Uji antioksidan dan antibakteri ekstrak air bunga kecombrang (edigera elatior) sebagai pangan fungsional terhadap staphylococcus aureus dan escherichia coli

(1)

ADENG HUDAYA

 

PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Adeng Hudaya 106095003200

PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(3)

Staphylococcus aureus dan Escherichia coli” yang ditulis oleh Adeng Hudaya, NIM 106095003200 telah diuji dan dinyatakan LULUS dalam sidang munaqosyah Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 9 Desember 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) Program Studi Biologi.

Menyetujui,

Penguji 1, Penguji 2,

Fahma Wijayanti, M.Si Priyanti, M.Si

NIP. 19690317.200312.2.001 NIP. 19750526.200012.2.001

Pembimbing 1, Pembimbing 2,

DR. Ira Djajanegara, M.Sc Dra. Nani Radiastuti, M.Si

NIP. 19640826.199303.2.004 NIP. 19650902.20011.2.001

Mengetahui,

Dekan

Fakultas Sain dan Teknologi Ketua Program Studi Biologi

DR. Syopiansyah Jaya Putra, M. Sis. DR. Lily Surayya Eka Putri, M. Env. Stud. NIP. 19680117.200112.1.001 NIP. 1969404.200501.2.005


(4)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Seiring dengan makin meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup sehat, tuntutan konsumen terhadap bahan pangan juga bergeser. Bahan pangan yang kini banyak diminati konsumen bukan saja yang mempunyai komposisi gizi yang baik serta penampakan dan cita rasanya menarik, tetapi juga harus memiliki fungsi fisiologis tertentu bagi tubuh, seperti dapat menurunkan tekanan darah, kadar kolesterol, dan kadar gula darah, serta meningkatkan penyerapan kalsium (Astawan 2003). Goldberg (1994) menyebutkan bahwa dasar pertimbangan konsumen di negara-negara maju dalam memilih bahan pangan bukan hanya bertumpu pada kandungan gizi serta kelezatannya, tetapi juga pengaruhnya terhadap kesehatan tubuh.

Dewasa ini telah banyak dikembangkan produk pangan yang memadukan antara fungsi nutrisi dan kesehatan, yang sering disebut pangan fungsional. Pangan fungsional merupakan produk pangan yang memberikan keuntungan terhadap kesehatan. Pangan fungsional dapat mencegah atau mengobati penyakit (Goldberg, 1994).

Tanaman rempah dan obat mempunyai potensi besar sebagai sumber makanan dan minuman fungsional seiring dengan makin tingginya kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kesehatan. Keberadaan pangan fungsional tidak hanya bermanfaat bagi masyarakat atau konsumen, tetapi juga bagi


(5)

pemerintah maupun industri pangan. Bagi konsumen, pangan fungsional bermanfaat untuk mencegah penyakit, meningkatkan imunitas, memperlambat proses penuaan, serta meningkatkan penampilan fisik. Bagi industri pangan, pangan fungsional akan memberikan kesempatan yang tidak terbatas untuk secara inovatif memformulasikan produk-produk yang mempunyai nilai tambah bagi masyarakat. Selanjutnya bagi pemerintah, adanya pangan fungsional akan menurunkan biaya untuk pemeliharaan kesehatan masyarakat (Winarti, 2005).

Salah satu tanaman rempah dan obat yang memiliki potensi sebagai pangan fungsional sebagai antioksidan dan antibakteri adalah kecombrang (E. elatior). Kecombrang termasuk dalam golongan Zingiberaceae, satu famili dengan tanaman laos. Naufalin (2005) menjelaskan bahwa pemanfaatan bunga kecombrang adalah sebagai pemberi citarasa pada masakan, seperti urab, pecal, sambal dan masakan lain.

Kecombrang merupakan salah satu jenis tanaman rempah-rempah yang sejak lama dikenal dan dimanfaatkan oleh manusia sebagai obat-obatan berkaitan dengan khasiatnya, yaitu sebagai penghilang bau badan dan bau mulut (Hidayat dan Hutapea 1991). Menurut Hasbah et al. (2005) tanaman kecombrang dapat dipakai untuk mengobati penyakit-penyakit yang tergolong berat yaitu kanker dan tumor. Sedangkan menurut Chan et al., (2007) bunga dari tanaman ini bisa digunakan sebagai bahan kosmetik alami dimana bunganya dipakai untuk campuran cairan pencuci rambut dan daun serta rhizome dipakai untuk bahan campuran bedak oleh penduduk lokal.


(6)

Menurut Jaffar et al., (2007) pada daun, batang, bunga, dan rizome tanaman kecombrang menunjukkan adanya beberapa jenis minyak esensial yang kemungkinan bersifat bioaktif. Kandungan minyak esensial tertinggi adalah pada daun yaitu sebesar 0.0735% diikuti bunga sebesar 0,0334% lalu batang sebesar 0,0029% dan terakhir rhizome sebesar 0,0021%. Menurut Chan et al., (2007) ekstrak ethanol dan metanol bunga, daun dan rhizome kecombrang mengandung aktivitas antioksidan, dimana ekstrak yang berasal dari daun menunjukkan aktivitas tertinggi diikuti ekstrak bunga dan yang terendah adalah ekstrak rhizome.

Hasil penelitian Naufalin (2005), telah membuktikan bahwa ekstrak etanol dan etil asetat pada bunga kecombrang terdapat senyawa aktif yang berfungsi sebagai zat antibakteri. Bakteri yang telah diketahui dapat dihambat oleh zat aktif yang dimiliki oleh ektrak etanol dan etil asetat bunga kecombrang tersebut adalah

B. cereus, P. aeruginosa, S. typhimurium, E.coli, L. Monocytogenes, S. aureus.

dan A. hydrophila.

Berkaitan dengan pangan fungsional, dalam proses ekstraksi rempah-rempah, komposisi, warna, aroma, dan rendeman yang dihasilkan akan dipengaruhi oleh jenis, ukuran dan tingkat kematangan bahan baku, jenis pelarut, suhu dan waktu ekstraksi serta metode ekstraksi (Farrel, 1990). Persyaratan yang harus dipenuhi oleh pelarut untuk mengekstrak rempah-rempah antara lain : tidak berbau dan tidak berasa, sehingga tidak mempengaruhi mutu produk akhir (Moyler, 1994). Untuk itu dalam penelitian ini digunakan pelarut air dan bebas dari pelarut organik (alkohol, etil asetat, n-heksan, dll). Sehingga produk akhir


(7)

yang dihasilkan pada penelitian ini tidak tercemar oleh pelarut organik dan dapat dimanfaatkan sebagai pangan fungsional.

Untuk mengetahui aktivitas biologis ekstrak air bunga kecombrang (E. elatior) perlu dilakuakn penelitian lebih lanjut mengenai sifat bioaktif, aktivitas antibakteri, aktivitas antioksidan dan analisa senyawa kimia dengan menggunakan GCMS. Pengujian sifat bioaktif dilakukan dengan menggunakan metode BSLT (Brine Shrimp Lethality Test), pengujian antibakteri digunakan bakteri Gram negatif dan Gram positif dengan metode difusi cakram. E. coli dan S. aureus

adalah bakteri yang tergolong Gram negatif dan positif. Bakteri ini merupakan bakteri patogen yang berkaitan erat dengan makanan terutama menyebabkan gangguan masalah pencernaan. Pengujian aktivitas antioksidan dilakukan dengan metode DPPH (1,1 Diphenyl-2-picrylhidrazyl). Menurut Hanani (2005) Metode DPPH dipilih karena sederhana, mudah, cepat dan peka serta hanya memerlukan sedikit sampel.

1.2.Rumusan Masalah

1. Apakah ekstrak air bunga kecombrang (E. elatior) memiliki sifat bioaktif berdasarkan uji BSLT?

2. Apakah ekstrak air bunga kecombrang (E. elatior)memiliki senyawa aktif antioksidan sebagai bahan pangan fungsional?

3. Apakah ekstrak air bunga kecombrang (E. elatior) memiliki kemampuan sebagai antibakteri terhadap S. aureus dan E. coli?


(8)

1.3.Hipotesis

1. Ekstrak air bunga kecombrang (E. elatior) memiliki sifat bioaktif setelah diuji dengan BSLT.

2. Ekstrak air bunga kecombrang (E. elatior) memiliki senyawa aktif antioksidan sebagai bahan pangan fungsional.

3. Estrak air bunga kecombrang (E. elatior) memiliki kemampuan sebagai antibakteri terhadap S. aureus dan E. coli.

1.4.Tujuan Penelitian

1. Menguji sifat bioaktif ekstrak air bunga kecombrang berdasarkan uji BSLT.

2. Mengetahui senyawa aktif antioksidan yang terkandung dalam ekstrak air bunga kecombrang (E. elatior).

3. Meneliti kemampuan antibakteri ekstrak air bunga kecombrang E. elatior) terhadap S. aureus dan E. coli.

1.5.Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi bukti ilmiah mengenai antioksidan yang terkandung dalam ekstrak bunga kecombrang (E. elatior) yang berpotensi sebagai penangkal radikal bebas dan dapat memperlambat proses penuaan (Anti Aging), sebagai antibakteri yang dapat mengobati infeksi, serta sebagai pangan potensional di indonesia.


(9)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pangan Fungsional

Pangan fungsional adalah pangan yang secara alami maupun telah melalui proses mengandung satu atau lebih senyawa yang berdasarkan kajian-kajian ilmiah dianggap mempunyai fungsi-fungsi fisiologis tertentu yang bermanfaat bagi kesehatan. Pangan fungsional dikonsumsi sebagaimana layaknya makanan atau minuman, mempunyai karakteristik sensori berupa penampakan, warna, tekstur dan cita rasa yang dapat diterima oleh konsumen, serta tidak memberikan kontraindikasi dan efek samping terhadap metabolisme zat gizi lainnya jika digunakan dalam jumlah yang dianjurkan. Meskipun mengandung senyawa yang bermanfaat bagi kesehatan, pangan fungsional tidak berbentuk kapsul, tablet, atau bubuk yang berasal dari senyawa alami (Badan POM, 2001).

Pangan fungsional dibedakan dari suplemen makanan atau obat berdasarkan penampakan dan pengaruhnya terhadap kesehatan. Bila fungsi obat terhadap penyakit bersifat kuratif, maka pangan fungsional lebih bersifat pencegahan terhadap penyakit. Berbagai jenis pangan fungsional telah beredar di pasaran, mulai dari produk susu probiotik tradisional seperti yoghurt, kefir dan coumiss

sampai produk susu rendah lemak siap dikonsumsi yang mengandung serat larut. Juga produk yang mengandung ekstrak serat yang bersifat larut yang berfungsi menurunkan kolesterol dan mencegah obesitas. Untuk minuman, telah tersedia berbagai minuman yang berkhasiat menyehatkan tubuh yang mengandung


(10)

komponen aktif rempah-rempah seperti kunyit asam, minuman sari jahe, sari temu lawak, beras kencur, serbat, dan bandrek. Tanaman rempah dan obat sudah lama dikenal mengandung komponen fitokimia yang berperan penting untuk pencegahan dan pengobatan berbagai penyakit. Kebutuhan akan tanaman rempah dan obat terus meningkat sejalan dengan munculnya kecenderungan untuk kembali ke alam dan adanya anggapan bahwa efek samping yang ditimbulkannya tidak sebesar obat sintetis (Winarti, 2005).

Senyawa fitokimia sebagai senyawa kimia yang terkandung dalam tanaman mempunyai peranan yang sangat penting bagi kesehatan termasuk fungsinya dalam pencegahan terhadap penyakit degeneratif. Beberapa senyawa fitokimia yang diketahui mempunyai fungsi fisiologis adalah karotenoid, fitosterol, saponin, glikosinolat, polifenol, inhibitor protease, monoterpen, fitoestrogen, sulfida, dan asam fitat. Senyawa-senyawa tersebut banyak terkandung dalam sayuran dan kacang-kacangan, termasuk tanaman rempah dan obat (Winarti, 2005).

Menurut Craig (1999), diet yang menggunakan rempah-rempah dalam jumlah banyak sebagai penyedap makanan dapat menyediakan berbagai komponen aktif fitokimia yang bermanfaat menjaga kesehatan dan melindungi tubuh dari penyakit kronis. Bahan-bahan tersebut dapat disajikan dalam berbagai bentuk, antara lain minuman kesehatan, minuman instan, jus, sirup, permen, acar, manisan, dodol, selai, dan jeli. Sampoerno dan Fardiaz (2001) menyatakan bahwa jamu yang disajikan dalam bentuk minuman dapat dikategorikan sebagai minuman fungsional asal karakteristik sensorinya diatur sedemikian rupa sehingga dapat diterima oleh masyarakat luas. Minuman seperti beras kencur, sari jahe, sari


(11)

asam, kunyit asam, sari temu lawak, bir pletok, dan susu telor madu jahe merupakan contoh minuman asal jamu yang dapat dikembangkan sebagai produk industri minuman fungsional.

Menurut Milner (2000), ada tiga alasan yang mendukung peningkatan minat terhadap pangan fungsional, yaitu tingginya biaya pemeliharaan kesehatan, peraturan yang mendukung, dan penemuan-penemuan ilmiah. Peningkatan biaya pemeliharaan kesehatan masyarakat dalam persen terhadap Produk Nasional Bruto (GNP) semakin meningkat di seluruh dunia. Di AS pemeliharaan kesehatan mencapai sekitar 14% GNP. Kebiasaan makan yang tidak baik dinilai oleh banyak kalangan berperan dalam menurunkan kesehatan dan berhubungan dengan tingginya biaya pemeliharaan kesehatan. Berbagai penelitian menemukan adanya kaitan antara kebiasaan makan dengan timbulnya beberapa jenis penyakit seperti jantung koroner dan kanker. Dilaporkan bahwa korelasi antara kebiasaan makan dan kanker adalah ~ 60% pada wanita dan > 40% pada pria.

2.2. Kecombrang

Kecombrang merupakan tanaman yang hidupnya tahunan dengan ketinggian 1-3 meter (Gambar 1). Tanaman ini banyak ditemukan di daerah pegunungan atau daerah-daerah rindang dekat air dengan ketinggian 800 meter di atas permukaan air laut. Kecombrang memiliki beberapa nama latin, seperti Etlingera elatior, Nicolaia speciosa Horan, Nicolaia elatior Horan, Phaeomeria magnifica, Phaeomeria speciosa, Phaeomeria intermedia Valet (Tampubolon et al. 1983).


(12)

Gambar 1. Tanaman Kecombrang Sumber: (Hudaya, 2010)

2.2.1. Nama Lain Kecombrang

Nama-nama daerah tempat tanaman kecombrang tumbuh yaitu kalo (Gayo),

puwa kijung (Minangkabau), katinbung (Makasar), salahawa (Seram), petikala

(Ternate), sedangkan di luar negeri dikenal dengan nama ginger bud (Inggris),

xiang bao jiang (Cina), gingembre aromatique (Perancis), kantan (malaysia),

boca de dragon (spanyol) dan kaa laa (Thailand) (Hidayat dan Hutapea 1991).

2.2.2. Senyawa Kimia Kecombrang

Hasil penelitian oleh Jaffar et al., (2007) pada daun, batang, bunga dan rimpang tanaman ini menunjukkan adanya beberapa jenis minyak esensial yang kemungkinan bersifat bioaktif. Ekstraksi minyak esensial dilakukan dengan metode hidrodistilasi sedangkan analisanya dilakukan dengan alat GC-MS (Gas Chromatography Mass Spectrometer). Penelitian ini terungkap kandungan


(13)

minyak esensial tertinggi adalah pada daun yaitu sebesar 0,0735% diikuti bunga sebesar 0,0334% lalu batang sebesar 0,0029% dan terakhir rimpang sebesar 0,0021%. Komponen utama minyak esensial pada daun adalah β-pinene (19,7%), caryophyllene (15,36%) dan β-farnesene (27,9%).

Studi fitokimia dari rimpang tanaman ini berhasil mengungkapkan struktur 2 senyawa kimia baru yaitu 1,7-bis(4-hydroxyphenyl)-2,4,6-heptatrienone (1) dan 11,13-trien-15,16-olide (2) (Mohamad et al., 2005) (Gambar 2). Studi lanjutan mengenai bioaktivitas kedua senyawa tersebut akan sangat bermanfaat bagi dunia farmasi.

Gambar 2. Senyawa kimia baru yang ditemukan pada rimpang tanaman kecombrang (Habsah et al., 2005).

2.2.3. Manfaat Kecombrang

Kecombrang merupakan salah satu jenis tanaman rempah rempah yang sejak lama dikenal dan dimanfaatkan oleh manusia sebagai obat-obatan. Bagian tanaman yang umum digunakan adalah bunga dan batangnya (Gambar 3). Pemanfaatannya adalah sebagai pemberi citarasa pada masakan, seperti urab, pecel, sambal dan masakan lain. Batangnya dipakai sebagai pemberi citarasa pada masakan daging. Kecombrang juga dimanfaatkan sebagai obat-obatan berkaitan


(14)

dengan khasiatnya, yaitu sebagai penghilang bau badan dan bau mulut (Hidayat dan Hutapea 1991).

Gamabar 3. Bunga dan batang kecombrang Sumber: (Hudaya, 2010)

Dalam literatur kuno disebutkan juga kegunaan dari tanaman ini sebagai bahan kosmetik alami dimana bunganya dipakai untuk campuran cairan pencuci rambut dan daun serta rimpang dipakai untuk bahan campuran bedak oleh penduduk lokal. Praktek ini ternyata mempunyai basis ilmiah karena ternyata penelitian membuktikan bahwa daun dan rimpang tanaman ini mempunyai aktivitas antibakteri seperti yang telah dijelaskan di atas sehingga dapat membersihkan rambut sekaligus memberikan wangi tertentu. Selain itu, ekstrak tanaman ini ternyata mampu menghambat enzim tyrosinase (Chan et al., 2007).

Hasil studi lain menunjukkan fakta yang lebih mengejutkan karena ternyata tanaman ini dapat dipakai untuk mengobati penyakit-penyakit yang tergolong berat yaitu kanker dan tumor. Senyawa kimia stigmast-4-en-3-one dan


(15)

stigmast-4-en-6b-ol-3-one dari rimpang tanaman ini terbukti mempunyai sifat menghambat pertumbuhan tumor berdasarkan EBV- EA (Epstein Barr Virus Early Antigens) assay. Senyawa-senyawa tersebut juga bersifat sitotoksik terhadap kultur sel kanker CEM-SS (LC50 4 g/ml) dan MCF-7 (LC50 6.25 g/ml)

berdasarkan MTT (Methyl Thiazole Tetrazolium) assay sehingga direkomendasikan untuk dapat dipakai sebagai obat atau campuran obat anti kanker (Habsah et al., 2005).

2.3. Ekstraksi

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang idak dapat larut dengan pelarut cair. Dan hasil dari ekstraksi adalah ekstrak. Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Sampurno, 2000).

Ekstraksi adalah penyarian zat-zat berkhasiat atau zat-zat aktif dari bagian tanaman obat, hewan dan beberapa jenis ikan termasuk biota laut. Zat-zat aktif terdapat di dalam sel, namun sel tanaman dan hewan berbeda demikian pula ketebalannya, sehingga diperlukan metode ekstraksi dengan pelarut tertentu dalam mengekstraksinya. Tujuan ekstraksi bahan alam adalah untuk menarik komponen kimia yang terdapat pada bahan alam. Ekstraksi ini didasarkan pada prinsip perpindahan massa komponen zat ke dalam pelarut, dimana perpindahan mulai


(16)

terjadi pada lapisan antar muka kemudian berdifusi masuk ke dalam pelarut (Harbone, 1987).

2.3.1. Jenis Pelarut

Jenis pelarut yang digunakan dalam penelitian ini adalah air. Air adalah pelarut yang kuat, melarutkan banyak jenis zat kimia. Zat-zat yang bercampur dan larut dengan baik dalam air (misalnya garam-garam) disebut sebagai zat-zat "hidrofilik" (pencinta air), dan zat-zat yang tidak mudah tercampur dengan air (misalnya lemak dan minyak), disebut sebagai zat-zat "hidrofobik" (takut-air). Kelarutan suatu zat dalam air ditentukan oleh dapat tidaknya zat tersebut menandingi kekuatan gaya tarik-menarik listrik (gaya intermolekul dipol-dipol) antara molekul-molekul air. Jika suatu zat tidak mampu menandingi gaya tarik-menarik antar molekul air, molekul-molekul zat tersebut tidak larut dan akan mengendap dalam air (Azis, 2009).

2.3.2. Metode Ekstraksi (Harbone, 1987) A. Ekstraksi secara soxhletasi

Ekstraksi dengan cara ini pada dasarnya ekstraksi secara berkesinambungan. Cairan penyari dipanaskan sampai mendidih. Uap penyari akan naik melalui pipa samping, kemudian diembunkan lagi oleh pendingin tegak. Cairan penyari turun untuk menyari zat aktif dalam simplisia. Selanjutnya bila cairan penyari mencapai sifon, maka seluruh cairan akan turun ke labu alas bulat dan terjadi proses sirkulasi. Demikian seterusnya sampai zat aktif yang terdapat dalam simplisia tersari seluruhnya yang ditandai jernihnya cairan yang lewat pada tabung sifon.


(17)

B. Ekstraksi secara perkolasi

Perkolasi dilakukan dengan cara dibasahkan 10 bagian simplisia dengan derajat halus yang cocok, menggunakan 2,5 bagian sampai 5 bagian cairan penyari dimasukkan dalam bejana tertutup sekurang-kurangnya 3 jam. Massa dipindahkan sedikit demi sedikit ke dalam perkolator, ditambahkan cairan penyari. Perkolator ditutup dibiarkan selama 24 jam, kemudian kran dibuka dengan kecepatan 1 ml permenit, sehingga simplisia tetap terendam. Filtrat dipindahkan ke dalam bejana, ditutup dan dibiarkan selama 2 hari pada tempat terlindung dari cahaya.

C. Ekstraksi secara maserasi

Maserasi dilakukan dengan cara memasukkan 10 bagian simplisia dengan derajat yang cocok ke dalam bejana, kemudian dituangi dengan penyari 75 bagian, ditutup dan dibiarkan selama 5 hari, terlindung dari cahaya sambil diaduk sekali-kali setiap hari lalu diperas dan ampasnya dimaserasi kembali dengan cairan penyari. Penyarian diakhiri setelah pelarut tidak berwarna lagi, lalu dipindahkan ke dalam bejana tertutup, dibiarkan pada tempat yang tidak bercahaya, setelah dua hari lalu endapan dipisahkan.

D. Ekstraksi secara refluks

Ekstraksi dengan cara ini pada dasarnya adalah ekstraksi berkesinambungan. Bahan yang akan diekstraksi direndam dengan cairan penyari dalam labu alas bulat yang dilengkapi dengan alat pendingin tegak, lalu dipanaskan sampai mendidih. Cairan penyari akan menguap, uap tersebut akan diembunkan dengan pendingin tegak dan akan kembali menyari zat aktif dalam


(18)

simplisia tersebut, demikian seterusnya. Ekstraksi ini biasanya dilakukan 3 kali dan setiap kali diekstraksi selama 4 jam.

E. Ekstraksi secara penyulingan

Penyulingan dapat dipertimbangkan untuk menyari serbuk simplisia yang mengandung komponen kimia yang mempunyai titik didih yang tinggi pada tekanan udara normal, yang pada pemanasan biasanya terjadi kerusakan zat aktifnya. Untuk mencegah hal tersebut, maka penyari dilakukan dengan penyulingan.

2.4. Uji BSLT (Brine Shrimp Lethality Test)

Uji BSLT merupakan salah satu metode untuk menguji bahan-bahan yang bersifat toksik dan digunakan sebagai suatu bioassay yang pertama untuk penelitian bahan alam. Metode ini menggunakan larva Artemia salina Leach

sebagai hewan coba. Uji toksisitas dengan metode BSLT ini merupakan uji toksisitas akut dimana efek toksik dari suatu senyawa ditentukan dalam waktu singkat, yaitu rentang waktu selama 24 jam setelah pemberian dosis uji. Prosedurnya dengan menentukan nilai LC50 dari aktivitas komponen aktif

tanaman terhadap larva Artemia salina Leach. Suatu ekstrak dikatakan toksik berdasarkan metode BSLT jika harga LC50 < 1000 ppm. Penelitian Carballo dkk

menunjukkan adanya hubungan yang konsisten antara toksisitas dan letalitas

Brine shrimp pada ekstrak tanaman (Mayer, 1982).

Metode BSLT dapat dipercaya untuk menguji aktivitas farmakologis dari bahan-bahan alami. Apabila suatu ekstrak tanaman bersifat toksik menurut harga


(19)

LC50 dengan metode BSLT, maka tanaman tersebut dapat dikembangkan sebagai

obat anti kanker. Namun, bila tidak bersifat toksik maka tanaman tersebut dapat diteliti kembali untuk mengetahui khasiat lainnya dengan menggunakan hewan coba lain yang lebih besar dari larva Artemia salina seperti mencit dan tikus secara in vivo (Carbello et al, 2002).

2.5. Antioksidan

Dalam pengertian kimia, senyawa antioksidan adalah senyawa pemberi elektron (electron donors). Secara biologis, pengertian antioksidan adalah senyawa yang mampu menangkal atau meradam dampak negatif oksidan dalam tubuh. Antioksidan bekerja dengan cara mendonorkan satu elektronnya kepada senyawa yang bersifat oksidan sehingga aktivitas senyawa oksidan tersebut bisa dihambat (Winarsi, 2007).

Secara biokimia, proses pelepasan elektron dari suatu senyawa disebut oksidasi. Sementara, proses penangkapan elektron disebut reduksi. Senyawa yang dapat menarik atau menerima elektron disebut oksidan atau oksidator, sedangkan senyawa yang dapat melepaskan atau memberikan elektron disebut reduktan atau reduktor (Winarsi, 2007).

Antioksidan merupakan senyawa pemberi elektron (electron donor) atau reduktan. Senyawa ini memiliki berat molekul kecil, tetapi mampu menginaktivasi berkembangnya reaksi oksidasi, dengan cara mencegah terbentuknya radikal. Antioksidan juga merupakan senyawa yang dapat


(20)

menghambat reaksi oksidasi, dengan mengikat radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif, akibatnya kerusakan sel akan dihambat (Winarsi, 2007).

Menurut Winarsi (2007), status antioksidan merupakan parameter penting untuk memantau kesehatan seseorang berdasarkan reaksi oksidasi dalam tubuh. Tubuh manusia memiliki sistem antioksidan untuk menangkal reaktivitas radikal bebas, yang secara kontinu dibentuk sendiri oleh tubuh. Bila jumlah senyawa oksidan reaktif ini melebihi jumlah antioksidan dalam tubuh, kelebihannya akan menyerang komponen lipid, protein, maupun DNA sehingga mengakibatkan kerusakan-kerusakan yang disebut stres oksidatif. Namun demikian, reaktivitas radikal bebas dapat dihambat dengan 3 cara berikut.

1. Mencegah atau menghambat pembentukan radikal bebas baru.

2. menginaktivasi atau menangkap radikal dan memotong propagasi (pemutusan rantai).

3. memperbaiki (repair) kerusakan oleh radikal.

Tidak selamanya senyawa oksidan reaktif yang terdapat di dalam tubuh itu merugikan. Pada kondisi-kondisi tertentu keberadaannya sangat dibutuhkan, misalnya, untuk membunuh bakteri yang masuk ke dalam tubuh. Oleh sebab itu, keberadaannya harus dikendalikan oleh sistem antioksidan dalam tubuh (Winarsi, 2007).

2.5.1. Sumber-sumber Antioksidan

Sumber-sumber antioksidan dapat berupa antioksidan sintetik maupun antioksidan alami. Tetapi saat ini penggunaan antioksidan sintetik mulai dibatasi karena ternyata dari hasil penelitian yang telah dilakukan bahwa antioksidan


(21)

sintetik seperti BHT (Butylated Hydroxy Toluena) ternyata dapat meracuni binatang percobaan dan bersifat karsinogenik. Oleh karena itu industri makanan dan obat-obatan beralih mengembangkan antioksidan alami dan mencari sumber-sumber antioksidan alami baru (Takashi dan Takayuni, 1997).

Ada banyak bahan pangan yang dapat menjadi sumber antioksidan alami, misalnya rempah-rempah, teh, coklat, dedaunan, biji-biji serelia, sayur-sayuran, enzim dan protein. Kebanyakan sumber antioksidan alami adalah tumbuhan dan umumnya merupakan senyawa fenolik yang tersebar di seluruh bagian tumbuhan baik di kayu, biji, daun, buah, akar, bunga maupun serbuk sari (Sarastani, dkk., 2002).

A. Antioksidan alami

Antioksidan alami berasal dari tumbuhan yang sering dikonsumsi dan telah diisolasi. Antioksidan yang terdapat dalam tumbuhan mengandung vitamin C, vitamin E, poliferol, karoten bioflavonoid, katekin, dan resveratrol.

B. Antioksidan Sintetik

Antioksidan sintetik diizinkan penggunaannya dalam makanan untuk menjaga mutu dan dari perubahan sifat kimia makanan akibat proses oksidasi yang terjadi terutama pada waktu penyimpanan. Contohnya adalah Butylated Hidroxyanisol (BHA), Butylated Hidroxytoluene (BHT), Tert-Butyl Quinon

(TBHQ), Propil galat dan lain-lain. (Ardiansyah, 2007).

2.5.2. Pengujian Antioksidan

Pengujian antioksidan dilakukan dengan menggunakan metode DPPH (1,1 Dipheny-2-picrylhidrazyl). Metode DPPH memberikan informasi reaktivitas


(22)

senyawa yang diuji dengan suatu radikal stabil. DPPH memberikan serapan kuat pada panjang gelombang 517 nm dengan warna violet gelap. Penangkapan radikal bebas menyebabkan elektron menjadi berpasangan yang kemudian menyebabkan penghilangan warna yang sebanding dengan jumlah yang diambil (Sunarni, 2005).

2.6. Antibakteri

Antibakteri adalah zat yang menghambat pertumbuhan bakteri dan digunakan secara khusus untuk mengobati infeksi. Berdasarkan cara kerja antibakteri dibedakan menjadi bakterisidal dan bakteriostatik. Antibakteri bakteriostatik adalah zat yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri, sedangkan antibakteri bakteriosidal adalah zat yang bekerja yang mematikan bakteri. Beberapa zat antibakteri bersifat bakteriostatik pada konsentrasi rendah dan bersifat bakteriosidal pada konsentrasi tinggi (Gani, 2007).

2.6.1. Mekanisme Kerja Antibakteri

Mekanisme kerja antibakteri dapat terjadi melalui lima cara, yaitu hambatan sintesis dinding sel, perubahan permeabilitas sel, perubahan molekul asam nukleat, penghambatan kerja enzim, dan penghambatan sintesis asam nukleat dan protein (Sunanti, 2007)

Lebih lanjut sunanti (2007) menjelaskan hambatan sintesis dinding sel merupakan salah satu mekanisme dari kerja antibakteri, struktur dinding sel dirusak dengan cara menghambat pembentukannya atau mengubahnya setelah selesai terbentuk. Kerja antibakteri dapat merubah permeabilitas sel, membran sitoplasma mempertahankan bahan-bahan tertentu di dalam sel serta mengatur


(23)

aliran keluar masuknya bahan-bahan lain. Membran memelihara integritas komponen-komponen seluler. Kerusakan pada membran ini akan mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan sel dan matinya sel.

2.6.2. Kloramfenikol

Kloramfenikol merupakan suatu antibiotik spektrum luas yang berasal dari beberapa jenis Streptomyces misalnya S. venezuelae, S. phaeochromogenes var. chloromyceticus, dan S.omiyamensis. Setelah para ahli berhasil mengelusidasi strukturnya, maka sejak tahun 1950, kloramfenikol sudah dapat disintesis secara total. S. venezuelae pertama kali diisolasi oleh Burkholder pada tahun 1947 dari contoh tanah yang diambil dari Venezuela. Filtrat kultur cair organisme menunjukkan aktivitas terhadap beberapa bakteri Gram negatif dan riketsia. Bentuk kristal antibiotik ini diisolasi oleh Bartz pada tahun 1948 dan dinamakan kloromisetin karena adanya ion klorida dan didapat dari aktinomisetes (Kurniawan, 2006).

Dalam Kurniawan (2006) dijelaskan kloramfenikol mempunyai rumus kimia yang cukup sederhana yaitu 1-(pnitrofenil)- 2-dikloroasetamido-1,3-propandiol:


(24)

Kloramfenikol adalah salah satu antibiotik yang secara kimiawi diketahui paling stabil dalam segala pemakaian. Kloramfenikol memiliki stabilitas yang sangat baik pada suhu kamar dan kisaran pH 2 sampai 7, stabilitas maksimumnya dicapai pada pH 6. Pada suhu 25oC dan pH 6, memiliki waktu paruh hampir 3 tahun. Yang menjadi penyebab utama terjadinya degradasi kloramfenikol dalam media air adalah pemecahan hidrolitik pada lingkaran amida. Laju reaksinya berlangsung di bawah orde pertama dan tidak tergantung pada kekuatan ionik media (Connors, 1992).

Menurut Pelczar (1988), kloramfenikol merupakan antibiotik berspektrum luas yang aktif terhadap banyak bakteri gram positif dan gram negatif. Meskipun relatif tidak beracun bagi mamalia bila digunakan secara terapeutik, antibiotik ini dapat menyebabkan beberapa kelainan yang gawat di dalam darah beberapa pasien. Karena itu, baru dianjurkan pemakaiannya pada kasus-kasus yang tidak dapat diobati secara efektif dengan antibiotik lain. Cara kerja kloramfenikol bergabung dengan subunit-subunit ribosom sehingga mengganggu sintesis protein.

2.6.3. Bakteri Uji A. Echerichia coli

Domain : Bacteria

Kingdom : Prokaryota

Class : Shizomycetes

Order : Eubacteriales


(25)

Genus : Escherichia

Species : Escherichia coli

E. coli merupakan bakteri gram negatif biasanya tumbuh berpasangan atau menyendiri, dapat bergerak (mobile) dan kadang membentuk rantai-rantai berkoloni. E. coli merupakan mikroflora alami yang terdapat pada saluran pencernaan manusia dan hewan. Beberapa galur E. coli yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia adalah enterotoksigenik, enterohaemorragik, enteropatogenik, enteroinuasiue, dan enteroagregatif (staf pengajar FKUI, 1993).

E. coli adalah kuman oportunis yang banyak ditemukan di dalam usus besar manusia sebagai flora normal. Sifatnya unik karena dapat menyebabkan infekasi primer pada usus misalnya diare pada anak dan travelers diarrhea, seperti juga kemampuannya menimbulkan infeksi pada jaringan tubuh di luar usus (staf pengajar FKUI, 1993).

Bakteri ini berbentuk batang pendek (kokobasil), Gram negatif, berukuran 0,4-0,7 µm x 1,4 µm, sebagian besar gerak positif dan beberapa strain mempunyai kapsul, E. coli tumbuh baik pada hampir semua media yang biasa dipakai di laboratorium mikrobiologi. Pada media yang dipergunakan untuk isolasi kuman enterik. Pola peragian karbohidrat dan aktivitas dekarboksilase asam amino serta enzim lain biasanya digunakan dalam pembedaan biokimia. Beberapa tes misalnya pembentukan indol dari triptofan, biasanya digunakan untuk pengenalan cepat. Sementara reaksi voges-proskaueur (pembentukan asetilkarbaniol dari dekstroksa), biasanya lebih jarang digunakan.


(26)

E. coli secara khas memberikan hasil positif untuk tes indol, lisin dekarboksilase, dan peragian manitol serta membentuk gas dari glukosa. Isolat dengan urin dapat dengan cepat dikenali sebagai E. coli karena terjadi hemolisis pada agar darah, morfologi koloni yang khas dengan “kilau” iridesen pada perbenihan diferensial misal agar EMB, dan tes bercak positif untuk indol. Tes oksidasenya negatif (Jawetz et al., 1996).

E. coli merupakan bagian flora usus pada manusia normal tetapi juga sering menyebabkan infeksi saluran kemih, diare dan penyakit lain. Bakteri menjadi patogen ketika mencapai jaringan di luar intestinal normal atau tempat flora normal yang kurang umum. Salah satu penyembuhannya dengan antibiotik (Jawetz et al., 2001).

B. Staphylococcus aureus

Klasifikasi S. aureus (Prescott et al., 2002)

Domain :Bacteria

Kingdom :Eubacteria

Phylum :Firmicutes

Class :Bacilli

Order :Bacillales

Familia :Staphylococcaeae

Genus :Staphylococcus


(27)

Suhu optimum untuk pertumbuhan S. aureus adalah 35o – 37oC dengan suhu minimum 6,7oC dan suhu maksimum 45,4oC. Bakteri ini dapat tumbuh pada pH 4,0 – 9,8 dengan pH optimum 7,0 – 7,5. Pertumbuhan pada pH mendekati 9,8 hanya mungkin bila substratnya mempunyai komposisi yang baik untuk pertumbuhannya. Bakteri ini membutuhkan asam nikotinat untuk tumbuh dan akan distimulir pertumbuhannya dengan adanya thiamin. Pada keadaan anaerobik, bakteri ini juga membutuhkan urasil. Untuk pertumbuhan optimum diperlukan sebelas asam amino, yaitu valin, leusin, threonin, phenilalanin, tirosin, sistein, metionin, lisin, prolin, histidin dan arginin. Bakteri ini tidak dapat tumbuh pada media sintetik yang tidak mengandung asam amino atau protein (Supardi dan Sukamto, 1999).

Selain memproduksi koagulase, S. aureus juga dapat memproduksi berbagai toksin, diantaranya :

1. Eksotoksin-a yang sangat beracun

2. Eksotoksin-b yang terdiri dari hemosilin, yaitu suatu komponen yang dapat menyebabkan lisis pada sel darah merah.

3. Toksin F dan S, yang merupakan protein eksoseluler dan bersifat leukistik. 4. Hialuronidase, yaitu suatu enzim yang dapat memecah asam hyaluronat di

dalam tenunan sehingga mempermudah penyebaran bakteri ke seluruh tubuh. 5. Grup enterotoksin yang terdiri dari protein sederhana. (Supardi dan Sukamto

1999).

S. aureus hidup sebagai saprofit di dalam saluran-saluran pengeluaran lendir dari tubuh manusia dan hewan-hewan seperti hidung, mulut dan


(28)

tenggorokan dan dapat dikeluarkan pada waktu batuk atau bersin. Bakteri ini juga sering terdapat pada pori-pori dan permukaan kulit, kelenjar keringat dan saluran usus. Selain dapat menyebabkan intoksikasi, S. aureus juga dapat menyebabkan bermacam-macam infeksi seperti jerawat, bisul, meningitis, osteomielitis, pneumonia dan mastitis pada manusia dan hewan (Supardi dan Sukamto 1999).

2.6.4. Pengukuran Aktivitas Antibakteri

Pengukuran aktivitas antibakteri dapat dilakukan dengan metode difusi dan metode pengenceran. Metode difusi merupakan salah satu metode yang sering digunakan, metode difusi dapat dilakukan 3 cara yaitu metode silinder, lubang dan cakram kertas. Metode silinder yaitu meletakkan beberapa silinder yang terbuat dari gelas atau besi tahan karat di atas media agar yang telah diinokulasi dengan bakteri. Tiap silinder ditempatkan sedemikian rupa hingga berdiri di atas media agar, diisi dengan larutan yang akan diuji dan diinkubasi. Setelah diinkubasi, pertumbuhan bakteri diamati untuk melihat ada tidaknya daerah hambatan di sekeliling silinder. Metode lubang yaitu membuat lubang pada agar padat yang telah diinokulasi dengan bakteri. Jumlah dan letak lubang disesuaikan dengan tujuan penelitian, kemudian lubang diisi dengan larutan yang akan diuji. Setelah diinkubasi, pertumbuhan bakteri diamati untuk melihat ada tidaknya daerah hambatan disekeliling lubang. Metode cakram kertas yaitu meletakkan cakram kertas yang telah direndam larutan uji di atas media padat yang telah diinokulasi dengan bakteri. Setelah diinkubasi, pertumbuhan bakteri diamati untuk melihat ada tidaknya daerah hambatan disekeliling cakram (Kusmiyati, 2006).


(29)

Metode pengenceran yaitu mengencerkan zat antimikroba dan dimasukkan ke dalam tabung-tabung reaksi steril. Ke dalam masing-masing tabung itu ditambahkan sejumlah mikroba uji yang telah diketahui jumlahnya. Pada interval waktu tertentu, dilakukan pemindahan dari tabung reaksi ke dalam tabung-tabung berisi media steril yang lalu diinkubasikan dan diamati penghambatan pertumbuhan (Kusmiyati, 2006).

2.7.Analisa GCMS

Kromatografi gas spektroskopi massa adalah teknik analisis yang menggabungkan dua metode analisis yaitu Kromatografi Gas dan Spektroskopi Massa. Kromatografi gas merupakan metode analisis dimana sampel terpisahkan secara fisik menjadi bentuk molekul-molekul yang lebih kecil (hasil pemisahan dapat dilihat berupa kromatogram). Sedangkan spektroskopi massa adalah metode analisis dimana sampel yang akan dianalisis diubah menjadi ion-ionnya, dan massa dari ion-ion tersebut dapat diukur (hasil deteksi dapat dilihat berupa spektrum massa) (Lingga, 2004).

Menurut Hermanto (2008) kromatografi Gas-Spektroskopi Massa atau sering disebt GCMS (Gas Chromatography Mass Spectrometry) asalah teknik analisis yang menggabungkan dua metode analisis yaitu Kromatografi Gas dan Spektroskopi Massa.

Kromatografi gas adalah metode analisis, dimana sampel terpisahkan secara fisik menjadi bentuk molekul-molekul yang lebih kecil (hasil pemisahan dapat dilihat berupa kromatogram). Sedangkan spektroskopi massa adalah metode


(30)

analisis, dimana sampel yang dianalisis akan diubah menjadi ion-ion gasnya, dan massa dari ion-ion tersebut dapat diukur berdasarkan hasil deteksi berupa spektrum massa (Hermanto, 2008).

Pada GC hanya terjadi pemisahan untuk mendapatkan komponen yang diinginkan, sedangkan bila dilengkapi dengan MS (berfungsi sebagai detektor) akan dapat mengidentifikasi komponen tersebut, karena bisa mendapat spektrum bobot molekul pada suatu komponen yang dapat dibandingkan langsung dengan

Library (reference) pada software. Sampel-sampel yang dapat dianalisis dengan menggunakan GCMS, harus memenuhi beberapa syarat, diantaranya: (Lingga, 2004).

1. Dapat diuapkan pada hingga suhu 4000C

2. Secara termal stabil (tidak terdekomposisi pada suhu 4000C)

3. Sampel-sampel lainnya dapat dianalisis setelah melalui tahapan preparasi khusus.

Gambar 5. Skema GC-MS


(31)

Proses pemisahan pada GC terjadi di dalam kolom (kapiler) melibatkan dua fase, yaitu fase diam dan fase gerak. Dimana fase diam adalah zat yang ada di dalam kolom, dan fase gerak adalah gas pembawa (Helium atau Hidrogen) dengan kemurnian tinggi yaitu ± 9.995%. Proses pemisahan terjadi karena terdapat perbedaan kecepatan alir tiap molekul di dalam kolom. Perbedaan tersebut dapat di sebabkan oleh perbedaan afinitas antar molekul dengan fase diam yang ada di dalam kolom (Lingga, 2004).

Hermanto (2008) menyatakan pada GC hanya terjadi pemisahan untuk mendapatkan komponen yang diinginkan, sedangkan bila dilengkapi dengan MS (berfungsi sebagai detektor) akan dapat mengidentifikasi komponen tersebut, karena bisa membaca spektrum bobot molekul pada suatu komponen, juga terdapat reference pada software.

Proses pendeteksian sampel pada MS, pertama sampel yang berasal dari GC diubah menjadi ion-ion gasnya terlebih dulu. Kemudian ion-ion tersebut dilewatkan melalui suatu penganalisis massa (Mass Analyzer) yang berfungsi secara selektif untuk memisahkan ion dengan satuan massa atom yang berbeda. Terakhir ion-ion tersebut dideteksi oleh Electron Multiplier Detector (lebih peka dari detektor biasa) (Lingga, 2004).

Bagian-bagian dari instrumentasi kromatografi gas menurut Lingga (2004) adalah sebagai berikut:

1. Pengatur aliran gas (gas flow controller), untuk mengatur aliran gas di dalam GC


(32)

2. Injektor (Sample Injector) sebagai tempat injeksi sampel. Adapun fungsinya adalah: menguapkan sampel, mencampur sampel dengan gas pembawa, dan menyalurkan campuran gas tersebut ke dalam kolom.

3. Kolom (Column) Sebagai tempat terjadinya pemisahan molekul-molekul dalam sampel. Umumnya GC menggunakan kolom kapiler (capillary column).

Sedangkan bagian-bagian spektrometer massa menurut Lingga (2004) adalah:

1. GCMS Interface memiliki fungsi untuk mengirimkan sampel dari GC ke MS dengan meminimalkan kehilangan sampel saat pengiriman. Untuk GCMS QP2010, menggunakan interface sambungan langsung (direct interface). Artinya kolom langsung masuk ke dalam alat MS. Model interface seperti ini memiliki kelebihan dalam penyesuaian suhu yang lebih cepat, dari dingin ke panas atau sebaliknya

2. Sumber ion (ion source), memiliki fungsi untuk mengionkan sampel yang berbentuk gas sebelum dianalisis di penganalisis massa

3. Pompa vakum (vacuum pump), dua tipe vakum yang dimiliki GCMS QP2010 yaitu: a) pompa vakum tinggi untuk mengurangi dan mempertahankan tekanan pada MS saat analisis. b) pompa vakum rendah untuk mengurangi tekanan udara luar di dalam MS.

4. Penganalisis massa (mass analyzer), terdiri dari empat batang logam yang dapat diberi muatan (Quadrupole), baik positif maupun negatif. Berfungsi secara selektif mengatur voltase dari muatan batangan logam untuk berbagai


(33)

Gambar 6. Sistematika Kerja Quadrupole dalam MS

5) Detektor, ion-ion yang keluar dari penganalisis massa dideteksi dan jumlahnya diukur oleh detektor. Dalam GCMS QP2010 menggunakan Electron Multiplier Detector. Kelebihannya adalah sensitivitas yang lebih baik dari detektor biasa. Setelah data terdeteksi, lalu data dikirim ke sistem pengolah data (pada personal komputer) untuk diolah sesuai dengan tujuan analisa (Lingga, 2004).


(34)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pangan, Kimia dan Biologi Pusat Laboratorium Terpadu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jalan Ir. H. Juanda No. 95, Ciputat . Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai September 2010.

3.2. Bahan dan Alat 3.2.1. Bahan

Bahan yang digunakan adalah Bunga Kecombrang (E. elatior) diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aromatik (BALITTRO), Artemia salina Leach diperoleh dari Laboratorium mikrobiologi BPPT, bakteri Gram positif (E. coli) dan bakteri Gram negatif (S. aureus) diperoleh dari Pusat Laboratorium Terpadu (PLT) Universitas islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Medium Nutrient Agar (NA), Medium Nutrient Broth (NB), Medium

Moeller Hinton Agar (MHA), Kloramfenikol, aquabidest, kertas saring whatman no. 1, kertas cakram, dan DPPH (1,1-difenil-2-pikrilhidrazil).

3.2.2. Alat

Alat penyarian dan fraksinasi adalah erlenmeyer ukuran 1000 ml,


(35)

magnetic stirer, autoklaf, inkubator, shaker incubator, vortex, spekrofotometer,. dan GCMS Agilent 19091S-436

3.3. Metode Penelitian

Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sterilisasi alat, preparasi sampel, ekstraksi dengan metode maserasi, uji adanya senyawa bioaktif dengan metode BSLT, uji antioksidan dengan metode DPPH, pembuatan medium, peremajaan bakteri uji, uji antibakteri dengan metode difusi cakram, dan analisa GCMS.

3.4. Cara Kerja 3.4.1. Sterilisasi Alat

Semua alat yang akan digunakan dalam penelitian ini seperti tabung reaksi, cawan petri, disterilkan terlebih dahulu di dalam autoklaf dengan suhu 1210C selama 15 menit dengan tekanan 1 atm.

3.4.2. Preparasi Sampel

Setelah sampel bunga kecombrang dipanen dilakukan proses pencucian dan penimbangan. Selanjutnya mahkota bunga dilepaskan dari tangkai bunganya dan dilakukan pengeringan dibawah sinar matahari. Proses penjemuran sampel bunga kecombrang dilakukan diatas tampah kemudian ditutup kain hitam selama 4 jam, mulai pukul 08.00 hingga pukul 12.00 WIB dan dilakukan pengontrolan setiap satu jam. Setelah proses penjemuran selama 4 jam sampel bunga diangkat. Proses penjemuran dilakukan selama kurang lebih satu minggu, tujuannya adalah


(36)

agar sampel benar-benar terbebas dari air. Sampel akan menjadi kering setelah satu minggu. Penimbangan dilakukan kembali setelah sampel bunga kering kemudian dihaluskan dengan menggunakan grinding mill dan dilakukan ekstraksi dengan metode maserasi.

3.4.3. Ekstraksi Bunga Kecombrang

Sebanyak 150 gram sampel dihaluskan dengan menggunakan grinding mill

kemudian dimasukkan kedalam beaker glass berukuran 2500 ml. Selanjutnya

aquabidest disiapkan untuk perendaman selama 3x24 jam, setelah itu disaring menggunakan kertas saring Whatman no.1 dan ditampung dalam sebuah wadah kosong. Hasilnya di uapkan menggunakan Rotary Evaporator dengan suhu 500C dan kecepatan 90 rpm sehingga yang tersisa adalah ekstrak bunga berupa gel.

3.4.4. Uji Senyawa Bioaktif dengan Metode BSLT 3.4.4.1. Penetasan Larva udang

Bejana untuk penetasan larva udang disiapkan. Kemudian bejana tersebut disekat dengan menggunakan steoroform yang telah beri lobang 10x10 cm. Disatu ruang dalam bejana tersebut diletakkan lampu untuk menghangatkan suhu dalam penetasan, sedangkan diruangan sebelahnya diberi air laut buatan. Ke dalam air laut buatan dimasukkan ± 50-100 mg telur udang untuk diteteskan. Pada bagian telur ditutup dengan allumunium foil, dan lampu dinyalakan selama 48 jam untuk menetaskan telur. Larva udang diambil yang akan diuji dengan pipet.

3.4.4.2. Persiapan Larutan Sampel yang akan diuji

Ekstrak yang akan diuji dibuat dalam konsentrasi 10, 100, 200, 500, dan 1000 ppm dalam air garam 10%. Bila sampel tidak larut ditambahkan DMSO


(37)

(Dimethyl sulfoxide). Maksimum 50 µl DMSO dalam 5 ml larutan garam (Hostettman, 1991).

3.4.4.3. Prosedur Uji Toksisitas dengan Metode BSLT

Sebanyak 100 L air laut yang mengandung larva udang sebanyak 10-12 ekor dipipet, kemudian dimasukkan ke dalam wadah uji. Larutan sampel ditambahkan masing-masing sebanyak 100 L, dengan konsentrasi 10, 100, 200, 500 dan 1000 ppm. Untuk setiap konsentrasi dilakukan 3 kali pengulangan (triplikat). Larutan diaduk sampai homogen. Untuk kontrol dilakukan tanpa penambahan sampel. Larutan dibiarkan selama 24 jam, kemudian dihitung jumlah larva yang mati dan masih hidup dari tiap lubang. Angka mati dihitung dengan menjumlahkan larva yang mati dalam setiap konsentrasi (3 lubang). Angka hidup dihitung dengan menjumlahkan larva yang hidup dalam setiap konsentrasi (3 lubang) (Juniarti, 2009).

Perhitungan akumulasi mati dan hidup larva udang pada tiap konsentrasi dilakukan dengan cara berikut:

Tabel 1. Perhitungan Akumulasi larva udang yang mati No Konsentrasi Akumulasi Mati 1 10 ∑ angka mati pada konsentrasi 10 2

100 ∑ angka mati pada konsentrasi 10 + ∑ angka mati pada konsentrasi 100

3

200 ∑ angka mati pada konsentrasi 10 + konsentrasi 100 + ∑ angka mati pada konsentrasi 200

4

500 ∑ angka mati pada konsentrasi 10 + konsentrasi 100 + konsentrasi 200 + konsentrasi 500

5

1000 ∑ angka mati pada konsentrasi 10 + konsentrasi 100 + konsentrasi 200 + konsentrasi 500 + konsentrasi 1000


(38)

Tabel 2. Perhitungan Akumulasi larva udang yang hidup No Konsentrasi Akumulasi Hidup 1 1000 ∑ angka hidup pada konsentrasi 1000 2

500 ∑ angka hidup pada konsentrasi 1000 + ∑ angka hidup pada konsentrasi 500

3

200 ∑ angka hidup pada konsentrasi 1000 + konsentrasi 500 + konsentrasi 200

4

100 ∑ angka hidup pada konsentrasi 1000 + konsentrasi 500 + konsentrasi 200 + konsentrasi 100

5

10 ∑ angka hidup pada konsentrasi 1000 + konsentrasi 500 + konsentrasi 200 + konsentrasi 100 + konsentrasi 10

Selanjutnya dihitung mortalitas dengan cara: akumulasi mati dibagi jumlah akumulasi hidup dan mati (total) dikali 100%. Grafik dibuat dengan log konsentrasi sebagai sumbu x terhadap mortalitas sebagai sumbu y. Nilai LC50

merupakan konsentrasi dimana zat menyebabkan kematian 50% yang diperoleh dengan memakai persamaan regresi linier y = a + bx. Suatu zat dikatakan aktif atau toksik bila nilai LC50 < 1000 ppm untuk ekstrak dan < 30 ppm untuk suatu

senyawa.

3.4.5. Pengujian Antioksidan

3.4.5.1. Pembuatan Kurva Standar Butil hidroksianisol (BHA)

BHA dengan berbagai konsentrasi (0 ppm, 18 ppm, 36 ppm, dan 54 ppm) dimasukkan ke dalam empat tabung reaksi yang berbeda. Kemudian dimasukkan kedalam empat tabung reaksi tris HCl dengan pH 7.4 sebanyak 800 ml, pada masing-masing tabung reaksi ditambahkan 1 mL larutan DPPH 1 mM kemudian dikocok dengan menggunakan vortex. Setelah homogen kemudian diinkubasi di


(39)

tempat gelap selama 20 menit. Serapan diukur dengan spektrofotometer Hitachi U-2000 pada panjang gelombang maksimum yaitu 517 nm.

3.4.5.2. Pengujian Sampel Ekstrak Air Bunga Kecombrang

Ekstrak kecombrang dengan berbagai konsentrasi (0%, 10%, 30%, dan 50%) dimasukkan ke dalam empat tabung reaksi yang berbeda. Kemudian dimasukkan kedalam empat tabung reaksi tris HCl dengan pH 7.4 sebanyak 800 ml, pada masing-masing tabung reaksi ditambahkan 1 mL larutan DPPH 1 mM kemudian dikocok dengan menggunakan vortex. Setelah homogen kemudian diinkubasi di tempat gelap selama 20 menit. Serapan diukur dengan spektrofotometer Hitachi U-2000 pada panjang gelombang maksimum yaitu 517 nm.

3.4.6. Pembuatan Medium Nutrient Agar (NA)

Sebanyak 23 gram NA dilarutkan dalam 1 L akuades kemudian dipanaskan dan diaduk dengan menggunakan magnetik stirer sampai homogen. Setelah itu, larutan tersebut dimasukkan dalam tabung reaksi besar sebanyak 10ml. Media disterilkan dengan menggunakan autoklaf pada suhu 1210C, tekanan 1,5 atm dan selama 15 menit. Medium ini akan digunakan dalam pengujian antibakteri.

3.4.7. Pembuatan Medium Nutrient broth (NB)

Sebanyak 8 gram bubuk NB dilarutkan dengan 1 liter akuades dalam erlenmeyer kemudian diaduk dengan menggunakan magnetic stirrer. Setelah itu medium NB disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121˚C selama 15 menit.


(40)

3.4.8. Pembuatan Medium Mueller Hinton Agar (MHA)

Sebanyak 38 gram MHA dilarutkan dalam 1 L akuades kemudian dipanaskan dan diaduk dengan menggunakan magnetik stirer sampai homogen. Media disterilkan dengan mengguanakan autoklaf pada suhu 1210C, tekanan 1,5 atm dan selama 15 menit. Setelah disterilisasi dimasukkan ke dalam cawan petri sebanyak 15 ml yang akan digunakan sebagai medium dalam uji antibakteri.

3.4.9. Peremajaan Bakteri Uji dan Pembuatan Suspensi Bakteri

Bakteri uji dibiakkan pada agar miring steril kemudian diinkubasi pada suhu 370C selama 24 jam. Bakteri yang telah dibiakkan pada agar miring ditambahkan NaCl 0,9% steril sebanyak 5 ml kemudian dihomogenkan dengan vortex.

3.4.10. Pembuatan Inokulum bakteri

Suspensi bakteri uji dimasukkan sebanyak 1 ml dimasukkan ke dalam medium NB. Selanjutnya medium NB diinkubasi di shaker inkubator dengan kecepatan shaker 120 rpm sampai bakteri uji mencapai fase midlog ( Fase logaritmik E. coli berlangsung dari menit ke-210 sampai menit ke-450. Sedangkan, fase logaritmik S.aureus berlangsung dari menit ke-360 sampai menit ke-600. Midlog atau titik pertengahan antara fase log dengan fase stasioner, Titik

midlog ini digunakan untuk uji antibakteri, pada titik tersebut bakteri berada pada puncak pembelahan sel (Khotimah, 2009).

3.4.11. Pengujian Antibakteri

Pengujian ini dilakuakan dengan metode sebar. Biakan dalam NB sebanyak 0.1 ml dimasukkan ke dalam 15 ml MHA yang sudah padat. Ekstrak kecombrang dengan berbagai konsentrasi sebanyak 0,01 ml diambil menggunakan mikropipet


(41)

0,01 ml pada kertas cakram steril berdiameter 0,6 cm kemudian ditanam pada medium MHA padat dalam cawan petri. Setelah itu diinkubasi selama 24 jam pada suhu 370C. Selanjutnya dibandingkan zona hambat dengan zona hambat pada kontrol kloramfenikol.

3.4.12. Pengujian Konsentrasi Hambat Minimum (KHM)

Ekstrak air bunga kecombrang (konsentrasi 5%, 10%, 15%, 20%, 25%, dan 30% untuk S. aureus, 10%, 20%, 30%, 40%, 50%, dan 60% untuk E. coli) sebanyak 1 ml, medium NB 3,9 ml dan inokulum bakteri 0,1 ml dimasukkan kedalam enam tabung reaksi, kemudian dihomogenkan dengan menggunakan vortex, setelah larutan (media NB, inokulum bakteri dan ekstrak air bunga kecombrang) homogen kemudian diinkubasi dishaker inkubator selama 24 jam. Setelah diinkubasi selama 24 jam, larutan diambil sebanyak 10 πl untuk ditanam di media NA dengan metode tuang. Setelah larutan ditanam di media NA, kemudian diinkubasi di dalam inkubator selama 24 jam pada suhu 370C. Pengamatan dilakukan setelah inkubasi 24 jam dengan cara menghitung jumlah koloni yang tumbuh.

3.4.13. Analisa GCMS

Dalam penelitian ini digunakan analisa GCMS untuk menganalisa dan mengidentifikasi senyawa yang terdapat pada hasil maserasi bunga kecombrang (Etlingera elatior). GCMS yang digunakan adalah Agilent 19091S-436. sebanyak ± 0,1 µl sampel dimasukkan kedalam kolom polar tipe HP-5MS *60 m, *250 um,

*


(42)

3.5. Analisis Data

Semua analisa akan diulang sebanyak tiga kali dari konsentrasi yang berbeda dan akan diuji dengan menggunakan analysis of variance (ANOVA) pada tingkat kepercayaan 95% dan taraf α 0,05.

Uji Hipotesis:

H0 = tidak ada pengaruh yang nyata dan signifikan

H1 = terdapat pengaruh yang nyata dan signifikan

Jika Fhitung > Ftabel maka H0 ditolak dan H1 diterima.


(43)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.Ekstraksi Bunga Kecombrang

Proses ekstraksi bunga kecombrang menggunakan metode maserasi dengan pelarut air. Pada proses maserasi suhu yang digunakan adalah suhu ruang dalam keadaan gelap, dengan waktu maserasi selama 3 x 24 jam. Setelah proses maserasi ekstrak air kecombrang disaring dengan menggunakan kertas Whatman no. 1. Ekstrak yang dihasilkan dari bunga kecombrang beraroma kecombrang dan warna coklat tua. Hasil ekstrak air bunga kecombrang dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Ekstrak air bunga kecombrang Sumber: (Hudaya, 2010)

Hasil evaporasi dari ekstrak air bunga kecombrang sebanyak 102 ml kental dengan viskositas 0,01 menit 60 detik dari hasil maserasi 150 gram bubuk bunga kecombrang dalam 2500 ml akuabides. Hasil yang didapatkan melalui proses


(44)

evaporasi sebanyak 102 ml ekstrak air bunga kecombrang selanjutnya digunakan untuk pengujian BSLT (Brine Shrimp Lethality Test), antibakteri, antioksidan dan analisa GCMS.

4.2.Uji BSLT (Brine Shrimp Lethality Test)

Metode BSLT adalah suatu metode pengujian dengan menggunakan hewan uji yaitu Artemia salina Leach, yang dapat digunakan sebagai bioassay yang sederhana untuk meneliti toksisitas akut suatu senyawa, dengan cara menentukan nilai LC50 yang dinyatakan dari komponen aktif suatu simplisia maupun bentuk

sediaan ekstrak dari suatu tanaman. Apabila suatu ekstrak tanaman bersifat toksik menurut harga LC50 dengan metode BSLT, maka tanaman tersebut dapat

dikembangkan sebagai obat anti kanker. Namun, bila tidak bersifat toksik maka tanaman tersebut dapat diteliti kembali untuk mengetahui khasiat lainnya dengan menggunakan hewan coba lain yang lebih besar dari larva Artemia salina Leach seperti mencit dan tikus secara in vivo (Mayer, 1982).

Pada penellitian ini jumlah kematian larva Artemia salina Leachpada setiap tabung uji dalam berbagai konsentrasi (0 ppm, 10 ppm, 100 ppm, 200 ppm, 500 ppm, dan 1000 ppm) perlakuan ekstrak air bunga kecombrang ditunjukkan pada tabel 3.

Tabel 3. Hasil uji BSLT

Konsentrasi (ppm) Angka Hidup Angka Mati Akumulasi Mati Akumulasi Hidup Akumulasi Mati/Total Mortalitas (%) LC-50 (ppm)

0 18 12 12 36 12/48 25

10 17 13 25 18 25/43 58.14

100 1 29 54 1 54/55 98.18

200 0 30 84 0 84/84 100

500 0 30 114 0 114/114 100

1000 0 30 144 0 144/144 100


(45)

Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa berbagai konsentrasi ekstrak air bunga kecombrang pada percobaan memperlihatkan pengaruh yang berbeda terhadap kematian larva Artemia salina Leach. Pada konsentrasi 10 ppm belum memperlihatkan perbedaan yang sangat nyata terhadap kematian larva dengan perlakuan 0 ppm, hal ini menunjukkan bahwa senyawa yang terdapat pada konsentrasi 10 ppm tidak cukup untuk membunuh larva. Konsentrasi yang berpengaruh terhadap kematian larva terlihat pada konsentrasi 100 ppm, hal ini dapat dibuktikan pada jumlah kematian larva yang terjadi pada konsentrasi 100 ppm. Jumlah kematiam larva pada konsentrasi 100 ppm mencapai 29 ekor larva dari 30 larva yang diujikan. Sifat toksik ekstrak air bunga kecombrang terdapat pada konsentrasi 200 ppm, hal ini dapat dilihat dari jumlah larva yang mati pada perlakuan ini. Pada konsentrasi 200 ppm semua larva yang diujikan mati total. Jumlah kematian larva Artemia salina Leach. pada setiap perlakuan ekstrak air bunga kecombrang ditunjukkan pada Gambar 8.

Konsentrasi (ppm) M o rt al it as ( % )

0.0 183.3 366.7 550.0 733.3 916.7 1100.0

17.50 32.50 47.50 62.50 77.50 92.50 107.50


(46)

Berdasarkan gambar tersebut dapat diketahui bahwa berbagai konsentrasi ekstrak air bunga kecombrang pada percobaan ini memperlihatkan pengaruh yang berbeda terhadap kematian larva Artemia salina Leach. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak air bunga kecombrang yang digunakan dalam uji BSLT, maka semakin tinggi kematian terhadap hewan uji.

Jumlah kematian larva dapat dilihat dari persen mortalitas hewan uji. Persentase mortalitas yang paling rendah terdapat pada konsentrasi 0 ppm yaitu 25%. Matinya larva pada konsentrasi 0 ppm dimungkinkan sifat larva yang sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan baru. Menurut Nurhayati et al., 2006) menyatakan bahwa adanya larva uji dalam kontrol yang mati disebabkan karena kematian yang alami. Hal ini bisa dilihat dari perilaku Artemia salina Leach ini sesaat sebelum mati. Artemia salina Leach yang mati pada kontrol mengalami penurunan aktivitas. Semakin lama, Artemia salina Leach dalam kontrol semakin lemah dan terus berada di dasar tabung. Sedangkan Artemia yang mati dalam tabung percobaan karena perlakuan, mengalami disorientasi gerak (gerakannya tidak teratur). Artemia dalam tabung ini tetap aktif bergerak, akan tetapi tetap berputar-putar pada satu titik. Persentase mortalitas paling tinggi terdapat pada konsentrasi 200 ppm, 500 ppm dan 1000 ppm yaitu mencapai 100 %. Hal ini menunjukkan bahwa akumulasi hidup larva pada konsentrasi tersebut adalah 0%, dan akumulasi mati 100%, dan konsentrasi 200 ppm merupakan konsentrasi minimal untuk mortalitas larva secara keseluruhan.

Berdasarkan hasil uji sitotoksik menggunakan metode BSLT, diketahui bahwa ekstrak air bunga kecombrang memiliki sifat toksik terhadap hewan uji.


(47)

Sifat toksik ini diketahui dari nilai LC50 yaitu 75,94 ppm. Menurut Meyer dan

Ferrigni (1982), Suatu senyawa dinyatakan mempunyai potensi toksisitas jika mempunyai harga LC50 kurang dari 1000 ppm. Sundari et al., (2007) menyatakan

bahwa LC50 (Lethal Concentration 50) merupakan konsentrasi zat yang

menyebabkan terjadinya kematian pada 50% hewan percobaan yaitu larva

Artemia salina Leach. Sifat toksik dari bunga kecombrang diperkirakan oleh kandungan senyawa yang ada di dalam sampel tersebut

Hasil analisa statistika anova satu-arah menunjukkan bahwa nilai Fhitung

masing-masing konsentrasi ekstrak air bunga kecombrang terhadap larva uji lebih besar daripada Ftabel 0,05 (lampiran 7). Artinya bahwa ekstrak air bunga

kecombrang terhadap perlakuan yang diberikan terdapat pengaruh yang sangat signifikan. Hal ini menyebabkan adanya hubungan antara variasi konsentrasi ekstrak air bunga kecombrang dengan matinya hewan uji (Artemia salina Leach).

4.3.Uji Antioksidan

Metoda yang digunakan dalam pengujian aktivitas antioksidan adalah metoda serapan radikal DPPH karena merupakan metoda yang sederhana, mudah, dan menggunakan sampel dalam jumlah yang sedikit dengan waktu yang singkat (Hanani, 2005). Aktivitas antioksidan dari ekstrak air bunga kecombrang ini dinyatakan dalam persentase inhibisinya terhadap radikal DPPH. Persentase inhibisi ini didapatkan dari perbedaan serapan antara absorban DPPH dengan absorban sampel yang diukur dengan spektrofotometer UV-Vis.


(48)

Pada pengujian aktivitas antioksidan ekstrak air bunga kecombrang ini terlebih dahulu membuat kurva kalibrasi dengan menggunakan BHA. Kurva hasil kalibrasi dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Kurva kalibrasi pengujian aktivitas antioksidan menggunakan standar BHA

Pembuatan kurva kalibrasi dengan standar BHA ini berguna untuk membantu keakuratan data yang diperoleh dalam uji antioksidan ekstrak air bunga kecombrang. Dari pemeriksaan larutan standar BHA didapatkan kurva kalibrasi dengan persamaan regresi linier. Nilai koefisien korelasi (r) yang didapatkan pada kurva kalibrasi BHA adalah 0,917. Nilai r yang mendekati 1 membuktikan bahwa persamaan regresi tersebut adalah linier.

Uji aktivitas antioksidan ekstrak air bunga kecombrang dihasilkan nilai absorbansi yang selalu menurun seiring dengan naiknya konsentrasi sampel. Berdasarkan hasil uji aktivitas antioksidan ekstrak air bunga kecombrang menunjukkan bahwa, semakin tinggi konsentrasi sampel maka peluruhan warna ungu violet DPPH dalam metanol semakin tinggi yang mengakibatkan turunnya


(49)

nilai absorbansi pada tiap naiknya konsentrasi. Menurut Zuhra et al., (2008) bahwa aktivitas antioksidan diukur sebagai penurunan serapan larutan DPPH akibat adanya penambahan sampel. Aktivitas diukur dengan menghitung jumlah pengurangan intensitas warna ungu DPPH yang sebanding dengan pengurangan konsentrasi larutan DPPH. Perendaman tersebut dihasilkan oleh bereaksinya molekul Difenil Pikril Hidrazil dengan atom Hidrogen yang dilepaskan satu molekul komponen sampel, pelepasan satu molekul sampel akan membentuk senyawa Difenil Pikril Hidrazin dan menyebabkan terjadinya peluruhan warna DPPH dari ungu ke kuning. Reaksi reduksi DPPH dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10. Reduksi DPPH dari senyawa peredam radikal bebas (Prakash et al, 2001).

Penurunan nilai absorbansi DPPH mempunyai arti bahwa telah terjadinya penangkapan radikal DPPH oleh sampel. Adanya aktivitas antioksidan dari sampel mengakibatkan perubahan warna pada larutan DPPH dalam metanol yang semula berwarna violet pekat menjadi kuning pucat (Permana, 2003). Peluruhan warna ungu violet dapat dilihat pada Gambar 11.


(50)

30 ppm 50 ppm

0 ppm 10 ppm

Gambar 11. Peluruhan warna DPPH oleh ekstrak air bunga kecombrang

Dari data pengukuran nilai absorbansi dapat dianalisis pengaruh konsentrasi sampel dengan persentasi inhibisi, dimana peningkatan sebanding dengan bertambahnya konsentrasi. Kemudian ditentukan persamaan regresi dan untuk selanjutnya dari persamaan diplotkan aktivitas 50% sehingga diperoleh harga konsentrasi efektif (IC50). Besarnya aktivitas antioksidan ditandai dengan nilai

IC50, yaitu konsentrasi larutan sampel yang dibutuhkan untuk menghambat 50%

radikal bebas DPPH. Hasil pengujian aktivitas antioksidan ekstrak air bunga kecombrang dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Persentase inhibisi dan nilai IC50 aktivitas antioksidan ekstrak air bunga

kecombrang

Konsentrasi Absorban % Inhibisi IC50 (ppm)

0 0,8907 0

10 0,6518 26,8216

30 0,4281 51,9367

50 0,4125 53,6881

61.65

Pada Tabel 5 dapat dilihat adanya penurunan nilai absorbansi DPPH yang diberikan sampel disetiap kenaikan konsentrasi. Penurunan nilai absorbansi DPPH


(51)

mempunyai arti bahwa telah terjadi penangkapan radikal DPPH oleh sampel. Dengan penangkapan radikal tersebut mengakibatkan ikatan rangakap diazo pada DPPH berkurang sehingga terjadi penurunan absorbansi. Uji aktivitas antioksidan ekstrak air bunga kecombrang menggunakan metode DPPH terhadap ekstrak metanol pada konsentrasi 0, 18, 36 dan 54 ppm diperoleh IC50 sebesar 61.65 ppm.

Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak tersebut mempunyai aktivitas antioksidan yang kuat, karena mempunyai IC50 kurang dari 200 ppm. Menurut (Blois, 1958) dalam (Hanani et al., 2005) menyatakan bahwa suatu bahan memiliki antioksidan kuat jika mempunyai IC50 < 200 ppm.

Aktivitas antioksidan dapat diketahui dari nilai persen inhibisi, naiknya pesen inhibisi dipengaruhi oleh menurunnya nilai absorbansi yang dihasilkan oleh sampel. Penurunan nilai absorbansi disebabkan oleh tingginya konsentrasi sampel. Hal ini dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi konsentrasi sampel maka semakin kecil nilai absorbansi sehingga mengakibatkan persen inhibisi semakin tinggi. Aktivitas antioksidan dapat dilihat pada Gambar 12.


(52)

Nilai IC50 ekstrak air bunga kecombrang sebesar 61.65 ppm menunjukkan

bahwa bunga kecombrang memiliki aktivitas antioksidan yang kuat sehingga baik untuk pangan fungsional. Apabila dibandingkan dengan ekstrak metanol buah tomat (Andayani et al., 2008) yang mempunyai LC50 sebesar sebesar 44.06 µg/ml

dan ekstrak eter belimbing wuluh (Kuncahyo dan Sunardi, 2007) yang mempunyai IC50 dan 50.36 ppm aktivitas antioksidan ekstrak air bunga

kecombrang relatif rendah. Jika dibandingkan dengan aktivitas vitamin C dan BHT yang mempunyai IC 50 sebesar 3,45 dan 3,81 mg/ml, aktivitas antioksidan

ekstrak air bunga kecombrang masih lebih rendah. Hal ini dikarenakan sampel yang diujikan masih berupa ekstrak kasar (crude), sehingga masih ada kemungkinan senyawa murni yang dikandung memiliki aktivitas perendaman radikal bebas lebih kuat dibandingkan ekstraknya.

Aktivitas antioksidan ekstrak air bunga kecombrang lebih kuat dibandingkan ekstrak air dan etanol dari daun salam dan herba kumis kucing. Aktivitas antioksidan dari tanaman tersebut menunjukkan nilai LC50

masing-masing sebesar 2174,23 ppm ekstrak etanol daun salam, 114,55 ppm ekstrak etanol herba kumis kucing, 1700,11 ppm ekstrak air daun salam, dan 344,39 ppm ekstrak air herba kumis kucing (Muflihat, 2008).

4.4.Uji Antibakteri

4.4.1.Ekstrak Air Bunga kecombrang

Bakteri uji yang digunakan dalam uji antibakteri ini adalah E.coli dan S. aureus. Pada uji antibakteri ektrak air bunga kecombrang (E. elatior) ini tidak


(53)

menghitung kurva pertumbuhan terlebih dahulu. Kurva pertumbuhan E. coli dan

S. aureus mengacu kepada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Khotimah pada tahun 2007.

Menurut Khotimah (2007) Midlog atau titik pertengahan antara fase log dengan fase stasioner E. coli berada pada menit ke-450. Sedangkan puncak pertumbuhan S. aureus berada pada menit ke-600. Titik midlog ini digunakan untuk uji antibakteri, pada titik tersebut bakteri berada pada pertengahan puncak pembelahan sel. Setelah itu, bakteri berada pada fase stasioner dimana jumlah sel yang tumbuh hampir sama dengan jumlah sel yang mati dan akhirnya bakteri mengalami penurunan jumlah sel, hal ini diakibatkan oleh nutrisi yang semakin berkurang atau terakumulasinya limbah metabolisme.

Pengujian antibakteri ektrak air bunga kecombrang telah didapatkan hasil diameter zona hambat yang dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13. Diameter daerah hambatan (mm) pertumbuhan bakteri oleh ekstrak air bunga kecombrang (Etlingera elatior) dan kloramfenikol 10 µg.


(54)

Pada konsentrasi 20% ekstrak bunga kecombrang (Etlingera elatior) sudah mampu menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus yaitu dengan terbentuknya zona hambat (zona bening) disekitar kertas cakram dengan diameter zona hambat 8.76 mm. Sedangkan pada E. coli konsentrasi 20% ektrak air bunga kecombrang belum mampu menghambat pertumbuhannya. Pertumbuhan E. coli terhambat pada konsentrasi 60% dengan rata-rata diameter zona hambat 4,8 mm.

Diameter zona hambat yang didapatkan dari kedua bakteri uji terdapat perbedaan sesuai dengan besarnya konsentrasi yang diberikan. Zona hambat terendah pada S. aureus adalah pada konsentrasi 20% dengan diameter zona hambat 8,7 mm, sedangkan zona hambat tertinggi pada konsentrasi 100% yaitu 13,9 mm. Zona hambat terendah pada E. coli terdapat pada konsentrasi 60% dengan nilai zona hambat 4,8 mm, sedangkan zona hambat tertinggi terdapat pada konsentrasi 100% yaitu 7,3 mm. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak air bunga kecombrang lebih efektif menghambat S. aureus daripada E. coli.

Penentuan konsentrasi ekstrak air bunga kecombrang sangat berpengaruh terhadap terbentuknya zona hambat yang dihasilkan oleh kedua bakteri uji. Semakin rendah konsentrasi yang diberikan, maka semakin kecil diameter zona hambat yang terbentuk oleh bakteri uji, karena semakin kecil konsentrasi maka zat aktif yang terlarut pada ektrak air bunga kecombrang semakin sedikit pula. Semakin tinggi konsentrasi yang diberikan, maka semakin luas pula diameter zona hambat yang terbentuk oleh bakteri uji. Perbedaan zona hambat pada S. aureus pada konsentrasi 60%, 80%, dan 100% dapat dilihat pada Lampiran 5.


(55)

Terbentuknya zona hambat terhadap S.aureus pada konsentrasi 20% sedangkan zona hambat E.coli terbentuk pada konsentrasi 60%. Hal ini dikarenakan ada perbedaan golongan bakteri yang diujikan. S. aureus merupakan gram positif yang memiliki stuktur peptidoglikan lebih kompleks dan kandungan lipid yang lebih rendah, sedangkan E. coli merupakan gram negatif yang memiliki kandungan peptidoglikan lebih sedikit dan kandungan lipid lebih banyak, sehingga dinding sel S. aureus lebih mudah dirusak oleh senyawa aktif ekstrak air bunga kecombrang daripada E. coli.

Air bersifat polar sehingga senyawa aktif yang tersaring relatif bersifat polar. Kepolaran senyawa inilah mengakibatkan senyawa antibakteri yang terkandung dalam ekstrak bunga kecombrang mudah menembus dinding gram positif sehingga terlihat zona hambat pada S. aureus lebih besar daripada E. coli.

Menurut Kanazawa et al., (1995) dalam Naufalin (2005) suatu senyawa yang mempunyai polaritas optimum akan mempunyai aktivitas antimikroba yang maksimum, karena untuk interaksi suatu senyawa antibakteri dengan sel bakteri diperlukan keseimbangan hidrofilik – lipofilik (HLB : hydrophilic lipophilic balance). Oleh karena itu polaritas senyawa antibakteri merupakan sifat fisik yang penting. Sifat hidrofilik diperlukan untuk menjamin senyawa antimikroba larut dalam fase air yang merupakan tempat hidup mikroba. Akan tetapi senyawa yang bekerja pada membran sel yang sifatnya hidrofobik memerlukan pula sifat lipofilik.

Hasil analisa GCMS dapat diketahui atau dikelompokkan senyawa antibakteri yang dihasilkan oleh metabolit sekunder pada bunga kecombrang.


(56)

senyawa yang merupakan senyawa antibakteri adalah golongan fenol dan alkohol. Menurut Sasaki et al., (2004) mekanisme kerja komponen bioaktif fenol dapat mengakibatkan lisis sel dan menyebabkan denaturasi protein, menghambat pembentukan protein sitoplasma dan asam nukleat serta menghambat ikatan ATP-ase pada membran sel, dan menurut Boyd (1988) bahwa mekanisme etanol (alkohol) dalam menghambat pertumbuhan bakteri adalah mendenaturasi protein dan melarutkan lemak yang terdapat pada dinding bakteri

Berdasarkan hasil analisa statistika anova satu-arah menunjukan bahwa F hitung masing-masing konsentrasi ekstrak air bunga kecombrang terhadap kedua bakteri lebih besar daripada Ftabel 0,05 (lampiran 8). Artinya bahwa ekstrak air

bunga kecombrang terhadap perlakuan yang diberikan terdapat perbedaan yang signifikan. Hal ini menyebabkan ada hubungan antara variasi konsentrasi ekstrak air bunga kecombrang dengan diameter zona hambat bakteri E. coli, dan S. aureus.

4.4.2. Kontrol Positif dan Kontrol Negatif

Dalam pengujian antibakteri ekstrak air bunga kecombrang (E. elatior) digunakan kontrol positif yaitu dengan antibiotik kloramfenikol dalam bentuk tablet 10 µg, hasil yang didapatkan terdapat pada Gambar 14.


(57)

Gambar 14. Grafik perbandingan diameter zona hambat kloramfenikol dengan ekstrak air bunga kecombrang 100%

Pada pengujian antibakteri menggunakan antibiotik kloramfenikol terlihat bahwa diameter zona hambat yang telah dihasilkan lebih besar dibandingkan diameter zona hambat yang dihasilkan oleh ekstrak air bunga kecombrang (E. elatior). Zona hambat yang dihasilkan oleh E. coli pada antibiotik kloramfenikol dengan nilai rata-rata 23.2 mm dan pada S. aureus mencapai 22.5 mm, sedangkan zona hambat yang dihasilkan oleh S. aureus pada konsentrasi 100% mencapai 13.9 mm, dan pada E. coli mencapai 7.3 mm.

Besarnya zona hambat yang dihasilkan oleh antibiotik kloramfenikol tidak sebanding dengan ekstrak air bunga kecombrang disebabkan karena kandungan bahan aktif dalam antibiotik kloramfenikol sudah bersifat murni. Sedangkan kandungan senyawa aktif dalam ekstrak air bunga kecombrang belum murni dan masih banyak campuran dari senyawa lain sehingga penghambatan terhadap bakteri belum efektif seperti pada antibiotik kloramfenikol.


(58)

Antibiotik kloramfenikol memberikan efek dengan cara bereaksi dengan subunit 50S ribosom dan menghalangi aktivitas enzim peptidil transferase. Enzim ini berfungsi untuk membentuk ikatan peptida antara asam amino baru yang masih melekat pada tRNA dengan asam amino terakhir yang sedang berkembang. Sebagai akibatnya sisntesis protein bakteri akan terhenti seketika (Pratiwi, 2008).

Dalam pengujian antibakteri ekstrak air bunga kecombrang digunakan kontrol negatif menggunakan akuades steril. Pada pengujian antibakteri terhadap ekstrak air bunga kecombrang (E. eltior) tidak didapatkan diameter zona hambat, hal ini dikarenakan aquades tidak dapat menghambat bakteri uji yang digunakan dalam penelitian.

4.4.3. Konsentrasi Hambat Minimum (KHM)

Pengujian lebih lanjut setelah penentuan nilai zona hambat bakteri pada ekstrak air bunga kecombrang adalah dilakukan pengujian konsentrasi hambat minimum (KHM). Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi terendah yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri uji. Menurut Cosentio et al., (1999) menyatakan bahwa konsentrasi terendah yang dapat menurunkan pertumbuhan bakteri lebih besar dari 90%. Hasil pengujian KHM ini dapat dilihat pada Tabel 5.


(59)

Tabel 5. Nilai KHM ekstrak air bunga kecombrang pada bakteri uji.

Jenis bakteri Konsentrasi Ekstrak

Jumlah bakteri (sel/ml) inkubasi 24

jam (Nt)

% Penghambatan = 100% - (Nt/No x

100%)

5 % - -

10 % 2.62 x 106 88.41 %

15 %* 1.44 x 106 95.63 % 20 % 7.3 x 105 96.77 % 25 % 1.23 x 105 99.46

S. aureus

30 % 1.15 x 105 99.5 %

10 % - -

20 % - -

30 % 78 x 105 51.86 % 40 % 18.9 x 105 88.4 % 50 %* 12.3 x 105 92.41 %

E.coli

60 % Tidak tumbuh 100 %

*) Nilai KHM = konsentrasi terendah yang dapat menurunkan pertumbuhan bakteri lebih besar dari 90 %

Dari tabel tersebut menunjukkan bahwa nilai konsentrasi hambat minimum S. aureus terdapat pada konsentrasi 15% dengan persen penghambatan 95.63%. Sedangkan nilai konsentrasi hambat minimum E. coli terdapat pada konsentrasi 50% dengan persen penghambatan 92.41%. Nilai persen penghambatan bakteri S. aureus lebih besar atau konsentrasi ekstrak lebih kecil dibandingkan dengan bakteri E. coli. Hal tersebut menunjukkan bahwa S. aureus lebih sensitif dibandingkan E. coli terhadap ekstrak air bunga kecombrang. Oleh karena itu, aktivitas antibakteri ekstrak bunga kecombrang memiliki daya hambat yang kuat terhadap S. aureus. Namun aktivitas antibakteri tergantung konsentrasi yang diberikan, dan perlu dilakukan KHM dari antibiotika standar kloramfenikol untuk mengetahui kesamaan dari KHM masing-masing.

E. coli merupakan bakteri gram negatif yang memiliki kandungan peptidoglikan lebih sedikit dan kandungan lipid lebih banyak. Banyaknya


(60)

kandungan lipid pada E. coli menyebabkan ekstrak air bunga kecombrang tidak mudah menyerap ke dalam E. coli, sehingga ekstrak air bunga kecombrang tidak dapat menghambat pertumbuhan bakteri pada konsentrasi rendah.

Pengujian Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) bunga kecombrang sebelumnya sudah dilakukan oleh Naufalin (2005) dengan ekstrak etil asetat dan etanol. Pada hasil penelitian ekstrak etil asetat bunga kecombrang menunjukkan bahwa nilai konsentrasi hambat minimum E. coli terdapat pada konsentrasi 5 mg/ml dengan persentase penghambatan 99,99% dan konsentrasi hambat minimum S. aureus terdapat pada konsentrasi 12,5 mg/ml dengan persentase penghambatan 99,36%. Sedangkan hasil penelitian ekstrak etanol bunga kecombrang menunjukkan bahwa nilai konsentrasi hambat minimum E. coli

terdapat pada konsentrasi 5 mg/ml dengan nilai persentase penghambatan 99.99% dan S. aureus terdapat pada konsentrasi 12,5 mg/ml dengan persentase penghambatan 91,36%.

Nilai konsentrasi hambat minimum ekstrak air bunga kecombrang terhadap

S. aureus dan E. coli lebih tinggi jika dibandingkan dengan ekstrak etanol daun sirih merah. Nilai KHM S. aureus dan E. coli masing-masing adalah 15% dan 50%, sedangkan nilai KHM ekstrak etanol daun sirih merah terhadap S. aureus

dan E. coli adalah 6,25%. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak air bunga kecombrang relatif kurang kuat digunakan sebagai antibakteri.


(61)

4.5.Analisa GCMS

Untuk mengetahui senyawa yang terkandung dalam ekstrak air bunga kecombrang adalah dengan cara analisa GCMS. Hasil yang didapatkan pada analisa GCMS ini terdapat pada Gambar 15 dan Tabel 6.

Gambar 15. Diagram hasil analisa GCMS

Tabel 6. Hasil identifikasi komponen volatil ekstrak air bunga kecombrang

No Nama Komponen tR (Waktu Retensi, Menit)

%

Area Similaritras 1 2,3 Butanadiol 5.18 2.59 90 2 1,3 propanadiol 5.42 0.43 43 3 Tetraetil silikat 6.72 0.70 97 4 Siklotetrasiloksan 6.78 0.70 27 5 n - Oktanal 7.04 0.62 43 6 Sikloheksasiloksan 10.11 0.60 83 7 Oktadekanal 11.05 0.81 87

8 1 – Dodekanol 11.60 11.73 95 9 Sikloheptasiloksan 11.69 2.23 91 10 Asam asetat 12.69 0.59 91


(62)

11 3 – metil - 1- okso - 2-buten 1

- (21,41, 51-trihidroksi fenil) 13.03 3.17 59 12 Siklooktasiloksan 13.08 2.07 70 13 11-dodekanol 13.20 1.18 78

14 1 – Tetradekana 13.26 6.03 98 15 3,5 – dideutero piridin – 4 –

asam karboksil - d1 13.51 0.95 27 16

8. β.,12-Epoxy- 13,14,15,16,17, 18-hexanorlabdane

14.09 0.75 60

17 1,1,1,3,5,5,5-Heptametil

trisiloksan 14.21 0.40 74

18 Iron, monokarbonil -

(1,4-butadiene 1,4 asam karboksil 14.28 0.60 52

19 Hidrazin, (4 – methylphenyl) 14.62 2.71 38 20

(21,21,21- Trimetil – 71 – oksa – 81 bisiklo (4.3.0) nonen – 81 - yl) metil keton E

15.19 0.32 41 21 15-metil-z-11-heksadekanal 15.40 0.73 62 22 Asam heksadekanoik 15.51 0.78 98 23 heneikosan 16.26 1.31 99 24 Z – 14 – Nonakosan 16.82 0.79 90 25 Etil oleat 16.86 1.34 97

26 Dokosan 17.00 2.72 98

27 1,9 Tetradekadien 17.14 1.06 96 28 3 – metil heneikosan 17.51 1.03 50 29 Trikosan 17.82 2.52 99

30 Eikosan 18.73 3.13 98

31 1,2 – Benzen asam dicarboksil

, Bis (2 – etilheksil) ester 20.61 0.62 83 32 heksadekana, 1- (ethenyloxy) 20.67 1.92 93

33

2,6 – dimetoksi – 4 – (1,3 – benzodioksol - 5 - yl) 1 - 8- (3,4 – dimetil fenill) 3,7 -dioksabisiklo [3.3.0] oktana

21.48 0.91 35

34 14 - β – H - PREGNA 21.64 0.86 68 35 Sikloheksan, 1,1

1

– (1,3,-

propenedil) bis 22.67 0.49 60 36 N-Ethyl-1,3-ditioisoindolin 23.08 1.03 46


(63)

37 10 - Heneikosan (c,t) 9 –

tricosan, (Z) 23.26 0.90 44 38 Oktacosan 23.54 4.58 59

39

5H-Napto (2,3-c)karbazol - 5 metil 1-(2-trimethilsiloksi-1,1 - dideuteriovinil) - 4 - trimetilsiloksi – benzen

24.95 1.46 48

40 2-(N-metil, N-fenilamino)

asam benzoik 25.19 5.02 50 41

3-okso-4.β.,14-epoksi-5-.α. H, 6,11.β.H-eudesman-12,6-olide N-etil-1,3- ditioisoindolin

26.59 1.28 43

42

11 – Asam Heksedekenoik, 15 –metil-, metil ester 1,1,1,3,5,5,5 - Heptametill trisiloksan

27.98 1.91 43

43 Silan, 1,4 – fenilenebis

[trimetil] 29.15 1.75 38

44 Fenol, 4- (3-etil-1H-inden

-2-yl) 33.82 2.58 53

Berdasarkan data di atas terdapat sedikitnya 6 golongan senyawa utama yang terkandung dalam ekstrak air bunga kecombrang yaitu: alkohol, alkana, alkena, asam lemak, ester, dan fenol. Sepuluh diantaranya memiliki luas puncak yang paling besar yaitu 2,3 butanediol (1) pada retensi 5.18, luas area 2.59, dan kemiripan 90%, 1-dodekanol (8) pada waktu retensi 11,60, luas area 11,73 dan kemiripan 95 %, 3-metil-1-okso-2-buten l-(21,41, 51-trihidroksi fenil) (11) pada waktu retensi 13,02, luas area 3,17 dan kemiripan 57 % serta 1-tetradekena (14) pada waktu retensi 13,26, luas area 6,03 dan kemiripan 98 %, Hidrazin, (4 – metilfenil) (19) pada waktu retensi 14.62, luas area 2.71 dan kemiripan 38%, Dokosan (26) pada waktu retensi 17.00 luas area 2.72 dan kemiripan 98%, Eikosan (30) pada waktu retensi 18.73, luas area 3.13 dan kemiripan 98%,


(64)

Oktakosan (38) pada waktu retensi 23.54, luas area 4.58 dan kemiripan 59%, 2-(N-metil, N-fenilamino) asam benzoik (40) pada waktu retensi 25.19 luas area 5.02 dan kemiripan 50%, Phenol, 4- (3-etil-1H-inden -2-yl) (44) pada waktu retensi 33.82, luas area 2.58 dan kemiripan 53%.

Golongan senyawa tersebut di atas yang merupakan senyawa antibakteri dan antioksidan adalah senyawa golongan alkohol dan fenol, contoh senyawa yang

termasuk golongan alkohol adalah 1-Dodekanol dan 2,3 Butanediol (C4H10O2)

sedangkan senyawa yang dianggap golongan fenol yang berpotensi sebagai antioksidan adalah 3 – metil - 1- okso - 2-buten 1 - (21,41, 51-trihidroksi fenil) dan Rumus molekul dari ketiga senyawa tersebut dapat dilihat pada Gambar 16.

a) 2,3 Butanediol b) 3 – metil - 1- okso - 2-buten 1 - (21,41, 51-trihidroksi fenil)

c) 1-Dodecanol

Gambar 16. Senyawa kimia golongan alkohol (a dan c) dan fenol (b) pada ekstrak air bunga kecombrang (E. elatior)

Menurut Maulana (2005), Senyawa fenol dalam tanaman dibagi dalam 3 kelompok besar yaitu asam fenol, flavonoid dan tanin. Flavonoid mempunyai fungsi memberi warna (merah, jingga, kuning dan hijau) dan rasa pada sayur-sayuran


(65)

Dari sejumlah penelitian pada tanaman obat dilaporkan bahwa banyak tanaman obat yang mengandung antioksidan dalam jumlah besar. Efek antioksidan terutama disebabkan karena adanya senyawa fenol seperti flavonoid, asam fenolat. Biasanya senyawa-senyawa yang memiliki aktivitas antioksidan adalah senyawa fenol yang mempunyai gugus hidroksi yang tersubstitusi pada posisi ortho dan para terhadap gugus –OH dan –OR (Andayani et al., 2008).

Menurut Tamat et al., (2007) menyatakan bahwa senyawa fenol dengan gugus hidroksil yang terikat pada cicin aromatik merupakaan senyawa yang efektis sebagai antioksidan karena senyawa tersebut mampu meredam radikal bebas dengan cara memberikan atom hidrogen (donor proton) dari gugus hidroksil kepada radikal bebas. Bila diperhatikan aspek toksisitas, maka adanya senyawa fenol ini menjadikan ekstrak memiliki tingkat toksisitas tinggi. Berdasarkan hasil uji toksisitas menggunakan metode BSLT ekstrak air bunga kecombrang diperoleh LC50 yang relatif rendah yaitu 75.94 ppm, hal tersebut menunjukkan

bahwa sifat toksisitas pada ekstrak bunga kecombrang relatif tinggi.

Senyawa fenol selain sebagai antioksidan juga sebagai antibakteri. Mekanisme kerja komponen bioaktif fenol dapat mengakibatkan lisis sel dan menyebabkan denaturasi protein, menghambat pembentukan protein sitoplasma dan asam nukleat serta menghambat ikatan ATP-ase pada membran sel (Sasaki, et al., 2004).

Dari hasil analisa GCMS golongan senyawa yang termasuk sebagai antibakteri adalah golongan alkohol. Menurut Boyd (1988) bahwa mekanisme etanol dalam menghambat pertumbuhan bakteri adalah mendenaturasi protein dan


(66)

melarutkan lemak yang terdapat pada dinding bakteri. Alkohol yang digunakan secara luas adalah etil dan isopropil alkohol. Keduanya bisa melarutkan lemak dan mempengaruhi aktivitas membran mikrobial dan juga pembungkus lemak pada virus.


(1)

Lampiran 5. Diameter Zona Hambat Ekstrak air Bunga Kecombrang A. S. aureus

80% 60%

100%

B. E. coli

60% 80%


(2)

Lampiran 6. Kontrol Positif dan Kontrol Negatif A.Kontrol positif (Kloramfenikol) terhadap bakteri uji

S. aureus E. coli

B.Kontrol Negatif (Akuades) terhadap bakteri uji


(3)

Lampiran 7. Data statistik uji BSLT ekstrak air bunga kecombrang

Diketahui : r = Ulangan ; t = banyaknya konsentrasi r = 3 ; t = 6

FK (Faktor koreksi) = 72 db perlakuan = 6

db galat = 12

JK Total = 136

JK perlakuan = 132.67 JK galat = 3.337 KT perlakuan = 26.537 KT galat = 0.28 F hitung = 95.51

F tabel = 3.00

Hipotesis : H0 = tidak ada pengaruh yang nyata dan signifikan H1 = terdapat pengaruh yang nyata dan signifikan Jika Fhitung > Ftabel maka H0 ditolak dan H1 diterima.

Jika Fhitung < Ftabel maka H0 diterima dan H1 ditolak. Kesimpulan : H0 ditolak dan H1 diterima

” Terdapat pengaruh yang signifikan konsentrasi ekstrak air bunga kecombrang (Etlingera elatior) terhadap kemataian larva Artemia salina Leach”.


(4)

Lampiran 8. Data statistik uji antibakteri ekstrak air bunga kecombrang A. S. aureus

Diketahui :

r = Ulangan ; t = banyaknya konsentrasi r = 3 ; t = 5

FK (Faktor koreksi) = 1850.815 db perlakuan = 4

db galat = 10

JK Total = 94.981 JK perlakuan = 76.001

JK galat = 18.98

KT perlakuan = 19

KT galat = 1.898

F hitung = 10.01

F tabel = 3.86

Hipotesis ; H0 = tidak ada perbedaan yang nyata dan signifikan H1 = terdapat perbedaan yang nyata dan signifikan Jika Fhitung > Ftabel maka H0 ditolak dan H1 diterima.

Jika Fhitung < Ftabel maka H0 diterima dan H1 ditolak. Kesimpulan ; H0 ditolak dan H1 diterima

” Terdapat perbedaan yang signifikan untuk Staphylococcus aureus pada diameter zona hambat ekstrak air bunga kecombrang (Etlingera elatior)”


(5)

B. E. coli

Diketahui :

r = Ulangan ; t = banyaknya konsentrasi r = 3 ; t = 5

FK (Faktor koreksi) = 179.57 db perlakuan = 4

db galat = 10

JK Total = 211.88 JK perlakuan = 31.04 JK galat = 80.83 KT perlakuan = 32.76 KT galat = 8.08 F hitung = 4.05

F tabel = 3.86

Hipotesis ; H0 = tidak ada perbedaan yang nyata dan signifikan H1 = terdapat perbedaan yang nyata dan signifikan Jika Fhitung > Ftabel maka H0 ditolak dan H1 diterima.

Jika Fhitung < Ftabel maka H0 diterima dan H1 ditolak. Kesimpulan ; H0 ditolak dan H1 diterima

” Terdapat perbedaan yang signifikan untuk Staphylococcus aureus aureus pada diameter zona hambat ekstrak air bunga kecombrang (Etlingera elatior)”


(6)