetti, 2007).

c. Struktur Kepemilikan

Struktur kepemilikan merupakan salah satu proksi dari corporate governance. Variabel ini merupakan besarnya saham yang dimiliki oleh institusi dibagi dengan total saham yang beredar (Hossain et al., 1994).

d. Kepemilikan Manajemen

Kepemilikan manajemen adalah ada tidaknya manajer yang memiliki saham pada perusahaan dimana mereka menjabat. Variabel ini menggunakan Kepemilikan manajemen adalah ada tidaknya manajer yang memiliki saham pada perusahaan dimana mereka menjabat. Variabel ini menggunakan

2. Variabel Independen

Variabel adalah sesuatu hal yang dapat dijadikan pembeda suatu nilai (Sekaran, 2003). Variabel dependen dalam penelitian ini adalah pengungkapan intellectual capital dalam annual reports. Annual report dipilih sebagai data untuk proksi-proksi variabel dependen karena annual report merupakan satu-satunya dari banyak media komunikasi publik yang dilakukan perusahaan yang dapat digunakan untuk mentrasfer informasi kepada komunitas yang berinvestasi di dalam perusahaan untuk mengetahui capital yang dimiliki perusahaan (Frederiksen dan Westphalen, 1998).

Parker (1982) juga berpendapat bahwa annual report merupakan media publik yang mencakup lingkup yang luas dan mudah disediakan. Selain itu, kelebihan dari annual report adalah terdapatnya komponen pelaporan selain laporan keuangan yang

menjadi media untuk komunikasi tentang informasi intellectual capital (Johanson et. al, 1999 dan Abeysekera, 2001). Oleh sebab itu, annual report menjadi pilihan untuk mengukur pengungkapan intellectual capital suatu perusahaan.

Untuk menganalisa pengungkapan intellectual capital, dalam penelitian ini menggunakan content analysis. Content analysis dilakukan dengan cara membaca annual report setiap perusahaan sampel kemudian memberikan kode untuk setiap informasi yang terkandung di dalamnya menurut kerangka indikator intellectual capital yang telah ditentukan. Adapun indikator intellectual capital dalam penelitian Untuk menganalisa pengungkapan intellectual capital, dalam penelitian ini menggunakan content analysis. Content analysis dilakukan dengan cara membaca annual report setiap perusahaan sampel kemudian memberikan kode untuk setiap informasi yang terkandung di dalamnya menurut kerangka indikator intellectual capital yang telah ditentukan. Adapun indikator intellectual capital dalam penelitian

Untuk pengkodean informasi terdapat 2 (dua) skema utama dalam pengkodean dan pengukuran pengungkapan intellectual capital. Yang pertama adalah dichotomus (0:1) yang menganalisa jumlah item intellectual capital yang diungkapkan berdasarkan kerangka intellectual capital yang dipakai (misal: Bontis, 2003) dan frekuensi item intellectual capital yang muncul (misal: Guthrie dan Petty, 2000; Brennan, 2001). Dan yang kedua menggunakan skema weighted coding dimana setiap informasi yang bersifat kuantitatif dan kualitatif masing-masing diberi nilai sendiri (misal: Bozzolan et al., 2003; Sujan dan Abeysekera, 2007; Cerbionni dan Parbonetti, 2007). Dalam penelitian ini penulis menggunakan skema weighted coding sesuai yang dipakai oleh Cerbioni dan Parbonetti (2007) dengan kerangka intellectual capital yang dipakai dari modifikasi Cerbioni dan Parbonetti (2007) dengan Guthrie et al. (2008).

d i IPIC  i  1

Keterangan, d i menyatakan atribut i diberi skore 2 jika pengungkapan intellectual capital dalam bentuk kuantitatif, diberi skore 1 jika dalam bentuk kualitatif, diberi skore 0 jika informasi tidak diungkapkan, dan kalimat dalam bentuk asumsi (misal: