kapsul ekstrak daun katuk pdf

SCREENING FITOKIMIA DAN PEMBUATAN SEDIAAN KAPSUL
DAUN KATUK (Sauropus andrygynus)
Hilda Amalia (13.069), Ribut Dina Makela Juba, Ingrid Emilia Ranggajawa, Adi
Suprayitno, Kharisma Aulia, Agnesia Cini, Heribertus Kurniawan Janggur

Ringkasan
Beberapa penelitian sebelumnya menyatakan adanya suatu senyawa steroid yang terdapat
di dalam daun katuk yang dapat dijadikan obat kontrasepsi pria. Praktikum ini bertujuan
untuk memastikan adanya senyawa steroid melalui screening fitokimia dan membuatnya
sebagai suatu sediaan obat. Metode ekstraksi yang digunakan adalah ekstraksi soxhletasi.
Hasil ekstrak cair yang diperoleh adalah 200 ml dan ekstrak kental 9,75 g. Dari hasil
screening yang dilakukan dinyatakan bahwa daun katuk positif mengandung alkaloid,
flavonoid, saponin, dan steroid. Hasil uji mutu sediaan yang dilakukan menyatakan bahwa
sediaan kapsul yang telah dibuat memenuhi standar keseragaman bobot.

PENDAHULUAN
Indonesia merupakan suatu Negara berkembang dengan jumlah penduduk yang
cukup tinggi. Tingkat jumlah penduduk yang besar merupakan salah satu penyebab
timbulnya banyak masalah. Gejala nyata yang sedang dihadapi adalah angka kelahiran
yang tidak bisa terkendali, yang mana angka kelahiran lebih besar dibandingkan angka
kematian setiap tahunnya. Hal ini merupakan salah satu pemicu meningkatnya angka

kemiskinan dan kriminalitas di Indonesia. Dalam mengatasi masalah ini pemerintah telah
mencanangkan program keluarga berencana (KB). Dalam program ini yang lebih ambil
alih adalah kaum wanita. Kaum wanita melakukan program KB tersebut dengan beberapa
cara seperti meminum obat KB, melakukan spiral, dan beberapa hal lainnya yang dapat
menghambat terjadinya ovulasi. Sedangkan partisipasi kaum pria dalam program KB
masih sangat kurang sekali, yang dikarenakan karena alat kontasepsi bagi para pria masih
kurang. Sejauh ini alat kontrasepsi laki – laki yang telah dikembangkan adalah kondom
dan beberapa obat yang berfungsi sebagai penghambat aktivitas spermatozoa dan
menghentikan proses spermatogenesis pada pria tanpa menghilangkan libido dan tingkah
laku seksual. Namun jumlah obat kontrasepsi yang ada masih sedikit selain itu masih
kurangnnya sosialisasi program KB bagi kaum pria.
Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan, menyatakan bahwa senyawa
steroid yang terdapat pada tumbuhan dapat digunakan sebagai penghambat aktivitas

spermatozoa dan menghentikan proses spermatogenesis. Hal ini diperkuat dengan
percoban yang telah dilakukan pada tikus. Jika jumlah steroid di dalam tubuh tikus
meningkat dapat menghambat aktivitas kelenjar hipotalamus dan aktivitas kelenjar
hipofise, sehingga menimbulkan efek umpan balik negative terhadap hipotalamus dan
akhirnya dapat mempengaruhi mutu spermatozoa. Hal ini akan menyebabkan
terganggunya hubungan antara hipotalamus, hipofise dan testis yang menyebabkan

terjadinya hambatan pada sekresi hormone Follicle Stimulating Hormon (FSH) dan
Luteinizing Hormon (LH) dari hipofise sehingga menyebabkan terjadinya gangguan proses
spermatogenesis.
Daun katuk adalah salah satu tanaman yang sering kita jumpai di sekitar kita
bahkan ada beberapa orang yang menanamnya di pekarangan rumah. Tanaman ini biasa
dimakan sebagai pelengkap lalapan. Daun katuk telah banyak dikenal masyarakat sebagai
pelancar ASI. Dan juga daun katuk telah dibuat menjadi beberapa obat herbal. Tapi selain
itu menurut beberapa penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa infusa daun katuk dapat
menurunkan kualitas spermatozoa pada mencit/tikus. Hal ini kemungkinan karena daun
katuk mengandung diantaranya Androstan-17-one, 3-ethyl-3hydroxy-5-alpha (Steroid).
Sehingga kandungan steroid dalam daun katuk dan juga berdasarkan penelitian diatas
maka daun katuk dapat berpotensi sebagai obat kontrasepsi bagi laki – laki.
Tujuan
1) Untuk menguji adanya senyawa steroid di dalam tanaman daun katuk dengan cara
melakukan skrining fitokimia dan kromatografi lapis tipis
2) Untuk mengolah hasil ekstrak daun katuk menjadi sediaan obat
Manfaat
1) Agar mahasiswa mampu melakukan skrining fitokimia pada simplisia daun katuk
2) Agar mahasiswa mampu melakukan uji spesifik fitokimia secara KLT pada simplisia
daun katuk

3) Agar mahasiswa mampu melakukan ekstraksi soxhletasi steroid pada simplisia daun
katuk
4) Agar mahasiswa mampu mengolah ekstrak daun katuk menjadi sediaan kapsul
kontrasepsi pria

TINJAUAN PUSTAKA

Ekstraksi
Ekstraksi adalah proses pemisahan substansi dari campurannya dengan menggunakan
pelarut yang sesuai. Jadi, ekstraksi adalah sediaan yang diperoleh dengan cara ekstraksi
tanaman obat dengan ukuran partikel tertentu dan menggunakan medium pengekstraksi
yang tertentu pula.
Ada beberapa factor yang harus diperhatikan dalam proses ekstraksi yaitu:
1) Sebelum simplisia diproses harus diyakini betul bahwa simplisia yang akan diekstraksi
adalah simplisia yang benar dan sesuai serta telah disetujui oleh bagian jaminan mutu.
2) Selanjutnya simplisia dihaluskan ukurannya sesuai dengan ketentuan buku acuan atau
spesifikasi produk untuk ekstraksi
3) Untuk ekstraksi ini ada 3 kelompok serbuk, yaitu serbuk berukuran kasar, serbuk
berukuran sedang, dan serbuk berukuran halus
4) Persiapan ekstraksi, biasanya simplisia direndam dengan pelarut yang akan digunakan

untuk penyarian selama 8 – 48 jam. Semakin keras simplisia, semakin lama waktu
yang diperlukan.
Tipe – tipe ekstraksi ada beberapa, yaitu:
1) Ekstraksi padat-cair
Ekstraksi padat-cair ini biasa digunakan untuk melarutkan zat yang dapat larut dari
campurannya dengan zat padat yang tidak dapat larut.
2) Ekstraksi cair-cair
Ekstraksi cair-cair ini biasa digunakan untuk memisahkan dua zat cair yang saling
bercampur, dengan menggunakan pelarut yang dapat melarutkan salah satu zat.
Soxhletasi
Soxhlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya
dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ektraksi kontiniu dengan jumlah pelarut
yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
Prinsip :ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan
dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontiyu dengan jumlah pelarut konstan
dengan adanya pendingin balik.
Keuntungan : dapat digunakan untuk sampel dengan tekstur yang lunak dan tidak tahan
terhadap pemanasan secara langsung, digunakan pelarut yang lebih sedikit,
pemanasannya dapat diatur.


Kerugian : karena pelarut didaur ulang ekstrak yang terkumpul pada wadah di sebelah
bawah terus-menerus dipanaskan sehingga dapat menyebabkan reaksi peruraian oleh
panas, jumlah total senyawa-senyawa yang diekstraksi akan melampaui kelarutannya
dalam pelarut tertentu sehingga dapat mengendap dalam wadah dan membutuhkan
volume pelarut yang lebih banyak untuk melarutkannya, bila dilakukan dalam skala
besar, mungkin tidak cocok untuk menggunakan pelarut dengan titik didih yang terlalu
tinggi.
Ekstraksi steroid secara umum
Steroid merupakan golongan senyawa yang sebagian besar bersifat nonpolar, maka
ekstrasinya biasanya juga menggunakan pelarut nonpolar misalnya n-heksana atau
petroleum eter. Dapat juga digunakan pelarut methanol atau etanol terlebih dahulu sebagai
pelarut universal kemudian setelah diperoleh ekstrak dilanjutkan dengan ekstraksi partisi
menggunakan pelarut nonpolar. Jika yang akan diisolasi adalah senyawa steroid yang
terikat dengan gugus gula, maka ekstrak dilakukan dengan menggunakan pelarut semipolar
atau bahkan pelarut polar tergantung dari gugus gula yang terikat. Ekstraksi steroid dapat
dilakukan baik dengan pemanasan (soxhletasi) maupun tanpa pemanasan (maserasi pada
suhu kamar). (Alfinda Novi kristati, 2008)
Kromatografi
Kromatografi adalah suatu nama yang diberikan untuk teknik pemisahan tertentu. Ada
banyak teknik pemisahan tetapi kromatgrafi merupakan teknik paling banyak digunakan.

Kebanyakan pemisahan kromatografi rutin dari suatu campuran dikerjakan dalam beberapa
menit dengan peralatan yang relatif sederhana ( Nirwana, 1995 ).
Pada dasarnya semua cara kromatografi menggunakan 2 fase, yaitu fase diam (stationary)
dan fase gerak (mobile). Pemisahan-pemisahan tergantung pada gerakan relative pada 2
fase tersebut. Gerakan fase gerak menyebabkan perbedaan migrasi dari penyusun cuplikan.
Inilah yang dipakai sebagai dasar pemisahan kromatografi. Tanpa perbedaan dalam
kecepatan migrasi dari dua senyawa tidak mungkin terjadi pemisahan.


Keuntungan Kromatografi

Pertama-tama ia merupakan metode pemisahan yang cepat dan mudah serta menggunakan
peralatan yang murah dan sederhana. Hingga campuran yang komplek dapat dipisahkan
dengan mudah. Keuntungan lebih lanjut ialah hanya membutuhkan campuran cuplikan
yang sangat sedikit, bahkan justru tidak mungkin menggunakan jumlah yang besar dalam
kromatografi. Disamping itu dapat dikerjakan pengulangannya (Sastrohamidjojo, 1991
dalam Nirwana, 1995).

Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan cara pemisahan campuran senyawa menjadi

senyawa murninya dan mengetahui kuantitasnya yang menggunakan. Kromatografi juga
merupakan analisis cepat yang memerlukan bahan sangat sedikit, baik penyerap maupun
cuplikannya.
KLT dapat dipakai dengan dua tujuan. Pertama, dipakai selayaknya sebagai metode untuk
mencapai hasil kualitatif, kuantitatif atau preparatif. Kedua, dipakai untuk menjajaki
sistem pelarut dan sistem penyangga yang akan dipakai dalam kromatografi kolom atau
kromatografi cair kinerja tinggi (Gritter et al, 1991).
KLT dapat digunakan untuk memisahkan senyawa – senyawa yang sifatnya hidrofobik
seperti lipida – lipida dan hidrokarbon yang sukar dikerjakan dengan kromatografi kertas.
KLT juga dapat berguna untuk mencari eluen untuk kromatografi kolom, analisis fraksi
yang diperoleh dari kromatografi kolom, identifikasi senyawa secara kromatografi dan
isolasi senyawa murni skala kecil. Pelarut yang dipilih untuk pengembang disesuaikan
dengan sifat kelarutan senyawa yang dianalisis. Bahan lapisan tipis seperti silika gel adalah
senyawa yang tidak bereaksi dengan pereaksi – pereaksi yang lebih reaktif seperti asam
sulfat. Data yang diperoleh dari KLT adalah nilai Rf yang berguna untuk identifikasi
senyawa. Nilai Rf untuk senyawa murni dapat dibandingkan dengan nilai Rf dari senyawa
standar. Nilai Rf dapat didefinisikan sebagai jarak yang ditempuh oleh senyawa dari titik
asal dibagi dengan jarak yang ditempuh oleh pelarut dari titik asal. Oleh karena itu
bilangan Rf selalu lebih kecil dari 1,0.
Pelaksanaan KLT

Fase Diam
Fase diam yang digunakan dalam KLT merupakan penjerap berukuran kecil dengan
diameter partikel antara 10-30 μm. Semakin kecil ukuran rata-rata partikel fase diam dan
semakin sempit kisaran ukuran fase diam, maka semakin baik kinerja KLT dalam hal
efisiensi dan resolusinya.
Penjerap yang paling sering digunakan adalah silika dan serbuk selulosa, sementara
mekanisme sorpsi yang utama pada KLT adalah adsorpsi dan partisi (Gandjar & Rohman,
2007).
Fase Gerak
Fase gerak pada KLT dapat dipilih dari pustaka, tetapi lebih sering dengan mencoba-coba
karena waktu yang diperlukan hanya sebentar. Sistem yang paling sederhana ialah
campuran 2 pelarut organik karena daya elusi campuran kedua pelarut ini dapat mudah

diatur sedemikian rupa sehingga pemisahan dapat terjadi secara optimal. Berikut adalah
beberapa petunjuk dalam memilih dan mengoptimasi fase gerak :
1. Fase gerak harus mempunyai kemurnian yang sangat tinggi karena KLT merupakan
teknik yang sensitif.
2. Daya elusi fase gerak harus diatur sedemikian rupa sehingga harga Rf terletak antara
0,2-0,8 untuk memaksimalkan pemisahan.
3. Untuk pemisahan dengan menggunakan fase diam polar seperti silika gel, polaritas

fase gerak akan menentukan kecepatan migrasi solut yang berarti juga menentukan
nilai Rf. Penambahan pelarut yang bersifat sedikit polar seperti dietil eter ke dalam
pelarut non polar seperti metil benzene akan meningkatkan harga Rf secara signifikan
(Gandjar & Rohman, 2007).

Tabel 1. Beberapa Jenis eluen dan fase diam untuk KLT
Eluen
Heksan : Etil asetat
Petrol : Dietileter

Fase Diam
Silika Gel
Silika Gel

mPetrol : Kloroform

Silika Gel

Toluen : Etil asetat : Silika Gel
Asam asetat (TEA)

Kloroform : Aseton
Silika Gel
n-Butanol : Asam Asetat Silika Gel
: Air
Metanol : Air
C18

Asetonitril : Air
Metanol : Air

C18
Selulosa

Keterangan
Sistem umum yang digunakan
Sistem umum yang digunakan untuk
senyawa nonpolar seperti terpen dan
asam lemak
Berguna untuk pemisahan derivat asam
sinamat dan kumarin

Komposisi 80:18:2 v/v atau 60:38:2 v/v
baik untuk pemisahan metabolit asam
Sistem umum untuk produk dengan
polaritas sedang
Sistem polar untuk flavonoid dan
glikosida
Dimulai
dengan
metanol
100%
dilanjutkan
dengan
penambahan
konsentrasi air
Sistem umum Reverse phase
Memisahkan senyawa dengan kepolaran
tinggi seperti gula dan glikosida

Penotolan Sampel
Untuk memperoleh roprodusibilitas, volume sampel yang ditotolkan paling sedikit 0,5 μl.
Jika volume sampel yang ditotolkan lebih besar dari 2-10 μl, maka penotolan harus
dilakukan secara bertahap dengan dilakukan pengeringan antar totolan (Gandjar &
Rohman, 2007).
Pengembangan

Bila sampel telah ditotolkan maka tahap selanjutnya adalah mengembangkan sampel
dalam bejana kromatografi yang sebelumnya telah dijenuhi dengan uap fase gerak. Tepi
bagian bawah lempeng tipis yang telah ditotoli sampel dicelupkan kedalam fase gerak
kurang lebih 0,5-1 cm. Tinggi fase gerak dalam bejana harus dibawah lempeng yang telah
berisi totolan sampel.
Bejana kromatografi harus tertutup rapat dan sedapat mungkin volume fase gerak sedikit
mungkin, akan tetapi harus mampu mengelusi lempeng sampai ketinggian lempeng yang
telah ditentukan. Untuk melakukan penjenuhan fase gerak, biasanya bejana dilapisi dengan
kertas saring. Jika fase gerak telah mencapai ujung dari kertas saring, maka dapat
dikatakan bahwa fase gerak telah jenuh (Gandjar & Rohman, 2007).
Deteksi Bercak
Deteksi bercak pada KLT dapat dilakukan secara kimia dan fisika. Cara kimia yang biasa
digunakan adalah dengan mereaksikan bercak dengan suatu pereaksi melalui cara
penyemprotan sehingga bercak menjadi jelas. Cara fisika yang dapat digunakan untuk
menampakkan bercak adalah dengan cara pencacahan radioaktif dan fluorosensi sinar
ultraviolet.

Fluorosensi

sinar

ultraviolet

terutama

untuk

senyawa

yang dapat

berfluorosensi, membuat bercak akan terlihat jelas (Gandjar & Rohman, 2007).
Deteksi senyawa dilakukan dengan menggunakan detektor UV di bawah sinar UV 254 nm,
indikator pada plat KLT akan memancarkan warna hijau dan pada UV 366 nm akan
memancarkan warna ungu. Komponen yang menyerap cahaya pada 254 atau 366 nm akan
tampak sebagai bercak gelap pada plat yang bercahaya (Gibbons, 2006). Metode deteksi
lain adalah dengan menggunakan pereaksi semprot. Pereaksi semprot yang umum
digunakan dapat dilihat pada tabel 2
Tabel 2. Beberapa Jenis Pereaksi Semprot untuk KLT (Gibbons, 2006)
Pereaksi semprot
Vanilin asam sulfat

Asam
fosfomolibdat

Komposisi
Perlakuan
1 gram vanilin dalam Disemprot
dan
asam sulfat pekat
dipanaskan
hingga
muncul
warna

Asam fosfomolibdat Disemprot
dan
5% b/v dalam etanol dipanaskan
hingga
muncul
warna
Reagen
pereaksi 10 mL larutan KI Jika reaksi tidak
Dragendorff
40%
ditambahkan spontan
maka
dengan
10
mL diperlukan
larutan 0,85 gram pemanasan

Keterangan
Pereaksi umum yang
digunakan. Terpen
akan menghasilkan
warna merah atau
biru
Untuk mendeteksi
terpen
dengan
bercak biru berlatar
kuning
Deteksi
alkaloid
menghasilkan warna
oranye pekat hingga
merah

bismuth
subnitrat
dalam 10 mL asam
asetat dan 50 mL air.
Larutan
tersebut
diencerkan dalam 10
mL asam asetat dan
50 mL air
Screening
Skrining fitokimia merupakan analisis kualitatif terhadap senyawa – senyawa metabolit
sekunder. Suatu ekstrak dari bahan alam terdiri atas berbagai macam metabolit sekunder
yang berperan dalam aktivitas biologinya. Senyawa – senyawa tersebut dapat diidentifikasi
dengan pereaksi – pereaksi yang mampu memberikan ciri khas dari setiap golongan
metabolit sekunder (Harborne, 1987).
a. Senyawa metabolit sekunder
Menurut Judoamdjojo (1990), metabolik sekunder adalah hasil metabolisme yang
disintesis oleh beberapa organisme tertentu yang tidak merupakan kebutuhan pokok untuk
hidup dan tumbuh. Meskipun demikian, metabolik sekunder dapat berfungsi sebagai
nutrien darurat untuk pertahanan hidup. Sedangkan menurut Herbert (1981), metabolisme
sekunder merupakan senyawa yang dihasilkan organisme untuk aktivitas tertentu dan
sifatnya tidak esensial untuk kehidupannya. Menurut Sastrohamidjojo (1996), bahwa
metabolik sekunder adalah bahan kimia non-nutrisi yang mengontrol spesies biologi dalam
lingkungan atau memainkan peranan penting dalam koeksistensi dan koevolusi spesies.
Fungsi metabolit sekunder adalah untuk mempertahankan diri dari kondisi lingkungan
yang kurang menguntungkan,
Menutu Harborne (1987), senyawa metabolit sekunder yang umum terdapat pada tanaman
adalah : alkaloid, flavanoid, steroid, saponin, terpenoid dan tannin.
b. Identifikasi senyawa – senyawa metabolit sekunder
Alkaloid
Alkaloid adalah suatu golongan senyawa yang tersebar luas hampir pada semua jenis
tumbuhan. Semua alkaloid mengandung paling sedikit satu atom nitrogen yang biasanya
bersifat basa dan membentuk cincin heterosiklik (Harborne, 1984).
Alkaloid dapat ditemukan pada biji, daun, ranting dan kulit kayu dari tumbuh-tumbuhan.
Kadar alkaloid dari tumbuhan dapat mencapai 10-15%. Alkaloid kebanyakan bersifat
racun, tetapi ada pula yang sangat berguna dalam pengobatan. Alkaloid merupakan
senyawa tanpa warna, sering kali bersifat optik aktif, kebanyakan berbentuk kristal tetapi

hanya sedikit yang berupa cairan (misalnya nikotin) pada suhu kamar (Sabirin, et
al.,1994).

Sifat kimia
1) Umumnya bersifat basa tergantung adanya PEB pada nitrogen
2) Alkaloid mudah terdekomposisi oleh panas dan sinar denga adanya oksigen
3) Pembentukan garamnya dengan senyawa organic maupun non dapat mencegah proses
terdekomposisi
Sifat fisika
1) Isolasi alkaloid dapat membentuk Kristal dengan TL tertentu, sehingga sedikit yang
berbentuk amorf dan beberapa cairan seperti nikotin dan kaniin
2) Kebanyakan alkaloid tidak berwarna kecuali, berberin (kuning) dan betanin ( merah)
3) Alkaloid dalam bentuk bebasnya mudah larut dalam pelarut organic, sedang dalam
bentuk garamnya mudah larut dalam air
Cara identifikasi Alkaloid
Alkaloid dalam larutan netral atau sedikit asam jika ditambah pereaksi terbentuk endapan
kristal atau amorf.
1) Dengan pereaksi Mayer (larutan Merkuri Iodida) => endapan krem
Pereaksi Mayer dibuat dengan cara senyawa HgCl2 sebanyak 1.5 gram dilarutkan
dengan 60 ml aquadest. Di tempat lain dilarutkan KI sebanyak 5 gram dalam 10 ml
aquadest. Kedua larutan yang telah dibuat tersebut kemudian dicampur dan diencerkan
dengan aquadest sampai volume 100 ml. Pereaksi Mayer yang diperoleh selanjutnya
disimpan dalam botol gelap
2) Dengan pereaksi Wagner (larutan Yodin dalam Kl) => endapan merah coklat
Pereaksi Wagner dibuat dengan cara senyawa KI sebanyak 2 gram dan iodin sebanyak
1.3 gram dilarutkan dengan aquadest sampai volumenya 100 ml kemudiaan disaring.
Pereaksi Wagner ini juga harus disimpan dalam botol gelap.
3) Dengan pereaksi Dragendorf => endapan coklat kemerahan
Pereaksi Dragendorf dibuat dengan cara bismuth subnitrat sebanyak 1 gram dilarutkan
dalam campuran asam asetat glasial dan 40 ml aquadest. Di tempat lain 8 gram KI
dilarutkan dalam 20 ml aquadest. Kedua larutan yang telah dibuat, dicampur kemudian
diencerkan dengan aquadest sampai volumenya 100 ml.
Senyawa golongan saponin
Saponin adalah suatu glikosida yang larut dalam air dan mempunyai karakteristik dapat
membentuk busa apabila dikocok, serta mempunyai kemampuan menghemolisis sel

darah merah. Saponin mempunyai toksisitas yang tinggi. Berdasarkan strukturnya
saponin dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu saponin yang mempunyai rangka
steroid dan saponin yang mempunyai rangka triterpenoid. Berdasarkan pada
strukturnya saponin akan memberikan reaksi warna yang karakteristik dengan pereaksi
Liebermann-Buchard (LB). (Harborne, 1987)
Steroid
Steroid merupakan suatu golongan terpenoid yang mengandung inti siklopentana
perhidrofenantren, yaitu 3 cincin sikloheksana dan sebuah cincin siklopentana. Contoh
steroid antara lain zoosterol, fitosterol, mikosterol, dan marinesterol. Senyawa steroid
memiliki kerangka dasar triterpena asiklik.

Sifat kimia steroid
1) senyawa yang memiliki kerangka dasar triterpena asiklik
2) sistem empat cincin yang tergabung
3) Cincin A, B, dan C beranggotakan enam atom karbon dan cincin D beranggotakan
lima.
4) Senyawa tidak jenuh (rantai terbuka ataupun siklik)
5) Isoprenoid kebanyakan berbentuk kiral dan terjadi dalam dua bentuk enantiomer
Sifat fisika steroid
1) Dalam keadaan segar merupakan cairan tak berwarna, tetapi jika teroksidasi
warnanya akan menjadi gelap
2) Mempunyai bau khas
3) Indeks bias tinggi
4) Sebagian besar bersifat optis aktif
5) Kerapatan umumnya lebih rendah daripada air
6) Tahan pada suhu 140°C - 180°C
7) Larut dalam pelarut organic seperti eter dan alcohol
Cara identifikasi steroid

Identifikasi senyawa golongan terpenoid dan steroid dilakukan dengan menggunakan
pereaksi Liebermann-Burchard. Jika positif steroid makan akan memberikan warna
hijau – biru. (Harboene, 1987)
Pereaksi Lieberman – burchard dengan 5 ml anhidrida asam asetat dicampur secara
hati-hati dengan 5 ml asam sulfat pekat, kemudian campuran ini ditambahkan juga
secara hati-hati ke dalam 50 ml etanol absolut. Setiap campuran zat dilakukan dengan
pendinginan .
Identifikasi senyawa golongan antraquinon
Antraquinon merupakan suatu glikosida yang di dalam tumbuhan biasanya terdapat
sebagai turunan antrakuinolon terhidloksilasi, termitilasi, atau terkarboksilasi.
Antraquinolon berikatan dengan gula sebagai O-glikosida atau sebagai C-glikosida.
Turunan antraquinolon umumnya larut dalam air panas atau dalam alcohol encer.
Senyawa Antraquinolon dapat bereaksi dengan basa memberikan warna ungu atau
hijau. (Harborne, 1987).
Flavonoid
Sifat kimia flavonoid
1) Flavonoid adalah senyawa yang terdiri dari C6 – C3 – C6
2) Gugus gula besenyawa pada satu atau lebih grup hidroksil fenolik
3) Gugus hidroksil selalu terdapat pada karbon nomor 5 dan nomor 7 pada cincin A
4) Pada cincin B gugusan hidroksil atau alkoksil terdapat pada karbon nomor 3 dan
nomor 4.
5) Mengandung system aromatic yang terkonyugasi
6) Senyawa polar
Sifat fisika flavonoid
1) larut dalam air.
2) Memiliki warna yang berubah bila ditambahkan basa atau ammonia.

Cara identifikasi flavonoid
Identifikasi

senyawa

flavonoid

dilakukan

dengan

menggunakan

pereaksi

Willstater/Sianidin. Adanya flavonoid ditandai dengan warna merah, orange dan hijau
tergantung pada struktur flavonoid yang terkandung dalam sampel. (Fitokimia, 2008)
Tanin
Senyawa tannin adalah senyawa astringent yang memiliki rasa pahit dari gugus
polifenolnya yang dapat mengikat dan mengendapkan atau menyusutkan protein. Zat

astringent dari tannin menyebabkan rasa kering dan puckery (kerutan) di dalam mulut
setelah mengkonsumsi teh pekat, anggur merah atau buah yang mentah. Dekstruksi
atau modifikasi tannin selama ini berperan penting dalam pengawet kayu, adsorben
logam berat, obat-obatan, antimikroba dll. Tannin merupakan senyawa phenol yang
larut dalam air dan memiliki berat molekul antara 500 dan 3000 Da. Tannin
diklasifikasikan

menjadi

hydrolyzable

tannin

dan

condensed

tannins

(proanthocyanidins). Tanin dapat dimanfaatkan sebagai adsorbent logam berat,
antimikroba, dan Plywood Adhesive.
Sifat-sifat Tannin Tumbuhan
Menurut Browning (1966) sifat utama tannin tumbuh-tumbuhan tergantung pada
gugusan phenolik-OH yang terkandung dalam tannin, dan sifat tersebut secara garis
besar dapat diuraikan sebagai berikut:
Sifat Kimia Tannin
1) Tannin memiliki sifat umum, yaitu memiliki gugus phenol dan bersifat koloid,
sehingga jika terlarut dalam air bersifat koloid dan asam lemah.
2) Umumnya tannin dapat larut dalam air. Kelarutannya besar dan akan meningkat
apabila dilarutkan dalam air panas. Begitu juga tannin akan larut dalam pelarut
organik seperti metanol, etanol, aseton dan pelarut organik lainnya.
3) Tannin akan terurai menjadi pyrogallol, pyrocatechol dan phloroglucinol bila
dipanaskan sampai suhu 210oF-215oF (98,89oC-101,67oC)
4) Tannin dapat dihidrolisa oleh asam, basa, dan enzim.
5) Ikatan kimia yang terjadi antara tannin-protein atau polimer-polimer lainnya terdiri
dari ikatan hidrogen, ikatan ionik, dan ikatan kovalen.
Sifat Fisik Tannin
1) Umumnya tannin mempunyai berat molekul tinggi dan cenderung mudah dioksidasi
menjadi suatu polimer, sebagian besar tannin bentuknya amorf dan tidak
mempunyai titik leleh.
2) Tannin berwarna putih kekuning-kuningan sampai coklat terang, tergantung dari
sumber tannin tersebut.
3) Tannin berbentuk serbuk atau berlapis-lapis seperti kulit kerang, berbau khas dan
mempunyai rasa sepat (astrigent).
4) Warna tannin akan menjadi gelap apabila terkena cahaya langsung atau dibiarkan di
udara terbuka.
5) Tannin mempunyai sifat atau daya bakterostatik, fungistatik dan merupakan racun.

Cara identifikasi tanin
1) Sampel ditambahkan air panas dan didihkan selama 5 menit
2) Setelah dingin disaring, filtrate dibagi 2, masing-masing ditambahkan FeCl3 1%
dan gelatin 10%
3) Bila positif akan berwarna hijau/biru
Kapsul
Kapsul dapat didefinisikan sebagai bentuk sediaan padat, dimana satu macam bahan obat
atau lebih dan/atau bahan inert lainnya yang dimasukkan ke dalam cangkang atau wadah
kecil yang umumnya dibuat dari gelatin yang sesuai. Tergantung pada formulasinya kapsul
dari gelatin bisa lunak dan bisa juga keras. Kebanyakan kapsul – kapsul yang diedarkan di
pasaran adalah kapsul yang semuanya dapat ditelan oleh pasien, untung keuntungan dalam
pengobatan. Begitu pula, kapsul dapat dibuat untuk disisipkan ke dalam rectum sehingga
obat dilepaskan dan diabsorbsi di tempat tersebut, atau isi kapsul dapat dipindahkan dari
cangkang gelatin dan digunakan sebagai pengukur yang dini dari obat – obat bentuk
serbuk. (Ansel, 1989)
METODE PENGUJIAN
Alat dan Bahan
Alat – alat yang dibutuhkan adalah gunting, oven, tabung reaksi, botol, Bunsen, kaki tiga,
batang pengaduk, alat soxhletasi, bejana kromatografi, kertas saring, silica gel, pinset,
pensil, cawan penguap, lampu spiritus, kawat kasa, kertas perkamen, timbangan, gelas
ukur, Erlenmeyer, kertas saring, water bath
Bahan-bahan yang dibutuhkan adalah simplisia daun katuk, etanol, pereaksi Mayer,
pereaksi Dragendorf, pereaksi Lieberman burchard, pereaksi Wagner, n-heksan, logam
Mg, asam klorida 2%, NaOH 1%, FeCl3 1%, Gelatin 10%, Asam sulfat 2 N, Kloroform
berammonia, dan kloroform.
Pembuatan Simplisia
1)

Dilakukan pemanenan daun katuk dari tanaman liar dipekarangan rumah.

2)

Diambil daun katuk yang tidak terlalu tua dengan menggunakan tangan atau gunting

3)

Dilakukan penyortiran basah (dipilih yang layak untuk dibuat simplisia)

4)

Dicuci menggunakan air mengalir menggunakan teknik pencucian bertingkat

5)

Dikeringkan menggunakan sinar matahari atau di oven dengan suhu 25°C-30°

6)

Setelah kering dilakukan penyortiran kering (dipilih simplisia yang bebas dari bendabenda asing atau kotoran-kotoran)

7)

Simplisia kemudian dihaluskan dengan blender

8)

Diayak agar dihasilkan serbuk simplisia halus

Pengujian Simplisia
Uji kadar abu
1) Ditimbang 3 g gram serbuk daun katuk
2) Dimasukkan ke dalam krus platina
3) Dibakar diatas api bunsen sampai berubah warna menjadi abu-abu
4) Dihitung kadar abunya.
Uji kadar air menggunakan metode gravimetri
1) Ditimbang bobot awal daun katuk, dicatat hasilnya
2) Ditimbang bobot daun yang telah kering atau sudah menjadi simplisia, dicatat
hasilnya
3) Dihitung kadar air dengan menggunakan rumus:
� �� �

Screening Fitokimia
a.

− � ��

� �� �

ℎ��

x 100%

Alkaloid
500 mg sampel dibasakan dengan kloroform berammonia, lalu disaring. Ditambahkan
0,5 – 1 ml asam sulfat 2N pada hasil filtrate, dikocok sampai terbentuk 2 lapisan.
Lapisan asam (atas) dipipet dan dibagi dalam 3 tabung reaksi. Masing – masing
tabung reaksi ditambahkan 2 tetes pereaksi Mayer, pereaksi Wagner, dan pereaksi
Dragendorf. Kemudian diamati perubahan yang terjadi.

b.

Flavonoid
5 gram sampel diekstraksi dengan pelarut n-heksana atau petrolatum eter sebanyak 15
ml, lalu disaring. Ekstrak yang diperoleh selanjutnya diekstraksi lebih lanjut
menggunakan methanol atau etanol sebanyak 30 ml. 2 ml ekstrak methanol/etanol
yang diperoleh dimasukkan dalam tabung reaksi dan ditambahkan dengan 0,5 HCl
pekat dan 3-4 pita logam Mg. Adanya flavonoid dengan warna merah, orange dan
hijau tergantung pada struktur flavonoid yang terkandung dalam sampel tersebut.
(Fitokimia, 2008)

c.

Antarkuinolon
5 gram sampel diuapkan diatas penangas sampai kering. Bahan kering yang sudah
dingin kemudian dimasukkan ke dalam campuran larutan 10 ml KOH 5N dan 1 ml
H2O2 3% dan dipanaskan diatas penangas air selama 10 menit, kemudian disaring.
Hasil filtrate yang diperoleh ditambahkan asam asetat glasial sampai larutan bersifat

asam, kemudian diekstraksi dengan benzene. Ekstrak benzene yang diperoleh diambil
5 ml dan ditambahkan dengan 5 ml ammonia, lalu dikocok. Jika terbentuk warna
merah pada lapisan ammonia, maka sampel mengandung senyawa golongan
Antarkuinon.
d.

Tanin
Sejumlah kecil sampel dalam tabung reaksi dipanaskan di atas tangas air, kemudian
disaring. Filtrate kemudian dibagi menjadi 2. Kepada filtrate 1 ditambahkan larutan
gelatin 1%. Adanya senyawa tanin ditandai dengan terjadinya endapan berwarna
putih. Kepada filtrate 2 ditambahkan larutan besi (III) klorida 1%. Adanya senyawa
tanin ditandai dengan terjadinya endapan berwarna hijau.

e.

Saponin
Ditimbang 500 mg dimasukkan dalam tabung reaksi. Ditambahkan 10 ml air panas,
dinginkan dan kemudian dikocok kuat-kuat selama 10 detik. Bila positif akan keluar
busa/buih yang mantap selama 10 menit, setinggi 1 cm-10 cm. Jika ditambahkan 1
asam klorida 2 N, buih tidak hilang (MMI IV)

f.

Steroid dan terpenoid
Bahan sampel tanaman sebanyak 1 gram dilarutkan dengan pelarut n-heksana atau
petroleum eter (kurang lebih 2 ml), kemudian disaring. Ekstrak yang diperoleh
diambil sedikit dan dikeringkan diatas papan spot test, kemudian disaring.
Ditambahkan 3 tetes anhidrida asetat ( Ac2O ) dan kemudian satu tetes asam sulfat
pekat (H2SO4 pekat). Adanya senyawa golongan terpenoid akan ditandai dengan
timbulnya warna merah sedangkan adanya senyawa golongan steoroid ditandai
dengan munculnya warna biru. (Fitokimia,2008)

Kromatografi Lapis Tipis
Dibuat ekstrak sampel dengan methanol. Dibuat eluen n-heksana:kloroform dengan
perbandingan 70:30. Dimasukkan kertas saring ke dalam chamber. Eluen dimasukkan ke
dalam chamber. Chamber dijenuhkan dengan eluen tersebut. Disiapkan fase diam silica
gel. Ekstrak daun katuk ditotolkan pada silica gel. Setelah chamber jenuh, silica gel
dimasukkan ke dalam chamber dan kertas saring dikeluarkan dari chamber. Diamati
sampai menghasilkan totolan berwarna sampai tanda batas atas silica gel. Diamati warna
totolan, lalu dilihat disinar UV. Bila totolan tidak terlihat jelas maka dilakukan
penyemprotan.

Ekstraksi
Simplisia daun katuk 55 g dimasukkan dalam selonsong soxhlet. Ditambahkan etanol 70%
sampai bisa terjadi sirkulasi. Dilakukan ekstraksi sebanyak 16 sirkulasi. Hasil ekstrak
dikumpulkan dan diupkan sampai diperoleh ekstrak kental.
Pembuatan Sediaan
Ekstrak kental dimasukkan dalam mortar hangat. Ditambahkan saccharum lactis dan
digerus sampai ekstrak berubah menjadi serbuk. Setelah menjadi serbuk dimasukkan ke
dalam cangkang kapsul.
Pengujian Sediaan
Keseragam bobot
Ditimbang 20 kapsul daun katuk dan dicatat. Lalu ditimbang satu per satu kapsul daun
katuk dan dicatat. Dikeluarkan isi tiap kapsul dan ditimbang cangkang kapsul satu persatu
dan dicatat. Ditimbang serbuk/isi kapsul satu per satu dan dicatat. Diulangi sampai kapsul
ke – 20. Dihitung berapa bobot isi, rata-rata, dan penyimpangannya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Pengujian Simplisia
Screening Fitokimia
Metabolit Sekunder

Hasil

Alkaloid

+

Flavonoid

+

Antarkuinon

-

Tanin

-

Saponin

+

Steroid

+

Terpenoid

-

a. Alkaloid
Pada pengujian alkaloid ini menggunakan 500 mg simplisia lalu dibasakan dengan
kloroform beramonia kemudian disaring, penambahan ini bertujuan untuk memutuskan
ikatan antara asam tanin dan alkaloid yang terikat secara ionic dimana atom n- dari
alkaloid berikatan saling stabil gugus hidroksil genolik dari asam tanin. Dengan
terputusnya ikatan ini alkaloid akan bebas sedangkan asam tanin akan terikat oleh
kloroform. Sedangkan pengadukan bertujuan untuk memperbanyak kontak yang terjadi
antara kloroform dengan bubur target semakin banyak. Hal ini memungkinkan asam

tanin akan terikat semakin banyak dengan kloroform dan alkaloid yang bebas semakin
banyak saat diekstraksi. Hasil filtratnya ditambahkan 5 ml asam sulfat 2 N, lalu
dikocok maka akan terbentuk 2 lapisan. Penambahan asam sulfat 2 N berfungsi untuk
mengikat kembali alkaloid menjadi garam alkaloid dan dapat bereaksi dengan logam –
logam berat, yaitu spesifik dengan alkaloid yang menghasilkan kompleks garam
anorganik yang tidak larut sehingga terpisah dengan metabolic sekunder. Penambahan
asam sulfat 2 N mengakibatkan larutan terbentuk menjadi 2 fase karena adanya
perbedaan tingkat kepolaran antara fase aqueus yang polar dengan kloroform yang
relative kurang polar. Garam alkaloid akan larut pada lapisan atas sedangkan lapisan
kloroform berada pada lapisan paling bawah karena memiliki massa jenis yang lebih
besar. Lapisan atas merupakan bagian asam. Lapisan asam ini lalu dipipet dan dibagi
dalam 3 tabung reaksi. Pada tabung reaksi 1 ditambahkan 2 tetes pereaksi mayer,
tabung reaksi 2 ditambahkan 2 tetes pereaksi Wagner, dan tabung reaksi 3
ditambahkan 2 tetes pereaksi Dragendorf.
Pada praktikum diperoleh hasil bahwa daun katuk positif mengandung alkaloid yang
ditandai dengan adanya endapan putih saat sampel direaksikan dengan pereaksi Mayer.
Diperkirakan endapan tersebut adalah kompleks kalium-alkaloid. Pada pembuatan
pereaksi Mayer, larutan merkurium(II) klorida ditambah kalium iodida akan bereaksi
membentuk endapan merah merkurium(II) iodida. Jika kalium iodida yang
ditambahkan berlebih maka akan terbentuk kalium tetraiodomerkurat(II) (Svehla,
1990). Alkaloid mengandung atom nitrogen yang mempunyai pasangan elektron bebas
sehingga dapat digunakan untuk membentuk ikatan kovalen koordinat dengan ion
logam (McMurry, 2004). Pada uji alkaloid dengan pereaksi Mayer, diperkirakan
nitrogen pada alkaloid akan bereaksi dengan ion logam K+ dari kalium
tetraiodomerkurat(II) membentuk kompleks kalium-alkaloid yang mengendap.
Hasil positif alkaloid pada uji Wagner ditandai dengan terbentuknya endapan coklat
muda sampai kuning. Diperkirakan endapan tersebut adalah kalium-alkaloid. Pada
pembuatan pereaksi Wagner, iodin bereaksi dengan ion I- dari kalium iodida
menghasilkan ion I3- yang berwarna coklat. Pada uji Wagner, ion logam K+ akan
membentuk ikatan kovalen koordinat dengan nitrogen pada alkaloid membentuk
kompleks kalium-alkaloid yang mengendap.
Hasil positif alkaloid pada uji Dragendorff juga ditandai dengan terbentuknya endapan
coklat muda sampai kuning. Endapan tersebut adalah kalium- alkaloid. Pada
pembuatan pereaksi Dragendorff, bismut nitrat dilarutkan dalam HCl agar tidak terjadi

reaksi hidrolisis karena garam-garam bismut mudah terhidrolisis membentuk ion
bismutil (BiO+). Agar ion Bi3+ tetap berada dalam larutan, maka larutan itu ditambah
asam sehingga kesetimbangan akan bergeser ke arah kiri. Selanjutnya ion Bi3+ dari
bismut nitrat bereaksi dengan kalium iodida membentuk endapan hitam Bismut(III)
iodida yang kemudian melarut dalam kalium iodida berlebih membentuk kalium
tetraiodobismutat (Svehla, 1990). Pada uji alkaloid dengan pereaksi Dragendorff,
nitrogen digunakan untuk membentuk ikatan kovalen koordinat dengan K+ yang
merupakan ion logam.
b.

Flavonoid
Pada uji flavonoid diperoleh hasil bahwa daun katuk positif mengandung flavonoid.
Hal ini ditandai adanya warna hijau pada saat daun katuk yang telah diekstrak dengan
petrolatum eter dan methanol direaksikan dengan HCl pekat dan pita logam.
Flavonoid umumnya lebih mudah larut dalam air atau pelarut polar dikarenakan
memiliki ikatan dengan gugus gula (Markham, 1988). Flavonoid terutama berupa
senyawa yang larut dalam air dan senyawa aktifnya dapat diektraksi dengan etanol
70% (Harbone 1987).
Flavonoid adalah senyawa yang mengandung karbon C15 atas dua inti fenolat yang
dihubungkan tiga satuan karbon cincin A yang memiliki karakteristik bentuk
hidroksilasi phloroglusinal dan cincin B biasanya 4,3,4 atau 3,4,5 terhidroksilasi
(Sastrohamidjojo, 1995). Sampel daun katuk sebanyak 10 gram yang telah dihaluskan
diekstraksi dengan methanol. Hal ini bertujuan untuk dapat melarutkan senyawa ini,
dan selanjutnya di saring untuk memisahkan filtrat dan residu. Filtrat diuapkan dan
diekstraksi dengan n-heksan. Setelah itu ekstrak daun katuk dalam n-heksana
diekstraksi kembali dengan etanol untuk melarutkan flavanoid dan ditambahkan
dengan 0,5 g Mg. Penambahan logam Mg dan HCl untuk mendeteksi adanya senyawa
flavanoid dimana flavanoid akan bereaksi dengan Mg setelah penambahan asam
klorida pekat dengan terjadinya perubahan warna merah muda/ungu sebab flavanoid
mengalami perubahan serapan cahaya ke arah panjang gelombang yang lebih besar
akibat adanya reaksi reduksi oleh HCl.

c.

Antarkuinon
Pada uji antar kuinon menyatakan bahwa daun katuk positif mengandung senyawa
antarkuinon hal ini ditandai dengan terbentuknya warna merah pada lapisan
ammonia.. Ekstrak sebanyak 5 gram ditambahkan dengan 10 ml KOH 5N dan 1 ml
H2O2 3%. KOH berfungsi sebagai pemberi suasana basa dan berfungsi untuk

menghidrolisis glikosida dan mengoksidasi antron atau antranol menjadi antrakinon.
Sedangkan H2O2 3% berfungsi sebagai pemberi suasana asam. Sehingga didapatka
senyawa dengan suasana netral dengan adanya penmbahan H2O2 3%. Kemudian
larutan tersebut dipanaskan dan disaring. Filtrat kemudian ditambahkan asam asetat
glasial 1 – 2 tetes, kemudian di ekstraksi dengan benzene. Ekstraksi bertujuan untuk
menghidrolisis antrakuinon, yaitu memisahkan antara glikon dan aglikonnya. Ekstrak
benzen diambil dan dibagi menjadi dua bagian, yaitu larutan 1 dan 2. Larutan 1
digunakan sebagai blanko. Larutan 2 ditambahkan ammoniak. Ammoniak berfungsi
untuk memberikan suasana basa. Warna merah atau merah muda pada lapisan alkalis
menunjukkan adanaya antrakinon. Tetapi pada hasil praktikum ini tidak terjadi
perubahan warna menjadi warna merah. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak tidak
mengandung senyawa antrakinon.
d.

Tanin
Pada uji tanin menyatakan bahwa daun katuk tidak mengandung tanin. Hal ini karena
pada saat filtrate simplisia daun katuk ditambahkan gelatin tidak terjadi reaksi atau
perubahan apapun. Begitu juga halnya ketika filtrate ditambahkan dengan larutan
besi (III) klorida 1% tidak terjadi endapan berwarna hijau pada filtrate tersebut.
Pada uji tanin diperoleh hasil negative, adanya tanin akan mengendapkan protein
pada gelatin. Tanin bereaksi dengan gelatin membentuk kopolimer mantap yang
tidak larut dalam air (Harborne, 1996). Reaksi ini lebih sensitif dengan penambahan
NaCl untuk mempertinggi penggaraman dari tanin-gelatin.

e.

Saponin
Pada uji saponin menyatakan bahwa daun katuk memiliki jumlah saponin yang cukup
besar. Hal ini karena pada saat sampel ditambahkan dengan air panas lalu dikocok
kuat-kuat terbentuk busa yang cukup banyak setinggi ± 5 cm dan bertahan selama
beberapa menit. Jika ditambahkan asam klorida 2 N, buih tersebut tidak hilang.
Saponin merupakan suatu glikosida dengan gugus hidroksil pada molekulnya.
Saponin mempunyai sifat seperti sabun ketika dilarutkan ke dalam air yaitu akan
membentuk busa. Gugus hidrofil dan hidrofob bertindak sebagai permukaan aktif
dalam pembentukan busa. Saponin bersifat polar dan dapat larut dalam air karena
adanya gugus hidrofil (OH) yang dapat membentuk ikatan hidrogen dengan molekul
air. Busa yang dihasilkan diuji kestabilannya dengan penambahan HCl . Hasilnya
busa tetap stabil selama 10 menit ketika ditambahkan HCl.

Saponin adalah senyawa aktif permukaan yang dapat menimbulkan busa jika
dikocok dalam air. Hal tersebut terjadi karena saponin memiliki gugus polar dan
non polar yang akan membentuk misel. Pada saat misel terbentuk maka gugus
polar akan menghadap ke luar dan gugus nonpolar menghadap ke dalam dan
keadaan inilah yang tampak seperti busa (Robinson, 1991; Sangi dkk., 2008)
f) Steroid dan terpenoid
Hasil positif steroid ditunjukkan dengan terjadinya perubahan warna menjadi hijau
biru sesuai dengan pernyataan Harborne tahun 1987. Pereaksi Lieberman Burchard
asam asetat anhidrida dan asam sulfat pekat bereaksi dan menghasilkan warna hijau
biru (Gambar 18). Reaksi yang terjadi antara steroid dengan asam asetat anhidrat
adalah reaksi asetilasi gugus –OH pada steroid yang akan menghasilkan kompleks
asetil steroid. Penambahan asam sulfat pekat bertujuan untuk mendestruksi
kompleks asetil steroid.
Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi lapis tipis merupakan suatu jenis kromatografi yang menggunakan fase diam
dan fase gerak dalam prinsip kerjanya. Pada praktikum uji KLT simplisia daun katuk
digunakan silica gel sebagai fase diam dan n-heksan dan kloroform (70:30) sebagai eluen
atau fase gerak. N-heksan sebagai eluen utama karena n-heksan merupakan suatu pelarut
yang dapat mengidentifikasi steroid secara spesifik karena sifatnya yang nonpolar. Sifat
steroid yang nonpolar sehingga membutuhkan pelarut yang nonpolar juga agar dapat
memisahkan atau mengidentifikasikan senyawa steroid dalam sampel ekstrak. Pada
praktikum KLT ini diperoleh bercak berwarna kuning. Saat dilihat di sinar UV, tidak
dihasilkan warna atau tanda yang jelas dan spesifik. Karena hasil yang tidak spesifik lalu
hasil bercak pada silica gel disemprot dengan pereaksi warna Lieberman – Burchard yang
merupakan pereaksi yang dapat mengidentifikasi adanya steroid, lalu di oven pada suhu
100°C selama 10 menit. Proses pengovenan ini untuk memperlebar pori-pori bercak pada
silica gel sehingga cepat bereaksi dengan pelarut Lieberman burchaerd. Setelah dioven
tidak dihasilkan warna bercak yang diinginkan, warna bercak pada silica gel menjadi rusak
dan tak teridentifikasi. Hal ini diduga karena proses semprot yang dilakukan kurang baik
dan maksimal sehingga membuat warna bercak menjadi rusak bahkan hilang. Selain itu
bisa juga karena kandungan steroid yang jumlahnya sedikit pada tanaman daun katuk.
Ekstraksi
Simplisia

= 55 gram

Ekstrak cair

= 200 ml

Ekstrak kental = 9,75 g
Ekstraksi merupakan proses penarikan suatu zat dengan pelarut sehingga terpisah dari
bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Pada praktikum ekstraksi simplisia daun
katuk digunakan ekstraksi soxhletasi. Penggunaan ekstraksi sochletasi karena senyawa
steroid yang diinginkan tahan terhadap suhu tinggi yaitu 140°C - 180°C, sehingga
ekstraksi soxhletasi dianggap paling baik dan efektif. Pada proses ekstraksi steroid ini
pelarut yang digunakan adalah etanol 70%, karena senyawa steroid dapat larut dalam
pelarut etanol. Proses ekstraksi soxhletasi hanya sampai 7 sirkulasi. Hal ini seharusnya
dilakukan sebanyak 16 sirkulasi, namun karena keterbatasan waktu dan beberapa kendala
maka pada sirkulasi ke 7, proses ekstraksi dihentikan.
Hasil ekstraksi Soxhlet 355 gram serbuk daun katuk dengan 480 ml etanol 70% diperoleh
ekstrak encer berwarna hijau muda sebanyak 200 ml. Hasil ekstraksi ini kemudian
dievaporasi diatas waterbath dengan suhu sampai 90°C dengan maksud agar senyawa
etanol yang memiliki titik didih ±78°C yang terdapat pada ekstraksi menguap dan hilang,
sehingga diperoleh hasil ekstraksi kental. Hasil ekstraksi kental yang diperoleh adalah
sebanyak 9,76 gram, yang akan dioleh menjadi sediaan kapsul.
Mutu Fisik Sediaan
No

Berat
Kapsul

Berat

Berat Isi

Penyimpangan

Cangkan
g

1

1,1122 g

0,1198 g

0,9924 g

0,54%

2

1,1756 g

0,1197 g

1,0559 g

5,82%

3

1,0751 g

0,1192 g

0,9559 g

4,19%

4

1,1656 g

0,1208 g

1,0448 g

4,71%

5

1,0608 g

0,1192 g

0,9416 g

5,63%

6

1,1584 g

0,1193 g

1,0391 g

4,13%

7

1,1563 g

0,1193 g

1,0370 g

3,92%

8

1,1019 g

0,1195 g

0,9824 g

1,54%

9

1,0919 g

0,1192 g

0,9727 g

2,51%

10

1,1088 g

0,1193 g

0,9895 g

Berat Cangkang

0,83%

No

Berat Kapsul

Berat Isi

Penyimpangan

11

1,1388 g

0,1194 g

1,0194 g

2,16%

12

1,1437 g

0,1195 g

1,0242 g

2,64%

13

1,1618 g

0,1192 g

1,0426 g

4,48%

14

1,1137 g

0,1192 g

0,9945 g

0,33%

15

1,1354 g

0,1193 g

1,0161 g

1,83%

16

1,0772 g

0,1194 g

0,9578 g

4,01%

17

1,1030 g

0,1195 g

0,9835 g

1,43%

18

1,1287 g

0,1194 g

1,0093 g

1,15%

19

1,1102 g

0,1197 g

0,9905 g

0,73%

20

1,1462g

0,1195 g

1,0267 g

2,89%

Untuk evaluasi fisik dari sediaan kapsul daun katuk ini yaitu keseragaman bobot. Uji ini
dilakukan untuk 20 kapsul. Pertama-tama, ditimbang bobot kapsul kemudian kapsul
dikeluarkan isinya dan ditimbang bobot cangkang kapsul. Penimbangan ini dilakukan
hingga kapsul yang ke 20. Dari hasil uji Keseragaman bobot ini diketahui bobot 20 kapsul
= 22,4653 gram, bobot 20 cangkang = 2,8057 gram. Bobot isi 20 kapsul = 19,9566 gram
dan rata-rata bobot isi tiap kapsul = 0,9978 gram. Kapsul no 1-20 telah memenuhi syarat
kolom A karena penyimpangan di bawah 7,5%.

Kesimpulan
Pada praktikum ini, kita melakukan skrining fitokimia pada simplisia daun katuk. Hasilnya
yang positif yaitu alkaloid, flavonoid, saponin, dan steroid. Setelah itu, kita melakukan uji
spesifik fitokimia secara KLT pada simplisia daun katuk dengan menggunakan eluen
kloroform dan n-Heksana. Kemudian, kami melakukan ekstraksi soxhletasi steroid pada
simplisia daun katuk dan dilanjutkan dengan proses evaporasi. Setelah proses evaporasi
ekstrak kental kemudian diserbukkan dengan menggunakan saccharum lactis. Serbuk yang

dihasilkan kemudian dimasukkan dalam cangkang kapsul. Kemudian dilakukan uji
keseragaman bobot kapsul dan hasil uji tersebut menyatakan bahwa sedian kapsul ini
memenuhi syarat keseragaman bobot.

DAFTAR PUSTAKA
Agoes, G. (2007). Teknologi Bahan Alam. Bandung: ITB.
Alfinda Novi Kristanti, N. S. (2008). Buku Ajar Fitokimia. Surabaya: Airlangga Univercity press.
Anonim. (1985). Cara Pembuatan Simplisia. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Anonim. (1986). Sediaan Galenik. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Anonim. (1987). Analisis Obat Tradisional. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Anonim. (1997). Materia Medica Indonesia jilid V. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Anonim. (1997). Materia Medica Indonesia jilid VI. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Fajriyah, S. (n.d.). Pembuatan Simplisia dan Standarisasi Mutu Simplisia Rimpang Temulawak
(Curcuma xanthorriza rhizoma) dengan Pengeringan Sinar Matahari.
J.B.Harborne. (1987). Metode Fitokimia: Penuntun cara modern menganalisis tumbuhan.
Bandung: ITB.
robinson, t. (1995). kandungan organik tumbuhan tinggi. bandung: ITB.
Wargono, F. E. (2013). uji efek daun katuk terhadap kualitas spermatozoa tikus putih jantan
secara histologi. calyptra:jurnal ilmiah mahasiswa universitas surabaya vol.2, 2-9.