STRATEGI PENGEMBANGAN PENGETAHUAN dalam pengelolaan

TIPSU!FTTBZ!
!
STRATEGI PENGEMBANGAN PENGETAHUAN
dalam PERUBAHAN PARADIGMA PENDIDIKAN

Pmfi!;!!
Bmepo!N/I/Q/!Tjobhb!

YOGYAKARTA
2014

QFOEBIVMVBO!
Pembahasan tentang Strategi Pengembangan Ilmu Pengetahuan secara
teoritis telah banyak diberikan.

Berbagai tuntutan yang harus dipenuhi sebagai

syarat berjalannya strategi yang diharapkan menuntun perkeimbangan Ilmu
Pengetahuan harus memenuhi syarat (a) Bebas dari Kekuasaan, (b) Memiliki Fakta
yang Relevan dan memiliki keterkaitan dengan Problematika yang dihadapi, (c)
Relasi Ilmu dan Keilmuan yang mengarah pada terbentuknya civil society.

Makalah ini mencoba mengulas strategi diatas dengan sebuah ilustrasi
perkembangan Pendidikan. Ulasan ini diharapkan dapat menggambarkan bahwa
konsep dan prinsip strategi pengembangan ilmu yang sama juga menentukan dan
mengarahkan perkembangan Pendidikan sebagai bentuk Perkembangan Ilmu
Pengetahuan.

!
TFKBSBI!QFSLFNCBOHBO!QFOEJEJLBO!
Pendidikan

telah

berkembang

sebagaimana

berkembangnya

peradaban,


pengetahuan, baik keilmuan mauun pengetahuan tentang pendidikan itu sendiri.
Dunia mencatat perkembangan pendidikan yang dimulai dari masa Yunani Purba
sebelum 150SM, masa Helenisme 150-500 SM, masa pertengahan di tahun 5001500, masa reformasi dan kontra reformasi di tahun 1600an.

QFSJPEF!ZVOBOJ!;!Qfoejejlbo!tfcbhbj!Bmbu!Ofhbsb!
Pada

masa

Yunani

purba

pendidikan

sangat

bergantung

pada


pendidiknya, sehingga tujuan pendidikan lebih diwarnai oleh tujuan yang di
presepsikan oleh pendidiknya.

Plato menyatakan bahwa pendidikan bertujuan

Membentuk warga Negara secara teoritis dan praktis, mengabdi pada negaranya
oleh sebab itu pendidikan diselenggarakan oleh Negara. Pendidikan juga bertujuan

juga membentuk manusia supaya mempergunakan akalnya dengan bijaksana dan
Membentuk manusia berkehendak untuk menopang sifat keberaniannya serta
Memunculkan hasrat manusia yaitu memiliki rasa keingin tahuan. Berbeda
dengan Plato, Phytagoras memandang pendidikan memiliki tujuan membentuk
manusia susila, kerena menurutnya manusia sejak kecil mempunyai keenderungan
berbuat jahat. Sementara , Socrates. Menganggap tujuan pendidikan adalah untuk
membawa manusia pada kebijakan.
Hal yang lebih maju secara metodologist, adalah apa yang diacu
Aristoteles

yang


berpendapat

bahwa

dalam

pendidikan

harus

mengenal

pembawaan dan kecenderungan anak supaya ia mendapat bimbingan sebaikbaiknya. Pada masa ini umat manusia mulai mngenali adanya proses spesifik dari
pendidikan yang memainkan peranan penting menjamin keberhasilan pencpaian
tujuan pendidikan.
Pada periode diatas dapat dilihat bahwa perkembangan pendidikan tidak
lepas dari kekuasaan dalam hal ini Negara. Hal ini dikarenakan Negara sebagai
Kekuasaan memiliki kepentingan untuk memiliki warga Negara dengan spesifikasi
tertentu.


QFSJPEF! SBTJPOBMJT! ;! Qsptft! Qfoejejlbo! nfokbnjo! Lfufsdbqbjbo!
Uvkvbo!
Demikian pendidikan berkembang labih jun pada masa taahun 1700 an.
Francis Bacon mengemukakan bahwa dalam menemukan dan mengembangkan
pengetahuan, pandangan harus diarahkan kepada realita alam serta hal-hal praktis
yang ada didalamnya. Alam lingkungan adalah sumber pengetahuan yang bisa
didapat lewat alat-alat indra. Pendidikan pada masa ini diarahkan menggunakan
metode berfikir induktif, yaitu mulai dari menemukan fakta-fakta khusus kemudian
dianalisis

sehingga

menimbulkan

simpulan.

Bila

memungkinkan


dapat

mengembangkan pengetahuan dengan eksperimen-eksperimen.

Bacon juga

berpendapat bahwa bahasa memegang peranan penting, dan karenanya
penggunaan bahasa asli lebih diutamakan. Pada masa ini sangat jelas terlibatnya
alam, metode berpikir, eksperimen dan pengumpulan fakta empiris serta
penggunaan medium bahasa merupakan hal penting dalam pendidikan. Artinya
pendidikan telah berkembang seiring pengetahuan tentang pendidikan itu sendiri
terus berkembang.
Bagaimana pentingnya bahasa dalam paradigm pendidikan masa ini juga
dikuatkan oleh, Johan amos Comenius, dalam bukunya „Jangua Linguarum
Reserata‰ yang menggambarkan pentingnya bahasa sebagai buku didaktik besar
dan pintu untuk menggambarkan dunia.

QFSJPEF!OBUVSBMJT;!Qfslfncbohbo!Qsptft!ebo!Btbt!Joejwjevbmjt!!!
Perkembangan proses pendidikan semakin besar pada abad ke 18. John

Locke Dengan teorinya yang terkenal ialah teori taularasa atau a blank sheet of

paper, menuliskan bahwa proses belajar terdiri dari

tiga langkah, yaitu: (a.)

Mengamati hal-hal yang ada diluar diri manusia, (b.) Mengingat apa yang telah
diamati dan dihafalkan. Dan (c.) Berfikir.
Selanjutnya pada abad ke-18 ini muncul pula aliran baru yaitu naturalis
sebagai reaksi terhadap aliran rasionalis. Dengan J.J. Rousseau sebagai salah satu
tokohnya. Menurut Rousseau ada tiga asas pengajar yaitu: (1.) Asas pertumbuhan,
(2.) Asas aktifitas dan (3.) Asas individualis.

Paradigma ini melengkapi

perkembangan proses dalam pendidikan.

QFSJPEF!EFWFMPQNFOUBMJT!;!Joqvu!Joejwjev!zboh!Cfsbhbn!!!
Pada abad ke-19 Zaman developmentalisme. Mengembangkan salah satu asas
pendidikan yang ditekankan Rousseau,


penganut aliran ini memandang proses

pendidikan sebagai suatu perkembangan jiwa. Pendidikan adalah suatu proses
perkembangan yang berlangsung dalam setiap individu.

Tokoh-tokoh aliran ini

ialah, Pestalozzi yang menyatakan tujuan pendidikan adalah meningkatkan derajat
sosial seluruh umat manusia. Dengan mengembangkan semua aspek individualnya
yaitu otak, tangan tangan dan hati mereka.
Tokoh developmentalis selanjutnya adalah Herbart yang menginginkan pembentukan
manusia yang susila yang bermoral tinggi. Tujuan pendidikannya ialah membentuk
watak susila, melalui pengembangan minat yang seluas-luasnya.

Sebagai salah

satu tokoh, pendidikan pada masa itu, Frobel juga memberikan kontribusi pemikiran
bahwa pendidikan bermaksud mengembangkakn semua kapasitas dan kekuatan
yang laten pada anak-anak. Frobel yakin, anak-anak lahir berbekal potensi-potensi.

Tujuan pendidikannya adalah mengembangkan semua potensi itu akan menjadi
aktual. Demikian pada masa ini paradigm pendidikan menjadi semakin lengkap,
aspek individual telah mulai dibaca sebagai aspek INPUT penting. Heterogenitas
input yang menuntut pendekatan yang berbeda telah ditekankan pada masa ini.

QFSJPEF!OBTJPOBMJTNF!!;!Obtjpobmjtnf-!Mjcfsbmjtnf!ebo!Qptjujwjtnf!
Zaman Nasionalisme pada abad selanjutnya membangun pendidikan
sebagai upaya membentuk patriot-patriot bangsa, mempertahankan bangsa dari
imperialisme.

Berbagai perang pada masa itu membentuk pendidikan

yang

bertujuan untuk menjaga, memperkuat, dan mempertinggi kedudukan negara. Tokoh
utama pada masa ini adalah La Chalotais di Perancis, Fichte di Jerman, dan
Jefferson di Amerika Serikat.
Pada masa ini kembali terbentuk bahwa perkembangan Ilmu Pengetahuan
dalam hal ini pengetahuan pendidikan dipegaruhi oleh kepentingan kekuasaan
dalam hal ini Negara. Pengaruh kekuasaan tidaklah selalu buruk, karena kebutuhan


masa itu menuntut setiap bangsa menghasilkan masyarakat yang mampu membela
negaranya.

QFSJPEF!MJCFSBMJTNF!!;!Qfoejejlbo!ibsvt!Cfsnbogbbu!tptjbm!
Abad ke-19 ditandai oleh liberalisme dan positivisme. Bukti-bukti liberalisme
antara lain sekolah sekolah dipakai untuk memperkuat kedudukan penguasa
pemerintahan.yang banyak pengetahuan dialah yang berkuasa, yag mengarah ke
individualisme.
Berbagai uraian tentang perkembangan pendidikan diatas

menunjukkan

adanya KEBUTUHAN yang berbeda namun selalu relevan dengan fakta dilapangan
dan problematik yang ada. Berangkat dari kebutuhan tersebut, berbagai ilmuwan
mencetuskan berbagai dalil yang spesifik dengan tujuan pendidikan.

Peran

kekuasaan juga berubah sesuai kebutuhan yang berkembang.


QFSLFNCBOHBO!QFOEJEJLBO!EJ!JOEPOFTJB!
Sebagaiamana perkembangan pendidikan dunia, pendidikan Indonesia
juga berkembang pada masa Ki Hajar Dewantara, dengan Taman siswa sebagai
salah satu ikon penting pendidikan. Pendidikan pada masa itu diarahkan untuk
membentuk budi pekerti, karakter kebangsaan dan tetnunya alat elegan untuk
kemerdekaan bangsa.
Paradigma pendidikan selanjutnya di rumuskan oleh Negara, pada awalnya
sebagai; suatu usaha yang sadar, teratur dan sistematis yang dilakukan orang-orang
yang diserahi tanggung jawab untuk mempengaruhi agar anak mempunyai sifat dan
tabiat sesuai dengan cita-cita pendidikan. (Indra Kusuma, (1973).
Paradigma ini membentuk pendidikan Indonesia yang Berpusat pada guru,
yang sama halnya dengan periode Yunani, serta beroerintasi pada pembentukan
mental sebagaimana perkembangan pada masa Rasionalis dan Naturalis.

Paradigma pendidikan terus berkembang sebagaimana KEBUTUHAN yang terus
berkembang.

Hakekat dasar pembentukan INDIVIDU yang harus memiliki

kemampuan untuk meningkatkan kualitas kehidupan SOSIAL (sebagai dampak
pendidikan) juga mewarnai pendidikan Indonesia.
Tuntutan ini muncul seiring munculnya berbagai fakta empiris yang dapa
dibaca sebagai menggambarkan kurangnya keberhasilan pendidikan.

Fakta

RELEVAN terkait (a) tingginya tingkat pengangguran, (b) ketidaksesuaian output
pendidikan dengan kebutuhan dunia usaha, dan (c) rendahnya relevansi kompetensi
menunujukkan adanya kebutuhan untuk mengembangkan system pendidikan.
Mengacu pada hakikat bahwa Ilmu harus menjadi nilai (fakta) yang relevan
dengan fenomena / problem yang dihadapi. Dan bahwa RELEVANSI terhadap nilai
harus mengacu pada interpretasi filosofi kepentingan ilmiah (Weber; Michael Root),
maka Pendidikan juga harus berkembang kembali.
Pada

periode

berikutnya,

berdasarkan berbagai fakta yang
ada,

pemerintah

mulai

merubah

paradigma pendidikan.. Pendidikan
diredefinisi menjadi usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana
belajar
agar

dan

proses

peserta

mengembangkan

didik

pembelajaran
secara

potensi

aktif

dirinya

untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa dan negara.(Undang-undang No 20 tahun 2003 SISDIKNAS)
Dengan perubahan paradigma ini Pendidikan di tuntut harus didasarkan
pada perencanaan (yang disusun berdaaran fakta relevan) guna membangun proses

yang didesain dan memiliki pendekatan yang sesuai. Sehngga system pendidikan
dapat berperan secara esensial sebagai aspek penting dimana para sumberdaya
manusia Indonesia diharapkan dapat dibentuk, bersaing untuk diterima dalam pasar
tenaga kerja dan masyarakat, bersaing dan membentuk daya saing sumberdaya
manusi Indonesia di ruang global.
Paradigma baru pendidikan juga menggariskan bahwa jangkauan
pendidikan menjadi makin luas. Bila pada awalnya kenyataan pendidikan banyak
beroeirantasi pada menghasilkan lulusan (output) saja.

Maka pada periode ini

pendidikan disadari harus dapat menghasilkan keluaran (outcome) yang memiliki
dampak social (Impct) yang kuat.

Problematik yang baru
muncul

dari

penterjemahan

aspek individu yang mewakili
Skill

dan

Karakter

kesesuaiannya
kebutuhan

dengan
dengan

Masyarakat

(Profesionalisme

dan

Kompetensi) sebagai tanggung jawab social pendidikan pada masyarakat.
Keadaan ini mengarahkan fakta terlibatnya dua sisi ekonomi sumberdaya
manusia yaitu sisi permintaan dan penawaran. Kedua sisi ini memiliki karakternya
sendiri. Bila pada sisi penawaran, dimiliki kebutuhan untuk menyesuaikan output
dengan kebutuhan masyarakat (Alignment Need), maka pada sisi permintaan
terdapat kebutuhan untuk menempatkan sumberdaya yang sesuai dengan tunttutan
pekerjaan (Fullfillment Need).
Kedua kebutuhan ini di kendalikan oleh kepentingan atau interest

yang

berbeda, Alignment Need akan di dipengaruhi oleh kepentingan lembaga

pendidikan, pelatihan dan pengembangan sumber daya manusia. Fullillment Need
akan di pengaruhi oleh kepentingan industry atau masyarakat pengguna. Untuk
masa yang lalu jarak antara kedua kepentingan ini sangat lebar.
Lebarnya rentang kepentingan akan menentukan seberapa eksklusif masing
masing sisi mengembangkan sistemnya dalam upaya membangun kapasitas
sumberdaya manusia. Kepentingan ini tidak terhindarkan karena secara esensial
lahir dari hakekat kedua sisi dalam memberikan kontribusi.
Dalam filosofi Ilmu, Jurgen Habermas menyatakan bahwa Theory sebagai Produk
tidak akan pernah lepas dari Nilai yang diwarnai Kepentingan (Interest) yang berasal dari
sejumlah FAKTA yang di Ilmiahkan. Misal IPA lahir dari kepentingan teknis berdasarkan
fakta Alamiah.

Artinya kedua sisi akan memiliki domain yang Primordial untuk

mengembangkan sisinya sendiri.

Masyarakat akan menggunakan berbagai fakta tracer

study untuk mengetahui, mengukur dan merumuskan keterserapan sumberdaya yang
dihasilkan. Demikian pula Industri menggunakan berbagai fakta personalia untuk mengukur
kesesuaian sumberdaya manusia dengan posisi pekerjaan.
Menyadari pentingnya hal tersebut diatas, pada tahun 2009 muncullah beberapa
pemikiran yang mengarah pada pengukuran Allignmnet Index dan Fullfllment Index.
Allignment Indeks dengan rumusan dibawah ini, muncul sebagai sebuah indeks yang
menyatakan keterserapan lulusan lembaga pendidikan berdasarkan dimensi waktu, tempat,
jumlah dan kualitas.
pendidikan.

Indeks ini boleh dikatakan akan menentukan kualitas lembaga

Semakin besar indeks yang dihasiilkan maka semakin baik upaya sekolah

dalam menyediakan pendidikan yang menjamin lulusan nya dapat diserap dengn baik.

Sementara itu, dilain sisi dikembangkan Fullfillment indeks yang dibangun
oleh industry. Indeks ini dipergunakan untuk mengukur dinamika kesesuaian tenaga

kerja dengan posisi yang diduduki. Indeks ini dikembangkan sebagai gambaran
apakah industry mengalami kesulitan dalam memperoleh sumberdaya dengan
spesifikasi tertentu. Semakin besar nilai indeks ini, semakin besar pula keseuaian
sumberdaya manusia yang dimiliki perusahaan dalam beroperasi, sebaliknya
dengan nilai indeks yang makin kecil, maka dapat dikatakan industry mengalami
kesulitan memperoleh sumberdaya manusia yang sesuai dengan kebutuhan posisi
pekerjaan.
Memperhatikan

pernyataan

Robert

D.

Punam

yang

menyatakan

„Pengembangan Ilmu Harus memperhatikan relasi antar ilmu (baca: kepentingan /
interest) tanpa mengorbankan otonomi masing-masing disiplin‰. Dapat dikatakan
bahwa relasi antara kedua indeks ini merupakan hal yang esensial agar indeks ini
dapat bermanfaat dalam menghadapi problematik pendidikan.
Memadukan kedua indeks sebagai manifestasi memadukan kebutuhan dari
kedua sisi diatas memandatkan interaksi antara dunia pendidikan dengan industry.
Berasumsi bahwa keduanya memiliki peran penting sebagai ilmuwan yang memiliki
tanggung jawab social maka dapat diwujudkan sebuah „Civil Society‰ yang memiliki
tujuan untuk mencapai tujuan pendidikan sebagai sebuah kebutuhan yang relevan.
Formalisasi civil society ini dapat diwujudkan dengan pembentukan asosiasi
pemerhati

sumberdaya

manusia,

pendidikan atau bahkan „industrial
board‰

atau

Formalisasi

dewan

industry.

kelembagaan

ini

bertujuan membangun interaksi dan
diskusi yang lebih komprehensif dan
terstruktur. Hal ini tentu diperlukan
untuk selalu menjaga relevansi fakta
yang sesuai dengan permasalahan

kebutuhan di kedua sisi.
Civil society yang terbentuk akan membentuk kolaborasi yang saling
menguntungkan.

Disatu sisi, dunia pendidikan akan memiliki masukan untuk

menyusun perencanaan proses yang tepat sesuai kebutuhan mitra kolaboratifnya.
Pada sisi yang lain Industri akan menerima manfaat keghadiran sumberdaya
manusia yang memiliki kompetensi profesonal yang sesuai dengan kebutuhan.
Bahkan kolaborasi tersebut akan memberikan peluang keterlibatan industry dalam
proses pendidikan.

Wacana melibatkan industri dalam proses pendidikan pada

kenyataannya telah banyak dicetuskan.

Secara sporadis, berbagai lembaga
swadaya

masyarakat

telah

menggunakan mekanisme yang
sama walaupun hadir dengan
berbagai nama yang berbeda.
Beberapa nama seperti „Kelas
Profesional‰,
dan

„Kelas

berbagai

merupakan

Inspirasi‰

nama

bentuk

lain

kolaborasi

Industri dalam Pendidikan.

LPOLMVTJ!
Demikian uraian diatas dapat memberikan gambaran, bahwa dalam berbagai
jaman sesuai dengna perjalanan sejarah pendidikan dunia, dan Indonesia,
perkembangan pendidikan tidak pernah dapat lepas dari kerangkan pengembangan
Ilmu Pengetahuan yang mengemukakan strategi yang menuntut :
– Relevansi Fakta dengan Problematika
– Orientasi Kebutuhan (jauh dari pengaruh kepentingan non ilmiah /
irelevan)

– Relasi antar bidang Ilmu (Interest) tanpa mengorbankan Otonomi
disiplin ilmu
– Ilmuwan dalam konteks tanggung jawab dan kontribusi Sosial dapat
berasal dari mana saja
– Relasi antar Ilmuwan dalam membentuk civil society keilmuan
– Pemerintah / Kekuasaan sebagai fasilitator dalam mendorong
perkembangan