Bedanya Kerja sebagai Jurnalis di Suratk (1)

BEDANYA KERJA SEBAGAI JURNALIS DI
SURATKABAR DAN STASIUN TELEVISI
Oleh Satrio Arismunandar

Apa sih bedanya, kerja sebagai jurnalis di media suratkabar dan di stasiun televisi
siaran? Dalam prinsip jurnalistik yang diterapkan, secara garis besar sebenarnya tidak ada
perbedaan. Kriteria layak berita di suratkabar dan di media televisi, relatif juga sama.
Hanya, di media televisi ada penekanan lebih besar pada aspek visual (gambar). Hal yang
bisa dipahami, karena televisi adalah media audio-visual.
Saya pernah bekerja selama tujuh tahun di Harian Kompas (1988-1995), dan
sekarang bekerja di Trans TV (sejak Februari 2002). Berdasarkan pengalaman pribadi,
perbedaan yang saya rasakan -- sebagai jurnalis di dua jenis media itu -- justru pada
aspek lain. Yaitu, lebih pada kejelasan porsi tanggung jawab dan peran kinerja, yang bisa
berpengaruh langsung pada kemajuan atau kemunduran perusahaan media tempat saya
bekerja. Juga, pada perbedaan peluang untuk “tampil” berkarya secara individual.
Di media cetak, seperti di harian Kompas, saya bisa menulis berita atau artikel
dengan byline, mencantumkan nama sendiri di tulisan tersebut. Meskipun setiap tulisan
yang dimuat itu sudah melalui proses penyuntingan oleh orang lain, baik dari segi bahasa
ataupun content, saya tetap bisa mengklaim bahwa itu adalah tulisan karya “saya”. Bisa
dibilang, 90 persen dari materi yang dimuat itu adalah karya saya.
Di media televisi, tampil secara individual itu sulit dilakukan, karena semua paket

berita ataupun tayangan benar-benar dikerjakan secara kolektif. Untuk liputan berita pun
minimal sudah harus dikerjakan berpasangan, oleh seorang reporter dengan seorang
camera person. Walaupun, bisa juga dilakukan seorang diri sebagai VJ (video journalist).
Namun, menjadi VJ jelas merupakan tugas berat yang merepotkan. Peran VJ ini
biasanya lebih banyak dilakukan untuk menyiasati kekurangan tenaga camera person.
Jadi, reporter diharapkan juga bisa memegang kamera.
Belum lagi menyebut, hasil liputan ini harus diedit oleh seorang editor, yang
ditugasi khusus untuk itu. Peran seorang editor sangat penting, karena hasil liputan yang
bagus pun bisa jadi berantakan, jika dikerjakan oleh editor yang buruk.
1

Perbedaan yang lain, di media suratkabar, kemajuan (baca: peningkatan tiras atau
sirkulasi, serta pemasukan iklan) suratkabar itu tidak mudah diatribusikan pada peran
individu atau rubrik tertentu. Apakah penjualan Kompas meningkat karena pembaca
menggemari tulisan kolom Budiarto Shambazy, yang kritis dan agak kocak? Atau karena
menikmati tulisan Maria Hartiningsih, yang sensitif dalam mengangkat nasib kaum
tertindas? Atau karena isi tajuk rencananya, yang mencerahkan? Atau oleh artikel-artikel
opini yang dimuat? Atau oleh rubrik olahraga di halaman dalam?
Kita bisa menduga-duga, tetapi sulit untuk menjawab dengan pasti. Oke, tentu
saja bisa dilakukan survey pembaca, untuk mencari jawabannya. Tetapi, kalau mau jujur,

seberapa sering sih sebuah suratkabar mengadakan survey pembaca?
Berbeda dengan data rating dan share stasiun TV, yang dipasok oleh AGB
Nielsen setiap minggu (bahkan setiap hari), pengelola suratkabar tak mungkin
mengadakan survey setiap minggu atau setiap bulan. Jika setiap tahun diadakan satu kali
survey saja, sudah bagus! Jadi, kecuali karena perilaku jurnalis yang jelas terlihat
(misalnya, sering membolos, atau sering terlambat menyerahkan tulisan), agak sulit untuk
menilai kinerja seorang jurnalis di suratkabar.
Ini sangat berbeda dengan di media televisi, yang setiap minggu (bahkan kini
setiap hari) ada data rating dan share setiap program, yang dipasok oleh lembaga
pemeringkat AGB Nielsen. Setiap minggu, jelas terlihat, program mana yang share dan
ratingnya ambruk, dan program mana pula yang meningkat.
Jadi, setiap producer yang menangani program TV tertentu, tidak bisa
bersembunyi atau “lepas tangan.” Jika rating dan share sebuah stasiun TV merosot
drastis, dengan melihat angka rating dan share setiap programnya, dengan mudah bisa
ditunjuk producer-producer mana saja yang harus bertanggung jawab atas kemerosotan
itu. Ini tentu ada untung-ruginya.
Untungnya, kinerja setiap producer atau jurnalis di media TV sangat transparan.
Setiap orang bisa menilai, karena ada ukuran kinerja yang jelas, yaitu rating dan share
setiap program. Ini memberi tuntutan pada setiap producer dan crew program yang
dipimpinnya, untuk mempertahankan atau meningkatkan kinerja.

Walaupun, bisa saja didebat bahwa angka rating dan share itu tidak identik
dengan kualitas program. Namun, dalam iklim industri media televisi sekarang, bottom
line-nya memang bukan pada kualitas program, tetapi pada keuntungan dari pemasukan
iklan. Suka atau tidak, itu kenyataannya. ***
2

Jakarta, Mei 2008

Biodata Penulis:
* Satrio Arismunandar adalah anggota-pendiri Aliansi Jurnalis Independen atau AJI (1994), Sekjen AJI
(1995-97), anggota-pendiri Yayasan Jurnalis Independen (2000), dan menjadi DPP Serikat Buruh Sejahtera
Indonesia (SBSI) 1993-95. Pernah menjadi jurnalis Harian Pelita (1986-88), Kompas (1988-1995), Majalah
D&R (1997-2000), Harian Media Indonesia (2000-Maret 2001), Produser Eksekutif Divisi News Trans TV
(Februari 2002-Juli 2012), dan Redaktur Senior Majalah Aktual – www.aktual.co (sejak Juli 2013).
Alumnus Program S2 Pengkajian Ketahanan Nasional UI ini sempat jadi pengurus pusat AIPI (Asosiasi
Ilmu Politik Indonesia) 2002-2011.

Kontak Satrio Arismunandar:
E-mail: satrioarismunandar@yahoo.com; arismunandar.satrio@gmail.com
Blog pribadi: http://satrioarismunandar6.blogspot.com

Mobile: 081286299061

3