BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Solidaritas Sosial - Solidaritas Pada Masyarakat Marginal di Perkotaan (Studi deskriptif Pada Anggota Lembaga Keuangan Masyarakat Kota (LKMK) Keska Kelurahan Sei Mati, Lingkungan XII Medan Maimun)

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Solidaritas Sosial

  Salah seorang sosiolog yang menaruh perhatian dan menjadikan fokusteoritis dalam membaca masyarakat adalah Emile Durkheim. Bahkan, persolan solidaritas sosial merupakan inti dari seluruh teori yang dibangun Durkheim. Ada sejumlah istilah yang erat kaitannya dengan konsep solidaritas sosial yang dibangun Sosiolog berkebangsaan Perancis ini, diantarnya integrasi sosial (social integration) dan kekompakan sosial. Secara sederhana, fenomena solidaritas menunjuk pada suatu situasi keadaan hubungan antar individu atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. (Taufik Abdullah & A.C.Van Der Leeden, 1986 : 81-125).

  Dalam analisis Durkheim, diskursus tentang solidaritas dikaitkan dengan persoalan sanksi yang diberikan kepada warga yang melanggar peraturan dalam masyarakat. Bagi Durkhem indikator yang paling jelas untuk solidaritas mekanik adalah ruang lingkup dan kerasnya hukum-hukum dalam masyarakat yang bersifat menekan(represif). Hukum-hukum ini mendefinisikan setiap perilaku penyim- pangan sebagai sesuatu yang jahat, yang mengancam kesadaran kolektif masyarakat. Hukuman represif tersebut sekaligus bentuk pelanggaran moral oleh individu maupun kelompok terhadap keteraturan sosial (social order). Sanksi proses yang rasional. (John Scott, 2002: 78) Hukuman tidak harus merepresentasikan pertimbangan rasional dalam masyarakat. Hukum represif dalam masyarakat mekanik tidak merupakan petimbangan yang diberikan yang sesuai dengan bentuk kejahatannya. Sanksi atau hukuman yang dikenakan kepada orang yang menyimpang dari ketaraturan, tidak lain merupakan bentuk atau wujud kemarahan kolektif masyarakat terhadap tindakan individu tersebut.

  Pelanggaran terhadap kesadaran kolektif merupakan bentuk penyimpangan dari homogenitas dalam masyarakat. Karena dalam analisa Durkheim, ciri khas yang paling penting dari solidaritas mekanik itu terletak pada tingkat homogenitas yang tinggi dalam kepercayaan, sentimen, dan kerja sama. Homogenitas serupa itu hanya mungkin kalau pembagian kerja (division of labor) bersifat terbatas. Model solidaritas seperti ini biasa ditemukan dalam masyarakat primitif atau masyarakat tradisional yang masih sederhana. Dalam masyarakat seperti ini pembagian kerja hampir tidak terjadi. Seluruh kehidupan dipusatkan pada sosok kepala suku. Pengelolaan kepentingan kehidupan sosial bersifat personal.

  Keterikatan sosial terjadi karena kepatuhan terhadap nilai-nilai tradisional yang dianut oleh masyarakat. Demikian juga sistem kepemimpinan yang dilaksanakan berjalan secara turun-temurun. (John Scott, 2002 : 81-83)

  Potret solidaritas sosial dalam konteks masyarakat dapat muncul dalam berbagai kategori atas dasar karakteristik sifat atau unsur yang membentuk solidaritas itu sendiri. Veeger, K.J. (1992) mengutip pendapat Durkheim yang mekanis, terjadi dalam masyarakat yang diciri-khaskan oleh keseragaman pola- pola relasi sosial, yang dilatarbelakangi kesamaan pekerjaan dan kedudukan semua anggota. Jika nilai-nilai budaya yang melandasi relasi mereka, menyatukan mereka secara menyeluruh, maka akan memunculkan ikatan sosial diantara mereka kuat sekali yang ditandai dengan munculnya identitas sosial yang demikian kuat. Individu meleburkan diri dalam kebersamaan, hingga tidak ada bidang kehidupan yang tidak diseragamkan oleh relasi-relasi sosial yang sama. Individu melibatkan diri secara penuh dalam kebersamaan pada masyarakat hingga tidak terbayang bahwa hidup mereka masih berarti atau dapat berlangsung, apabila salah satu aspek kehidupan diceraikan dari kebersamaan.

  Solidaritas mekanik memperlihatkan berbagai komponen atau indikator penting, seperti; adanya kesadaran kolektif yang didasarkan pada sifat ketergantungan individu yang memiliki kepercayaan dan pola normatif yang sama. Individualitas tidak berkembang karena dilumpuhkan oleh tekanan aturan/hukum yang bersifat represif. Sifat hukuman cenderung mencerminkan dan menyatakan kemarahan kolektif yang muncul atas penyimpangan atau pelanggaran kesadaran kolektif dalam kelompok sosialnya. Solidaritas mekanik didasarkan pada suatu “kesadaran kolektif” (collective consciousness) yang dipraktikkan masyarakat dalam bentuk kepercayaan dan sentimen total diantara para warga masyarakat. Individu dalam masyarakat seperti ini cenderung homogen dalam banyak hal. Keseragaman tersebut berlangsung terjadi dalam seluruh aspek kehidupan, baik sosial, politik bahkan kepercayaan atau agama.Kedua solidaritas organik, solidaritas initerjadi dalam masyarakat yang dasar tertentu. Dalam kelompok sosial terdapat pola antar-relasi yang parsial dan fungsional, terdapat pembagian kerja yang spesifik, yang pada gilirannya memunculkan perbedaan kepentingan, status, pemikiran dan sebagainya. Perbedaan pola relasi-relasi, dapat membentuk ikatan sosial dan persatuan melalui pemikiran perlunya kebutuhan kebersamaan yang diikat dengan kaidah moral, norma, undang-undang, atau seperangkat nilai yang bersifat universal. Oleh karena itu ikatan solider tidak lagi menyeluruh, melainkan terbatas pada kepentingan bersama yang bersifat parsial.

  Solidaritas organik muncul karena pembagian kerja bertambah besar. Solidaritas ini didasarkan pada tingkat saling ketergantungan yang tinggi. Ketergantungan ini diakibatakan karena spesialisasi yang tinggi diantara keahlian individu. Spesialisasi ini juga sekaligus merombak kesadaran kolektif yang ada dalam masyarakat mekanis. Akibatnya kesadaran dan homogenitas dalam kehiduan sosial tergeser. Karena keahlian yang berbeda dan spesialisasi itu, munculah ketergantungan fungsional yang bertambah antara individu-idividu yang memiliki spesialisasi dan secara relatif lebih otonom sifatnya. Menurut Durkheim itulah pembagian kerja yang mengambil alih peran yang semula disandang oleh kesadaran kolektif.

  Karl Manheim lebih mencermati pandangan Durkheim, dimana dalam solidaritas organik diciptakan pembagian kerja dalam kelompok sosial.

  Pembagian kerja sebenarnya membagi aktivitas yang tadinya digabungkan ke dalam suatu proses kerja yang dilaksanakan oleh seorang manusia menjadi sejumlah besar bagian-bagian yang saling melengkapi satu sama lain. Pembagian dibutuhkan untuk saling melengkapi. Oleh karena itu memunculkan sebuah solidaritas sosial dalam kelompok mereka atas dasar kepentingan bersama yang sifatnya tertentu. (Taufik Abdullah & A. C. Van Der Leeden, 1986 : 81-125)

  Nampak bahwa pada solidaritas organik menekankan tingkat saling ketergantungan yang tinggi, akibat dari spesialisasi pembagian pekerjaan dan perbedaan di kalangan individu. Perbedaan individu akan merombak kesadaran kolektif, yang tidak penting lagi sebagai dasar untuk keteraturan sosial. Kuatnya solidaritas organik menurut Durkheim ditandai eksistensi hukum yang bersifat restitutif/memulihkan, melindungi pola ketergantungan yang kompleks antara pelbagai individu yang terspesialisasi atau kelompok-kelompok dalam masyarakat.

  Dengan demikian dapat dikatakan bahwa masyarakat bukanlah semata- mata merupakan penjumlahan individu-individu belaka. Sistem yang dibentuk oleh asosiasinya merupakan suatu realitas khusus dengan karakteristik tertentu. Adalah benar bahwa sesuatu yang bersifat kolektif tidak akan mungkin timbul tanpa kesadaran individual; namun syarat tersebut tidak akan mungkin timbul tanpa adanya kesadaran individual; namun syarat itu tidaklah cukup. Kesadaran itu harus dikombinasikan dengan cara tertentu; kehidupan sosial merupakan hasil kombinasi itu dan dengan sendirinya dijelaskan olehnya. Jiwa-jiwa individual yang membentuk kelompok, melahirkan sesuatu yang bersifat psikologis, namun berisikan jiwa individualistis yang baru. dipengaruhi oleh kesamaan dalam nasib, namun karena keadaan ekstrim yang sedang mereka hadapi seperti konflik. dalam jurnal-Nya Jacky (2013) yang membicarakan pada seputar konflik antara pemulung dan kaum Industri di surabaya jawa timur. Dalam jurnalnya di jelaskan bahwa pemulung Indonesia di satukan dalam sebuah ikatan yang di beri nama (IPI) Ikatan Pemulung Indonesia yang menjadi katup penyelamat (Lowis A. Coser) bagi kedua belah pihak. Efek dari pembentukan IPI tersebut meluas menjadi ikatan persaudaraan yang kuat dan meninggikan tingkat solidaritas sesama pemulung. Solidaritas terbentuk karena adanya kesamaan senasib dan sepenanggungan baik di lihat dari persamaan budaya, profesi, atau lainnya.

  Menurut Zulkarnaen (2009:10) salah satu sumber solidaritas adalah gotong royong. Istilah gotong royong mengacu pada kegiatan saling menolong atau saling membantu dalam masyarakat. Tradisi kerjasama tersebut tercermin dalam berbagai bidang kegiatan masyarakat, antara lain: kegiatan dalam membangun rumah, memperbaiki sarana umum, mengadakan perhalatan atau hajatan, dalam bencana alam, kematian, dan lain-lain.

2.2. Masyarakat Marginal

  Pembangunan kota besar seperti kota Medan ini hanya menekankan aspek pertumbuhan ekonomi secara fisik ternyata dalam banyak hal justru melahirkan orang-orang miskin baru, masyarakat pinggiran di perkotaan atau lazim disebut dengan istilah masyarakat marginal. Di dalam kamus sosiologi dan kependudukan istilah marginal memiliki dua makna, yaitu pertama, suatu kelompok yang memiliki kedudukan rendah. (Hartini dalam Irawati, 2008).

  Kelompok yang terasimilasi tidak sempurna maksudnya kelompok yang terdiri dari orang-orang yang tinggal dalam satu lingkungan kota tidak memiliki akses yang sama terutama yang berkaitan dengan kehidupannya. Atau dengan bahasa lain telah terjadi ketimpangan pembangunan, satu sisi ada orang sakit perut karena kekenyangan di lain sisi ada orang yang sakit perut karena kelaparan.

  Kelompok marginal termasuk kaum miskin yang bercirikan miskin dari segi pangan, ekonomi, pendidikan, dan tingkat kesehatan yang rendah. Menurut Pasurdi dalam Irwati (2008) bahwa kelompok marginal adalah mereka yang tidak memiliki tempat tinggal yang tetap, pekerjaan yang tidak layak seperti pemulung, pedagang asongan, pengemis dan lain sebagainya.

  Broto Soemedi dalam Johanes (1995: 20) Kemiskinan dapat dilihat dari dua sisi. Pertama dari sisi kualitatif memiliki maksud kemiskinan ialah suatu kondisi yang di dalamnya hidup manusia tidak bermartabat manusia atau dengan kata lain, hidup manusia tidak layak sebagai manusia. Kedua, secara kuantitatif.

  Kemiskinan itu suatu keadaan di mana hidup manusia serba kekurangan, atau dengan bahasa lazim tidak berhata benda.

  Banyak bukti menunjukkan bahwa yang disebut masyarakat marginal pada umumnya selalu lemah dalam kemampuan berusaha dan terbatas aksesnya pada kegiatan ekonomi sehingga sering kali makin tertinggal jauh dari masyarakat lain yang memiliki potensi lebih tinggi. sebuah keluarga yang mengalami proses marginalisasi, mereka umumnya tidaklah banyak berdaya, ruang geraknya serba memungkinkan mereka dapat mengembangkan usahanya. Bisa di katakana jangankan untuk mengembangkan diri menuju taraf sejahtera, untuk bertahan menegakkan hidup fisiknya pada taraf yang subsistem saja bagi keluarga miskin hampir-hampir merupakan hal yang mustahil bila tidak di topang oleh jaringan dan pranata social di lingkungan sekitarnya.

  Golongan masyarakat yang mengalami proses marginalisasi umumnya adalah kaum migran, seperti pedagang kaki lima, penghuni permukiman kumuh, dan pedagang asongan yang umumnya tidak terpelajar dan tidak terlatih, ataudengan kata asing disebut unskilled labour, Soejatmoko dalam ( Ali, 2005: 167).Karena yang menjadi tolak ukur ialah kemampuan dalam meningkatkan taraf ekonomi maka yang menjadi ciri masyarakat marginal ialah sangat sulit/lamban dalam melakukan mobilitas social vertical. Mereka yang miskin tetap hidup dalam kemiskinannya, sedangkan yang kaya akan tetap menikmati kekayaannya.

  Menurut Johannes (1995:24) hal tersebut terjadi karena dilatar belakangi oleh dua kemungkinan. a) mereka miskin di karenakan struktur yang tidak adil atau mengabaikan mereka. Hal ini memiliki arti bahwa mereka tetap miskin bukan karena mereka tidak mau memperbaiki nasibnya, tetapi usaha yang mereka lakukan selalu kandas dan terbentur pada system atau struktur masyarakat yang berlaku. b) mereka miskin di karenakan kultur (budaya) masyarakat rela miskin karena di yakini sebagai upaya untuk membebaskan diri dari sikap serakah yang pada akhirnya akan membawa ketamakan.

  Robert Chambers dalam Ali (2005: 168) pengertian masyarakat marginal sebetulnya sama dengan apa yang disebut deprivation trap atau perangkap

  (2) kelemahan fisik; (3) keterasingan atau kadar isolasi; (4) kerentanan; (5) ketidakberdayaan. Kelima unsure ini sering saling mengait sehingga merupakan perangkat kemiskinan yang benar-benar mematikan peluang hidup orang atau keluarga miskin. Dan pada akhirnya menimbulkan marginalisasi.

  Sedangkan Irawati (2008) dalam jurnalnya masyarakat yang identik sebagai masyarakat miskin kota adalah yang berprofesi sebagai pemulung, pengemis, gelandangan, atau pun buruh pekerja kasar. Lebih lanjut David Berry mengatakan bahwa marginal adalah suatu situasi dimana orang yang bercita-cita atau berkeinginan pindah dari kelompok sosial yang satu ke kelompok sosial yang lain, akan tetapi di tolak keduanya.

2.3. Masyarakat Marginal akibat dari Pertumbuhan di Perkotaan

  Dikatakan Elly M. Setiadi & Usman Kolip (2011:856) Masyarakat perkotaan adalah sekelompok orang yang hidup di dalam suatu wilayah yang membentuk komunitas yang heterogen karena kebanyakan anggota-anggotanya berasal dari berbagai daerah yang membentuk komunitas baru. Secara sosiologis pengertian kota memberikan penekanan pada kesatuan masyarakat industri, bisnis, dan wirausaha lainnya dalam struktur sosial yang kompleks. Berdasarkan penjelasan diatas dapat di katakan bahwa masyarakat perkotaan identik dengan kehidupan modern, lebih mudah menerima perubahan serta lebih mudah menyerap dan menerima informasi, kehidupan kota secara fisik juga dapat digambarkan dengan banyaknya gedung-gedung tinggi, kesibukan warga masyrakatnya dan juga tingkat persaingan yang tinggi. lebih berorientasi kepada kebutuhan ekonomi, dan urbanisme yang tidak terkendali akan melahirkan berbagai masalah-masalah sosial berkaitan dengan pertumbuhan suatu wilayah menjadi kota, antara lain: 1.

  Urbanisasi.

  Perpindahan penduduk dari pedesaan menuju daerah perkotaan. Yang menjadi masalah adalah warga dari daerah pedesaan yang ingin mengadu nasib di perkotaan, namun hanya memiliki kemampuan keahlian yang terbatas atau rendah, dan karena itu hidup sebagai pekerja kasar atau buruh dipabrik-pabrik dengan upah yang relatif rendah. Para pekerja pendatang ini pada umumnya laki- laki dan perempuan dengan rata-rata usia produktif atau orang-orang muda bujangan atau bujangan lokal yang tinggal berdesakan di sekeliling tempat mereka bekerja dengan cara menyewa atau kontrak kamar-kamar secara bergotong royong untuk meringankan beban pembayaran sewa kontrak sesuai dengan gaji buruh yang diterima dari pabrik. Oleh karena itu mereka hidup rata-rata pada perkampungan yang kumuh dan berbagai keterbatasan atas air, sanitasi serta fasilitas lainnya untuk pemukiman. Keberadaan perkampungan kumuh, disamping akan menimbulkan masalah bagi lingkungan atas pemakaian air, tanah, sungai, sanitasi, sampah dan tata ruang, juga akan memproduksi masalah-masalah sosial dan kejahatan. Masalah lain dari urbanisasi adalah penambahan penduduk kota yang tidak terkontrol sehingga sulit untuk melakukan pengawasan kependudukan. Kemiskinan dan daerah kumuh atau liar.

  Kemiskinan muncul dan semakin nampak mencolok keberadaannya di daerah perkotaan karena kontras dengan kekayaan yang menjadi ciri dari kehidupan perkotaan. Secara garis besar para penderita kemiskinan dikota adalah mereka yang berpendidikan rendah dan tidak memiliki keterampilan keahlian yang berguna dalam kegiatan industri dan perekonomian di perkotaan. Golongan ini dapat berasal dari penduduk asli setempat dan para pendatang. Penduduk asli setempat yang sudah tergolong miskin sebelum berkembangnya kota menjadi pusat industri dan ekonomi pasar, hanya memiliki pendidikan rendah dan pas- pasan, serta tidak memiliki keahlian yang dibutuhkan sesuai dengan perkembangan industri dan pasar. Kemampuan bertahan para penduduk asli setempat untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya adalah dengan menjual tanah warisan kepada para pendatang atau orang kaya, belum lagi untuk keperluan ibadah keagamaan seperti naik haji, upacara lingkaran kehidupan seperti mengawinkan anak atau untuk usaha keluarga berdagang atau jasa yang bercorak tradisional, dan karena lemahnya kemampuan manajemen menyebabkan bangkrutnya usaha dagang atau jasa tersebut. Belum lagi diantara mereka ada yang terlilit hutang kepada kepada rentenir dengan menggunakan jaminan rumah atau tanah mereka. Habisnya tanah warisan mengharuskan mereka tersingkir dari pusat kota kepinggiran dan terlibat dalam lingkungan pemukiman kumuh.

3. Transportasi dan jaringan jalan.

  Tidak ada satu kotapun di Indonesia yang tidak mengalami kemacetan lalu lintas dan tidak mengalami kesukaran transportasi umum bagi warganya. Hal ini antisipatif terhadap perkembangan perkotaan. Dampak negatif dari kemacetan dan kesemarawutan transportasi serta tidak cukupnya jaringan jalan serta angkutan umum adalah (1) kendaraan umum berisi penumpang yang padat, kondisi ini mewujudkan terjadi berbagai kejahatan dan pelanggaran norma-norma kesopanan dan susila, (2) kepadatan kendaraan umum menyebabkan kemacetan yang panjang akibat antrian penumpang, berhenti disembarang tempat dan rusaknya jaringan jalan, (3) kemacetan yang panjang juga menghabiskan energi dan merusak perekonomian kota itu sendiri, (4) kurangnya angkutan umum layak yang disediakan oleh pemerintah dan tingginya kebutuhan masyarakat atas angkutan umum, menyebabkan warga menerima apa saja jenis angkutan umum yang tersedia meskipun tidak layak jalan dan layak pandang lagi, dan (5) kurangnya angkutan umum juga menyebabkan warga lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi, seperti sepeda motor yang dapat menyebabkan tingginya angka kecelakaan lalulintas dan pencurian kendaraan bermotor, tingginya penggunaan kendaraan roda empat pribadi yang semakin menambah beban sarana transportasi dan kemacetan.

4. Penyerobotan tanah.

  Tanah-tanah diperkotaan bukan lagi bernilai alamiah tetapi telah menjadi komoditi dan bahkan menjadi aset atau kapital. Karena itu tidaklah mengherankan bahwa kasus-kasus penyerobotan tanah-tanah milik negara, perusahaan atau perorangan sering terjadi di kota. Para penyerobot dapat dibedakan atas para pemukim liar (squatter) yang rata-rata sangat miskin dan menduduki tanah milik kapital.

5. Stress serta frustrasi berkepanjangan.

  Sebuah kota dengan berbagai permasalahannya dari aspek politik, ekonomi, sosial, kebudayaan dan keamanan terwujud secara nyata dalam kehidupan warganya seperti kepadatan hunian, kebisingan, kemacetan, jalan rusak, masalah air, listrik, gas, sanitasi, MCK, banjir, polusi air-tanah dan udara, naiknya harga sembako, pedagang kaki lima, penyerobotan tanah, penggusuran pemukiman, sempitnya ruang publik, sulitnya mendapatkan minyak, kesulitan mendapatkan sekolah, pekerjaan, pengangguran, kejahatan jalanan sampai dengan kewajiban berbagai retribusi dan pajak dan masalah-masalah sengketa dalam bisnis. Sementara itu dalam waktu yang bersamaan dan tempat yang berdampingan, sebagian kelompok orang kaya dan pejabat pemerintahan dengan mudah mendapatkan berbagai sarana dan kemewahan serta kekuasaan untuk mengusai sumber-sumber ekonomi dan politik. Kesenjangan atau gap atas kondisi ini yang mewujudkan potensi konflik komunal disatu sisi dan berbagai permasalahan pribadi seperti stress, frustrasi dan masa bodoh disisi yang lain.

  Kota umumnya dipandang sebagai tempat yang cocok untuk mencari pekerjaan dan tempat untuk orang meraih sukses dan juga kota dianggap sebagai pusat peradaban ilmu pengetahuan. Masyarakat perkotaan juga dianggap sebagai masyarakat yang pintar, tidak mudah tertipu, cekatan dalam berfikir dan bertindak namun anggapan itu tidak selamanya sesuai dengan kenyataan yang ada di lapangan seperti yang ingin di teliti penulis, bahwa keadaan masyarakat perkotaan banyak kelompok masyarakat yang tinggal di diwilayah pemukiman kumuh, bekerja pada sektor informal, mereka bermukim di sepanjang bantaran sungai, di tepi jalan kereta api bahkan ada juga yang tinggal dikolom jembatan. Mereka tentu saja merupakan sekelompok orang marginal yang tidak mampu mengakses perubahan sosial budaya dan tidak berdaya menyerap arus modernisasi. Kemunculan kapitalime juga mempengaruhi terjadinya marginalisasi terhadap oarang-orang yang tidak memiliki skill atau keahlian, dikarenakan hanya orang- orang yang memiliki skill saja yang dapat bekerja di sektor formal. Hal ini menyebabka mereka menjadi terpinggirkan dan tiak diberi kesempatan untuk melakukan mobilitas.

  Masyarakat marginal yang hidup diperkotaan sarat dengan masalah- masalah sosial yang terjadi akibat pesatnya pertumbuhan di perkotaan, masalah sosial tersebut adalah : 1.

  Kejahatan Menurut Justin (dalam Sahetapy, 1989: 98), kejahatan yang tumbuh subur di dalam masyrakat marginal adalah kejahatan yang disertai oleh kekerasan fisik.

  Kejahatan ini dipengaruhi oleh kemiskinan yang dialami anggota masyarakat marginal. Faktor lain adalah perubahan sikap hidup yang dialami anggota masyarakat marginal akibat perpindahan dari desa ke kota. Di daerah baru mereka seperti kehilangan pegangan hidup karena tiadanya pegangan norma serta status sosial di dalam masyarakat tersebut. sebenarnya bukan hanya kriminalitas biasa, sebagaimana yang seringkali tumbuh didalam masyarakat marginal. Kejahatan bisa pula mencakup bentuk-bentuk halus yang biasa dikenal dengan istilah kejahatan kerah putih (White collar crime). Jenis kejahatan ini dilakukan oleh warga masyrakat yang tingkat pendidikan maupun kehidupan ekonominya lebih baik dibandingkan warga masyarakat marginal.

2. Gelandangan

  Munculnya gelandangan secara struktural dipengaruhi oleh sistem ekonomi yang menimbulkan dampak berupa tersingkirnya sebagian kelompok masyarakat dari sistem kehidupan ekonomi. Kaum gelandangan membentuk sendiri sistem kehidupan baru yang kelihatanya berbeda dari sistem kehidupan kapitalistis. Munculnya kaum gelandagan inni diakibatkan oleh pesatnya perkembangan kota yang terjadi secara paralel dengan tingginya laju urbanisasi.

  Pada umumnya kaum gelandangan tersebut mencari sumber kehidupan di jalanan, baik sebagai pengumpul barang bekas (pemulung), pengemis, pelacuran, pengamen maupun penyemir sepatu. (Justin, 2005: 79)

2.4. Masyarakat Kota dan Desa sebagai Kelompok Sosial

  Masyarakat perkotaan sering disebut urban communitylebih ditekankan pada sifat kehidupannya serta ciri-ciri kehidupannya yang berbeda dengan masyarakat pedesaan. Ada beberap ciri yang menonjol pada masyarakat kota yaitu :

1. Kehidupan keagamaan berkurang bila dibandingkan dengan kehidupan keagamaan di desa.

  Orang kota pada umumnya dapat mengurus dirinya sendiri tanpa harus bergantung padaorang lain. Yang penting disini adalah manusia perorangan atau individu.

  3. Pembagian kerja di antara warga-warga kota juga lebih tegas dan mempunyai batas-batas yang nyata.

  4. Kemungkinan-kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan juga lebih banyak diperoleh warga kota dari pada warga desa.

  5. Interaksi yang terjadi lebih banyak terjadi berdasarkan pada faktor kepentingan dari pada faktor pribadi.

  6. Pembagian waktu yang lebih teliti dan sangat penting, untuk dapat mengejar kebutuhan individu.

  7. Perubahan-perubahan sosial tampak dengan nyata di kota-kota, sebab kota biasanya terbuka dalam menerima pengaruh dari luar.

  Dalam masyarakat modern, sering dibedakan antara masyarakat pedesaan (rural community) dan masyarakat perkotaan (urban community). Menurut Soekanto (2003), perbedaan tersebut sebenarnya tidak mempunyai hubungan dengan pengertian masyarakat sederhana, karena dalam masyarakat modern, betapa pun kecilnya suatu desa, pasti ada pengaruh-pengaruh dari kota. Perbedaan masyarakat pedesaan dan masyarakat perkotaan, pada hakekatnya bersifat gradual.

  Masyarakat pedesaan dan perkotaan bukanlah dua komunitas yang terpisah sama sekali satu sama lain. Bahkan dalam keadaan yang wajar diantara mereka saling membutuhkan. Kota tergantung pada dalam memenuhi kebutuhan warganya akan bahan bahan pangan seperti beras sayur mayur , daging dan ikan.

  Desa juga merupakan sumber tenaga kasar bagi bagi jenis jenis pekerjaan tertentu dikota. Misalnya saja buruh bangunan dalam proyek proyek perumahan.

  Proyek pembangunan atau perbaikan jalan raya atau jembatan dan tukang becak. Mereka ini biasanya adalah pekerja pekerja musiman. Pada saat musim tanam mereka, sibuk bekerja di sawah. Bila pekerjaan dibidang pertanian mulai menyurut, sementara menunggu masa panen mereka merantau ke kota terdekat untuk melakukan pekerjaan apa saja yang tersedia. “Interface”, dapat diartikan adanya kawasan perkotaan yang tumpang-tindih dengan kawasan perdesaan, nampaknya persoalan tersebut sederhana, bukankah telah ada alat transportasi, pelayanan kesehatan, fasilitas pendidikan, pasar, dan rumah makan dan lain sebagainya, yang mempertemukan kebutuhan serta sifat kedesaan dan kekotaan.

  Hubungan kota-desa cenderung terjadi secara alami yaitu yang kuat akan menang, karena itu dalam hubungan desa-kota, makin besar suatu kota makin berpengaruh dan makin menentukan kehidupan perdesaan. Secara teoristik, kota merubah atau paling mempengaruhi desa melalui beberapa cara, seperti:

  1. Ekspansi kota ke desa, atau boleh dibilang perluasan kawasan perkotaan dengan merubah atau mengambil kawasan perdesaan. Ini terjadi di semua kawasan perkotaan dengan besaran dan kecepatan yang beraneka ragam;

  Invasi kota, pembangunan kota baru seperti misalnya Batam dan banyak kota baru sekitar Jakarta merubah perdesaan menjadi perkotaan. Sifat kedesaan lenyap atau hilang dan sepenuhnya diganti dengan perkotaan; 3. Penetrasi kota ke desa, masuknya produk, prilaku dan nilai kekotaan ke desa. Proses ini yang sesungguhnya banyak terjadi;

4. Ko-operasi kota-desa, pada umumnya berupa pengangkatan produk yang bersifat kedesaan ke kota.

  Dari keempat hubungan desa-kota tersebut kesemuanya diprakarsai pihak dan orang kota. Proses sebaliknya hampir tidak pernah terjadi, oleh karena itulah berbagai permasalahan dan gagasan yang dikembangkan pada umumnya dikaitkan dalam kehidupan dunia yang memang akan mengkota. (Soekanto, 2003:123 ).

  Ferdinand Tonnies berpendapat bahwa masyarakat adalah karya ciptaan manusia itu sendiri. Hal ini ditegaskan oleh Tonnies dalam kata pembukaan bukunya. Masyarakat bukan organisme yang dihasilkan oleh proses-proses biologis. Juga bukan mekanisme yang terdiri dari bagian-bagian individual yang masing-masing berdiri sendiri, sedang mereka didorong oleh naluri-naluri spontan yang bersifat menentukan bagi manusia. Masyarakat adalah usaha manusia untuk memelihara relasi-relasi timbal balik yang mantap. Kemauan manusia mendasari masyarakat, Ferdinand Tonnies dua tipe masyarakat. Pertama Gemeinschaft atau paguyuban adalah bentuk hidup bersama yang lebih bersesuaian dengan

  

Triebwille . Kerjasama dan kebersamaan tidak diadakan untuk mencapai tujuan

  diluar melainkan dihayati sebagai tujuan dalam dirinya. Orangnya merasa dekat satu sama lain dan memperoleh kepuasan karenanya. Suasanalah yang dianggap keteraturan. Tonnies menyebut sebagai contoh keluarga, lingkungan tetangga, sahabat-sahabat, serikat pertukangan dalam abad pertengahan, gereja, desa dll.

  Para anggota disemangati dan dipersatukan dalam perilaku sosial mereka oleh ikatan persaudaraan, simpati dan perasaan lainnya, sehingga mereka terlibat secara psikis dalam suka duka hidup bersama. kita boleh mengatakan bahwa mereka sehati dan sejiwa. Menurut pandangan Tonnies, prototipe semua persekutuan hidup dinamakan “Gemeinschaft “ itu keluarga. Orang memasuki jaringan relasi-relasi kekeluargaan karena lahir. Walaupun kemauan bebas dan pertimbangan rasional dapat menentukan apakah orangnya akan tetap tinggal dalam keluarganya atau tidak, namun relasi itu sendiri tidak tergantung seluruhnya dari kemauan dan pertimbangan itu. Ketiga soko guru yang menyokong Gemeinschaft ialah: darah, tempat tinggal atau tanah dan jiwa atau rasa kekerabatan, ketetanggaan dan persahabatan. Ketiga unsur ini diliputi oleh keluarga.

  Tonnies membedakan Gemeinschaft menjadi 3 jenis, yaitu: a.

  Gemeinschaft by Blood (ikatan darah) yaitu gemeinschaft yang mendasar- kan diri pada ikatan darah atau keturunan. Contohnya: kekerabatan, masyarakat-masyarakat daerah.

  b.

  Gemeinschaft of Place (tempat), yaitu gemeinschaft yang mendasarkan diri pada tempat tinggal yang saling berdekatan sehingga dimungkinkan untuk dapat saling tolong menolong. Contoh : RT, RW, arisan.

  Gemeinschaft of Mind (jiwa-pikiran) yaitu gemeinschaft yang mendasar- kan diri pada ideology atau pikiran yang sama. Contoh :rasa kekerabatan, ketetanggaan dan persahabatan. (Soekanto, Soerjono, 2009: 116-120)

  Gesellschaft atau patembayan itu tipe asosiasi dimana relasi-relasi

  kebersamaan dan kebersatuan anatara orang berasal dari faktor-faktor lahiriah seperti persetujuan, peraturan dan undang-undang. Tonnies mengatakan teori Gesselshcaft berhubungan dengan penjumlahan atau kumpulan orang yang dibentuk atas cara buatan. Kalau dilihat sepintas lalu saja, kumpulan itu mirip dengan Gemeinschaft, yaitu sejauh para anggota individual hidup bersama dan tinggal bersama secara damai. Tetapi dalam Gemeinschaft mereka pada dasarnya terus bersatu sekalipun ada faktor-faktor yang memisahkan, sedang Gesellschaft pada dasarnya mereka tetap berpisah satu dengan yang lain meskipun ada faktor- faktor lain yang menyatukan.

Dokumen yang terkait

Pergeseran Solidaritas Sosial Pada Masyarakat Yang Terkena Banjir (Studi Deskriptif Pada Masyarakat Sekitar Sungai Deli, Kelurahan Sukaraja, Kecamatan Medan Maimun)

4 81 144

Solidaritas Pada Masyarakat Marginal di Perkotaan (Studi deskriptif Pada Anggota Lembaga Keuangan Masyarakat Kota (LKMK) Keska Kelurahan Sei Mati, Lingkungan XII Medan Maimun)

8 93 104

Solidaritas Sosial Pada Masyarakat Pluralis yang Sering Mengalami Bencana Banjir di Kelurahan Polonia Kota Medan

10 55 131

Reaksi Sosial Terhadap Normalisasi Sungai Deli: (Studi Kasus di Kelurahan Sei Mati, Kecamatan Medan Maimun)

4 38 91

Jarak Sosial Masyarakat Elite dan Masyarakat Pinggiran/Kumuh”( studi deskriptif di Jl. Badur, Lingkungan 10 Kelurahan Hamdan, Kecamatan Medan Maimun)

28 118 112

Persepsi Penyintas Banjir Terhadap Pergeseran Solidaritas Sosial (Studi Deskriptif Pada Masyarakat Sekitar Sungai Deli, Kelurahan Sukaraja, Kecamatan Medan Maimun).

1 66 190

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Komunitas - Solidaritas Sosial Dalam Komunitas Punk Dengan Studi Deskriptif Pada Komunitas Punk Simpang Aksara Medan

0 0 14

BAB II KERANGKA TEORI 2.1. Peristiwa Banjir Medan - Pergeseran Solidaritas Sosial Pada Masyarakat Yang Terkena Banjir (Studi Deskriptif Pada Masyarakat Sekitar Sungai Deli, Kelurahan Sukaraja, Kecamatan Medan Maimun)

0 0 28

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Pergeseran Solidaritas Sosial Pada Masyarakat Yang Terkena Banjir (Studi Deskriptif Pada Masyarakat Sekitar Sungai Deli, Kelurahan Sukaraja, Kecamatan Medan Maimun)

0 0 18

Pergeseran Solidaritas Sosial Pada Masyarakat Yang Terkena Banjir (Studi Deskriptif Pada Masyarakat Sekitar Sungai Deli, Kelurahan Sukaraja, Kecamatan Medan Maimun)

0 2 16