Penegakan Hukum terhadap Pelaku Kekerasa (1)

Penegakan Hukum terhadap Pelaku Kekerasan dalam Rumah Tangga
Dalam Perspektif Hukum Islam
La Jamaa∗
Abstract
Domestic vilence has reached a stage which is very alarming, and caused
suffering for the victim, whether physical, phsycological, sexual or
economic. Domestic violence was commited father tohis mother as a child,
or because the understanding of Islamic teachings that gender bias and
strong patriarchal culture in society. Because this is the taechings of Islam
as rahmatan lil a’lamin, then the law has given attention to law
enforcement for domestic violence perpetrators. In this regard, law
enforcement against perpetrators of domestoc violence in the perspective
of Islamic law, adapted to the forms of violence done to the victim.
Husband who do physical violence or subject to jarimah qisas diyat/fines.
A perpetrator of economic violence (neglect of household) is punishable by
imprisonment. Psychological violence perpetrators can be subject to
jarimah ta’zir. Ta’zir penalty also imposed on husband who commit
violence or psychic to this wife and forced his who is menstruating to serve
the biological desire.
Key words: Law Enforcement, Perpetrators of domestic violence, Islamic Law


Pendahuluan
Pada dasarnya seorang isteri mendambakan perlindungan serta kasih
sayang dari suaminya, dan bukan kekerasan fisik, psikologis, seksual dan
ekonomi yang diperolehnya. Apalagi perkawinan itu sendiri bertujuan untuk
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang bahagia (keluarga sakinah)
dengan perekat berupa cinta, mawaddah, rahmah, dan amanah Allah,
sehingga bila cinta pupus dan mawaddah putus, masih ada rahmah, dan
kalau pun ini tidak tersisa juga, masih ada amanah, dan selama pasangan
suami isteri itu beragama, amanahnya akan terpelihara.1 Karena Allah
memerintahkan suami agar bergaul dengan isteri secara ma’ruf serta
bersabar terhadap tindakan-tindakan istri yang tidak disukainya. Dalam
konteks ini relasi suami dan isteri adalah relasi dua hati dan dua jiwa untuk
mewujudkan kebahagiaan rumah tangga. Di samping itu Islam datang
mengemban misi utama untuk pembebasan, termasuk pembebasan dari


Penulis adalah dosen pada Fakultas Syariah IAIN Ambon
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan
Umat (Cet. XII; Bandung: Mizan, 2001), h. 208.
1


Tahkim

1
Vol. VI No. 1 Februari 2010

kekerasan, menuju peradaban yang egalitarian.2
Namun realitas menunjukkan bahwa banyak isteri yang mengalami
kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan suaminya sendiri. Dari
informasi media massa, baik media cetak maupun media elektronik (koran,
majalah dan televisi) diketahui bahwa kekerasan suami kepada isteri dalam
rumah tangga, telah memprihatinkan. Kekerasan yang dilakukan suami
kepada isteri beragam bentuk, baik kekerasan fisik (berupa tamparan dengan
tangan kosong, ditinju, ditendang bahkan ada yang disiram dengan air
keras), kekerasan psikis (dicaci maki, diintimidasi, dibentak), kekerasan
seksual (dipaksa menjadi pelacur) dan kekerasan ekonomi (tidak diberi
nafkah, diberi nafkah tetapi tidak cukup, atau tidak diberi kepercayaan
mengelola uang belanja).3
Kasus kekerasan dalam rumah tangga yang menyita perhatian publik
akhir-akhir ini, adalah kasus Manohara yang konon mengalami perlakuan

kasar dari suaminya sendiri. Bentuk kekerasan yang dialaminya, antara lain
kekerasan fisik (disileti), dijadikan obyek kekerasan seksual serta kekerasan
psikis (dilarang berhubungan dengan ibunya).4
Bahkan menurut laporan Subkomisi Pemantauan Komisi Nasional
Perempuan, kasus kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia sepanjang
tahun 2008, naik 100% menjadi 50.000 kasus. Pada tahun 2007 kekerasan
dalam rumah tangga tercatat hanya berjumlah 25.000 kasus.5 Ini
menunjukkan, bahwa kekerasan dalam rumah tangga, terutama yang
dilakukan suami kepada isteri semakin meningkat. Realitas itu disebabkan
para korban sudah mulai berani melaporkan kasus yang dialaminya setelah
lahirnya Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Dalam undang-undang tersebut memang
bertujuan untuk:
a. mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga;
b. melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga;
c. menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan

2

Nurul Huda S.A, Cakrawala Pembebasan Agama, Pendidikan dan Perubahan Sosial

(Cet. I; Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002), h. 73.
3
Lihat La Jamaa dan Hj. Hadidjah, Hukum Islam dan Undang-Undang Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Cet. I; Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2008), h. 71-72.
4
Amerika Ikut Bebaskan Manohara,” Tribun Timur, No. 112 Tahun 06, Senin 1 Juni
2009, 1.
5
“KDRT Meningkat,” Tribun Timur, No. 030 Tahun 06, 10 Maret 2009, h. 2.

Tahkim

2
Vol. VI No. 1 Februari 2010

d. memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.6
Mengingat pelaku kekerasan dalam rumah tangga mayoritas dilakukan
penduduk muslim, maka penegakan hukum Islam terhadap pelaku kekerasan
dalam rumah tangga sebagai langkah advokasi terhadap korban kekerasan
dalam rumah tangga yang selama ini belum mendapatkan perlindungan
hukum yang maksimal.

Mengacu pada konsepsi di atas maka penulis bermaksud
membahasnya dalam makalah ini dengan permasalahan mengapa terjadi
kekerasan dalam rumah tangga ddi masyarakat? Dan bagaimana penegakan
hukum terhadap pelaku kekerasan dalam rumah tangga dalam perspektif
hukum Islam?
Fenomena Kekerasan dalam Rumah Tangga di Masyarakat
Kekerasan dalam rumah tangga dapat diklasifikasikan sebagai salah
bentuk kejahatan, karena kejahatan domestik ini umumnya terjadi akibat
masih adanya diskriminasi posisi antara pelaku kekerasan dengan mereka
dengan korban kekerasan. Biasanya pelaku kekerasan merasa posisinya
dominan dibandingkan korbannya. Jika hal ini terjadi dalam rumah tangga
yang seharusnya mengayomi setiap individu, maka dapat digolongkan
sebagai kejahatan.7 Ini menunjukkan bahwa kaum perempuan cenderung
menjadi korban dari berbagai proses sosial yang terjadi dalam masyarakat.8
Memang tidak dapat disangkal bahwa perempuanlah yang sering menjadi
korban karena posisinya yang inferior dibanding laki-laki.
Data statistik yang lengkap dan resmi soal ini memang belum tersedia,
namun kumpulan fakta hasil inventarisasi LSM-LSM pendamping
perempuan menunjukkan bahwa sebagian besar (kalau tak mau dibilang
seluruhnya) korban kekerasan domestik adalah perempuan. Ada dua alasan

setidaknya kenapa terjadi kekosongan data itu:
Pertama, karena kekerasan domestik tidak dikenal sebagai kejahatan
oleh masyarakat. Peristiwa seperti penyiksaan terhadap istri, pembantu
dan kekerasan lainnya dianggap sebagai masalah pribadi, masalah

6

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan
Dalam Rumah Tangga (Cet. I; Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 4.
7
”Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Kekerasan Domestik),” Artikel, Dinas
Kesehatan Kabupaten Kebumen, tanggal 20 Oktober 2004, http://www.dinkes.kebumen.go.id/
modules. php?op (diambil tanggal 21 Maret 2009).
8
Lihat Irwan Abdullah, Seks, Gender & Reproduksi Kekuasaan (Cet. I; Yogyakarta:
Tarawang Press, 2001), h. 9.

Tahkim

3

Vol. VI No. 1 Februari 2010

rumah tangga orang lain, sehingga pihak luar termasuk penegak hukum
tidak selayaknya turut campur.
Kedua, kebanyakan korban tidak berbicara secara terbuka tentang
kasusnya. Ini terjadi karena kasus-kasus tersebut tidak dianggap
penting atau diremehkan.9
Kasus kekerasan terhadap perempuan dari tahun ke tahun terus
meningkat. Jika tahun 2001 tercatat 3.169 korban, tahun 2002 naik menjadi
5.163 korban. Tahun 2003 angka korban kekerasan naik lagi menjadi 5.934
orang. Dari jumlah tersebut 54 % berupa insiden kekerasan termasuk insiden
di daerah konflik bersenjata Aceh dan 46 % kekerasan di lingkungan
keluarga korban sendiri.10 Namun demikian kasus yang muncul di media
massa itu ibaratnya hanyalah puncak dari gunung es. Masih banyak
kekerasan terhadap perempuan (isteri) di masyarakat yang masih
‘bersembunyi’ mengumpulkan tenaga dan keberanian serta menunggu waktu
yang tepat untuk muncul ke permukaan. Sebab kasus kekerasan terhadap
perempuan umumnya dan kekerasan dalam rumah tangga pada khususnya
bukanlah persoalan yang mudah diungkap.
Penyebab Terjadinya Kekerasan dalam Rumah Tangga Perspektif

Sosiologi Hukum
Kekerasan telah terjadi sepanjang sejarah kemanusiaan yang
menampilkan kekerasan, baik yang bersifat individual mau pun kolektif.
Kenyataan historis ini menunjukkan bahwa kekerasan merupakan ungkapan
dari suatu ’potensi’ yang tersimpan pada setiap manusia, yaitu potensi
dengan ’tendensi’ untuk menjelma sebagai tingkah laku yang agresif.11
Dalam kaitan ini Erich Fromm mengemukakan bahwa dalam diri
manusia terdapat dua jenis agresi yang berbeda, yakni (1) agresi defensif
yang dimaksudkan untuk mempertahankan hidup, bersifat adaptif biologis
dan hanya muncul jika memang ada ancaman; dan (2) agresi jahat,
kekerasan dan kedestruktifan, merupakan ciri khas spisies manusia. Agresi
ini tidak terprogram secara filogenetik dan tidak adaptif secara biologis. Ia
tidak mempunyai tujuan dan muncul karena dorongan nafsu semata. Karena
itu dalam kondisi tertentu manusia lebih kejam dari binatang.Manusia
9

Ibid.
Lihat Aina Rumiyati Aziz, Perempuan Korban di Ranah Domestik.” Majalah Forum
Keadilan, Edisi 4 Oktober 2002, http//:www.polarhome.com/ pipermail/ nusantara/2002october/ 00848.html. (Diambil tanggal 15 Mei 2009).
11

Fuad Hassan, ”Ikhtiar Meredam Kultus Kekerasan,” dalam Jurnal Perempuan, No.
8 Tahun 2001, h. 63.
10

Tahkim

4
Vol. VI No. 1 Februari 2010

merupakan satu-satunya primata yang tega menyiksa sesamanya tanpa
alasan yang jelas, baik alasan biologis maupun ekonomis.12 Dengan
demikian kekerasan merupakan suatu tingkah laku agresif yang dilakukan
seseorang terhadap orang lain secara sengaja untuk menyebabkan korban
mengalami penderitaan lahir atau batin.
Perlu dikemukakan bahwa potensi kekerasan merupakan daya yang
tersimpan secara latent, sedangkan tendensi kekerasan adalah aktualisasinya
yang terwujud dalam tingkah laku tertentu. Pada umumnya tindakan agresif
dapat digambarkan sebagai pelampiasan dorongan naluri untuk berhasil
menyakiti atau mencederai pihak lain yang dijadikan sasarannya.
Keberhasilan dari tindakan itu dengan sendirinya berakibat meredanya daya

dorongan itu. Dari sini muncul satu teori kekerasan, yaitu teori agresiffrustrasi (frustration-aggression theory) yang menerangkan ”adanya
pertautan langsung antara derajat frustrasi tertentu yang dialami seseorang
dengan timbulnya kecenderungan bertingkahlaku agresif.”13
Jadi, dalam konteks ini pemaknaan agresivitas yang dibatasi dengan
ketentuan adanya intent to harm or hurt others, belum sepenuhnya dapat
mencakup berbagai perwujudan tingkah laku agresif. Dengan demikian,
tindakan kekerasan itu cenderung menjadi pilihan pelakunya untuk
menyelesaikan suatu problema yang dihadapinya. Dalam hal ini cukup
banyak hasil studi yang menunjukkan betapa terpaan yang sering diperoleh
melalui adegan kekerasan sangat berpengaruh bagi seseorang untuk juga
menjadikan tindakan kekerasan sebagai alternatif dalam penyelesaian
problema yang dihadapinya. Tingginya frekuensi adegan tindakan kekerasan
yang menimpa seseorang akan menimbulkan desensitisasi pada dirinya,
berupa kehilangan perasaan tega menyaksikan dan bahkan melakukan
tindakan kekerasan kepada orang lain.14
Dari fenomena itu muncul teori kekerasan yang dikenal dengan ”teori
pembelajaran sosial (social learning theory).” Menurut teori ini, tindakan
kekerasan pada umumnya adalah ”hasil proses pembelajaran dari interaksi
individu dengan lingkungannya (dalam hal ini lingkungan sosialnya,
termasuk lingkungan keluarga).”15 Dalam realitasnya keluarga merupakan


12

Lihat Erich Fromm, The Anatomy of Human Destructiveness, diterjemahkan oleh
Imam Muttaqin, Akar Kekerasan Analisis Sosio-Psikologis atas Watak Manusia (Cet. I;
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. xix-xxi.
13
Ibid.
14
Lihat ibid., h. 67-68.
15
Ibid., h. 68.

Tahkim

5
Vol. VI No. 1 Februari 2010

lingkungan pergaulan anak yang pertama dan utama. Begitu pula dalam
lingkungan sekolah.
Lingkungan keluarga juga memberikan pengalaman tentang kekerasan
kepada anak. Dalam kaitan ini K. Durkin mengatakan bahwa “salah satu
tempat terpenting dimana seorang belajar tentang agresi adalah dalam
keluarga, terutama dalam cara membesarkan anak, dengan tingkah laku
agresif pada anak-anak.”16
Anak yang terbiasa menyaksikkan kekerasan dalam keluarganya,
dikemudian hari akan memandang kekerasan bukan saja sebagai alternatif
untuk menyelesaikan problemanya, melainkan juga beranggapan bahwa
perilaku kekerasan itu bersifat normatif yang layak untuk dilakukan. Ini
berarti, bahwa kekerasan yang terjadi dalam lingkungan keluarga (domestic
violonce) akan melahirkan kekerasan baru.
Relasi antara anggota keluarga memang tidak selamanya diwarnai
dengan kekerasan sejak awal. Bahkan kebanyakan hubungan keluarga yang
berakhir dengan kekerasan dalam rumah tangga, diawali dengan relasi yang
harmonis.17 Namun dalam perjalanan kehidupan muncul ketidaksesuain dan
konflik antar anggota keluarga. Dalam suasana seperti ini jika tidak dapat
terselesaikan secara alami, akan memberi peluang penggunaan kekerasan
sebagai solusi.
Pengalaman kekerasan juga dapat diperoleh melalui pergaulan dengan
teman-teman sebaya. Jika dalam lingkungan ini anak menyaksikkan bahwa
tindakan kekerasan juga bisa menjadi alternatif untuk menyelesaikan
persoalan, maka anak mendapat pembelajaran sosial yang dipandang efektif
untuk diaplikasikan jika dibutuhkan. Hal yang sama bisa diperoleh melalui
adegan-adegan kekerasan secara visualisasi, khususnya media massa
elektronik yang dikenal dengan TV-violence. Melalui tingginya frekuensi
tontonan adegan kekerasan akan melahirkan apa yang disebut ”kultur
kekerasan” (the cult of violence).18 Hal ini menimbulkan penggunaan tindak
kekerasan sebagai solusi dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Bukan
saja terhadap pihak lain tetapi juga terhadap diri sendiri, misalnya karena
merasa frustrasi dalam menyelesaikan masalahnya, yang bersangkutan
melakukan bunuh diri yang dianggap sebagai solusi. Apalagi kebanyakan
tayangan sinetron bertema kekerasan dalam rumah tangga, ceritanya
16

K. Durkin, Development Social Psychology (Cambridge, Massachussets: Blackwell
Publisher, 1995), h. 413.
17
Lihat N. Nelson, Dangerous Relationship (New York: Insight Books, 1997), h. 3.
18
Lihat Fuad Hassan, op.cit., h. 70-71.

Tahkim

6
Vol. VI No. 1 Februari 2010

berakhir tanpa pemberian hukuman kepada pelakunya.
Kekerasan juga bisa terjadi karena mendapat legitimasi secara
ideologi. Kekerasan apa pun yang terjadi dalam masyarakat, sesungguhnya
berangkat dari suatu ideologi tertentu yang mengesahkan penindasan di satu
pihak- baik individual mau pun kolektif- terhadap pihak lain yang
disebabkan oleh anggapan ketidaksetaraan kekuatan yang ada dalam
masyarakat.19 Hal ini selaras dengan ”teori relasi kekuasaan” yang
dikemukakan oleh Michel Foucault, bahwa kekuasaan sama dengan serba
banyak relasi kekuasaan yang bekerja di salah satu ruang atau waktu.
Kekuasaan itu sendiri menindas, menyebabkan kekuasaan itu memproduksi
kebenaran. Karena ”kebenaran berada di dalam relasi-relasi sirkular dengan
sistem kekuasaan yang memproduksi kebenaran dan menjaga kebenaran
itu.”20 Karena itu ”kebenaran tidak ada dengan sendirinya. Karena tidak
berada di luar kekuasaan, ia berada di dalam kekuasaan.”21 Dengan
demikian, ”kebenaran adalah kekuasaan.”22
Berdasarkan ”teori relasi kekuasaan” tersebut, orang cenderung
kepada kekerasan karena merasa memiliki kekuasaan terhadap pihak lain,
sekaligus korbannya. Dalam konteks inilah seorang penguasa merasa
mempunyai kewenangan untuk melakukan ”kekerasan” kepada rakyatnya.
Karena sang penguasa menganggap kekuasaan yang dimilikinya sebagai
legitimasi terhadap semua tindakannya. Tindakan apa pun yang dilakukan
atas nama kekuasaan adalah sah. Sehingga melakukan kekerasan pun
dianggap sah pula.
Orangtua merasa memiliki kekuasaan terhadap anak-anaknya
sehingga merasa berhak melakukan kekerasan kepada mereka. Seorang
suami merasa mempunyai kekuasaan terhadap isterinya sehingga
menganggap kekerasan kepada isteri adalah bagian dari kekuasaan yang
dimilikinya.Dengan demikian kekerasan terjadi dalam lingkungan tertentu
dimana hanya kekerasan yang menjadi satu-satunya cara untuk
mengekspresikan eksistensi kemanusiaan. Kekerasan hanyalah manifestasi

19
Hj.Eti Nurhayati, dkk., “Implikasi Pinsip Kafa’ah dan Sensivitas Gender sebagai
Penangkal Tindak Kekerasan Rumah Tangga dalam Relasi Suami Isteri: Studi Kasus tentang
Kekerasan yang Dialami Perempuan di Pengadilan Agama Kota Cirebon,” dalam Departemen
Agama R.I., Sinopsis dan Indeksasi Hasil Penelitian Kompetitif Dosen PTAI Tahun 19992003 (Cet. I; Jakarta: Ditperta Islam, 2004), h. 185.
20
Michel Foucault, Power/Knowledge (New York: Panthenon Books, 1980), h. 133.
21
Ibid., h.131.
22
Ibid., h. 133.

Tahkim

7
Vol. VI No. 1 Februari 2010

eksternal dan yang terakhir setelah upaya panjang dan berliku dilewati.23
Selaras dengan uraian di atas dalam teori sosiologi dikemukakan
bahwa kekerasan atau kejahatan disebabkan oleh kondisi-kondisi dan prosesproses sosial yang sama yang menghasilkan perilaku-perilaku sosial lainnya.
Dalam hal ini faktor penyebab terjadinya kekerasan melalui beberapa bentuk
proses, seperti imitasi, pelaksanaan peran sosial, asosiasi diferensial,
kompensasi, identifikasi, konsep diri pribadi dan kekecewaan yang agresif.24
Dengan kata lain, bahwa seseorang berperilaku jahat dengan cara yang sama
dengan perilaku yang tidak jahat. Artinya, perilaku kekerasan dipelajari
dalam interaksi dengan orang-orang lain dan orang tersebut mendapatkan
perilaku kekerasan sebagai hasil interaksi yang dilakukannya dengan orangorang yang berperilaku cenderung melawan norma-norma hukum.25
Terjadinya kekerasan bisa jadi disebabkan oleh gangguan psikologis
yang berasal dari keluarga lantaran orangtua tidak mampu berfungsi sebagai
pendidik yang baik atau tidak berfungsinya keluarga sebagai lembaga psikososial. Orang tua tidak dapat mengintegrasikan anaknya dalam keutuhan
keluarga.26 Hal ini terjadi, karena dalam diri manusia terdapat dorongandorongan yang menuntut memperoleh pemuasan dan dorongan-dorongan itu
akan tampak jika bertemu dengan stimulus yang cocok, dan selanjutnya
dorongan-dorongan itu bersama dengan tabiat nafs lainnya menentukan
bagaimana merespon stimulus tersebut. Dalam keadaan motif mendorong
pada tingkah laku negatif, ia berpotensi untuk mempengaruhi seseorang,
hingga berwujud pada tingkah laku yang tidak terkendali.27 Ini berarti,
kekerasan bukan saja terjadi di area publik namun telah merambat ke area
domestik (rumah tangga).
Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Kekerasan dalam Rumah Tangga
dalam Perspektif Hukum Islam
Selama ini ada ulama, di antaranya Nawawi Banten dalam kitabnya
‘Uqud al-Lujain, yang berpendapat bahwa kewajiban utama isteri adalah

23

Lihat Hassan Hanafi, Agama, Kekerasan dan Islam Kontemporer (Cet. I;
Yogyakarta: Jendela, 2001), h. 54.
24
Lihat Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Cet. XVII; Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1993), h. 408.
25
Lihat ibid.
26
Lihat Kartini Kartono, Patologi Sosial 3: Gangguan-Gangguan Kejiwaan (Cet. III;
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 34.
27
Lihat Achmad Mubarok, Solusi Krisis Keruhanian Manusia Modern Jiwa dalam AlQur’ān (Cet. I; Jakarta: Paramadina, 2000), h. 154.

Tahkim

8
Vol. VI No. 1 Februari 2010

melayani kebutuhan biologis suami. Menolak tuntutan seksual suami
merupakan dosa besar bagi seorang isteri.28 Menurutnya pula, bahwa suami
dibolehkan “memukul” isterinya yang dianggap nusyuz, seperti menolak
untuk berhias, menolak ajakan tidur, keluar rumah tanpa izin, memukul
anaknya yang masih kecil yang sedang menangis, mencaci maki orang lain,
mengucapkan kata-kata yang tidak pantas, seperti ‘bodoh’ walaupun suami
mencaci lebih dulu, menampakkan wajah kepada lelaki yang bukan
mahramnya, memberikan sesuatu dari harta suaminya di luar adat kebiasaan,
menolak menjalin hubungan kekeluargaan dengan saudara suaminya.29
Pandangan ini sebenarnya mengacu kepada tekstual kalimat wadribuhunna
dalam QS. al-Nisa (4): 34 yang memberi kesan suami diberi wewenang
memukul isteri yang nusyuz.
Padahal “memukul” yang dimaksudkan ayat di atas bukanlah
memberikan kekuasaan kepada suami memukul isteri tanpa batas, melainkan
pukulan sebagai sarana edukatif. Untuk itu ada beberapa ketentuan yang
harus diperhatikan oleh suami, di antaranya:
1) dilarang memukul dengan menggunakan alat, seperti tongkat dan
sejenisnya;
2) dilarang memukul pada bagian wajah;
3) dilarang memukul hanya pada satu bagian tertentu, dan
4) dilarang memukul yang dapat menimbulkan cedera, apalagi hingga
cacat.30
Ketentuan di atas menunjukkan bahwa pukulan secara fisik yang
terpaksa dilakukan suami, tidak boleh menjurus sebagai penganiayaan.
Suami juga dilarang memukul isteri pada tiga kondisi, yaitu:
1) Memukul isteri tanpa melalui tahapan nasehat dan pisah tempat tidur
dengan isteri.31
2) Memukul yang menyakitkan, karena pukulan yang dikehendaki ayat
di atas adalah pukulan mendidik, bukan pukulan keras yang dapat
meninggalkan bekas, apalagi sampai mematahkan tulang. Tetapi
28

Lihat Martin van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat (Cet. III;
Bandung: Mizan, 1999), h. 179. Bandingkan dengan Abdelwahab Bouhdiba, Sexuality in
Islam, diterjemahkan oleh Ratna Maharani Utami, Peradaban kelamin Abad Pertengahan
(Cet. I; Yogyakarta: Alenia, 2004), h. 2333-234.
29
Lihat Forum Kajian Kitab Kuning (FK-3), Kembang Setaman Perkawinan Analisis
Kritis Kitab ’Uqud al-Lujjayn (Cet. I; Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005), h. 111-112.
30
Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan (Cet. I;
Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2005), h. 167.
31
Lihat Fakhruddîn al-Rāzî, Al-Tafsir al-Kabir (Mafātîh al -Gaib), Jilid V, Juz X (Cet.
I; Bayrut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, 1990M/1410H), h. 73.

Tahkim

9
Vol. VI No. 1 Februari 2010

pukulan yang tidak meninggalkan bekas menurut ungkapan Nabi
saw.32
3) Memukul yang bersifat dendam dan ingin menang sendiri. Seperti
diisyaratkan dalam makna potongan ayat “kemudian jika mereka
mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya,” yang berarti janganlah kamu menggunakan
pukulan dan pisah ranjang sebagai cara untuk menyusahkan dan
menyakiti isteri. Begitu pula ungkapan makna ayat “sesungguhnya
Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar mengisyaratkan, bahwa suami
yang bersikap zalim akan mendapat ancaman dari Allah dan suami
jangan mencari jalan untuk menyusahkan isterinya.33
Tentang makna pukulan yang tidak meninggalkan bekas ini Aţ a
pernah menanyakannya kepada Ibnu Abbas, yang kemudian dijawab Ibn
Abbas: “dengan siwak dan sejenisnya.”34 Namun realitas yang terjadi, suami
memukul isterinya secara sewenang-wenang, dan menjurus kepada
kekerasan fisik. Indikasinya, isteri mengalami kekerasan fisik dalam
berbagai bentuk:
1. Kekerasan fisik berat, berupa penganiayaan berat seperti menendang;
memukul, menyundut; melakukan percobaan pembunuhan atau
pembunuhan dan semua perbuatan lain yang dapat mengakibatkan: (a)
cedera berat, (b) tidak mampu menjalankan tugas sehari-hari, (c)
pingsan, (d) luka berat pada tubuh korban dan atau luka yang sulit
disembuhkan atau yang menimbulkan bahaya mati, (e) kehilangan
salah satu panca indera, (f) mendapat cacat., (g) menderita sakit
lumpuh, (h) terganggunya daya pikir selama 4 minggu lebih, (i)
gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan, (j) kematian
korban.
2. Kekerasan fisik ringan, berupa menampar, menjambak, mendorong,
dan perbuatan lainnya yang mengakibatkan: (a) cedera ringan, (b) rasa
sakit dan luka fisik yang tidak masuk dalam kategori berat.35
Dengan demikian tindakan kekerasan fisik yang dilakukan suami yang
menyebabkan isteri luka-luka bahkan cidera dan cacat apalagi meninggal
32

Ibn Mājah, Sunan Ibn Mājah, Juz I (Bayrut: Dar al-Fikr, [t.th.]), h. 594.
Lihat Muhammad Rasyid ’Uwayyid, Min Ajli Tahrir Haqiqi li al-Mar’ah,
diterjemahkan oleh Ghazali Mukri dengan judul Pembebasan Perempuan (Cet. I; Yogyakarta:
‘Izzah Pustaka, 2002), h. 6-7.
34
Abu ‘Abdillāh Muhammad ibn Ahmad al-Anşārî al -Qurţ ubî, Tafsir Al-Jami’ li
Ahkām al-Qur’ān, Jilid III, Juz V (Bayrut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,1993M/1413H), h. 113.
35
LBH APIK Jakarta, “Bentuk-bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga,” (Makalah),
http://www. lbh.apik.or.id/kdrt.bentuk.htm. (Diambil tgl 15 Mei 2009).
33

Tahkim

10
Vol. VI No. 1 Februari 2010

dunia tidak dibenarkan oleh hukum Islam. Bahkan Nabi saw mengecam
suami yang memukul isterinya melalui sabdanya:

36

ِ‫ﻗَ ﺎ َ ل إ‬

‘Dari Abdullah bin Zam’ah, bahwa Rasulullah saw berkhutbah lalu
beliau menyebut perempuan dengan berwasiat tentang mereka
kemudian bersabda: ”Sampai kapankah seseorang diantaramu
mencambuk isterinya seperti mencambuk budak wanita? Dan mungkin
saja ia menggaulinya di akhir (malam) harinya.’
Dalam konteks ini pula sebagai manusia biasa, isteri-isteri Nabi saw
juga pernah berbuat salah dan menyakiti hati Nabi saw, seperti saat mereka
menuntut tambahan nafkah kepada Nabi saw. Namun ternyata Nabi saw
tidak menanggapinya dengan kekerasan. Bahkan Nabi saw dalam
kehidupannya tidak pernah memukul dan melakukan tindak kekerasan
kepada para isterinya.37 Ini berarti, bahwa hukum Islam anti kekerasan
dalam rumah tangga, baik kekerasan fisik, psikis, seksual maupun ekonomi.
Selaras dengan uraian di atas, jika isteri korban kekerasan fisik yang
mengakibatkan korban cedera, cacat atau meninggal dunia, maka pelaku
dapat dikenakan jarimah diyat, jika isteri cedera atau luka dan jarimah qisas
jika isteri meninggal dunia. Hukum Islam juga tidak mentolerir kekerasan
seksual. Karena Nabi saw tidak membenarkan suami melakukan hubungan
biologis dengan istrinya tanpa foreplay, sesuai isyarat hadis:

:
(

38

)

‘Dari Abu Hurairah r.a (bahwa) Nabi saw bersabda: Janganlah salah
seorang di antaramu menggauli istrinya seperti seekor binatang.
Hendaklah terlebih dahulu ia memberikan rangsangan dengan ciuman
dan rayuan.’ (HR. Ahmad)
Ini berarti berarti hukum Islam menolak kekerasan seksual dalam
rumah tangga yang dilakukan suami, misalnya menyetubuhi istri di saat
tertidur, dipaksa saat haid, nifas. Apalagi tindakan suami yang menjual isteri
kepada orang lain atau memaksa isteri menjadi pelacur untuk tujuan
36

Ibn Mājah, Sunan Ibn Mājah, Juz I, op.cit., h. 638.
Abu Yasid (ed.), Fiqh Realitas Respon Ma’had Aly Terhadap Wacana Hukum Islam
Kontemporer (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 340-341.
38
Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Juz II (Bayrut: Dar al-Fikr,
[t.th.]), h. 368.
37

Tahkim

11
Vol. VI No. 1 Februari 2010

komersial, seperti kasus Yudhi yang divonis satu tahun penjara karena
menjual isterinya, Rini Sundari dengan tarif minimal Rp. 300.000 sekali
pakai. Hasil “penjualan” itu digunakan Yudhi untuk berfoya-foya.39
Sikap suami yang memaksa isteri melacurkan diri untuk tujuan
komersil pada hakekatnya telah menjurus kepada pemaksaan untuk berzina
sekaligus perbudakan. Padahal kedua-duanya sangat dilarang dalam Islam.
Memperbudak seseorang – termasuk isteri – sama artinya telah mematikan
jiwanya. Walau pun ia masih bernyawa dan beraktivitas namun pada
hakekatnya ia telah mati, karena kebebasaannya telah hilang. Sehingga
kifarat dalam berbagai pelanggaran adalah pembebasan budak. Karena itu
dalam kasus pemaksaan suami terhadap untuk melacurkan diri untuk tujuan
komersial bia dikategorikan sebagai penjualan perempuan. Dalam konteks
ini menurut pendapat mazhab Zahiri, kasus pemerkosaan bisa
diklasifikasikan pada konsep hirabah karena pemerkosaan merupakan
pelanggaran hak asasi manusia dan bisa dikategorikan sebagai upaya
membumihanguskan eksistensi khalifah fi al-ard. Tegasnya menurut mereka,
bahwa ”setiap orang yang menyerang, merampok, merusak kehormatan
orang lewat dan mengancam akan melukai, membunuh, melecehkan adalah
muharib. 40
Hal ini sejalan dengan pendapat sebagian ahli fiqh mazhab Syafi’i dan
mazhab Maliki. Mereka berpendapat, bahwa pelecehan (kekerasan) seksual
secara terang-terangan adalah hirābah.41 Dengan demikian dalam pandangan
mazhab Zahriah, Syafi’i dan Maliki, bahwa tindak kekerasan seksual
merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan sehingga diidentikkan dengan
hirābah dan pelakunya harus dihukum berat.
Bertolak dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa hadis yang memuat
informasi adanya kutukan kepada isteri yang menolak ajakan suami
melakukan hubungan seksual bukanlah untuk melegitimasi kekerasan
seksual dalam rumah tangga. Sebaliknya Islam sangat melarang suami
melakukan kekerasan seksual kepada isterinya. Salah satu bentuk kekerasan
seksual tersebut, adalah suami memaksa isteri yang sedang hadis melayani
hasrat biologis suami, atau melakukan hubungan biologis yang disertai
ancaman fisik kepada isteri. Bahkan salah satu bentuk akhlak seorang suami

39

Lihat Irwan Abdullah, Seks, Gender & Reproduksi Kekuasaan (Cet. I; Yogyakarta:
Tawarang Press, 2001), h. 47.
40
Ibn Hazm, al-Muhalla, Juz XII (Beirut: Dār al-Afaq al-Jadỉ dah, [t.th.]). 308.
41
’Abdul Qadir ’Audah, al-Tasyri’ al-Jina’i, Juz II (Bayrut: Muassasah al-Risalah,
1988), h. 640.

Tahkim

12
Vol. VI No. 1 Februari 2010

adalah mampu berlapang dada dan menggauli isterinya tanpa kekerasan.
Apalagi hubungan seksual merupakan jalinan dua hati dan raga yang
kenikmatannya bukan saja monopoli suami tetapi juga milik isteri. Bahkan
Nabi saw melarang suami melakukan hubungan biologisnya dengan
isterinya tanpa ”pemanasan” terlebih dahulu.
Dalam kaitan ini Yūsuf Qardawî mengatakan bahwa laknat yang
disebutkan dalam hadis itu terjadi jika isteri tidak sedang uzur seperti sakit
atau karena ada halangan syar’i (haid, nifas), dan sebagainya.42 Walau pun
demikian tidak tertutup kemungkinan keengganan isteri lantaran sifat egois
semata, atau kesalahan persepsi terhadap hubungan seksual.
Munculnya keengganan isteri memenuhi hasrat seksual suami bisa
jadi didorong oleh anggapannya, bahwa hubungan seksual hanyalah
pelayanan
terhadap suami. Sehingga perasaan itu menghalanginya
menikmati seks. Persepsi itu berkaitan pula dengan anggapannya, bahwa
pernikahan bukanlah hasil cinta dan hubungan perasaan, sehingga
mengalami firigiditas. Frigiditas (kekakuan dalam hubungan seksual) yang
dialami isteri seringkali disebabkan oleh egoisme suami dalam memuaskan
kebutuhan seksualnya.43
Jadi, yang dimaksud hadis, adalah penolakan isteri memenuhi hasrat
biologis suaminya dengan tujuan untuk menyakiti hati suaminya, bukan
karena alasan kesehatan, seperti sakit keras, sangat kelelahan atau alasan
syar’i seperti haid, atau nifas. Karena itu menurut hukum Islam, paksaan
suami kepada isterinya untuk melakukan hubungan biologis belum masuk
dalam wilayah marital rape atau kekerasan seksual dalam rumah tangga.
Hukum Islam juga sangat anti kekerasan psikis dalam rumah tangga
karena al-Qur’an mewajibkan suami bergaul dengan isterinya secara baik
(ihsan). Sehingga menceraikan isteri dalam kondisi haid pun dilarang44 oleh
hukum Islam. Karena secara psikologis, perempuan selama menjalani haid
umumnya mudah emosi. Perubahan kimia tubuh mereka turut
mempengaruhi sikapnya yang cenderung tidak menyenangkan suaminya.
Artinya, konflik yang terjadi selama isteri haid tidak layak dijadikan alasan

42
Yusuf al-Qardawî, Hady al- Islam Fatawiy Mu’asirah, diterjemahkan oleh As’ad
Yasin dengan judul Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jilid I, op.cit., h. 611.
43
Zakaria Ibrahim, Sîkūlūjiyyah al -Mar’ah, diterjemahkan oleh Ghazi Saloom dengan
judul Psikologi Wanita (Cet. I; Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), h. 99.
44
Al-Bukhārî, Sahîh al-Bukhārî, Juz V (Bayrut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, 1992), h.
496. Muslim, Sahîh Muslim, Juz I (Bayrut: Dar al-Fikr, 1992), h. 686.

Tahkim

13
Vol. VI No. 1 Februari 2010

untuk bercerai.45 Di samping itu Allah memerintahkan dalam QS. al-Nisa
(4):19
‘… Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu
tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu
tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan
yang banyak.’46
Rahmah, adalah kondisi psikologis yang muncul di dalam hati akibat
menyaksikkan ketidakberdayaan sehingga mendorong yang bersangkutan
untuk memberdayakannya. Karena itu dalam kehidupan keluarga, masingmasing suami isteri akan bersungguh-sungguh bahkan bersusah payah demi
mendatangkan kebaikan bagi pasangannya serta menolak segala yang
mengganggunya.47
Al-Qur’an menggarisbawahi hal ini dalam rangka jalinan pernikahan
karena betapa pun hebatnya seseorang (suami dan isteri), pasti mempunyai
kelemahan dan betapa pun lemahnya seseorang, pasti ada juga unsur
kekuatannya. Sehingga suami dan isteri harus berusaha untuk saling
melengkapi sesuai isyarat QS. Al-Baqarah (2): 187, bahwa suami isteri
saling membutuhkan sebagaimana kebutuhan manusia pada pakaian, tetapi
juga berarti bahwa suami isteri yang masing-masing menurut kodratnya
mempunyai kekurangan, harus dapat berfungsi menutup kekurangan
pasangannya, seperti halnya pakaian menutup aurat (kekurangan)
pemakainya. Kalau pakaian merupakan hiasan bagi pemakainya, maka
suami adalah hiasan bagi isterinya, begitu pula sebaliknya (QS. Al-A’raf (7):
26). Kalau pakaian mampu memelihara manusia dari sengatan panas dan
dingin, (QS. Al-Nahl: 84) maka suami terhadap isterinya dan isteri terhadap
suaminya harus mampu melindungi pasangannya dari krisis dan kesulitan
yang mereka hadapi. Ini menunjukkan, bahwa hukum Islam anti kekerasan
psikis dalam rumah tangga.
Hukum Islam juga anti kekerasan ekonomi (penelantaran rumah
tangga). Karena suami berkewajiban memberi nafkah, pakaian dan tempat
tinggal kepada isteri dan anak-anaknya secara layak (ma’ruf). Suami juga
wajib memberi mahar kepada isterinya, dan jika ditangguhkan
45
Lihat Abul A’la Maududi, The Laws of Marriage and Divorce in Islam,
diterjemahkan oleh Achmad Rais dengan judul Kawin dan Cerai Menurut Islam (Cet. V;
Jakarta: Gema Insani Press, 1994), h. 44.
46
Departemen Agama R.I., Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: CV Indah Press,
2002), h. 119.
47
Lihat M. Quraish Shihab, op.cit., h. 208.

Tahkim

14
Vol. VI No. 1 Februari 2010

penyerahannya akan menjadi hutang suami yang harus dilunasi, seperti
hutang-hutang yang lain. Perampasan hak mahar isteri tergolong dosa besar.
Sehingga ada ungkapan orang bijak bahwa ”Allah mengampuni semua dosa
pada hari kiamat kecuali mahar wanita (isteri), orang yang merampas upah
pekerjanya, dan yang menjual orang merdeka (untuk dijadikan budak).” 48
Adanya ancaman hukum terhadap suami yang mengabaikan hak isteriberupa mahar menunjukkan bahwa adanya perhatian serius hukum Islam
terhadap penanggulangan kekerasan ekonomi dalam rumah tangga. Karena
mahar merupakan menjadi hak milik isteri, sehingga jika suami enggan
memberikan kepada isterinya atau setelah diserahkan, suami merampasnya
kembali, maka berarti suami telah melakukan suatu kekerasan ekonomi
terhadap isteri.
Walaupun pasal 9 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga secara eksplisit tidak
memasukkan perampasan mahar dalam kategori penelantaran rumah tangga
(kekerasan ekonomi), namun secara implisit menunjukkan bahwa
perampasan mahar yang menjadi hak isteri dapat diklasifikasikan dalam
substansi pasal 9 ayat (1) UU Penghapusan KDRT, yang menegaskan
bahwa:
Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah
tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena
persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan,
perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.49
Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa Islam memberikan
perlindungan kepada perempuan (isteri) dari kekerasan ekonomi yang
dilakukan laki-laki (suami) dengan cara melarang suami mengambil kembali
mahar yang telah diberikan kepadanya tanpa kerelaan isteri.50
Mengingat betapa pentingnya hak nafkah bagi isteri dan anak itu,
isteri dibolehkan mengambil sendiri tanpa sepengetahuan suaminya, seperti
yang pernah dilakukan oleh Hindun binti Utbah, isteri Abu Sufyan, lantaran
Abu Sufyan kikir sehingga dilaporkan kepada Rasulullah saw.51 Ini
48
Lihat Ibrahim Amini, Ikhtiar al-Zauj. Diterjemahkan oleh Muhammad Taqi dengan
judul Kiat Memilih Jodoh Menurut Al-Qur’ân dan Sunnah. Cet. I; Jakarta: PT Lentera
Basritama, 1996), h. 27.
49
Republik Indonesia, op,cit., h. 5.
50
Muhammad Rasyid al-Uwayyid, op.cit., h. 37.
51
Al-Bukharî, Sahîh al-Bukhārî , Juz III (Cet. I; Bayrut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah,
1992 M), h. 51. Lihat pula Muslim, Sahîh Muslim, Juz II (Cet. I; Bayrut: Dar al-Fikr,
1992M/1412H), h. 121.

Tahkim

15
Vol. VI No. 1 Februari 2010

menunjukkan, bahwa keengganan suami memberikan nafkah secara layak
(kekerasan ekonomi) kepada isteri dapat dilaporkan kepada penguasa, sebab
dalam kasus ini posisi Nabi saw bukan sekedar sebagai pemimpin agama,
namun lebih sebagai pemimpin masyarakat Madinah saat itu. Persetujuan
Nabi saw atas tindakan Hindun binti Utbah itu disebabkan Hindun hanya
mengambil sesuatu yang menjadi haknya.
Pembangkangan suami memberi nafkah kepada isteri dan anakanaknya dapat dikategorikan sebagai suatu bentuk kekerasan ekonomi
(penelantaran rumah tangga) sebagaimana yang dimaksudkan pasal 9 UU
PKDRT. Jelasnya, bahwa hukum Islam memberikan perhatian serius
terhadap kekerasan ekonomi (penelantaran rumah tangga). Dalam kaitan ini
imam Malik berpendapat, bahwa:
Apabila seorang isteri mengeluh terhadap suaminya karena ia bersikap
nusyuz dan menjauhi isteri, maka isteri boleh saja mengajukan perkara
itu kepada pihak pengadilan, lalu pihak mengadilan berwenang
memberikan nasehat kepada suami itu. Jika suami merespon dengan
baik nasehat tersebut, maka selesailah perkara itu. Akan tetapi jika
nasehat itu tidak memberikan kemanfaatan baginya dan tidak
dihiraukannya, maka pihak pengadilan berkewajiban menyuruh dia
memberikan nafkah kepada isteri dan melarang isteri taat dan patuh
kepadanya. Jika cara ini tidak mengubah sikap suami, maka pengadilan
boleh memberikan sanksi kepada suami itu dengan cara memukul
dengan tongkat.52
Pendapat lebih tegas dari mazhab Hanafi, bahwa jika seorang suami
tidak mau memberikan nafkah kepada istrinya, padahal dia berkemampuan
dan mempunyai uang, maka negara berhak menjual hartanya secara paksa
dan menyerahkan hasil penjualan itu kepada istrinya. Kalau tidak ada
hartanya, negara berhak menahannya atas permintaan istri. Suami dalam
keadaan seperti ini dapat dikategorikan sebagai seorang yang zalim. Dia
boleh dihukum, sampai mau menyerahkan nafkahnya.53 Ini menunjukkan,
bahwa para ulama klasik telah memberi perhatian serius terhadap penegakan
hukum terhadap pelaku kekerasan dalam rumah tangga, khususnya suami.
Walau pun bentuk hukumannya berbeda antara pendapat imam Malik
dengan UU PKDRT namun secara substansial sama-sama memberikan
hukuman kepada suami yang menelantarkan rumah tangganya (melakukan
52
Lihat Malik bin Anas al-Aşbahỉ , al-Mudawwanah al-Kubrā, Juz II (Beirut: Dār alFikr, [t.th.]), h 192-193. Lihat pula Muhammad Rasyid Uwayyid, op.cit., h. 11-12.
53
‘Alauddỉ n Abū Bakr Mas’ūd al-Kāsānỉ al-Hanafỉ , Kitab Badai’ al-Șānai’ Tartỉ b alSyarāi,’ Juz IV (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, [t.th.]), h. 38.

Tahkim

16
Vol. VI No. 1 Februari 2010

kekerasan ekonomi) terhadap isteri dan anak-anaknya. Dalam hal ini pasal
49 UU PKDRT menjelaskan bahwa:
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda
paling banyak Rp.15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) setiap orang
yang:
a. menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya
sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1);
b. menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud pasal 9 ayat (2).54
Ini berarti, hukum Islam telah memberikan perhatian serius terhadap
penegakan hukum kepada pelaku kekerasan dalam rumah tangga. Dengan
adanya penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan dalam rumah tangga,
maka korban dapat dilindungi. Penegakan hukum tersebut diharapkan dapat
memberikan efek jera baik kepada pelaku (suami) maupun orang lain dari
tindak kekerasan dalam rumah tangga.
Penutup
Secara sosiologis kekerasan dalam rumah tangga disebabkan oleh: (a)
sikap agresif dalam diri pelaku menurut teori Erich Fromm; (b) teori
pembelajaran sosial, baik dalam lingkungan keluarga, sekolah maupun
media televisi (TV-violence), di mana pelaku memperoleh pembelajaran
mengenai penggunaan kekerasan dalam penyelesaian masalah, sehingga dia
juga meniru cara-cara penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan konflik
dengan istrinya, (c) teori relasi kekuasaan dalam interaksi suami dengan
korban (istri) yang merasa dirinya berkuasa sehingga berhak menggunakan
kekerasan dalam rumah tangga terhadap istrinya, dan (d) pemahaman ajaran
agama (Islam) yang bias jender akibat kuatnya budaya patriarkhi,
mendorong suami berlaku kasar kepada istrinya, dan istri harus taat secara
mutlak.
Pada dasarnya hukum Islam anti terhadap kekerasan dalam rumah
tangga. Suami pada dasarnya dilarang memukul istrinya, sebab dispensasi
memukul istri yang nusyuz hanya upaya edukatif dan tidak boleh menjurus
kepada kekerasan fisik. Islam mewajibkan suami memperlakukan istrinya
dengan baik, berarti dilarang melakukan kekerasan psikis. Nabi saw juga
melarang suami melakukan hubungan biologis tanpa foreplay, berarti Islam
melarang kekerasan seksual. Nabi saw juga memberi izin kepada Hindun
mengambil sendiri nafkah dari harta suaminya, Abu Sufyan lantaran pelit.
Ini berarti Islam menolak kekerasan ekonomi dalam rumah tangga.
Penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan dalam rumah tangga dalam
54

Republik Indonesia, op.cit., h. 18.

Tahkim

17
Vol. VI No. 1 Februari 2010

perspektif hukum Islam, disesuaikan dengan bentuk kekerasan yang
dilakukannya. Bagi suami yang melakukan kekerasan fisik dikenai jarimah
qisas-diyat. Suami yang tidak memberi nafkah atau nafkah diberikan namun
tidak cukup (kekerasan ekonomi) diancam hukuman penjara. Suami yang
melakukan kekerasan psikis, dan seksual dalam bentuk memaksa istrinya
yang sedang haid melayani hasrat biologisnya) dikenai jarimah ta’zir.
Adapun pelaku kekerasan seksual yang menjual isterinya menjadi pelacur
dapat dikenai jarimah hirabah, karena telah memperbudak istrinya atau
memperlakukan istrinya seperti barang dagangan. Laki-laki yang menzinai
korban dikenai hukuman had, dicambuk 100 kali jika belum kawin atau
dihukum rajam jika dia sudah kawin.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan. Seks, Gender & Reproduksi Kekuasaan, Cet. I; Yogyakarta:
Tarawang Press, 2001.
Aminî, Ibrāhîm. Ikhtiar al-Zauj. Diterjemahkan oleh Muhammad Taqi dengan judul
Kiat Memilih Jodoh Menurut Al-Qur’ân dan Sunnah. Cet. I; Jakarta: PT
Lentera Basritama, 1996.
Anonim. “Amerika Ikut Bebaskan Manohara.” Tribun Timur. No.112 Tahun 06, 1
Juni 2009.
Al- Aşbahỉ , Malik bin Anas. al-Mudawwanah al-Kubrā, Juz II, (Beirut: Dār al-Fikr,
[t.th.].
Assegaf, Abd. Rahman.Pendidikan Tanpa Kekerasan: Tipologi Kondisi, Kasus dan
Konsep Cet. I; Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004.
Aziz, Aina Rumiyati. Perempuan Korban di Ranah Domestik.” Majalah Forum
Keadilan, Edisi 4 Oktober 2002, http//:www.polarhome.com/ pipermail/
nusantara/2002-october/ 00848.html. (Diambil tanggal 15 Mei 2009).
Bruinessen, Martin van. Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat. Cet. III; Bandung:
Mizan, 1999.
Bouhdiba, Abdelwahab. Sexuality in Islam. Diterjemahkan oleh Ratna Maharani
Utami, Peradaban kelamin Abad Pertengahan. Cet. I; Yogyakarta: Alenia,
2004.
al-Bukharî. Sahîh al-Bukhārî , Juz III, dan V. Cet. I; Bayrut: Dar al-Kutub al’Ilmiyyah, 1992M.
Departemen Agama R.I. Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: CV Indah Press,
2002.

Tahkim

18
Vol. VI No. 1 Februari 2010

Durkin, K. Development Social Psychology, Cambridge, Massachussets: Blackwell
Publisher, 1995.
Forum Kajian Kitab Kuning (FK-3), Kembang Setaman Perkawinan Analisis Kritis
Kitab ’Uqud al-Lujjayn, Cet. I; Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005.
Foucault, Michel. Power/Knowledge, New York: Panthenon Books, 1980.
Fromm, Erich. The Anatomy of Human Destructiveness. Diterjemahkan oleh Imam
Muttaqin dengan judul Akar Kekerasan Analisis Sosio-Psikologis atas Watak
Manusia, Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
al-Hanafỉ , ‘Alauddỉ n Abū Bakr Mas’ūd al-Kāsānỉ . Kitab Badai’ al-Șānai’ Tartỉ b alSyarāi,’ Juz IV. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, [t.th.].
Hanafi, Hassan. Agama, Kekerasan dan Islam Kontemporer, Cet. I; Yogyakarta:
Jendela, 2001.
Hassan, Fuad. ”Ikhtiar Meredam Kultus Kekerasan.”Dalam Jurnal Perempuan,
Nomor 8 Tahun 2001.
Huda, Nurul S.A. Cakrawala Pembebasan Agama, Pendidikan dan Perubahan
Sosial, Cet. I; Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002.
Ibrahim, Zakaria. Sîkūlūjiyyah al -Mar’ah, diterjemahkan oleh Ghazi Saloom dengan
judul Psikologi Wanita. Cet. I; Bandung: Pustaka Hidayah, 2002.
Ibn Mājah, Sunan Ibn Mājah, Juz I. Bayrut: Dar al-Fikr, [t.th.].
Kartono, Kartini. Patologi Sosial 3: Gangguan-Gangguan Kejiwaan, Cet. III;
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
“KDRT Meningkat.” Tribun Timur, Selasa 10 Maret 2009, dan 1 Juni 2009.
“Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Kekerasan Domestik),” Artikel, Dinas
Kesehatan
Kabupaten
Kebumen,
tanggal
20
Oktober
2004,
http://www.dinkes.kebumen. go.id/ modules. php?op (diambil tanggal 21
Maret 2009).
La Jamaa dan Hj. Hadidjah, Hukum Islam dan Undang-Undang Anti Kekerasan
Dalam Rumah Tangga. Cet. I; Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2008.
LBH APIK Jakarta, “Bentuk-bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga,” (Makalah),
http:// www.lbh.apik.or.id/kdrt.bentuk.htm. (Diambil tgl 15 Mei 2009).
Maududi, Abul A’la. The Laws of Marriage and Divorce in Islam. Diterjemahkan
oleh Achmad Rais dengan judul Kawin dan Cerai Menurut Islam. Cet. V;
Jakarta: Gema Insani Press, 1994.
Mubarok, Achmad. Solusi Krisis Keruhanian Manusia Modern Jiwa dalam AlQur’ān, Cet. I; Jakarta: Paramadina, 2000.
Mulia, Siti Musdah. Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan. Cet. I;
Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2005.
Muslim, Sahîh Muslim, Juz II. Cet. I, dan II; Bayrut: Dar al-Fikr, 1992M/1412H.
Nelson, N. Dangerous Relationship, New York: Insight Books, 1997.

Tahkim

19
Vol. VI No. 1 Februari 2010

Hj.Eti Nurhayati, dkk. “Implikasi Pinsip Kafa’ah dan Sensivitas Gender sebagai
Penangkal Tindak Kekerasan Rumah Tangga dalam Relasi Suami Isteri:
Studi Kasus tentang Kekerasan yang Dialami Perempuan di Pengadilan
Agama Kota Cirebon.” Dalam Departemen Agama R.I., Sinopsis dan
Indeksasi Hasil Penelitian Kompetitif Dosen PTAI Tahun 1999-2003. Cet. I;
Jakarta: Ditperta Islam, 2004.
Nur, Iffatin. “Kejahatan Seksual berbasis Jender dalam Wacana Hukum Pidana
Islam.” Dalam Jurnal Dinamika Penelitian STAIN Tulung Agung, Vol. 1 No.
1, Agustus 2001.
Al-Qardawi, Yusuf. Hady al- Islam Fatawiy Mu’asirah, diterjemahkan oleh As’ad
Yasin dengan judul Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jilid I. Jakarta: Gema Insani
Press, 1995.
al-Qurţ ubî, Abu ‘Abdillāh Muhammad ibn Ahmad al-Anşārî. Tafsir Al-Jami’ li
Ahkām al-Qur’ān, Jilid III,
Juz V (Bayrut: Dar al-Kutub al‘Ilmiyyah,1993M/1413H.
Quţ b, Sayyid. Tafsîr fi Zilāl al -Qur’ ān, Jilid I, Juz II. Cet. XII; Mekkah: Dār al-‘Ilm
li al-Tiba’ah wa al-Nasyr, 1986M/1406H.
î,
al-Rāz Fakhruddîn. Al-Tafsir al-Kabir (Mafātîh al -Gaib), Jilid V, Juz X. Cet. I;
Bayrut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, 1990M/1410H.
Republik Indonesia, Undang-undang R.I. Nomor 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Cet. I; Jakarta: Sinar
Grafika, 2005.
Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan
Umat. Cet. XII; Bandung: Mizan, 2001.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar, Cet. XVII; Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1993.
al-Uwayyid, Muhammad Rasyid. Min Ajli Tahrir Haqiqi li al-Mar’ah.
Diterjemahkan oleh Ghazali Mukri dengan judul Pembebasan Perempuan.
Cet. I; Yogyakarta: ‘Izzah Pustaka, 2002.
Yasid, Abu (ed.). Fiqh Realitas Respon Ma’had Aly Terhadap Wacana Hukum
Islam Kontemporer. Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

Tahkim

20
Vol. VI No. 1 Februari 2010