Tubuh Perempuan Dalam Cengkraman Globali

Tubuh Perempuan dalam Cengkraman Globalisasi

Pengantar
Hasil dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa globalisasi hari ini tidak hanya
menyentuh ke dalam pemikiran masyarakat dunia saja melainkan merengkuh tubuh individu
khususnya perempuan. Perempuan yang diidentikkan dengan keindahan, kecantikan, dan
kemolekan kini menjadi santapan dari berbagai produk dan wacana tentang kecantikan yang
marak muncuk di media-media massa. Tangan globalisasi semakin erat mencengkram tubuh
perempuan dengan berbagai wacana yang mendorong kaum hawa untuk mengonsumsi segala
sesuatu yang menyangkut kecantikan, kelangsingan dan kesehatan tubuhnya.
Salah satu artikel yang mengangkat persoalan medikalisasi tubuh perempuan
karangan Anna Arroba (2001) mengatakan bahwa sistem patriarki secara efektif didasarkan
pada kontrol dan perampasan perempuan, terutama tubuh kami. Kontrol gerakan dan sikap
kami, seksualitas dan kesuburan, siklus hidup kami, kehamilan dan kelahiran, menopause dan
penuaan kami, kontrol kesehatan secara keseluruhan berada di tangan "ahli." Artinya era yang
sekarang ini menandakan bahwa perempuan seakan dibentuk oleh berbagai wacana terlebih
wacana mengenai tubuh dan perempuan yang pada hakikatnya merupakan makhluk yang
umumnya sangat mengandalkan tubuhnya telah menjadi “pasar” yang potensial.
Beberapa wacana mengenai kesehatan tubuh telah banyak ditampilkan pada mediamedia massa, mulai dari pola hidup sehat secara alami atau herbal hingga operasi
pembentukan tubuh agar ideal. Hal ikhwal yang lebih menakjubkan lagi hari ini telah banyak
berkembang berbagai penyakit yang berhubungan dengan alat reproduksi dan tubuh

perempuan yan diekspos besar-besaran oleh media massa, seperti kanker mulut rahim, kanker
payudara, miom, dan lain sebagainya yang pada zaman dahulu tidak pernah terdengar.
Bayangkan dahulunya kaum Ibu hanya mengerti soal penyakit-penyakit biasa seperti demam,
batuk atau yang paling gawat seperti tipus, jantung dan lain sebagainya hari ini perempuan
dihadapi dengan penyakit “bias gender” yang hanya menyerang tubuhnya saja.
Tidak hanya sampai disitu, beredarnya beberapa penyakit tersebut diiringi pula
dengan berbagai pola pengobatan ala barat yang dianggap paling manjur dan berkhasiat.
Perlu disadari bahwa perempuan kini seperti berada dihadapan berbagai etalase impor yang
besar dengan berbagai pilihan-pilihan yang sama baik dan bagusnya, dan ini bukan sekedar
1 | Tu b u h P e r e m p u a n d a l a m C e n g k r a m a n G l o b a l i s a s i

wacana budaya popular namun telah membudaya. Berbagai propaganda menunjukkan bahwa
tubuh dan kesehatan merupakan bagian terpenting bagi setiap perempuan, diet, langsing,
sehat, olahraga, operasi plastik, bakar lemak, fitness dan lain sebagainya merupakan bagian
dari pembentukan image perempuan masa kini yang penuh dengan kesempurnaan.
Tubuh adalah etalase, dimana perempuan selalu ingin memamerkan setiap lekuk
tubuhnya yang indah menandakan status sosial yang tinggi, persepsi tersebut telah berhasil
dibangun oleh globalisasi bahkan sejak era dimana perempuan tidak pernah menyadarinya
dan tiba-tiba telah masuk begitu saja kedalamnya.
Media Sebagai Pengantar Ideologi Kecantikan

Ideologi pada umumnya merupakan ide atau gagasan atau cara pandang yang
dipercayai dan diyakini oleh seseorang dalam tataran pemikiran maupun perbuatannya.
Misalnya ideologi kebangsaan, ideologi organisasi dan lain sebagainya. Konsep ideologi
yang selama ini beredar sebagai pemahaman juga muncul pada pembentukan wacana popular
culture, walaupun sedikit berbeda. Pada wacana pop culture, John Storey (2004:4 dalam
Aprilia, 2005) dalam bukunya yang berjudul Teori Budaya dan Budaya Pop Memetakan
Lanskap Konseptual Cultural Studies, menuliskan ada lima makna konsep ideologi. Makna
yang dibahas hanya yang terkait dengan budaya pop, yaitu
1. ideologi dapat mengacu pada suatu pelembagaan gagasan-gagasan sistematis yang
diartikulasikan oleh sekelompok masyarakat tertentu.
2. definisi ideologi yang menyiratkan adanya penopengan, penyimpangan, atau
penyembunyian realitas tertentu. Di sini, ideologi digunakan untuk menunjukkan
bagaimana teks-teks dan praktik-praktik budaya tertentu menghadirkan pelbagai citra
tentang realitas yang sudah didistorsi atau diselewengkan. Teks-teks dan praktikpraktik itulah yang kemudian memproduksi apa yang disebut sebagai “kesadaran
palsu”
3. Penggunaan ideologi ini dimaksudkan untuk menarik perhatian pada cara-cara yang
selalu digunakan teks (media massa) untuk mempresentasikan citra tertentu tentang
dunia
4. Althusser melihat ideologi bukan hanya sebagai pelembagaan ide-ide, tetapi juga
sebagai suatu praktik material, artinya penerapan ideologi terletak pada kehidupan

sehari-hari.
5. Barthes menyatakan bahwa ideologi berfungsi terutama pada level konotasi, makna
sekunder, makna yang seringkali tidak disadari, yang ditampilkan oleh teks dan
praktik, atau yang bisa ditampilkan oleh apapun
2 | Tu b u h P e r e m p u a n d a l a m C e n g k r a m a n G l o b a l i s a s i

Dari berbagai definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa ideologi dari pendekatan opo culture
merupakan pelembagaan kesadaran palsu yang diterapkan secara terus-menerus pada
kehidupan sehari-hari oleh masyarakat.
Kesadaran palsu ini dilanggengkan dengan adanya pencitraan yang dilakukan oleh media
massa. Misalnya kesadaran palsu akan kecantikan melalui iklan-iklan dan tayangan programprogram televisi yang menggambarkan bahwa wanita cantik itu langsing, berkulit putih,
berwajah mulus dan lain-lain, artinya kecantikan yang digambarkan tersebut bukanlah
realitas melainkan kesemuan yang diciptakan dan terus menghegemoni.
Mengutip salah satu bentuk pencitraan dari beberapa iklan yang mencitrakan kecantikan
“Kulit Santi tidak seputih Sinta” pada iklan tersebut Santi digambarkan minder dengan kulit
hitamnya dan Sinta memiliki pasangan yang tampan. Penggambaran tersebut mencerminkan
bahwa wanita cantik adalah yang berkulit putih dan lelaki normal akan menyukai kulit
perempuan yang putih, pada kenyataannya ini hanya merupakan proses kreatif dari sebuah
produk pemutih kulit yang ingin memasarkan produknya. Realitanya hinga hari ini
perempuan-perempuan senantiasa membeli produk kecantikan yang dapat memutihkan

kulitnya.
Begitu juga dengan obsesi kelangsingan yang terus menerus dibangun pada kaum hawa.
Penggambaran perempuan yang bertubuh gemuk dinyatakan sebagai tubh yang tidak cantik,
atau jika diiklankan dari segi kesehatan merupakan tubuh yang tidak sehat karena beresiko
sakit kronis seperti jantung, diabetes dan lain sebagainya. Setelahnya akan muncul produkproduk kesehatan dan kecantikan yang akan membantu seseorang untuk kurus dan langsing.
Kian hari, Perempuan semakin terjebak pada konsumerisme yang berlebih. Kapitalisme
seakan sangat memanjakan perempuan sebagai seorang ratu yang mampu mengubah dirinya
lewat produk-produk kecantikan. Iklan pun demikian, kian hari kian gencar untuk
menghegemoni perempuan agar bersedia untuk membeli dan menggunakan produknya.
Walau tanpa disadari, perempuan telah dieksploitasi oleh kapitalisme. Kapitalisme
mengeksploitasi perempuan, dan perempuan mengeksploitasi diri untuk mencapai
“kecantikan” yang sempurna dengan menggunakan rasionalitas instrumental, yaitu cara
berpikir yang hanya memikirkan tujuan tanpa menimbang dan menilai cara yang digunakan.
Dan pada akhirnya perempuan terjebak pada ketergantungan untuk mengeksploitasi diri lewat
pemakaian produk-produk kecantikan. bahwa kata “cantik” yang disebarkan oleh kapitalisme
lewat produk kecantikan telah memanipulasi banyak pikiran perempuan tentang diri mereka.
Mereka berupaya memenuhi kriteria “cantik” yang ditayangkan oleh media, lewat
3 | Tu b u h P e r e m p u a n d a l a m C e n g k r a m a n G l o b a l i s a s i

penggunaan produk kecantikan. Upaya mempercantik diri, jika dilihat memang merupakan

salah satu bentuk nalar instrumental. Di mana eksploitasi atas diri perempuan dilakukan
untuk mencapai kecantikan. Dan pada akhirnya tidak sedikit nalar instrumental telah
membawa masalah baru bagi perempuan. Masalah yang muncul dari upaya perempuan untuk
mempercantik diri, misalnya anorexia akibat diet yang ketat untuk melangsingkan tubuh,
kanker kulit akibat penggunaan kosmetik yang tidak aman bagi kulit, kerusakan jaringan kulit
akibat suntikan silikon cair, bahkan kematian akibat operasi bagian tubuh agar menjadi lebih
proposional dan menarik.
Barbie Culture : Icon Kecantikan Wanita
Tidak hanya sampai disitu, agen globalisasi yang juga mempengaruhi ideology
kecantikan dikalangan perempuan adalah boneka Barbie. Mary F. Rogers (2009) dalam
bukunya yang berjudul Barbie Culture : Ikon Budaya Konsumerisme mengatakan bahwa
penciptaan ikon Barbie bukan sekedar mainan anak-anak melainkan pengkultusan kecantikan
wanita yang mandiri, muda dan produktif. Globalisasi sungguh luar biasa hingga menebar
hegemoni mulai dari permainan anak-anak perempuan yang tentu saja tidak disadari oleh
sebagian besar orang tua bahwa kesadaran palsu telah dibangun dalam diri anak perempuan
mereka sejak usia dini dan disebuah ruangan kecil yang biasa disebut kamar tidur.
Belakangan ini sering tersiar kabar beberapa orang ingin menyamakan tubuhnya
dengan ikon perempuan cantik itu, beberapa kasus operasi plastik, implant payudara, operasi
pembesaran bokong dan lain sebagainya memang dipengaruhi oleh boneka berkelamin ini.
Bahkan tidak hanya perempuan kaum pria pun fitness mati-matian demi memiliki badan

sebagus Ken (kekasih Barbie).
Barbie bisa disebut sebagai miniatur dan refleksi dari kehidupan perempuan masa
kini. Barbie menancapkan stigma bahwa perempuan cantik haruslah berfisik tinggi, langsing,
berkulit cerah, dan berambut panjang-di luar dari perannya sebagai wanita karir. Barbie
menetapkan sebuah standar-baik disadari atau tidak-ukuran kecantikan seorang perempuan
yang berlaku bagi massa. Penggemar Barbie dipersatukan dalam lingkup fanatisme terhadap
sosok cantik yang sempurna, sementara itu standar kecantikan yang lekat dengan Barbie,
menjadi persoalan tersendiri bagi manusia di dunia nyata. Karena generasi Barbie tumbuh
dengan citra diri Barbie yang harus mereka penuhi. (Adriana Venny, 2000 dalam Fitriyarini,
2009).

4 | Tu b u h P e r e m p u a n d a l a m C e n g k r a m a n G l o b a l i s a s i

Tidak Hanya Cantik tetapi Harus Sehat
Perempuan mengkonsumsi antara 60% sampai 70% obat-obatan di seluruh dunia,
yang sebagian besar disebabkan kenyataan bahwa umumnya bertanggung jawab penuh untuk
sesuatu yang dinamakan dengan kontrasepsi. Perempuan lebih rentan terhadap intrik industri
farmasi, serta membuat perempuan menjadi kunci dari target pasar. Kombinasi ini telah
mengakibatkan berbagai bencana kesehatan selama 40 tahun terakhir atau lebih, setidaknya
begitu yang penulis baca pada artikel yang ditulis oleh Anna Arroba (2001) yang berjudul

The Medicalization of women's bodies in the era of globalization. Anna Arroba dalam tulisan
memaparkan bahwa perempuan terkadang menjadi korban atas budaya patriakat, perempuan
seakan harus dijaga sedemikian rupa melalui beberapa wacana, dieksplor hingga menjadi
pangsa pasar dari berbagai produk kecantikan dan obat-obatan, adalah menjadi tanda Tanya
besar mengapa harus perempuan? Begitu banyak ragam produk yang disegmentasikan kepada
perempuan.
Jawabannya adalah karena sebagian besar negara-negara dunia ketiga khususnya
memiliki sistem partiarkhi dimana perempuan umumnya berada pada posisi sub ordinat.
Tetapi lain hal ketika kapitalisme telah memasuki wilayah negara, posisi sub ordinat tersebut
seakan diberikan akses yang luas namun nyatanya menjadi lahan yang siap digarap.
Perempuan selalu menjadi santapan dari berbagai produk, misalnya alat kontrasepsi yang
beredar lebih banyak ragamnya kepada produk untuk perempuan. Lelaki cenderung enggan
bersakit-sakit karena pasektomi dibanding perempuan yang selalu harus memasang spiral
untuk perencanaan jumlah anak.
Anna Arroba juga memaparkan paradigma kesehatan mengarah pada Paradigma
"pengobatan adalah sains" menyembunyikan fakta bahwa obat adalah bisnis dan mendukung
asumsi bahwa:
1) Pengobatan Barat (khususnya dari AS) adalah yang terbaik;
2) Dokter tahu apa yang terbaik untuk "pasien;" dan
3) Penggunaan prosedur invasif dan teknologi yang mahal, yang tidak harus dipertanyakan.

Pada kenyataan seperti ini tentu tidak adanya akses perempuan dalam memperoleh
pengetahuan yang lebih mengenai apa yang dikonsumsi, melainkan selalu menuruti apa yang
dokter katakan. Keadaan yang cukup mengkhawatirkan jika tim medis sendiri juga bermainmain dengan kapitalisme dan mencari keuntungan semata.
Disisi lain, penggambaran media mengenai kesehatan juga tidak kalah gencarnya,
beberapa penelitian bahkan menganalisis iklan dan berita mengenai kesehatan khususnya
5 | Tu b u h P e r e m p u a n d a l a m C e n g k r a m a n G l o b a l i s a s i

yang menyangkut perempuan. Salah satunya I.M. Hendrarti dengan penelitiannya yang
berjudul Kesehatan Reproduksi Perempuan Dalam Media Cetak (2007), Ia memaparkan
bahwa terdapat beberapa kejanggalan, antara lain umumnya berita di media cetak selalu
menempatkan perempuan sebagai objek bukan subjek, pernyataan-pernyataan narasumber
juga banyak yang bias gender dan dipengaruhi oleh budaya patriarkhi, isu kesehatan
perempuan sesungguhnya bukan hanya menjadi kesalahan perempuan semata namun juga
ada kebijakan pemerintah yang tidak tepat tetapi media massa cenderung menyalahkan
perempuan dengan

menggunakan strategi blaming the victim, media massa juga selalu

menulis khususnya berita features


mengenai perempuan dengans angat melodramatic.

Hendrarti juga mendambahkan kritikannya kepada kultur masyarakat.
“Kultur masyarakat perlu pula dikritisi terutama yang menyangkut tentang
kesehatan reproduksi perempuan. Masyarakat patriarki sering menganggap alat
reproduksi perempuan sebagai hal penting tapi juga remeh karena mereka
cenderung melihatnya sebagai “mesin produksi, bukan sebagai bagian tubuh
manusia yang perlu diperhatikan. Berkaitan dengan hal ini adalah kultur media
cetak yang “patriarkis‟ karena menganggap isu kesehatan perempuan sebagai hal
yang tidak penting. Penempatan berita tentang kesehatan perempuan dikalahkan
oleh berita lain sehingga tidak pernah berada di halaman pertama atau jarang
menjadi headline.”
Demikian penggambaran penelitian mengenai bagaimana media massa menyoroti
tentang isu kesehatan perempuan. Penanaman ideologi sedemikian rapinya sehingga
terkadang perempuan berada diposisi yang tidak dapat berbuat apa-apa kecuali melahap
apapun yang diberikan kepadanya. Bahkan keharusan untuk cantik dan sehat juga merupakan
kesemuan yang diciptakan agar kapitalis obat dan kosmetik meraih keuntungan yang tinggi.
Mengubah Cara Pandang
Perempuan memang harus diberikan banyak pengetahuan mengenai bagaimana
seharusnya Ia memilih yang terbaik ketika mengonsumsi terutama media. Media massa sarat

akan pencitraan dan realitas semu yang siap memberikan perempuan kesadaran palsu
mengenai tubuh mereka sendiri. Penanaman ideologi melalui hegemoni iklan dan
pemberitaan akan menambah daftar panjang pengeksploitasian tubuh perempuan, bukannya
dalam rangka pembentukan citra di media tetapi pada tubuh khalayak perempuan.
Kenyataannya perempuan sering dianggap sebagai khalayak sebagai konsumen sekaligus

6 | Tu b u h P e r e m p u a n d a l a m C e n g k r a m a n G l o b a l i s a s i

pasar yang akan mengonsumsi apapun bahkan tanpa batas karena tidak ada rasa puas
didalamnya.
Konstruksi realitas yang dilakukan media juga tidak bisa lepas dari pengaruh budaya
populer, yang mengedepankan gaya hidup. Artinya jika perempuan ingin memiliki hak
sepenuhnya terhadap tubuhnya, harus independen dalam pemikiran, media bukanlah satusatunya sarana informasi begitu juga keterikatan atau tingkat kepercayaan yang tinggi
terhadap tim medis menjadikan perempuan tidak mampu menganalisis sendiri bahkan
terhadap apa yang Ia butuhkan dalam penyembuhan.
Nobody is perfect. Mungkin itu adalah kata-kata yang klise, tapi itu memang
kenyataan. Tidak ada manusia yang sempurna. Apa yang ditampilkan di media massa tentang
wanita “cantik” yang telah menjadi standar ukuran seorang perempuan mengakibatkan suatu
histeria massa dari para wanita untuk berusaha melakukan segala cara agar mereka bisa
disebut “cantik”. Padahal para wanita yang ditampilkan dalam media massa terutama iklan

adalah modelmodel yang telah direkayasa, sehingga mereka merepresentasikan citra “cantik”
yang sesuai dengan harapan media massa.
Ekspansi pasar dan media massa tidak bisa dilepaskan dari arus konsumerisme,
karena media massa (terutama iklan ditelevisi) adalah perpanjangan tangan pasar untuk
memperlaris produk industri dalam bentuk pencitraan yang bersumber pada “mode of
production”. Sehingga melalui proses pemaknaan masyarakat terpengaruh oleh citra buatan
pasar dan iklan yang meningkatkan kemauan mereka untuk berprilaku konsumtif. Disinilah
dimulai peran pengaburan identitas oleh iklan sebagai media pendukung konsumerisme,
sehingga mereka yang mengidentikkan diri sebagai Manusia modern, tidak lagi menjadi diri
sendiri dalam realitas tapi tak lebih “Manusia Robot” peniru tanpa identitas asli, prinsip hidup
tergadai atas nama modernitas.
Mengubah cara pandang adalah hal yang paling memungkinkan, tidak hanya cara
pandang perempuan saja namun semua lingkungan tempat si peempuan tersebut berada.
Baik itu kaum hawa maupun kaum adama yang selalu menuntut keindahan pandangan mata
terhadap tubuh perempuan. Makalah ini bukan bercerita mengenai bias gender dari sisi akses
dan kesempatan karena pengeksplorasian tubuh perempuan tidak hanya berada pada
perempuan yang ditindas tetapi kaum perempuan yang merasa dirinya telah berpendidikan
tinggi dan merdeka malah tidak menyadari tubuhnya lebih gampang di-eksplore media
melalui smartphone yang berada di genggamannya.

7 | Tu b u h P e r e m p u a n d a l a m C e n g k r a m a n G l o b a l i s a s i

Dominic Strianati mengatakan melalui bukunya yang berjudul Popular Culture
(2007) bahwa budaya massa adalah budaya yang dihasilkan melalui teknik-teknik industrial
produksi massa yang diharapkan menghasilkan keuntungan sebanyak-banyaknya, dengan
kata lain perempuan harus mampu melihat apakah Ia memenuhi kebutuhannya karena
memang butuh atau hanya mengikuti tren yang telah disebar melalui media massa demi
keuntungan yang banyak dari segelintir pemodal. Budaya massa akan terus berkembang
pesan, dan mengikis identitas yang dimiliki seseorang khususnya perempuan, jika memang
masih ingin memiliki identitas asli maka mulai detik ini gunakan prinsip “just be yourself”
serta meminta lingkungan untuk mengatakan “just the way you are”
Kajian Terkait dengan Perempuan dan Globalisasi
1. Iklan dan Budaya Popular: Pembentukan Identitas Ideologis Kecantikan
Perempuan oleh Iklan (Analisis Semiotika Iklan Cetak WRP Body Shape &
Prolene) oleh Dwi Ratna Aprilia
Penelitian ini menggambarkan tentang bagaimana media massa melalui iklan mencitrakan
perempuan yang cantik. Ia melakukan analisis semiotika terhadap iklan cetak WRP Body
Shape dan Prolene. Hasil yang Ia simpulkan bahwa iklan WRP Body Shop dan Prolene. Iklan
ini menampilkan suatu citra kecantikan yang mana citra itu telah didistorsi, yaitu perempuan
yang “cantik” adalah perempuan yang bertubuh langsing, berperut rata, wanita yang gemuk
tidak bisa disebut cantik. Modelmodel yang digunakan dalam iklan ini, memang mewakili
semua standar “cantik”, yaitu berkulit putih, langsing, dan berambut hitam panjang lurus.
Iklan dan budaya popular atau budaya massa saling berhubungan. Iklan merefleksikan
budaya popular dan iklan juga membuat (membentuk) budaya popular. Selain itu, dalam hal
kecantikan, iklan membantu “media massa” untuk melanggengkan ideologi kecantikan
kepada setiap perempuan agar dapat memasarkan produk dan meraup keuntungan dari
pemodal.
2. Kesehatan Reproduksi Perempuan Dalam Media Cetak oleh I.M. Hendrarti
Penelitian ini bercerita tentang penggambaran isu kesehatan perempuan yang ada di
media massa khususnya media massa cetak. Ia menemukan bahwa media massa telah
merekonstruksi beberapa realitas sosial secara berlebihan pada beberapa berita-berita
features. Menjadikan perempuan sebagai objek dalam pemebritaan, merekonstruksi bahwa
memang segala penyakit yang ada pada tubuh perempuan merupakan akibat kelalaian
8 | Tu b u h P e r e m p u a n d a l a m C e n g k r a m a n G l o b a l i s a s i

perempuan itu sendiri, pemberitaan juga selalu bias gender dan komentar para narasumber
yang terpengaruh pada budaya partiarkhi serta merta ditelaah dan dijadikan berita tanpa
mengonfirmasi dari berbagai sisi.
Ia menyimpulkan bahwa ternyata perempuan memang berada dalam scenario besar untuk
terus di-eksploitasi, dan media adalah salah satu alat pendukung untuk itu semua. Jika
memang media memberikan perhatian yang lebih terhadap isu kesehatan perempuan, berita
yang dinaikan bukanlah berita features yang cenderung melodramatic dan tidak terletak pada
headline melainkan pada rubric khusus dan pada halam belakang. Hendrarti menganggap
bahwa memang kebanyakan media massa merupakan media yang berpaham patriarkhi,
sehingga menganggap isu kesehatan perempuan tidak penting namun hegemoni harus terus
berjalan.
3. Perempuan Dalam Jeratan Eksploitasi Media Massa oleh Delmira Syafrini
Penelitian ini lebih melihat kepada bagaimana ekspansi pasar yang besar-besaran
menciptakan eksploitasi tubuh perempuan pada media massa. Ia mengatakan bahwa tubuh
perempuan merupakan komoditas sekaligus pasar yang baik untuk memasarkan berbagai
produk kecantikan dan kesehatan. Penelitian ini lebih mengarah kepada budaya
konsumerisme perempuan yang akhirnya menjadi trik dalam memasarkan berbagai produk
yang ada demi memperkaya pemodal. Perempuan dianggap akan selalu mengonsumsi dan
tidak akan banyak bertanya untuk apa suatu produk dikonsumsi. Herannya, tersebut, tapi
menikmatinya dengan dalih gaya dan mode. Artinya perempuan hari ini telah terhegemony
dan di dominasi oleh struktur kapitalis. Seperti apa yang diungkapkan Gramsci, bahwa
hegemoni tercipta ketika sebuah ideology dipaksakan sedemikian rupa tapi disetujui dan
didukung oleh mayoritas secara sadar sehingga pada akhirnya kesadaran akan hilang akibat
penindasan tersebut. Manusia yang sebenarnya terdominasi, menerima dominasi itu secara
sukarela. (Beilharz, 2005).
Daftar Pustaka
Buku
Baudrillard, Jean P. 2004. Masyarakat Konsumsi. Kreasi Wacana: Yogyakarta.
Rogers, Marry F. 2009. Barbie Culture : Ikon Budaya Konsumerisme. Relief :
Yogyakarta
9 | Tu b u h P e r e m p u a n d a l a m C e n g k r a m a n G l o b a l i s a s i

Strinati, Dominic. 2007. Popular Culture . Jejak : Yogyakarta
Jurnal

Aprilia, Dwi Ratna. 2005. Jurnal Ilmu Komunikasi Volume 1 Nomor 2 Tahun 2005. Iklan dan
Budaya Popular: Pembentukan Identitas Ideologis Kecantikan Perempuan oleh Iklan
(Analisis Semiotika Iklan Cetak WRP Body Shape & Prolene). (Juni 2005 : 41-68)
Fitriyani. Inda. 2009. Jurnal Ilmu Komunikasi Volume 6 Nomor 2 Tahun 2009. Iklan
dan Budaya Popular : Pembentukan Identitas Ideologi Kecantikan Perempuan oleh
Iklan Televisi. (Desember 2009 :119-136)
Hendrarti, I.M. 2013. Humanika Volume. 17, Th.X. Januari-Juni 2013. Kesehatan
Reproduksi Perempuan Dalam Media Cetak.
Sari. Sapta. 2012. Citra Perempuan dalam Media Volume 10 Nomor 1 Tahun 2012. Stereotip,
Bahasa, dan Pencitraan Perempuan Pada Iklan dalam Perspektif Budaya Populer.
Balai pengkajian dan pengembangan komunikasi dan informatika (BPPKI) : Bandung
Syafrini, Dalmira. 2014. Humanis Vol. XIII No.1 Th. 2014. Perempuan dalam Jeratan
Eksploitasi Media Massa
Artikel
Anna Arroba "The Medikalisasi tubuh perempuan di era globalisasi". Jurnal
Kesehatan Perempuan. FindArticles.com. 6 Agustus 2010.
http://findarticles.com/p/articles/mi_m0MDX/is_1_2003/ai_n18616353/

10 | Tu b u h P e r e m p u a n d a l a m C e n g k r a m a n

Globalisasi

11 | Tu b u h P e r e m p u a n d a l a m C e n g k r a m a n

Globalisasi