Pemanfaatan komersial BCB Gedung sebagai

Pemanfaatan komersial BCB Gedung sebagai bagian dari konservasi dan edukasi
Bangunan cagar budaya
Jika kita melawati kawasan kota tua dari sebuah wilayah, maka kita akan mendapati banyak gedung tua
baik itu peninggalan Kolonial Belanda, maupun setelah nya yang masuk dalam kategori Bangunan Cagar
Budaya. Sebuah konsekuensi dari adanya urban sprawl dimana kawasan kota yang awal dibangun alias
kota tua, kemudian sedikit demi sedikit berkembang ke daerah sekitarnya dikarenakan daya tampung
yang semakin terbatas dan tidak dapat mengakomodir penduduk yang tinggal di dalam nya.
Akhirnya, bagian kota ini lambat laun di tinggalkan, dan sebagai akibatnya, terjadi konversi penggunaan
tata ruang dari yang sebelumnya adalah residensial, menjadi kawasan komersial. Kawasan ini contohnya
adalah kawasan kota tua di Jakarta. Seperti kita ketahui, bahwa dahulu kawasan kota tua masuk ke
dalam benteng Batavia. Dan kemudian dikarenakan sudah tidak mampu menampung penduduk,
dibangunlah kota baru atau niuew Batavia yang sekarang merupakan kawasan lapangan banteng, monas
dan sebagainya. Kawasan ini pun lama kelamaan tidak dapat menampung penduduknya, dan kemudian
banyak terjadi pengembangan selanjutnya seperti niuew gondangdia atau lebih dikenal dengan kawasan
menteng. Dan kemudian hari muncul kebayoran baru, dan terus berkembang sesuai dengan
perkembangan kota Jakarta itu sendiri.
Seiring dengan berjalan waktu itu pula lah, gedung peninggalan dari masa tersebut masuk ke dalam
kategori benda cagar budaya atau dikenal dengan Bangunan cagar budaya. Cagar budaya adalah warisan
budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar
Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan
keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama,

dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. (UU No.11 tahun 2010, pasal 1 ayat 1).
Bangunan yang memiliki ciri khas tersebut seperti misalnya Toko Merah di kawasan kota tua yang
memiliki langgam bangunan era colonial seperti hal nya eks kantor arsip nasional di kawasan gajah mada
yang juga merupakan bekas rumah kediaman gubernur jenderal Reinier de Klerk. Sedangkan kawasan
niuew Batavia hingga niuew gondangdia, dapat kita temukan bangunan dengan langgam art deco, sesuai
dengan masa dibangun nya bangunan tersebut antara masa perang dunia pertama.
Pemanfaatan
kepemilikan Bangunan cagar budaya tidak lepas dari awal dibangun nya bangunan tersebut. Ada yang
dimiliki oleh perusahaan, PTPN misalnya karena pada awalnya bangunan tersebut merupakan milik
perusahaan dagang di jaman hindia belanda, dan ketika perusahaan belanda tersebut di nasionalisasi,
maka perusahaan yang ada sekarang lah yang memiliki Bangunan tersebut. Kemudian ada juga
kepemilikan oleh pribadi. Kepemilikan ini didapatkan secara waris secara turun temurun. Yang ketiga
adalah kepemilikan oleh pemerintah. Biasanya, bangunan yang dimiliki oleh pemerintah, berasal dari
warisan pemerintahan orde hindia belanda, atau milik pribadi yang kemudian di hibahkan kepada
Negara,seperti misalnya rumah kediaman laksamana maeda di daerah menteng.

Kepemilikan ini sedikit banyak terkait dengan pemanfaatan dari Bangunan cagar budaya tersebut. Untuk
yang kepemilikan secara pribadi biasanya masih berupa tempat tinggal atau tempat usaha seperti
terlihat di kawasan menteng. Sedangkan yang di miliki oleh perusahaan, biasa nya masih menjadi kantor
cabang dari perusahaan yang bersangkutan seperti dapat terlihat dari beberapa bangunan cagar budaya

di kawasan harmoni yang menjadi kantor dari beberapa BUMN.
Untuk Bangunan cagar budaya yang kepemilikan berada di tangan pemerintah, biasanya menjadi kantor
pemerintahan seperti yang terlihat pada istana Negara, gedung Bappenas, dan juga kantor Komisi
Pemilihan Umum Pusat. Akan tetapi sangat banyak yang menjadi museum, seperti museum perumusan
naskah proklamasi yang merupakan bekas kediaman laksamana maeda, museum sumpah pemuda,
museum kebangkitan bangsa yang merupakan eks STOVIA dsb.
BCB dan nasib di ‘museum’ kan
Ketika bicara mengenai museum di Indonesia, konotasi kita masih berada pada kondisi bangunan tua,
dengan koleksi apa adanya (tidak update), pengelolaan seadanya, sepi pengunjung, dan kurang menarik
untuk dijadikan objek wisata. Ini bertolak belakang dengan konotasi museum di luar negeri, perancis
misalnya yang menjadikan Musse de louvre sebagai salah satu atraksi utama selain menara Eiffel.
Ketika bangunan cagar budaya dijadikan museum, maka itulah yang terjadi. Bangunan tersebut menjadi
sepi (hanya ramai pada saat hari peringatan yang terkait dengan BCB tersebut,misal museum naskah
proklamasi ramai pada 17 Agustus), kurang terawat (karena dana perawatan minim dari pemerintah),
kurang menarik (terkesan angker karena bangunan tua) dan konotasi negative lain nya. Ini sangat
bertolak belakang dengan BCB yang difungsikan selain museum. BCB yang difungsikan sebagai tempat
makan/kafe misalnya, terkesan elegan (bangunan tua ditambah efek lighting yang menarik), seperti
penggunaan eks gudang VOC sebagai kafe Galangan atau pemanfaatan eks kantor pusat MASJUMI
sebagai kafe di kawasan menteng. Atau BCB yang dimanfaatkan sebagai tempat ibadah (konversi dari
yang sebelumnya kantor, menjadi masjib. Bukan dari awal di destinasi sebagai Masjid) seperti Masjid Cut

Mutia yang memberikan kesan khusyu pada jamaah nya.
Padahal kalau kita mau jujur melihat, BCB yang ada di Jakarta khususnya, memiliki berbagai keunggual.
Yang pertama adalah lokasinya yang prime, mudah diakses dari berbagai tempat, lokasi incaran para
developer untuk menjalankan bisnis nya. Museum perumusan naskah proklamasi misalnya, berada di
kawasan utama Menteng. Museum kebangkitan bangsa, berada di lokasi utama kawasan Senen, pun
demikian halnya dengan beberapa BCB lain yang lokasi nya sangat mudah untuk di jangkau.
Keunggulan kedua adalah, banyak BCB museum ini memiliki bangunan yang luas, dengan banyak
ruangan. Museum kebangkitan bangsa misalnya, dahulu merupakan STOVIA yang tentu saja memiliki
banyak ruang kelas di dalam nya.
Keunggulan ketiga adalah selain bangunan yang luas, juga ditunjang dengan lokasi parkir yang memadai.
Walaupun lokasi nya di tengah kota, akan tetapi halaman dari BCB ini biasanya juga luas dan dapat
menampung banyak kendaraan.

‘Komersialisasi’ BCB
Dengan melihat pada berbagai keunggulan tersebut, ada baiknya mulai dipikirkan untuk meng- hybridkan penggunaan BCB selain untuk museum semata. Paling tidak ada beberapa yang dapat di lakukan
untuk BCB ini.
Yang pertama adalah working at the museum. ini dengan menjadikan museum sebagai office. Kelebihan
space dapat disewakan untuk dijadikan sebagai kantor dari berbagai perusahaan, atau instansi
pemerintah.
Yang kedua adalah meeting at the museum. museum dapat dijadikan sebagai tempat rapat, pertemuan,

dan kegiatan MICE dari perusahaan maupun instansi pemerintah.
Yang ketiga adalah recreation at the museum. museum tentu saja dapat dijadikan sarana rekreasi yang
menarik untuk keluarga sesuai dengan peruntukan awalnya.
Keuntungan
Keuntungan yang didapat dari meng-hybrid-kan penggunaan BCB ini antara lain adalah dapat menarik
lebih banyak orang untuk datang ke museum dan belajar tentang berbagai hal sesuai dengan tujuan awal
museum didirikan. Mungkin tujuan utama orang datang ke museum tersebut bukan untuk melihat
koleksi yang tersedia, akan tetapi kehadiran orang – orang tersebut ke museum, apapun tujuan nya,
memudahkan penyampaian informasi tentang museum sehingga awareness mereka terhadap koleski
museum semakin meningkat.
Yang kedua tentu saja meningkatkan pendapatan dari museum yang bersangkutan yang pada akhirnya
akan dapat meningkatkan anggaran perawatan dan bahkan penambahan koleksi dari museum yang
bersakutan.
Term and condition
Jika ide tersebut diatas dapat direalisasikan, maka ada beberapa ketentuan tentu saja yang harus
disesuaikan. Yang pertama adalah jika memang BCB yang dimaksud pada awalnya di tujukan sebagai
sebuah museum, maka koleks museum tersebut harus lah yang mendapatkan perhatian utama dari
pengelola. Jangan karena meng-hybrid-kan fungsi menjadi lebih menguntungka, koleksi museum
menjadi ter abaikan.
Kedua adalah pengaturan PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak) yang harus diperjelas. Jika saat ini

PNBP hanya berasal dari tiket masuk, itu pun jumlahya tidak seberapa, jika sudah berfungsi sebagai
tempat meeting misalnya, maka akan ada ketentuan mengenai tariff sesuai dengan harga pasar. Ini yang
harus diatur dengan professional dikarenakan potensi nya yang lumayan besar.
Ketiga adalah isu pengelolan. Harus ada aturan khusus mengenai pengelola BCB yang sudah di hybridkan penggunaan nya. Ada yang mengelola koleksi museum secara professional, ada yang mengelola area
komersial juga dengan professional.

Ke empat adalah masalah pengamanan. Akan semakin banyak orang yang datang ke museum
memerlukan keamanan yang semakin ketat.
Kelima adalah pengawasan. Hal ini adalah ranah pemerintah untuk melakukan pengawasan terhadap
operasionalisasi dari BCB ini baik dalam hal pemanfaatan untuk museum, maupun untuk ranah
komersial.
Kesimpulan
Dengan melihat pada keunggulan nya, maka ‘komersialisasi’ BCB yang saat ini difungsikan sebagai
museum sangat mungkin untuk dilakukan. Hanya saja yang menjadi catatan utama adalah bagaimana
raison d’etre dari sebuah museum lebih di kedepankan. Fungsi edukasi dari museum harus bisa di
akomodasi oleh tindakan komersialiasi yang menghadirkan banyak pengunjung, sekaligus mendatangkan
keuntungan finansial yang berimbas pada perbaikan anggaran perawatan dan juga penambahan koleksi
serta kegiatan penunjang museum lainnya.