PENGANTAR KARYA TUGAS AKHIR - Pengantar karya tugas akhir fotografi sebagai penunjang promosi seni liping jopajapu

PENGANTAR KARYA TUGAS AKHIR FOTOGRAFI SEBAGAI PENUNJANG PROMOSI SENI LIPING JOPAJAPU

Diajukan Sebagai Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Seni Jurusan Desain Komunikasi Visual

Oleh: MIFTAH M. PURNOMOADI C0705020

DESAIN KOMUNIKASI VISUAL FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA UNIVERSITAS NEGERI SEBELAS MARET SURAKARTA

PERNYATAAN

Dengan ini penulis menyatakan bahwa Pengantar Karya Tugas Akhir yang

berjudul “FOTOGRAFI SEBAGAI PENUNJANG PROMOSI SENI

LIPING JOPAJAPU ”, ini beserta isinya dan seluruh karya desain yang penulis

buat adalah benar-benar karya sendiri, dan penulis tidak melakukan penjiplakan baik seluruhnya maupun sebagian, dengan cara-cara yang tidak sesuai etika keilmuan yang berlaku dalam masyarakat akademik. Atas pernyataan ini, penulis siap menanggung resiko/sanksi yang dijatuhkan kepada penulis, apabila kemudian ditemukan adanya pelanggaran terhadap keaslian karya ini.

Surakarta, 31 Januari 2013 Penulis,

Miftah M. Purnomoadi NIM C0705020

HALAMAN PERSEMBAHAN

Untuk Ibu, Bapak, dan semua Keluarga tercinta, yang senantiasa sabar menanti kelulusan saya....

HALAMAN MOTTO

You do not even inspire me, Then why are you so dare to teach me?

KATA PENGANTAR

Dengan mengucap puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya yang luar biasa, serta semua tuntunan dan kekuatan yang selalu dianugerahkan-Nya, sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan mata kuliah Tugas Akhir setelah melalui proses panjang demi tersusunnya pengantar karya Tugas Akhir ini.

Pada kesempatan ini pula penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Drs. Riyadi Santosa, M. Ed., Ph.D, selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS.

2. Drs. M. Suharto, M.Sn, selaku Ketua Jurusan Desain Komunikasi Visual Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS.

3. Andreas S. W, S.Sn., M.Hum, selaku dosen sekaligus pembimbing I, terima kasih atas waktu, tenaga, pikiran, serta kesabarannya, yang telah diberikan dalam membimbing tugas akhir ini.

4. Rudy W. Herlambang, S.Sn., M.Sn, selaku dosen sekaligus Pembimbing II, terima kasih atas waktu, tenaga, dan pikiran serta kesabarannya, yang telah diberikan dalam membimbing tugas akhir ini.

5. Semua pihak dan jajaran yang berada di lingkungan kampus terima kasih untuk ide, kesabaran, bantuan dan dukungan moral sehingga tugas akhir ini dapat selesai.

Penulis berharap semoga tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Surakarta, 31 Januari 2013

Penulis

Miftah M. Purnomoadi NIM C0705020

5. Paper Bag .............................................................................. 58

6. Web Banner .......................................................................... 59

7. Website ................................................................................. 60

E. Prediksi Biaya ........................................................................... 61

BAB V

VISUALISASI KARYA ……………………….…….…….......... 62

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ……………..………………….. 71 DAFTAR PUSTAKA ………………………………………..….................... 73 UCAPAN TERIMAKASIH ……………...………………..………………... 74

LAMPIRAN

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Visualisasi dan Pengaplikasian Karya Lampiran 2 Lembar Konsultasi Dosen Pembimbing Tugas Akhir I Lampiran 3 Lembar Konsultasi Dosen Pembimbing Tugas Akhir II Lampiran 4 Lembar Revisi Tugas Akhir

Fotografi Sebagai Penunjang Promosi Seni Liping Jopajapu

Miftah M. Purnomoadi 1

Andreas S.W, S.Sn, M.Hum 2 dan Rudi W. Herlambang, S.Sn., M.Sn 3

ABSTRAK

2013. Tugas Akhir ini berjudul Fotografi Sebagai Penunjang Promosi Seni Liping Jopjapu. Adapun masalah yang dikaji adalah bagaimana merancang promosi dengan komunikasi dan visualisasi yang baik agar dapat mendorong peningkatan brand awareness dan brand image Seni Liping Jopajapu serta mengedukasi tentang kearifan budaya lokal Indonesia. Karya dibuat dalam bentuk foto dengan unsur desain grafis maupun digital imaging, dirancang sedemikian rupa sehingga mampu menghasilkan komunikasi yang tepat sasaran. Visual karya foto yang akan dibuat yaitu menampilkan produk-produk Seni Liping Jopajapu dengan menonjolkan keunikan dan keunggulannya. Tema-tema yang diangkat disatukan dalam penggambaran semangat untuk menghargai dan menjunjung tinggi kearifan Budaya lokal sehingga mampu menyampaikan pesan secara efektif, persuasif, dan bermuatan artistik. Dengan disusunnya perancangan ini, diharapkan masyarakat menyadari akan keberadaan merk Seni Liping Jopajapu, serta menjadikan Seni Liping Jopajapu sebagai salah satu medium edukasi tentang kearifan budaya lokal sebagai penumbuh rasa cinta tanah air pada bangsa Indonesia.

1 Mahasiswa jurusan Desain Komunikasi Visual (DKV). Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS dengan NIM. C0705020

Photography as Supporting Promotion Seni Liping Jopajapu

Miftah M. Purnomoadi 3

Andreas S.W, S.Sn, M.Hum 4 dan Rudi W. Herlambang, S.Sn., M.Sn 3

ABSTRACT

2013. This final project entitled Photography as Supporting Promotion Seni Liping Jopajapu. The problem studied is how to design campaigns with good communication and visualization in order to encourage brand awareness and brand image of Seni Lipng Jopajapu, and educate about cultural wisdom Indonesia. The work was made in the form of photographs with elements of graphic design and digital imaging, is designed to produce targeted communications. Visual photographs are created which displays Seni Liping Jopajapu to highlight the uniqueness and superiority. The themes were raised together in the depiction of the spirit to respect and uphold the wisdom of local culture so as to convey the message effectively, persuasive, and artistic charged. With the formulation of this design, it is expected the public aware of the existence of brand Seni Liping Jopajapu, and make it as a medium of education on cultural wisdom as a grower sense of patriotism to the nation of Indonesia.

3 Student of Visual Communication Design, Letter and Fine Arts Faculty, Sebelas Maret University, Student Number: C0705020

Bab I Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah

Diilhami dari keprihatinan melihat generasi muda yang sudah mulai merasa asing atau aneh dengan tradisi atau kebiasaan sehari-hari masyarakat Indonesia, yang sejatinya telah membesarkan dan membentuk karakter pola pikir orang tua mereka. Sebuah cita-cita dari sekedar pemikiran sederhana yang akhirnya mampu memberikan kontribusi terhadap seni dan budaya daerah yang menjadikan citra diri bangsa indonesia sebagai bangsa timur yang plural dan berkepribadian. Kebiasaan itu terlahir sebagai tradisi yang merupakan “warisan“ dari para leluhur. Namun ironisnya sekarang ini justru banyak masyarakat yang tak kenal apalagi paham dengan budayanya sendiri, mereka cenderung mengarah ke hal yang baru dan akhirnya membentuk budaya sendiri dan bukan lagi budaya orisinal, melainkan trend ikut-ikutan dengan gaya westernisasi, dan bahkan banyak diminati oleh kaum muda saat ini. Untuk budayanya sendiri mereka malu, mereka menganggap itu kuno atau bermacam alasan yang intinya tidak tertarik.

Dari sini awal terbentuknya Seni Liping sebagai konsep karya baru, yaitu mengenalkan kembali budaya daerah khususnya budaya Jawa kepada masyarakat yang saat ini cenderung melupakan budayanya sendiri, serta menjadikan Seni Liping sebagai media untuk mendekatkan budaya adiluhung Indonesia kepada masyarakat dan generasi muda agar dapat memahami dan mengenal kembali budaya sendiri sehingga bangsa ini tidak kehilangan citra dirinya.

Seni Liping adalah suatu karya yang berbahan olahan kayu pinus, berupa miniatur patung yang bercerita tentang kehidupan keseharian masyarakat Jawa khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya. Seni Liping memiliki visi dan misi yang sangat bagus dalam upaya memberi nilai edukasi tentang kearifan budaya lokal kepada masyarakat, akan tetapi dalam perkembangannya sampai saat ini masih banyak masyarakat yang belum mengenal Seni Liping Jopa Japu. Hal tersebut disebabkan karena kesadaran akan merk Seni Liping Jopa Japu masih rendah, sehingga kesadaran masyarakat terhadap keberadaan produk Seni Liping masih kurang, dan hampir tidak ada. Maka diperlukan adanya promosi guna meningkatkan kesadaran masyarakat akan keberadaan Seni Liping Jopa Japu.

Berangkat dari permasalahan di atas dan demi memberi nilai edukasi mengenai kearifan budaya Indonesia dan Jawa khususnya kepada masyarakat, maka penulis bermaksud mengangkat sebuah perancangan promosi dalam tugas akhir dengan judul FOTOGRAFI SEBAGAI PENUNJANG PROMOSI SENI LIPING JOPAJAPU. Mengingat luasnya pemasalahan dalam lingkup promosi, maka penulis membatasi permasalahan pada promosi dengan atau melalui media fotografi.

Dalam perancangan ini penulis menggunakan fotografi sebagai media. Karena pada dasarnya fotografi bersifat merekam dan menampilkan kejadian yang sesungguhnya.

Fotografi menampilkan kenyataan atau realita dan tidak ada unsur abstrak di dalamnya. Suatu kenyataan bahwa pembuatan seni fotografi dengan kamera berarti membatasi subyek dengan batas format pada jendela pengamat. Hal ini menjadikan seni fotografi lebih jujur daripada seni lainnya karena merekam seperti memfotocopy subyek yang ada di depannya. (Yekti Herlina. 2003)

Dalam hal ini penulis bermaksud merekam secara jujur keunggulan dan keunikan yang dimiliki Seni Liping Jopa Japu dan menampilkannya dengan komposisi yang tepat, sehingga pesan promosi yang disampaikan pun dapat diterima dengan baik.

B. Rumusan Masalah

Berikut rumusan masalah dalam perancangan ini:

1. Bagaimana merancang promosi yang tepat guna meningkatkan brand awareness dan brand image dari Seni Liping Jopa Japu dengan fotografi sebagai penunjang?

2. Bagaimana memilih media dan placement yang tepat untuk promosi dan relevan dengan fotografi?

C. Tujuan

Berikut adalah tujuan dari perancangan ini:

1. Merancang promosi untuk meningkatkan brand awareness dan brand image dari Seni Liping Jopa Japu dengan fotografi sebagai penunjang.

2. Memilih media yang tepat untuk promosi dan relevan dengan fotografi.

D. Target Audience dan Target Market

Target Primer

: Wisatawan asing dan domestik

Target Sekunder : Masyarakat Solo

Segmentasi dari target audience adalah sebagai berikut :

A) jenis kelamin

: laki-laki dan perempuan

B) agama

: semua agama

C) usia

: 25-40 tahun

D) sosial ekonomi

: masyarakat s/d menengah ke atas

E) tingkat pendidikan : s/d Sekolah Menengah Atas

F) pekerjaan

: segala profesi

Segmentasi dari target marget adalah sebagai berikut:

A) jenis kelamin

: laki-laki dan perempuan

B) agama

: semua agama.

C) usia

: segala usia

D) sosial ekonomi

: segala lapisan masyarakat

E) tingkat pendidikan : segala tingkat pendidikan

F) pekerjaan

: segala profesi

E. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang penulis gunakan antara lain:

1. Metode Observasi Penulis secara langsung datang ke tempat pembuatan seni liping untuk mengamati, melihat lokasi serta situasi dan kondisi lapangan. Penulis melakukan observasi dalam menentukan pemilihan media dan penempatannya.

2. Metode Wawancara Penulis melakukan wawancara mendalam atau in depth interviewing yang dilakukan secara formal dan nonformal kepada pemilik home industry Seni Liping.

3. Metode Studi Pustaka Penulis menggunakan sarana pustaka dari beberapa buku, majalah, jurnal dan artikel yang dapat memperkuat hasil analisis ini. Selain itu penulis melakukan pencarian melalui situs internet yang berhubungan langsung dengan Seni Liping dan juga produk-produk kompetitornya.

Bab II Kajian Teori

A. Seni Liping

1. Pengertian Seni Liping

Seni Liping adalah sebuah produk yang menjadi dasar karya dari perusahaan kerajinan Jopa-Japu. Seni Liping adalah suatu bentuk seni kerajinan yang berbahan olahan kayu pinus, berupa miniatur patung yang bercerita tentang kehidupan keseharian masyarakat Jawa khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya.

Menurut asal katanya Seni Liping berasal dari kosakata Bahasa Inggris yaitu living yang artinya kehidupan, mengadopsi dari kehidupan dan lidah orang jawa yang umumnya ndeso, udik, kampungan, bagaimana mereka mengucapkan kata

living menjadi “liping”. Sama halnya ketika dulu bangsa Belanda datang ke tanah Jawa yang sebenarnya mereka menawarkan perdagangan dengan nama compacny yang kemudian bergeser pe ngucapannya menjadi “kompeni” dan diartikan sebagai penjajah.

Latar belakang terciptanya Seni Liping diilhami dari keprihatinan melihat masyarakat dan generasi muda yang sudah merasa asing dengan tradisi atau kebiasaan sehari-hari masyarakat Indonesia, khususnya Jawa, yang sejatinya telah membentuk karakter pola pikir orang-orang terdahulu, yang kemudian mampu memberikan kontribusi terhadap seni dan budaya daerah dan menjadikan citra diri bangsa Indonesia sebagai bangsa timur yang plural dan berkepribadian.

2. Seni Liping Sebuah Representasi dari Kearifan Lokal

Kearifan lokal atau local genius yaitu kepandaian orang-orang setempat dalam menerima pengaruh dari luar, untuk kemudian dimanipulasi menjadi hal- hal yang lebih baik, lebih berguna dan lebih serasi diterapkan di lingkungannya sendiri dan bagi dirinya sendiri.

Indonesia yang terbentang begitu luasnya dengan aneka ragam budaya, adat- istiadat serta kesenian dengan segala spesifikasinya yang disebut dengan “kearifan lokal” adalah mutiara-mutiara terselubung yang sangat perlu diungkap kembali, supaya kita tidak kehilangan jatidiri, milik kita yang sangat berharga untuk dimanfaatkan dan dikumandangkan ke seluruh mancanegara. (Made Sukarata, 1999)

Seni Liping adalah produk yang mampu memberi nilai edukasi tentang kearifan budaya Indonesia, khususnya Jawa. (Bejo Wage Suu)

B. Fotografi

1. Definisi Fotografi

Fotografi berasal dari istilah Yunani yaitu photos yang berarti cahaya dan graphein yang berarti menggambar. Istilah tersebut digunakan pertama kali oleh Sir John Herschel pada tahun 1839. Jadi arti kata fotografi adalah menggambar dengan cahaya. (Yekti Herlina, 2003)

2. Sejarah Fotografi

Cikal bakal fotografi sudah dimulai oleh seorang penulis Cina, Moti pada abad ke-5 SM, Aristoteles pada abad ke-3 SM, dan seorang ilmuwan Arab Ibnu al

Haitam pada abad ke-10 SM. Kemudian pada tahun 1558 ilmuwan Itali, Giambattista della Porta menciptakan camera obscura, yaitu sebuah kotak yang membantu pelukis menangkap bayangan gambar.

Pada awal abad ke-17 seorang ilmuwan berkebangsaan Itali bernama Angelo Sala menemukan, bila serbuk perak nitrat dikenai cahaya, warnanya akan berubah menjadi hitam. Thomas Wedgwood pada 1800, dan Humprhrey Davy melakukan percobaan lebih lanjut dengan chlorida perak namun bernasib sama, yaitu pelatnya dengan cepat berubah menjadi hitam walaupun sudah menangkap imaji melalui camera obscura.

Akhirnya pada tahun 1824 seorang seniman lythography perancis, Joseph- Nicephore Niepce setelah delapan jam meng-exposed pemandangan dari jendela kamarnya, melalui proses yang disebutnya heliogravure di atas plat logam yang diapisi aspal, berhasil melahirkan sebuah imaji yang agak kabur, berhasil pula mempertahankan gambar secara permanen. Kemudian ia mencoba menggunakan kamera obscura berlensa, proses yang disebut heliogravure pada tahun 1826 inilah yang akhirnya menjadi awal sejarah fotografi yang sebenarnya. Foto yang dihasilkan itu kini disimpan di University of Texas di Austin, AS.

Baru pada tanggal 19 Agustus 1839, Daguerre dinobatkan sebagai orang pertama yang berhasil membuat foto yang sebenarnya, sebuah gambar permanen pada lembaran plat tembaga perak yang dilapisi larutan iodin yang disinari selama satu setengah jam cahaya langsung dengan pemanas mercury atau neon. Proses ini disebut daguerreotype. Untuk membuat gambar permanen, pelat dicuci larutan garam dan air suling.

George Eastman, seorang fotografer, peneliti, sekaligus seorang pebisnis berhasil melahirkan kamera legendaris Kodak pada bulan Juni 1888. Namun sebelumnya, pada akhir tahun 1885 Eastman berhasil meluncurkan negatif kertas inovasi barunya yang disebut American Film, kemudian meluncurkan kertas bromida untuk cetak positifnya. Sejak saat itu dimulailah abad pembesaran foto versi Kodak yang besarnya hingga 76 x 63 cm. Kemudian pada Juni 1888 Eastman berhasil mewujudkan impiannya dengan meluncurkan kamera merek Kodak yang ringan, kompak, bahkan tanpa dilengkapi jendela bidik atau view finder . Pemotret cukup mengarahkan tanda “V” yang dicetak timbul ke arah sasaran, menarik sebuah tali untuk menyiapkan pembukaan shutter, menekan tombol, dan menggulung film. Setelah film yang memuat 100 exposure habis, kamera bisa dibawa ke pabrik Kodak untuk diproses dan diisi film baru. Sejak itu muncullah slogan You Press the button – we do the rest. Muncul pula ikon Gadis Kodak yang murah senyum.

Perkembangan cara kerja kamera pun semakin pesat. Kamera sudah tidak lagi menggunakan film yang membutuhkan proses cuci cetak. Revolusi penerima bayangan gambar memicu lahirnya fotografi digital. Film diganti oleh data digital yang pada dasarnya sama dengan teknologi rekaman televisi. Awalnya, pada tahun 1951 terjadi peristiwa sebuah VTR atau video tape recorder bisa menangkap gambar hidup dari kamera televisi dengan menggunakan sensor CCD atau charge coupled device untuk mengatur sensitivitas pencahayaan penerimaan image gambar, mengonversi informasi menjadi impuls electric digital dan menyimpannya pada tape magnetis.

Pada 1972 ada pematenan kamera tanpa film yang disebut film-less electronic camera . Kamera tanpa film pertama yang diperdagangkan keluaran Sony yang dirilis pada 1981, Sony Mavica Electronic Still Camera. Gambar- gambar direkam ke dalam mini disc, dan melalui video reader yang terhubung dengan monitor televisi, maka hasil jepretan kamera tanpa film itu dapat dinikmati.

Akhirnya Kodak pun merilis DCS atau Digital Camera System profesional pertama, dan mengincar pasar para jurnalis foto, itulah kamera Nikon F-3 yang dilengkapi dengan 1.3 megapixel sensor. Pada 1990-an muncul pula kamera- kamera digital untuk pasar para konsumen yang bekerja dengan komputer rumah, dengan serial cable, yaitu Apple Quick-Take 100 (Februari 1994), Kodak DC40 (Maret 1995), Casio QV-11 dengan LCD monitor (akhir 1995), dan kamera Sony Cyber-Shot Digital Still (1996).

(Ray Bachtiar. Majalah Chip Foto-Video, edisi: Ritual Fotografi. 2008.)

3. Jenis-Jenis Fotografi

Dalam fotografer.net dijelaskan beberapa macam atau kategori fotografi sebagai berikut:

a. Fotografi abstrak: foto-foto objek yang mengutamakan keindahan komposisi, permainan bentuk dan warna, elemen-elemen grafis dan tekstur.

b. Fotografi arsitektur: foto-foto yang menampilkan kecantikan bangunan buatan manusia, seperti gedung dan jembatan.

c. Fotografi budaya: objek foto berupa tampilan budaya tradisional, kontemporer, dan modern, seperti tari-tarian, festival budaya tradisional dan tradisi lokal.

d. Fotografi olah digital: karya-karya yang merupakan hasil olah digital, kolase foto, dan teknik-teknik digital lain.

e. Fotografi fashion: foto-foto busana yang dirancang khusus dan dikenakan oleh model foto, bisa berupa foto di catwalk, studio atau lokasi khusus, dan berbeda dengan kategori model yang tidak menonjolkan unsur-unsur detil busana.

f. Fotografi interior: objek utama adalah interior ruangan, dan berbeda dengan kategori arsitektur yang lebih menonjolkan unsur eksterior.

g. Fotografi jurnalistik: foto-foto yang dihasilkan oleh jurnalis foto dalam melakukan tugasnya, dan non-jurnalis foto yang merekam peristiwa- peristiwa.

h. Fotografi komersial: foto-foto yang dibuat untuk kepentingan komersial.

i. Fotografi landscape: foto-foto yang objeknya adalah pemandangan alam yang unsur utamanya berupa unsur-unsur tak hidup seperti tanah, air, langit atau kombinasi ketiganya, dan berbeda dengan kategori nature yang menonjolkan objek-objek berupa makhluk hidup.

j. Fotografi lubang jarum: foto-foto yang dibuat dengan kamera lubang jarum alias pinhole camera. k. Fotografi makro: foto-foto benda kecil yang ditampilkan dengan perbesaran 1:2 atau lebih.

l. Fotografi human interest: foto-foto yang objek utamanya berupa manusia secara individual dan kelompok, yang utamanya ditujukan untuk menampilkan mood dari objek foto.

m. Fotografi model: foto-foto yang menampilkan modelfoto, tanpa penekanan pada unsur fashion. n. Fotografi nature: segala fenomena alam, satwa liar hidup di habitat aslinya serta tumbuh- tumbuhan liar yang hidup di habitat alaminya. Kehadiran manusia atau segala bentuk hasil karya budaya manusia tidak boleh tampak dalam foto. Demikian pula, satwa yang sudah ditangkar, dikurung, diawetkan dan tumbuh-tumbuhan yang berupa tumbuhan hibrida, ditanam manusia dan diawetkan tidak termasuk dalam fotografi nature . Fenomena geologi dan foto serangga termasuk dalam kategori ini. Nilai penuturan sebuah cerita lebih ditekankan daripada sekedar nilai piktorial . Manipulasi foto hanya diperkenankan sebatas menusir kotoran dan tidak merubah foto aslinya. Manipulasi lebih daripada itu tidak diperkenankan dalam bentuk apapun.

o. Fotografi olahraga: foto-foto event olahraga. p. Fotografi panggung: foto-foto pertunjukan di panggung, seperti konser

musik, pentas showbiz, pertunjukan tari dan pentas teater. q. Fotografi portrait: foto-foto dengan objek manusia, baik secara individual maupun kelompok, dengan bergaya portrait yang menonjolkan unsur personality objek foto.

r. Fotografi satwa: foto-foto hewan yang masih hidup di habitat alaminya, atau yang hidup di habitat buatan manusia yang mirip dengan aslinya, seperti taman nasional dan taman safari.

s. Fotografi still life: foto-foto benda tidak bergerak yang diatur atau dibuat secara khusus untuk membentuk komposisi yang indah. Foto-foto karya seni, detil mesin, dan patung termasuk dalam kategori ini.

4. Konseptual Fotografi

Konsep adalah sesuatu yang sangat penting dalam menghasilkan foto, karena konsep merupakan jembatan atau media untuk menyampaikan bahasa gambar, di mana gambar merupakan sarana berkomunikasinya. Dan seorang pemotret selayaknyalah memikirkannya hingga komunikasinya sampai pada orang lain. Karena itu bila pemotret telah mempunyai konsep pemotretan maka cara apa pun yang dilakukannya pasti akan menjadikan suatu objek menjadi lebih baik dibandingkan dengan memotretnya tanpa konsep yang jelas. (Atok Sugiarto, Multiply.com, 14 Juni 2005)

Fotografi bisa dikatakan sebagai kegiatan penyampaian pesan secara visual dari pengalaman yang dimiliki fotografer kepada orang lain dengan tujuan orang lain mengikuti jalan pikirannya. Supaya tercapai proses penyampaian pesan ini maka harus melalui beberapa persyaratan komunikasi yang baik, yaitu konsep AIDA

(Attention –Interest-Desire-Action)

atau

Perhatian –Ketertarikan–

Keinginan –Tindakan. Syarat pertama adalah harus menimbulkan perhatian atau attention . Sebuah karya foto pertama-tama harus mampu mendapatkan perhatian orang untuk melihatnya. Tanpa proses ini, sebuah pesan dari karya foto juga karya

seni lainnya akan berhenti disitu saja. Kemudian setelah mampu mendapat perhatian orang maka karya foto harus mampu menimbulkan ketertarikan atau interest terhadap pesan yang akan disampaikan. Setelah orang tertarik pada karya foto yang dibuat, maka dari situ proses tetap berlangsung dengan timbulnya keinginan atau desire untuk mengetahui lebih jauh pesan yang disampaikan. Proses terakhir adalah dengan timbulnya tindakan atau action seperti yang diharapkan oleh fotografer sesuai pesan yang disampaikannya. Jika proses terakhir ini berhasil, maka berhasil pulalah penyampaian pesan mengenai pengalaman yang dimiliki fotografer kepada orang lain dengan adanya tindakan nyata yang dilakukan. Tindakan-tindakan itu bisa beraneka macam tergantung pesan apa yang disampaikan. Bisa menimbulkan perasaan tertentu, misalnya sedih, gembira, marah, takut, terharu, dan lain-lain, hingga tindakan yang nyata. Misalnya: membeli produk yang tercantum pada foto pada commercial

photography , memberikan bantuan kepada orang yang tertimpa musibah pada photojournalism , human interest, menimbulkan rasa kagum bahkan cinta, dan lain

sebagainya. Melalui foto juga, orang bisa terpikat pada suatu objek berita, produk olahraga, makanan, minuman, sampai hasil industri. Oleh karena itu lahirlah ungkapan foto mampu berbicara lebih dari seribu kata. (Yekti Herlina. 2003).

5. Fotografi Still life

Fotografi still life adalah foto-foto benda tidak bergerak yang diatur atau dibuat secara khusus untuk membentuk komposisi yang indah. (www.fotografer.net)

Meskipun yang menjadi objek pemotretan adalah benda-benda mati, memotretnya untuk menjadi sebuah foto yang baik dan mengandung seni tidaklah semudah yang kita bayangkan. Terlebih bila kita harus menjadikan benda mati tersebut menjadi "hidup" atau berisi.

Jelas bahwa membuat foto still life bukan sekadar menyalin atau memindahkan objek ke dalam film dengan cara seadanya. Karena bila seperti itu yang dilakukan, namanya adalah mendokumentasikan. Padahal yang diperlukan adalah suatu teknik pemotretan yang baik, apakah mengenai sudut pemotretan, pencahayaan atau hal-hal lain yang terkait dengan tujuan pencapaian hasil foto yang artistik dan mengandung seni. Karena itulah untuk menghasilkan sebuah foto still life yang baik perlu adanya teknik pemotretan yang baik pula.

Yang sangat berperan dalam hal ini adalah pencahayaannya, yaitu jatuhnya sinar terhadap objek yang kita potret. Umumnya pemotretan still life dilakukan dengan menggunakan cahaya artifisial atau cahaya buatan, lampu kilat misalnya. Mengatur jatuhnya sinar pada objek sedemikian rupa dengan cara memindah- mindahkannya atau menggeser, mengangkat, memutar objek sehingga ditemukan pencahayaan yang terbaik. Inilah salah satu kemudahan memotret benda mati di mana untuk menentukan arah pencahayaan yang tepat pada objek, pemotret hanya melakukannya dengan cara menggeser, mengangkat atau memutarnya.

Dalam menyinari objek still life posisi lampu dan jumlah lampu yang digunakan akan sangat menentukan keberhasilan dalam "menghidupkan" benda- benda mati tersebut. Karena itu harus mampu menentukan penempatannya dengan memperhatikan objek yang akan difoto secara benar dan melakukan penyinaran Dalam menyinari objek still life posisi lampu dan jumlah lampu yang digunakan akan sangat menentukan keberhasilan dalam "menghidupkan" benda- benda mati tersebut. Karena itu harus mampu menentukan penempatannya dengan memperhatikan objek yang akan difoto secara benar dan melakukan penyinaran

Tambahan latar belakang atau sesuatu aksesori lain jika dikehendaki memang akan lebih membantu menjadikan sebuah benda biasa menjadi lebih menarik.

Semua peralatan kamera maupun lensa, selama itu masih berfungsi dengan baik, dapat digunakan untuk memotret alam benda mati atau still life. Dimulai dari kamera jenis SLR sampai jenis kamera view. Demikian juga dengan pencahayaannya. Bila tidak memiliki lampu kilat secara khusus, seperti kebiasaan orang memotret still life yang selalu menggunakan cahaya lampu kilat studio yang baik, menggunakan lampu kilat biasa bahkan dengan cahaya alam matahari dapat juga dilakukan. Misalnya dengan menunggu matahari muncul dari balik jendela rumah. Memang memotret still life dapat dilakukan dengan penyinaran apa pun. Sehingga bisa dikatakan bahwa jenis pemotretan ini merupakan suatu cabang fotografi yang simpel dan mengasyikkan.

Bila pemotret berhasil menggabungkan konsep teknik dengan konsep seni, maka sebuah benda mati yang tak pernah diperhatikan orang yang mungkin juga sering hanya dibuang, bisa menjadi sesuatu yang dilirik bahkan mungkin dilihat serta diminati orang ketika sudah ditampilkan dalam bentuk sebuah foto yang baik dan mengandung nilai seni. (atoksugiarto.multiply.com. 14 Juni 2005)

6. Lighting

Pencahayaan still life atau produk kecil terlihat cukup sulit, kecuali anda memiliki cukup pengalaman untuk mengatasi tantangan yang muncul. Pada awalnya, fotografi produk still life diperlukan banyak kesabaran. Memiliki kesabaran untuk mendapatkan hasil bidikan yang sempurna dengan sudut dan pencahayaan yang sempurna adalah hal yang paling sulit. Maka Anda harus mencintai proses, bukan hanya hasil akhir.

Dalam fotografi still life atau produk kecil menggunakan softbox besar atau payung membantu untuk mencapai kualitas cahaya yang diperlukan, membantu menciptakan kontras yang bagus pada objek itu sendiri. Dan untuk mendapatkan transisi halus serta menghilangkan debu atau ketidaksempurnaan pada produk, pascaproduksi adalah kuncinya.

Dalam fotografi produk, menciptakan efek pencahayaan halus tanpa terlalu banyak melakukan penyinaran adalah sebuah kebutuhan. Menjaga warna produk "tetap asli" dalam gambar adalah penting.

Pencahayaan adalah satu hal penting dalam membuat gambar. Lighting dapat menambah komposisi dengan menciptakan pemisahan antara benda satu dengan benda lain dan dengan menguatkan karakter lingkungan di sekitar objek. Cahaya menetapkan suasana hati dan menuntun mata pemirsa kepada pesan visual yang disampaikan.

Ketika memotret produk ataupun still life di dalam suatu set, tiga lampu biasanya diperlukan: cahaya utama, cahaya pengisi, dan cahaya aksen. Untuk pemotretan produk yang lebih kecil, menggunakan softbox utama sebagai cahaya pengisi mungkin cukup. Produk dengan bentuk yang unik, tekstur, dan permukaan Ketika memotret produk ataupun still life di dalam suatu set, tiga lampu biasanya diperlukan: cahaya utama, cahaya pengisi, dan cahaya aksen. Untuk pemotretan produk yang lebih kecil, menggunakan softbox utama sebagai cahaya pengisi mungkin cukup. Produk dengan bentuk yang unik, tekstur, dan permukaan

7. Komposisi Fotografi

Komposisi menjadi satu kunci bagus-tidaknya hasil foto. Memang komposisi adalah masalah selera pribadi, tidak ada yang salah dan benar dalam komposisi selama punya keyakinan bahwa foto yang diambil penuh dengan pemikiran dan eksplorasi. Komposisi adalah cemin konsep tentang cara menempatkan objek dalam bingkai foto. (Jimmy W. Bharata. 2006)

8. Kamera Digital

Proses perekaman gambar pada kamera digital dimulai dengan cahaya mengenai subjek, kemudian cahaya tadi dipantulkan ke kamera, kemudian diteruskan untuk mengenai sensor gambar kamera digital selama rana terbuka. Saat dimana cahaya mengenai sensor gambar disebut pencahayaan atau exposure. Pencahayaan adalah proses penerimaan dan perekaman gambar oleh sensor dan sistem kerja kamera digital. (Makarios Soekojo. Fotografi Digital Artisitik. 2008).

Berikut beberapa elemen penting dalam membuat foto dengan kamera digital:

a. Diafragma dan rana Kamera bisa menghasilkan gambar dengan kualitas yang baik, jika menerima cahaya dalam rentang kecerahan tertentu, tidak boleh terlalu cerah, juga tidak terlalu gelap. Karena itu cahaya yang masuk ke kamera a. Diafragma dan rana Kamera bisa menghasilkan gambar dengan kualitas yang baik, jika menerima cahaya dalam rentang kecerahan tertentu, tidak boleh terlalu cerah, juga tidak terlalu gelap. Karena itu cahaya yang masuk ke kamera

Diafragma atau apperture berfungsi mengendalikan kecerahan cahaya yang masuk ke kamera. Bukaan diafragma diatur oleh cakra diafragma atau apperture dial pada f2,8, f4, f5,6, f8, f11, f16 dan seterusnya. Jika mengatur diafragma pada angka f2,8, diafragma lensa akan bekerja dengan bukaan besar. Bukaan f4 lebih kecil dari bukaan f2,8 dan seterusnya, hingga f16 atau f22 yang merupakan bukaan terkecil. Dengan mengatur bukan diafragma besar atau kecil, kita bisa mengatur banyaknya cahaya yang akan mengenai sensor gambar kamera digital.

Sedangkan rana atau shutter kamera berfungsi untuk mengendalikan lama cahaya mengenai sensor gambar. Lamanya rana bekerja membuka dan menutup kembali biasanya disebut kecepatan rana atau shutter speed. Kecepatan rana ditandai dengan angka: 1, 2, 8, 15, 30, 60, 125, 250, 500, 1000, 2000, 4000, bahkan 8000. Setiap angka ini berarti 1/... (sepersekian detik). Jika kita mengatur cakra kecepatan rana pada angka 250, rana akan bekerja membuka dan menutup selama 1/250 detik. Jika mengatur cakra pada angka 30, rana akan membuka dan menutup selama 1/30 detik. Kecepatan rana rendah akan membiarkan cahaya cukup lama menerpa sensor gambar digital, sedangkan kecepatan rana tinggi akan membatasi intensitas cahaya yang mengenai sensor tersebut. Selain mengatur kecerahan cahaya, penggunaan rana juga tergantung pada kecerahan cahaya yang ada. Dalam keadaan cerah kita bisa menggunakan kecepatan rana tinggi, sedangkan dalam keadaan remang-remang atau gelap, maka Sedangkan rana atau shutter kamera berfungsi untuk mengendalikan lama cahaya mengenai sensor gambar. Lamanya rana bekerja membuka dan menutup kembali biasanya disebut kecepatan rana atau shutter speed. Kecepatan rana ditandai dengan angka: 1, 2, 8, 15, 30, 60, 125, 250, 500, 1000, 2000, 4000, bahkan 8000. Setiap angka ini berarti 1/... (sepersekian detik). Jika kita mengatur cakra kecepatan rana pada angka 250, rana akan bekerja membuka dan menutup selama 1/250 detik. Jika mengatur cakra pada angka 30, rana akan membuka dan menutup selama 1/30 detik. Kecepatan rana rendah akan membiarkan cahaya cukup lama menerpa sensor gambar digital, sedangkan kecepatan rana tinggi akan membatasi intensitas cahaya yang mengenai sensor tersebut. Selain mengatur kecerahan cahaya, penggunaan rana juga tergantung pada kecerahan cahaya yang ada. Dalam keadaan cerah kita bisa menggunakan kecepatan rana tinggi, sedangkan dalam keadaan remang-remang atau gelap, maka

b. Mettering atau Pola Pengukuran Cahaya Untuk mendapatkan hasil rekaman yang optimal, kita membutuhkan informasi kecerahan subjek secara akurat. Maka pada kamera disediakan beberapa pola pengukuran sebagai berikut:

1. Pola pengukuran multi segmen atay multi-pattern, pengukur cahaya membaca kecerahan menurut beberapa segmen pandangan, kemudian dievaluasi prosesor kamera untuk mendapatkan nilai pencahayaan akhir.

2. Pola pengukuran rata-rata atau average reading. Pengukur cahaya

membaca secara rata-rata seluruh kecerahan pandangan.

3. Pola pengukuran spot atau spot meterring, hanya mengukur area sangat kecil di tengah gambar (seluas 2-5% dari keseluruhan pandangan).

c. ISO (Kepekaan atau Sensitivitas) Mempertimbangkan dan menentukan kepekaan penerimaan cahaya akan menentukan pembentukan keseluruhan gambar. Untuk mendapatkan kualitas gambar yang terbaik, sebaiknya kita menggunakan kepekaan atau ISO yang terendah yang disediakan kamera. Menaikkan kepekaan berarti kamera akan membuat penguatan signal input, dan ini berarti kemungkinan terjadinya penyimpangan atau deviasi yang lebih besar antara data input dan output, dan juga kemungkinan gambar menjadi kasar c. ISO (Kepekaan atau Sensitivitas) Mempertimbangkan dan menentukan kepekaan penerimaan cahaya akan menentukan pembentukan keseluruhan gambar. Untuk mendapatkan kualitas gambar yang terbaik, sebaiknya kita menggunakan kepekaan atau ISO yang terendah yang disediakan kamera. Menaikkan kepekaan berarti kamera akan membuat penguatan signal input, dan ini berarti kemungkinan terjadinya penyimpangan atau deviasi yang lebih besar antara data input dan output, dan juga kemungkinan gambar menjadi kasar

d. White Balance atau Keseimbangan Cahaya Sebenarnya tampilan warna-warna yang terekam dalam sebuah foto sangat dipengaruhi oleh sumber cahaya yang meneranginya. Sumber cahaya yang dianggap sempurna untuk mendapatkan tampilan warna- warna yang optimal adalah cahaya matahari. Cahaya matahari dapat menghasilkan tampilan warna maksimal, karena cahaya matahari memiliki spektrum warna cahaya yang lengkap (merah, hijau, biru yang lengkap). Masalahnya pada malam hari, atau dalam ruangan tertutup, sumber cahaya yang menerangi objek bisa berbeda-beda, mulai dengan lampu pijar, lampu gas, lampu minyak dan sebagainya, yang cahayanya memiliki spektrum warna yang berbeda dengan spektrum warna cahaya matahari. Karena perbedaan spektrum warna cahaya itulah, kita akan melihat tampilan warna yang berbeda dari objek yang sama. Pengaturan keseimbangan cahaya atau white balamce pada kamera adalah koreksi atau penyesuaian atas perbedaan spektrum warna cahaya yang ada terhadap cahaya matahari. Dengan adanya koreksi ini, diharapkan warna-warna objek bisa tampil sempurna seperti berada di bawah cahaya matahari. Kamera akan membuat atau memasang filter warna elektronik yang mengompensasi spektrum cahaya yang ada supaya mirip dengan spektrum cahaya matahari. (Makarios Soekojo. 2008).

C. Promosi

1. Promosi

Promosi berasal dari kata promvere (latin) atau promotion (inggris), adalah salah satu dari bauran pemasaran atau marketing mix yang berfungsi merangsang penjualan, berbentuk komunikasi yang informatif dan sekaligus persuasif.

Promosi adalah suatu program terkendali dan terpadu dari metode komunikasi material perusahaan atau produk yang dapat memuaskan konsumen, mendorong penjualan serta memberi kontribusi pada kinerja laba perusahaan. (www.e-iman.uni.cc. 14 Desember 2009)

Istilah “promosi” umum digunakan dalam mendeskripsikan komunikasi dengan pelanggan maupun calon pelanggan, namun ter minologi “komunikasi

pemasaran atau marketing communication ” sekarang ini lebih disukai oleh para praktisi dan akademisi pemasaran. (Terence A. Shimp, 2000)

Komunikasi pemasaran adalah aspek penting dalam keseluruhan misi pemasaran serta penentu suksesnya pemasaran. Komunikasi pemasaran merepresentasikan gabungan semua unsur dalam bauran pemasaran merk, yang memfasilitasi terjadinya pertukaran dengan menciptakan suatu arti yang disebarluaskan kepada pelanggan atau kliennya. (Terence A. Shimp, 2000)

2. Merk

American Marketing Association mendefinisikan merk sebagai nama, istilah, tanda, simbol, atau desain, atau kombinasi dari keseluruhannya yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi barang atau jasa dari penjual atau sekelompok penjual, agar dapat dibedakan dari kompetitornya.

Merk dalam perspektif konsumen terdiri atas dua bentuk pengetahuan tentang merk, yaitu kesadaran merk atau brand awareness dan citra merk atau brand image .

Kesadaran merk atau brand awareness merupakan kemampuan sebuah merk untuk muncul dalam benak konsumen ketika sedang memikirkan kategori produk tertentu dan seberapa mudahnya nama tersebut dapat dimunculkan. Berdasarkan cara pandang konsumen, sebuah merk tidak memiliki ekuitas hingga konsumen menyadari keberadaan merk tersebut. Mencapai kesadaran akan merk adalah tantangan utama bagi merk baru. Mempertahankan tingkat kesadaran akan merk yang tinggi adalah tugas yang harus dihadapi oleh semua merk.

Dimensi kedua dari pengetahuan tentang merk yang berdasarkan perspektif konsumen adalah citra dari sebuah merk. Citra merk atau brand image dapat dianggap sebagai jenis asosiasi yang muncul di benak konsumen ketika mengingat sebuah merk tertentu. Asosiasi tersebut secara sederhana dapat muncul dalam bentuk pemikiran atau citra tertentu yang dikaitkan kepada suatu merk. (Terence

A. Shimp, 2000)

Bab III Identifikasi Data

A. Identifikasi Data Objek/ Produk

Nama Produk:

: Seni Liping

Nama Perusahaan

: Jopajapu

Alamat : Jl. Kencur RT 01 RW 16, Tunggulsari,

Laweyan, Solo.

: www.jopajapu.com

Jenis Usaha: : Kerajinan kriya yang bermuatan seni Owner:

: Bejo Wage Suu

Berdiri

: 1 Oktober 2002

1. Sejarah Seni Liping

Jopajapu mulai berdiri tanggal 1 Oktober 2002, diilhami dari keprihatinan melihat generasi muda yang mulai merasa aneh dengan tradisi atau kebiasaan sehari-hari masyarakat Indonesia, Jawa khususnya, yang sejatinya telah membesarkan dan membentuk pola pikir orang tua mereka. Oleh sebab itu, Jopajapu ingin melestarikan bentuk-bentuk tradisi adhiluhung masyarakat Jawa tersebut dalam sebuah miniatur.

Memulai usaha dari jalanan, sampai tahun 2004 bertemu dengan Bapak Didik Jati Utomo dari Dinas Perindustrian Surakarta. Atas ajakan beliau Jopajapu

Jopajapu dan memperkenalkan Seni Lipng sebagai konsep karya dari Jopajapu itu sendiri.

2. Visi dan Misi

a. Visi Melestarikan Budaya daerah khususnya Budaya Jawa kepada generasi muda yang saat ini cenderung melupakan Budayanya sendiri.

b. Misi Menjadikan Seni Liping sebagai media untuk medekatkan Budaya adhiluhung kepada generasi muda agar dapat memahami dan mengenal kembali Budayanya sendiri supaya bangsa ini tidak kehilangan citra dirinya.

3. Struktur Organisasi

Pemilik, Pencipta

Bejo Wage Suu

Tim Kreatif

Tim Kreatif

Tim Kreatif

4. Produk

Seni Liping itu sendiri sebagai dasar karya Jopajapu berasal dari kosakata bahasa inggris yaitu living yang artinya “kehidupan”, mengadopsi dari kehidupan bahkan lidah orang Jawa yang umumnya ndeso, bagaimana mereka mengucapkan Seni Liping itu sendiri sebagai dasar karya Jopajapu berasal dari kosakata bahasa inggris yaitu living yang artinya “kehidupan”, mengadopsi dari kehidupan bahkan lidah orang Jawa yang umumnya ndeso, bagaimana mereka mengucapkan

Adapun jenis atau tipe-tipe produk dari Seni Liping antara lain tipe Biasa, Khusus, dan Fine Art.

a. Tipe Biasa Tipe ini desainnya dibuat massal dan biasanya disetorkan ke toko-toko. Ciri dari tipe Biasa ini antara lain: 1). Desainnya tidak terlalu detail. 2). Harganya cukup terjangkau antara Rp 25.000,00 hingga Rp 50.000,00. 3). Tema ceritanya bertemakan kegiatan-kegiatan tradisional yang masih

dapat dijumpai atau belum terlalu langka.

b. Tipe Khusus Tipe ini biasanya hanya dijual ketika berpameran, tidak dijual massal dan pembeli atau konsumennya biasanya adalah para kolektor. Ciri produk: 1). Desain lebih detail. 2). Harga lebih mahal, yaitu di atas Rp100.000, 00. 3). Tema ceritanya tentang kegiatan-kegiatan yang cukup langka dijumpai.

Misalnya, orang menumbuk padi. Ada juga contoh produk yang termasuk dalam Tipe Khusus, yaitu Catur Mataram. Yaitu suatu set papan catur beserta bidak-bidaknya yang bertemakan Misalnya, orang menumbuk padi. Ada juga contoh produk yang termasuk dalam Tipe Khusus, yaitu Catur Mataram. Yaitu suatu set papan catur beserta bidak-bidaknya yang bertemakan

c. Fine Art Tipe yang satu ini layaknya seni murni. Karya yang dibuat berdasarkan subjektifitas sang pembuat. Pun penentuan harga jualnya menyesuaikan keinginan sang pembuat.

5. Proses Produksi

Berikut adalah langkah-langkah yang dilakukan dalam proses produksi Seni Liping:

a. Memilih kayu pinus yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan untuk pembuatan Seni liping.

b. Membuat pola badan, tangan, dan kaki menggunakan gergaji triplek.

c. Dari ketiga pola bagian tubuh tersebut kemudian dibentuk detailnya masing-masing, sesuai dengan proporsi tubuh manusia.

d. Kemudian menggabungkan bagian-bagian tubuh tersebut menggunakan lem khusus sehingga terbentuk miniatur manusia yang utuh dan proporsional.

e. Mengecat bagian-bagian tertentu, seperti rambut, dan pakaian. Untuk model celana biasanya hanya dengan membalut bagian kaki menggunakan lakban hitam.

f. Memberi bermacam aksesoris atau properti yang diperlukan, seperti kain batik, dan lain-lain.

g. Selanjutnya menyetel gerakan sesuai dengan tema atau setting cerita.

h. Yang terakhir adalah finishing, yaitu pemberian label Jopajapu dan label hak cipta.

6. Pameran yang Pernah Diikuti

Eksistensi Seni Liping lebih banyak dikenal di dunia pameran. Berikut adalah pameran-pameran yang pernah diikuti Seni Liping:

a. Festival Kesenian Yogyakarta. Merupakan agenda pameran tetap setiap tahun sejak tahun 2005, dan sekaligus pernah menjadi ikon untuk festival ini.

b. Pameran Produk Ekspor di Jakarta.

c. SMESCO, pameran produk usaha kecil menengah (UKM) di Jakarta.

d. Peserta INAcraft di Jakarta.

e. Peserta Asia Africa Art and Culture di Bali.

f. SIEM 2007 dan 2008.

7. Hambatan yang Dialami

Eksistensi Seni Liping dan perkembangannya hingga akhirnya memiliki market tertentu yang kebanyakan pengunjung pameran ini bisa dikatakan tidak mengalami hambatan yang cukup berarti. Jopajapu sendiri dalam proses produksinya juga tidak mendapatkan kesulitan yang signifikan. Hanya saja ada satu hambatan yang cukup mendasar, yaitu masih kurangnya modal dalam usahanya memperluas jaringan, termasuk niatnya memperkenalkan produk ke luar negeri.

B. Kompetitor

1. Recycle Art of Wayang Koran

Adalah sebuah produk kerajinan berupa figur atau boneka tokoh wayang yang terbuat dari koran bekas. Produk Wayang Koran ini diciptakan oleh seorang perajin bernama Burhan Gatot. Latar belakang diciptakannya produk ini adalah kurangnya minat remaja masa kini terhadap kesenian wayang. Burhan khawatir jika hal tersebut terus dibiarkan seni wayang akan semakin punah, tenggelam di tengah maraknya kemunculan tokoh-tokoh superhero rekaan.

Karya seni ini dijual seharga berkisar Rp 25.000,00 hingga Rp 200.000,00. Peminatnya pun tak cuma dari wilayah setempat, tapi juga dari luar Pulau Jawa dan Bali.

a. Jenis Produk 1). Wayang koran dengan tokoh figur Arjuna yang sedang memanah. 2). Wayang koran dengan tokoh Gathot Kaca. 3). Wayang koran dengan lakon Petruk Dadi Ratu yang menceritakan

keangkuhan dan kesombongan manusia ketika mendapatkan kekuasaan dan kekayaan yang tidak diimbangi dengan pengendalian diri dan kearifan sosial. Sangat cocok untuk pajangan sekaligus menjadi media pembelajaran tentang budaya bangsa.

b. Proses Produksi 1). Koran bekas digunting sesuai ukuran. 2). Koran tersebut dipilin dengan alat khusus. 3). Koran yang sudah dipilin dibentuk mirip manusia.

4). Kemudian diberi pernik-pernik sesuai kebutuhan dan karakter produk, seperti topi, rambut, keris. 5). Setelah itu barulah diberi ekspresi pada wajah dengan spidol atau pewarna pada bagian tertentu.

c. Promosi yang Telah Dilakukan 1). Stand Market di Pasar Ngarsopuro Solo. 2). Online Marketing. Pemasaran produk melalui internet.

d. Keunggulan Wayang Koran 1). Produk kerajinan yang unik, dengan teknik pembuatan yang

memiliki tingkat kesulitan yang sangat tinggi sehingga sangat mudah diapresiasi.

2). Mengangkat tema tentang cerita wayang, sehingga mampu menjadikan produk sebagai media melestarikan kesenian wayang.

e. Kelemahan Wayang Koran 1). Kurang promosi, sehingga penjualan produk ini agak tersendat. 2). Bahan baku yang terbuat dari koran bekas ini kadang menimbulkan

persepsi yang negatif dari masyarakat, agak tidak layak bila dijual dengan harga tinggi.

2. Lugoet Bamboo Art

Adalah suatu produk kerajinan berupa miniatur yang terbuat dari limbah bambu. Lugoet Bamboo Art diciptakan oleh seorang perajin bernama Gringsing Ibnu Handoko biasa dipanggil Inung. Latar belakang diciptakannya karya kerajinan ini awalnya Inung merasa prihatin dengan banyaknya limbah bambu Adalah suatu produk kerajinan berupa miniatur yang terbuat dari limbah bambu. Lugoet Bamboo Art diciptakan oleh seorang perajin bernama Gringsing Ibnu Handoko biasa dipanggil Inung. Latar belakang diciptakannya karya kerajinan ini awalnya Inung merasa prihatin dengan banyaknya limbah bambu

Sejak dirintis setahun lalu, saat ini kerajinan tersebut terus diminati banyak kalangan. Tak hanya dari wilayah Solo dan sekitarnya, pesanan pun datang dari berbagai kota di Indonesia.

a. Jenis Produk 1). miniatur kendaraan. 2). miniatur kereta api. 3). miniatur sepeda motor. 4). miniatur kehidupan atau autodrama: suasana warung angkringan,