Korupsi di Indonesia Kontemporer dan Pen

1

Korupsi di Indonesia Kontemporer dan Pengalaman
Sejarah Inggris 1660-18301
Peter Carey
“Jarang orang menjadi baik hanya demi kebajikan,
mereka menjadi baik karena keadaan mengharuskan.”
Mahatma Gandhi2
“Masyarakat tanpa hukum yang ditujukan untuk tegaknya keadilan
akan menemukan dirinya terjebak dalam penderitaan.
Yang kuat akan memaksakan kehendaknya pada yang lemah,
yang kaya pada yang miskin, yang memerintah pada yang diperintah.
Jadi, keadilan adalah sesuatu yang sangat penting di dalam masyarakat.”
Dalai Lama3
“Saya ingin membayangkan bagaimana wajah-wajah baru despotisme akan muncul di dunia ini. Saya
melihat kerumunan orang yang tak terhitung jumlahnya, semuanya sama dan setara. Pada diri mereka sendiri
terpendam pencarian tanpa lelah pada kesenangan-kesenangan vulgar dan tak penting yang dengannya
mereka isi jiwa-jiwa mereka. Masing-masing di antara mereka hidup terpisah, hampir tidak menyadari

nasib yang lainnya. Anak-anak dan sahabat-sahabat karib baginya sama halnya dengan manusia
lainnya dan warga negara lainnya. Ia berdiri bersama mereka, tetapi tidak melihat mereka. Ia

menyentuh mereka, tetapi tidak merasakannya. Ia hanya berada di dalam dan untuk dirinya sendiri
[dan] jika ia masih memiliki keluarga [...] ia dapat dikatakan telah kehilangan negaranya.”
Alexis de Tocqueville⁴

I Pendahuluan
Setiap negara modern pasti berurusan dengan isu korupsi. Indonesia bukan perkecualian. Trilogi
khas kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) diterima secara luas sebagai masalah utama yang
dihadapi negeri ini sekarang setelah 17 tahun reformasi, suatu warisan kolonial yang diperparah
Orde Baru (1966-1998). Jurang antara posisi Republik ini sebagai negara terkaya ke-16 menurut

2
peringkat GDP (US$890 miliar atau US$3.557 per kapita) dan posisi ke-118 dari 176 negara dalam
penilaian Indeks Persepsi Korupsi tahun 2012 (CPI 2012) masih sangat mencemaskan.
Namun demikian, gambarannya tidak seluruhnya negatif. Sejak mengarungi proses reformasi
pada 1998 menyusul kejatuhan Jenderal Soeharto dan Orde Baru-nya yang kleptokratik (19661998), Indonesia menyaksikan perbaikan yang meyakinkan dalam peringkat Indeks Persepsi
Korupsi. Pada 1998, Indonesia berada di urutan ke-80 dari 85 negara yang disurvei dan menjadi
negara ASEAN yang paling rendah rankingnya. Pada 2006, Indonesia ada di urutan ke-130 dari 163
negara dan berada di atas Kamboja (151) dan Birma (Myanmar) (160). Pada 2012, Indonesia
mengambil alih posisi Vietnam dan Laos. Dua tahun kemudian, indeks Indonesia bergeser lagi ke
peringkat 107 dari 175 negara yang disurvei (The Economist, 6 Juni 2015). Sekarang (2015) justru

turun ke peringkat 117 dari 175 negara dengan skor yang sama (34)⁵ di bawah negara tetangga,
seperti Singapura (98), Malaysia (52), Filipina dan Thailand, yang dua-duanya 38 (Kompas, 2015c).
Dalam jajak pendapat Kompas tentang penegakan hukum (6 Mei 2013), korupsi dipilih oleh 94,7
persen (720 responden di 12 kota besar Indonesia) sebagai satu-satunya isu paling penting yang
dihadapi negeri ini. Tiga perlima dari keseluruhan responden berpendapat praktik-praktik korupsi
dan suap adalah penghalang terbesar pengelolaan keadilan. Lebih dari separuh responden
menganggap korupsi sebagai problem paling serius yang menghalangi penegakan negara hukum
(rechtstaat). Poling ini memperkuat temuan Mark E. Warren (2004:328-343), profesor kajian
demokrasi di Universitas British Columbia (Kanada), bahwa korupsi berdampak langsung pada
prospek demokrasi karena membuat hilangnya kepercayaan pada institusi-institusi politik yang
mengabaikan penegakan hukum dan mendelegitimasi proses demokrasi yang lebih luas, sesuatu
yang jelas bisa dilihat dengan kasus mantan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar
(Bab 3), yang diberhentikan sebagai Ketua MK pada 5 Oktober 2013 dan divonis hukuman penjara
seumur hidup dalam kasus penyuapan sengketa pilkada (BBC Indonesia,30 Juni 2014).
Namun demikian, gambarannya tidak seluruhnya negatif. Sejak mengarungi proses reformasi
pada 1998 menyusul kejatuhan Jenderal Soeharto dan Orde Baru-nya yang kleptokratik (19661998), Indonesia menyaksikan perbaikan yang meyakinkan dalam peringkat Indeks Persepsi
Korupsi. Pada 1998, Indonesia berada di urutan ke-80 dari 85 negara yang disurvei dan menjadi
negara ASEAN yang paling rendah rankingnya. Pada 2006, Indonesia ada di urutan ke-130 dari 163
negara dan berada di atas Kamboja (151) dan Birma (Myanmar) (160). Pada 2012, Indonesia
mengambil alih posisi Vietnam dan Laos. Dua tahun kemudian, indeks Indonesia bergeser lagi ke

peringkat 107 dari 175 negara yang disurvei (The Economist, 6 Juni 2015). Sekarang (2015) justru

3
turun ke peringkat 117 dari 175 negara dengan skor yang sama (34) di bawah negara tetangga,
seperti Singapura (98), Malaysia (52), Filipina dan Thailand, yang dua-duanya 38 (Kompas, 2015c).
Didirikannya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2003, sebuah lembaga pemerintah yang
diberi mandat untuk melawan korupsi, beriringan dengan terjadinya perubahan besar toleransi
publik terhadap korupsi. KPK mendapatkan dukungan luas dari rakyat. Selain itu, kesuksesan
komisi anti rasuah ini dalam menggunakan perangkat-perangkat yang kontroversial, seperti alat
penyadapan dan fokusnya pada target-target kelas kakap seperti pebisnis, birokrat, bankir,
gubernur, diplomat, anggota dewan, jaksa, pejabat polisi, dan masyarakat Indonesia yang awalnya
tak tersentuh, tampaknya telah memunculkan era baru akuntabilitas publik.⁶
Namun jalan panjang masih harus ditempuh. Dari sekitar 16.200 kasus yang dilaporkan ke
KPK selama lima tahun pertama sejak berdiri (2003-2008), hanya sedikit yang berhasil diproses ke
pengadilan (Erviani, 2008). Kebanyakan kasus itu masih ditunda atau telah dialihkan kepada jaksa
lokal di tingkat pemerintah provinsi untuk investigasi lebih lanjut. KPK kekurangan sumberdaya
manusia dan sumberdaya lainnya. “Masalah utama adalah kemauan politik pemerintah di tingkat
daerah dan nasional,” kata pejabat divisi pendidikan publik KPK, Budiono Prakoso, pada Desember
2008. “Kemauan politik masih rendah [dan] segala sesuatu masih berada hanya di tingkat katakata” (Erviani, 2008).
Selain keterbatasan sumberdaya dan rendahnya kemauan politik pemerintah untuk

memberantas korupsi, KPK menghadapi serangan balas dendam berupa serangkaian kriminalisasi
dari institusi pesaing terberatnya, yaitu kepolisian. Pertama, polisi secara kasat mata menjerat
Ketua KPK Antasari Azhar dengan dakwaan yang sangat lemah, yakni terlibat dalam kasus
pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen, seorang pejabat badan usaha milik negara, pada 2009. Seorang
saksi kunci, Wiliardi Wizar, mantan Kapolres Jakarta Selatan, mengungkapkan dalam sidang
pengadilan bahwa penahanan tersangka, yaitu Antasari Azhar, adalah “dikondisikan” sesuai
perintah dari petinggi Mabes Polri. Atas kejadian ini Wiliardi menyesal dan merasa bersalah
terhadap tersangka (Detik, 10 November 2009).
Kedua, polisi kembali menerapkan perlakuan yang sama terhadap Ketua KPK Abraham Samad
dan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto atas dakwaan yang sangat minor setelah KPK
menetapkan calon Kepala Polri Budi Gunawan sebagai tersangka pada 13 Januari 2015 (Deutsche
Welle, 2015). Penunjukan calon Kapolri Budi Gunawan oleh Presiden Joko Widodo alias Jokowi pada
10 Januari 2015, kendati kemudian digantikan oleh Badrodin Haiti dan Budi Gunawan menjadi

4
wakilnya, serta serangkaian kejadian berikutnya mengungkapkan kelemahan dukungan politik atas
posisi kepemimpinan Presiden Jokowi, sementara partai-partai pendukungnya sekadar
memperjuangkan kepentingan politik pribadi dan kelompok masing-masing. Sikap Jokowi yang
selalu tunduk pada kemauan Megawati Sukarnoputri, Ketua PDI-P yang mendukung
kepresidenannya, menyebabkan dukungan publik kepadanya yang mengusung slogan “jujur, bersih

dan sederhana” selama kampanye pemilihan presiden 4 Juni-5 Juli 2014 merosot (lihat Bagian VII).
Pemerintahan Jokowi menghadapi ujian berat. Demikian pula proses reformasi anti-korupsi
Indonesia yang berada dalam situasi sangat sulit akibat lemahnya kemauan politik (Butt dan
Lindsey, 2015). Kini menjadi jelas bagi rakyat Indonesia bahwa mendukung seorang presiden yang
bersih dan reformis saja tidak cukup untuk mempercepat pencapaian cita-cita nasional bila
dukungan dari partai-partai politik kurang solid.

II Pengalaman Inggris, 1660-1830
Mungkin kaum reformis Indonesia harus menjadikan Inggris sebagai contoh. Pada “abad XVIII yang
panjang”—yang dalam kasus Inggris membentang dari Restorasi (Raja) tahun 1660 ketika kerajaan
Stuart dikembalikan setelah era Republik (1649-1653) dan rezim otoriter (Protectorate) Oliver
Cromwell (menjabat 1653-1658) hingga The Great Reform Bill (reformasi besar pertama parlemen
Inggris) pada 1832—Inggris Raya (Great Britain) yang dibentuk pada 1 Mei 1707 oleh Uni Inggris
dan Skotlandia sebenarnya adalah sebuah wilayah korupsi di Eropa. Sepanjang waktu itu, Inggris
menjadi negara adidaya dengan kapasitas militer yang signifikan di Eropa dan di dunia luar serta
mengalami revolusi industri pertama di dunia. Pada akhir abad XVIII dan awal abad XIX, waktu
pengaruh Angkatan Laut Inggris mulai terasa di perairan Nusantara,⁷ Inggris adalah negara
ekonomi perdagangan paling sukses di dunia—yang dalam ungkapan peyoratif Napoleon Bonaparte
disebut “bangsa pemilik toko (that nation of shopkeepers)”. Selama dua dekade konflik antara
pecahnya perang dengan pemerintah revolusioner Prancis yang dipimpin kubu garis keras Jacobin

(anggota partai Republikan Radikal Prancis) pada Januari 1793 hingga Pertempuran Waterloo (18
Juni 1815), Inggris menang atas musuh Eropa utamanya. Namun, Inggris membutuhkan waktu lebih
dari 150 tahun (1660-1830) untuk mengatasi masalah korupsi.
Pada abad XVIII yang panjang itu, Inggris adalah negara dengan sistem pemilihan kandidat
Majelis Rendahdi sektor perkotaan atau kota kecil (borough) yang busuk. Kursi-kursi parlemen
dengan jumlah populasi sangat kecil menyebabkan pemilih disuap gila-gilaan oleh para tuan-tanah.

5
Karena tidak ada pemungutan secara rahasia di Inggris hingga 1872, para tuan-tanah–yang
seringkali adalah anggota Majelis Tinggi Parlemen Inggris (House of Lords)–bisa mengusir warga
yang tidak memilih kandidat yang mereka dukung. Kandidat-kandidat itu biasanya adalah anak-anak
dan anggota keluarga dekat para tuan-tanah itu—sebuah situasi yang tidak begitu asing bagi
Indonesia saat ini dimana sering muncul “dinasti” politik di tingkat pemerintah dan parlemen
daerah (DRPD) yang marak korupsi. Patronase semacam ini melibatkan raja yang dapat menjamin
dukungan politik di parlemen dengan menggunakan “orang titipan” atau “placemen”, yaitu orang
yang ditunjuk kerajaan serta memegang jabatan-jabatan sipil dan militer yang secara konsisten
mendukung kepentingan raja di Majelis Rendah (Dewan Perwakilan Rakyat).
Penunjukan pada pos-pos yang menguntungkan seperti juru bayar (Paymaster-General atau
Paymaster of the Forces) dari Angkatan Bersenjata Inggris hampir pasti akan menjamin pemegang
jabatan dengan keberuntungan seumur hidup asalkan semua uang belanja dan penggajian militer

yang ditetapkan oleh Parlemen mengalir melalui tangan-tangannya. Administrasi pemerintahan
rendahan (sinecure, yakni pos-pos pekerjaan bergaji besar dengan tanggung jawab minimal) dan
politik patronase membuka peluang untuk memperkaya para elite dan pemiskinan mendadak yang
tak terbayangkan terjadi di zaman yang kurang sukses secara komersial dan militer itu. Bahkan
Perdana Menteri Inggris pertama, Sir Robert Walpole (berkuasa 1726-1740), menyelundupkan
barang-barang mewah Prancis melalui Sungai Thames menuju kediaman resminya dengan
menggunakan kapal-kapal patroli kerajaan.⁸
Korupsi yang terlembaga diperburuk dengan penaklukan Inggris atas imperium Asia, yang dalam
waktu yang singkat pada akhir Perang Napoleon meliputi Jawa di bawah kekuasaan Thomas
Stamford Raffles (1811-1816)—seorang pengagum budaya Jawa dan pengarang buku The History of
Java (1817). Aliran kekayaan dari daerah-daerah jajahan dan munculnya apa yang disebut nabob,
orang-orang kaya dan masyhur (dari bahasa India Hindustani navāb dan Urdu nawāb “gubernur”)
dengan kekayaan baru yang diperoleh dari dunia Timur, menimbulkan ketakutan terhadap
pengaruh sistem pemerintahan Timur dalam sistem politik Inggris. Terdapat beberapa orang,
seperti filsuf politik Edmund Burke (1729-1797), yang khawatir bahwa “despotisme Asia” dalam
bentuknya yang baru akan merusak lembaga-lembaga politik Inggris. Keprihatinan ini melahirkan
pengadilan-pengadilan terkenal, seperti pengadilan atas Gubernur Jenderal Benggala pertama,
Warren Hastings (1732-1818, menjabat 1773-1784), yang dituduh Parlemen telah melakukan
“kejahatan berat dan pelanggaran hukum kriminal” dan diberhentikan atas tuduhan korupsi pada
1787 tetapi dibebaskan delapan tahun kemudian. Sebuah kasus “panas” yang berlangsung lama,

bahkan lebih lama dibanding skandal Bank Century di Indonesia.

6

Hastings sebenarnya dikirim ke India oleh para Direktur Maskapai Dagang India Timur (English
East India Company atau EIC) dan parlemen Inggris untuk membersihkan sistem administrasi yang
dituduh sangat korup akibat tindakan temannya, Sir Robert Clive (1725-1774), sang penakluk
Bengal. Clive kembali dari India pada 1760 dengan membawa kekayaan pribadi yang pada hari ini
sebanding dengan 1,8 triliun rupiah (£90.000.000) dan pendapatan tahunan sebesar 150 miliar
rupiah (£7.500.000), hasil dari penyewaan tanah (quit rents), yang diperoleh dari Mir Jafar, kolektor
pajak zaman Mughal di Benggala Hilir. Ketika pada 1772 ditanya oleh parlemen tentang kekayaan
pribadinya yang fantastis itu, dia menyatakan, “Aku heran atas sikap yang tidak berlebihlebihanku”. Namun dia juga mengatakan kepada para anggota parlemen yang menuduhnya,
“Ambillah uangku, tapi selamatkan kehormatanku!” Pada tahun berikutnya, 1773, parlemen
mengesahkan Undang-Undang Regulasi yang meletakkan kekuasaan Maskapai Dagang India Timur
(EIC) dalam pengawasan lembaga itu. Setahun kemudian (22 November 1774) Clive meninggal
karena bunuh diri.
Kasus Hastings dan Clive menarik dalam pengertian gejala korupsi berkembang. Ini
menunjukkan bahwa apa yang dianggap “korup” bergeser dari generasi ke generasi. Hal itu bisa
dilihat secara terang dari tanggapan pemerintah Inggris terhadap gejala korupsi di India. Tindakan
yang pada awalnya dimaafkan, misalnya pada generasi perintis kolonial seperti Clive, cepat bisa

berubah menjadi sesuatu yang haram pada generasi penerusnya (Hastings) waktu penjagaan
parlemen Inggris melalui Board of Control (Dewan Pengurus dan Pengawas) Maskapai Dagang India
Timur (EIC) menjadi jauh lebih ketat. Namun toh Hastings sendiri, walaupun dituduh oleh
musuhnya di dewan pengurus bertindak “korup” sebagai gubernur, ternyata dibebaskan dari semua
tuduhan setelah diadili delapan tahun lamanya. Dan kita akan lihat beberapa kasus serupa di bawah
ini.

III Munculnya Inggris sebagai Kekuatan Global
“Antara 1688 dan 1714, Inggris mengalami suatu transformasi radikal karena memperoleh semua
atribut dari sebuah negara fiskal- militer yang kuat: pajak tinggi, administrasi sipil yang
berkembang pesat dan diatur baik, tentara profesional dan kebulatan tekad untuk bertindak
sebagai kekuatan Eropa yang besar” (Brewer, 1989:137)⁹

7
Munculnya Inggris sebagai kekuatan global di abad XVIII dikaitkan dengan pembentukan apa
yang oleh sejarawan Inggris abad XVIII sebut “negara fiskal-militer” (Brewer, 1989:xvii-xix, 33-62),
yakni sebuah negara yang mampu mewujudkan kekayaan perdagangan dan pertanian dengan
memisahkan pengaturan fiskal-finansial. Bank Negara atau Bank of England dibangun pada 1694
dan Land Tax (Pajak Bumi) diperkenalkan pada 1692 (empat uang receh pound sterling pada tahuntahun peperangan, satu receh pound sterling di masa damai),¹º Bea dan Cukai, keduanya di bawah
komisioner yang ditunjuk parlemen Inggris yang bekerja masing-masing pada 1671 dan 1683

setelah Bea dan Cukai diambil-alih dari perusahaan swasta (tax farmers) yang telah mengelola
perpajakan pemerintah sejak 1660.¹¹ Ini memungkinkan pemerintah Inggris membangun kekuatan
militer sekaligus meminjam uang secara murah (sekitar empat persen per tahun). Memang selama
abad XVIII yang panjang itu, anggaran untuk tentara dan Angkatan Laut Inggris antara 50-90
persen dari total anggaran negara. Kemudian pada awal abad XIX, waktu Inggris terlibat dalam
perang global dengan Prancis, anggaran belanja militer tahunan adalah 5-10 persen dari GDP
nasional (₤450 juta pound sterling, setara dengan 65 miliar pound sterling atau lebih dari 1.300
triliun rupiah dalam uang sekarang (Graham dan Marwah 2015, catatan kaki 25 mengutip
Williamson 2015).
Elemen kunci keberhasilan Inggris adalah kemampuannya membayar tentara di medan
pertempuran dan menghindari pasukan memberontak, suatu kemampuan yang tidak dimiliki selama
hampir tiga abad setelah Agincourt (1415). Ini adalah salah satu rahasia dari serangkaian
kemenangan Marlborough antara Blenheim (tahun 1704) dan Malplaquet (tahun 1709) (Graham
2015:73-79, 96) serta keberhasilan yang secara susah payah dicapai oleh Wellington di Waterloo (18
Juni 1815). Dalam kasus terakhir, Nathan Mayer Rothschild (1777-1836), yang berasal dari keluarga
perbankan terkenal Yahudi di Frankfurt (Jerman), yang menyediakan kredit untuk pasukan Inggris
(Graham, 2015:87), juga patut dihargai perannya. Ia membuat analisis awal atas hasil akhir
Waterloo (dia mengirimkan berita kepada agen pribadi dagang saham sehari menjelang
pertempuran) yang memungkinkan dia memperoleh untung gila-gilaan di bursa saham London pada
akhir Juni 1815.

Obligasi negara juga dilihat sebagai investasi yang baik dan aman. Tidak seperti Prancis di mana
pinjaman negara harus dikembalikan ditambah dua digit tingkat bunga dan pemberi pinjaman
internasional akhirnya menolak kredit negara itu, menyusul kebangkrutan Prancis setelah Perang
Revolusioner (Perang Kemerdekaan) Amerika (1775-1783), Inggris pada akhir abad XVIII bisa
meminjam pada suku bunga yang sangat rendah, berkisar antara 3,5 dan 4,5 persen. Meskipun
utang nasional menggembung ₤875.000.000 atau hampir 2.600 triliun rupiah dalam uang sekarang

8
(Oktober 2015), pada akhir Perang Napoleon tahun 1815 pembayaran utang ini yang terbukti
dikelola dengan baik, sehingga memberikan kelayakan-kredit (kredibilitas) yang tinggi bagi Inggris.
Walaupun dalam kasus Inggris pada akhir abad XVIII dan awal abad XIX gerakan Kristen Injili
memainkan peran yang sangat signifikan karena memicu sebuah “revolusi mental” (lihat di bawah),
pada awalnya kemauan politik untuk mengatasi masalah korupsi di tingkat elite dipicu ketakutan,
khususnya ketakutan terhadap bencana militer seperti yang terjadi pada 1783 ketika Inggris
kehilangan koloni di Amerika Utara. Malapetaka dari Perang Kemerdekaan Amerika, dengan peran
vital Angkatan Laut Prancis sebagai sekutu Amerika, menghantui elite Inggris dan membuat mereka
waspada terhadap ancaman dari luar negeri. Pertama di tangan raja-raja Bourbon Prancis (hingga
tahun 1792) dan Prancis Republikan/Napoleonik (1793-1815), lantas kemudian Jerman selama
imperiumnya (Reich Kedua, 1870-1918) serta kekuasaan Nazi yang keji itu (Reich Ketiga,19331945). Kasus sama yang terjadi di zaman modern adalah ketakutan terhadap keruntuhan ekonomi
yang menyertai praktik-praktik perbankan yang buruk, misalnya eksposur bank Irlandia untuk pasar
properti selama krisis keuangan pasca-September 2008 yang dipicu kebangkrutan Lehman Brothers
atau persaingan komersial yang timbul akibat bangkitnya RRT sebagai kekuatan global serta
ketakutan Indonesia terkait ancaman ekonomi dan ambisi politik Jalur Sutera Maritim Tiongkok
serta dampak pemanasan global terhadap masa depan negara kepulauan yang rentan kenaikan
permukaan laut itu (lihat di bawah).
Pengaturan fiskal dan keuangan yang ditetapkan mengikuti Raja Protestan Belanda, William of
Orange (bertakhta 1689-1702), keberhasilan invasi Inggris pada 1688 khususnya pengenalan Pajak
Bumi pada 1692, pendirian Bank of England di 1694, dan kontribusi pendapatan dari Bea dan Cukai
yang sangat rentan terhadap korupsi dan kegagalan di bidang militer. Kepercayaan yang
memungkinkan pengaturan ini berfungsi secara efektif dan memungkinkan Inggris membangun
kekuatannya jauh melampaui batas-batas pulaunya, tetapi sekaligus dapat rontok dengan mudah.
Ini salah satu sebab kasus penipuan dalam urusan keuangan pada abad XVIII dikenai sanksi hukum
yang sangat berat, biasanya eksekusi hukuman mati gantung (Andrew and McGowan, 2001). Selain
itu, juga bisa dijelaskan dengan singkat situasi yang muncul selama skandal South Sea Bubble pada
1720 dan Pemberontakan Yakobit (pendukung Dinasti Stuart yang berkuasa sebelum 1688) pada
1745. Contoh kontemporer mungkin adalah skandal manipulasi LIBOR (London Interbank Offered
Rate) yang disebabkan Barclays serta bank terkemuka lainnya yang merusak reputasi London
sebagai pusat keuangan global pada Juli 2012.¹²

9
Beberapa cara jitu dapat digunakan untuk menanggulangi korupsi. Pertama, mendorong
kemitraan publik-swasta, misalnya antara pemerintah dan proyek-proyek yang pada awalnya
(sebelum 1671 dan 1683) dimiliki swasta, seperti Bea dan Cukai, atau terus dikelola swasta– seperti
Bank of England sejak 1694 di bawah pengawasan komisaris yang ditunjuk parlemen. Pendekatan
kedua, mendirikan sebuah komisi khusus parlemen untuk memeriksa laporan keuangan negara
(Commission of Public Accounts). Komisi ini dipilih oleh anggota parlemen dari dua partai besar,
Tory dan Whig, untuk pertama kali pada 1691 setelah pengaturan baru fiskal dan keuangan setelah
penobatan Raja William (1689-1702) memberi wewenang jauh lebih luas kepada parlemen untuk
mengawasi belanja dan neraca Departemen Keuangan (Treasury). Mereka berhak memanggil
menteri dan pejabat seniornya untuk memeriksa laporan keuangan mereka. Antara 1691 dan 1697,
komisi yang kecil ini—hanya beranggotakan tujuh sampai sembilan orang—begitu berhasil karena
membongkar kasus penyelewengan uang negara, sehingga pemerintah Inggris akhir 1690-an
menjadi takut dan mencoba menghalangi kelanjutannya.¹³
Sejarah ini mengingatkan kita atas nasib Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada masa ini
(Oktober 2015) di Indonesia dengan anggota DPR yang mencoba memangkas wewenangnya untuk
menghindari pembongkaran kasus korupsi di kalangan birokrasi dan pemerintah. Namun demikian,
ada perbedaan dasar antara dua kasus ini sebab Komisi Keuangan Negara di Inggris (Commission of
Public Accounts) pada akhir abad XVII terdiri atas anggota parlemen sendiri dan mengawasi uang
negara yang berasal—sepertiga¹⁴ —dari Pajak Bumi yang wajib mereka bayarkan sebagai tuan
tanah. Sangat berbeda dengan Indonesia masa kini karena KPK tidak ada kaitan dengan DPR dan
anggota DPR tidak memikul beban yang berarti dalam pembayaran pajak penghasilan (income tax)
untuk negara.
Pendekatan ketiga adalah meningkatkan upah pegawai negeri sipil, termasuk hakim pengadilan
tinggi, secara substansial. Ini dilakukan dengan hakim Inggris mulai tahun 1645. Ketika itu gaji
hakim senior dinaikkan 500 persen menjadi ₤1.000 (seribu pound sterling per tahun, setara dengan
₤151.500 atau 3,3 miliar rupiah dengan uang sekarang, Oktober 2015)¹⁵ (Prest, 1991:83). Setelah
gaji hakim dinaikkan secara fantastis, pemerintah juga melarang hakim “menerima penghasilan
tambahan, keuntungan, atau hadiah (fee, perquisite or reward) yang lain secara langsung atau
melalui staf ahli mereka. “Ini untuk mencegah malapraktek hukum dan meringankan ongkos
penggugat. Delapan tahun kemudian (1653), pemerintah menetapkan sebuah peraturan etika (code
of ethics) berupa “Akta untuk Mencegah Permohonan, Penyuapan dan Pemerasan kepada Hakim
[Act to Prevent the Solicitation of Judges, Bribery and Extortion]” yang berdampak signifikan
kepada kejujuran kehakiman Inggris akhir abad XVII (Prest, 1991:83). Dengan penghapusan semua

10
pengadilan luar biasa yang dulu marak dengan korupsi—seperti Star Chamber, Court of Requests,
Council of the North, Council in the Marches—antara 1645 dan 1689 dan penerapan prinsip baru
untuk mengangkat hakim “asal mereka bertindak baik” (quamdiu se bene gesserit) daripada atas
“kemauan sang raja”, sebuah reformasi yang sudah tuntas antara 1701 dan 1714. Tak disangkal
suatu era baru dalam sejarah kehakiman Inggris dimulai (Prest, 1991:83, 85). Memang tidak berarti
semua hakim Inggris sama sekali lepas dari pengaruh politik, tapi secara profesional mereka mulai
bertindak jauh lebih solid dan bisa dipercaya bebas dari suap, sesuatu yang sangat diperlukan
ketika pemerintah Inggris mulai menggugat pejabat yang korup pada akhir abad XVIII ketika
Economical Reform (Reformasi Penghematan) diterapkan antara 1780 dan dasawarsa 1830-an.
Untuk pegawai negeri yang lain, yaitu 15.000 PNS dan 10.000 perwira militer menengah, prinsip
bahwa mereka harus menerima gaji yang layak untuk pangkat mereka sudah diterima, tetapi diikuti
syarat bahwa mereka harus bisa menunjukkan keberhasilan untuk melayani masyarakat dengan
seksama.¹⁶ Jadi prinsip bahwa pemerintah mempunyai tanggung jawab atas kesejahteraan warga
mulai terkuak—sesuatu yang diungkapkan secara jeli oleh Louis Antoine de St. Just (1767-1794),
anggota Komisi Tertinggi Revolusi Prancis (Comité du Salut Public), sewaktu debat di Convention
(parlemen revolusioner Prancis) mengenai pembagian dari properti émigré (emigran), terutama
bangsawan Prancis yang telah melarikan diri, kepada fakir miskin. Ia menyatakan: “le bonheur est
une idée neuve en Europe (kesejahteraan adalah sebuah ide baru di Eropa).”
Dalam kasus India yang dikelola Maskapai Dagang India Timur (East India Company) ada
kebijakan untuk menaikkan upah pejabat pegawai negeri sipil India pada awal abad XIX. Meskipun
gaji PNS di India dinaikkan empat kali lipat antara 1805 dan 1857, hasilnya tidaklah seperti yang
diinginkan (Bowen, 2006:178-218). Hanya ketika kekuasaan East India Company (1600-1858)
berakhir menyusul bencana pemberontakan India (Indian “Mutiny” alias Perang Merdeka) tahun
1857 dan India jajahan Inggris diambil-alih di bawah kendali pemerintah Inggris di London,
perubahan-perubahan penting itu dapat dimasukkan ke dalam etos pegawai negeri sipil India.
Cara jitu yang keempat barangkali ada kaitannya dengan pendirian perguruan tinggi kejuruan
untuk PNS dengan etos layanan khusus. Salah satu contohnya adalah Haileybury (pra-1862,
Imperial Service College) dengan moto: “Takut pada Tuhan dan muliakan Sang Raja” (1862), yang
dimulai sebagai East India Company College pada 1806 dengan tugas mendidik taruna untuk
bekerja pada East India Company. Namun tak satu pun dari inisiatif inisiatif itu dapat bekerja secara
terpisah. Memang jika godaannya terlalu besar, seperti di India pada akhir abad XVIII dan awal
abad XIX, pengaruhnya pun sangat minimal.

11

Salah satu tanda bahwa pemerintah serius mengatasi korupsi adalah ketika ia mulai
mengalihkan beban beratnya pada pendapatan PNS dan para pejabatnya dalam kasus-kasus yang
melibatkan anggota-anggota elite pemilik tanah dan kaum kayaraya. Terkait dengan hal ini adalah
kesediaan pemerintah untuk memberikan hukuman berat, termasuk hukuman mati, terhadap
kalangan elite yang melakukan tindak pidana, seperti hukuman gantung atas Lord Ferrers pada
1760 yang membunuh pengurus tanahnya (steward)—akan dijelaskan lagi nanti—atau proses
pengadilan atas kecerobohan pejabat sipil seperti Thomas Parker, Earl Macclesfield Pertama (16661732), yang terlibat dalam kasus korupsi berat waktu menjabat sebagai Lord Chancellor¹⁷ (17181725), atau perwira tinggi militer, seperti eksekusi atas Laksamana John Byng (1704-1757) pada
1757.
Dalam analisis akhir, perjuangan melawan korupsi yang terlembaga dalam pemerintahan adalah
seperti mengecat jembatan Sungai Forth di Skotlandia—tidak ada ujungnya. Dan apa yang dianggap
tindakan korup bergeser dari zaman ke zaman, seperti kita sudah lihat di atas dengan kasus Robert
Clive dan Warren Hastings di India. Dalam kasus Inggris, butuh 150 tahun untuk menangani
korupsi. Selain itu, juga dibutuhkan semacam “revolusi mental” yang didasarkan atas dua
perkembangan baru: pengaruh agama Protestan Injili (Evangelical Christianity) dan filsafat
utilitarianism atau “bahagia yang paling besar dari sebanyak mungkin orang” (the greatest
happiness of the greatest number).
Munculnya gerakan Kristen Injili di akhir abad XVIII memiliki pengaruh besar terhadap
pandangan elite yang berkuasa. Ini melibatkan politikus sayap kanan seperti anggota partai Tory
dalam kampanye humanis mereka untuk menghapuskan pedagangan budak yang membuahkan
legislasi anti-perbudakan pada 1807 dan 1833. Namun selain kampanye itu, mereka juga
menyalahkan penipuan dan korupsi yang mereka anggap sebagai ciri khas sistem pemerintahan
Inggris pada abad XVIII. Begitu kuatnya dampak program Reformasi Penghematan (Economical
Reform), sehingga pemimpin Tory, William Pitt Yang Muda (menjabat 1783-1801/1804-1806),
merangkul program ini untuk masuk ke dunia politik ketika ia menjadi perdana menteri pada 1783
(Graham dan Marwah, 2015). Ia merasa harus membuat legislasi supaya reformasi penghematan ini
terlaksana dan Inggris bisa beralih dari tatanan lama kepada dunia modern tanpa gejolak politik
kekerasan seperti Revolusi Prancis¹⁸ (Petrie, 1959:254-265). Pakar sejarah korupsi, yang disebut
“Old Corruption ” (Korupsi Lama, lihat di bawah) pada akhir abad XVIII, Philip Harling,
mengisahkan arus yang telah mengakibatkan pergeseran atau “revolusi mental” ini. Selain
berkembangnya pendapat, kepercayaan Injili memicu sebuah moralitas yang didasarkan atas

12
kejujuran, integritas, dan tradisi patriarkal, yang membuahkan semacam kebanggaan nasional
dalam melaksanakan tugas politik dengan jujur dan seksama. Ini memicu sebuah pergeseran politik
dan budaya pada partai Tory, seimbang dengan yang sudah dialami politikus Whig dan Radikal
(Graham dan Marwah, 2015, mengutip Harling, 1996:136-196).
Revolusi mental ini juga bisa dilihat dalam filsafat moral yang dikembangkan pemikir dan ahli
hukum, Jeremy Bentham (1748-1832), dan adiknya, Samuel Bentham (1757-1831), seorang insinyur
militer dan arsitek kapal perang yang menangani reformasi mendasar di galangan kapal Angkatan
Laut Inggris antara 1796 dan 1805. Kakak beradik Bentham mempopulerkan doktrin
“utilitarianism” yang menitikberatkan kepada unsur sifat hemat (irit), efisiensi, kebersahajaan, dan
integritas—kualitas yang juga dikembangkan seorang Diponegoro pada tahun-tahun yang sama di
Yogyakarta—di bidang pemerintahan, terutama di bidang keuangan negara (fiskal) dan militer
(angkatan bersenjata) serta masyarakat luas dan kalangan partai politik tertentu. Ini memicu
gelombang reformasi yang ditangani partai Whig dan Radikal dari anggota partai Whig yang
menuntut reformasi mendasar terhadap yang disebut “Old Corruption”, yang mencakup semua yang
berbau sistem politik lama, terutama sifat menganggap jabatan pemerintah sebagai semacam
properti sendiri dan mengambil ongkos dibanding menerima gaji yang cukup.¹⁹ Sesudah mereka
bisa membentuk administrasi tahun 1830, politikus Whig dan Radikal itu langsung menyiapkan
legislasi untuk reformasi besar Parlemen dua tahun kemudian (Graham dan Marwah, mengutip
Harling, 1996:197-227).
Pembaruan birokrasi Inggris pada dasawarsa 1830-an yang bermuara pada filsafat utilitarian
dari Jeremy Bentham bertambah kencang, sehingga menyebabkan Komisi Kerajaan (Royal
Commissions) pada 1850-an memperbaiki institusi-institusi penting, seperti Angkatan Darat serta
universitas kuno Oxford dan Cambridge yang pernah dirundung malapetaka korupsi yang sangat
parah pada abad XVIII. Untuk penyelewengan terakhir, sejarawan Edward Gibbon (1737-1794)
dengan jelas menguraikan dalam autobiografinya, “Empat belas bulan (1752-1753) yang aku
habiskan (di Oxford) adalah bagian hidupku yang paling sia-sia dan paling tidak menguntungkan”
(Gibbon 1897:137). Reformasi Angkatan Darat Inggris juga tersendat lebih dari dua dasawarsa
karena panglima besar, sang Duke (Adipati) “Besi” Wellington (1769-1852), pemenang Pertempuran
Waterloo, dengan tegas menolak reformasi mendasar tentara Inggris sampai akhir hayatnya (1852)
(Strachan, 1984).
Meskipun reformasi tertunda, tentara kerajaan tetap merupakan salah satu lembaga paling
efektif yang bertahan lama berkat momen imperial Inggris yang berjangka panjang (terpikir di sini

13
tentang Perang Falklands [Malvinas] pada 2 April-5 Juni 1982). Sorak-sorai terakhir Inggris adalah
krisis Suez pada November 1956 ketika juru bayar Amerika Serikat akhirnya kehilangan kesabaran,
lalu menolak melanjutkan jaminan keuangan kepada pemerintah Inggris untuk mendukung
petualangan-petualangan imperialnya—sesuatu yang telah dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat
(Congress) AS kepada Belanda pada 7 Februari 1949 setelah Politionele Actie Kedua ( Operatie
Kraai, 19 Desember 1948). Saat itu Belanda disuruh berunding lagi dengan Republik Indonesia
untuk mengakui hak daulat Indonesia sebagai negara merdeka. Jika tidak, Belanda diancam akan
kehilangan dana dari Program Marshal Aid untuk fiskal 1950-1951 (Soelias, 2015:63).

IV Bagaimana dan Mengapa Isu Korupsi Ditangani?
Mahatma Gandhi pernah mengatakan bahwa “orang jarang menjadi baik hanya demi kebaikan
itu sendiri, mereka menjadi baik karena keadaan mengharuskan” (Gandhi, 2000, V.74:193). Tidak
ada tempat lain yang lebih tepat dan cocok untuk pernyataan Gandhi itu daripada Inggris abad
XVIII dan awal abad XIX. Motivasi utama untuk mengatasi korupsi tampaknya adalah ketakutan.
Dalam kasus Inggris pada abad XVIII, motivasi itu lahir bukan dari kepedulian terhadap
konsekuensi hukum atau kecaman publik, tetapi dari bencana militer. Dengan sekitar empat
setengah juta penduduk pada 1700 dan 9,1 juta pada akhir abad XVIII (sensus 1801), Inggris berada
pada ketidakberuntungan demografis yang parah dibandingkan dengan Prancis yang memiliki 20
juta penduduk pada 1720 dan 26 juta pada akhir abad itu, tiga kali lipat dari Inggris.
Selain itu, pengaturan fiskal keuangan melalui perpajakan yang ditetapkan parlemen dan
pinjaman yang dikelola Bank of England (1694) melalui surat pinjaman (promissory notes) sangat
rentan. Militer membalikkan keadaan, kecerobohan keuangan, atau korupsi yang terlembaga dapat
merontokkan sistem tersebut. Hal ini secara jelas diilustrasikan pada 1745 ketika 6.000 tentara
yang tidak solid barisannya—tentara Yakobit dari Young Pretender (penuntut singgasana Inggris,
Skotlandia, dan Irlandia Yang Muda), Bonnie Prince Charlie (Charles Edward Stuart, 1720-1788)—
datang jauh ke selatan dari Skotlandia hingga Derby. Meskipun mereka mempercayai desas-desus
palsu bahwa pasukan besar Hanoverian sedang berbaris menuju utara untuk menyerang mereka,
jalan menuju selatan ke London ternyata terbuka lebar. Kepanikan besar pun menyeruak di
kalangan elite kaya-raya di London. Penarikan dana besar-besaran di Bank of England terjadi
dengan ratusan deposan mencoba untuk mengubah uang kertas mereka menjadi emas. Penarikan
besar-besaran itu begitu parah, sehingga teller bank diberitahu oleh direksi untuk memanaskan

14
emas sampai membara dan menaruhnya di konter supaya tidak ada satupun pemilik deposito bisa
mengambilnya.
Setengah abad kemudian, pada Januari 1793 waktu Inggris mulai terlibat dalam perang global
dengan Pemerintah Revolusioner Prancis, pemikir radikal dan pendukung gerakan Republikan,
Thomas Paine (1737-1809), mengedarkan lagi pamfletnya Prospects on the Rubicon (Prospek atas
Rubicon) pada 1787 sebagai Prospects on the War and Paper Currency (Prospek atas Perang dan
Uang Kertas) untuk memperingatkan warga Inggris tentang kerentanan sistem perbankan Inggris
terhadap gejolak perang berkepanjangan itu.Tiga tahun kemudian, dalam The Decline and Fall of
the English System of Finance (Runtuh dan Tumbangnya Sistem Finansial Inggris) tahun 1796,
Paine meramalkan keruntuhan total sistem finansial Inggris, sesuatu yang rupanya menjadi mimpi
buruk Direktur Bank of England pada 25 Februari 1797 saat mereka terpaksa menangguhkan
pembayaran klien bank dengan uang kontan. Rupanya para direktur takut uang di bank akan
terkuras akibat panik atas desas-desus invasi Prancis melalui Irlandia bulan Desember 1796 dan
Januari 1797.
Para perwira senior militer yang dianggap telah lalai dalam tugasnya benar-benar tak tertolong.
Nasib malang Laksamana John Byng (1704-1757), yang dieksekusi regu tembak di kapal induknya di
Portsmouth pada Maret 1757 karena gagal mencegah Minorca jatuh ke tangan Prancis tahun
sebelumnya, disatirkan oleh filsuf Prancis, Voltaire, dalam novelnya Candide (1759). Di dalamnya
seorang protagonis naif diberitahu bahwa “di negeri ini adalah baik membunuh seorang laksamana
dari waktu ke waktu untuk memotivasi laksmana-laksamana lain” (dans ce pays-ci, il est bon de tuer
de temps en temps un amiral pour encourager les autres).
Dua dekade kemudian, hilangnya koloni-koloni Amerika setelah kekalahan militer di Saratoga
(1777) dan Yorktown (1781), bencana militer terburuk Inggris hingga jatuhnya Singapura (15
Februari 1942), memunculkan sejumlah refleksi tentang bahaya “kebesaran yang tidak moderat”
yang dikaitkan dengan akuisisi kerajaan di seberang lautan serta efek yang merusak dari kebesaran
semacam itu pada lembaga-lembaga politik Inggris. Yang paling terkenal di antaranya tentu saja
buku sejarawan Edward Gibbon, Decline and Fall of the Roman Empire (Runtuh dan Tumbangnya
Kekaisaran Romawi) yang diterbitkan dalam enam jilid antara 1776 dan 1788-1789, tepatnya tahun
yang membentangkan bencana-bencana di Amerika Utara dan awal Revolusi Prancis. Ketakutan
akut yang tiba-tiba itu menghantui Inggris sebagai kekuatan global pada abad XVIII.

15
Malapetaka Perang Revolusioner Amerika antara 1775 dan 1783 juga membangkitkan
keprihatinan elite Inggris atas dampak korupsi dan kejahatan terhadap “kepentingan nasional” yang
sudah lama telah menjadi isu bagi mereka. Jauh sebelum perang selesai, ormas akar rumput seperti
Pergerakan Asosiasi Wilayah (County Association Movement) mulai melobi parlemen untuk
reformasi yang moderat, juga disebut “Economical Reform”, untuk memangkas birokrasi,
menghemat ongkos pemerintahan, dan membuat reformasi dasar parlemen.
Walaupun yang terakhir tertunda sampai 1832, reformasi birokrasi dan pemerintahan sudah
diawali dengan legislasi (Economical Reform Bill) tahun 1780-an. Itu juga menjadi program partai
reformis Whig dan sesuatu yang memicu pergerakan Radikal yang mengkehendaki reformasi
konstitusi secara keseluruhan dan pemberantasan Old Corruption (Graham dan Marwah 2015,
mengutip Harling 1996:31-55).
Seiring ketakutan terhadap bencana militer dan pembusukan yang disebabkan kekuasaan
imperial yang sangat luas, muncul kekhawatiran bahwa kecerobohan keuangan akan merontokkan
sistem fiskal dan keuangan yang pernah menaikkan status Inggris sebagai kekuatan raksasa. Inilah
pengaturan rumit yang melibatkan anggota elite kaya raya dan tuan tanah yang menanggung beban
Pajak Bumi sebagai imbalan atas hak-hak istimewa politik, di antaranya hak pengawasan terhadap
anggaran dan neraca belanja negara yang dikuasai parlemen. Hal ini memungkinkan mereka untuk
mengawasi dan mengendalikan pengeluaran pemerintah. Dengan cara ini mereka bisa memantau
penggunaan pajak mereka, sesuatu yang absen secara mencolok dalam kasus Indonesia karena elite
tidak menanggung bagian terbesar dari beban pajak dan mereka jarang terwakili di Dewan
Perwakilan Rakyat.

V Kemitraan Publik-Swasta dan Penanggulangan Korupsi
Hampir semua lembaga keuangan dan fiskal yang muncul di Inggris pada akhir abad XVII,
seperti Bea Cukai, Jasa Cukai, dan Bank of England (1694) bermula sebagai usaha swasta.
Meskipun diambil-alih pemerintah, dalam kasus Bea dan Cukai masing-masing pada 1671 dan 1683,
lembaga-lembaga itu tetap dikelola seperti perusahaan swasta. Bea dan Cukai diatur para
komisaris, sementara Bank of England dikendalikan para direksi yang ditunjuk parlemen. Mereka
baru berada di bawah kontrol publik sebagai departemen biasa pemerintahan secara bertahap sejak
pertengahan abad XIX, yakni tahun 1849 dalam kasus Dewan Cukai (selanjutnya bergabung ke
Badan Pendapatan Negara [Board of Inland Revenue] dan setelah 1909 bergabung ke Badan Bea

16
dan Cukai) serta 1947 untuk kasus Bank of England, yang dinasionalisasi oleh pemerintahan Partai
Buruh Clement Attlee (menjabat 1945-1951) di masa setelah Perang Dunia Kedua.
Hal ini penting karena dalam konteks korupsi yang terlembaga di kantor-kantor pemerintah pada
awal abad XVIII, lembaga/dewan fiskal dan keuangan swasta bisa menetapkan sendiri standar
pemasukan melalui pemeriksaan dan tingkat remunerasi yang kompetitif. Sebagaimana kita
ketahui, dalam institusi Indian Civil Service (ICS) awal abad XIX, para kadet yang dilatih di
Haileybury bisa mendapatkan gaji di India empat kali lebih banyak ketimbang yang diterima rekanrekan mereka yang bekerja dalam posisi yang sama di Inggris. Perbedaan ini dilembagakan dalam
rangka untuk mencoba—meski awalnya gagal—mencegah para pejabat ICS terlibat dalam korupsi
birokrasi.
Di lembaga cukai petugas dikenai kontrol ketat. Mereka, misalnya, tidak diizinkan bekerja di
tempat yang di dalamnya terdapat hubungan keluarga atau koneksi lokal. Selain itu, mereka bisa
diberhentikan karena pelanggaran-pelanggaran kecil, seperti salah menyalin kala membuat laporan.
Menurut sejarawan Inggris abad XVIII, John Brewer (1989:56), “Dinas cukai menunjukkan suatu
tingkat efisiensi administratif dan integritas yang didasarkan pada suatu sistem pembukuan, yang
diatur sebagai suatu hierarki yang keras dengan mengandalkan pegawai yang berpengalaman dan
cakap, yang menunduk kepada sistem disiplin ketat yang ditetapkan kantor pusat. Dinas cukai
Inggris adalah dinas yang paling mirip dengan konsep birokrasi Max Weber dari semua dinas
(perpajakan dan administratif) lain di Eropa pada abad XVIII.” Menurut pakar sejarah korupsi
Inggris, Aaron Graham, sistem pemeriksaan keuangan khusus dinas cukai Inggris, Auditor of
Excise, membuat lembaga pajak ini termasyhur selama abad XVIII sebagai lembaga yang paling
efisien dan jujur (Graham, 2013:806).
Thomas Paine (1737-1809) mungkin merupakan petugas cukai yang paling terkenal di abad XVIII
(Robbie Burns menempatkannya sebagai pesaing dekat). Ia diberhentikan dari jabatannya di
Grantham (Lincolnshire) pada 1765 karena mengaku telah memeriksa barang yang sebenarnya
tidak ia lakukan. Dua tahun kemudian ia kembali ditugaskan sebagai pegawai cukai di Grampound
(Cornwall) dan kemudian Lewes (West Sussex) di 1767-1768. Paine kemudian menulis sebuah
pamflet—The Case of the Officers of the Excise [Keadaan Pejabat Lembaga Cukai] (1772-1773)—
berisi keluhan tentang buruknya tingkat remunerasi yang menurut dia tak sebanding dengan beban
tanggung jawab berat yang diterima petugas cukai dan jadwal kerja mereka yang padat.

17
Kampanye petugas Bea dan Cukai Inggris untuk membongkar dan memberantas mafia
penyelundupan di Inggris Raya pada abad XVIII sangat alot.²º Sejak Uni dan Inggris pada 1707,
Skotlandia terkenal sebagai wilayah rawan penyelundupan, khususnya impor klandestin teh asal
Tiongkok dan India (Assam). Hanya kebijakan pemerintah di London untuk menurunkan tarif teh
secara drastis mulai 1770-an bisa meredakan situasi.²¹ Selama abad XVIII istilah “free trade”
(perdagangan yang bebas) mengandung arti dagang bebas bea dan cukai, yaitu barang yang
diselundupkan, sementara fair trade (perdagangan yang adil), dagang yang mengindahkan
pembayaran pabean. Walpole, perdana menteri yang suka menyelundupkan barang mewah dari
Prancis dengan memakai kapal patroli kerajaan (lihat Bagian II di atas), mencoba memberantas
penyelundupan dengan sebuah Smuggling Act [Akta Penyelundupan] (1736) yang sangat kejam
(draconian): eksekusi tanpa pengampunan untuk semua penyelundup yang mencederai seorang
petugas pabean. Bahkan seorang penyelundup tanpa senjata yang mencoba menghindar dari
penangkapan akan terkena sanksi transportasi seumur hidup ke Amerika (pasca-1783 ke Australia).
Namun sanksi yang kejam seperti ini hanya mengakibatkan kekerasan yang parah di kota
pelabuhan Inggris, sehingga pemerintah terpaksa berpikir lagi. Akhirnya ancaman penyelundupan
mulai diatasi dengan menurunkan tarif pabean dan menghapuskan insentif untuk barang impor
mewah dari luar negeri. Jumlah petugas pajak (revenue officers) dan penjaga pantai (coast guards)
juga ditambah setelah perang dengan Prancis selesai pada 1815 dan lebih banyak tenaga kerja,
contohnya mantan pelaut, bisa didapatkan. Pada akhir dasawarsa 1820-an, sistem blokade sudah
mulai terbentuk dengan AL Inggris menjaga semua jalur navigasi menuju pantai dari pengairan
teritorial Inggris. Dengan kebijakan sistem perdagangan bebas (free trade) yang mulai diterapkan
pada 1840-an, alasan untuk menyelundupkan barang sudah tidak ada lagi. Penyelundupan massal
dan kekerasan di pelabuhan yang begitu marak pada abad XVIII di Inggris tinggal sejarah.²²
Namun penyelundupan massal masih terjadi sampai sekarang di Indonesia, terutama di Selat
Malaka. Upaya wartawan Inggris belakangan ini untuk membongkar sistem mafia yang mungkin
menyangkut mantan petugas Angkatan Laut Indonesia mengakibatkan sebuah penuntutan atas
pelanggaran imigrasi dan deportasi (konon seumur hidup) (Guardian, 2015). Sebuah contoh yang
baik dari Indonesia menyangkut kemitraan publik-swasta yang sukses di bidang fiskal adalah
kontrak antara pemerintah Orde Baru Soeharto (1966-1998) dan Société Générale de Surveillance
(SGS), perusahaan pengawasan umum asal Swiss, yang ditugaskan mengambil alih beberapa peran
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai hingga merumuskan petunjuk pelaksanaan (juklak) dan standar
pemeriksaan internal untuk membasmi praktik terburuk dari korupsi.²³ Namun untuk mengambil
langkah tersebut, pemerintahan Presiden Soeharto harus memiliki kepercayaan diri dan kekuatan
untuk menghadapi kritik rakyat bahwa membawa masuk sebuah perusahaan asing seperti SGS

18
tidak mengkhianati kepentingan nasional atau merendahkan martabat negara di mata masyarakat
internasional. Jelas mustahil mengambil langkah seperti itu di era Reformasi sekarang di mana
tidak ada pemerintahan yang memiliki otoritas sekuat Soeharto.

VI Pemakzulan dan Eksekusi terhadap Kelompok Elite
Selama abad XVIII, ketika Inggris semakin terlibat konflik militer yang mahal di Benua Eropa,
Amerika Utara, dan Asia, hubungan pemerintah dengan agen fiskal semakin penting. Jika terjadi
pertentangan antara petugas penarik pendapatan dengan kaum elite, pemerintah cenderung
memihak petugas cukai. Dalam karya Linda Colley, Britons: Forging the Nation (Britania Raya:
Membentuk sebuah Bangsa) (1992:119-120), ada contoh menarik tentang kecenderungan ini di
Skotlandia. Kala itu (Oktober 1760) seorang perwira tinggi kavaleri elite Inggris, Letnan Kolonel
John Hale, dengan sejumlah perwira anggota resimen dragundernya pulang dalam keadaan mabuk
dan mencoba menghindar membayar bandar tol di Ravenshaugh antara wilayah Lothian Timur dan
Lothian Tengah. Rombongan berusaha memaksa jalan dan menganiaya pegawai cukai setempat,
sepasang suami istri bangsa Skot. Sebagai anggota elite militer Inggris yang baru saja menaklukkan
Skotlandia setelah Pemberontakan Jacobit (1745), kesalahannya mungkin akan dimaafkan oleh
otoritas sipil. Namun faktanya tidak demikian. Penduduk lokal yang kaya membayar sebuah
penuntutan pidana di majelis tinggi di Edinburgh. Bahkan Raja Inggris, George III (bertakhta 17601820), menolak mentah-mentah permohonan grasi mereka dan memberi instruksi kepada perwira
yang malang itu untuk tunduk kepada keputusan penghakiman Skotlandia “sampai mereka
merehabilitasi kembali pamor mereka dan memperoleh lagi kepercayaan rakyat setempat” (Colley,
1992:120).
Nasib lebih malang dialami anggota elite lain, yakni Thomas Parker, Earl Macclesfield Pertama
(1666-1732), yang menjabat sebagai Lord Chancellor (lihat catatan 17). Pada 1724, ia dituduh
menerima suap ₤10.000 (₤12.000.000 atau 255 miliar rupiah dalam uang sekarang, Oktober 2015),
sehingga ia terpaksa mundur sebagai chancellor (1725). Walaupun ia teman baik Raja Inggris,
George I (bertakhta, 1714-1727), ia tetap dimakzulkan oleh Majelis Tinggi Parlemen Inggris (House
of Lords) dan didenda tiga kali lipat (₤30.000 setara dengan ₤36.000.000 atau 765 miliar rupiah
dalam uang sekarang) akibat tuduhan menerima suap. Dijebloskan dalam penjara benteng khusus
untuk penghianat negara, Tower of London, sampai denda dibayar, Macclesfield mengaku bangkrut
dan semua asetnya diambil negara. Tujuh tahun kemudian (1732), ia meninggal dalam aib dan
kemiskinan di kediaman pribadi, Shirburn Castle, di Oxfordshire.

19

Pada 1806, hampir seabad setelah Lord Chancellor yang malang itu, dalam kasus terakhir
pemakzulan yang dilakukan Majelis Tinggi Inggris (House of Lords), seorang bangsawan Skotlandia,
Henry Dundas (1742-1811), Viscount Melville, pengacara dan teman baik Perdana Menteri Inggris,
William Pitt Muda (menjabat, 1783-1801, 1804-1806), dituduh menyelewengkan uang selama
menjabat sebagai Bendahara Angkatan Laut antara 1782 dan 1800. Walaupun Dundas tidak terbukti
menggelapkan uang negara, ia terpaksa mundur dari jabatan sebagai Adipati Pertama Angkatan
Laut (First Lord of the Admiralty) lantaran dianggap lalai dalam melaksanakan tugas. Dia juga
dituduh memakai jabatan dan kekuasaan secara korup di wilayah Skotlandia dan India, tempatnya
banyak berwenang sebagai presiden dari Dewan Pengawas (President of the Board of Control)
Maskapai Dagang India Inggris antara 1793 dan 1801. Setelah mengundurkan diri, Dundas tidak
lagi memainkan peran politik sampai meninggal di Edinburgh lima tahun kemudian (1811). Kasus
Dundas menarik sebab membuktikan bahwa konsep korupsi tetap berkembang dari waktu ke
waktu.Yang dianggap biasa-biasa saja pada awal abad XVIII, misalnya memakai jabatan secara
korup (contoh Walpole sebag

Dokumen yang terkait

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

DEKONSTRUKSI HOST DALAM TALK SHOW DI TELEVISI (Analisis Semiotik Talk Show Empat Mata di Trans 7)

21 290 1

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24