PROBLEMATIKA SOSIAL KELUARGA

XII. MASALAH KELUARGA
A. Keluarga Dalam Masyarakat
1). Keluarga adalah institusi sosial yang paling tua dan paling fundamental. Keluarga menjadi pusat aktivits
politik, ekonomi, pendidikan dan keagamaan si hampir semua masyarakat sepanjang sejarah. Keluarga
dalah instutis sosial yang didasrkan pada pertalian darah, yang fungsinya untuk mengganti anggautaanggauta masyarakat dan merawatnya. Ini adalah difinisi singkat yang langsung, mnyembunyikan
berbagai kompleksitas dan kontroversi. Kenyataannya, etnosentrimse banyak sekali berhubungan
dengankeluarga. Umumnya orang dalam suatu lingkungan sosial mempunyai perasaan yang kuat
mengenai “apakah keluargaitu” dan bagaimana anggauta-anggauta keluraga seharusnya
bertingkahlaku. Perasaan itu berdampak langsung pada kebijakan sosial ketika konsep orang mengenai
keluarga membelokkan analisisnya mengenai masalah keluarga dan membatasi pertimbangannya
mengenai abgaiaman memevahkan maslah keluarga di masyarakat.
Ada beberapa bentuk keluarga. Umumnya budaya memberi kekuataan dan kekuatan kepada laki
(suami), terapi ada juga budaya yang kekuatan dan kekuasaan berada ditangan perempuan (isteri). Ada
masyarakat yang hanya membolehkan suatu mempunyai satu isteri di satu waktu, tetapi ada juga yang
diizinkan mempunyai lebih dari satu isteri di satu waktu.
1. Monogami; pasangan satu suami – satu isteri pada waktu yang sama.
2. Egalitarian family; kekuatan dan kekuasaan dibagi kurang lebih sama antara suami dengan isteri.
3. Poligami; pasasngan satu suami – lebih dari satu isteri pada waktu yang sama
4. Poliandri: pasangan satu isteri – lebih dari satu suami pada waktu yang sama
5. Extended family: tiga atau lebih generasi tinggal bersama atau tinggal berdekatan dimana lehodupan
sehari-hari dan mata pencahariannya saling jalin menjalin. Keluarga besar yang melibatkan pertalian

darah beserta kuajiannya, setia dan salng bantu antar anggauta keluarga. Tujuan keluarga besar
lebih penting daripada tujuan pribadi atau tujuan keluarga inti.
6. Nuclear family; keluarga yang hanya terdiri dari suami/isteri dan anak. Keluarga modern, keluarga era
iondustrial lebih mengambil bentuk keluarga inti, sedang keluarga ora industri dan masyarakat
agraris lebih bersifat keluarga besar.
7. Modified extended family: nuclear family dimana antar generasi itu ada ikatan yang sangat kuat.
Mereka tinggal terpisah, tetapi mempunyai jaringan kunjungan atau interaksi intensif dan saling bantu
secara moral, emosional dan finansial.
2). Pandangan Fungsionalis; Bentuk keluarga yang berbeda di masyarakat terjadi karena keluarga harus
mengemban fungsi yang berbeda antara masyarakat satu dengan yang lain, agar manusia dapat
mempertahankan keberadaannya di dunia dan kemasyarakatan dapat berlangsung. Ada enam
sumbangan keluarga ke masyarakat;
1. Mengatur tingkahlaku seksual dan reproduksi: Semua masyarakat mempunyai aturan siapa yang
boleh melakukan aktivits seksual dengan siapa dan dalam kondisi bagaimana anak seharusnya
dikandung dan dilahirkan. Sebagian besar masyarakat membatasi pengasuhan anak pada konteks
perkawinan dan keluarga, yang dapat member lingkungan yang stabil untuk merawat anak. Dengan
cara ini keluarga menyumnang proses penggantuan manusia dari satu generasi ke generasi
berikutnya.i
2. Sosialisasi dan Pendidikan: Semua orang ahrus belajar nilai, norma, dan bahasa dari budaya mereka
dan mengemabngkan ketrampilan yang dibutuhkan agar bermakna di masyarakat. Orang tua dan

anggauta keluarga lainnya menjadi penaggungjawab utama untuk menjamin bahwa anaknya dusah
mendapat sosialsasi yang benar.
3. Pemberian status: keluarga memberi anaknya tempat dimasyarakat – posisi atau status dalam
kaitannya dengan orang lain. Nasib melahirkan bayi dalam keluarga tertentu, yang memberi sumber

dan peluang kepada bayi itu. Warna kulit, etnik, agama, dan klas sosial ditentukan oleh keluarga
dimana bayi dilahirkan, walaupun beberapa ciri itu mungkin berubah kemudian hari.
4. Aktivitas ekonomi: Keluarga sering berperan sebagai unit dasar ekonomi produksi, bekerja sama
untuk mempertahankan hidup, bertani dan membuat rumah. Pembagian kerja siapa yang mencari
nafkah dan siapa yang mengatur rumah tangga, agar sumber dapat dimanfaatkan secara efisien.
5. Perlindungan: Keluarga merawat dan melindungi anggautanya, membantu mereka ketika masih
terlalu muda, sakit, lemah, tua – tidak dapat membantu diri sendiri.
6. Kasih sayang dan Persahabatan: Semua orang membutuhkan cinta, kasih sayang, dukungan
psikologis, yang semuanya dapt diberikan oleh keluarga. Dukungan itu dapat mengembangkan
konsep diri yang positif dan perasaan diri-berharga dan menghiolangkan perasaan
terasing/kesendirian.
Enam fungsi itu menjadi ciri keluarga, walaupun dapat dikerjakan dengan cara selain keluarga.
Keluarga dan masyarakat telah berubah bentuiknya melalu berkembangan akhir abad ini sebagai
konsekuensi industrialisasi, dan muncul berbagai pilihan cara memenuhi sebagian fungsi keluarga di
atas. Misalnya, sebagianbesar anak memang dirawat dalam keluarga, tetapi ada anak yang lahir tanpa

perkawinan. Banyak wanita di aban modern yang bekerja dan mengasuh anak tanpa bantuan laki-laki
dan keluarganya. Sosialisasi dan pendidikan diserahkan kepada pusat pendidikanmulau dari bayi
dampai universitas. Keluarga hanya berperan kecil dalam menentukan posisi anak-dewasa dalam
dunia indusri, yankni memberi kemudahan untuk memperoleh modal dalam persaingan kerja. Posisi
orang dalam dunia industri lebih ditentukan oleh kemampuan dan pencapaiannya sendiri. Dalam hal
kegiatan ekonomi, sebagian besar orang beklerja di luar rumahnya, dan keluarga tidak lagi menjadi
pusat kegiatan ekonomi. Masyarakat modern juga menyediakan rumah sakit, tempat peristirahatan
bagi pensiunan, dan berbagai layanan yang dibutuhkan setiap orang.
Perana tradisional dari keluarga dan ikatan darah berubah, kaena tidak sepenting jaman dahulu. Ikatan
keluarga besar semakin hilang, diganti dengan keluarga inti yang lebih cocok dengan masyarakat
urban. Indurstrialisme menuntut mobilitas yang tinggi, pekerja mengejar pekerjaan di manapun, dan
keluarga kecil dengan ikatan darah yang tidak kuat mendukung mobilitas itu. Masyarakat industri lebih
mementingkan prestasi dan bukannya keturunan dalam kenaikan jabatan. Keluarga besar menjadi tidak
fungsional karena anak bukan lahi aset ekonomis, yang dapat membantu pekerjaan di sawah/ladang.
Keluarga kecil lebih cocok dengan dunia industri, bahkan oarng lebih senang tinggal sendirian atau
hiudp bersama tanpa ikatan keluarga.
Perkembangan sosial yang mengubah wajah keluarga - seperti semakin banyaknya perceraian, gaya
hidup beresama tanpa ikatan, akan menjadi maslah sosial kalau perubahan semacam itu mengancam
masyarakat sosial dalam bentuk disorganisasi dan ketidakstabilan. Menjadi perdebatan, apakah fungsi
keluarga tradisional benar-benar dapat diganti oleh institusi lain. Apakah sosialisasi dapat diganti

dengan day care (sekolah bayi), dan kasih sayang orang tuad digangit dengan kasih sayang
pengasuh/guru? Apakah orang tua tunggal dapata berpeean sama baiknya dengan orang tua lengkap
(suami/isteri)?
3). Pandangan konflik; Keluarga mempunyai tujuan yang sama dengan instituri sosial lainnya, yakni
menjadi kelompok dominan dalam masyarakat. Bentuk keluarga yang dipilih oleh masyarakat adalah
sesuai dengan nilai-nilai dan keuntungan darikelompok dominan. Misalnya, bentuk keluaga patriarchat
– keluarga dimana kali-dewasa mendominasi pengambilan keputusan politik dan ekonomi, sedang
perempuan dan anak menjadi bawahan. Ini adalah tipe yang paling umum dari otoritas struktur
keluarga, yang mendukung kepentingan laki dengan menempatkannya menjadi penguasa. Di banyak
masyarakat, perempuan menjadi sangat tidak memiliki kekuasaan dalam rumah tangga, bahkan
mereka menjadi perperan layaknya budak. Di masyarakat industri dominasi laki tidak terlalu ekstrim.
Semakin sedikit perempuan yang mau didominasi, kebanyakan mereka menuntut persamaan

dalamperan keluarga. Perubahan ini terjadi karena perempuan telah menimbun sumber yang
memungkinkan mereka bertahan dari paksaan laki. Misalnya, dominasi kali dalam bentuk penyiksaan
fisik, pada isteri yang memiliki sumber ekonomi, sosial dan pendidikan yang baik, hampr tidak pernah
terjadi.
Bentuk dominan dari keluarga inti memberi keuntungan ekonomi kapitalis, karena meningkatkan unit
konsumsi dalam masyarakat. Setiap keluarga inti membeli item kebutuhan keluarga, walaupun
pemakaiannya jarang, misalnya TV, kompor, peralatan masak, mobil, mesin cuci, dll. Dalam keluarga

besar, beberapa peralatan dapat dipakai bersama sehingga kebutuhan konsumsi menjadi lebih kecil.
Teoritisi konflik juga mengemukakan bahwa sistem keluaga menyumbang penyebaran terus
berlanjutnya ketidaksamaan sosial dan ekonomi melalui keturunan. Kekayaagn ditimbun dan wariskan
melaluii garis keturunan. Bayi yang lahir di keluarga “kaya” jelas memiliki peluang berlebih dibanding
bayi miskin. Jadi, keluarga di masyarakat menjadi sarana untuk terus melanjutkan pola menguasai dan
dikuasai.
Kelompok penguasa melindungi posisinya dari ancaman denghan mengajarkan kepada masyarakat
melalui sekolah, media massa, dan sarana lainnya, bahwa monogami, keluarga inti, keturunan, dan
kekayaan pribadi adalah pilihan terbaik. Melalui sosialisasi dan pendidikan orang menginternalisasi
keyakinan ini, mereka cendrung tidak senang – bahkan tidak memikirkan bentuk kekeluargaan ;lainnya,
seperti pengarutan komunal. Norma yang kuat memotivasi orang untuk hidup dalam bentuk keluarga
yang diterima masyarakat.
Teori konfliok memandang bentuk keluarga akan berubah ketika kelumpok baru memperoleh kekuatan
yang cukup untuk memaksanak bentuk keluarga baru dapat diterima. Organisasi kehidupan keluarga
menjadi maslah sosial ketika kelompok berkuasa menyatakan keyakinannya bahwa struktur keluarga
yang berlangsung saat itu tidak sesuai dengan kepentingannya, dan mereka melakukan aksi untuk
mengubahnya.
4). Pandangan Interaksionis; Dari berbagai bentuk keluarga, mana yang benar? Menurut perspektif
interksionis itu dalah maslah difinisi. Setiap masyarakat mempunyai aturan dan norma yang membentuk
keluarga dan ikatan darah. Ketika suatu norma ditegakkan, orang sisosialisasi untuk menerima bentuk

keluarga itu sebagai “alamiah.” Umumnya masyarakat memiliki konsesnsus dadar mengenai bentuk
yang tepat dari suatu keluarga, dan bagaimana angguta keluarga saling berhubungan. Bnetuk
monogani yang banyak dianut masyarakat modern, tenyata hanya diikuti oleh 25% populasi dubia.
Perempuan Tibet yang mengawini seorang laki-laki – dianggap iseri dari semua saudara laki suaminya,
termasuk saudara yang ketika dia kawin belum lahir.
Tingkahlaku bagaimanayang diterima tergantung kepada nilai kultural dan perkembanhan masyarakat.
Kalau masyarakat dan nilai-nilainya berubah, penilaian tingkahlaku yang terterima juga berubah.
Dimasyarakat tradisional keluarga dipandang sangat penting untuk mengemban tugas seperti
mengasuh anak, dan kehidauipan keluarga diberi makna sakral atau religius, perceraian dianggap noda
yang sangat buruk. Pandangan tidak senang dengan mereka yang cerai, memperkuat “kenyataan”
bahwa kehidupan perkawinan adalah cara yang benar untuk menjalani kehidupan.
Era modenisasi menumbuhkan banyak pertanyaan mengenai norma keluarga yang pada masyarakat
tradisional diberlakukan dengan tenakan sosial yang kuat. Orang modern mepertanyakan apakah saya
harus nikah? Apakah harus mempertahnkan pernikahan? Apakah boleh melakukan perkelaminan diluar
nikah dan mempunyai anak? Apakah saya harus mengambil nama suami sebagai nama belakagn
saya? Semuanya membuktikan adanya ketidak-konsistennya tingkahlaku yang terterima pada ranah ini.
Ini menimbulkan ketegangan bagi individu yang harus mengambil pilihan tanpa bimbingan dan
dukungan jang jelas dari masyarakat.

Menurut pandangan Interaksionis, ketika orang tidak memperoleh gambaran yran jelas mengenai

tingkah laku yang diharapkan masuarakat untuk dilakukannya, stabilits masyarakat akan terganggu
karena orang membuat pilihan yang ternyata dianggap mengganggau masyarakat. Kalau ada kelompok
yagn memandang praktek yang dilakukan oleh orang atau kelompok lain sebagai ancaman terthadap
nilai-nilai yang diyakininya, itu adalah masalah sosial.
B. Sikap Terhadap Perkawinan dan Perceraian
1). Sikap terhadap perkawinan; Wlaupun telah terjadi perubahan peran keluarga di masyarakat industri,
ternyata perkawinan tetap populer. 90% orang pernah mengalami perkainan, dan yang memiliki status
kawin sekitar 60%. Remaja dan orang tuanya memiliki sikap positif terhadap perkawinan dan keluarga.
75% anak SMA menganggap perkawinan dan keluarga “sanagt penting” bagi mereka, dan survei pada
anak usia 18 – 22 menemukan sebaian besar mereka meencanakan perkawinan sebelum usia 30.
Sebagian besar mereka yakin bahwa perkawinan seharusnya “untuk kehidupan.” Beberapa survey
menemukan banyak perubahan; semakin sedikit yang memandang hidup sendiri sebagai hal yang
negatif, tidak banyak keuntungan kawin daripada hidup sendiri, dan tidak yakkin bahwa mempunyai
anak adalah pilihan terbaik untuk dilakukan. Singkat kata, perkawinan masih dianggap positif oleh
banyak orang, tetapi pilihan untuk tidak kawin juga semakin populer.
Perubahan sikap terhadap perkawinan merupakan puncak pergeseran dari “perjodohan” menjadi
“kemauan sendiri.” Pada masyarakat praindustri, di mana keluarga besar dan kertalian darah menjadi
inti institusi sosial, orang tua memegang peran kunci dalam memutuskan kapan dan dengan siapa
anaknya akan kawin. Keputusan itu terkadang terasa aneh dan lucu, misalnya perjodohan diatur sejak
akanya masih sangat nuda, bahkan begitu anaknya lahir. Pilihannya didasarkan pada apa yang

dianggap paling menguntungkan bagi keluarga, dan mereka yang dijodohkan tidak mempunyai pilihan
kecuali harus menurut. Masyarakat menganggap praktek semacam itu adalah cara bijak memilih
pasangan.
Industrialisasi diikuti dengan proses perubahan, dimana remaja mempunyai beberapa pilihan calon
pasangan, tetapi orang tua tetap memainkan peran mengontrol keputusan akhir. Jadian sesuatu yang
umum, tetapi berlangsung di bawah pengawasan orang tua dan orang dewasa liannya di masyarakat.
Jadian dibawah pengawasan orang tua; remaja laki-perempuan boleh memilih dari sekelompok partner
yang dapat diterima orang tua (memenuhi syarat minimal), dan tidak boleh memilih yang diluaar
kelompok itu.
Pada masyarakaty industri, pilihan pasangan didasarkan terutama pada kebutuhan individu mempuntai
pasangan yang menguntungkan. Orang tua mungkin masih bisa berperan dalam proses ini, tetapi
pengaruhnya hanya sekunder atau sering tidak lebih seperti saran dari sahabat akrab. Proses jadian
lebih berdasarkan “kemauan sendiri” di mana cinta yang romantis menjadi faktor penentu padangan
menuju perkawinan. Alasan pudarnya peran orang tua dalam perkawinan anaknya adalah;
1. Keluarga (pertalian darah) semakin tidak penting dalam era modern, orang tua sahamnya semakin
kecil dalam menentukan perkawinan remaja-nya.
3. Remaja mempili kemandirian ekonomi yang besar, sehingga orang tua tidak dapat menuntut apapun
mengenai pilihan partner anaknya. Di masa lalu orang tua berkuasa untuk tidak memberi bantuan
ekonomi kepada pasangan yang “tidak mau diatur’” yang biasanya akan membuat pasanmgan itu
mengalami kesulitan untuk memulai kehidupan keluarganya.

2) Perceraian; Ada psangan yang pisah ranjang, ada yang cerai resmi. Ngka perceraian resmi adlah
jumlha percerasian setap tahun, dibagi jumlah keluarga inti dalam satu tahun. Angak ini akan
menunjukkan stabilitas perkawinan tiap tahunnya. Ternyata jumlah pecerasian meningkat duakali lipat
sejak tahun 1940, dari 8,8 menjadi 18 perceraian setiap 1000 keluarga inti. (pada tahun 1869 hanya 1,2

perceraian tiap 1000 keluarga inti). Peluang perkawinan berakhir dengan perceraian pada tahun 1870
hanya 8%, sedang pdatahun 1990 menjadi 50%. Namun perceraian itu tidak membuat orang membenci
perkawinan, karena 75% sampai 80% akan kawin lagi (dengan pasangan baru). Perkawinan yang
berujung pisah ranjang resmi, tetapi tidak cerai (karena alasan religius) mencapai 3%. Banyak
perkawinan yang pasangannya “minggat” walaupun tidak dapat dihitung jumlhanya secara pasti.
Dewasa ini prakerk poligami memang tida lazim (di Amerika Serikat) tetapi orang mempraktekkan serial
monogami; orang memioiki selih dari satu pasangan tetapi tidak di satu waktu (kawin-cerai, ganti
pasangan).
Pereceraian disebabkan oleh banyak alasan, antara lain; psangan menjadi tidak peka, menghambat
peluang karir, tidak pusa dengan kehidupan seksual. Akhli sosiologi memilih kondisi sosial sebagai
penyebab utama perceraian alih-alih alasan pribadi. Apling tidak ada empat kondisi sosial yang
dipandang menjadi sebab utama perceraian;
1. Fungsi keluarga dalam masyarakat tidak sepenting jaman dahulu, sehingga tidakmemaksa pasangan
untuk bertahan jika mereka tidak bahagia. Jaman dahulu, pasangan yang tidak bahagia tetap
bertahan untuk merawat anak, dan untuk medapat dukungan ketika usianya tua. Sekarang orang tua

tunggal dapaat merawat anak sendirian, dan dapat merencanakan bagaimana dia menjalani hari
tuanya dengan tabungannya sendiri. Industrialisasi menyebarkan kemakmuran yang membuat orang
tidak tergantung kepada dukungan keluarga, yang berdampak pada perubahan lembaga perkawinan.
2. Meningkatnya persamaan antara laki dan perempuan menimbulkan peluang dan kegangan yang
menyumbang peningkatan angka perceraian. Peluang perempuan semakin besra untuk memiliki
kemampuan ekonomi untuk mendukung kebutuhan dirinya dan anaknya tanpa dukungan suami. Ini
mengurangi perempuan yang tidak bahagia terus mempertahankan perkawinannya. Persamaan
gender menimbulkan pengaturan kembali peran dalam keluarga, yang berdampak adanya
ketidaksetujuan dan tekanan yang mengawali perceraian. Misalnya; suami merasa isteri beranggung
jawab pada urusan rumahtangga, sedang isteri menuntut pembagian tugas yang adil, atau
perempuan sesudah kawin memuutuskan untuk membinda karirnya. Perubahan gaya hudp merusak
pola perkawinan yang ada, dan menuntut pengaturan ulang peran laki dan perempuan dalam
keluarga, yang sering tidak sukses sehingga berakibat perceraian.
3. Perceraian banyak terjadi, karena cerai tidak dianggga sebagai noda yang serius. Jaman dahulu
perceraian dipandang sebagai kegagalan dalam kehidupan, serinf dicap sebagai moralitas yang
rendah. Perempuan yang cerai adalah perempuan yang “gagal.” Di Cina prakomunis, hampir tidak
ada perceraian, tetapi banyak istri yang bunuh diri. “perempuan yang baik menggantung diri,
perempuan yang buruk bercerai.” Dewasa ini perceraian sudah dipandang sebagai bagian dari gaya
hidup, alih-alih gambaran karakter yang buruk.
4. Berkurangnya sikap negatif terhadap perceraian tampak dari semakin sederhananya proses legal

perceraian. Ini mendorong orang memakai perceraian sebagai pemecahan maslah ketika
perkawinannya mengalami kesulitan.
Pasangan yang rentan cerai, mempunyai ciri-ciri berikut;
1. Pasangan denga perbedaansoaial, seperti perbedaan agama, ras, latar belakang klas sosial, dan
latar belakang nilai. Perbedaaa-perbedaan itu menimbulkan stress mendasar dalam perkawinan.
2. Tingkat sosial ekonomi rendah, penghasilan dan tingkat pendidikan rendah. Pengangguran dan stess
ekonomi lainnya membuat orang sukar memperoleh kebahagiaan dari perkewinan.
3. Kawin muda; Tidak mempunyai cukup persiapan untuk berumah tangga, atau sifat labil remaja yang
membuat muidah berubah orientasi cintanya.
4. Cinta kilat; Orang yang saling kenal dalam waktu pendek dan memutuskan kawin, belakangan baru
tahu partnernya ternyata tidak sesuai dengan harapannya.

3). Dampak Perceraian; Percerraian yang meluas menimbulkan kekeluargaan yang rumit, yakni Keluarga
Campur-aduk (blenden family); keluarga yang hubungan kekeluargaannya bersifat akumulasi sebagai
akibat dari cerai-kawin. Anak-anak dalam keluarga inti disebut full-bood sibling (dua anak, bapak-ibunya
sama). Pada keluarga cerai kawin biasa ada anak yang full-blood, ada yang hal-bloot (dua anak
bapaknya sama atau ibunya sama), ada yang no-blood (dua anak bapak-ibunya berbeda, satu dibawa
ayah-satu dibawa ibu). Jadi seorang asnak bisa mempunyai ayah ibu kandung, ayah-ibu tiri, dan lebih
dari sepasang kakek-nenek. Kondisi campur-aduk itu dapat menimbulkan stress dan tegangan yang
membuat keluarga menjadi goyah/tidak stabil. 46% keluarga di Amerika Serikat adalah pasangan yang
kawin ulang (remarried-couple household); bisa pasangan janda-jejaka, atau perawan-duda, atau
janda-duda.
Perceraian adalah pengalaman yang mengganggu dan menyusahkan, menimbulkan perasaan gagal,
kesendirian, dan penolakan, disamping perasaan marah dan frustrasi, bahkan ada yang sampai
merusak perasaan harga diri. Pada perceraian yang memang menjadi kemauan yang besaangkutan,
akan ada keakraban yang hilang dan tidak bisa segera diganti. Gejala tekanan psikologi kadang dukup
parah pada mereka yang barusaja cerai. Perceraian sering dihubungkan dengan memburuknya
kesehatan fisik, ketidak mampuan yang menjadiaa kronik, dan angka bunuh diri yang tinggi. Laki dan
perempuan dipengaruhi elemen situasi perceraian yang berbeda; perempuan tertekan karena
pereceraian membuat standar hidupnya menurun dan tanggungjawabnya sebagai orang tua
bertambah, sedang laki dsitress karena kesulitan membina jaringan hubungan pribadi yang akrab.
Ada perdebatan mengenai ketidak adillan perlakuan terhadap laki dan wanita mengawali suatu
perceraian. Laki mengelum diperas karena harus membayar alimoni atau bantuan perawatan anak,
sedang perempuan protes karena terlalu kecil bahkana tidak mendapat bayaran alimoni dari bekas
suaminya. Pengadilan memang membagi harta yang tampak seperti rumah, mobil, dan ahrta lainnya,
tetapi tidak mungkin membagi ijasah, lisensi ketrampilan suami (yang diperoleh sesudah kawin) –
padahal nilai ekonominya justru sangat tinggi. Naluri ibu untuk mencintai anak beradampak pada piliha
perawatan anak diserahkan kepada ibu, tetapi hanya bakas bapak tertentu yang setia membayar biaya
perawatan anaknya. Kesulitan ekonomi terbesa dihadapi ibu yang berperan sebagai ibu rumah tangga,
tetapi bahkan pada janda yang profresional tetap akan mengalami kesultan karena harus membagi
waktu antara mencari pekerjaan dengan mengasuh anaknya.
Perceraian merigikan anak. Hidup di rumah yang penuh cinta jelas lebih baik dibanding hidup dengan
dengan orang tua tunggal, namun pengalaman yang lebih buruk dirasakan ketika hidup di rumah yang
tidak bahagia, penuh konflik antara orang tuanya. Konsekuensi perceraian bagi anak adalah;
1. Dampaknya tergantung kepada usia anak. Anak usia 5 – 10 tahun, sering merasa bertanggung jawab
dalam perceraian itu sehingga menimbulkan perasaan gagal dan berdosa pada anak itu. Usia
belasan awal (11-14 tahun) seringf mengekspresikan kemarahan yang sangat kepada orang tuanya.
Sebaliknya remaja dihadapkan dengan pilihan perasaan “kesetiaan kepada orang tua” yang mereka
harus putuskan berfihak dan bergabiung dengan bapak atau ibu. Usia adolesen bisa memahami
alasan perceraian, tetapi tetap khawatir dengan dampak dari perceraian itu.
2. Anak dari keluarga cerai mudah menjadi delinkuen.
3. Anak laki dan perempuan keluarga cerai sering mengalami penuruna prestasi di sekolah bahkan
angka dropout dari sekolah menangah dari anak keluarga cerai cukup tinggi.
4. Perceraian mungkin tidak buruk, tetapi kondisi sosial dan emosi yang terikat dengan perceraian itu
yang menjadi masalah. Pengasuhan yang buruk, konflik antar orang tua, dan kesulitan ekonomi yang
mengawali atau mengikuti perceraian menyumbang timbulnya akibat negatif. Perceraian itu
mengurangi akses dan kemampuan anak memakai berbagai sumber kasih sayang, dan peran
percontohan (modeling) dari kedua orang tuanya.

5. Dampak perceraian pada anak itu menetap sampai dewasa dalam bentuk kesehatan mentalnya.
Anak yang orang tuanya bercerai cenderung juga mengalami perceraian sesudah dia kawin,
khususnya kalau perceraian orang tiau itu dialami ketika dua sudah remaja.
6. Dampak perceraian tentu tidak semuanya buruk bagi anak. Hidup dengan orang tua tunggal sering
memberi pengalaman yang berharga bagia anak, misalnya; orang tua tunggala itu memberi anaknya
tanggung jawab yang lebih besar dalam keluarga kecilnya untuk pengambilan keputusan. Perceraian
juga tidak memberi pengalaman negatif kalau anak tetapa berhubungan dengan orang tua yang dia
tidak serumah dengannya, khususnya kalau konflik antara akedua orang tua yang berceraia itu tidak
terlalu kuat
C. Gaya Hidup Baru
1). Keluarga Berpenghasilan Ganda (Dual-Earner Families); Gaya hidup keluarga yang lama adalah suami
bekerja mencari uang dan isteri mengatur rumah tangga dan mengawasi anak di rumah. Dewasa ini
gaya hidup keluarga (66%) adalah suami-isteri bekerja. Ada beberapa fenomena yang menarik pada
keluarga yang suami-isteri bekerja;
1. Penghasilan suami yang rendah biasanya menarik isteri untuk bekerja agar penghasilannya dapat
mencukupi kebutuhan keluarga.
2. Ada juga suami dan isteri keduanya bekerja karena masing-masing ingin mengejar karir.
3. Suami-isteri bekerja dapat menimbulkan stress dalam hubungan keluarga, karena waktu untuk
berkumpul dengan pasangan dan anak hanya sedikit. Hubungan dengan pasasngan mengalami
stress, dan anak mengalami kesulitan.
4. Muncul stress ketika pasangan itu harus memutuskan karis siapa yang lebih dipentingkan. Misalnya
ketika untuk memperoleh jabatan yang lebih tinggi suami atau isteri harus pindah kota, yang berati
karir pasangannnya akan terganggu.
5. Dalam pengaturan kehidupan sehari-hari muncul pertentangan mengenai karir siapa yang harus
dikorbankan dalam rangka pengasuhan anak dan menyelesaikan tugas rumahtangga.
Ada kesan suami-isteri bekerja menimbulkan banyak stress, tetapi tidak ada bukti perceraian lebih
banyak pada dual-earn atau pada single-earn. Ada bukti bahwa isteri yang bekerja karena keinginan
dan pilihannya sendiri, perkawinannya lebih berbahagia dibanding isteri yagn bekerja karena
meluarganya mengalami masalah finansial. Laki yang isterinya bekerja lebih berbahagia dalam
kehidupan keluarganya (dibading laki yang isterinya tidak bekerja. Suami-isteri bekerja sering tidak
mempunyai anak, dan keluarg tampa anak cenderung memperoleh kepuasan perkawinan dibanding
yang punya anak. Kalau suami-isteri itu sudah mencapai tingkat senior manajer, pasangan itu lebih
banyak membagi scara adil dalam pengambilan keputusan dibanding perkawinan tradisional.
Banyaknya pasangan tanpa anak mungkin merupakan usaha menghindari peningkatan kebutuhan
senagai dampak kuajiban mengasuh anaknya sendiri. Mereka yang mementingkan karir mungkin
memilih tidak punya anak, ataubahkan tidak punya pasangan (tidak kawin). Ini menjadi perbedaan
utama standar kehidupan yang memandang penting sebuah keluarga utuh. Mereka yang
mementingkan keluarga memandang anak sebagai syarat mutlak sebuah keluarga, bahkan tidak
mempungai anak (mandul) dapat menjadi alasan syah bagi laki untuk menceraikan isterinya (dan untuk
kawin dengan perempuan yang tidak mandul). Gaya hidup mengejar karir lebih mementingkan
kehidupan yang “mewah.” Hasilnya jumlah anak-anak dalam peta demografi menjadi berkurang, dan
jumlah usia tua bertambah. Kondisi itu juga menjadi sumber maslash sosial.

2). Tidak kawin; Di Amerika Serikat, 47 juta orang dewasa memilih hidup sendiri (laki hidup sendiri lebih
banyak dibanding perempuan). Ada yang janda atau duda, tetapi juga banyak yang memang belum
pernah kawin. Tidak berarti mereka menolak perkawinan, karena bisa saja mereka suatu saat nanti
akan kawin. Alasan normatif mengapa mereka tidak kawin adalah tidak menemukan pasangan yang
cocok. Namun alasan yang lebih faktual adalah keyakinan bahwa hidup sendiri memberi keuntungan;
bebas dari komitmen, kemandirian ekonomi, peluang untuk bertemu kenalan baru dan menjalin
persahabatan baru, memiliki ruang gerak untuk pengembangan diri-pribadi, dan dapat memperoleh
kehidupan seks yang bervariasi tanpa perasaan berdosa. Hidup sendiri tidak berarti tidak memiliki
keterlibatan emosional dengan partner yang “agak permanen.” Banyak yang mengembangkan
keintiman hubungan, tetapi menolak menjadi ikatan perkawinan yang eksklusif. Seperri gaya hudp
bekerja ganda, gaya tanpa kawin juga dapat mengurangi angka kelahiran.
3). Kumpul kebo (cohabitation); Hubungan dimana dua orang laki-perempuan hidup satu rumah dalam
ikatan hubungan eksual, emosional, dan ekonomikal tanpa ikatan perkawinan resmi. Jumlahnya suslit
untuk dihitung karena sukar dikenali apakah dua orang memang benar-benar kumpul kebo.
Diperkirakan di Amerika Serikat ada 4,5 juta pasangan hidup satu rumah, sebagian memang kumpul
kebo sebagian lainnya hanya teman satu kamar. Perempuan usia 15 – 44 tahun, 44% diantaranya
pernah melakukan hidup kumpul kebo, dan 7% sekarang sedang kumpulkebo. Jumlha ini sangat besar,
kebanyakan anak muda, tetapi ternyata 5% diantaranya berusia diatas 65 tahun. Alasan melakukan
kohabitasi antara lain:
1. Kohabitasi adalah kawin coba-coba (trial marriage), waktu bagi pasangan untuk saling memahami,
dan menentukan apakah mereka saling suai sebelum memaentapkan ikatan resmi.
2. Kohabitasi dipandang sebagai penggant perkawinan, bagi laki-perempuan yang tidak memandang
penting ikatan resmi. Kohabitasi ini meningkat sejalan dengan banyaknya perceraian, sehingga
disimpulkan duda atau janda memilih kumpul kebo alih-alih kawin lagi, sebagai sarana membanguin
hubungan intim sesudah perkawinannya gagal. Bagi kelompok ini, kohabitasi diterima sebagai
perkawinan dalam konteks aktivitsa keluarga seperti mempunyai anak.
3. Bagi pasangan yang tua, perkawinan berarti mengurangi tunjangan keamanan sosial (Social security,
diberikan kepada masing-masing orang – kalau suami isteri hanya diberi satu tunjangan). Kohabitasi
menjadi sekedar mengakali peraturan.
Jumlah kohabitasi yang semakin banyak membuat stigma terhadap gaya hidup ini menjadi pudar.
Banyak pekerja yang mempunyai “partner domestik,” oleh penguasa daerah itu dianggap sebagai
perkaeinan dengan keuntunghan dan haknya, tetapi masih ada pengadilan yang memperlakukan
mereka berbeda dengan pasangan kawin. Bisa saja, pelaku kumpul kebo itu membuat perjanjian resmi
mengenai apa tanggung jawab dari pasangan itu kalau terjadi perceraian (dalam perkawinan resmi
perjanjian berlaku otomatis). Jadi kohabitasi menjadi sama denganperkawinan, kecuali nilai sakralreligius yang dihilangkan.
4). Orang Tua Tunggal (Single Parenthood); Fenomena orang tua tunggal di Amerika cukup besar. 28%
keluarga dengan anak dibawah usia 18 tahun hanya mempunyai satu orang tua, umumnya ibu.
Sepertiga anak hidup dengan satu orang tua atau tanpa orang tua, dan separoanak pernah hidup
dengan orang tua tunggal. Menjadi orang tua tunggal ada yang karena pasangannya meningal, tetapi
umumnya karena perceraian, dan janda banayak yang memilih tidak kawin lagi. Banyaknya perceraian
dan orang tua tunggal mencemaskan orang menyakini nilai-nilai perkawinan merupakan konteks yang
paling sempurna untuk membesarkan anak. Nilai-nilai itu menjadi terancam.
Pendapat bahwa anak yang diasuh oran tua tunggal mengidap lebih banyak masalah dibanding yang
diasuh ayah-ibunya, dianggap sebagai kritik bahwa ibu tidak mampu menjadi orang tua tunggal bagi
anaknya, dan orang tua tidak seharusnya bercerai. Kkritik itu diinterpretasi sebagai membatasi
perempuan memilih gaya hidupnya sendiri,sesuatunyang tidak populer dalam era persamaan gender.

Ada penelitiana yang menyimpulkan anak yang diasuh orang tua tunggal mengidap dampak yang sama
dengan anak yang orang tuanya bercerai. Namun tidak seemuanya negatif karena banyak faktor yang
mempengaruhi perkembangan anak. Ada tiga faktor yang menjadi ciri kesulitan anak yang diasuh orng
tua tunggal; penghasilan kecil, bimbinga orang tua yang tidak tepat, dan kurang akses kesumber
komunitas. Jika tiga hal itu dapat diatasi orang tua tunggal, anaknya akan berkembang bagus.
Kesimpulan mengenai orang tua tunggal berdampak buruk bagi anaknya, bukan karena orang tua
tunggal itu buruk, tetapi lebih karena kejadian orang tua tunggal itu lebih banyak ada pada kelompok
miskin dan remaja yang belum memiliki persiapan hidup yang layak. Stress ekonomi menjadi massalah
umum bagi mereka sehingga mengesaankan orang tua tunggal itu kurang sehat untuk anak (dan juga
untuk ibunya).
Bentuk-bentuk keluarga seperti yang ada di Amerika serikat adalah khas masyarakat modern, sama
dengan yang terjadi di masyarakat metropolis di seluruh dunia. Pada masanya, bentuk itu mungkin
akan muncul di negeri yang sekarang masih belum berkembang menjadi negeri industi atau pasca
industri, ketika negeri itu berkembang menjadi negeri industrialisasi.

D. Kekerasan Dalam Rumahtangga
1). Kekerasan Partner Intim; Dari enam pasangan suami isteri, satu pasang mengalami kekerasan dari
pasangannya sekurang-kurangnya sekali dalam setahun. Kalau pengertian partner diperluas sampai
pasangan kumpul kebo, tunangan dan jadian, 25% perempuan dan 8% laki mengalami kekerasan dari
pasangannya. Jumlah ini mungin terlalu kecil karena banyak kekerasan yang tidak dilaporkan.
Kekerasan antar pasangan dapat dijelaskan dari beberapa sudut pandang;
1. Norma tradisional (di bebrapa subkultur) menerima dominasi laki ats perempuan. Hubungan seks
adalah persetujuan untuk melakukan kekerasan kepada pasangannya.
2. Kekerasan diakibatkan oleh kemiskinan; ada hubungan antara kemiskinan dengan seriusnya
kekerasan yang dilakukan pasangan. Stress ekonomi membuat laki (yang harus bertanggung jawab
terhadap kesejahteraan ekonomi keluarga) menjadi malu, kehilangan akal dan mudah melampiaskan
kemarahannya kepada situasi kerja, dilampiaskan kepada pasangannya.
3. Ketidak samaan gender; kekuasaan pengambilan keputusan yang terpusat pada suami, membuat
suami melakukan kekerasan 20 kali lebih banyak dibanding dengan keluarga yang kekuasaanya
dibagi relatif seimbang.
4. Ketidaak konsistenan antara prestsi laki dan perempuan. Resiko tinggi kekerasan pasangan adalah
kalau pekerjaan dan pendidikan suami lebih rendah dari isteri. Suami merasa terancam otoritasnya
dan mempertahankannya dengan melakukan kekerasan.
5. Kecemburuan; ketika isteri berhubungan sosial yang akrab (bukan hubungan seks) dengan orang
lain selain suaminya, bisa jadi kekrasan suaminya dia anggap sebagai ekspresi cinta (cemburu),
bukan kekerasan yang melanggar hukum.
2). Kekerasan Anak; 60% orang tua melakukan kekrasan kepada anaknya, dan penyiksaan yang serius
terjadi pada 12 dari 1000 anak usia dibawah 18 tahun. Penyiksaan itu menjadi penyebab utama trauma
dan kematian anak usia dibawah 4 tahun. Sama seperti kekerasan pada pasangan, ada korelasi antara
tingkat sosial ekonomi yang rendah dengan penyiksaan anak. Penelitian menunjukkan penyiksaan itu
terkonsentrasi terutama pada kelompok yang sangat miskin, khususnya penyiksaan yang ekstrim. Bagi
keluarga miskin, situasi tekanan ekonomi yang sangat kuat - menimbulkan percekcokan antar
pasangan, anak menjadi beban mundah menciptakan masalah bagi orang tuanya – terjadi penyiksaan
anak. Paling beresiko melakukan penyiksaan adalah orang tua yang msih muda usia, dan ibu miskin
yang menjadi orang tua tunggal. Tingkahlaku menyiksa anak mungkin ditiru dari pengalaman pribadi.

Ingatan bagaimana dia disiksa orang tuanya, membuat dia sekarang mempraktekkan model
“pendidikan” orang tuanya kepadanya.
3). Penyiksaan Orang Tua; Orang tua bisa mengalami penyiksaan fisik seperti anak/pasangan, atau
penyiksaan psikologis seperti cercaan-penghinaan-ancaman, dan pengabaian kebutuhan hidup seharihari. Penyiksaan orang tua timbul dari stress merawat orang tua yang dependen, atau kakek/nenek
yang fisik atau mentalnya cacat. Kekerasan itu mencerminkan kelemahan dari keluaga inti di era
modernisasi; tidak adanya jaringan dukungan ekstensif dan bantuan yang tersedia pada keluarga besar.
Ketika masyarakat membebani orang dengan tugas yang sulit, termasuk merawat anak dan atau oarng
tuanya yang tidak mampu, stress akan menggumpal sehingga terjadi kekerasan. Bisa juga terjadi,
kekerasan berlangsung pada orang tua yang sebenarnya kaya, dan anak yang merawatnya justru
tergantung kepada harta bapak-ibunya yang sudah lemah. Peraaan tidak mampu dari anak yang
merawsat oarn tuanya itu maujud dalam bentuk pemaksaan dan kekerasan.
Jadi, ketidak samaan distribusi kekuasaan dan ketidaksamaan distribusi sumber berperan penting
dalam menimbulkan kekerasan rumah tangga. Mereka yang tergantung (dependen) - anak atau orang
tua – beresiko mengalami penyiksan dari anggauta tempat bergantungnya. Mereka yang memiliki akses
ke sumber ekonomi dan sosial, dapatmemakai akses itu untuk menolak kekerasan. Mereka yang
perasa lemah dan tidak mempuntau kekuatan –seperti si miskin, ibu tunggal, atau pengasuh orang tua
yang tergantung kepada orang yanh g diasuhnya – mungkin akan memunculkan kekersan sebagai
resksi tehadap keadaannya.
E. Prospek Masa yang Akan Datang
1). Keluarga; Menurut kabanyakan akhli sosiologi, keluarga sebagai institusi sosial tetap akan lestari.
Fungsi keluarga tetap penting dalam masyarakat, dengan bentuk yang berubah. Akan ada bermacam
macam bentuk keluarga, atau kondisi pluralistic Familu; beberapa tipe keluarga (yang berbeda-beda)
muncul beredapingan, masing-masing memiliki daya tarik kepad orang tertentu. Akan ada konflik ketika
bentuk-bentuk keluaga “baru” menuntut pengakuan sumbangan terhadap nilai-nilai dan gaya hidup
mereka. Bisa terjadi bentuk baru yang kontrovesial, yang menyimpang (menurut penilaian kelompok
otoritas) dan menimbulkan masalah sosial yang serius.
2). Perceraian; Perceraian hanya dapat terjadi kalau ada perkawinan. Kalau ortang semakin tidak peduli
dengan perkawinan, angka perkawinan menurun – pasti akan diikuti dengan menurunnya angka cerai.
Pada masa yang akan datang perkawinan lebih dipandang sebagai kontrak/perjaninag dengan hak dan
kajiban masing-masing yang terlibat. Perceraian menjadi keniscayaan ketika satu atau kerua fihak
sudah tidak mau mengakui dan melaksanakan kontrak itu.
3). Kekerasan dalam rumah tangga; Pilihan untuk mempunya keluarga, mempunyai dan mengasuh anak
benar-benar sangat pribadi, sehingga posisi anak menadi sesuatu yang “istimewa” dalam keluarga.
Tidak ada anak yang lahir tak direncanakan atau tak dikehendaki. Kondisi ini dengan sendirinya
meminimalisir penyiksaan anak. Di sisi lain jumlah anak semakin sedikit, membuat perhatian
masuarakat terhadap kesejahteraan anak semakin kuat; hukum perlindungan anak sangat kuat yang
dilaksanakan oleh polisi khusus anak. Bahkan hukum itu sudah mulai kerasn pada akhir abad 20,
misalnya;
1. Memandang kekerasan rumahrtanga sebagai tingak kriminal
2. Menahan dan memperlakukan pelaku sama seperti penjahat.
3. Memproses semua keluhan kekerasan rumahtangga sebagai laporan kriminal
4. Membuat unit kepolisian yang khusus menangani kekerasan keluarga
5. Mencegah korban menarik/menutup masalahnya sampai putusan hakim.

4). Anak dalam keluarga; Kesadaran akan hak asasi manusia membuat kehidupan seks menjadi semakin
bebas diantara remaja, kumpul kebo menjadi marak diikuti dengan kelahiran anak yang tidak
dikehendaki. Namun kesaradaran hak asasi itu akan membuat orang sadar tentang hak anak, dan
kuajiban orang tua untuk menyantuninya. Pada masanya anak akan menjadi kado dalam masyarakat,
dan menjadi orang tua yang beranak adalah “pahlawan,” karena oran tua itu memilih untuk
mengorbankan privasinya dengan punya anak. Masyarakat dan pemerintah akan memberi subsidi
kepada anak-anak. Namun untuk sampai ke-utopia mengenai anak itu, berbagai kontroversi akan
muncul, seperti sosialisasi kontrasepsi, pergeseran norma dan agama/keyakinan, pengguguran
kehamilan, dan sebagainya.