Inkonsistensi Pemerintah dalam Menjamin. docx

Penerapan UU No. 01/PNPS/Th. 1965 tentang Penodaan
Agama sebagai Tanda Inkonsistensi Pemerintah
Menjamin Kebebasan Beragama di Indonesia
I. Pengantar
Pada pertengahan tahun 2007-2008, media-media di tanah air sempat marak memberitakan
sejumlah kasus penyerangan dan kekerasan terhadap jemaat Ahmadiyah Indonesia. Menghadapi
peristiwa tragis ini, pemerintah pun mengeluarkan SKB (Surat Keputusan Bersama) pada hari
Senin, tanggal 9 Juni 2008. Surat yang ditandatangani oleh Menteri Agama, Jaksa Agung, dan
Menteri dalam Negeri tersebut merupakan penjabaran dari Undang-Undang (UU) Nomor
01/PNPS/Tahun

1965

tentang

Pencegahan

Penyalahgunaan

dan/atau


Penodaan

Agama(disingkat “UU Penodaan Agama”). Isinya antara lain berupa peringatan agar Ahmadiyah
menghentikan kegiatan menceritakan, mengusahakan dukungan umum dan melakukan penafsiran
suatu agama.1
Dikeluarkannya SKB tersebut bukan merupakan suatu langkah yang keliru dalam rangka
menjaga stabilitas nasional. Namun kita harus jujur bahwa sesungguhnya ada keutamaan yang
dilanggar di sini. Selain berindikasi sebagai bentuk keterlibatan pemerintah dalam urusan internal
agama, UU Penodaan agama juga dapat kita jadikan bukti adanya diskriminasi dan inkonsistensi
pemerintah dalam aktualisasi nilai-nilai luhur Pancasila ke dalam peraturan perundang-undangan.
Kita pun bahkan dapat beranggapan bahwa dengan dasar UU Penodaan Agama tersebut,
pemerintah tengah mencederai Hak Asasi Manusia(HAM) warganya dalam hal menganut
keyakinan tertentu. Jemaat Ahmadiyah mewakili kelompok agama lain yang berpeluang sama
untuk dijerat ketentuan pasal-pasal UU yang tidak lagi aktual untuk masa kini itu. Kita pun bisa
mengajukan pertanyaan: pantaskah pemerintah bertindak demikian? Bukankah melindungi
jemaat Ahmadiyah dan menindak tegas pelaku kekerasan terhadap kelompok itu justru hal utama
yang harus dilakukan?
Makalah ini memberikan suatu tinjauan kritis terhadap UU No.1/PNPS/Th.1965 tentang
Pencegahan Penyalahgunaan dan/ atau Penodaan Agama dalam hubungannya dengan pelanggaran
HAM terhadap Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Negara, dalam hal ini Pemerintah, adalah pihak

1

Y. Prayogo, “Ahmadiyah Terus Disesah”, HIDUP, XXI (Mei, 2010), hlm. 6.

1

pertama yang paling bertanggung-jawab atas tragedi kemanusiaan yang terus menimpa sesama
saudara kita para penganut Ahmadiyah di tanah air. Pemahaman konsep HAM universal,
pengenalan terhadap kelompok Ahmadiyah secara objektif, serta menilai bagaimana sikap Negara
yang seharusnya bila menghadapai persoalan seperti ini merupakan tiga hal yang hendak penulis
kaji.
II. Pemahaman mengenai Hak Asasi Manusia
Sebelum melangkah lebih jauh, kita perlu mengetahui konsep tentang Hak Asasi
Manusia(HAM)

terlebih

dahulu.

Konsep


HAM

bermula

dari

gagasan

mengenai

“kebebasan”(freedom) yang selalu berbeda-beda dari zaman ke zaman. Awalnya istilah kebebasan
berkembang subur di Eropa, terutama dalam hal mengatur hak-hak orang merdeka dan budak.
Para budak dianggap tidak memiliki kebebasan praktis, sehingga otomatis tidak memiliki tempat
di mata hukum. Mereka boleh diperlakukan dengan cara apapun. Sebaliknya, orang-orang
merdeka dijamin kebebasannya dalam hidup berbangsa dan bernegara. Mereka bebas terlibat
dalam urusan politik dan mendapat perlindungan hukum dari Negara. 2 Baru pada abad ke-18, di
beberapa negara Eropa, muncul tindakan perlawanan atas kekuasaan negara(raja) yang begitu
absolut itu oleh orang-orang yang mau membela hak-hak yang seharusnya mereka miliki.3
Seiring dengan kemajuan zaman, banyak pihak kian menyadari pentingnya kebebasan bagi

kehidupan umat manusia. Kesadaran inilah yang mendasari perumusan The Universal
Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia) pada tanggal 10
Desember 1945 oleh Negara-negara yang bernaung di bawah PBB. Deklarasi tersebut mengatur
secara tepat bagaimana hubungan antara Negara dengan warga negaranya dan hubungan antara
Negara dengan Negara. Ketiga puluh pasal yang termuat di dalamnya menjadi patokan normatif
bagi siapa saja dari berbagai kelas sosial, latar belakang religius-kultural yang berbeda, serta
bertempat tinggal di mana saja di muka bumi ini. 4 Sejak saat itu, konsep HAM makin meluas ke
seluruh dunia.
Ada beragam upaya untuk ‘membumikan’ konsep HAM. Salah satunya ialah seperti yang
dilakukan Jack Donelly, seorang pemerhati HAM, yang mengungkapkan bahwa Hak Asasi
Manusia tidak lain adalah hak-hak yang dimiliki seseorang karena ia manusia. Hewan dan
2
K. Minogue, “Kebebasan”, Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), I, hlm.
376-378.
3
“Hak-hak Azasi Manusia”, Ensiklopedi Poluler Politik Pembangunan Pancasila (Jakarta: Yayasan Cipta Loka
Caraka, 1983), II, hlm. 84.
4
F. Ceunfin SVD(ed.), Hak-hak Asasi Manusia (Maumere: Penerbit Ledalero, 2004), hlm. xxiv-xxv.


2

tumbuhan samasekali tidak memiliki hak istimewa seperti yang melekat pada hakikat manusia itu.
Hak atas sesuatu mengandung arti berhak atas sesuatu tersebut. Ketika hak itu dilecehkan atau
diingkari, siapapun yang telah mengakibatkannya akan dijadikan sasaran tuntutan-tuntutan
pemulihan dan sanksi-sanksi tertentu.5 Seorang pembantu rumah tangga berhak memperoleh upah
dari majikannya setelah bekerja dalam jangka waktu tertentu sesuai perjanjian yang mereka
adakan. Bila majikannya menolak, bahkan malah melakukan tindakan kekerasan, ia harus dikenai
tuntutan dan sanksi sesuai hukum yang berlaku.
Sumber dan kelembagaan hukum HAM dijamin dalam Hukum Umum Internasional,
khususnya oleh International Covenant on Human Rights (1966) dan sebagai tindak-lanjut dari
Deklarasi Universal tentang HAM oleh PBB tahun 1945 silam. Konvensi yang dimaksud
mengatur sebagian besar bentuk HAM yang meliputi hak-hak sipil dan politik, ekonomi, sosial,
dan hak-hak kultural. Dokumen ini dijadikan sumber rujukan bagi Komite HAM PBB untuk
memantau perlindungan HAM di Negara-negara, sekaligus landasan moral untuk mengkritik
pelanggaran HAM.6
Pada gradasi hubungannya dengan Negara, pemahaman tentang HAM menjadi semakin
kompleks. Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial secara tegas mengartikan HAM sebagai “…hak-hak yang
dipunyai semua orang sesuai kondisi yang manusiawi. Oleh karena itu, hak-hak tersebut bukan
merupakan pemberian atau anugerah Negara dan hak-hak itu tidak bisa dicabut melalui peraturan

hukum oleh Negara…”.7 HAM pertama-tama harus mendukung hak-hak individu atau kelompok. 8
Sudut pandang konsep ini tampaknya timbul dari kecenderungan Negara untuk mengabaikan
persoalan yang menyangkut hak dasariah warganya tersebut. Di titik tertentu, Negara justru dinilai
kerap melanggar hak asasi, misalnya seperti dikeluarkannya SKB dalam kasus Ahmadiyah. Maka,
dibutuhkan suatu konsensus internasional yang mampu menjamin agar hak-hak individu atau
kelompok, hak-hak semua manusia yang hidup di muka bumi ini tidak dilanggar.
III. Sekelumit Persoalan mengenai Ahmadiyah di Tanah Air
3.1 Mengenal Jemaat Ahmadiyah9

5
Ibid., hlm. 1-3.
6
Ibid.
7
R. Higgins, “Hak Asasi Manusia”, Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), I,
hlm. 464-466.
8
Ibid.
9
“Ahmadiyah,” Encyclopaedia Britannica (15 th ed.), I, 166 ; D. Effendi, “Ahmadiyah”, Ensiklopedi Nasional

Indonesia (1990), I, 176; dan http://www.ahmadiyya.or.id/a/6, diakses tanggal 3 Desember 2012.

3

Jemaat Ahmadiyah adalah salah satu sekte Islam modern yang didirikan oleh Mirza
Ghulam Ahmad(1839-1908) di Qadian-Punjab, India pada tahun 1889. Ghulam Ahmad
mengklaim diri sebagai mujaddid(pembaharu), al-Mahdi(figur yang dinantikan umat Islam pada
hari kiamat), al-Masih(Mesias), inkarnasi dewa Krishna, dan titisan Muhammad. Misi utamanya
ialah melawan Dajjal, Ja’jud, dan Ma’jud; yaitu agama Kristen, kapitalisme, dan komunisme
yang memang pada waktu itu menjadi tantangan tersendiri bagi dunia Islam. Ada banyak hal yang
sama sekali baru dalam jemaat yang konon kini telah memilki 50 juta pengikut di seluruh dunia
ini. Salah satunya ialah menafsirkan jihad(perang suci) sebagai pertempuran melawan orangorang kafir(khususnya kaum nasrani) tanpa menggunakan kekerasan militer. Maka tidak heran,
kebanyakan umat Islam menganggap Ahmadiyah sebagai sebuah gerakan non muslim. Namun
para penganut Ahmadiyah sendiri bersikukuh bahwa mereka bukan agama baru dan tidak pula
membawa ajaran baru. Jemaat Ahmadiyah adalah Islam. Kitab suci Jemaat Ahmadiyah adalah AlQuran yang terdiri dari 30 juz dan 114 surah. Jemaat Ahmadiyah meyakini bahwa Nabi
Muhammad SAW merupakan khâtaman-nabiyyîn dan mengimani 6 Rukun Iman serta
melaksanakan 5 Rukun Islam.
Setelah kematian Ghulam Ahmad, Ahmadiyah terpecah menjadi dua oleh para
pengikutnya, yaitu Ahmadiyah Qadiyan dan Ahmadiyah Lahore. Pada tahun 1947, bertepatan
dengan berdirinya Negara Pakistan, mereka berpindah dari Qadian ke basis baru mereka di

Rabwah, Pakistan. Kaum Ahmadiyah Qadiyan(Qadiani) terorganisasi cukup baik dengan
keuangan yang baik pula. Kaum ini termasuk giat dalam dakwah(pewartaan) bahwa kepercayaan
ini adalah Islam yang benar dengan Muhammad dan Ghulam Ahmad sebagai nabi. Hingga kini,
mereka telah mendirikan masjid-masjid dan pusat-pusat dakwah di kurang lebih 200 negara yang
tersebar di seluruh dunia. Di benua Afrika khususnya, Ahmadiyah Qadiyan telah berhasil
mengembangkan dunia pendidikan dan kesehatan dengan mendirikan banyak sekolah dan rumahsakit.
Sementara itu, kaum Ahmadiyah Lahore ialah para pengikut Ahmadiyah yang menerima
Ghulam Ahmad hanya sebagai mujaddid(pembaharu) saja dan memilih berbasis di Lahore, India.
Kelompok ini bersifat lebih sektarian daripada kaum qadiani meskipun ada kecenderungan untuk
kembali kepada agama Islam ketimbang mempertahankan sekte mereka itu. Mereka aktif di
bermacam-macam bidang penerbitan berbahasa Inggris dan Urdu, serta upaya-upaya meliberalkan
Islam.

4

Jemaat Ahmadiyah masuk ke wilayah nusantara sebelum Negara Indonesia merdeka, oleh
muballigh Maulana Rahmat Ali yang ketika itu secara khusus diutus oleh pimpinan Ahmadiyah
Internasional ke Indonesia. Ia membawa Ahmadiyah masuk ke Wilayah Indonesia melalui kota
Tapaktuan, Aceh pada tanggal 2 Oktober 1925. Dari sana, Jemaat Ahmadiyah berkembang ke
wilayah Sumatera Barat dan pada tahun 1931 Jemaat Ahmadiyah berkembang di wilayah Batavia

(Jakarta) dan Bogor. Dari wilayah Betawi dan Bogor, Jemaat Ahmadiyah kemudian berkembang
ke wilayah Pulau Jawa lainnya seperti Tangerang, Cianjur, Sukabumi, Bandung, Garut,
Tasikmalaya, Ciamis, karawang dan lain-lain. Ahmadiyah Qadiyan di tanah air dikenal dengan
Jemaat Ahmadiyah Indonesia yang berpusat di Bogor, Jawa Barat. Sedangkan Ahmadiyah Lahore
dikenal dengan Gerakan Ahmadiyah Indonesia dan berpusat di Yogyakarta.

III.2 Para Penganut Ahmadiyah Indonesia Versus UU No. 1/PNPS/Tahun 1965 tentang
Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama
Keberadaan Jemaaat Ahmadiyah di Indonesia bagi segelintir orang merupakan kenyataan
yang tidak bisa diterima. Ahmadiyah disamakan dengan “rasa gatal” yang harus segera digaruk.
Memberi ruang dan kebebasan bagi kelompok ini supaya dapat menjalankan ibadatnya tanpa
tekanan justru seperti membiarkan “rasa gatal” itu menjalar di sekujur tubuh.
Pandangan di atas memicu terjadinya sejumlah tindak kekerasan terhadap jemaat
Ahmadiyah seperti yang terjadi di Kuningan, Jawa Barat yang mengakibatkan tiga orang lukaluka, dua masjid dan delapan rumah warga rusak parah pada medio 2007-2008. Pelakunya masih
belum bisa dipastikan dengan jelas apakah dari kalangan warga yang dirugikan dengan
keberadaan Ahmadiyah atau dari kalangan Islam garis keras. Sebelumnya terjadi pula tindak
penyerangan yang sama di beberapa daerah seperti Bulukumba, Lombok, dan Tasikmalaya.
Alasan utama penyebab terjadinya tindak kekerasan tersebut diduga sebagai reaksi atas fatwa
yang menyatakan Ahmadiyah adalah sesat.10
Tindakan anarkis tersebut samasekali amoral dan irrasional, apalagi jika dilakukan oleh

orang yang beragama atau yang menyatakan dirinya ber-Tuhan. Padahal, tidak ada lembaga atau
kelompok atas nama apapun dan untuk tujuan apapun diperbolehkan menggunakan kekerasan.
Kekerasan yang dilakukan tersebut merupakan pelanggaran yang harus dihukum tanpa
terkecuali.11 Kenyataan ini cukup menyakitkan bagi penganut Ahmadiyah. Tidak ada lagi tempat
10

11

Y. Prayogo, loc. cit.
R. Bagun , “Antara Negara dan Kewargaan,” Negara Minus Nurani; Esai-esai Kritis Kebijakan Publik, ed.

A.F.T. Indratno (Jakarta, Februari 2009), hlm. 32-33.

5

dan kesempatan bagi mereka, bahkan di tengah sesama muslim, di bumi nusantara yang katanya
menjunjung tinggi pluralitas ini.
Sementara itu, bukannya menindak tegas para pelaku kekerasan, Negara justru sibuk
mengeluarkan SKB yang isinya malah semakin memojokkan Ahmadiyah. SKB yang dikeluarkan
pada tanggal 9 Juni 2009 ini merupakan penjabaran dari UU No.1/PNPS/tahun 1965. Pasal 1 UU

tersebut berbunyi:
Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau
mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut
di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan
keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran
agama itu.

Ada hal-hal yang tidak sesuai antara pasal 1 UU Penodaan Agama dengan UUD 1945. Kendati
berdalih bahwa SKB bersangkutan dikeluarkan dalam rangka menjaga stabilitas nasional,
pemerintah rupanya dengan mudah mengabaikan hakikat warga negaranya yang memiliki
kebebasan untuk ;”…meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati
nuraninya…” seperti yang tertera pada pasal 28 E UUD 1945, ayat 2. Pemerintah pun tidak ambil
pusing dengan Pasal 28 I UUD 1945, ayat 1 yang mengatur tentang hak-hak asasi yang meliputi;
”…hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak
beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan
hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut…”.
Pasal 2 berisi konsekuensi lanjut apabila ketentuan pada pasal 1 di atas dilanggar.
Ironisnya, salah satu kalimat berbunyi:
Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat (1) dilakukan oleh organisasi atau sesuatu aliran
kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan organisasi itu dan
menyatakan organisasi atau aliran itu sebagai organisasi/ aliran terlarang, satu dan lain setelah
Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/ Jaksa Agung dan Menteri Dalam
Negeri.

Rumusan kata-kata kedua pasal di atas merupakan suatu kenyataan yang kontradiktif jika harus
dilaksanakan di negara yang menjunjung tinggi Pancasila. Sekilas isi UU ini memang bisa
dijadikan dasar yang tepat untuk menilai kehadiran Ahmadiyah di Indonesia, mengingat
Ahmadiyah sesuai sejarahnya justru berkembang pesat ke seluruh dunia dengan mengusung titel
seperti organisasi, aliran, atau sekte (dengan kepengurusan yang baik dan keuangan yang mantap)
ketimbang sebagai sebuah “agama” menurut arti formalnya. Namun, tipikal negara demokrasi
yang memisahkan secara tegas antara urusan kenegaraan dan urusan keagamaan samasekali
dilanggar. Tidak masuk akal bila negara mencabut kebebasan seseorang dalam beriman karena hal

6

itu termasuk hak asasinya yang bukan merupakan pemberian/ anugerah negara, melainkan sebagai
hak yang dimilikinya karena notabene ia adalah manusia.12
Profesor Magnis Suseno, SJ memiliki dua keberatan dasar atas UU Penodaan Agama ini.
Pertama, ada diskriminasi yang kasar dan keras pada mereka yang beragama di luar enam agama
yang diakui Negara, yaitu Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu. Itu berarti ada
ribuan kelompok agama dan aliran kepercayaan yang tidak diakui Negara. Kedua, adanya
kriminalisasi terhadap kelompok agama dan aliran kepercayaan yang tidak diakui Negara tersebut
oleh pihak-pihak tertentu yang menganggap dirinya benar.13 Negara memilih berada pada posisi
aman; daripada dianggap pengkhianat oleh kaum agama mayoritas, lebih baik “membujuk” yang
minoritas untuk tunduk pada suara mayoritas. Hal ini tepat seperti yang dilakukan pemerintah
terhadap para penganut Ahmadiyah.
Timbullah satu kenyataan baru, yaitu sikap pemerintah yang terlalu “meng-anakemas-kan”
kelompok agama mayoritas. Bagaimana tidak, agama-agama lain yang diakui negara jarang sekali
menampilkan diri ke ruang publik untuk menuntut persoalan penodaan terhadap agamanya. Dan
jikalau hal itu memang harus terjadi, fenomenanya tentu tidak akan seheboh seperti penolakan
terhadap aliran Ahmadiyah oleh kelompok agama mayoritas kali ini. Lagipula, pemakaian term
agama yang diakui negara sesungguhnya tidak tepat bagi konteks pluralisme sosial dan budaya di
Indonesia. Sulit membayangkan betapa kekuasaan negara begitu luar biasa sehingga dapat
menentukan bagaimana seseorang harus beriman. Kita kembali pada masa-masa ketika kebebasan
hanya menjadi madu yang manis bagi orang-orang merdeka dan mimpi abadi kaum budak. Tapi
apa mau dikata, inilah praksis kehidupan berbangsa dan bernegara yang kita hidupi sampai saat
ini.
III.3 Penolakan Mahkamah Konstitusi(MK) atas Permohonan
Antipenodaan Agama: Penolakan atas Jemaat Ahmadiyah

Pencabutan

UU

Prihatin dengan nasib jemaat Ahmadiyah yang masih terkatung-katung di bumi Indonesia,
beberapa LSM dan aktivis pluralisme berulangkali mengajukan permohonan Uji Materi(judicial
review) ke Mahkamah Konstitusi. Mereka menilai UU No.1/PNPS/th.1965 terlalu provokatif,
melanggar konstitusi, mengancam kebebasan beragama, dan bersifat diskriminatif. Permohonan
tersebut dikabulkan lewat sidang uji materi pada tanggal 19 April 2010 yang melibatkan kaum
cendekiawan, budayawan, pengamat politik dan hukum, serta perwakilan dari lembaga-lembaga
12
13

R. Higgins, op. cit., hlm. 465.
Y. Prayogo, loc. cit.

7

tiap-tiap agama, seperti Majelis Ulama Indonesia(MUI), Konferensi Wali Gereja Indonesia(KWI),
dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama(PBNU) sebagai saksi ahli. Uniknya, pada persidangan itu
hadir pula puluhan anggota Front Pembela Islam(FPI).
Namun, ternyata hasil sidang sangat jauh dari yang diharapkan. MK berpendapat bahwa
jika UU ini dicabut justru konflik antaragama akan terus terjadi. Dengan UU ini, penegak hukum
justru memiliki sandaran hukum ketika hendak menyelesaikan tindak kekerasan terhadap
penganut agama di Indonesia.14 Keputusan ini jelas kabar buruk bagi para pejuang HAM dan tentu
saja para penganut Ahmadiyah sendiri.
Sikap pimpinan tertinggi negara pun secara tak langsung sangat mendukung pemberlakuan
UU Antipenodaan Agama yang kontroversial ini. Pada Sidang ke-67 Majelis Umum Perserikatan
Bangsa Bangsa(PBB) pada tanggal 25 September 2012, Presiden RI Susilo Bambang
Yudhoyono(SBY) tergerak untuk mewacanakan protokol antipenodaan agama. Tujuannya ialah
untuk mencegah konflik dan menjaga perdamaian dunia. Hal ini diungkapkannya sebagai
tanggapan atas beredarnya film “The Innosence of Muslims”, yang sempat membuat umat muslim
sedunia berang. Pasalnya, film tersebut terang-terangan menghina Nabi Muhammad yang
mendapat posisi amat istimewa dalam kehidupan religius kaum muslimin dan muslimat. 15 Ini
tentu suatu ironi yang semakin menyedihkan bagi para penganut Ahmadiyah. Sekalipun memiliki
hak asasi untuk menjalankan keyakinannya, para penganut Ahmadiyah harus terus menghadapi
situasi ditolak baik oleh sesama muslim maupun oleh negara.
III.4

Sikap Positif yang Harus Dibangun; Tinjauan Kritis berlandaskan Pancasila
UU Antipenodaan Agama merupakan produk Orde Lama yang tampaknya tidak lagi

sesuai untuk konteks masa kini. Benny Susetyo, Pr menilai bahwa UU ini sudah tidak relevan lagi
untuk konteks zaman sekarang karena lahir dalam konteks sejarah 1965. Presiden Soekarno
menggunakannya dalam rangka mengamankan revolusi tanpa bermaksud memberangus agama
atau kepercayaan manapun.16 Akan tetapi, negara bersikap seolah-seolah buta terhadap kenyataan
ini dan bersikeras tetap mempergunakannya untuk menjerat Ahmadiyah. Beberapa tahun
sebelumnya, ternyata UU yang sama telah dipakai juga menjerat Syamsuriati alias Lia Eden dan
14

Ibid.
http://www.metrotvnews.com/metromain/news/2012/09/26/107445/SBY-Minta-Protokol-Internasional-AntiPenistaan-Agama, diakses tanggal 7 November 2012.

15
16

Y. Prayogo, loc. cit.

8

pemimpin Al-qiyadah al-Islamiyah, Ahmad Mosadeq dengan hukuman kurungan masing-masing
lima tahun karena dianggap telah melakukan penodaan terhadap agama.17 Jangan-jangan
pemerintah pun telah terseret arus sentimen agama tertentu yang terlalu membabi-buta dalam
menilai kehadiran kelompok lain. Jika benar, maka semakin jelas terlihat lagi-lagi negara bersikap
berat sebelah dalam penyelesaian masalah seperti ini. Lagipula, bukanlah hak negara untuk
menentukan mana agama yang benar dan mana yang tidak benar. Dengan kata lain, negara telah
mengingkari perannya dalam suatu sistem demokrasi, malahan telah berlaku sewenang-wenang
terhadap hak asasi warganya.
Ada dua sikap positif yang seharusnya dilakukan pemerintah ketika berhadapan dengan
persoalan agama. Pertama, meninjau kembali secara bijaksana setiap peraturan perundangundangan yang bisa menimbulkan berbagai pandangan yang bertentangan. Dalam hal ini, UU
No.1/PNPS/Th.1965 merupakan contoh paling tepat. Ada dua kubu yang berbeda mengenai
pandangan terhadap UU bersangkutan, yaitu kelompok yang mengakui bahwa UU ini tetap
relevan guna mencegah terjadinya konflik antaragama dan kelompok yang meyakini bahwa UU
ini justru dapat menimbulkan konflik agama tersebut. Pemerintah bersama DPR hendaknya
memiliki inisiatif untuk menyusun peraturan yang melindungi dan menghormati kebebasan
beragama, bukan peraturan yang diskriminatif, partisan, memihak dan melindungi kelompok
tertentu atas dasar kepentingan politik sesaat.18
Kedua, dengan berlandaskan Pancasila khususnya sila pertama, dan kedua serta kesadaran
bahwa negara adalah pelindung sekaligus penjamin hak asasi warganya, pemerintah perlu
konsisten dalam mengambil suatu kebijakan. Kedua sila tersebut memiliki kontinuitas antara satu
dan yang lain. Sila pertama; ”Ketuhanan Yang Maha Esa”, mengandung intisari pengakuan atas
karakter Allah sebagai wujud tertinggi dan bukannya ketunggalan cara berelasi manusia denganNya yang diwadahi dalam agama. 19 Ini berarti siapa saja bebas memeluk agamanya tanpa ada
gangguan dari pihak lain, bahkan oleh peraturan perundang-undangan pemerintah. Pemerintah
perlu memikirkan ulang konsep tentang agama yang diakui negara dan yang tidak, sehingga tidak
ada kelompok tertentu seperti jemaat Ahmadiyah yang dikorbankan begitu saja. Penilaian atas
sahih-tidaknya ajaran suatu agama atau kelompok agama, adalah wewenang ulama agama
bersangkutan, bukan wewenang pemerintah.

17
Ibid.
18
Y. Arafat, “Resolusi Antipenistaan Agama”, http://ressay.wordpress.com/2012/10/02/resolusi-antipenistaanagama, diakses tanggal 7 November 2012.
19
W. Gaut, “Menjejaki Hakikat dan Mempertegas Fungsi Pancasila,” Seri Buku Vox, seri 56/01/2012, hlm. 33.

9

Setelah gagasan ketuhanan, gagasan kemanusiaan merupakan nilai pokok selanjutnya yang
dikandung dalam Pancasila. Pemikiran dasarnya sederhana, bahwa relasi dengan Tuhan mesti
berimplikasi positif bagi relasi antarsesama. Gagasan ini merupakan kontribusi sekaligus
partisipasi bangsa Indonesia terhadap diskursus global tentang HAM.20 Apabila terjadi
pelanggaran terhadap hak-hak asasi, pemerintah wajib melindungi mereka yang dijadikan korban
dan menindak tegas siapapun, atas nama kelompok manapun, yang telah melakukan pelanggaran
HAM sesuai hukum yang berlaku. Konsistensi pemerintah dalam mengambil kebijakan demi
kebijakan terukur lewat kesediaan mematuhi dan menghormati asas ketuhanan dan kemanusiaan
itu.
IV. Penutup
Pada masa-masa awal berdirinya negara ini, sempat terjadi silang pendapat yang sengit
mengenai kelayakan hak asasi atau ‘hak dasar’ dimasukkan dalam rancangan Undang-Undang
Dasar. Soekarno menilai bahwa hak dasar tersebut tidak perlu disertakan ke dalam UUD karena
dapat menimbulkan konflik di antara warga negara dengan negaranya sendiri atau konflik antar
warga negara yang memiliki kesamaan kepentingan menyangkut haknya. Pandangan Soekarno
yang mendapatkan sambutan hangat kala itu benar jika kita bandingkan dengan kenyataan saat ini.
Namun yang menarik ialah pendapat berlawanan dari Mohammad Hatta yang berbunyi:
Kita mendirikan negara yang baru. Hendaklah kita memperhatikan syarat-syarat supaya negara
yang kita bikin, jangan menjadi negara Kekuasaan. Kita menghendaki negara pengurus, kita
membangunkan masyarakat baru yang berdasar kepada gotong-royong, usaha bersama; tujuan kita
ialah membaharui masyarakat. Tetapi di sebelah itu janganlah kita memberikan kekuasaan yang
tidak terbatas kepada negara untuk menjadikan di atas negara baru itu suatu negara kekuasaan. 21

Pandangan Hatta di atas merupakan prinsip dasar negara yang harus senantiasa
diperhatikan. Negara Indonesia telah didirikan di atas fondasi demokrasi (prinsip kedaulatan
rakyat) sehingga konsekuensinya ialah warga negara mendapat tempat utama dalam roda
kepemerintahan. Pemerintah berperan dalam melindungi dan menjamin kebebasan setiap orang
untuk berkumpul/ berserikat, menyatakan aspirasi dan sikap, menganut agama dan
kepercayaannya, serta mendapat perlindungan terhadap segala tindakan diskriminatif. Akan tetapi,
memang harus selalu ada upaya untuk memperjuangkan hak-hak asasi tersebut karena terbukti
pemerintah seringkali lalai dalam menjalankan tugasnya.
Persoalan HAM tidak akan selesai selama manusia masih hidup di dunia ini. Zaman
berubah, berubah pula persoalan yang naik ke permukaan. Jemaat Ahmadiyah barangkali hanya
20
21

Ibid. hlm. 34.
“Hak-hak Azasi Manusia”, op.cit. hlm. 92.

10

satu dari sekian banyak korban pelanggaran HAM yang pernah terjadi khususnya di negeri kita.
Tugas penting kita adalah menghormati HAM atas dasar penghargaan terhadap hidup yang kita
terima secara cuma-cuma dari Allah sang Pemberi Kehidupan.

11